kajian pemanfaatan bantuan perkuatan oleh usaha

advertisement
KAJIAN PEMANFAATAN
BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,
KECIL DAN MENENGAH
(UMKM)
DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN SUMBERDAYA UKMK
KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM
JAKARTA
2006
KAJIAN PEMANFAATAN
BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,
KECIL DAN MENENGAH
(UMKM)
Tim Pengkajian
Narasumber ;
Ir. Wayan Suarja. AR. MBA
Drs. Neddy Rafinaldy
Tim Penulis
Ir. Teuku Syarif, MS
Ir. Yoseva, MM
Pelaksana
Ir. Yoseva, MM (koordinator)
Ir. Jannes Situmorang
Drs. Pardiwibowo, MS
Adriana Laykota
Agus Salim, SE
Hartutik, SE
KATA PENGANTAR
Perwakilan Bank Dunia (world Bank) untuk Indonesia tanggal 7 Desember 2006
yang lalu mengungkapkan data tentang kemiskinan di Indonesia dengan standar Bank
dunia US $ 2 /man/day. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan sekarang ini terdapat
sebanyak seratus juta orang Indonesia, atau lebih kurang 40 % dari rakyat Indonesia
tergolong miskin dan sangat miskin (BPS per Oktober 2006 mengatakan 17,5 %). Yang
jelas kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah klasik yang
setelah lebih dari 60 tahun merdeka belum dapat diatasi oleh berbagai rezim yang
berkuasa.
Untuk
mengatasi
masalah
kemiskinan
dan
pengangguran
pemerintah
mengeluarkan Perpres nomor 007 tahun 2005 tentang Rancangan Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM tahun 2005 s/d 2009) yang memprioritaskan pemberdayaan
UMKM dan koperasi melalui program perkuatan. Program perkuatan dilaksanakan oleh
berbagai instasi secara sektoral maupun terkoordinasi. Salah satu instansi yang
mendapat tugas untuk melaksanakan program tersebut adalah Kementerian Negara
Koperasi dan UKM. Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara
Koperasi dan UKM terdiri dari berbagai ragam jenis yang sebenarnya sudah
dilaksanakan sejak tahun 2000 yang lalu. Yang menjadi permasalahan adalah sampai
sekarang ini belum diketahui dengan jelas seberapa jauh dan seberapa besar
pemanfaatan program tersebut baik bagi UMKM, maupun bagi koperasi dan
pembangunan daerah.
Berbagai evaluasi dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pemanfatan
dari program tersebut, tetapi karena tolok ukur dari evaluasi dan kajian tersebut belum
menyinggung permasalahan yang hakiki dari tujuan program, maka hasilnya juga belum
mampu menjawab permasalahan yang dihadapi, dan pemerintah masih terus
mengeluarkan berbagai program baru, sedangkan program yang lama belum diketahui
tingkat keberhasilannya.
ii
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program-program perkuatan yang telah
dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM tersebut, maka kajian ini
dilaksanakan.
Oleh karena disatu sisi sumberdaya yang tersedia untuk kajian ini sangat
terbatas dan disisi yang lain berbagai jenis program yang sudah pernah dilaksanakan
belum diketahui keberadaannya, maka kajian ini dibatasi pada dua jenis program yang
baru dilaksanakan yaitu Program perkuatan KSP/USP, dan Program perkuatan
sektoral.
Hasil kajian ini memang relatif belum sepenuhnya mampu menjawab semua
permasalahan yang dihadapi, tetapi dengan mengandalkan tolok ukur yang lebih
mendekati kebenaran, sasaran program (mengurangi kemiskinan dan pengangguran),
sistematika dan dan model analisis yang sesuai, maka diharapkan hasil kajian ini dapat
menjadi masukan awal yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan.
Akhir kata, Tim pengkajian mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Bapak Asisten Deputi Urusan Penelitian
UKM, Bapak Pejabat Pembuat Perikatan/Kontrak, yang telah memberikan kepercayaan
kepada Tim untuk melaksanakan kajian ini. Terimakasih juga di ucapkan kepada semua
pihak baik di tingkat pusat maupun di daerah yang telah memberikan bantuannya.
Jakarta, akhir Desember 2006
Tim Pengkajian
iii
DAFTAR ISI
....................................................................................
Halaman
ii
............................................................................................
iv
Daftar Tabel ............................................................................................
viii
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Bagan
.........................................................................................
Daftar Lampiran
...................................................................................
ix
x
BAB . I. PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1.
Latar Belakang
.......................................................................
1
1.2.
Permasalahan
.......................................................................
5
1.3.
Tujuan Pengkajian ......................................................................
9
1.4.
Manfaat Pengkajian ......................................................................
10
1.5.
Output Kajian
10
.......................................................................
BAB II. TINJAUN PUSTAKA
............................................................
2.1.
Konsepsi Pembangunan Berkeadilan
......................................
2.2.
Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin .....................................
2.3.
Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan ..........................
2.4.
Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM
............................
BAB III.KERANGKA PEMIKIRAN ...........................................................
3.1.
Kerangka Dasar Penelitian ...............................................................
3.2.
Kerangka Operasional
..............................................................
11
11
17
21
24
31
31
37
BAB IV. RUANG LIPKUP DAN METODA PENELITIAN ......................
42
4.1.
Ruang Lingkup Substansi Pengkajian ...................................
42
4.2.
Lokasi kajian dan Penetapan Sampel ...................................
42
4.3.
Asumsi-Asumsi
………………………………..………………….
43
4.4.
Hipótesis
………………………………………..………………….
43
iv
4.5.
4.6.
Metoda Penelitian …..………………………..………………….
43
4.5.1. Data …………………………………………………………
43
4.5.2. Metode Penarikan sampel
44
Metodel Analisis
44
………………………………………..………….
4.6.1. Model-model Analisis Deskriptif
46
BAB V.HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS ……………….……....
5.1.
Deskripsi Hasil Pengamatan Lapang
…………………….…….
5.1.1. Profil Perkuatan di Kabupaten Contoh
……………
5.1.2. Dampak Program Perkuatan terhadap Kondisi dan Kinerja
Bisnis UMKM …………………………………………………
5.1.3. Dampak Program Perkuatan Terhadap Perekonomian
Daerah ...........................................................................
5.1.4. Dampak Program Perkuatan Terhadap Pengembangan
Koperasi .........................................................................
5.2.
Kondisi dan Tingkat Pengaruh dari Faktor-faktor Penentu ........
5.2.1 Kondisi Awal UMKM
……..………………………………..
5.2.2 Pendekatan dan Pola Pelaksanaan Program Perkuatan
5.2.3 Kebutuhan Modal bagi UKM
.....................................
5.2.4 Lembaga yang Berperan Dalam Pelaksanaan Program
5.2.5 Pengaturan Pelaksanaan Program
..........................
5.2.6 Pemanfaatan Bantuan Perkuatan oleh UMKM ...............
5.2.7 Sistem Pendukung Usaha UMKM ………………………….
5.2.8 Bantuan Perkuatan dari pihak lain
5.2.9 Keperluan Modal Bagi UKM
BAB VI. ALISIS EVALUATIF
..........................
………………………….
………………………………………….
6.1. Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Strategis ……………………….....
6.1.1. Faktor-faktor yang berpengaruh Terhadap Omset Usaha
UMKM ..............................................................................
6.1.2. Analisis Faktor Laba UMKM
………………………….
v
51
51
51
54
58
61
64
64
66
71
72
74
75
78
81
82
84
84
84
86
6.1.3. Pengaruh Tetap (independent variable) Terhadap
88
Penyerapan Tenaga Kerja ………………………………….
6.2. Analisis Hubungan Antar Faktor
…………………………………..
6.2.1. Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba
………….
6.2.2. Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga
90
90
92
Kerja Oleh UMKM ……………………………………………
BAB VII.PEMBAHASAN HASIL ANALISIS
…………………………..
7.1. Omset usaha UMKM …………………………………………………..
94
7.1.1. Ketersediaan Bahan Baku …………………………………..
94
7.1.2. Prosedur Pinjaman …………………………………………..
94
7.1.3. Jumlah Pinjaman
96
…………………...................................
7.1.4 Kebebasan Penggunaan Pinjaman
7.1.5 Jenis usaha Peminjam
……………………
97
………………………….............
98
7.1.6 Pinjaman dari Pihak ke Tiga ……………………………….
99
7.1.7 Peubah-peubah yang tidak berpengaruh terhadap
100
peningkatan omzet UMKM ………………………………….
7.2.
7.3
Laba UMKM ………………………………………………………….
101
7.2.1. Manajemen Usaha ………………………………………….
102
7.2.2. Prosedur pinjaman ………………………………………….
102
7.2.3. Jumlah Pinjaman
………………………………………….
102
7.2.4 Kebebasan Penggunaan Pinjaman…………………………
102
7.2.5. Jenis Usaha Yang dilaksanakan UMKM ………………….
103
7.2.6. Pinjaman dari pihak ke tiga
………………………….
103
7.2.7. Pengaruh Peubah lainnya ………………………………….
103
Penyerapan Tenaga Kerja Oleh UMKM ………………………….
105
7.3.1 Pemilikan asset
105
………………………………………….
7.3.2 Jenis Kelamin peminjam
7.3.3 Jumlah Pinjaman
………………………………….
106
………………………………………….
106
7.3.4 Kebebasan penggunaan pinjaman
………………….
106
7.3.5 Jenis Usaha UMKM ………………………………………….
107
vi
7.4.
7.3.6 Peubah yang tidak berpengaruh nyata
……………….....
108
Hubungan Antar Faktor Keberhasilan UMKM
……………….....
109
7.4.1 Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba
………….
109
7.4.2 Hubungan Omset Usaha Dan Penyerapan Tenaga Kerja
111
Oleh UMKM ………………………………………………….
7.5.
Hubungan Omzet Usaha dan Penyerapan Tenaga Verja Oleh
112
UMKM …………………………………………………………
7.5.1 Omset Usaha UMKM secara langsung dan nyata positif
mempengaruhi kemampuan penyerapan tenaga verja oleh
112
114
UMKM ………………………………………
7.5.2 Pengaruh faktor-faktor lanilla ………………………………
114
BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN…………
116
8.1.
Kesimpulan ………………………………………………………….
116
8.2.
Saran Tindak
117
………………………………………………….
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1:
Profil Bantuan perkuatan UMKM menurut Jenisnya pada lima
51
Propinsi Contoh ...................................................................
Tabel 2 :
Realisasi Bantuan perkuatan Bagi UMKM Di Lima Propinsi
53
Contoh .................................................................................
Tabel 3 :
Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan ) Dari
54
aspek Aset dan Permodalan .................................................
Tabel 4 :
Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan) Dari
55
Aspek Volume Usaha dan Laba ………………………………
Tabel 5 :
Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan )............
57
Tabel 6 :
Jumlah Tenaga Kerja dan Kinerja UKM Berbantuan (yang
59
menerima bantuan ) …………………………………………….
Tabel 7 :
Pertumbuhan Sumbangan UMKM terhadap Total
60
Pendapatan Kotor Daerah (Regional Domestic Bruto) serta
Jumlah dan Kinerja Koperasi Penyalur ..................................
Tabel 8 :
Dampak Program Perkuatan terhadap Kinerja Koperasi......
61
Tabel 9 :
Dampak Pelaksanaan Program Perkuatan terhadap ?.........
63
Tabel 10:
Kondisi Awal UMKM...............................................................
65
Tabel 11 : Persyaratan Mendapatkan pinjaman......................................
67
Tabel 12 : Pihak - pihak yang terlibat dalam proses perkreditan.............
69
Tabel 13 : Kebutuhan Modal bagi UKM....................................................
70
Tabel 14:
72
Keragaan Peminjam dari Aspek Pemilikan Aset dan
Permodalan.............................................................................
Tabel 15:
Pihak pihak yang terlibat dalam proses perkreditan...............
73
Tabel 16 :
Pengaturan Pelaksaaan Program...........................................
74
Tabel 17 :
Pemanfaatan Program Bantuan perkuatan...........................
75
Tabel 18 :
Tingkat Kesulitan dalam Proses Pemanfaatan Program
76
Perkuatan..............................................................................
Tabel 19 :
Bantuan Perkuatan yang diterima UMKM.............................
81
Tabel 20 :
Dana Yang diperlukan untuk memberdayakan UMKM ........
82
Dan Pembukaan Lapangan Kerja bagi Pencari Kerja
viii
Tabel 21 :
Analisis pengaruh peubah tetap (Independent Variable)
84
Terhadap Omset usaha UMKM (Y1).......................................
Tabel 22 :
Analisis Pengaruh Peubah Tetap (Independent Variable)
86
Terhadap laba UMKM (Y2).....................................................
Tabel 23 :
Analisis Pengaruh Peubah tetap (Independent Variable)
89
Terhdap Penyerapan Tenaga Kerja (Y3)...............................
Tabel 24 :
Hubungan Antara Volume Usaha Dengan laba UMKM (Y4)..
91
Tabel 25 :
Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga
92
Kerja Oleh UMKM……………………………………………...
DAFTAR BAGAN
Bagan 1:
Kerangka Analisis Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan
Untuk UMKM
ix
38
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1 : Rata-rata Skor Ketersediaan Bahan Baku, Dan
120
Kemudahan Pemberian Pinjaman
Tabel Lampiran 2 : Rata-rata Skor Manjemen Usaha dan Kebebasan
120
Penggunaan Pinjaman
Tabel Lampiran 3 : Rata-rata Pinjaman Dari Pihak Ketiga Dan
121
Kemampuan Penyerapan Tenaga Kerja
Tabel Lampiran 4 : Rata-rata Margin Usaha UKM
121
Tabel Lampiran 5 : Rata-rata, Pengalaman Dan Kelamin Peminjam
122
x
BAB . I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 007 tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009, menetapkan prioritas
pembangunan diarahkan pada pengurangan angka kemiskinan dan penggaguran.
Target yang ingin dicapai adalah mengurangi angka kemiskinan dari 9,9 % tahun
2004 menjadi 5,1 % pada tahun 2009, serta mengurangi jumlah pengangguran dari
16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009. Untuk mencapai tujuan tersebut,
salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memberdayakan kelompok usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta meningkatkan peran serta koperasi dalam
proses pemberdayaan UMKM.
Sebagai derivasi dari kebijaksanaan yang dituangkan dalam Perpres nomor 07
tahun 2005 tersebut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengeluarkan
Rencana Tindak Jangka Menengah (RTJM) 2005 -2009, yang menetapkan kerangka
dasar pelaksanaan program pengembangan koperasi dan UMKM, dalam bentuk
pelaksanaan berbagai program perkuatan KUMKM. Program ini dirancang secara
komprehensif dari semua aspek usaha Koperasi dan UMKM (KUMKM), sejak dari
penyiapan SDM, sampai dengan pemasaran produk UMKM. Program perkuatan
KUMKM yang dirancang di tingkat pusat dan dilaksanakan disemua daerah ini,
diharapkan dapat menjadi stimulan bagi UMKM maupun pemangku kepentingan
(stake holder) lainnya untuk meningkatkan produktifitas UMKM.
Program perkuatan UMKM menggunakan berbagai sumber pendanaan antara
lain dari APBN, dari dana Surat Utang Pemerintah Nomor rekening 005 (SUP-005)
dan dari Program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM). Pihak-pihak
yang dilibatkan dalam program ini juga cukup banyak, baik instansi pemerintah, pihak
perbankan, Pemerintah Daerah (Pemda), maupun pihak pengusaha swasta besar.
Untuk mengawasi pelaksanaan program perkuatan, telah dirancang sistem
1
monitoring dan evaluasi, tetapi program tersebut hanya menggunakan tolok ukur
yang hanya terbatas untuk melihat keberhasilan penyaluran dana perkuatan,
sehingga kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut juga hanya melaporkan
keberhasilan penyaluran baku pinjaman yang disediakan.
Program perkuatan dari aspek konsepsi perkreditannya tetap merupakan
kredit murah (cheaps money credit), yang ditujukan untuk kelompok masyarakat
miskin, dengan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pendekatan sektoral. Di
samping itu juga unsur legalitas peminjam masih menjadi persyaratan utama program
ini. Jenis program perkreditan seperti ini memang secara umum telah dilaksanakan
diberbagai negara berkembang dengan tingkat keberhasilan yang relatif rendah.
Menurut Sondakh (1986) kredit mikro yang bersifat sektoral dengan subsidi bunga
bagi pengembangan tanaman jagung di Brazil merupakan puncak keberhasilan
program perkreditan seperti tersebut (program kredit mikro untuk orang miskin).
Pengembalian kredit tersebut mencapai 32,6 % dan kredit tersebut mampu
meningkatkan produksi sebesar 21,4 %. Sedangkan program sejenis ditempat
lainnya termasuk di Indonesia (KCK, KUK, KUT dan sebagainya), tidak pernah
diketahui kesudahannya, atau hilang begitu saja. Dari aspek politis kejadian seperti
itu memang bukan masalah, karena setiap rezim yang berkuasa di negara
berkembang pada umumnya memang berkeinginan untuk menunjukkan komitmennya dalam mengangkat harkat orang miskin. Kegagalan ini baru menjadi masalah
kalau dianalisis dari aspek ekonomi dan sosial.
Terkait dengan upaya pemerintah untuk menumbuh-kembangkan UMKM
melalui program perkuatan, perlu dikemukakan pendapat Muhammad Yunus (2006)
pendiri Grameen Bank di Bangladesh, tentang kemiskinan. Yunus berpendapat
bahwa ’Pengentasan kemiskinan haruslah merupakan suatu proses bertahap
yang berkelanjutan dalam menciptakan asset oleh masyarakat miskin sendiri.
Peran pemerintah hanyalah sebagai triger (pemicu) atau perangsang (stimulant), dan
bukan sebagai lembaga sosial. Lebih lanjut dikatakan ’Masyarakat miskin tahu apa
yang harus mereka lakukan, tapi para pembuat keputusan tidak mau percaya
2
kalau mereka mampu.’ ’Kemiskinan menutupi seseorang, sehingga membuat
mereka terlihat bodoh dan tidak punya inisiatif. Jika mereka dihargai maka
kerangka
kerja
yang
paling
sederhanapun
akan
mampu
memberikan
kesempatan dan memotivasi mereka untuk memperbaiki kehidupannya sendiri.
Setiap orang memiliki kemampuan terpendam’, yang disebutnya sebagai
kemampuan mempertahankan hidup. Kenyataan bahwa kaum miskin tetap hidup
membuktikan bahwa mereka memiliki kemampuan. Jadi para pengambil kebijakan
tidak perlu mengajari mereka bagaimana untuk bertahan hidup, sedangkan para
pengambil keputusan sendiri tidak banyak memahami kehidupan mereka.
Yang banyak terlihat dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara
berkembang menurut Stukey (1995), adalah bila pemerintah sering kali melupakan
potensi yang ada pada kelompok miskin tersebut. Sebagian besar program kredit
mikro dilaksanakan berdasarkan pendekatan sektoral dengan memasukkan unsur
subsidi bunga. Menurut Anwar (1992) konsepsi perkreditan yang demikian sepertinya
hanya merupakan obat penghilang rasa sakit (analgesic), yang tidak pernah
menghilangkan penyakitnya dan jika dipakai terlalu lama malah bisa menimbulkan
penyakit lain. Gopar. A.Helmawi (2006) malah mengatakan kebijakan kredit masal
bersubsidi merupakan moral Hazard (pengeroposan moral), yang cepat atau lambat
dapat berdampak negatif bagi para peminjamnya, maupun pemerintah yang
merancang dan melaksanakan program tersebut. Hal ini antara lain terlihat dari
banyaknya jumlah peminjam kredit KUT yang sekarang terjerat hutang dari program
yang juga dilaksanakan oleh Departemen Koperasi dan UMKM pada awal masa
reformasi beberapa tahun yang lalu.
Beberapa indikator kelemahan dan ketidak-berhasilan kredit mikro bersubsidi
juga pernah dikemukakan oleh Gonzales 1982 antara : a)
Penetapan tujuan
penggunaan ditingkat makro (Pusat) yang dilaksanakan di tingkat mikro (regional),
menyebabkan timbulnya bias dalam pendistribusian kredit. Akibatnya banyak alokasi
kredit yang jatuh pada perorangan, kelompok atau daerah yang tidak potensial.
Sebaliknya para peminjam perorangan, kelompok atau daerah yang berpotensi besar
3
untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak mendapatkannya ; b) Pagu kredit
yang ditetapkan secara agregat dalam jumlah tertentu menyebabkan terbatas
kesempatan bagi peminjam untuk menyesuaikan kebutuhan dengan jumlah kredit
yang diterima, sedangkan di tempat lain orang atau kelompok lain mungkin terjadi
kelebihan pinjaman, dan hal ini menyebabkan terjadinya pemborosan dalam
penggunaan pinjaman ; c) Subsidi bunga dapat mengundang kelompok yang bukan
menjadi target sasaran untuk ikut menikmati pinjaman tersebut dan ; d) Persyaratan
ketat yang ditetapkan dapat menjadi kendala bagi kelompok potensial yaitu
masyarakat miskin yang berpengetahuan rendah, untuk mendapatkan kredit tersebut.
Dari
berbagai
kelemahan
program
perkreditan
yang
dirancang
oleh
pemerintah di negara-negara berkembang, Yunus (2006) berpendapat penghambat
terbesar bagi masyarakat miskin di daerah untuk meningkatkan pendapatannya
adalah tidak adanya akses ke lembaga perkreditan formal terutama perbankan. Bank
komersial tidak pernah percaya pada kemampuan orang-orang lemah tersebut.
Konsepsi kredit perbankan yang bersandar pada prinsip 5C (The five C of credit),
yaitu Caracter, colateral, capital, Capacity of repaymen dan Condition of
economics, tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh kelompok UMKM. Lebih lanjut
dikatakan oleh Yunus ”jika mereka (kelompok miskin)” disediakan kredit dengan
persyaratan yang sesuai, maka mereka sendiri bisa menentukan bagaimana cara
yang terbaik untuk meningkatkan pendapatannya. Sebenarnya mereka (orang
miskin) sangat pintar dan ahli dalam bertahan hidup. Hal ini telah dibuktikan dari
eksistensi mereka yang mampu bertahan dalam situasi yang tidak terfikirkan
kesulitannya dari generasi-ke generasi. Pada akhirnya dikatakan kredit dan
kesempatan (peluang) kerja merupakan kunci untuk membangunkan kesadaran
mereka akan kemampuannya. ’Meminjamkan uang saja tidak akan membantu orang
miskin,’ kecuali bila pada saat yang sama kepada mereka juga diberikan kesempatan
untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki, yang akan membantu mereka
mengatasi berbagai masalah yang sepertinya tidak ada habisnya.’
4
Selama 40 tahun terakhir ini mungkin sudah lebih dari 50 Triliun Rupiah dana
yang dihabiskan untuk melaksanakan berbagai program kredit mikro dengan
pendekatan sektoral dan subsidi bunga yang dilaksanakan di Indonesia (Hasibuan
2005) . Yang terlihat sekarang ini pada lapisan masyarakat miskin masih seperti dulu.
Angka kemiskinan masih lebih dari 2 digit, bahkan Bank Dunia (Wordl Bank ) tanggal
7 Desember 2006, mengatakan jumlah orang miskin di Indonesia sekarang ini sudah
mencapai 100 juta orang, atau antara 40 sampai dengan 50 % dari penduduk
Indonesia berpenghasilan kurang dari 2 USD per hari per orang. Lalu bagaimana
keberhasilan berbagai program perkreditan termasuk program perkuatan KUMKM
yang dilaksanakan oleh pemerintah sekarang ini ?.
Untuk program-program perkreditan yang dilaksanakan pada waktu-waktu
yang lalu seperti KCK, KUK, dan KUT memang tidak perlu dijawab lagi keberhasilan
dan keberadaannya, karena sudah menjadi bagian kelam dari kebijakan rezim yang
berkuasa pada waktu itu. Tetapi bagaimana dengan program perkuatan yang
dilaksanakan selama 6 tahun terakhir ini ?. Untuk program tahun 2000 sampai
dengan tahun 2004, juga tidak perlu dipermasalahkan lagi karena tingkat
keberhasilannya tidak pernah diketahui dan keberadaannya juga sudah hilang tak
tentu rimbanya. Yang perlu diperhatikan adalah program-program yang dilaksanakan
selama tahun 2005 dan tahun 2006, karena sebagian uang tersebut masih ada, baik
di masyarakat (UMKM), di koperasi atau di instansi / bank penyalur.
1.2.
Permasalahan
Seperti dikemukan di atas, program perkuatan UMKM ini dilaksanakan dengan
melibatkan banyak pihak, baik sektoral maupun instusional. Dalam beberapa
kegiatan bahkan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, kewenangannya sangat
terbatas seperti misalnya dalam program subsidi pupuk dan benih, program
perkuatan kelompok masyarakat miskin di daerah tertinggal dan program penyaluran
dana yang bersumber dari SUP-005. Untuk penyaluran subsidi pupuk dan
pembangunan masyarakat di daerah tertinggal, Kementerian Negara Koperasi dan
UKM sama sekali tidak memiliki kewenangan walaupun sasarannya adalah juga
5
UMKM. Sedangkan pada program perkuatan yang bersumber dari dana SUP-005,
Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya memiliki kewenangan sebatas
memberikan rekomendasi untuk institusi penyalurnya saja (perbankan). Kewenangan
penuh hanya diberikan kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada
penyaluran dana perkuatan yang bersumber dari APBN, melalui program-program
perkuatan yang dirancang oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM sendiri,
seperti program-program perkuatan sektoral dan program perkuatan melalui
pengembangan unit simpan pinjam koperasi (USP Koperasi) dan program perkuatan
melalui Koperasi simpan pinjam (KSP).
Secara kumulatif sejak tahun 2004 sampai dengan bulan Oktober tahun 2006
jumlah penyaluran dana program-program perkuatan dari Kementerian Negara
Koperasi dan UKM yang bersumber dari APBN telah mencapai 2,35 Triliun Rupiah.
Hasil monitoring yang diberikan sampai sekarang ini hanya berupa informasi jumlah
penyaluran dan jumlah koperasi serta UMKM yang mendapatkan bantuan pinjaman
perkuatan tersebut saja, sedangkan sejauh mana manfaat yang dirasakan oleh para
peminjam dan bagi koperasi belum terukur dengan baik.
Informasi tentang kemampuan penyaluran saja tentunya tidak cukup untuk
menilai keberhasilan suatu program perkreditan. Sesuai dengan output yang akan
dicapai yaitu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, idealnya untuk
menilai keberhasilan program tersebut harus dilakukan secara komprehensif, dengan
memperhatikan banyak faktor, baik faktor output maupun faktor inputnya. Kalau
pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran yang ingin dijadikan output akhir
maka ada tujuan antara yang juga perlu dikaji lebih dulu yaitu ; a) Apakah sasaran
program sudah dicapai dengan baik (tepat sasaran), yaitu penerima kredit adalah
benar-benar orang yang memerlukan dan memiliki potensi untuk menggunakan kredit
tersebut ; b) Apakah yang bersangkutan benar-benar telah menggunakan kredit yang
diterima untuk menjalankan
usaha yang sesuai dengan potensi diri dan
lingkungannya ; c) apakah dengan menjalankan usaha tersebut ada peningkatan
penghasilannya. Kalau tadinya penganggur apakah sekarang telah mendapatkan
6
pekerjaan, dan jika dia sudah berusaha apakah dengan adanya bantuan perkuatan
terhadap usahanya sudah ada peningkatan pendapatannya serta ; d) jika program
perkuatan melibatkan koperasi, apakah koperasi yang melakukan penyaluran
tersebut menerima dampak positif dari kegiatan ini .
Walaupun program perkuatan dirancang dan dilaksanakan oleh Kementerian
Negara Koperasi dan UKM, tetapi kegiatan usaha UMKM merupakan kegiatan usaha
ekonomi yang keberhasilannya melibatkan banyak unsur sejak dari hulu (penyediaan
bahan baku), sampai dengan hilirnya (pemasaran pada konsumen). Seperti layaknya
program multidimensional lainnya, yang melibatkan banyak pihak. maka peluang
timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan program tersebut juga menjadi cukup
besar. Satu hal penting yang harus mendapat perhatian adalah tolok ukur
keberhasilan program tersebut seharusnya sudah ditetapkan secara sistematis
sesuai dengan tujuan dan ouput yang akan dicapai. Dari berbagai petunjuk
operasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, terlihat
bahwa orientasi pencapaian tujuan hanya dibatasi sampai dengan keberhasilan
penyalurannya (nilai, dan jumlah UKM yang mendapatkan bantuan) saja. Akibatnya
pemanfaatan dan kemanfatan program tersebut bagi peminjam, yang merupakan
sasaran pencapaian ouput akhir yang paling diharapkan yaitu ”seberapa besar
kemampuan
program-program
kemiskinan dan pengangguran,
perkuatan
tersebut
dapat
mengurangi
angka
tidak dimasukkan dalam kalkulus perencanaan.
Dengan demikian adalah wajar jika sampai sekarang ini tidak pernah diketahui
dengan pasti sejauh mana tingkat keberhasilan program tersebut mampu mengurangi
angka kemiskinan dan pengangguran.
Kajian dari aspek dasar kebijakan memperlihatkan bahwa di satu sisi program
ini merupakan stimulator bagi pemberdayaan UMKM, yang secara langsung menjadi
pembuka jalan untuk dilaksanakannya berbagai program pendukung lainnya.
Sedangkan di sisi yang lain harus diakui bahwa ada kemungkinan bahwa program ini
dapat bernasib sama dengan program-program lainnya yang bersifat dari atas ke
bawah (top down). Untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk yang mungkin
7
terjadi,
maka perlu diwaspadai asumsi bahwa ”pelaksanaan program perkuatan
belum sesuai dengan harapan”. Kegagalan program perkuatan dapat saja terjadi
akibat timbulnya berbagai permasalahan dan kendala, baik kendala dalam hal proses
seleksi penyaluran dan pemanfaatannya, maupun kendala internal UMKM dalam
melaksanakan kegiatan usaha yang mendapat bantuan perkuatan tersebut. Demikian
juga dapat dimaklumi bahwa walaupun bantuan perkuatan yang diberikan sudah
cukup banyak bentuk dan jenisnya, tetapi bila dicermati akan terlihat jenis dan jumlah
bantuan yang diberikan tersebut masih jauh dari mencukupi. Dengan perkataan lain
bantuan yang diberikan belum sesuai dengan jumlah dan kebutuhan UMKM, karena
jumlah dan kebutuhan UMKM sangat banyak dan sangat beragam, baik antar aspek,
antar sektor maupun antar daerah.
Kekhawatiran di atas tampaknya cukup beralasan karena selama ini
Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya menetapkan para penerima
bantuan perkuatan berdasarkan pada kebutuhan agregatif, dan kriteria yang
terangkum dalam petunjuk pelaksanaan bantuan perkuatan UMKM. Oleh sebab itu
mengingat proses penunjukan itu sendiri hanya didasarkan pada kriteria yang
ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan, maka bukan tidak mungkin akan ada bias
akurasi penunjukan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi tingkat keberhasilan program tersebut. Demikian juga alokasi pagu
kredit per peminjam yang bersifat top down, dapat saja menimbulkan bias dalam
pemanfaatannya.
Sejalan dengan uraian di atas maka pertanyaan mendasar yang perlu
dicarikan jawabannya melalui kajian ini, yaitu : 1.) Seberapa jauh tingkat ketepatan
penunjukan UMKM penerima bantuan perkuatan, dan 2.) Bagaimana dampak
pemanfaatan Bantuan Perkuatan tersebut terhadap pengembangan kinerja bisnis
UMKM. Demikian juga mengingat program perkuatan UMKM sudah berjalan lebih
dari 5 (lima) tahun, maka sejalan dengan pertanyaan diatas, timbul pertanyaan lain
yang perlu dikemukakan adalah ; 3) Seberapa jauh dan seberapa besar tingkat
8
keberhasilan dari Program tersebut dalam mencapai tujuan akhirnya, atau output
yang diharapkan yaitu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
Layaknya program yang sudah berjalan cukup lama tentunya kegiatan
tersebut sudah mengindikasikan keberhasilan, kendala dan permasalahan yang
dihadapi. Indikasi yang terlihat secara visual di lapang antara lain adalah ”Adanya
pertumbuhan usaha dari beberapa KUMKM yang mendapatkan bantuan perkuatan,
sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu
peningkatan omset
usaha dan laba serta penyerapan tenaga kerja. Namun demikian indikasi-indikasi
visual seperti itu tampaknya belum dapat sepenuhnya dijadikan bahan acuan yang
relevan dalam upaya penyempurnaan kebijakan perkuatan KUMKM, karena belum
mengarah pada output akhir yang diharapkan yaitu peningkatan pendapatan dan
peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja dari KUMKM tersebut”. Untuk
mengukur kedua tolok ukur terakhir ini memang sulit untuk dapat dilakukan dengan
metoda evaluasi sederhana. Kegiatan ini harus juga dapat menjawab berbagai
penyebab dari output yang terukur tersebut, untuk itu maka diperlulan adanya kajian
yang komprehensif, agar keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan.
1.3.
Tujuan Pengkajian
Sejalan dengan permasalahan di atas maka tujuan kajian ini ditujukan untuk :
a)
Menganalisis kinerja UMKM yang menerima bantuan perkuatan khususnya di
bidang produksi dan permodalan serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan program ;
b)
Menemukenali pemanfaatan dan berbagai permasalahan yang dihadapi
UMKM dalam program perkuatan dan ;
c)
Mengetahui seberapa jauh program perkuatan dibutuhkan UMKM
9
1.4.
Manfaat Pengkajian
Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah ; didapatkannya
kesimpulan hasil kajian yang menggambarkan dampak program perkuatan bagi
perkembangan UMKM, serta permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaannya,
sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijaksanaan dalam
rangka menyempurnakan kebijakan perkuatan ke depannya. Selain itu kajian ini
diharapkan mampu menyajikan alternatif model evaluasi dan monitoring programprogram perkuatan yang dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
1.5.
Output Kajian
1.
Pelaksanaan program perkuatan yang dilaksanakan antara tahun 2004 sampai
dengan tahun 2005 khusus untuk dua jenis program utama yaitu Program
Sektoral, dan KSU/USP ;
2.
Kinerja UMKM penerima bantuan perkuatan dilihat dari aspek pemilikan aset,
permodalan, omset usaha, produktifitas, penggunaan teknologi dan laba yang
diperoleh ;
3.
Kemanfaatan program dari aspek peningkatan pendapatan dan penyerapan
kerja serta daya dukungnya dalam mengurangi pengangguran ;
4.
Kemanfaatan program terhadap pemberdayaan Koperasi melaui peningkatkan
omset usaha dan pelayanan serta partisipasi anggotanya ;
5.
Permasalahan yang dihadapi UMKM serta kondisi dan tingkat pengaruh dari
faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan program
dalam
mencapai tujuannya serta :
6.
Paparan
program dari aspek pendekatan, konsepsi, prinsip dan pola
pelaksanaan yang dilalukan oleh UMKM.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsepsi Pembangunan Berkeadilan
Slogan-slogan pemberdayaan ekonomi rakyat yang didengungkan pada akhir
kekuasaaan rezim orde baru (tahun 1990-an), oleh sebagian kalangan dianggap
sebagai program terpojok atau program dadakan. Banyak ekonom yang menilai
bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat pada era tersebut hanya dijadikan komoditas
politik untuk menutupi kenyataan besarnya peran pemerintah dalam mendukung
sistem ekonomi kapitalis, yang dibangun oleh kelompok konglomerat. Komitmen
pemerintah yang dinilai semu dicirikan dengan tumbuh dan berkembangnya
konglomerasi yang sedemikian cepat, serta korupsi dan nepotisme khususnya di
bidang ekonomi yang malah lebih banyak menyengsarakan kehidupan masyakat
banyak (Nasution dan Syarif 2002).
Dengan terjadinya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensional mulai awal tahun 1997, semakin nyata terlihat bahwa konglemerasi yang
dibangun atas kerja sama (baca dengan KKN) antara pejabat pemerintah dengan
para
pengusaha
besar,
tidak
memiliki
kemampuan
sama
sekali
untuk
mempertahankan perekonomian nasional dari gejolak perekonomian dunia. Usaha
bisnis para konglomerat sebagian hancur dan sebagian lagi terpaksa ditopang oleh
pemerintah dengan dana pinjaman dari luar negeri (dengan dana BLBI). Ironisnya
dalam kondisi keuangan negara yang sangat terpuruk tersebut, para konglomerat
atau kelompok kapitalis semu ini malah membawa lari sebagian besar asset
negara/bangsa dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI
sebenarnya merupakan pinjaman atau hutang pemerintah dari luar negeri yang
sekarang harus dibayar kembali oleh negara dengan uang rakyat.
11
Era
reformasi
yang
diharapkan
dapat
membawa
angin
segar
bagi
pemberdayaaan ekonomi rakyat yang sebagian besar (99,9 %) dibangun oleh
kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dalam kenyataannya sampai
sekarang ini belum memenuhi harapan. Sistem perekonomian nasional ternyata
belum memberikan kesempatan yang signifikan (keberpihakan) pada kelompok
UMKM, walaupun kelompok usaha ekonomi ini telah secara nyata memberikan
sumbangan yang cukup besar dalam proses penyembuhan perekonomian nasional
(National Economics Recovery) dimasa krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Hal
yang demikian menimbulkan pertanyaan,
apakah pembangunan di era reformasi
yang cenderung masih menggunakan pendekatan pertumbuhan, akan diandalkan
lagi untuk mampu mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang
sebagian besar adalah UMKM?. Sedangkan diketahui bahwa konsepsi yang
bersandar pada faham neoklasik tersebut nyata-nyata hanya mampu menciptakan
keberhasilan semu, yang hancur terkena resesi ekonomi dunia dan gagal total dalam
menciptakan pemerataan (Syarif, 2006).
Keterikatan para perencana pembangunan pada konsepsi pembangunan yang
bersandar pada faham ekonomi Neoklasik memang banyak menimbulkan pertanyaan
dari kelompok ekonom yang lebih reformis. Mereka pada umumnya menghendaki
adanya perubahan pendekatan dengan menggunakan berbagai pendekatan
pembangunan yang lebih sesuai dengan potensi fisik dan kondisi ekonomi sosial
budaya dan politik Indonesia sebagai negara berkembang yang sebelumnya telah
mengalami masa penjajahan yang cukup panjang. Dalam hal ini banyak pihak
mencoba menyodorkan ide yang bersumber dari berbagai konsepsi pembagunan
untuk negara berkembang yang telah banyak dikemukakan baik oleh kelompokkelompok ekonom strukturalis, kelompok ekonom social democrat, bahkan kelompok
ekonom penganut paham ekonomi kiri baru. Kesemuanya seharusnya perlu
dipertimbangkan dalam penyusunan konsep pembangunan nasional (Tjondronegoro,
1986)
12
Dalam sistem perekonomian yang menggunakan pendekatan pertumbuhan,
memang pemberdayaan UMKM sering terlupakan karena sebagian besar UMKM
bergerak pada bidang-bidang usaha yang produktifitasnya rendah seperti sektor
pertanian dan jasa informal. Kekeliruan semacam inilah sebenarnya yang telah
membangun jebakan ekonomi (economic traps) dalam era orde baru. Kekeliruan
tersebut nampaknya tidak terlepas dari kepercayaan yang berlebihan (sindroma) dari
para ekonom yang terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan dimasa itu,
terhadap keberhasilan pembangunan negara-negara barat diawal abat ke sembilan
belas yang menerapkan konsepsi pembangunan dari paham neoklasik (Adam smith
dan Ricardo). Sidroma tersebut antara lain terlihat dari istilah tinggal landas (take
off), yang dipopulerkan oleh (Rustow (1967), sedangkan diketahui bahwa Rustow
bukan ekonomi tetapi hanya ahli sejarah ekonomi. Lebih aneh lagi sebagian dari
mereka mempercayai apa yang dikatakan oleh Rustow tersebut, sebagai suatu
konsep pembangunan ekonomi yang membagi proses pembangunan dalam
beberapa tahapan dan berakhir dengan tahapan tinggal landas (take of).
Dengan memperhatikan berbagai hal yang diuraikan di atas dapat dimaklumi
bahwa perencanaan pembangunan yang lebih diarahkan pada usaha mengejar
pertumbuhan ekonomi semata, sering mengabaikan atau mengesampingkan
pertimbangan dari berbagai aspek lainnya termasuk aspek moral. Dalam hal ini
Sweezi (1978) menjelaskan bahwa pengabaian aspek moral dalam perencanaan
pembangunan yang berorientasi pada pemahaman yang ekstrim dari tiori-tiori
ekonomi klasik merupakan gambaran nyata dari kelemahan konsep ekonomi pasar
yang dimotori oleh Ricardo. Ricardo merupakan pengikut (murud) Adam smith yang
pandangan-pandangannya lebih liberal dari Adam Smith sendiri (Ricardo), cenderung
menganggap manusia sebagai Homo economicus. Dalam konsepsi yang demikian
kedudukan moral hanyalah mozaik dalam kehidupan manusia yang tidak relevan jika
dimasukan dalam kalkulus pembangunan ekonomi, tetapi akan lebih baik jika
dipisahkan dulu dan dikalkulasikan dalam pembangunan bidang-bidang sosial yang
menjadi penyeimbang pembangunan di bidang ekonomi.
13
Satu hal penting lainnya yang terlupakan oleh para perencana pembangunan
tersebut adalah kenyataan bahwa sebagian besar negara berkembang seperti Mesir,
Pakistan, Argentina dan Filipina telah lebih dulu mengalami kegagalan dalam
mereplikasikan konsep pembangunan yang bersumber dari penganut paham pasar
bebas. Dalam hal ini Linberg (1988) mengemukakan beberapa alasan ketidak
mampuan faham neoklasik dalam mendukung pembangunan di banyak negara
berkembang antara lain ; a) Mengagregatkan pembangunan disemua sektor dan
daerah yang mempunyai potensi berbeda ; b) mengabaikan peran kelembagaan
(institusional) sebagai unsur regulator pembangunan serta ; c) menjadikan manusia
sebagai obyek pembangunan.
Dengan
adanya
kegagalan
pembangunan
yang
menerapkan
konsep
Neoklasik tersebut, beberapa pakar ekonomi dan Regional sience antara lain Wibber,
Isard, termasuk Mosher menyarankan pembangunan ekonomi dari negara-negara
yang bersandar pada produk-produk primer dan SDM, akan lebih berhasil jika
menggunakan pendekatan potensi regional. Dengan konsepsi yang bersandar pada
optimasi sumberdaya potensial ditiap daerah, atau nilai keunggulan komparatif
daerah ini, sebagian besar negara berkembang ternyata mampu menggerakkan
semua kelompok masyarakatnya untuk turut berperan aktif dalam mendukung
pembangunan. Berbagai negara yang dinyatakan berhasil menerapkan konsepsi
tersebut seperti Chili, Costarica Pantai Gading Thailand dan Malaysia ternyata tidak
menghadapi banyak kendala dan juga tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan
politiknya. Ciri keberhasilan penerapan konsepsi tersebut juga sangat spesifik, yaitu
meninggkatnya produksi dan pendapatan nasional secara perlahan (antara 1 sampai
2 % per tahun), serta berkurangnya pengangguran yang diimbangi dengan
meningkatnya indeks kesejahteran secara merata, yang secara langsung mengurangi
kemiskinan.
Keberhasilan pembangunan yang bersandar pada pendekatan potensi
regional
dinegara-negara
berkembang
tersebut
diatas,
pada
umumnya
mengutamakan pemanfaatan sumberdaya manusia melalui berbagai kegiatan padat
14
karya yang merupakan ladang usaha dari kelompok UMKM. Konsepsi ini juga
sekaligus memungkinkan pembangunan dilakukan secara merata dan tidak terpusat
di daerah center,
sehingga masalah ketimpangan pembangunan antar daerah
seperti yang terjadi Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa, Bali dan kota-besar diluar
kedua daerah tersebut seperti Makasar dan Medan,
secara langsung juga akan
dapat teratasi.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, diketahui bahwa Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih menjadi sandaran utama dari 86,7 %
rumah tangga yang ada di Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja diketahui
bahwa kelompok usaha ini mampu menyerap 99,9 % dari jumlah tenaga kerja
produktif yang tersedia. Ironisnya peran UMKM dalam mendukung pendapatan
nasional (GNP) relatif kecil yaitu pada tahun 2005 baru mencapai 54,47 %. Demikian
juga dalam pemilikan modal, jumlah modal yang dimiliki oleh kelompok UMKM hanya
sebesar Rp 149,27 triliun atau 4,19 % dari jumlah modal yang digunakan dunia
usaha dalam perekonomian nasional. Demikian juga laba yang diperoleh UMKM
masih relatif sangat kecil yaitu Rp 211,53 Triliun dibandingkan dengan jumlah UMKM
yang sedemikian besar sehingga rata-rata pendapatan per kepala (income per
capita) kelompok masyarakat yang tergolong UMKM masih sangat kecil yaitu lebih
kurang 3.929.440. atau lebih kurang 435, Dolar AS (Laporan Bank Indonesia tahun
2006)
Kondisi UMKM yang masih marjinal baik dalam hal permodalan maupun
pendapatan per kepala seperti diuraikan di atas adalah hampir sama dengan kondisi
UMKM dalam struktur perekonomian nasional di era orde baru, yang memang tidak
berbasis pada ekonomi rakyat dan sumberdaya nasional. Kurang berperannya
UMKM dalam perekonomian nasional pada waktu sebelum krisis moneter tampaknya
menjadi salah satu sebab porak porandanya perekonomian nasional. Sebaliknya,
membesarnya peran UMKM setelah krisis moneter telah mempercepat proses
penyembuhan perekonomian nasional (national economics recovery),
sehingga
dalam waktu kurang dari lima tahun perekonomian kita berangsur-angsur membaik.
15
Namun demikian dalam struktur dan sistem perekonomian nasional yang belum
mampu menumbuh kembangkan UMKM dengan sewajarnya, tampaknya juga
menyebabkan perekonomian kita masih rawan terhadap goncangan perekonomian
dunia.
Kondisi struktur dan kebijakan perekonomian nasional yang belum menempatkan UMKM dalam posisi yang kuat tidak akan mendukung keberhasilan pembangunan perekonomian nasional, serta sulit untuk terhindarkan dari goncangan
perekonomian dunia. Demikian juga keterbatasan sumberdaya yang dimiliki UMKM
khususnya modal dan teknologi merupakan kendala klasik yang selama ini dihadapi
UMKM dalam memperluas kegiatan bisnisnya / usahanya. Sementara peran
perbankan / lembaga keuangan formal lainnya dalam mendukung pemberdayaan
UMKM masih sangat terbatas dan terlalu hati-hati. Idealnya semua kendala tersebut
sejak lama sudah dapat diatasi melalui regulasi perbankan terutama Undang-Undang
perbankan yang menjadi dasar kebijakan pemerataan pemilikan modal (capital
reform). Namun Ironisnya UU perbankan nomor 14 tahun 1967 yang diperbaharui
dengan UU perbankan no 29 tahun 1992 cenderung dalam pemberian kredit masih
mengutamakan unsur Capital dan Colateral (berbau Liberal) dengan konsep The five
C of Creditnya yang sangat memberatkan UMKM .
Perkuatan UMKM merupakan salah satu alternatif untuk memperkokoh basis
perekonomian nasional, namun disadari bahwa agar perkuatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, dperlukan perencanaan yang komprehensif, serta kesiapan
penyediaan sumberdaya dan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa kelemahan
UMKM masih sangat banyak antara lain ditandai dengan : a) Ketidakpastian
ketersedian bahan baku utama dan bahan tambahan : b) Peralatan dan teknologi
produksi
yang digunakan sangat sederhana sampai dengan setengah modern,
sehingga produktifitas UMKM relatif rendah ; c) Keahlian/keterampilan SDM belum
berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan produktifitas
usaha : d) rata-rata pemilikan modal sangat terbatas : d) Sebagian besar pasar
produk UMKM bersifat oligopoli bahkan ada yang cenderung monopoli : f) Kebijakan
16
fiskal dan moneter belum sepenuhnya mendukung pengembangan produksi,
keahlian, teknologi dan pasar KUKM : g) Prasarana tidak selalu tersedia atau tidak
sesuai dengan yang diperlukan dalam rangka pengembangan produksi dan pasar
KUKM; g) kebijakan pemerintah dalam upaya perkuatan UMKM terlihat kurang
komprehensif dan sering tidak konsisten seperti peraturan perbankan (Banyak
dipengaruhi unsur Politis) demikian juga kebijakan di bidang perdaganggan dan
perindutrian.
Dengan kondisi awal UMKM serta kondisi lingkungan ekonomi baik mikro
maupun makro yang belum sepenuhnya kondusif bagi pemgembangan peran UMKM,
maka adalah wajar jika program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini pada
dasarnya adalah ditujukan untuk memperbaiki kondisi internal UMKM (ekternalnya
belum dilakukan). Namun dalam banyak hal baik dari aspek jenis dan jumlah bantuan
perkuatan yang diprogramkan, maupun kebijaksanaan dasar (pendekatan dan
petunjuk
pelaksanaannya)
masih
memperlihatkan
adanya
celah-celah
yang
dikhawatirkan dapat mengurangi tingkat keberhasilan program tersebut, maka kondisi
inilah seharusnya menadapat perhatian lebih banyak untuk dikaji.
2.2.
Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin
Tidak terlepas konsepsi pembangunan nasional seperti diuraikan di atas,
adalah sangat ironis jika dalam era reformasi sekarang ini UMKM dan koperasi tidak
juga dapat ditumbuh-kembangkan, sesuai dengan potensi dan perannya dalam
perekonomian nasional. Tetapi kondisi tersebut merupakan kenyataan. Jika
diperhatikan selama delapan tahun reformasi sudah berjalan, kedudukan UMKM
dalam mengurangi pengangguran dan sumbangannya terhadap PDB memang
semakin membaik. Hal tersebut dapat diperlihatkan dari semakin membesarnya
peran UMKM dalam penyerapan tenaga kerja (hampir 87 % rumah tangga) dan
sumbangannya terhadap PDB yang mencapai 54,7 %.
Tetapi disisi lain terlihat
bahwa kondisi UMKM sendiri semakin memburuk, seperti rata rata permodalan yang
dimiliki oleh usaha mikro hanya sebesar Rp 1.123.000, Usaha kecil hanya sebesar
Rp 29.430.000 dan Usaha menengah hanya sebesar Rp 3.435.212.000 (BPS 2006).
17
Demikian juga dalam hal kemampuan penyerapan modal dari bank-bank nasional.
Kelompok usaha mikro yang jumlahnya mencapai 44.240.000 rumah tangga hampir
tidak pernah tersentuh bantuan permodalan dari bank-bank komersial, kelompok
usaha kecil hanya mampu menyerap modal sebesar 11,76 Triliun (dari total kredit
yang disalurkan oleh perbankan nasional tahun 2004 sebesar Rp728,3 triliun) dan
usaha menengah hanya mampu menyerap 40,6 triliun saja (Syarif, 2006).
Bank Indonesia dari hasil penelitiannya tahun 2004 mengemukakan bahwa
kelompok UMKM memang tidak, atau kurang berminat untuk memperoleh bantuan
dana dari perbankan. Hanya 32 % dari mereka yang masuk dalam kelompok usaha
mikro dan usaha kecil yang menyatakan memerlukan bantuan modal dari pinjaman
bank dan hanya 76 % dari 32 % yang membutuhkan tersebut menyatakan pernah
meminta pinjaman kredit dari perbankan. Hal ini adalah sangat kontroversial
dibandingkan dengan kenyataan di lapang yang antara lain pernah di kemukakan
oleh Sondakh, Hafiz dan Mubyarto tahun 1987, bahwa kebutuhan kredit (demand of
kredit) di lingkungan usaha kecil dan mikro di pedesaan adalah sangat besar,
mencapai 97,8 %. Ironisnya 67 % dari kebutuhan kredit usaha mikro dan usaha kecil
tersebut didapatkan dari pinjaman para pelepas uang (rentenir). Dari sini timbul
pameo bahwa “rentenir bukan lintah darat tetapi “malaikat penolong” yang
memberikan kehidupan perekonomian masyarakat kecil terutama di perdesaan”.
Memang banyak orang tidak dapat mengerti dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tersebut, tetapi mungkin saja metoda dan asumsi
yang digunakan oleh BI tidak valid. Dalam hal ini Hafidz dan Sondakh (1987) dari
hasil penelitiannya di 27 Propinsi di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa
kelompok miskin memerlukan bantuan pinjaman modal. Bank komersial tidak dapat
dijadikan sandaran oleh kelompok miskin karena kelompok ini tidak akan mampu
memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak Bank (The Five C of Credit). Hal ini
juga telah dikemukakan oleh Yunus (2002) bahwa ”Bank komersial mengharuskan
adanya jaminan dan berbagai persyatan adminidtratif alinnya, yang tidak mungkin
dipenuhi oleh mereka (kaum miskin). ”Yang sangat diperlukan adalah bagaimana
18
menghubungkan pekerjaan yang mereka lakukan dengan ketersediaan modal agar
memungkinkan kelompok ini meningkatkan kemampuan ekonomi mereka, dan
memperoleh sumber pendapatan”. Isini sebenarnya peran pemerintah beralaku adil
untuk berpihak kepada kelompok masayarakat yang jumlahnya paling (UMKM), tetapi
keberpihakan tersebut sampai sekarang belum juga terlihat.
Lebih lanjut dikatakan oleh Yunus, masyarakat miskin memiliki kemampuan
untuk menciptakan kekayaan sama seperti orang lain. Akses pada kredit memberikan
mereka kesempatan untuk keluar dari perangkap lemahnya permodalan yang
menjebak mereka dalam lingkaran setan kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty).
Berikan
kesempatan
kepada
mereka
untuk
mencoba
kemampuannya
dan
menciptakan kekayaan dalam jumlah besar. Dengan pinjaman kredit, pelanggan
(orang miskin) dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga
mempekerjakan seluruh keluarganya atau orang lain (mengurangi peangangguran).
Young Chul Kim (1971) berpendapat perekonomian masyarakat miskin ini
ditandai dengan akumulasi modal yang rendah. Sejumlah kecil uang dan surat
berharga beredar dan berpindah tangan dengan cepat dan membentuk ilusi ekonomi.
Bahwa ada tersedia banyak uang untuk semua orang. tetapi padahal sistem tersebut
tidak memberikan kesempatan untuk terbentuknya akumulasi modal dan investasi
dalam jumlah besar karena terikat dengan sejumlah besar uang yang beredar dalam
sistem itu sendiri. Hal inilah yang mempersulit posisi orang miskin untuk
mendapatkan kredit, bahkan sebaliknya ada kecenderungan akumulasi dana
dikalangan bawah untuk ditarik keatas seperti yang dilakukan melalui berbagai
bentuk tabungan oleh perbankan sekarang ini. Tabungan-tabungan itu sendiri
cenderung memberikan tingkat bunga yang relatif sangat kecil (lebih kecil dari
sertifikat Bank Indonesia) sehingga dapat dikatakan sebagai strategi perbankan untuk
mendapatkan dana murah dari masyarakat untuk membiayai keperluan usaha
konglomerasinya.
19
Agar bisa berhasil masyarakat miskin membutuhkan bantuan yang terorganisir
untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas mereka. Tapi penyediaan bantuan
seperti itu akan sangat mahal bagi lembaga yang juga membutuhkan percobaan
untuk menentukan metode kerja dan mekanisme pelaksanaan yang cocok.
Masyarakat miskin tidak akan bisa menanggung seluruh biaya yang berkaitan
dengan penerapan dan pelaksanaan program-program tersebut. Keberhasilan
replikasi bergantung pada adanya dana subsidi pada tahap awal dan yang terutama
sekali pada kreatifitas dan komitmen pemimpinnya (Muhammad Yunus 2006).
Apa yang dikatakan oleh Yunus telah dibuktikan dengan keberhasilan
Grameen Bank bukan hanya menjadi sumber permodalan bagi kelompok
miskin,tetapi berperan sebagai lembaga pendidikan, lembaga informasi dan lembaga
kekerabatan dari para anggotanya. Grameen Bank (GB) bukan bank konvensional
yang hanya berhubungan dengan nasabah terbatas dari aspek ekonomi, tetapi
bersifat multidimensil dari segala aspek kehidupan kelompok miskin, serta
memasukan unsur sosial budaya “Grameen Bank adalah loncatan budaya manusia
yang meninggalkan teori ekonomi klasik dan terbebas dari unsur politis”.
Grameen Bank menugaskan dirinya untuk terutama sekali memberikan
pinjaman kepada yang paling miskin. Dan perempuan merupakan jumlah terbanyak
dari kelompok yang terpinggirkan diantara yang paling miskin dari yang miskin.
Pemberdayaan ekonomi perempuan memiliki dampak yang sangat besar terhadap
terbentuknya keluarga yang stabil. Kamaruddin (1998) mengemukakan bahwa Dua
hal yang menyolok dari konsep perkreditan yang diprakarsai oleh Muhammad Yunus
yaitu ; yang pertama sebagian besar pelanggannya adalah perempuan dan ; yang
kedua misinya bukan bergerak dibidang keuangan saja, tetapi dari semua aspek
kesejahteraan anggotanya. Grameen Bank merupakan satu-satunya bank di dunia ini
yang mendorong pendidikan, kesehatan,
lingkungan yang bersih.
20
keluarga berencana, sanitasi dan
2.3.
Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan
Pendekatan
program
perkuatan
sebagai
program
perkreditan
adalah
pemerataan pemilikan asset dalam rangka memperkuat potensi usaha kelompok
UMKM agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Tujuan akhir (output)
dari program ini adalah meningkatkan pendapatan UMKM dan perluasan lapangan
kerja dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran. Sasaran
program perkuatan terutama adalah kelompok mikro dan usaha kecil. Dari
pendekatan dan dan sasaran program ini maka idealnya program perkuatan sebagai
bentuk kredit mikro yang titujuakan untuk kelompok masyarakat miskin harus
memperhatikan karakteristik atau ciri-ciri dari kelompok tersebut dari aspek ekonomi
dan sosial.
Menurut Hayami dan Kikuchi (1967) dalam Syarif (1990) kelompok ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut ;
1)
Berpendidikan rendah sehingga sulit untuk dapat memahami prosedur
perkreditan dari perbankan yang relatif rumit ;
2)
Tidak memiliki harta atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan sehingga tidak
memenuhi syarat perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan
konsep The Five C of Credit.
3)
Keperluan kredit tidak hanya untuk biaya produksi, tetapi juga sebagaian sering
digunakan untuk biaya konsumsi sebelum berproduksi ;
4)
Kegiatan usaha tradisional yang lebih didominansi penggunaan tenaga kerja
(Labour intensive), sedangkan investasi dan modal kerja yang digunakan relatif
kecil, maka mereka masuk dapat dimasukan dalam kelompok usaha mikro dan
atau usaha kecil ;
5)
Sebagian besar kegiatan UMKM dapat dilaksanakan (perdagangan, industri
kerajianan, penggalian, angkutan dan sektor informal) dalam waktu yang singkat
sehingga turn over dari kegiatan usahanya sangat cepat (antara 1 sampai 7 hari
per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di sektor pertanian
6.
Sangat tergantung pada kesempatan (opportunity) yang relatif sempit dengan
time lag yang relatif sempit ;
21
7.
Margin yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang digunakan relatif
besar, yang bervariasi (di Indonesia antara 3,8-87,6 % per bulan) tergantung
pada jenis kegiatan yang diusahakan ;
8.
Solidaritas dalam kelompok relatif besar ;
Oleh karena program-program kredit mikro yang dilaksanakan oleh pemerintah
pada umumnya ditujukan untuk masyarakat miskin dengan ciri-ciri seperti disebutkan
di atas, maka idealnya program-program perkreditan tersebut memiliki prinsip dasar
sebagai berikut :
a) Tidak menggunakan agunan, atau agunan dapat digantikan dengan social
capital yang ada dikalangan kelompok itu sendiri, seperti yang digunakan
dalam konsep perkreditan Grameen Bank di Bangladesh ;
b) Prosedur peminjaman dibuat sesederhana mungkin agar lebih mudah
dipahami ;
c) Penggunaan kredit tidak dibatasi pada satu atau beberapa jenis kegiatan
uasaha saja, mengingat jenis kegiatan dan keperluaan kelompok miskin ini
sangat beragam ;
d) Waktu proses pengajuan kredit sampai pencaiaran kreditnya singkat (cepat) ;
e) Jumlah yang diberikan sesuai atau mencukupi dan .
f) Tingkat bunga diperhitungkan berdasarkan jenis sektor kegiatan yang
dilaksanakan karena setiap sektor kegiatan usaha memiliki besar margin yang
berbeda. Untuk menghindari terjadinya manipulasi kredit oleh kelompok
pelaksana maupun kelompok lain yang ingin mengambil kesempatan dari
adanya subsidi bunga, maka subsidi bunga harus ditiadakan atau tingkat
bunga minimal adalah sama dengan bunga Bank komersial
Dengan memperhatikan berbagai program perkreditan bagi kelompok UMKM
yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak era orde baru yang lalu, nampaknya
kelima prinsip dasar kredit untuk kelompok miskin seperti disebutkan di atas hampir
tidak pernah ada. Kalaupun ada, hanya satu prinsip saja yang sering digunakan yaitu
tidak menggunakan agunan. Sebagai kompensasi dari tidak disyaratkannya agunan
22
maka dibuat prosedur perkreditan yang sangat tertutup, sehingga sangat menyulitkan
bagi UMKM dan menyebabkan cost of credit menjadi tinggi, tetapi membuka peluang
terjadinya manipulasi dana ditingkat penyalur. Dalam hal ini para perancang program
kredit mikro masih terkungkung pada dogma bahwa kredit untuk orang miskin harus
dengan bunga yang rendah. Pendapat ini sangat tidak realistis dan telah dibantah
oleh puluhan pakar, termasuk oleh Muhammad Yunus sebagai pendiri Grameen.
Terkait dengan dogma atau mitos bahwa kredit untuk orang miskin harus
dengan bunga rendah atau bersubsidi, Gonzalaes (1982) malah merumuskan Hukum
Besi perkreditan yang dinamakan The iron law of credit atau Hukum besi Gonzales.
Disini Gonzales mengumpamakan bunga yang besar sebagai besi, sedangkan bunga
ringan (bersubsidi) sebagai kapas. Hanya besi yang akan turun kebawah atau
dikonsumsi oleh orang miskin, sedangkan kapas akan ditangkap di atas oleh orang
tertentu, baik penyalur kredit maupun pihak-pihak lainnya.
Dalam hal bunga kredit ini Syarif (1990) dari hasil penelitiannya terhadap
Kredit Candak Kulak (KCK) di kabupaten Subang Jawa Barat (1987), mengatakan
bahwa bunga kredit tidak berpengaruh nyata terhadap effektifitas dan efisiensi
penggunaan kredit, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap ketepatan
sasaran pemberiann kredit (bunga yang rendah dapat menyebabkan salah
sasaran).
Sebaliknya
biaya
untuk
mendapatkan
kredit
sampai
dengan
pengembaliannya (cost of credit), berpengaruh nyata (pemborosan) terhadap
efektifitas dan efisiensi penggunaan kredit. Pada kredit-kredit bersubsidi, karena
persyaratan yang sedemikian ketat menyebabkan cost of credit menjadi tinggi. Biaya
yang tinggi ini harus ditanggung oleh peminjam, yang dalam hal ini adalah UKM,
sehingga manfaat yang diperoleh menjadi berkurang. Bagaimana kesesuaian pola
perkreditan dalam program perkuatan UMKM yang telah dilaksanakan oleh
Kementerian Negara Koperasi dan UKM dibandingkan dengan kriteria pola kredit
mikro yang dikembangkan dari hasil penelitian dan yang telah dikemukakan oleh para
ahli kredit mikro, merupakan bahan yang perlu dibahas mendalam dalam kajian ini.
23
2.4.
Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM
Yang dimaksud dengan kelompok UKM dalam tulisan ini adalah kelompok
usaha mikro yaitu kelompok masyarakat yang bergerak pada berbagai kegiatan
ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum
terdaftar, atau tercatat sebagai pengusaha pada instansi pemerintah dan belum
berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000,
atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 usaha kecil adalah kegiatan
usaha ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria ; a) memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp.200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b)
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 ; c) milik
warganegara Indonesia ; d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan ; e)
Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.
Yang dimaksud dengan usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang
memenuhi kriteria ; memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp.200.000.000 sampai
dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha. Sesuai dengan ketentuan Inpres nomor 10 tahun 1999, para menteri
sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing dapat menetapkan kriteria usaha
menengah secara sektoral dengan ketentuan bahwa kekayaan bersih paling banyak
Rp 10.000.000.000,- ; milik warganegara Indonesia ; c) berdiri sendiri, bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai,
atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau
usaha besar dan d) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak
berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.
Berbagai komitmen yang berkaitan dengan upaya memberdayakan UMKM
sangat banyak dan hampir terjadi setiap hari diperdengarkan di banyak tempat dan
disegala aspek pembangunan. Tetapi komitmen tersebut nyaris hanya merupakan isu
24
yang pada akhirnya tidak mendapat tanggapan yang signifikan baik dari kalangan
pemerintah, lembaga legislatif, para ekonomi maupun masyarakat luas. Komitmen
pemberdayaan UMKM dari berbagai aspek dan bentuknya,
biasanya hanya
diperdengarkan dilingkungan diskusi-diskusi ilmiah atau pidato-pidato politis. Sifat
komitmen itu sendiri lebih sering hanya berupa kesimpulan diatas kertas, tanpa diikuti
dengan program-program nyata di lapang. Hal yang demikian tampaknya juga
mewarnai program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini. Komitmen untuk
memberdayakan UMKM lebih bersifat slogan, yang diindikasikan dari rendahnya
dana yang disediakan untuk program perkuatan tersebut yaitu hanya sebesar Rp
2,35 triliun untuk tiga tahun terakhir ini (2004 sampai dengan 2006). Dana tersebut
sangat kecil dibandingkan dengan UMKM yang jumlahnya lebih kurang 44 juta rumah
tangga. Dengan perkataan lain setiap UMKM baru dihargai sebesar Rp 53.440 per
orang. Bandingkan dengan pengusaha besar yang perorangan bisa mendapat
pinjaman triliunan rupiah
Kajian dari aspek positif / logis mengindikasikan bahwa keperluan menjadikan
UKMK sebagai sektor usaha prioritas dan pelaku utama kegiatan ekonomi nasional
didasarkan pada pemikiran bahwa kelompok usaha ini memiliki keunggulan di bidang
penyediaan lapangan kerja, dapat berperan sebagai unsur pengembangan ekonomi
lokal, penciptaan pasar baru dan juga mampu mendukung inovasi baru, baik dibidang
teknologi produksi maupun pemasaran produknya. UKM memiliki potensi untuk
menjadi pendukung potensial neraca pembayaran melalui pengembangan berbagai
komoditas ekspor. UKM dengan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja
akan mampu menjadi penyelaras struktur perekonomian, sedangkan UMKM yang
dibangun oleh sebagian besar warga masyarakat secara langsung mapu berperang
dalam
mengurangi
pengangguran,
menurunkan
tingkat
kemiskinan,
mendinamisasikan sektor riil, memperbaiki pemerataan pendapatan.
Urgensi pemberdayaan UMKM juga dapat diperhatikan dari berbagai
keunggulan UMKM yang selama era orde baru kurang mendapat perhatian antara
lain ;
25
1) Tingkat ketergantungan UMKM terhadap pengusaha besar relatif berimbang,
yaitu ketergantungan usaha mikro dan usaha kecil terhadap usaha besar
hanya 14,9 %. Sebaliknya ketergantungan usaha besar terhadap produkproduk usaha kecil adalah sebesar 11,3 %. Data ini mengindikasikan bahwa
kaitan kerjasama yang saling mendukung antara usaha kecil dengan usaha
besar relatif belum signifikan karena hanya kurang dari 20 %.
2) Saling mendukung dari kedua kelompok yang merupakan komponen
pembangunan ekonomi tersebut sangat diperlukan.
3) Keunggulan dari kelompok UKM dalam mendukung perekomian nasional juga
terindikasi dari setiap perubahan permintaan terhadap komoditas yang
dihasilkan UMKM akan memiliki dampak peningkatan ouput ekonomi nasional
yang lebih besar dari pada perubahan permintaan terhadap usaha besar.
Dengan output UKMK terhadap pertumbuhan ekonomi nasional lebih besar
dibandingkan dengan elastisitas produk usaha besar. Hal yang demikian
dimungkinkan karena umumnya sektor UMKM memiliki daya penyebaran dan
indeks daya kepekaan yang relatif tinggi. Beberapa bidang kegiatan UKMK
yang memiliki elastisitas relatif tinggi antara lain : industri sepeda, barang
perhiasan, minyak, penggilingan padi, hasil pengolahan kedelai, bambu rotan,
jasa restoran, industri pakaian jadi, unggas dan hasil-hasilnya. Sedangkan
UKMK yang mempunyai daya kepekaan yang tinggi antara lain adalah UKMK
yng bergerak pada kegiatan usaha ; jasa perdagangan, bangunan, kayu dan
hasil hutan, jasa lembaga keuangan, sewa bangunan, tebu karet, dan industri
tekstil.
4) Dari aspek penyerapan investasi, kelompok UMKM memiliki nilai indeks yang
relatif paling rendah yaitu 18,58 %, sedangkan usaha menengah 23,05 % dan
usaha besar
58,37 %. Rata-rata investasi usaha mikro dan usaha kecil,
adalah Rp.1,467 juta, usaha menengah 1,29 miliar dan usaha besar 91,42
miliar. Usaha kecil memiliki ICOR dan selang waktu (lag) yang relatif rendah,
sehingga sangat efisien dalam memanfaatkan investasi.
26
5) Dari aspek produktifitas UKM ditandai dengan rendahnya ; produktifitas usaha
dan produktifitas tenaga kerja. Selain itu, kelompok UKM dengan jumlah
investasi, nilai tambah, pangsa pasar, dan terbatasnya jangkauan pasar,
permodalan akses terhadap pembiayaan, manajemen profesionalisme dan
kualitas SDM, serta belum adanya batasaan yang tegas antara keuangan
pribadi dengan keuangan perusahaan,
6) Walaupun
produktivitas
perusahaan
maupun
produktivitas
perorangan
kelompok UMKM nilai indeks yang relatif rendah, tetapi memiliki tren laju
pertumbuhan yang positif. UMKM yang memiliki produktivitas tertinggi adalah
mereka yang bergerak di sektor keuangan, persewaan, dan perusahaan.
Usaha menengah yang paling produktif adalah mereka yang bergerak disektor
pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan sedangkan kelompok usaha
besar
yang paling produktif adalah mereka yang bergerak di sektor
pengolahan hasil, listrik gas dan air bersih.
Perkuatan sumberdaya
UMKM idealnya memang sangat diperlukan
mengingat banyaknya kendala / permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dalam
mengembangkan usahanya dari hulu sampai ke hilir. Namun demikian juga perlu
diingat bahwa pembangunan UMKM
sejak lama sudah terjebak dalam lingkaran
pemasalahan, mulai dari permodalan, ketersedian bahan baku, teknologi produksi
dan kualitas hasil, sampai dengan pemasarannya. Pengembangan usaha UMKM
juga menghadapi kesulitan dalam hal modernisasi usaha baik dibidang teknik
produksi maupun manajemennya. Untuk itu juga perlu diwaspadai akan terjadinya
kemungkinan bahwa pelaksanaan program
perkuatan sumberdaya UMKM juga
dapat terjebak dalam lingkaran permasalahan UMKM sendiri. Sebagai antisipasi
seharusnya program ini sudah disertai dengan sistem perencanaan, monitoring/
pengawasan dan sistem evaluasi yang solit, apalagi mengingat bentuk bantuan
yang diberikan banyak bersifat parsial yang seharusnya benar-benar mengenai
sasaran kebutuhan UMKM yang bersangkutan.
27
Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara UMKM
dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dikelompokkan menjadi 5 aspek kegiatan
bisnis (bahan baku, modal, teknologi, pasar, dan manajemen) yang meliputi berbagai
sektor dan jenis kegiatan UMKM. Pada tahun 2005 ada 12 Jenis kegiatan yang
diprogramkan yaitu : program penjaminan kredit, pengembangan usaha KSP/USP,
perkuatan dibidang produksi seperti pengadaan bibit sapi perah dan perahu nelayan,
kredit pola syariah, perkreditan untuk pengembangan program agribisnis, kemitraan
usaha, program modal awal dan padanan (MAP) kredit modal ventura, penyediaan
sarana usaha pedagang kaki lima, pengembangan pasar tradisional, dan dan
program pengembangan usaha distribusi retail. Dari aspek perencanaan tampaknya
program-program yang dilaksanakan tersebut akan dapat berjalan dengan baik,
karena semua aspek bisnis UMKM (bahan baku, modal, peralatan / teknologi, serta
pasar) sudah tercakup di dalamnya, namun perlu diingat bahwa program tersebut
disebarkan dibanyak daerah dan tidak ada disatu lokasipun juga yang memiliki ke
lima bentuk program tersebut secara bersamaan. Pada umumnya satu daerah hanya
diprogram satu atau paling banyak dua kegiatan, padahal daerah tersebut
memerlukan tiga atau empat jenis perkuatan.
Jika diperhatikan pada dasarnya bantuan perkuatan (empowering) yang
disalurkan pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan UKM, maupun
melalui instansi lainnya adalah usaha untuk menstimulir pertumbuhan ekonomi
masyarakat, untuk mendukung kebijakan dalam pemberdayaan dan pengembangan
peran UMKM. Oleh sebab itu secara umum program bantuan perkuatan diharapkan
akan memberi dampak bagi : a) meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaaan, b)
meningkatkan volume usaha UMKM dan koperasi, c) meningkatkan penyerapan
tenaga kerja, d) meningkatkan semangat berusaha dan berkoperasi, e) meningkatkan
pendapatan UMKM baik koperasi maupun anggotanya ; serta f) membangkitkan etos
kerja. Dalam program-program perkuatan ini koperasi dapat berfungsi ganda yaitu,
koperasi sebagai penyalur dan koperasi sebagai badan usaha yang juga merupakan
UKM.
28
Dari uraian di atas terlihat bahwa baik dari jumlah maupun jenis program
perkuatan yang telah disalurkan sudah cukup banyak, namun jumlah tersebut masih
relatif sedikit dan terbatas bila dibandingkan dengan jenis kegiatan serta jumlah
UMKM yang sangat banyak. Sebagai gambaran dapat dikemukakan jika 30 % saja
dari UMKM membutuhkan kredit yang besarnya Rp 5 juta, maka dana yang
diperlukan oleh UMKM mencapai Rp
66 Triliun, sedang semua jumlah dana
perkuatan yang disalurkan untuk UMKM pada program ini pada antara tahun 2004
sampai dengan tahun 2006 baru lebih kurang 2,35 Triliun Rupiah atau baru
mencukupi untuk 3,56 % UMKM yang membutuhkannya. Dengan perkataan lain
jumlah tersebut relatif masih sangat kecil walaupun digunakan dengan pola bergulir
(model ventura).
Idealnya bantuan perkuatan dari program pemerintah ini memang dapat
berfungsi sebagai stimulator bagi pengembangan bisnis UMKM sekaligus
membantu pembangunan koperasi. Niat pemerintah untuk turut membangun
koperasi terlihat dengan ditetapkannya penyaluran melalui dua jalur yang salah
satunya adalah melalui koperasi. Walaupun penyaluran dilakukan melalui dua jalur,
tetapi pada dasarnya pola bantuan perkuatan ini relatif adalah sama yakni
disalurkan kepada UMKM (yang sebagian adalah anggota koperasi). Perbedaan
diantara keduanya terletak pada sasaran penerima, pemanfaatan dan besar alokasi
dana yang ditentukan oleh jenis unit bisnis yang dikelola oleh UMKM
Selain bantuan perkuatan dari Kementerian Negara KUKM, ada juga bantuan
perkuatan yang bersumber dari instansi dan pihak-pihak lain yang memiliki maksud
dan tujuan yang sama, yaitu dalam upaya pemberdayaan UMKM, antara lain
bantuan perkuatan dari Departemen kelautan dan perikanan, serta Pemerintah
daerah. setempat.
Disamping jumlahnya yang relatif belum memadai, pola perkreditan dalam
program perkuatan ini juga perlu mendapat perhatian karena ; a) masih
menggunakan subsidi bunga yang berarti masih membuka peluang terjadinya
29
manipulasi dalam sistem penyaluran ; b) pengalokasian kredit baik dari aspek
jumlah maupun jenisnya dirancang secara agregat di tingkat pusat ; c) prosedur
mendapatkan kredit yang masih pekat dengan sistem birokrasi ; d) Tolok ukur
keberhasilan kredit belum memasukkan unsur kemafaatan kredit bagi peminjam,
bagi koperasi sebagai
dan dampak program tersebut terhadap pembangunan
daerah dan ; e) ketepatan saran belum masuk dalam tolok ukur keberhasilan
program.
30
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Dasar Pengkajian
Banyak orang berpendapat perekonomian bangsa Indonesia sekarang ini
memang sudah terlepas dari dampak krisis moneter, tetapi pembangunan ekonomi
cenderung mengalami stagnasi yang dicirikan dari rendahnya angka pertumbuhan
dan semakin rendahnya tingkat kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat.
Ketimpangan produksi dan pendapatan diantara kelompok masayarakat memang
sudah tidak terlihat lagi karena memang produktifitas bangsa ini sudah sangat rendah
dan usaha besar juga tidak berkembang seperti pada era orde baru. Yang jadi
permasalahan untuk lima atau sepuluh tahun kedepan adalah rendahnya tingkat
pendapatan dari sebagain besar masyarakat yang diindikasikan dari tingginya angka
kemiskinan (menurut Bank Dunia per bulan Oktober 2006 angka kemiskinan
mencapai 100 juta orang atau 40 % dari rakyat Indonesia), serta pengangguran.
Sejarah telah membuktikan bahwa kedua kondisi ini (kemiskinan dan pengangguran
merupakan faktor utama kehancuran suatu bangsa, oleh sebab itu masalah ini harus
secepatnya dapat diatasi.
Rencana Tindak Jangka Menengah Koperasi dan UKM (RTJM) 2005-2009
merekomendasikan tiga strategi pengembangan UKM yang akan dilaksanakan
secara bertahap. Rekomendasi ini merupakan bentuk pendekatan keterpaduan
dalam program pengembangan UKM. Tiga strategi pengembangan UKM dalam
RTJM adalah :
(i)
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UKM,
(ii)
menguatkan daya saing UKM dengan meningkatkan akses kepada dan
kualitas dari jasa non keuangan, dan
(iii)
meningkatkan akses UKM pada jasa keuangan.
31
Rekomendasi bagi komponen lingkungan usaha pada MTAP diarahkan pada
penciptaan lingkungan usaha yang kondusif melalui perbaikan tata kelembagaan
untuk perumusan kebijakan UMKM dan implementasinya, perbaikan kerangka
pengaturan di tingkat nasional maupun daerah dan peningkatan akses UMKM dan
stakeholder terkait ke informasi.
Konsepsi di atas masih bersifat normatif, oleh sebab itu harus ditindak lanjuti
dalam berbagai pola operasional positif yang akan dilaksanakan di lapang. Untuk
membangun pola yang demikian masih diperlukan berbagai pemikiran strategis
sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial politik dan budaya yang berkembang pada
masa lima tahun kedepan (terhitung tahun 2005). Dalam hal ini Eugene dan Morce
(1965) dalam Tambunan (2001), mengatakan ada 4 (empat) tipe kebijakan
pemerintah yang sangat menentukan pertumbuhan UMKM. Yaitu :
(1)
Kebijakan do nothing policy pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu
berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja ;
(2)
kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan
ini bersifat melindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi,
(3)
kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist): kebijakan
ini memilih industri yang potensial (picking the winner) namun tidak diberi
subsidi dan ;
(4)
kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut “market friendly
policy” dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi dan
kompetisi.
Pada masa lalu, pemerintah memilih kebijakan tipe kedua (protection) akan
tetapi kerangka tujuan jatuh pada pilihan ketiga, yakni developmentalist. Hasilnya
baik industri besar dan kecil menengah tidak berhasil.
Ketidak berhasilan ini
disebabkan oleh lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan tersebut pada dasarnya
membuat UMKM masuk usaha yang tumbuh secara distorsif. Oleh karena itu pilihan
kebijakan yang menempatkan UMKM sebagai entitas yang perlu diproteksi dan
subsidi perlu dievaluasi dalam konteks mempersiapkan UMKM menghadapi pasar
bebas. Apalagi kalau pemerintah sudah berketetapan menjadikan UMKM sebagai
32
salah satu sektor ekonomi andalan penghela pertumbuhan setelah keberhasilannya
menjadi safety net pada saat krisis.
Dalam hubungan ini, dewasa ini, semakin jelas bahwa UMKM secara
dikotomis dibagi ke dalam dua jenis definisi. UMKM dengan definisi usaha mikro
dibedakan dengan usaha kecil dan menengah yang dianggap potensial dapat
dikembangkan. Akan tetapi sesungguhnya distribusi UMKM yang pincang, dimana
usaha mikro dalam jumlah yang sangat besar (melebihi 2,5 juta unit) sedangkan
usaha kecil potensial mungkin tidak lebih dari 300 ribu unit dan usaha menengah di
Indonesia sama sekali belum jelas. Kaitannya dengan kebijakan yang terbangun
dalam persepsi yang popular adalah usaha kecil mikro cocok untuk “welfare policy”
sedangkan untuk UMKM adalah competitive business policy.
Persepsi ini
sebenarnya justru menimbulkan bias dalam pengembangan UKM dan kekaburan
kebijakan pengembangan UKM. Di sini terlihat UU No.9/1995 tentang UKM tidak
dapat memberi jalan keluar, kecuali hanya mampu mengakomodasi semua pendapat.
Kalau dibangun kebijakan bersifat kategorial target, maka UU No.9, 1995 kurang
dapat memberi jawaban.
Sebenarnya, kalau diamati secara mendalam ketahanan UMKM dalam
menghadapi krisis ekonomi bukanlah ditentukan oleh kebijakan pemerintah,
melainkan ditentukan oleh lingkungan ekonomi dan daya adaptasi dari UMKM itu
sendiri terhadap iklim mekanisme ekonomi pasar persaingan selama ini. Berbagai
penelitian
yang
disponsori
The
Asia
Foundation
(TAF)
dan
Swisscontact
menunjukkan bahwa daya survival dari UKM cukup tinggi. Menarik untuk dikaji hasil
statistik dua sensus BPS (Kusnadi Saleh dan R. Heriawan, 1999)1, tentang
perkembangan (jumlah) industri manufaktur antara tahun 1986 dengan 1996
(sebelum krisis). Jumlah industri pengolahan berskala kecil tahun 1986 tumbuh dari
1,5 menjadi 2,8 juta unit atau tumbuh dari sekitar 13 menjadi 23% atau tumbuh
sekitar 80%. Di sisi penyerapan tenaga kerja untuk periode yang sama nampak
pertumbuhan absorbsi indsutri besar lebih cepat dari industri kecil, tercatat tumbuh
dari 3,5 menjadi 6,6 juta (tumbuh sekitar 89%) sedangkan industri besar dan sedang
1
Kusnadi Saleh, R. Heriawan. 1999. Indonesia Small Business Statistics. Conference on: ”The Economic
Issues Facing The New Government”. Jointly organized by LPEM-UI and PEG-USAID!
33
tumbuh dari 1,7 menjadi 4,2 juta atau tumbuh 1,49%. Sedangkan sumbangan nilai
tambah industri kecil lebih kecil dibanding dengan industri berskala besar. Tiap
penciptaan nilai tambah sebesar Rp 100 juta nilai tambah, industri kecil menciptakan
lapangan kerja 11 kali lipat lebih besar dari industri besar dan menengah.
Kunci perkembangan di atas, disebabkan UMKM berada pada mekanisme
pasar yang kompetitif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industri kecil
dapat diandalkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terutama menciptakan
lapangan kerja. Implikasinya dalam transformasi struktur ekonom Indonesia,
kombinasi usaha besar dan kecil harus dapat dipadukan dalam desentralisasi
(pembangunan ekonomi daerah) dan pasar global mendatang.
Ditengah pasar yang semakin terliberalisasi dimasa mendatang, UMKM bukan
selalu menjadi entitas bisnis yang akan menjadi korban sebagaimana kekhawatiran
yang akan terjadi perekonomian Indonesia dalam globalisasi. UMKM juga bukan tidak
memiliki potensi keunggulan yang membuatnya mampu menjadi pemenang dalam
pertarungan pasar bebas. Studi Supriyanto (2002) pada industri kecil makanan, kayu
dan tekstil mengungkapkan sisi lain keunggulan UMKM. Dengan melihat sumber
pertumbuhan UMKM dari total factor productivity (TFP) dan input factor, studi
tersebut menemukan bahwa industri makanan dan kayu yang merupakan jenis
industri berbasis input lokal dan padat tenaga kerja memperlihatkan peranan TFP
yang semakin besar sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Artinya, pada industri
tersebut, aspek teknologi, efisiensi teknis dan skala usaha menunjukkan peran yang
lebih besar dalam pertumbuhan UMKM dibanding penggunaan tenaga kerja, kapital
dan bahan baku. Implikasi temuan tersebut adalah ketika krisis melanda ekonomi
Indonesia, dimana harga input semakin mahal, UMKM pada kedua sektor tersebut
dapat terhindar dari goncangan eksternal.
Proposisi berikutnya dari keunggulan UMKM adalah bahwa UMKM lebih
efisien dan produktif daripada usaha besar sehingga memiliki tingkat kompetisi yang
baik. Stigler (1968) mengemukakan teori yang menarik untuk mengetahui tingkat
kompetisi, efisiensi dan produktivitas yang diukur dari trend pangsa output dalam satu
kurun waktu tertentu. Jika pangsa dari satu skala industri tertentu menurun, berarti
34
industri pada skala tersebut tidak efisien, demikian pula sebaliknya. Gambar 1.
memperlihatkan share usaha besar (UB) yang mengalami trend penurunan dari
60.0% pada tahun 1996 menjadi 45.7% pada tahun 2000. Bahkan pada saat krisis,
pangsa output usaha besar ini mengalami penurunan yang tajam dari 58.4% pada
1997 menjadi hanya 49.8% pada 1998. Sebaliknya pangsa output usaha ecil dan
usaha menengah justru mengalami peningkatan dari 17.7% (usaha kecil/UK) dan
20.3% (usaha menengah/UM) pada tahun 1996 menjadi 29.0% (UK) dan 25.3% (UM)
pada tahun 2000. Kenaikan paling signifikan bahkan ditunjukkan oleh kelompok
usaha kecil. Hal ini menegaskan bahwa UKM sesungguhnya memiliki tingkat
kompetisi yang lebih baik daripada UB terutama pada saat krisis ekonomi. Realitas
tersebut sekaligus menunjukkan UMKM khususnya kelompok UK memiliki tingkat
efisiensi dan produktivitas yang lebih baik daripada UB.
Dua kondisi realistis diatas seharusnya menjadi bahan pemikiran sekaligus
perenungan untuk tidak terus menerus menganggap UMKM sebagai kelompok bisnis
yang harus selalu diproteksi dan diberi bantuan. Kebijakan yang selalu memposisikan
UMKM sebagai kelompok yang perlu dibantu pada dasarnya didasarkan pada
anggapan bahwa UMKM adalah kelompok usaha yang lemah dalam segala hal dan
tidak mampu bersaing dengan usaha besar. Sayangnya kebijakan tersebut
cenderung berlanjut terus hingga saat ini. Bahkan tantangan pasar global yang akan
segera datang direspon dengan anggapan UKM akan habis terlindas dan tidak
mampu bersaing. Globalisasi dan pasar bebas (melalui WTO, APEC, AFTA) menjadi
momok yang menyeramkan bagi UMKM tanpa memberikan alternatif dan strategi
bagimana seharusnya UMKM menghadapi pasar bebas.
Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan UMKM yang
berdaya saing memang hal mutlak dalam konteks perekonomian yang makin terbuka.
Namun harus disadari bahwa ketika pemerintah berusaha menciptakan iklim usaha
yang
kondusif
maka
sebenarnya
kondisi
itu
bukan
hanya
berlaku
dan
menguntungkan bagi UMKM tapi juga akan berlaku dan menguntungkan bagi semua
pelaku usaha termasuk untuk produk luar negeri yang masuk Indonesia. Artinya, iklim
usaha yang semakin kondusif akan semakin memperketat persaingan antara pelaku
35
usaha yang bersaing secara sehat. Dengan demikian tetap dibutuhkan keunggulan
kompetitif dari produk UMKM untuk mampu memenangkan persaingan dalam iklim
usaha yang semakin kondusif. Disamping itu, sebagaimana yang disampaikan dalam
RTJM, upaya mendorong penciptaan iklim usaha yang kondusif tidak bisa dilakukan
sekaligus apalagi jika sampai pada aspek penataan kelembagaan dan koordinasi
kebijakan di tingkat nasional. Diperlukan usaha yang bertahap dan komitmen semua
pihak untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Dalam jangka pendek,
UMKM tidak dapat menunggu waktu yang demikian panjang untuk mendapatkan pra
kondisi yang baik dalam rangka merebut pasar ditengah persaingan ketat
Perkuatan UMKM merupakan salah satu alternatif untuk memperkokoh basis
perekonomian nasional, namun disadari bahwa
agar perkuatan
tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik maka diperlukan perencanaan yang komprehensif, serta
kesiapan dalam penyediaan sumberdaya dan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa
kelemahan UMKM masih sangat banyak antara lain ditandai dengan : a) Ketidakpastian ketersedian bahan baku utama dan bahan tambahan (penolong) : b)
Peralatan
dengan
dan teknologi
setengah
produksi
modern,
Keahlian/keterampilan
SDM
yang digunakan sangat sederhana sampai
sehingga
belum
produktifitasnya
berkembang
relatif
sesuai
rendah
dengan
;
c)
tuntutan
perkembangan teknologi dan produktifitas usaha : d) rata-rata pemilikan modal
UMKM sangat terbatas : e) Sebagian besar pasar produk UMKM bersifat oligopoli,
bahkan ada yang cenderung monopoli :
f) Kebijakan fiskal dan moneter belum
sepenuhnya mendukung pengembangan produksi, keahlian, teknologi dan pasar bagi
KUKM : g) Prasarana tidak selalu tersedia atau tidak sesuai dengan yang diperlukan
dalam rangka pengembangan produksi dan pasar KUKM; g) Adanya kebijakan yang
kurang sesuai dengan kepentingan pemberdayaan KUMKM
36
3.2.
Kerangka Operasional
Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, masalah pokok yang harus
dijawab dalam kajian ini adalah pertanyaan ; Pertama ”seberapa jauh dan seberapa
besar tingkat keberhasilan pemanfaatan program perkuatan oleh UMKM untuk
mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran ;
kedua permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dan UMKM, serta aparat pelaksana di
lapang,
ketiga bagaimana ketepatan penunjukan, jenis dan besar bantuan
perkuatan yang diberikan, keempat apa dampak program ini terhadap perekonomian
perdesaan serta, ke lima bagaimana prospek pengembangan program ini di masa
mendatang”. Disamping itu juga program ini diharapkan akan berdampak pada
peningkatan minat berkoperasi dan meningkatkan etos kerja masyarakat. Untuk
tujuan tersebut maka disimulasikan indikator keberhasilan program bantuan
perkuatan sebagai berikut:
Dengan kondisi awal UMKM serta kondisi lingkungan ekonomi baik mikro
maupun makro yang belum sepenuhnya kondusif bagi pemgembangan peran UMKM,
maka program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini pada dasarnya ditujukan
untuk memperbaiki kondisi internal dan lingkungan UMKM. Namun dalam banyak hal
baik dari aspek jenis dan jumlah bantuan perkuatan yang diprogramkan, maupun
kebijaksanaan
dasar
(pendekatan
dan
petunjuk
pelaksanaannya)
masih
memperlihatkan adanya celah-celah yang dikhawatirkan dapat mengurangi tingkat
keberhasilan program tersebut. Dari pemikiran yang demikian maka esensi dasar
pengkajian ini adalah ”Mengetahui tingkat keberhasilan pemanfaatan bantuan
perkuatan oleh UMKM melalui pendekatan ekonomi dan sosial yang tidak normatif ,
khususnya terhadap upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran”. Untuk
tujuan tersebut maka dibangun kerangka kajian dan model analisis
diperlihatkan pada bagan 1 di bawah ini.
37
seperti
Bagan 1:
Kerangka Analisis Kajian
Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Oleh UMKM
PROGRAM
PERKUATAN
Investasi
Faktor External
1 Prinsip dan Pola
Kredit Perkuatan
2 Sistem Pendukung
usaha UMKM
3 Kemajuan Teknologi
4 Kebijakan Pemerintah
5 Ketersedaian Prasana
dan Sarana
•
•
•
•
•
Modal
Kerja
Koperasi
(KSP/USP)
UMKM/Anggota
Koperasi
Keberhasilan Program
Perkuatan
Faktor Internal
6 Umur /kelamin
7 Ketersediaan tenaga
8 Pemilikan aset
9 Pemilikan modal
10
Keahlian/Pengalaman
11 Manajemen usaha
Kemanfaatan Program
Keragaan usaha (modal, omzet, laba)
Penyerapan Tenaga Kerja
Peningkatan Pendapatan UMK
Perkembangan
Etos
kerja
dan
Semangat berkoperasi
1. Pengurangan angka Kemiskinan
2. Pengurangan Pengangguran
3. Peningkatan Sumbangan UMKM Terhadap PDB
38
Dari bagan 1, terlihat bahwa kajian ini diarahkan untuk mengetahui secara
benar tentang kondisi dari berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan program
dalam mencapai sasarannya. Untuk maksud ini diperlukan penggunaan model
analisis regresi peubah ganda berdasarkan pendekatan yang sesuai dengan tujuan
akhirnya (output), yaitu seberapa jauh kemampuan program perkuatan UMKM akan
dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran melalui peningkatan
produktifitas usaha UMKM. Untuk sampai pada tujuan tersebut langkah awal yang
diperlukan adalah kesepakatan tentang
faktor-faktor analisis, baik untuk tujuan
analisis kualitatif maupun kuantitatif
Dari bagan 1 diatas, dapat dikemukakan bahwa:
A
Output akhir yang diharapkan dari pelaksanaan program perkuatan UMKM
adalah keberhasilan Program Perkuatan dalam
1) Meningkatkan pendapatan UMKM melalui peningkatan produksi yang
berdampak omset atau volume usaha UMKM ;
2) Pertumbuhan Laba atau keuntungan UMKM :
3) Peningkatan kemampuan UMKM dalam mengurangi pengangguran melalui
peningkatan peran UMKM dalam penyerapan tenaga kerja ;
Ketiga indikator keberhasilan program perkuatan terhadap peningkatan
pendapatan dan kemampuan penyerapan tenaga kerja UMKM ini akan
dianalisis dengan model deskriptif kualitatif dan model analisis Evaluatif
Kuantitatif. Karena keterbatasan sumberdaya (waktu, tenaga dan biaya) maka
indikator keberhasilan program perkuatan terhadap pembangunan daerah dan
koperasi hanya akan dianasis secara deskriptif yaitu ;
1) Pertumbuhan sumbangan UMKM terhadap total pendapatan kotor daerah
(regional domestic Bruto)
dan pertumbuhan pendapatan perorangan
(income per capita) dari UMKM penerima bantuan dibandingkan dengan
income per capita regional .
2) Pertumbuhan volume dan sisa hasil usaha Koperasi penyalur dari kegiatan
penyaluran kredit program perkuatan serta pertumbuhan jumlah anggota.
39
3) Beberapa indikator keberhasilan lainnya yang bersifat non parametrik juga
dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan tertentu seperti peningkatan
etos kerja (melalui pendekatan pertambahan jam kerja UMKM) dan
peningkatan kesadaran berkoperasi (melalui pendekatan partisipasi UMKM
sebagai anggota koperasi)
B.
Faktor faktor Strategis
Beberapa faktor yang diduga berpengaruh baik langsung maupun tak langsung
terhadap keberhasilan UMKM dalam memanfaatkan bantuan program perkuatan
adalah ;
1)
Kondisi awal UMKM antara lain umur dan jenis kelamin, keahlian dan
pengalaman dibidang usaha yang ditekuni, aset dan modal yang dimiliki
UMKM sebelum mendapatkan bantuan, serta tenaga kerja keluarga yang
tersedia ;
2)
Sistem, prinsip, pola dan prosedur pelaksanaan program kredit yang
mencakup masalah pendekatan dan sasaran kredit, ketepatan jenis, jumlah
bantuan yang diberikan ketepatan waktu pemberian bantuan, persyaratan
untuk mendapatkan bantuan, tingkat bunga (interest rate) dan kebebasan
penggunaan bantuan pinjaman ;
3)
Ketersediaan
Sistem
Pendukung
Usaha
UMKM
mencakup
aspek
prasarana dan sarana pendukung, antara lain, jalan dan jembatan, fasilitas
angkutan, irigasi/pengairan, listrik dan sumber enerji lainnya, sarana
komunikasi dan ketersedian bahan baku di tingkat lokal baik yang
besumber dari daerah sendiri maupun yang didatangkan dari daerah lain ;
4)
Penggunaan dan perkembangan teknologi produksi dari produk yang
dihasilkan oleh UMKM
5)
Kondisi ekonomi mikro (regional) yang diukur dari PDRB dan rata-rata
pendapatan regional
6)
Kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian makro yaitu tingkat suku
bunga, pajak dan subsidi atas kegiatan usaha dan produk KUMKM, inflasi,
nilai tukar rupiah
40
7)
Jenis usaha UMKM
8)
Pola manajemen usaha UMKM
9)
Bantuan perkuatan dari pihak lain dan pinjaman dari pihak lain ;
10) Kebijakan-kebijakan (peraturan perundang-undangan) yang mempengaruhi
usaha KUMKM termasuk kebijaksanaan daerah
Kesepuluh faktor strategis diatas, diturunkan dalam 15 (peubah tetap
independen variabel yaitu ; Modal Awal, Pengalaman, Pemilikan Aset, Jenis
Kelamin, Bahan Baku Lokal
Tenaga kerja Lokal, Teknologi Produksi,
Manajemen Usaha, Prasana Pendukung, Prosedur Pinjaman, Jumlah Pinjaman,
Tingkat Bunga, Kebebasan penggunaan, Pinjaman Pihak ke tiga dan Jenis
Usaha
41
BAB IV
METODA PENELITIAN
4.1.
Ruang Lingkup Substansi Pengkajian
Sesuai kerangka pemikiran di muka maka ditetapkan ruang lingkup kegiatan
yaitu mengumpulkan, mengindentifikasi dan menganalisis ;
a)
Pemanfaatan berbagai jenis bantuan perkuatan yang diterima oleh UMKM yang
bersumber dari Pemerintah yang diprogramkan oleh Kementerian Negara
Koperasi dan UKM ;
c)
Berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi UMKM dan aparat
pelaksana di lapang dalam upaya meningkatkan kemampuan usahanya ;
d)
Merumuskan berbagai indikator keberhasilan program bantuan perkuatan, baik
bagi UMKM, bagi koperasi penyalur dan dampaknya terhadap pembangunan
ekonomi.
e)
Menetapkan dan menganalisis kondisi berbagai faktor, baik faktor internal
maupun faktor eksternal yang diduga mempengaruhi keberhasilan UMKM dalam
memanfaatkan bantuan perkuatan selama tahun 2004 sampai dengan tahun
2005
f)
Menginventarisir jenis bantuan perkuatan yang dibutuhkan oleh UMKM dari ke
lima aspek bisnis / usaha UMKM (teknologi/ peralatan, penyediaan bahan baku,
modal usaha/investasi, manajemen ), yang diperlukan oleh Koperasi dan UKM,
sesuai dengan skala prioritas dan waktu pemberian bantuan perkuatan tersebut
4.2.
Lokasi Kajian dan Penetapan Sampel
Kajian ini dilaksanakan di lima propinsi contoh yaitu Sumatera Barat, Jawa
Barat, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Di tiap propinsi contoh
ditetapkan 2 Kabupaten/Kodya contoh dan di tiap kabupaten contoh ditetapkan 3
koperasi contoh dengan metoda acak terpilih. Di tiap Koperasi contoh ditetapkan 10
UKM contoh yang juga dilakukan dengan teknik acak terbatas, (stratified random
42
sampling) dan untuk UMKM dilakukan dengan metoda acak lengkap ( fully random
sampling).
4.3.
Asumsi-Asumsi
a)
UMKM merupakan usaha bisnis yang dalam kegiatan usahanya mengikuti
berbagai hukum dalam pasar bebas ;
b)
Bantuan perkuatan yang diberikan oleh pemerintah hanya berdasarkan
pendekatan ekonomi sehingga tidak menimbulkan suatu ketergantungan yang
bersifat politis dan atau sosial ;
c)
Koperasi sebagai usaha bisnis dalam melaksanakan usaha juga merupakan
UMKM ;
d)
UMKM sudah menerima bantuan perkuatan satu atau beberapa jenis
4.4.
Hypotesis
Hithesis awal (H0) adalah bahwa bantuan perkuatan yang diberikan oleh
pemerintah
dan
sumber-sumber
lainnya
tidak
bermanfaat
baik
bagi
pengembangan Usaha UMKM, bagi pemberdayaan Koperasi maupun bagi
pembangunan ekonomi daerah
4.5.
Metoda Penelitian
4.5.1. Data
Kajian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan metoda
sample terbatas.
Penetapan jumlah sample dan kriteria sample dilakukan
berdasarkan pertimbangan ;
1)
keragaman jenis program perkuatan,
2)
keragaman permasalahan yang dihadapi di lapang serta ketersedian
sumberdaya untuk pengkajian, baik SDM, waktu dan biaya yang
diperlukan.
Berdasarkan kriteria tersebut maka ditetapkan 2 Kabupaten Contoh.. Di tiap
kabupaten contoh ditetapkan 3 koperasi, dan di setiap koperasi contoh dipilih
43
10 UMKM contoh. Dengan demikian dari kajian ini akan didapatkan data dari
dan dinas Koperasi Tk II atau lembaga yang membidangi pembinaan UMKM
Koperasi sebanyak 10 sample, Koperasi sebanyak 30 sample, dan UMKM
yang mendapat bantuan perkuatan dari kementerian negara KUKM sebanyak
300 orang.
4.5.2. Metoda Penarikan sampel
Lokasi contoh ditetapkan berdasarkan metoda stratifikasi sample (sample
dengan pembatasan). Di tiap propinsi contoh ditetapkan 2 Kabupaten contoh
dan ditiap kabupaten contoh ditetapkan 3 Koperasi contoh dengan metoda
yang sama (acak terstratifikasi). Di tiap Koperasi contoh ditetapkan 10 UMKM
contoh yang juga dilakukan dengan teknik acak lengkap Fully random
sampling.
Penetapan lokasi contoh didasarkan pada pertimbangan ;
1)
Keragaman
jenis
program
perkuatan
yang
dilaksanakan,
serta
keragaman potensi ekonomi dan jenis sosial dari daerah yang
bersangkutan ;
4.6.
2)
Penjenisan koperasi usaha UKM
3)
Keragaman permasalahan yang ada didaerah
4)
Ketersedaian sumberdaya (waktu, tenaga dan dana)
Metode Analisis
Data hasil penelitian akan dianalisisi dengan menggunakan ;
a)
Model analisis Diskriptif (kualitatif)
Analisis deskriptif kualitatif ditujukan untuk mendapatkan informasi tentang
berbagai kondisi lapang yang bersifat tanggapan dan pandangan terhadap
pelaksanaan program perkuatan serta kondisi lingkungan sosial ekonomi dan
daerah sample. Hasil analisis kualitatif berupa perbandingan kondisi riil di
lapang yang diperoleh dari pendapat-pendapat berbagai unsur yang terlibat
44
langsung dalam pelaksanaan program perkuatan UMKM dengan kondisi ideal
yang diperoleh dari studi pustaka.
b)
Analisis Evaluatif (kuantitatif) :
Analisis
evaluatif
(kuantitatif
)
diperlukan
untuk
mengetahui
tingkat
keberhasilan bantuan program perkuatan dari tiga aspek keluaran yaitu
1)
Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan yang diindikasikan dari
peningkatan omset usaha UMKM. Dalam analisis regresi dilambangkan
dengan Y1
2)
Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan (keuntungan bersih) UKM
yang dalam analaisis regresi akan dilambangkan dengan Y2
3)
Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dengan output akhir
pengurangan angka pengangguran, melalui tambahan keperluan tenaga
kerja karena adanya peningkatan kapasitas produksi UMKM (Y3)
4)
Prediksi dampak terhadap peningkatan pendapatan kotor daerah, melalui
peningkatan
nilai
tambah
yang
dihasilkan
UMKM
dari
adanya
peningkatan produksi UMKM. Oleh karena keterbatasan sumberdaya
dalam pengkajian ini maka dampak kebelakang (back word) dan dampak
kedepan dari adanya peningkatan kegiatan UMKM belum dapat dihitung.
(harus dengan model analisis Input output
5)
Dampak pelaksanaan program perkuatan terhadap pemberdayaan
koperasi penyalur yang diindikasikan dari pertumbuhan volume dan sisa
hasil usaha koperasi dari kegiatan penyaluran kredit program perkuatan
serta pertumbuhan jumlah anggota dan partisipasi anggota
6)
Dampak pelaksanaan program perkuatan terhadap beberapa indikator
keberhasilan lainnya yang bersifat non parametrik, yang akan dilihat
dengan menggunakan pendekatan tertentu seperti peningkatan etos kerja
(melalui pendekatan pertambahan jam kerja UMKM).
45
4.6.1. Model-Model Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif ditujukan untuk mengetahui dampak program
perkuatan terhadap ke enam indikator keberhasilan program tersebut seperti
dikemukakan di atas. Untuk tujuan ini akan digunakan model-model analisis
statistik sederhana, nilai rata-rata tengah (mean dilambangkan dengan U) dan
untuk menghitung bias kesimpulannya digunakan koefisien deviasi populasi V
(variance). Model kecenderungan digunakan untuk mengetahui manfaat suatu
bantuan perkuatan ,serta teknik uji beda untuk melihat dampak bantuan
perkuatan terhadap UMKM dengan membandingkan kinerja bisnis UMKM
sebelum dan sesudah mendapat bantuan perkuatan. Analisis distribusi
frekwensi digunakan untuk melihat profil kecenderungan variabel yang
dianalisis.
U=
E /n
V=
Dimana ;
U adalah
E adalah
N adalah jumlah populasi
V adalah
Untuk analisis evaluatif digunakan model analisis regresi berjenjang (step wise
analisys) dengan 3 faktor tidak bebas (dependent variable) dan 15 variable
bebas (X) .
Model dasar analisis regresi berganda
Y ij = a +Bxij + e
Dimana :
Yij
=
Keragaan Dependent Variabel yang dianalisis
a
=
Intersep
B
=
Constanta
Xij
=
Variabel Independent
e
=
Galat (kesalahan baku).
46
Variable tidak bebas di atas yaitu ;
Y1.
Dampak
program
perkuatan
terhadap
peningkatan
omset usaha UMKM
Y2.
Dampak program perkuatan terhadap peningkatan laba /
pendapatan UMKM
Y3.
Dampak
program
perkuatan
terhadap
peningkatan
penyerapan tenaga kerja
Sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kemanfaatan bantuan
perkuatan atau Independent Variable terdiri dari ;
X1
Modal Awal yang dimiliki UMKM
Adalah sejumlah modal yang dimiliki UMKM untuk melaksanakan suatu
kegiatan usaha, sebelum menerima bantuan program perkuatan, baik
yang bersumber dari modal sendiri maupun modal pinjaman dari orang
lain dengan satuan nilai uang (rupiah)
X2
Pengalaman UMKM
Adalah lama UMKM
dalam melaksanakan kegiatan usaha yang
mendapat bantuan program perkuatan, sebelum UMKM tersebut
mendapat bantuan program perkuatan, dengan satuan tahun ;
X3
Pemilikan Aset
Adalah kekayaan asset yang dimiliki UMKM dan digunakan untuk
mendukung suatu kegiatan usaha yang mendapat bantuan perkuatan.
Bentuk kekayaan bisa berupa lahan, gedung, alat-alat produksi dan
kendaraan. Aset dinilai dalam satuan uang (rupiah)
X4
Jenis Kelamin UKM penerima bantuan
Adalah jenis kelamin UMKM yang menerima bantuan perkuatan yaitu
laki-laki dan perempuan
47
X5
Ketersediaan bahan baku lokal
Tersedianya sejumlah bahan baku yang diperlukan dalam proses
produksi UMKM yang mendapat bantuan perkuatan, baik yang
merupakan produksi daerah atau yang didatangkan dari luar daerah.
Ketersedian bahan baku dari aspek kemudahan mendapatkannya
dinilai dengan menggunakan metoda point skor, dimana ; a) sangat sulit
nilai skor (0), b) sulit nilai skor (1) ; c) agak sulit nilai skor (2), d) mudah
nilai skor (3) dan sangat mudah nilai skor (4). Dari aspek harga dinilai
dengan ; a) sangat mahal nilai skor (0), b) mahal nilai skor (1), c) agak
mahal nilai skor (2), d) murah nilai skor (3) dan e) sangat murah nilai
skor (4). Hasil akhir adalah perkalian antara tingkat kesulitan dengan
harga.
X6
Tenaga kerja lokal yang tersedia
Ketersediaan sejumlah tenaga yang diperlukan dalam proses produksi
UMKM yang mendapat bantuan perkuatan, baik yang berasal dari
daerah setempat atau didatangkan dari luar daerah. Ketersedian tenaga
dari aspek kemudahan mendapatkannya dinilai dengan menggunakan
metoda point skor, dimana ; a) sangat sulit nilai skor (0), sulit nilai skor
(1), b) agak sulit nilai skor (2), c) mudah nilai skor (3) ; d) sangat mudah
nilai skor (4). Dari aspek tingkat upah dinilai dengan ;
X7
Teknologi Produksi yang digunakan
Adalah teknologi yang digunakan dalam proses produksi UMKM yang
dinilai dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a) tradisional
nilai skor (0), b) semi modern nilai skor (1), c) modern nilai skor (2), dan
; d) sangat modern nilai skor (3)
X8
Manajemen Usaha yang diterapkan
Adalah system manajemen yang digunakan dalam proses produksi
UMKM yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a)
48
manajemen tradisional nilai skor (0), b) manajemen semi modern nilai
skor (1), c) manajemen modern nilai skor (2), dan ; d) manajemen
sangat modern nilai skor (3)
X9
Prasana Pendukung yang tersedia
Prasarana yang tersedia untuk mendukung proses produksi UMKM
yang dinilai dari ketersediaannya dengan menggunakan metoda skoring
dimana ; a) sangat kurang nilai skor (0), b) kurang nilai skor (1), c)
cukup nilai skor (2), dan ; d) sangat cukup nilai skor (3)
X10 Prosedur Pinjaman
Prosedur yang digunakan dalam pengajuan pinjaman sampai dengan
proses pengembalian yang diterapkan dalam pelaksanakan dalam
program perkuatan yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring
dimana ; a) sangat sulit nilai skor (0), b) sulit nilai skor (1), c) agak sulit
nilai skor (2), mudah nilai skor (3) dan ; e) sangat mudah nilai skor (3) ;
X11
Jumlah Pinjaman
Jumlah pinjaman yang diberikan dalam program perkuatan yang dinilai
dengan menggunakan metoda scoring yaitu ; a) sangat tidak memadai
nilai skor (0), b) tidak memadai nilai skor (1) ; c) cukup nilai skor (2),
dan ; d) sangat cukup nilai skor (3)
X12
Tingkat Bunga
Adalah tingkat bunga (interest rate) yang ditetapkan dalam program
perkuatan yang dinilai dari ketetapan jumlah bunga dalam satuan
persen terhadap jumlah pinjaman yang diberikan
X13
Kebebasan penggunaan dalam program perkuatan
Tingkat kebebasan penggunaan pinjaman oleh peminjam untuk
menggunakan
dalam
program
49
perkuatan
yang
dinilai
dengan
menggunakan metoda skoring dimana ; a) sangat terikat pada
ketentuan nilai skor (0), b) terikat pada ketentuan nilai skor (1), c) tidak
terikat nilai skor (2), dan ; d) sangat bebas nilai skor (3)
X14
Pinjaman Pihak ke tiga yang diterima
Adalah sejumlah uang yang dipinjam oleh UMKM dari pihak-pihak lain
sesudah atau sebelum UMKM tersebut menerima pinjaman dana dari
program perkuatan. Satuan pinjaman ini dinilai dengan uang (rupiah).
X15
Jenis Usaha Peminjam
Adalah kesesuian jenis usaha yang dilaksanakan oleh UMKM yang
menggunakan modal pinjaman dari program perkuatan sesuai dengan
potensi
pribadi
dan
potensi
daerahnya,
yang
dinilai
dengan
menggunakan metoda skoring dari aspek potensi pribadi ; a) sangat
tidak sesuai nilai skor (0), b) kurang sesuai nilai skor (1), c) sesuai skor
(2), dan ; d) sangat sesuai nilai skor (3). Dengan potensi daerah ; a)
sangat tidak sesuai nilai skor (0), b) kurang sesuai nilai skor (1), c)
sesuai nilai skor (2), dan ; d) sangat sesuai nilai skor (3). Nilai akhir
adalah hasil perkalian antara potensi pribadi dengan potensi daerahnya.
50
Download