Jakarta, 11 Mei 2015 Tersengat Yellen Effect IHSG mengalami technical rebound 1,88% menjadi 5182,21 setelah kejatuhan drastis dua pekan lalu. Investor nampak memburu kembali saham-saham sektor domestik mengantisipasi peluang Bank Indonesia berani menurunkan suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya diberitakan terus melambat. Namun secara umum sentimen negatif masih menghantui pasar obligasi dan nilai tukar selama sepekan lalu terkait faktor eksternal berupa koreksi tajam pada harga obligasi global. Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, kurs rupiah melemah diatas 13.000 per dollar sementara yield SUN 10 tahun melesat menjadi 8,2%. Kami nilai yield ini menarik bagi investor lokal mengingat jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi inflasi jangka panjang (misal, rata-rata inflasi berdasarkan data historis 10 tahun terakhir 6,8%). Koreksi tersebut terjadi menyusul pertanyaan Gubernur the Fed Yellen yang dilansir media mengindikasikan bahwa harga obligasi dan valuasi saham dianggap terlalu tinggi. Penyataan Yellen tersebut memicu kenaikan Yield T-bond 10 tahun hingga mendekati 2,2% pada hari Kamis. Kenaikan yield T-bond ini memicu koreksi global. Koreksi harga obligasi negara yang lebih tajam nampak terjadi di Eropa dimana yield Jerman kini menjadi 0,579% setelah sebelumnya menyentuh angka negatif. Peraga dibawah ini menunjukkan peningkatan yield obligasi negara (indikasi “Now” yang berwarna biru ada disebelah kanan “Avg” berwarna coklat) kecuali untuk negara-negara pengekspor minyak seperti Rusia. Harga minyak sendiri menguat terkait dugaan berkurangnya kelebihan kapasitas setelah harga terjun bebas. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah kemana investor mengalihkan dana hasil dari aksi profit taking obligasi? Pasalnya indeks dollar (DXY) tetap mengalami pelemahan sementara harga emas tidak banyak membaik. Sangat bisa jadi investor dalam posisi cash. Lalu mengapa Yellen membuat pernyataan yang mengejutkan investor? Ada dugaan Fed sedang mempersiapkan langkah untuk mulai menaikkan suku bunga bila data non-farm payroll menunjukkan perbaikan. Sejauh ini indikator Bloomberg Economic Surprise Index masih terbilang mengecewakan. Cermati peraga dibawah ini. Akibat Perlambatan Pengeluaran Pemerintah Laju pertumbuhan ekonomi 1Q15 hanya 4,71% YoY, lebih rendah dibanding 4,9% konsensus. Terjadi perlambatan mengingat lebih rendah dibanding 5,01% pada 4Q14. Pengeluaran konsumsi rumah tangga masih bertumbuh 5% sementara investasi fisikal swasta 4,36%. Penyebab perlambatan ekonomi memang bisa dialamatkan kepada pengeluaran pemerintah yang hanya tumbuh 2,2% serta ekspor yang turun 0,51%. Keterbatasan pengeluaran pemerintah diduga terkait dengan pengesahan APBN-P 2015 yang baru dilakukan pada pertengahan Februari 2015. Sementara kejatuhan ekspor yang disertai dengan penurunan rasio ekspor terhadap GDP mengindikasikan keterbatasan Indonesia memanfaatkan pelemahan rupiah. Itu sebabnya sangat mendesak bagi pemerintah untuk mempercepat pengerjaan proyek infrastruktur untuk menurunkan biaya logistik, memacu industrialisasi serta peningkatan nilai tambah produk ekspor. Ditilik dari sisi produksi, sektor manufaktur hanya tumbuh 3,78%. Sektor ini pernah melesat sekitar 7% pada tahun 2011. Penurunan rasio nilai tambah sektor manufaktur terhadap GDP menandakan Indonesia mengalami risiko de-industrialisasi. Padahal sektor industri terbilang menyerap banyak kesempatan kerja. Pertumbuhan tertinggi, 10,3%, disumbang oleh sektor informasi dan telekomunikasi. Ditilik dari wilayah, perlambatan ekonomi sangat terasa di Kalimantan yang hanya bertumbuh 1% sementara Sumatera 3,5%. Kedua wilayah ini lebih terkena dampak penurunan harga komoditas primer seperti batubara, karet dan CPO. Sementara wilayah Jawa yang mencakup 58% kegiatan ekonomi mencatatkan pertumbuhan 5,17%. Pertumbuhan yang paling gegas masih terjadi di kawasan Bali dan Nusa Tenggara dengan 8,86% yang diikuti oleh Sulawesi 7,32%. Pemerintah Lebih Aktif Merespon kecemasan investor terhadap perlambatan ekonomi, pemerintah nampak terlihat aktif memacu pengerjaan proyek infrastruktur. Cermati saja sepekan lalu, media memberitakan Presiden Jokowi melakukan groundbreaking berbagai proyek infrastruktur mulai dari jalan tol lintas Sumatera, pembangkit listrik hingga rumah susun. Menteri Keuangan Bambang Permadi juga terlihat aktif menjelaskan situasi terkini dan proyeksi ekonomi ke depan baik melalui media televisi, dan langsung bertemu investor asing dalam forum International Institute for Finance pekan lalu. Market Diliputi “Fear”, Peluang Masuk Sebagai investor, kita perlu terus memantau kemajuan pengerjaan berbagai proyek infrastruktur vital. Memang butuh waktu agar proyek infrastruktur tersebut dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya kami memantau data moneter seperti pertumbuhan uang kas dan giral (M1). Hal ini penting mengingat kenyataan pasar saham berfungsi sebagai mesin disconto prospek masa depan yang kadang diwarnai oleh fenomena greed and fear. Kondisi fear biasa ditandai dengan koreksi tajam IHSG yang melebihi paras yang didukung oleh faktor fundamental. Itu sebabnya kami mengembangkan model yang menghubung kinerja indeks saham (warna biru) dan daya beli (warna merah) yang diukur berdasarkan pertumbuhan M1 secara riil. Peraga-peraga dibawah ini menunjukkan kesepadanan antara kedua variabel tersebut yang berlaku di negara lain seperti Malaysia, Thailand dan India. Terlihat dalam jangka panjang ada hubungan (korelasi) yang positif antara keduanya walau dalam jangka pendek sering diwarnai oleh deviasi. Kondisi ini mengindikasikan kinerja saham sejalan atau ditopang oleh sektor riil yang menjadi fundamentalnya. Dalam perhitungan model regresi, ada indikasi koreksi yang terjadi untuk IHSG terbilang berlebihan yang memberi alasan bagi investor jangka panjang untuk melakukan akumulasi. Berdasarkan data moneter terbaru bulan April, kami mencermati kondisi moneter yang lebih baik dalam artian pertumbuhan daya beli dan penyaluran kredit. Hal ini membuka peluang pertumbuhan M1 bulan April akan lebih tinggi dibanding Maret yang dapat melandasi penguatan IHSG. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation