Pergumulan Sikap Teologis Dalam Merespon Integrasi Sains

advertisement
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Pergumulan Sikap Teologis Dalam Merespon Integrasi Sains Dengan Agama
Oleh: Agus Riwanda
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Darullughah Wadda‟wah Bangil Pasuruan Indonesia
[email protected]
Abstrak
Dikotomi antara sains dan agama menyebabkan banyak dampak negatif di berbagai
dimensi kehidupan. Sains, yang berdiri sendiri tanpa intervensi agama, menghasillan manusiamanusia yang tidak hanya jauh dari nilai-nilai ilahiyah, tetapi juga oportunis, hedonis dan
materialistik. Hal ini dikarenakan sains bertopang pada hal rasional-empiris yang hanya sampai
pada tataran akal namun tidak menyentuh hati. Dominasi sains yang begitu kuat dalam
kehidupan membuat manusia ketergantungan sehingga menjadikan sains sebagai kebutuhan yang
mendasar. Dominasi itulah yang menggeser nilai-nilai luhur masyarakat, yang dominannya
bersumber dari agama dan budaya, baik dari segi pemahaman dan implementasinya. Dari
diskursus inilah, wacana integrasi sains dengan agama mengalir begitu deras, di barat dan di
timur, dengan persepsi dan epistemologi masing-masing.
Sains seharusnya dikembangkan sesuai tujuan hakikinya, yaitu mendekatkan diri kepada
Tuhan dan menebar sebanyak-banyaknya manfaat bagi kemanusiaan. Integrasi menjadikan
teologi sebagai basisnya. Sikap teologi menentukan keberhasilan dari proses integrasi tersebut.
Tulisan ini berupaya untuk menyingkap bagaimana respon dari sikap teologi yang berbeda dalam
menyambut integrasi sains dengan agama.
Temuan dari tulisan ini adalah bahwa ada tiga sikap dalam teologi agama, yaitu
eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Eksklusivisme adalah suatu pemahaman yang
menyatakan bahwa agamanya lah yang benar dan agama lain salah. Inklusivisme merupakan
kebalikan dari eksklusivime, yaitu paham yang menyatakan bahwa kebenaran dapat ditemukan
dalam agama manapun. Sedangkan pluralisme menyatakan bahwa setiap agama secara paralel
adalah jalan yang berbeda untuk mencapai kebenaran yang sama.
Dari tiga sikap teologi tersebut, eksklusivisme dianggap tertutup terhadap kebenaran yang
bersumber dari luar agama Islam, dalam hal ini adalah sains. Sedangkan dua sikap teologi lain
dianggap terbuka atas segala kebenaran, dari manapun sumbernya, namun menyimpan
kecendrungan fatalistik yang mengarah kepada desakralisasi agama.
Kata Kunci: Pemahaman Teologis, Integrasi Sains Dengan Agama
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
A. Pendahuluan
ۡ ‫ض َو‬
‫ار َو ۡٱنفُ ۡه ِك ٱنَّ ِحي ج َ ۡج ِزي ِفي ۡٱن َث ۡح ِز ِت ًَا َيُفَ ُع‬
ِ ‫س َٰ ًَ َٰ َى‬
َّ ‫ق ٱن‬
ِ َ‫ٱخ ِح َٰه‬
ِ ‫ت َو ۡٱۡل َ ۡر‬
ِ ‫ف ٱنَّ ۡي ِم َوٱنَُّ َه‬
ِ ‫ِإ ٌَّ ِفي خ َۡه‬
َّ ‫ض َتعۡ ذَ َي ۡى ِج َها َو َت‬
َّ ‫اس َو َيا ٓ أََزَ َل‬
‫ث ِفي َها ِيٍ ُك ِّم دَآت َّٖة‬
َّ ‫ٱَّللُ ِيٍَ ٱن‬
َ ‫س ًَا ٓ ِء ِيٍ َّيا ٓ ٖء فَأ َ ۡح َيا ِت ِّ ۡٱۡل َ ۡر‬
َ َُّ‫ٱن‬
٤٦١ ٌَ‫ث ِنّقَ ۡى ٖو َيعۡ ِقهُى‬
َّ ‫س َّخ ِز َت ۡيٍَ ٱن‬
َّ ‫ح َوٱن‬
ِ ‫َوج َصۡ ِز‬
ٖ ‫ض َۡل ٓ َٰ َي‬
ّ ِ ‫يف‬
ِ ‫س ًَا ٓ ِء َو ۡٱۡل َ ۡر‬
ِ ‫س َحا‬
َ ًُ ‫ب ۡٱن‬
ِ ‫ٱنز َٰ َي‬
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan (Al Baqarah: 164)
Imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua tingkatan, ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu
agama seperti tauhid, fiqih dan tasawuf dikategorikan sebagai ilmu-ilmu hukumnya fardhu ain
untuk dipelajari oleh setiap muslim. Sedangkan mempelajari ilmu dunia, eksak maupun sosial,
hukumnya fardhu kifayah. Jika dalam suatu komunitas muslim sudah terdapat orang yang
mempelajari ilmu-ilmu dunia tersebut, maka anggota komunitas lain terbebas dari ikatan
kewajiban untuk mempelajarinya.
Hirarki keilmuan yang ditetapkan oleh Imam Al-Ghazali itulah yang disebut banyak
kalangan sebagai salah satu pemicu mindset dikotomis dalam keilmuan Islam. Di kalangan
muslim, pemahaman yang keliru terhadap hirarki ilmu imam Al-Ghazali menumbuhkan mindset
yang salah terhadap sains. Selain itu pula, pendapat bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber
ilmu menjadikan peran rasio terdiskriminasi. Mempelajari sains, yang menjadikan rasio sebagai
panduannya, dianggap mempelajari ilmu kelas dua, marginal. Sains tidak memiliki implikasi
langsung terhadap keselamatan manusia di alam akhirat. Bahkan mindset ini sudah berkembang
menjadi sikap yang antipati. Sains yang berkembang sedemikian pesat di Barat dan menjadi
representasi dunia Barat, dipandang sebagai sesuatu yang menyimpan bahaya bagi teologi agama
karena akal dalam konsep sains menjadi ukuran kebenaran satu-satunya. Di lain pihak, konsepsi
berpikir rasional-empiris yang menjadi pondasi perkembangan sains sekaligus menjadi alat ukur
atas suatu kebenaran menjadikan nilai-nilai agama terdevaluasi secara signifikan. Ada sebuah
keyakinan bahwa sains harus bebas nilai, termasuk intervensi dari nilai-nilai ilahiyah. Disamping
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
itu pula, agama dianggap bersumber dari mitologi, pseudo-ilmiah yang tidak bisa dibuktikan
kebenarannya secara rasional maupun empiris. Padahal sains adalah salah satu alat yang
mengantarkan manusia kepada keyakinan akan keberadaan dan kebesaran Tuhan, dan ilmu-ilmu
agama menjadi kontrol yang kuat agar pendalaman sains berjalan dalam koridor yang tepat.
Dalam perkembangan sejarahnya, dikotomi ini menjadi jurang pemisah antara orang-orang
yang mendalami ilmu agama dengan orang-orang yang mendalami sains. Sehingga, dalam
hubungan agama dan sains, terlihat rivalitas yang saling berhadap-hadapan. Realitas inilah yang
disinyalir sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran dunia Islam. Padahal, zaman kejayaan
Islam dahulu ditopang oleh tradisi keilmuan dan kajian dalam segala bidang ilmu, termasuk
ilmu-ilmu dunia seperti matematika, fisika, kimia, kedokteran hingga astronomi tanpa ada
dikotomi dengan ilmu-ilmu agama.
Secara spesifik, sembari mengutip Zainuddin Sardar, Nasim Butt mengungkapkan
karakteristik yang berbeda antara sains Islam dan sains Barat. Menurutnya, standar Sains Barat
adalah:
1. Berpijak pada rasionalitas
2. Sains untuk sains
3. Satu-satunya metode untuk mengetahui realitas
4. Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas
5. Tidak memihak, seorang ilmuwan hanya peduli pada produk pengetahuan baru dan
akibat-akibat penggunaannya
6. Tidak adanya bias, validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada
bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya
7. Penggantungan pendapat, pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar
bukti yang meyakinkan.
8. Reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains.
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, karenanya harus
dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin-subdisiplin.
10. Universalisme.
11. Individualisme, yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan
permasalahan sosial, politik, dan ideologis.
12. Netralitas, tanpa memperdulikan baik ataukah buruk.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
13. Loyalitas kelampok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas
terpenting dan perlu dijunjung tinggi.
14. Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus
dilawan.
15. Tujuan membenarkan penggunaan setiap sarana, karena penelitian ilmiah adalah
mulia dan penting bagi kesejahteraan umat manusia.
Sedangkan standar sains Islam adalah:
1. Berpedoman pada wahyu.
2. Sains
adalah
sarana
untuk
mencapai
ridla
Allah.
Mempelajari
dan
mengimplementasikan sains merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi
spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, dianggap
sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual
maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk
ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya
sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan
konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi
agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah
pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada
tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan
subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batasbatasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang
tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga
pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga
ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk
rnengantisipasi akibat-akibatdestruktif dari aktivitas seseorang.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains
dan nilai-nilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn
lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan
dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual untuk sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah),
baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini
adanya interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai. Sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia
bisa baik atau buruk. Sains yang menimbulkan dampak negative adalah suatu
kejahatan.
13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara
memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas
ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan
legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum
dan bukanlah usaha golongan tertentu.
14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh
dibuang-buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan
dengan baik dan harus diintervensi oleh nilai etika dan moral.
15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana
sains. Keduanya harus melalui jalan yang diperbolehkan (halal), yakni, dalam
batas-batas etika dan moralitas.1
Mengintegrasikan sains dengan agama adalah mengintegrasikan akal dengan wahyu,
rasional-empiris dengan metafisis. Integrasi ini berlangsung dalam tataran landasan filosofis,
teori, konsep, paradigm hingga penerapannya yang pada mulanya memiliki cara pandang yang
berseberangan. Dalam kacamata Islam, sains sarat dengan intervensi nilai-nilai ilahiyah,
sedangkan menurut barat, sains harus bebas nilai. Karena perbedaan yang runcing ini, maka
diperlukan sikap positif dan adil dalam memandang ilmu agama dan sains agar integrasi dapat
berjalan harmonis.
1
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 73-74.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Sebuah epistemologi integrasi dengan poros tauhidullah ditawarkan banyak pemikir
muslim, diantaranya Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Osman Bakar, sebagai solusi
atas ketertinggalan kaum muslim di bidang sains dan teknologi. Doktrin metafisika tauhid ini
berlandaskan dari sebuah pandangan bahwa segala ilmu, baik ulumuddin maupun ulumuddunya,
berasal dari Tuhan dan harus dipergunakan untuk mencapai ridho Tuhan. Melalui pendalaman
terhadap dua jenis ilmu tersebut, eksistensi dan kemahabesaran Tuhan akan terlihat jelas.
Tauhid harus diaktualisasikan dalam semua aspek kehidupan dan pemikiran manusia.
Tauhid bukan semata-mata berlaku dalam dogma agama dan etika, namun juga dalam ranah
kognitif yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu-ilmu eksak dan
teknologi. Dengan epistemologi integrasi tauhidullah, ketertinggalan kaum muslim dalam bidang
sains dan teknologi dapat ditanggulangi tanpa harus menggerus dan mereduksi nilai-nilai
spiritual dan kultural mereka.
Di Barat pun juga mengalami kegelisahan terhadap banyaknya dampak negative dari
perkembangan sains dan teknologi yang terbebas dari intervensi nilai-nilai agama dan moral.
Kegelisahan itu yang mendorong Ian G. Barbour untuk menyerukan integrasi sebagai solusi ideal
dalam mempertautkan sains dengan agama. Ia berpendapat bahwa desain alam tidak bisa
dipungkiri adalah tanda-tanda keberadaan Tuhan. Karena itu, melalui interpretasi sains yang
rasional dan empiris, doktrin-doktrin agama dapat disisihkan dari interes-interes personal para
pemukanya sehingga agama tidak hanya sekedar dogma eksklusif yang memaksakan keterikatan
mutlak. Integrasi sains dan agama dipandang dapat berkontribusi pada pengembangan metafisika
inklusif. Berpatokan dengan metafisika yang menyatukan konsep transenden dengan konsep
imanen, aspek-aspek yang berbeda dari realitas dapat ditafsirkan.
Di samping itu pula, Arthur Peacock juga melihat bahwa sains dan agama dapat menyatu
dalam integrasi. Dengan itu, wujud Tuhan dapat dirasakan dalam setiap aspek kehidupan, tidak
terkecuali dalam sains. Dialog antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Tuhan merupakan
proses rasional, konsisten, dan kreatif dalam melahirkan kebaruan, keragaman, dan
kompleksitas. Ini kemudian memperlihatkan eksistensi Tuhan dalam sifat- sifat ciptaan-Nya.2
Kesadaran akan pentingnya integrasi sains dan agama yang muncul di barat dan di timur
merupakan reaksi dari dampak-dampak negatif yang ditinggalkan dikotomi. Jika dicermati
dengan seksama, integrasi ini berpangkal sekaligus berujung pada hal metafisis dan teologis;
2
Arthur Peacock, Paths From Science Towards God (New York: One world Publications, 2001), hlm. 19
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
kesadaran akan adanya Tuhan. Dalam ranah inilah, sikap-sikap teologis yang berbeda memegang
peranan penting dalam menentukan suatu sudut pandang terhadap sains, agama dan integrasi
antara keduanya.
B. Pembahasan
1.
Model-Model Sikap Dalam Teologi Agama
Teologi adalah ilmu yang membahas ajaran -ajaran dasar dari suatu
agama, dengan pokok pembicaraan tentang hubungan pertalian antara Tuhan dan
manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun penyelidikan akal murni.3
Teologi tidak bisa diartikan secara sederhana. Namun dari definisi-definisi yang
muncul, teologi tercakup dalam tiga kesimpulan. Pertama, teologi mesti berkaitan dengan
Tuhan atau transendensi, baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis. Kedua, doktrin
selalu menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Ketiga, teologi sesungguhnya
adalah aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.4
Ekspresi keberagamaan manusia terlihat membentuk polarisasi yang secara diametral
bertentangan. Awalnya, dogma-dogma agama dianggap sebagai sesuatu yang taken for
granted, tidak bisa diutak-atik dan antikritik karena agama merupakan institusi Tuhan. Teori
apologis inilah yang menjadikan pemeluk-pemeluk agama bersikap eksklusif. Defensive
sekaligus ofensif. Dengan adanya sikap eksklusif dalam setiap pemeluk agama yang
berbeda-beda, maka pergesekan antarumat sangat rawan terjadi. Masing-masing dari mereka
mengkalim bahwa agamanya lah yang benar sehingga berimplikasi kepada pandangan
bahwa agama lain salah dan sesat sehingga merebaklah pertumpahan darah atas nama agama
yang mengancam keberadaan dan keberagaman manusia.
Sikap beragama semacam ini pada gilirannya bisa memusnahkan umat manusia.
Realitas menyatakan bahwa alam diciptakan dengan penuh keberagaman. Pluralitas adalah
sebuah keniscayaan. Sikap yang tepat dalam memperlakukan pluralitas adalah toleransi,
bukan saling menghakimi. Kemudian munculah kesadaran bahwa klaim kebenaran yang
selama ini terjadi adalah klaim-klaim kosong yang tidak beralasan. Kebenaran di tangan
manusia merupakan sesuatu yang relative. Karena itulah sikap keberagamaan inklusif dan
3
4
A. Hanafi. Teologi Islam (Jakarta: Al-Husana Zikra, 1995), hlm. 11
Peter Connolly Ed. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta. Lkis. 2011), hlm. 319
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
pluralis mulai dikampanyekan. Hingga saat ini, eksklusif dan inklusif-pluralis masih menjadi
warna dominan sikap teologis umat beragama.
a. Eksklusivisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan eksklusivisme dari kata “eksklusif”
sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain atau dapat juga diartikan sebagai paham
yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. 5
Eksklusivisme beragama bisa terjadi secara internal dan eksternal. Dalam wilayah
internal, eksklusivisme adalah keterikatan kepada suatu mazhab tertentu yang bersifat
taklid dan kultus sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa mazhabnya adalah aliran
yang benar menuju Tuhan sedangkan aliran-aliran lain mengalami penyimpangan.
Secara eksternal, ekslkusivisme adalah klaim kebenaran dan keselamatan berada pada
agamanya saja sehingga agama lain dianggap salah, tidak mengandung transendensi
dan spiritualitas. Tidak ada kompromi dengan konsepsi keagamaan pemeluk agama
lain dan tidak ada keselamatan bagi mereka.
Pandangan Eksklusivisme berawal sejak Gereja menganut teologi tradisional, di
mana perjanjian baru ditafsirkan sebagai panggilan untuk menerima Kristus sebagai
penyataan Allah yang tertinggi dan final. Karena itu gereja memberitakan keselamatan
dalam Yesus dan menolak kebenaran di luar kekristenan. Pada abad pertengahan
kelompok eksklusivisme dimotori oleh Roma Katolik yang berpendapat bahwa di luar
Gereja tidak ada keselamatan (eklesiocentrisme atau extra ecclesiam nulla salus),
pandangan ini dikukuhkan pada konsili orange pada tahun 1442. Kemudian juga ada
ungkapan yang selalu menjadi kutipan yaitu bahwa keselamatan tidak ada di dalam
siapa pun juga selain di dalam Kristus sebab di bawah kolong langit ini tidak ada yang
mampu memberi keselamatan maka terkenallah istilah no other name yang menjadi
simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Kristus.6
Konsep teologi Islam juga memiliki klaim-klaim eksklusif. Dalam kalimat
syahadat, pengakuan bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
mengandung penafian atas konsep-konsep ketuhanan agama lain. Ketundukan dan
penyembahan terhadap tuhan-tuhan agam lain merupakan sebuah dosa besar yang tidak
5
6
Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai-Pustaka, 1996), hlm 7-8
Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 56-57
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
diampuni; syirik. Kemudian diikuti dengan persaksian bahwa Muhammad adalah
utusan Allah yang terakhir memiliki makna bahwa sebelumnya Allah juga mengutus
Nabi-Nabi dengan konsep ketuhanan yang sama dengan konsep ketuhanan yang
dibawa Muhammad, namun mengalami penyimpangan.
Azyumardi Azra mengemukakan bahwa eksklusivisme Islam yang menolak
akomodasi sistem kepercayaan lokal, meningkat seiring dengan munculnya
gelombang-gelombang upaya pembaruan tradisi Islam sejak paruh kedua abad 17.
Melalui ulama semacam Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Singkili, Muhammad
Arsyad al-Banjari, atau gerakan radikal semacam gerakan padri di Minangkabau, Islam
Indonesia semakin cenderung bersifat skriptualistik.7
R. William Liddle melihat sikap literalis atau skripturalis adalah salah satu ciri
utama penganut paham eksklusivisme. Kelompok ini tidak memandang diri mereka
terlibat dalam kegiatan intelektual yang mencoba mengadaptasikan pesan-pesan
Muhammad dan makna Islam ke dalam kondisi-kondisi sosial. Menurut mereka pesanpesan dan makna itu sebagian besar sudah jelas termaktub dalam kehidupan, karena itu
mereka cenderung berorientasi pada syariat.8
Karakteristik lain yang menonjol pada penganut paham eksklusif adalah totalistik
dogmatis. Ajaran yang dibawa oleh Islam telah mencakup semua aspek dari teologi,
hingga aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Kelengkapan dan
keabadian ajaran-ajaran Islam ini tergambar dalam slogan “shalih li killi zaman wa
makan”; kompetibel dalam setiap tempat dan masa, bagi setiap ruang dan waktu.
Ajaran
yang
komprehensif
ini
diyakini
bersumber
dari
al-Qur‟an
yang
direpresentasikan oleh Nabi Muhammad dalam setiap aspek kehidupan.
Dari segi pemikiran, taklid menjadi corak yang khas bagi kelompok ini.
Kelengkapan dan keabadian ajaran Islam diyakini bersifat mutlak dan dogmatis
sehingga akal tidak boleh meragukannya. Hal ini dikarenakan akal terbatas, tidak bisa
menjangkau dimensi masa depan, apalagi metafisik. Tuhan lebih tahu daripada manusia
karena Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Kemahatahuan Tuhan merupakan
7
Prof. Dr. Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Indonesia –Timur Tengah pada Abad 17-18: Melacak akar-akar
pembaharuan Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1994)
8
R. William Liddle, Skripturalisme Media Dakwah, Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa
Orde Baru, dalam Mark Woodward (ed) Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung:
Mizan,1999), hlm 304.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
nafas dari dogma-dogma agama, sehingga dogma tersebut tidak perlu diinterpretasikan
lagi.
Sedangkan dari segi implementasi ajaran keagamaan, formalistik menjadi karakter
khas tergambar melalui ketaatan yang ketat dan formal pada ajaran Islam dalam segala
aspek kehidupan. Semua yang berasal dari Nabi dan para ulama penerusnya harus
semaksimal mungkin ditiru dan diikuti oleh pemeluk agama.
Menurut Azyumardi Azra, artikulasi keberagamaan formalisme ini bisa melahirkan
sikap fundamentalisme, dan pada gilirannya dapat mengambil pelbagai bentuk
ekskpresi, baik yang bersifat damai maupun radikal, hal ini disebabkan oleh wataknya
yang cenderung literalis dalam memahami agama.9
Dilacak dari segi aliran teologinya, eksklusivisme berkiblat kepada Asy‟ariyah
sebagai aliran utama dalam mazhab ahlussunnah wal jamaah. Ketika Islamisasi
menemukan momentumnya di Indonesia, khususnya sejak abad ke 12, paham teologi
Asy‟ariyah yang sudah memapankan diri di timur tengah, secara otomatis mengalami
transmisi ke Indonesia. Teologi ini menekankan pada ketertundukan manusia kepada
takdir yang telah ditentukan Tuhan (predestination) sejak zaman azali. Meski manusia
memiliki
potensi
untuk
mewujudkan
keinginan
dan
perbuatannya,
tetapi
perwujudannya kembali sangat tergantung pada keinginan dan kekuasaan Tuhan.10
Teologi predestinasi inilah yang dianggap Harun Nasution sebagai penghambat
kemajuan muslim karena membawa kepada sikap pasif dan menyerah. Dengan sangat
jelas ia menganjurkan agar rukun iman yang ke enam, yaitu beriman kepada qadha dan
qadar, segera ditinggalkan sebab pondasinya adalah hadist yang berstatus zhanny aldilalah.
Hal paling mendasar dari sikap eksklusivisme agama adalah kentalnya klaim
kebenaran (thuth claim). Klaim kebenaran atas dogma agama sendiri yang berkaitan
dengan kitab suci sebagai kalam-kalam Tuhan merupakan hal pembeda (distinctive)
yang mendominasi warna simbolik para penganut agama. Kekuatan simbolik yang
berbeda ini sering kali menjadi pemicu utama pergesekan intra dan antar umat
beragama. Hal inilah penyebab utama fanatisme sempit umat beragama yang pada
9
Azyumardi Azra. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000, cet. I.) Hlm. 96
Azyumardi Azra. Konteks Betreologi di Indonesia. (Jakarta: Paramadina 1999.) Hlm. 45
10
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
gilirannya menghambat perkembangan agama itu sendiri karena disibukkan oleh klaimklaim dan pergesekan.
Selain itu pula, sikap eksklusif dalam beragama cenderung menimbulkan
diskriminasi terhadap sesama manusia. Perbedaan menjadi hal yang lebih sering
dimunculkan daripada menemukan kesamaan dan kesepahaman. Bagi kelompokkelompok mayoritas, perbedaan agama kerap dijadikan senjata utama untuk menyerang
minoritas yang pada gilirannya menimbulkan konflik berdarah antar umat beragama.
Akibatnya, agama dijadikan alasan atas berbagai kekerasan sehingga mendevaluasi
wajah agama yang sebenarnya mengajarkan kedamaian.
Studi filsafat diusung banyak pihak untuk mereduksi kekerasan atas nama Tuhan.
Para pemeluk agama diajak untuk mengkaji ulang klaim-klaim kebenaran yang sudah
mapan menjadi dogma agama. Tujuan utama dari studi filsafat ini adalah sedapat
mungkin membebaskan manusia dari cengkraman sikap eksklusif dan dogmatis dalam
beragama yang sudah terlanjur menjadi tabiat dasar dari suatu system keyakinan.
Dengan reinterpretasi dogma agama ini, baik melalui diskursus filsafat atau studi
agama yang empirik, diharapkan mampu membuka mata dan wawasan umat beragama
akan kondiri riil dunia yang pluralis, merubah sikap kaku bisa menjadi sikap toleran
sehingga impian-impian integrasi agama dengan sains dan teknologi yang menjadi
motor kemajuan umat dapat diwujudkan.
b. Inklusivisme dan Pluralisme
Inklusivisme adalah suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan lain juga memuat
kebenaran religius namun di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka
miliki. Sedangkan pluralisme adalah pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan
mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan
memberi respon terhadapnya. Dari sana munculah jalan kultural yang berbeda-beda
bagi manusia.
Tema sentral dari teologi inklusivisme adala mengembangkan kerukunan intra dan
antar umat beragama. Dengan menyingkirkan klaim-klaim kebenaran yang sepihak
dan memandang bahwa dalam semua agama terdapat kebenaran bahkan hingga tataran
teologis sekalipun, maka sikap saling menghormati dan menghargai dapat
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
ditumbuhkan. Hidup berdampingan dalam damai intra dan antar umat beragama pun
bukan lagi hal mustahil untuk diwujudkan.
Penggunaan kata inklusif dalam term teologi pertama kali popular setelah konsili
Vatikan II (1962-1965) di mana Katolik Roma melakukan perubahan konsep
teologinya yang sebelumnya bercorak eksklusif dengan jargon terkenalnya extra
ecclesiam nulla salus. Dalam nostra aetate‟: Dengan penghargaan Gereja memandang
juga kepada umat Islam, yang menyembah Allah Yang Maha Esa, Yang Hidup dan
Ada, Yang Mahapengasih dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Mengingat
bahwa dalam peredaran jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak
sedikit antara orang Kristen dan Islam, maka Konsili suci mengajak semua pihak
untuk melupakan yang sudah-sudah dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian
dan melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan social, nilai-nilai moral serta
perdamaian dan kebebasan untuk semua orang.11
Dalam usaha meruntutkan konsep inklusifitas dalam beragama tersebut, Amin
Abdullah merumuskan general pattern dan particular pattern dalam studi agama.
General pattern adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama tersebut, di luar
kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, history
serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari
agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut. Ketika
general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular pattern.
Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya dalam hal
kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang konsep
pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen
mempunyai kebaktian.12
Untuk menerjemahkan eksklusivisme kepada inklusivisme, Nurcholis Madjid;
Seorang pioneer inklusivisme agama, membuat bangunan epistemologis Islamnya
diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Kepasrahan ini
merupakan karakteristik semua agama yang benar. Inilah wold view al-Qur‟an bahwa
semua agama yang benar adalah al-Islam. Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi
11
Walter M. Abbot (gen.ed.) The document of Vatican II, (American Press, 1966) terjemah dari Dr. Riberu. Tonggak
Sejarah Pedoman Arah; Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta, Dokpen MAWI 1983) Hlm. 289
12
M. Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999)
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi
seorang yang beragama Islam, tetapi juga dapat menjadi kualifikasi penganut agama
lain.13
Cak Nur, dalam kata pengantar buku Tiga Agama Satu tuhan, menulis bahwa setiap
agama merupakan jalan yang sama untuk menuju Tuhan. “Sebagai sebuah pandangan
keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan tafsirannya ke
arah yang semakin pluralis.” Sebagai contoh filsafat perennial yang belakangan
banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan
pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi
keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat adalah Tuhan, dan jari-jari
adalah jalan dari berbagai agama/ filsafat perennial juga membagi agama pada level
esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam
level eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoterik yang dalam bahasa agama
dikenal dengan takwa. Takwa merupakan pesan paling mendasar dalam titik temu
antar agama. Takwa dalam istilah ini bukan seperti terminologi umum yang dipahami
kebanyakan orang, namun maksudnya adalah kesadaran ketuhanan. Berpangkal dari
pandangan inilah tumbuh istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.14
Sikap inklusif akan selalu dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang plural
sehingga inklusif dan plural tidak bisa dipisahkan dari pluralitas. Karena eratnya
keterkaitan antara inklusivisme dengan pluralitas, maka sangat sulit memberikan
batasan-batasan yang jelas di antara keduanya, baik dari segi definisi hingga
implementasi. Dengan demikian, pandangan bahwa dalam semua agama terdapat
kebenaran bergeser kepada semua agama benar dan dalam jalan yang benar menuju
Tuhan yang sama.
Masalah inklusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran atau gagasan
neo-modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada
bidang teologi. KeIslaman inklusif adalah pondasi teologis dan filosofis agar
masyarakat
mampu
menerima
ide-ide
kemajuan.
Dengan
mengembangkan
konsep yang bertumpu pada platform kalimatun sawwa (titik temu), dengan landasan
13
14
Hlm. xix
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. (Jakarta: Kompas. 2001.) Hlm. 21-22
George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung; Mizan, 1998),
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
al- hanifiyah al-samhah serta sebuah ideologi yang bersifat open ended, diasumsikan
sebagai pancasila, dipandang akan mampu membangun peradaban Indonesia yang
mengedepankan kepada nilai-nilai kemanusiaan. 15
Jika merujuk pendapat Johan Hedrik Meuleman mengenai penyebab kelemahan
tradisi ilmiah di kalangan Muslim, maka didapat antitesa yang serta merta menjadi
solusi dari ketertinggalan umat Islam dalam mewujudkan peradaban yang maju dan
modern, yaitu dari tektualis menuju kontekstualis, sikap apologetik terhadap aliran
menjadi kritis; ekskulisivisme menjadi inklusivisme.
Dalam pertemuan Wakil Rektor PTKIN pada 19 Juli 2017 di Banjarmasin
dikemukakan gagasan mengenai perlunya Standar Keagamaan di PTKIN. Dalam
masalah sikap, lulusan PTKI harus memiliki sikap dan karakter keIslaman yang
toleran, inklusif, moderat, dan berakhlak mulia. Memiliki kemampuan baca tulis alQuran, serta keterampilan dalam beribadah dan muamalah.16 Melalui standar
keagamaan ini, sikap teologi inklusif secara jelas ditegaskan sebagai syarat
keberhasilan integrasi agama dengan sains yang digagas PTKIN sebagai salah satu
usaha besar dalam membangun peradaban Indonesia yang tidak hanya maju dan
modern, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai kultural dan religius.
2. Mempertanyakan Keabsahan Klasifikasi Sikap Keberagamaan.
Walaupun memiliki konsep teologis yang sifatnya eksklusif, setiap agama pada
dasarnya mengajarkan toleransi. Dengan toleransi ini, pergesekan intra dan antar umat
beragama dapat diredam. Selain itu, visi yang diusung agama adalah visi yang humanis.
Visi
yang memberikan
acuan
dalam
mewujudkan
kedamaian
juga
sekaligus
menggerakkan pemeluknya untuk mengaktualisasikan diri menggapai kemajuan dalam
kehidupan.
Islam, melalui al-Qur‟an dan al-Hadist sangat jelas menentang sikap-sikap
destruktif yang menghalangi kemajuan umatnya. Islam memang eksklusif dalam hal
teologi dan metafisika, tetapi inklusif dalam moral dan etika. Sehingga banyak ditemukan
dalam literature Islam, seruan-seruan untuk mengapresiasi keberagaman sekaligus juga
15
Budhy Munawar-Rahman, Titik Temu Agama -Agama; Analisis Islam Inklusif Nurcholish Madjid ,
Sinopsis Disertasi, tidak diterbitkan, (Jakarta: STF Driyarkarya, 2014), hlm. 16.
16
http://diktis.kemenag.go.id/NEW/index.php?berita=detil&jenis=news&jd=847#.WYLOILYxXIU. Diakses tanggal 0308-2017
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
memaknai alam melalui sains dan teknologi sebagai wahana untuk menemukan kebesaran
Tuhan yang memberi nilai tambah signifikan pada keyakinan. karena itu tidaklah tepat jika
eksklusivisme teologis serta merta menimbulkan sikap radikal.
َ ‫عىُِ خ َۡى ٗفا َو‬
ٍَ‫ية ِ ّيٍَ ۡٱن ًُ ۡح ِسُِي‬
ٞ ‫ٱَّلل قَ ِز‬
َ ًَ ‫ط ًَعً ۚا ِإ ٌَّ َر ۡح‬
ُ ‫ض تَعۡ ذَ إِصۡ َٰهَ ِح َها َو ۡٱد‬
ِ َّ ‫ث‬
ِ ‫َو َل ج ُ ۡف ِسذُواْ فِي ۡٱۡل َ ۡر‬
٦٦
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik (al-A‟raf: 56)
Akan tetapi, terlanjur banyak stigma negative yang melekat pada kelompok yang
berpandangan bahwa agamanya sajalah yang benar dan menentukan jalan keselamatan,
mulai dari fundamentalis, jumud, intoleran, hingga radikal. Dengan dalih menghindari
sikap eksklusif yang bisa berujung pada radikalisme atas nama agama, kaum muslim
dipaksa merekonstruksi kembali keyakinannya.
Nurcholis Madjid misalnya, menyatakan bahwa hanya Allah yang mutlak, dan
selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi
belaka. Jadi, absolutisme, lebih-lebih lagi, seharusnya tidak terjadi di kalangan kaum
Muslim.17 Senada dengan Cak Nur, Amin Abdullah juga mengungkapkan pentingnya
religious criticism jika manusia mengakui tidak ada lembaga keagamaan, teologi atau
kepercayaan yang tidak bisa salah. Menurutnya, teologi agama yang eksklusif itu
kebenarannya bersifat relative karena bersumber dari penafsiran manusia yang juga relative.
Di samping itu pula, perumusan teologi sangat berkaitan dengan waktu dan situasi sosial.
Itulah yang melatarbelakangi munculnya teologi mu‟tazilah, Asy‟ariyah, Karl Barth, Paul
Tilich Martin Buber dan lainnya. Meski bersumber dari kitab suci, teologi tetap merupakan
karya manusia yang bisa salah.18
Dalam aspek lain, kekacauan definisi antara pluralitas dan pluralisme menjadi
landasan untuk memuluskan rekonstruksi institusi keagamaan. Dengan menyebutkan
pluralitas agama sebagai sunnatullah, ditetapkanlah pluralisme sebagai respon yang tepat
17
Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm xi
18
M. Amin Abdullah. Studi Agama… Hlm. 48
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
untuk menyikapi sunnatullah tersebut. Padahal, pluralitas dan pluralisme jauh berbeda. Jika
pluralitas adalah keberagaman agama-agama, maka pluralisme adalah penyeragaman
agama-agama. Secara logika, pluralisme ini mutlak tertolak. Bagaimana mungkin suatu
konsep ketuhanan tauhid disamakan dengan konsep trinitas dan konsep politeisme lain
hanya dengan mengemukakan bahwa intisari beragama adalah mengamalkan pesan Tuhan,
yaitu takwa dalam artian menyadari keberadaan Tuhan. Pemahaman pluralism seperti inilah
yang menyebabkan relativisme agama. Berangkat dari relativisme agama, setiap orang
merasa berhak memaknai sendiri ayat-ayat Al-Qur‟an maupun hadist-hadist nabi walaupun
tidak memiliki kapabilitas seperti yang disyaratkan ulama-ulama klasik.
Hanya Allah yang absolut dan manusia itu relative memang berlaku dalam domain
ontologis. Namun jika diartikan secara epistemologis, dapat menimbulkan kerancuan
pemahaman. Kebenaran wahyu Allah yang absolut itu difahami oleh Nabi Muhammad yang
kemudian disampaikan kepada kaum muslimin, terus menerus dari ulama ke ulama, dengan
sistem isnad yang dapat dipertanggungjawabkan, hingga kepada kita sekarang ini. Melalui
risalah dan sistem isnad itulah, kaum muslim sekarang bisa memahami keabsolutan wahyu
Allah. Menggeneralisasi kerelativan hasil pemikiran manusia sampai ke ranah teologis
sama saja menafikan peran Nabi sebagai utusan Tuhan.
ُّ ‫ث َو‬
١١ ٌَ‫اس َيا َُ ِ ّز َل ِإنَ ۡي ِه ۡى َو َن َعهَّ ُه ۡى يَح َ َف َّك ُزو‬
ِ َُ َٰ ّ‫ِت ۡٱنثَ ِي‬
ِ َُّ‫ٱنزت ِۗ ُِز َوأََزَ ۡنَُا ٓ ِإنَ ۡي َك ٱنذّ ِۡك َز ِنح ُ َث ِيٍَّ ِنه‬
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan. (An-Nahl: 44)
3. Memperlakukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Dan Basis Integrasi
Pokok dari modernisme Islam yang gencar dikampanyekan dalam beberapa
dasawarsa ini adalah menawarkan cara baru dalam menginterpretasikan Al-Qur‟an dan alHadist sebagai sumber utama ilmu dengan metode ilmu-ilmu sosial modern yang sedang
berkembang dan menyelaraskannya dengan realitas kontekstual yang sedang dihadapi.
Selama ini, pedoman terhadap penafsiran-penafsiran ulama klasik yang tertutup dan bersifat
naqliyah dianggap cenderung menimbulkan sikap eksklusivisme dan menghambat
kemajuan pemikiran sekaligus peradaban Islam.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Dalam menyikapi Al-Qur‟an sebagai sumber segala ilmu, Amin Abdullah
menekankan pentingnya pendekatan hermeneutika untuk menafsirkan ayat-ayatnya sebagai
solusi atas kebuntuan ilmu tafsir klasik dalam menyikapi tantangan zaman dan modernitas.
Menurutnya, tafsir-tafsir klasik Al-Qur‟an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas
dalam kehidupan umat Islam.19
Sebelum Amin Abdullah, Hassan Hanafi dengan ide at-turats wa at-tajdid (tradisi
dan pembaruan) menyuarakan tiga agenda yakni, pertama penekanan terhadap cara pandang
atau sikap terhadap tradisi lama, kedua menyikapi tradisi Barat, dan ketiga adalah
menyikapi realitas (teori interpretasi). Di samping itu Hanafi juga menawarkan
Hermenutika Al-Qur‟an yang bercorak sosial dan eksistensial, yang menurutnya dapat
dijadikan sebagai solusi atas masalah umat Islam dewasa ini yang berada dalam
cengkeraman hegemoni dogmatisme, ketertindasan, dan keterbelakangan. 20
Istilah hermeneutika dalam pengertiannya hampir sama dengan istilah tafsir atau
ta‟wil. yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kasyf), sedangkan
hermeneutika memiliki pengertian interpretasi. Unsur pokok dalam hermeneutika (text,
author dan audience) dipandang tidak banyak berbeda dengan konsep tafsir.
Fahruddin Faiz membagi hermeneutika menjadi dua jenis. Yang pertama adalah
hermeneutical theory yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman
yang diinginkan pengarang (Author), dan hermeneutical philosophy yang lebih mencermati
dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. Jika hermeneutical theory hanya berkutat
pada studi mengenai bagaimana memperoleh makna yang tepat dari teks atau sesuatu yang
dipandang sebagai teks, hermeneutical philosophy lebih jauh lagi dengan menggali asumsiasumsi epistemologis dari penafsiran dengan masuk ke dalam aspek historisitas tidak hanya
dalam dunia teks akan tetapi juga dunia pengarang dan juga dunia pembacanya.21
Jelas dapat dipahami bahwa melalui metode hermeneutik, penafsiran al-Qur‟an
disesuaikan dengan keadaan zaman (kontekstual), sehingga hasil penafsiran tersebut dapat
berubah-ubah. Hasil penafsiran pun sangat diwarnai unsur relativitas karena merupakan
19
Adian Husaini. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Gema Insani. 2006) Hlm
137.
20
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta:
Teraju, 2002), hlm 8-9.
21
Fahruddin Faiz. Teks, Konteks, Kontekstualisasi (Hermeneutika Modern dalam Ilmu Tafsir Al-Qur„an Kontemporer)
dalam M. Amin Abdullah, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: Panitia Dies Natalis IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta ke-50 dan Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 43.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
usaha untuk menginterpretasi keinginan author. Dalam usaha interpretasi itu, para
pendukung hermeneutik mengungkapkan kemungkinan interpreter bisa lebih dalam
menggali makna dari author itu sendiri. Hal terpenting dalam penafsiran hermeneutic,
syarat-syarat penafsir seperti yang umum diketahui dalam tafsir al-Qur‟an; menguasai asSunnah, ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu I‟rab (gramatika), ilmu Balaghah, ilmu sejarah dan
lain sebagainya, tidak diberlakukan.
Wacana hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir ini kemudian membentuk
polarisasi diametral antara kalangan modernis-rasionalis-inklusif yang menerima dan
menggunakan hermeneutik sebagai pendekatan dalam pengkajian terhadap teks literal Islam
(al-Qur„an dan Hadits) yang secara spesifik ditunjukkan oleh Stefan Wild seperti Nasr
Hamid Abu Zayd setelah edisi Amin al-Khuli, Khalafallah dan Bint Syati„ dengan kalangan
muslim konservatif-fundamental-eksklusif yang diwakili oleh ulama-ulama tradisionalpuritan yang masih memegang dengan sangat erat sekali sakralitas khazanah-khazanah
normative.22
Penggunaan hermeneutika dalam memahami makna Al-Qur‟an menumbuhkan
keragu-raguan atas kesucian teks al-Qur‟an tersebut. Desakralisasi ini Nampak pada
pendapat yang dikemukakan Sumanto al-Qurthuby bahwa kesucian yang dilekatkan pada
al-Qur‟an (juga kitab-kitab lain) adalah kesucian palsu. Tidak ada teks yang secara
ontologis itu suci. Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu setiap generasi
selalu muncul agen-agen sejarah yang merestorasi sebuah teks, seperti Musa, Jesus,
Muhammad, Sidharta, Konfusius, Martin Luther dan lainnya. Karena itu, generasi pasca
mereka juga mesti melakukan restorasi. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks
sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah usang.23
Sayangnya, sikap kritis para pengusung tafsir hermeneutik terhadap ulama tafsir
klasik tidak diimbangi dengan sikap kritis serupa terhadap paham-paham yang bersumber
dari barat. Akhirnya seperti yang jamak terjadi, para pengusung metode hermeneutika untuk
menafsirkan al-Qur‟an lebih banyak terjebak dalam relativisme tafsir, relativisme
kebenaran, dekonstruksi wahyu al-Qur‟an yang bermuara pada pluralisme agama.
4. Pengaruh Sikap Beragama Dalam Bangunan Konsep Integrasi
22
Muhammad Muchlis Huda. Fisibilitas Hermeneutik dalam Penafsiran Al-Qur‟an. (Jurnal Dialogia Vol. 12 No. 1 Juni
2014) Hlm. 70
23
Sumanto al-Qurthuby. Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Ilham Institute Rumah Kata, 2005) Hlm 67
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
a. Pengaruh Eksklusivisme Teologis dalam Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas
Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa
bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta
kehendak diri. 24
Berbeda
dengan
Barat
yang
membangun
epistemologi
keilmuannya
berdasarkan sikap ragu-ragu (skeptisisme) untuk menemukan kebenaran, al-Attas
menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, realitas dan kebenaran bukan hanya
tentang alam fisik yang berdasarkan rasional-empiris, tetapi juga tentang alam
transenden yang metafisik. Sumber dari pandangan hidup Islam adalah wahyu Tuhan
yang didukung oleh akal dan intuisi yang berasal dari kebersihan hati. Karena sistem
teologi yang dibawa dan dijelaskan oleh Nabi melalui proses isnad yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah itulah, kebenaran penafsiran dari wahyu dapat
pula diterima secara ilmiah. Atas dasar inilah, al-attas merumuskan gagasannya tentang
Islamisasi ilmu pengetahuan yang untuk pertamakalinya dipaparkannya dalam
konferensi di Mekkah.
Identifikasinya yang meyakinkan dan sistematis mengenai krisis epistemologi
umat Islam sekaligus formulasi jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan
masa kini yang secara filosofis berkaitan, benar-benar merupakan prestasi inovatif
dalam pemikiran Islam modern. Formulasi awal dan sistematis ini merupakan bagian
integral dan konsepsinya mengenai pendidikan dan universitas Islam serta kandungan
dan metode umumnya. Karena kebaruan ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas
kerjanya di Makkah, tema-tema gagasan ini diulas kembali dan dijelaskan panjang
lebar pada Konferensi Dunia yang kedua mengenai Pendidikan Umat Islam pada 1980
di Islamabad.25
Islamisasi ilmu pengetahuan ini diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu
Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang
bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan
bahasa, juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan
24
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, P(ulau Pinang : Penerbit
Universiti Sains Malysia, 2007) hlm. 13
25
Syed M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Muslim Youth Movement of Malaysia, Kualalumpur,
1980), hlm. 155-156
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya
cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil
terhadapnya.26
Dalam Islam and Secularism, Al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan: Pertama,
pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan
peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-ilmu
humaniora. Meskipun demikian, dia menambahkan, ilmu-ilmu alam atau fisika dan
ilmu-ilmu terapan harus juga diIslamkan, khususnya dalam lingkup interpretasi fakta
dan formulasi teori. Kedua, pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci
ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Kedua tugas yang
sangat menantang ini mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai bentuk,
jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan, dan peradaban, juga mengenai
kebudayaan dan peradaban Barat. Selanjutnya, Al-Attas juga memerincikan dan
menjelaskan beberapa konsep dasar Islam yang harus dimasukkan ke dalam tubuh ilmu
apa pun yang dipelajari umat Islam, seperti konsep din, manusia (insan), ilmu ('ilm dan
ma‟rifah), keadilan (`adl), amal yang benar (`amal sebagai adab), dan semua istilah
dan konsep yang berhubungan dengan itu semua.27
b. Pengaruh Inklusivisme; dari Normative-Historis ke Interkoneksi Amin
Abdullah
Berangkat dari fakta bahwa dunia Islam dewasa ini cenderung membuat
dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, maka Amin Abdullah merasa perlu
merekonstruksi fakta ini dan membuat sebuah restorasi paradigma keilmuan.
Pemahaman dikotomi yang rigid ini membuat polarisasi yang dikotomis antara ilmu
syariah dan ilmu ghairu syariah Pemahaman ilmu ghairu syariah tidak penting untuk
dipelajari karena tidak ada implikasi langsung terhadap kehidupan akhirat. Pandangan
ini merupakan hal yang bisa menghambat kemajuan kajian keislaman.
26
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003)
Hlm. 341
27
Ibid. Hlm. 337.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Realitas di atas tidak terlepas dari persoalan pemahaman terhadap keislaman
selama ini dipahami sebagai dogma yang baku. Hal ini karena pada umumnya
normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini
berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang
tekstualis dan skripturalis. Sedangkan melalui historisitas, pendekatan sosial
keagamaan yang digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis, dan
lain sebagainya, dianggap mereduksi makna agama. Kedua pendekatan ini; normative
dan historis, dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara
menyeluruh.
Amin Abdullah juga menyoroti tradisi keilmuan klasik yang menurutnya tidak
mampu mengurai masalah-masalah kontekstual umat dewasa ini seperti kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan. Karena itu menurutnya, para teolog dan pemikir Islam
perlu mengkonstruksi ulang konsep tafsir, pemaknaan hadist dan pemikiran-pemikiran
keIslaman. Dalam masalah penafsiran, al-Qur‟an sebagai sumber segala ilmu tidak
dapat direpresentasikan melalui tafsir-tafsir yang leksikografis yang tergambar dalam
empat metode tafsir klasik (tahlili, ijmali, maudhu‟i, dan muqarin) tanpa
memperdulikan realitas konteks sosial, politik dan budaya ketika ayat tersebut turun.
Meskipun ilmu al-Qur‟an ada membahas tentang asbab nuzul, namun eksplorasi akan
hal tersebut dirasa masih kurang. Di samping itu pula, pemaknaan terhadap hadist
setelah pembukuannya dirasakan terlalu kaku dan beku tanpa bisa menyentuh kondisi
kontekstual. Untuk mengatasi permasalahan ini, metode hermeneutik dapat menjadi
solusi alternative.
Dalam ruang lingkup khazanah pemikiran keislaman seperti ilmu kalam, fiqh,
dan tasawuf harus dibebaskan dari tradisi taklid karena membatasi kemampuan berpikir
manusia. Bagaimanapun, ilmu-ilmu tersebut tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan
sosiologis para penggiatnya. Karena itulah karakteristik ilmu kalam menjadi keras,
defensive sekaligus ofensif serta apologis. Ilmu fiqh menjadi ketat dan baku antara
hitam putih. Sedangkan ilmu tasawuf sibuk memberikan penekanan pada aspek
kedalaman spiritual. Mazhab-mazhab dalam kluster ilmu tersebut rawan menimbulkan
pergesekan sehingga abai terhadap arus perkembangan zaman.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Dalam menyikapi kondisi itulah, paradigma interkoneksitas yang disuarakan
Amin Abdullah memberikan argumen bahwa dalam pemahaman menghadapi
kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani
manusia, setiap ilmu tidak bisa berdiri sendiri. Karena sikap itulah yang menyebabkan
keterkungkungan dalam kesombongan yang dikenal dengan istilah egoisme sempit
keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan,
saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu
manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan
persoalan yang dihadapinya.
Dalam paradigma integrasi-interkoneksi, tiga peradaban dipertemukan, yaitu
hadarah al-nas (budaya teks), hadarah al-ilm (budaya ilmu) dan hadarah al-falsafah
(budaya filsafat) sehingga dialog antar dimensi selalu terbuka. Hadarah al-ilm (budaya
ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait
dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah alfalsafah (budaya filsafat) sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu
juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang
jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam hadarah al-nas
(budaya teks) dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan
dihadapi oleh hadarah al-ilm (budaya ilmu).28
C. Penutup
Dampak-dampak negative yang dihasilkan dikotomi ilmu agama dengan sains sampai
kepada tahap yang mengkhawatirkan. Agama tanpa sains menyebabkan manusia terpuruk dalam
keterbelakangan, sedangkan sains tanpa agama menyebabkan manusia kering dari nilai-nilai
kebaikan. Integrasi yang berlandaskan tauhid; bahwa segala ilmu bersumber dari Tuhan,
merupakan solusi yang dipandang mampu untuk menyisihkan aspek-aspek negative dari kedua
belah pihak dan mengumpulkan aspek-aspek positifnya.
28
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, Cet II). Hlm. 402-403.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Tauhid sebagai basis integrasi bukan hanya membahas upaya-upaya mengesakan Tuhan,
tetap juga mendasari perubahan-perubahan besar untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia. Akan tetapi, perbedaan sikap dalam bertauhid dan berteologi muncul sebagai masalah
yang menghambat integrasi itu sendiri.
Terdapat tiga sikap yang berada dalam dua arus bipolar dalam berteologi; eksklusivisme dan
inklusivisme. Menurut penganut paham eksklusif, inklusivisme dan pluralisme dalam berteologi
dapat menghancurkan tatanan organized religion yang menjurus pada desakralisasi agama.
Sedangkan menurut penganut paham inklusif, eksklusivisme selain kental dengan truth claim
yang rentan menimbulkan pergesekan intra dan antar umat beragama, juga menimbulkan
kejumudan berpikir yang merintangi kemajuan peradaban manusia.
Perbedaan diametral antar sikap teologis ini perlu ditelaah dan dicermati lebih dalam agar
hubungan harmonis par excellence antara nilai-nilai ilahiyah dan kemodernan yang dimotori
sains dan teknologi dapat diwujudkan dalam iklim yang seimbang.
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Daftar Pustaka
Buku
Abbot, Walter M. (gen.ed.) The document of Vatican II, (American Press, 1966) terjemah dari
Dr. Riberu. Tonggak Sejarah Pedoman Arah; Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta,
Dokpen MAWI 1983
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet II
______________ Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1999
al-Attas, Syed Muhammad Naquib The Concept of Education in Islam. Muslim Youth
Movement of Malaysia, Kualalumpur, 1980
______________ Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang : Penerbit
Universiti Sains Malysia, 2007
al-Qurthuby, Sumanto. Lubang Hitam Agama. Yogyakarta: Ilham Institute Rumah Kata, 2005
Azra, Azyumardi. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan, 2000, cet. I
_____________ Jaringan Ulama Indonesia –Timur Tengah pada Abad 17-18: Melacak akarakar pembaharuan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994
_____________ Konteks Betreologi di Indonesia. Jakarta: Paramadina 1999
Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam, Bandung : Pustaka Hidayah, 1996.
Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta. Lkis. 2011
Faiz, Fahruddin. Teks, Konteks, Kontekstualisasi (Hermeneutika Modern dalam Ilmu Tafsir AlQur„an Kontemporer) dalam M. Amin Abdullah, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era
Multikultural. Yogyakarta: Panitia Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke-50
dan Kurnia Kalam Semesta, 2002
Grose, George B. dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog.
Bandung; Mizan, 1998
Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: Al-Husana Zikra, 1995
Huda, Muhammad Muchlis. Fisibilitas Hermeneutik dalam Penafsiran Al-Qur‟an. Jurnal
Dialogia Vol. 12 No. 1 Juni 2014
Husaini, Adian. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi. Jakarta:
Gema Insani. 2006
International Conference “Islamic University: Distinctions and Contributions” held by UIN Antasari Banjarmasin
August 9-11, 2017 at Hotel Aria Barito
Liddle, R. William. Skripturalisme Media Dakwah, Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam di Indonesia Masa Orde Baru, dalam Mark Woodward (ed) Jalan Baru Islam,
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan,1999
Madjid, Nurcholish. Doktrin dan Peradaban: Sebauah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Peacock, Arthur. Paths From Science Towards God New York: One world Publications, 2001
Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai-Pustaka, 1996
Rahman, Budhy Munawar. Titik Temu Agama-Agama;
Nurcholish Madjid. Jakarta: STF Driyarkarya, 2014
Analisis
Islam
Inklusif
_______________ Islam Pluralis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Alquran Menurut Hassan
Hanafi. Jakarta: Teraju, 2002
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas. 2001.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas.
Bandung: Mizan, 2003
Internet
http://diktis.kemenag.go.id/NEW/index.php?berita=detil&jenis=news&jd=847#.WYLOILYxXI
U. Diakses tanggal 03-08-2017
Download