Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 11 Mei 2015
Tersengat Yellen Effect
IHSG mengalami technical rebound 1,88% menjadi 5182,21 setelah kejatuhan drastis dua pekan lalu. Investor
nampak memburu kembali saham-saham sektor domestik mengantisipasi peluang Bank Indonesia berani
menurunkan suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya diberitakan terus
melambat. Namun secara umum sentimen negatif masih menghantui pasar obligasi dan nilai tukar selama
sepekan lalu terkait faktor eksternal berupa koreksi tajam pada harga obligasi global. Seperti terlihat pada
peraga dibawah ini, kurs rupiah melemah diatas 13.000 per dollar sementara yield SUN 10 tahun melesat
menjadi 8,2%. Kami nilai yield ini menarik bagi investor lokal mengingat jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi
inflasi jangka panjang (misal, rata-rata inflasi berdasarkan data historis 10 tahun terakhir 6,8%).
Koreksi tersebut terjadi menyusul pertanyaan Gubernur the Fed Yellen yang dilansir media mengindikasikan
bahwa harga obligasi dan valuasi saham dianggap terlalu tinggi. Penyataan Yellen tersebut memicu kenaikan
Yield T-bond 10 tahun hingga mendekati 2,2% pada hari Kamis. Kenaikan yield T-bond ini memicu koreksi
global.
Koreksi harga obligasi negara yang lebih tajam nampak terjadi di Eropa dimana yield Jerman kini menjadi
0,579% setelah sebelumnya menyentuh angka negatif. Peraga dibawah ini menunjukkan peningkatan yield
obligasi negara (indikasi “Now” yang berwarna biru ada disebelah kanan “Avg” berwarna coklat) kecuali
untuk negara-negara pengekspor minyak seperti Rusia. Harga minyak sendiri menguat terkait dugaan
berkurangnya kelebihan kapasitas setelah harga terjun bebas.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah kemana investor mengalihkan dana hasil dari aksi profit taking
obligasi? Pasalnya indeks dollar (DXY) tetap mengalami pelemahan sementara harga emas tidak banyak
membaik. Sangat bisa jadi investor dalam posisi cash.
Lalu mengapa Yellen membuat pernyataan yang mengejutkan investor? Ada dugaan Fed sedang
mempersiapkan langkah untuk mulai menaikkan suku bunga bila data non-farm payroll menunjukkan
perbaikan. Sejauh ini indikator Bloomberg Economic Surprise Index masih terbilang mengecewakan. Cermati
peraga dibawah ini.
Akibat Perlambatan Pengeluaran Pemerintah
Laju pertumbuhan ekonomi 1Q15 hanya 4,71% YoY, lebih rendah dibanding 4,9% konsensus. Terjadi
perlambatan mengingat lebih rendah dibanding 5,01% pada 4Q14. Pengeluaran konsumsi rumah tangga
masih bertumbuh 5% sementara investasi fisikal swasta 4,36%. Penyebab perlambatan ekonomi memang
bisa dialamatkan kepada pengeluaran pemerintah yang hanya tumbuh 2,2% serta ekspor yang turun 0,51%.
Keterbatasan pengeluaran pemerintah diduga terkait dengan pengesahan APBN-P 2015 yang baru dilakukan
pada pertengahan Februari 2015. Sementara kejatuhan ekspor yang disertai dengan penurunan rasio ekspor
terhadap GDP mengindikasikan keterbatasan Indonesia memanfaatkan pelemahan rupiah. Itu sebabnya
sangat mendesak bagi pemerintah untuk mempercepat pengerjaan proyek infrastruktur untuk menurunkan
biaya logistik, memacu industrialisasi serta peningkatan nilai tambah produk ekspor.
Ditilik dari sisi produksi, sektor manufaktur hanya tumbuh 3,78%. Sektor ini pernah melesat sekitar 7% pada
tahun 2011. Penurunan rasio nilai tambah sektor manufaktur terhadap GDP menandakan Indonesia
mengalami risiko de-industrialisasi. Padahal sektor industri terbilang menyerap banyak kesempatan kerja.
Pertumbuhan tertinggi, 10,3%, disumbang oleh sektor informasi dan telekomunikasi.
Ditilik dari wilayah, perlambatan ekonomi sangat terasa di Kalimantan yang hanya bertumbuh 1% sementara
Sumatera 3,5%. Kedua wilayah ini lebih terkena dampak penurunan harga komoditas primer seperti batubara, karet dan CPO. Sementara wilayah Jawa yang mencakup 58% kegiatan ekonomi mencatatkan
pertumbuhan 5,17%. Pertumbuhan yang paling gegas masih terjadi di kawasan Bali dan Nusa Tenggara
dengan 8,86% yang diikuti oleh Sulawesi 7,32%.
Pemerintah Lebih Aktif
Merespon kecemasan investor terhadap perlambatan ekonomi, pemerintah nampak terlihat aktif memacu
pengerjaan proyek infrastruktur. Cermati saja sepekan lalu, media memberitakan Presiden Jokowi
melakukan groundbreaking berbagai proyek infrastruktur mulai dari jalan tol lintas Sumatera, pembangkit
listrik hingga rumah susun. Menteri Keuangan Bambang Permadi juga terlihat aktif menjelaskan situasi
terkini dan proyeksi ekonomi ke depan baik melalui media televisi, dan langsung bertemu investor asing
dalam forum International Institute for Finance pekan lalu.
Market Diliputi “Fear”, Peluang Masuk
Sebagai investor, kita perlu terus memantau kemajuan pengerjaan berbagai proyek infrastruktur vital.
Memang butuh waktu agar proyek infrastruktur tersebut dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Itu
sebabnya kami memantau data moneter seperti pertumbuhan uang kas dan giral (M1). Hal ini penting
mengingat kenyataan pasar saham berfungsi sebagai mesin disconto prospek masa depan yang kadang
diwarnai oleh fenomena greed and fear. Kondisi fear biasa ditandai dengan koreksi tajam IHSG yang melebihi
paras yang didukung oleh faktor fundamental.
Itu sebabnya kami mengembangkan model yang menghubung kinerja indeks saham (warna biru) dan daya
beli (warna merah) yang diukur berdasarkan pertumbuhan M1 secara riil. Peraga-peraga dibawah ini
menunjukkan kesepadanan antara kedua variabel tersebut yang berlaku di negara lain seperti Malaysia,
Thailand dan India. Terlihat dalam jangka panjang ada hubungan (korelasi) yang positif antara keduanya
walau dalam jangka pendek sering diwarnai oleh deviasi. Kondisi ini mengindikasikan kinerja saham sejalan
atau ditopang oleh sektor riil yang menjadi fundamentalnya.
Dalam perhitungan model regresi, ada indikasi koreksi yang terjadi untuk IHSG terbilang berlebihan yang
memberi alasan bagi investor jangka panjang untuk melakukan akumulasi. Berdasarkan data moneter
terbaru bulan April, kami mencermati kondisi moneter yang lebih baik dalam artian pertumbuhan daya beli
dan penyaluran kredit. Hal ini membuka peluang pertumbuhan M1 bulan April akan lebih tinggi dibanding
Maret yang dapat melandasi penguatan IHSG.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation
Download