MAKALAH Desentralisasi Birokrasi Studi Kasus Negara Kesatuan Republik Indonesia Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Birokrasi Publik Oleh: TRI ANTINI 115030101111018 Kelas F ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 1 Bab I Pendahuluan A. Gambaran Umum Indonesia, adalah negara kesatuan yang terdiri dari beberapa daerah otonom yang terbagi didalam suatu wilayah provinsi. Dimana setiap provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai perwakilan pusat kepada daerah. Dan setiap daerah yang terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota. Dalam artian negara kesatuan, Indonesia menganut sistem desentralisasi. Tetapi konsep desentralisasi yang wujudnya demokrasi di Indonesia ini mengalami ketidapastian. Karena asas penghalusan sentralisasi atau yang disebut Dekonsentrasi di Indonesia masih dipergunakan. Dekonsentrasi ini tampak bahwa Indonesia masih bergantung pada pusat, yakni adanya Gubernur sebagai perwakilan pusat tehadap daerah. Namun, asas desentralisasi ini sebagai alat untuk mencapai demokrasi, yakni untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. karena pada dasarnya desentralisasi adalah wujud dari federasi, seperti negara federal di Amerika Serikat. Tetapi Indonesia tidak bisa sepenuhnya menjadi negara yang demokrasi, karena jika Indonesia menganut demokrasi murni yang sebebas-bebasnya, maka dikhawatirkan setiap daerah melepaskan diri dari Indonesia. Lalu, kenapa Amerika yang terdiri dari beberapa negara bagianya dan jelas-jelas disetiap negara bagian sudah merdeka tetapi tidak melepaskan diri? Hal ini karena di Amerika pada setiap daerahnya sudah merdeka atau sudah maju terlebih dahulu lalu membentuk negara perserikatan, sedangkan Indonesia yang mengalami kemajuan adalah pusatnya saja, sedangkan daerahnya masih dikatakan belum maju. Sehingga hal ini perlu adanya dekonsentrasi sebagau alat penyatunya. Lalu, perlu adanya pengaturan birokrasi melalui pembagian kekuasaan oleh para birokrat. Dimana dalam kesempatan pembagian kekuasaan yang didasarkan atas asas desentralisasi, terdapat berbagai sisi positif dan negativnya. Dimana sisi negativ ini pada akhirnya akan menimbulkan tipologi birokrasi pada para birokrat. Sehingga di dalam makalah ini, akan dejabarkan mengenai bentuk desentralisasi birokrasi hingga berdampak pada adanya tipologi birokrasi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah sistem desentralisasi birokrasi berjalan di Indonesia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui sistem desentralisasi birokrasi berjalan di Indonesia 2 Bab II Kajian Pustaka A. Teori Birokrasi Max Weber, seorang sosiolog kenamaan Jerman adalah orang yang pertama kali mendeskripsikan secara sistematis dan menganalisis secara jitu peran birokrasi pada masyarakat industri Eropa Barat ketika itu. Weber percaya bahwa salah satu karakteristik utama masyarakat industri adalah adanya dorongan yang untuk me-rasionalisasikan proses sosial dan ekonomi. Dengan rasionalisasi yang dimaksudkan adalah “perpaduan saran dan tujuan yang penuh dengan perhitungan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial ekonomi seefisien mungkin”. Oleh karena itu, jenis birokrasi publik/bisnis yang seperti itu Ia namakan sebagai Birokrasi Tipe Ideal atau Rasional. Model ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan kenyataan organisasi yang sempurna, melainkan sekedar menggali unsurunsur kunci fenomena organisasi tertentu serta menekankannya hanya pada tujuan-tujuan analistis. Model Birokrasi Weber mampu menjadi landasan bagi kajian-kajian teori organisasi kontemporer sehingga ia bisa dianggap sebagai “a founding father of the scientific study of organization”. Karakteristik utama birokrasi tipe idealnya Weber adalah sebagai berikut: 1. Adanya pembagian tugas pekerjaan untuk masing-masing pegawai yang telah ditetapkan secara jelas dan dilaksanakan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus dan bertanggungjawab bagi tercapainya tujuan organisasi secara efektif. 2. Adanya prinsip hirarki dalam organisasi, dimana struktur organisasi yang ada dibawah berada dalam pengendalian dan pengawasan struktur organisasi yang diatasnya. Oleh karena itu, pegawai bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan atasanya dan perilakunya sendiri. 3. Pelaksanaan tugas diatur oleh system peraturan yang terus menerus diberlakukan secara konsisten. 4. Pegawai yang ideal adalah pegawai yang bekerja atas semangat “formalistik impersonal” atau “sine ira et studio” yaitu bekerja atas dasar ketidakberpihakan kepada siapapun. 5. Adanya sistem karir dalam pekerjaan. Sehingga dalam penerimaan pekerja didasarkan pada hasil seleksi dan promosi didasarkan pada senioritas atau prestasi dan sesuai dengan hasil penilaian atasanya. 3 Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu: 1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan; 2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsifungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi; 3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint); 4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan; 5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi; 6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya; 7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan 8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik. Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut: 1. Kolegialitas Pemisahan 4 2. Kekuasaan 3. Administrasi Amatir 4. Demokrasi Langsung Representasi B. Desentralisasi Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Banyak negara telah melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi. Menurut Conyers, minat terhadap desentralisasi ini juga senada dengan kepentingan yang semakin besar dari berbagai badan pembangunan internasional. Mengenai desentralisasi, Soenobo Wirjosoegito memberikan definisi sebagai berikut: “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu”. Dalam tipologi desentralisasi dalam arti luas, desentralisasi menyangkut dekonsentrasi, delegasi, privatisasi, deregulasi, dan devolusi (desentralisasi). Sedangkan dalam arti sempit, desentralisasi lebih diartikan pada devolusi (desentralisasi itu sendiri). 1. Devolusi: desentralisasi dalam bidang politik 2. Deregulasi: pemangkasan peraturan 3. Deconcentracy: penghalusan sentralisasi, dimana terdapat penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dalam hal ini lebih kepada pemimpinya. Sehingga yang disentralisasikan adalah kewenanganya. 4. Delegasi: transfer fungsi-fungsi tertentu atau sebagian fungsi kepada pemda oleh pempust. 5. Privatisasi: pemerintah menyewa perusahaan swasta hanya manajemenya saja. 5 Sarundajang mengemukakan beberapa keuntungan kebijakan desentralisasi sebagai berikut: 1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan 2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak membutuhkan tindakan yang lebih cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu instruksi dari pemerintah pusat. 3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan. 4. Dalam system desentralisasi, dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu,yakni daerah dengan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus daerah. 5. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh wilayah negara. Hal yang baik diterapkan pada seluruh wilayah negara sedangkan yang kurang baik dibatasi pada daerah tertentu saja. 6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat. 7. Dari segi psikologi, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada daerah. 8. Desentralisasi akan memperbaiki kualitas pelayanan karena lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani. Kemudian, menurut Agus Sumarsono (dalam makalahnya Otonomi Daerah dan good governace dalam rangka mewujudkan keberhasilan pembangunan daerah (2010 ; hal. 4) dikatakan bahwa terdapat kelemahan desentralisasi: a. Karena jumlah organ-organ pemerintah bertambah banyak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks sehingga mempersulit koordinasi. b. Hubungan keseimbangan dan keserasian antara berbagai macam kepentingan daerah mudah terganggu. c. Desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan” (etnocentries). d. Pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui perundingan yang rumit. e. Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit dilaksanakan secara sederhana dan seragam. 6 C. Pembagian Kekuasaan Division Of Power adalah konsep dari Arthur Maas (1959) yang merupakan alat untuk mencapai tujuan negara. Divion of power atau disingkat DoP dibagi menjadi dua konsep utama yakni Areal Division of Power (ADP) dan Capital Division of Power (CDP). 1. Capital Division of Power (CDP) CDP adalah pembagian kekuasaan berada di pusat/Ibukota negara atau disebut “capital”. Konsep ini menyebutkan tentang pembagian kekuasaan sesuai dengan asas desentralisasi yang berada pada pusat suatu negara, yakni Ibukota Negara. Pembagian dilakukan secara horizontal. 2. Areal Division of Power (ADP) ADP adalah pembagian kekuasaan didasarkan pada pembagian kekuasaan area atau daerah. Yakni pembagian kekuasaan pusat kepada daerah sehingga pemabgianya dilakukan secara vertikal (top-down). 7 Bab III Pembahasan A. Sistem Desentralisasi Birokrasi di Indonesia Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut sistem Desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari itu (Soenobo Wirjosoegito). Wujud dari desentralisasi di Indonesia adalah adanya demokrasi sebagai alat untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Teori yang menegaskan pentingnya desentralisasi di tingkat lokal dan peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan pentingnya nilai-nilai efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957), misalnya, mengedepankan 2 prinsip yakni semakin dekat pemerintah yang representatif kepada masyarakat, semakin baik kinerja pemerintah tersebut dan publik berhak untuk memilih macam dan jumlah pelayanan publik yang diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan bahwa pembuatan keputusan seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat terendah pemerintah dengan tujuan agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang dan jasa publik. Wujud desentralisasi dari Indonesia adalah terdapat pada sistem birokrasinya. Yakni Indonesia terbagai kedalam beberapa wilayah atau daerah otonom. Dimana wilayah Provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai wakil pusat kepada daerah, daerah tersbut terbagi atas beberapa Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati atau Kota yang dipimpin oleh Walikota. Lalu Kabupaten/Kota juga masih dibagi menjadi beberapa Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat. Dan terakhir kecamatan dibagi lagi kedalam beberapa Desa yang dipimpin oleh Lurah. Tapi, berbeda untuk pembagian kecamatan di Kota, Desa disebut sebagai Kelurahan. Sehingga disini terdapat perbedaan kota dan kabupaten. Kalu di kota namanya Kelurahan, sedangkan di kabupaten namanya Desa. Tetapi, keduanya sama-sama dipimpin oleh seorang Lurah. Dari penjelasan diatas di Indonesia sudah menunjukan selain desentralisasi, tetapi juga terdapat sistem birokrasi Max Weber dimana terdapat jenjang hirarki secara vertikal dari pusat ke daerah-daerah. Jadi, wujud dari desentralisasi birokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pembagian kekuasaan oleh Arthur Maas dibagi menjadi dua yakni Capital Division of Power (CDP) dan Area Division of Power (ADP). Pada intinya, CDP adalah pembagian 8 kekuasaan berada di pusat/Ibukota atau disebut “capital” yakni paling atas. Konsep ini menyebutkan tentang pembagian kekuasaan sesuai dengan asas desentralisasi yang berada pada pusat, yakni Ibukota. Pembagian dilakukan secara horizontal. Sedangkan ADP adalah pembagian kekuasaan didasarkan pada pembagian kekuasaan area atau daerah. Yakni pembagian kekuasaan pusat kepada daerah sehingga pembagianya dilakukan secara vertikal (top-down). Dimana CDP dan ADP ini terkait dengan desentralisasi birokrasi karena didasarkan pada pembagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. 1. Bentuk CDP di Indonesia terkait Desentralisasi Birokrasi Bentuk CDP di Indonesia terkait dengan desentralisasi birokrasi adalah pembagian kekuasaan berada atau terjadi di pusat yaitu di Ibukota atau Capitalnya (paling atas). Sehingga pembagian kekuasaan ini bersifat horizontal. Dimana kekuasaan dibagi kepada beberapa lembaga negara yakni “Trias Politica” yang ditambah satu lagi yakni Inspektif. Trias politica terdiri dari Badan Eksekutif, Badan Legislatif, dan Badan Yudikatif. Lembaga Negara Eksekutif yang didalamnya terdapat Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin negara, Gubernur dan Wakil Gubernur untuk sebutan Eksekutif kelas Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota untuk sebutan eksekutif di kelas Kabupaten/Kota, Camat dan Wakil Camat untuk sebutan eksekutif di kelas Kecamatan, dan Lurah dan Wakil Lurah untuk sebutan eksekutif di kelas Desa/Kelurahan. Eksekutif ini bertugas untuk menjalankan atau mengamalkan UU. Lembaga Negara legislatif terdiri dari MPR dan DPR. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) merupakan perwakilan daerah ditingkat pusat. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan wakil rakyat bukan wakil daerah yang bertempat di pusat. Sedangkan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) merupakan wakil rakyat sekaligus wakil daerah yang bertempat di daerah itu sendiri. dan sesuai UUD 1945 Bab II Pasal 2 dan 3, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota DewanPerwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang. Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak. Badan Legislatif ini bertugas untuk membuat UU. Lembaga yudikatif adalah berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga ini terbagi atas beberapa lembaga negara yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung (MA) sesuai Pasal 24A UUD 1945, memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang 9 terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undangundang. Mahkamah Konstitusional (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (sifatnya final) atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Atau, seputar Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat untuk melanjutkan jabatannya. Mahkamah Konstitusi hanya dapat memproses permintaan DPR untuk memecat Presiden dan atau Wakil Presiden jika terdapat dukungan sekurang-kuranya dua per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR (Seta Basri, 2009). Dan Komisi Yudisial (KY), sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan personalia hakim berupa pengajuan calon hakim agung kepada DPR sehubungan dengan pengangkatan hakim agung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga negara Yudikatif ini fungsinya adalah sebagai pengawasan dan mengadili. Jadi, pembagian kekuasaan pada CDP berdasarkan desentralisasi brokrasi adalah pembagian kekuasaan diantara Trias Politica, dimana Legislatif berwenang untuk membuat UU, lalu Eksekutif bertugas untuk menjalankan UU, dan Yudikatif berwenang untuk mengawasi jalanya pelaksanaan UU dan pembuatan UU. Sedangkan Inspektif adalah pengawasan keuangan negara oleh lembaga negara Badan Pengawas Keuangan (BPK). CDP dalam proses pembagian kekuasaanya, pemerintah pusat mengurusi 6 urusan negara yakni Agama, Yustisi, Moneter, Keamanan, Pertahanan, dan Hubungan Luar Negeri. Sedangkan pemerintah daerah mengurus ±31 urusan, baik urusan wajib seperti pengadaan pendidikan, kesehatan, perhubungan, dan lain-lain di daerah dan urusan optional daerah seperti misalnya pertanian, pariwisata, kelautan, dan lain-lain. 2. Bentuk ADP di Indonesia terkait Desentralisasi Birokrasi Bentuk ADP di Indonesia terkait dengan desentralisasi birokrasi adalah pembagian kekuasaan didasarkan pada pembagian kekuasaan area atau daerah. Yakni pembagian kekuasaan pusat kepada daerah sehingga pembagianya dilakukan secara vertikal (top-down). Dimana Pemerintah pusat (Pempust) men-desentralisasikan kewenanganya kepada pemerintah daerah (Pemda). 10 Penyerahan wewenang ini terkait dengan teori birokrasi Weber adalah pada tipe dimana “tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan, dan jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint) “. Yakni terdapat tugas-tugas atas pendelegasian wewenang Pempust kepada Pemda yang didasarkan atas UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai aturan jenjang hirarki antara Pempust dan Pemda. Dalam prosesnya, Pempust memiliki wewenang yang tidak bisa dilakukan oleh Pemda yakni berupa 6 Urusan dan wewenang pembuatan UU. Sedangkan Pemda hanya melaksanakan UU tersebut dan tidak berwenang sama sekali atas 6 urusan yang dilakukan oleh Pmepust. Kemudian menurut fungsinya, dimana proses birokrasi tetap berjalan pada eksekutif, tetapi tedapat penurunan fungsi pada lembaga ini. Yakni adanya penurun eksekutif kepada eksekutif yang berada di tingkat Provinsi yakni oleh Gubernur, lalu diturunkan ke tingkat Kabupaten/Kota yakni Bupati/Walikota, lalu diturunkan lagi ke tingkat Kecamatan, yakni Camat, dan terakhir diturunkan lagi ke tingkat Kelurahan/Desa yakni Lurah. Dengan ini, terdapat beberapa kelebihan desentralisasi yang diungkapkan oleh Sarundajang, yakni seperti mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan, dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan, dalam system desentralisasi, dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu,yakni daerah dengan lebih mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus daerah (sesuai dengan tipe ideal birokrasi Weber, dimana terdapat pembagian divisi pegawai yang terdefinisi secara jelas), mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat, dari segi psikologi desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada daerah, dan desentralisasi akan memperbaiki kualitas pelayanan karena lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani. Namun, Di dalam pelaksanaan desentralisasi ini, sebenarnya tidak berjalan secara lancar. Hal ini sangat erat hubunganya dengan patologi birokrasi. Karena desentralisasi ini memiliki beberapa kelemahan yang diungkapkan oleh Agus Sumarsono (dalam makalahnya Otonomi Daerah dan good governace dalam rangka mewujudkan keberhasilan pembangunan daerah (2010 ; hal. 4) dikatakan bahwa terdapat kelemahan desentralisasi, yaitu: struktur organisasi birokrasi yang terlalu panjang, desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan” (etnocentries), pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui perundingan yang rumit, dan penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit dilaksanakan secara sederhana dan seragam. 11 Selain tersebut diatas, menurut saya, desentralisasi juga akan menyebabkan terjadinya patologi birokrasi. Hal ini karena terdapat dalam studi kasus yang diungkapkan oleh Indriyanto Seno Adji bahwa, “Dari sekitar 177 penyelenggara negara di tingkat kabupaten/kota yang diindikasikan terlibat korupsi, ternyata ada 155 kepala daerah yang terlibat masalah hukum. Dan, dari 32 gubernur, 17 di antaranya terlibat masalah hukum”. 12 Bab IV Studi kasus Desentralisasi Korupsi Oleh Indriyanto Seno Adji Pemahaman antara desentralisasi dan kepastian hukum, yang diikuti dengan kekuasaan dan investasi daerah, justru menimbulkan polemik dan ketidakpastian hukum. Hal itu terjadi karena investasi daerah akan selalu berkaitan antara kekuasaan negara (nasional/lokal) dan kekuasaan ekonomi (pengusaha/investor), yang akhirnya investasi berujung pada korupsi. Korupsi seolah tidak lagi menjadi dominasi kekuasaan pusat, tetapi meluas searah otonomi kekuasaan daerah. Polemik dan ketidakpastian hukum ini telah diingatkan sejak Kongres PBB VII tentang ”Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” di Milan, tahun 1985. Dalam kongres itu dibicarakan suatu tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu ”Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Dalam salah satu subtema ”dimensi baru” ini, yang mendapat sorotan adalah tentang terjadi dan meningkatnya ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh pejabat publik. Sorotan pun meluas dalam bidang ekonomi yang melibatkan pihak pelaku ekonomi (pengusaha) dan penguasa (penyelenggara negara) yang melakukan konspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Meningkat tajam Perbuatan-perbuatan di luar hukum itu oleh penegak hukum dianggap merugikan keuangan dan perekonomian masyarakat serta negara dalam skala yang sangat besar. Di sisi defensi penyelenggara negara, kegiatan yang telah dilakukan itu ada dalam batas-batas kewenangan berdasarkan regulasi dan diskresioner yang dimilikinya. Sementara bagi pengusaha, keterikatan keperdataan dengan penyelenggara negara dianggap bukan tindak pidana korupsi. Memasuki era reformasi, dengan sistem ketatanegaraan otonomi daerah dan pilkada, bermunculan kasus-kasus di sejumlah daerah dengan multi-investasi daerah yang justru 13 menimbulkan ”desentralisasi korupsi”. Dalam rentang waktu berlakunya otonomi daerah ini terjadi eskalasi yang cukup tajam peningkatan kasus hukum korupsi. Dari sekitar 177 penyelenggara negara di tingkat kabupaten/kota yang diindikasikan terlibat korupsi, ternyata ada 155 kepala daerah yang terlibat masalah hukum. Dan, dari 32 gubernur, 17 di antaranya terlibat masalah hukum. Keterlibatan para penyelenggara negara tersebut tentu tidak terlepas dari keterlibatan ratusan pengusaha/investasi nasional/lokal. Dominasi pelanggaran deliknya adalah perbuatan melawan hukum (violation of law) dan menyalahgunakan wewenang (abuse of power), yang dalam sistem hukum pidana berkaitan dengan korupsi terletak masing-masing pada Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Komparasi Amerika Serikat dan negara Eropa, seperti ungkapan Maria Sutopo Conboy, isu kekuasaan dan investasi daerah tak semata masalah hukum, tetapi merupakan hubungan antara disiplin ilmu ekonomi dan hukum yang tak dipahami penegak hukum secara mendalam. Dalam kasus Indonesia, Maria Sutopo dengan pendekatan analisis ekonomi dan hukum melalui metode cost benefit analysis menempatkan pelaku ekonomi sebagai korban pemerasan kekuasaan negara. Implementasi kekakuan regulasi kejahatan korupsi terhadap pelaku ekonomi telah menimbulkan biaya tinggi, kendala bagi pengembangan ekonomi dan investasi di daerah. Dalam konteks investasi daerah, signifikansi ekstrem keterlibatan penyelenggara negara yang tersangkut dalam kasus korupsi menimbulkan suatu pertanyaan: apa yang melatarbelakangi terjadinya masalah ini? Karena itu, tinjauan pemecahan masalahnya coba diuraikan secara singkat di bawah ini. Kekakuan UU Pertama, dalam kaitan otonomi daerah di mana disorot meningkatnya ”perbuatan melawan hukum” dan ”penyalahgunaan kekuasaan” oleh penyelenggara negara, kemudian meluas dan berimbas pada kekuasaan ekonomi privat (pengusaha) yang menimbulkan ”desentralisasi korupsi”. Pada akhirnya itu menimbulkan dugaan tindak pidana di bidang ekonomi sebagai 14 salah satu obyek kriminalisasi. Tafsir implementasi korupsi antara penyelenggara negara dan pelaku ekonomi saling bertahan. Ada tidaknya pemerasan dari penyelenggara negara kepada pelaku ekonomi mendominasi realitas dan realisasi segala perizinan. Arus pemerasan yang ditentang akan menghasilkan ketiadaan penerbitan izin dan sejenisnya. Sebaliknya, mengikuti keseragaman arus pemerasan menimbulkan harapan realisasi segera penerbitan izin, bahkan secara ekstrem akan terjebak pada kasus suap korupsi. Kedua, desentralisasi korupsi terjadi sebagai akibat kerancuan dalam memberikan limitasi yang diferensi antara norma (melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan) dalam hukum pidana dengan hukum administrasi negara dan hukum perdata. Kewenangan diskresioner dari aparatur negara berupa freies ermessen, baik perbuatannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan (kewenangan terikat) maupun menyimpangi peraturan perundang-undangan (kewenangan aktif)—dan dilakukan dalam kondisi mendesak, urgen, dan atau darurat sifatnya—merupakan area hukum administrasi negara yang tidak menjadi yurisdiksi tindak pidana korupsi. Tentu saja asalkan selaras dengan maksud ditetapkannya kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhirnya ditetapkan diskresioner ini. Adapun dalam hal terjadi penyimpangan, area hukum pidana menjadi pijakannya. Ketiga, meluruskan penyimpangan asas systematische specialiteit atau kekhususan sistematis yang telah menggariskan bahwa pelanggaran perundang- undangan administrasi yang bersanksi penal (administrative penal law) tidak selalu dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, tetapi menjadi area tindak pidana pada perundang-undangan administratif. Hal ini ditegaskan melalui Pasal 14 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang bertujuan menghindari tindak pidana korupsi sebagai all embracing act dan all purposing act terhadap administratif yang bersanksi penal. Keempat, adanya polemik atas tindakan atau perbuatan dalam kaitan privat sebagai akibat hubungan keperdataan dengan lembaga/aparatur negara, maka perbuatan dan akibat yang timbul dari hubungan tersebut terhadap pengusaha tunduk pada soal ”keperdataan”, bukan kompetensi tindak pidana korupsi dalam ranah hukum pidana. Ke depan, pengembangan ekonomi, investasi daerah dan kepastian hukum memerlukan pemahaman penegak hukum atas permasalahan hukum dan korupsi melalui pendekatan 15 analisis ekonomi dan hukum dengan metode cost benefit analysis. Dengan begitu, tidak menempatkan pelaku ekonomi sebagai korban pemerasan kekuasaan negara dan terhindar dari implementasi kekakuan UU Tipikor melalui biaya tinggi yang tidak bermanfaat! Indriyanto Seno Adji Pengajar Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sumber: Kompas, 8 Februari 2013 16 Bab V Penutup A. Kesimpulan Jadi, desentralisasi birokrasi adalah desentralisasi, dimana dalam pengertianya adalah penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Di dalam penyelenggaraan penyerahan wewenang baik secara horizontal (CDP) maupun secara vertikal (ADP) ini, telah terjadi permasalahan yang timbul yakni berupa kelemahan dari asas desentralisasi yang mengakibatkan terjadinya tipologi birokrasi. Dimana hal ini telah diungkapkan oleh Indriyanto Seno Adji dalam studi kasus diatas, yakni dalam hal kasus korupsi oleh beberapa para birokrat yakni khususnya pemimpin suatu wilayah atas pembagian secara desentralisasi. B. Saran Saran saya dari permasalahan yang lebih mengarah pada tindak korupsi oleh yang diakibatkan oleh kelemahan dari asas desentralisasi atau kelemahan asas desentralisasi yang membuka peluang terjadinya tipologi borokrasi, adalah bahwa perlu memperketat dan menekankan asas akuntabilitas dan transparansi yang disarankan oleh prinsip Good Governance. Meskipun hal ini sangat mengganggu privasi suatu lembaga maupun jajaran kepemimpinan para birokrat, tetapi hal ini sangat berguna bagi berjalanya proses desentralisasi dan dekonsentrasi di Indonesia bagi kesejahteraan masyarakat. 17 Daftar Pustaka Adji, Indriyanto Seno. 2013. Desentralisasi Korupsi. (Online), (http://andikhardiyanto.wordpress.com/2013/02/08/desentralisasi-korupsi-kompas/). Diakses 26 April 2013. Basri, Seta. 2009. Birokrasi dan Demokrasi, (Online), (http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html). Diakses 23 April 2013.. Bio Sosial, 2012. KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI, (Online), (http://www.bisosial.com/2012/11/keuntungan-dan-kelemahan- kebijakan.html). Diakses 26 April 2013. Ikhwan, Muhammad. 2011. Teori Desentralisasi, (Online), (http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_07.html). Diakses 23 April 2013. Makmur, Mochamad. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik. Malang: Medio. . 18