BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Komunikasi merupakan aktivitas alamiah dan naluriah manusia sebagai makhluk hidup yang diberikan akal budi, pancaindra dan kehendak oleh Tuhan Yang Maha Esa. Komunikasi adalah “bahasa”, yang diartikan sebagai proses kerja akal budi dan pancaindra untuk mengutarakan kehendak antara manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Komunikasi yang dalam terjemahan bahasa Inggris adalah Communication, berasal dari bahasa Latin yakni communis yang berarti “sama”1. Sebelum dikenal adanya kesatuan bahasa antarmanusia, banyak bentuk yang digunakan untuk berkomunikasi, seperti melalui simbol-simbol maupun tanda-tanda tertentu yang menggambarkan sesuatu dengan tujuan bahwa simbol-simbol atau tanda-tanda tersebut dapat dipahami dan dimengerti oleh pihak yang diajak berkomunikasi. Berbicara dan mendengar adalah dua kegiatan yang tidak pernah lepas dari rutinitas kehidupan manusia sehari-hari sebagai makhluk hidup. Untuk menjalankan rutinitas tersebut, manusia tidak dapat melakukannya seorang diri melainkan memerlukan keterlibatan orang lain. Sejalan dengan teori zoon politicon bahwa manusia adalah makhluk sosial, karenanya seorang pribadi manusia sangat bergantung pada manusia lain untuk saling melengkapi. Oleh 1 William I. Gorden, Communication: Personal and Public, (Sherman Oaks, CA: Alfred, 1978), hlm. 28. 10 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 sebab itu, pola hubungan manusia dengan manusia lainnya sangat dibebankan pada eksistensi komunikasi. Keberhasilan komunikasi yang diadakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bergantung pada bagaimana komunikasi itu diaplikasikan oleh kedua belah pihak secara interaktif. Bentuk komunikasi yang kita kenal, antara lain komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesanpesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Secara teoritis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis komunikasi ini saling jalin-menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari. Jalaludin Rakhmat mengelompokkan pesan-pesan nonverbal sebagai berikut: 1. Pesan kinesik. Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti, terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural dan pesan postural: Pesan fasial, menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapa menyampaikan paling sediki sepuluh kelompok makna: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan. 2. Pesan proksemik, disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. 3. Pesan artifaktual, diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 4. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda. 2 Berangkat dari teori tersebut di atas, komunikasi nonverbal mampu menampilkan kelebihan-kelebihan terutama dikaitkan dengan penelitian ini, antara lain: 1. Lawan bicara pada komunikasi nonverbal lebih banyak “membaca” pikiran dari komunikator melalui petunjuk-petunjuk nonverbal yang ditampilkannya; 2. Pesan nonverbal menyampaikan maksud dan makna yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan, karena jarang diatur oleh komunikator secara sadar; 3. Pesan nonverbal mampu memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan (metakomunikatif); 4. Dari segi waktu, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan nonverbal juga dapat menjadi media yang tepat untuk mengungkapkan gagasan dan emosi komunikator secara tidak langsung. (audience). Seseorang yang berbicara membutuhkan lawan bicara (audience Demikian juga seorang pendengar, oleh si pembicara diharapkan tidak hanya meresapi makna dari apa yang didengar namun terutama adalah mampu memberikan reaksi atas apa yang disampaikan sehingga tujuan komunikasi 2 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 289-290. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 pun dapat tercapai. Bentuk komunikasi dua arah yang sederhana tersebut secara konkret memotret fungsi atas pancaindera yang dimiliki manusia. Pendayagunaan fisiologis indera manusia ini dikategorikan sebagai komunikasi secara lisan. Komunikasi lisan mensyaratkan interaksi secara langsung sedikitnya antara seorang pendengar dan seorang pembicara melalui tatap muka. Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dahulu memang hanya dapat dilakukan dengan keadaan hadir, yang lazim disebut dengan tatap muka. Namun bentuk demikian bukanlah satu-satunya cara manusia berkomunikasi. Bentuk lain yang memiliki karakteristik tersendiri adalah komunikasi secara tidak langsung, dimana seorang menyampaikan kehendaknya melalui suatu media baik tulisan, suara maupun simbol-simbol tertentu kepada orang lain. Bentuk komunikasi lain yang juga mendukung pembahasan ini adalah komunikasi transaksional, dimana dalam komunikasi ini terdapat proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) yang terjadi hampir bersamaan ketika berkomunikasi. Perspektif transaksional memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu serentak dan saling mempengaruhi.3 Secara prinsip, proses komunikasi merupakan proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat berupa ide, gagasan, opini, kehendak, dan infomasi lain yang muncul dalam diri pribadi maupun lingkungan yang ditangkap komunikator. 3 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 109. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Perasaan itu dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang muncul dari pribadi komunikator itu sendiri. Komunikasi dinilai berhasil efektif bilamana pikiran itu disampaikan dengan menggunakan perasaan yang disadari. Sebaliknya komunikasi cenderung akan gagal apabila sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak dalam kontrol yang tepat. Kegagalan inilah yang sering diartikan sebagai salah satu bentuk miskomunikasi. Proses komunikasi sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu, maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus memperhitungkan ciri-ciri atau sifat-sifat media yang akan digunakan. Dengan demikian, proses komunikasi sekunder menggunakan media dapat diklasifikasikan sebagai media massa (massmedia) dan media nirmassa atau media nonmassa (non-mass media). Salah satu contoh media nirmassa adalah telepon genggam. Berangkat dari pemahaman di atas, proses komunikasi dengan media telepon genggam diterjemahkan dalam proses komunikasi sekunder. Terjemahan tentang komunikasi dengan telepon genggam memang cukup mengundang kontroversi oleh sebagian kalangan. Komunikasi demikian oleh sebagian pihak dikategorikan sebagai komunikasi secara langsung---karena dilakukan pada waktu yang sama---, sebagian berpendapat komunikasi seperti dimaksud adalah komunikasi secara tidak langsung. Perbedaan persepsi tersebut tidak merupakan kendala, dan sebagai jalan tengah, Peneliti http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 mengadopsi pendapat bahwa komunikasi dua arah dengan media telepon genggam adalah komunikasi secara langsung yang penyampaiannya dilakukan dengan bantuan media, yaitu: telepon genggam. Komunikasi menyatakan suatu ide/pemikiran kreatif, opini, makna maupun pesan termuat secara sama. Everett M. Rogers mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.4 Pendapat Rogers ini lebih menekankan fungsi dan tujuan dari komunikasi itu sendiri, yakni menjalankan apa yang baik dari sudut pandang si penyampai (sumber) kepada si penerima. Sementara Theodore M. Newcomb berpendapat bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber kepada penerima.5 Secara tegas Theodore menggunakan istilah rangsangan yang diskriminatif, sementara Roger mengungkapkan ada kehendak dari penyampai (sumber) untuk mengubah tingkah laku mereka (penerima). Mengadopsi pendapat kedua pakar, Peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi dalam artian luas adalah proses penyampaian atau transfer informasi kepada orang lain dalam berbagai media, dengan motivasi dan tujuan tertentu yang dikehendaki oleh sumber. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesesuaian kehendak antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat saling 4 Hafied Cangara. Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hlm. 18. Thomas M. Scheidel. Speech Communication and Human Interaction, edisi ke-2, (Glenville, III: Scott, Foresman & Co. 1976), hlm. 5. 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). Tanpa pemahaman yang sesuai, maka efek yang dikehendaki pun tidak tercapai sehingga menimbulkan apa yang disebut misunderstanding of communication atau “salah tangkap”. Menurut penggunaannya, telepon genggam juga berperan dalam proses komunikasi antarpribadi, yaitu antara komunikan dengan komunikator. Komunikasi antarpribadi terjadi melalui perantara media yaitu telepon genggam atau handphone. Komunikator dan komunikan relatif saling mengenal, pesan dikirimkan dan diterima secara simultan dan spontan, relatif kurang terstruktur, sementara umpan balik dapat diterima dengan segera. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator dapat mempengaruhi secara langsung tingkah laku komunikannya, memanfaatkan pesan verbal dan nonverbal, serta segera merubah atau menyesuaikan pesan apabila didapatkan umpan balik yang negatif.6 Handphone sebagai alat komunikasi juga mempunyai fungsi lain dalam kaitannya dengan komunikasi nonverbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.7 Dengan komunikasi yang dilakukan melalui media telepon genggam, baik komunikator dan komunikan dapat saling mengetahui bagaimana suasana emosional satu sama lain, apakah komunikator dan/atau komunikan sedang merasa bahagia, bingung, bahkan sedih. Dengan komunikasi secara nonverbal, komunikator dan komunikan 6 Dani Vardiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi: Pendekatan Taksonomi Konseptual, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 30. 7 Deddy Mulyana, op. cit., hlm. 308. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 dapat saling mengenal lebih jauh. Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard E. Porter membagi pesan nonverbal menjadi 2 (dua) kategori besar, yaitu : a. Pertama: perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; b. Kedua: ruang, waktu dan diam. Dalam kaitannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi sebagai berikut : a. b. c. d. Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal; Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal; Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal; Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.8 2.2 Gaya Hidup (lifestyle) Kata “style” berasal dari bahasa Latin, Stilus yang berarti “peralatan menulis”, maka itulah ide tulisan tangan sebagai ekspresi langsung karakter individual, gaya mencerminkan manusianya. Gaya dapat dikatakan sebagai fenomena yang tampaknya menjadi bagian dari properti objek. Gaya erat kaitannya dengan relasi konteks sosial, struktur sosial dan kelompok. Gaya mengomunikasikan rasa kompleksitas masyarakat. Alvin toffler menjelaskan: “Dihadapkan dengan sistem nilai yang bertubrukan, berkonfrontasi dengan pameran membutakan barang-barang konsumen baru, pelayanan, pendidikan, pekerjaan dan berbagai pilihan rekreasional, orang-orang masa depan didorong untuk membuat pilihan dengan cara baru. Mereka mulai mengkonsumsi gaya hidup sebagaimana orang-orang terdahulu, orang8 Ibid., hlm. 314. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 orang dimasa mereka tercekik oleh pilihan yang sedikit, mengonsumsi produk-produk biasa”.9 Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Interaksi sehari-hari setiap individu, selalu diwarnai dengan penerapan gagasan mengenai gaya hidup. Penggambarannya bersifat abstrak namun mampu ditampilkan pada khalayak dan pilihannya jatuh pada pendapat individu. Oleh karenanya, gaya hidup membantu memahami apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya atau orang lain. Seorang ahli bernama Alfred Adler mendefinisikan gaya hidup sebagai tujuan yang dibentuk oleh seseorang untuk dirinya sendiri dengan cara-cara yang digunakannya dalam mencapai tujuan tersebut.10 Pendapat tersebut menurut hemat Peneliti, menekankan pada pencitraan pribadi seseorang dalam lingkungannya melalui proses pencarian “jati diri”. Artinya, orang tersebut menciptakan suatu gambaran diri dengan caranya sendiri yang dapat berbeda dengan persepsi orang lain. Sementara Sobel menyatakan bahwa gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas, dan karena itu dapat dikenali. Cara tersebut biasanya dijalankan bersama oleh sekelompok orang tertentu dan terdiri dari perilakuperilaku ekspresif. Dalam sejarah Amerika, perilaku ekspresif semacam itu terfokus pada konsumsi barang dan jasa.11 9 Alvin Toffler, Future Shock, (New York: Random House, 1970), hlm. 305. David L. Loudon & Albert J. Della Bito, Consumer Behaviour: Concept and Aplications, fourth edition, (USA: McGraw Hill Inc., 1993), hlm. 60. 11 David Chaney, op. cit., hlm. 50. 10 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 Nugroho J. Setiabudi berpendapat bahwa gaya hidup ditunjukkan oleh perilaku tertentu sekelompok orang atau masyarakat yang mengandung nilainilai dan tata kehidupan yang hampir sama. Gaya hidup yang berkembang di masyarakat akan merefleksikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat itu.12 Disini tampak bahwa penekanan gaya hidup yang terbentuk dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Nilai-nilai itulah yang menjadi dasar untuk kemudian disepakati hal-hal tertentu ditarik menjadi gaya hidup. Sedangkan James F. Engels menyebut gaya hidup sebagai pola-pola bagaimana individu hidup, menghabiskan waktu dan uang. Gaya hidup tersebut digunakan untuk mengukur aktivitas, minat atau ketertarikan dan pendapat dari seseorang.13 Hampir mirip dengan Engels, Mowen menyebutkan gaya hidup berhubungan dengan bagaimana seseorang hidup, bagaimana mereka menghabiskan uangnya, dan bagaimana mereka menggunakan waktunya.14 Kedua pendapat ini menekankan pada pola-pola kehidupan individu yang tercipta dari keseharian mereka menjalankan minat yang didukung dengan materi penunjang yang sebanding. Menurut Henry Assael, gaya hidup adalah “A “ lifestyle is broadly definite as a mode of living that is identified by how people spend their time 12 Nugraha J. Setiadi, Perilaku Konsumen dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 152. 13 James F. Engels, Roger D. Blackwell, Paul W. Miniard, Consumer Behaviour 8th Edition, (The USA: Dryden Press, Harcourt Brace College Publishing, 1995), hlm. 449. 14 John. C. Mowen, Consumer Behaviour, (New Jersey: Prentice-Hall, 1995), hlm. 259. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 (activities); what they consider important in their environment (interests); and what they think about themselves and world around them (opinions).”15 Dengan kata lain, gaya hidup didefinisikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan sebagai cara individu menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang menurut mereka penting (minat), dan cara pandang/pendapat terhadap diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan gaya hidup sebagai cara kehidupan yang khas dan oleh karena itu dapat dikenali, yang didalamnya terdapat pola-pola tindakan dan perilaku ekspresif yang dapat membedakan antara satu kelompok dengan yang lain. Dalam gaya hidup tersebut akan terlihat nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Secara prinsip, gaya hidup tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Peneliti mencoba membatasi dimensi faktor internal dan eksternal dimaksud, antara lain: 1. Aktivitas Dimensi aktivitas pada gaya hidup mencakup apa yang dikerjakan, seperti rutinitas pekerjaan, hobi, sosial events, hiburan, komunitas, dan sebagainya. 2. Minat Hal-hal yang termasuk dalam minat adalah keluarga, rumah, pekerjaan, media, seni, fashion, dan achievement. Setiap individu pasti memiliki minat pada hal tertentu, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh dalam diri 15 Henry Assael, Consumer Behaviour and Marketing 4th Edition, (Boston: Publishing Company, 1992), hlm. 294. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 maupun lingkungannya. Namun, minat cenderung berangkat dari sisi internal seseorang yang diawali dengan ketertarikan pada suatu hal. 3. Persepsi Persepsi adalah aktivitas berpikir yang memampukan individu dalam mengartikan stimuli yang disajikan kepadanya. Persepsi mencakup pendapat tentang diri individu yang bersangkutan, isu-isu sosial, politik, pendidikan, bisnis, produk, masa depan dan budaya. 4. Social reference (referensi sosial) Referensi sosial cenderung menampung pendapat umum sehingga tidak jarang suatu pilihan gaya hidup menjadi trend bagi kalangan tertentu. Tidak mengejutkan bila dikatakan bahwa referensi sosial senantiasa melahirkan komunitas dari gaya hidup yang ditampilkan. Referensi sosial merupakan faktor eksternal yang menurut hemat Peneliti kuat pengaruhnya dalam melahirkan pilihan gaya hidup. 5. Motif Dalam menentukan pilihan gaya hidup terlihat bahwa ada dorongan atau motif tertentu yang ingin dicapai oleh para pengguna. Motif yang dimiliki oleh masing-masing informan menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi pemilihan gaya hidup subyek penelitian. Pilihan gaya hidup yang dijalani saat ini merupakan hasil pergulatan diri manusia atas pilihan model gaya hidup yang ditawarkan dimasyarakat. Citra diri menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan menjadi lebih penting dibandingkan dengan substansi. Gaya dan desain http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 menjadi lebih penting daripada fungsi, dan telah menggantikan substansi serta mengaburkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seseorang. Gaya merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakkan pandangan umum dalam suatu kelompok, mencampurkan nilainilai tertentu melalui bentuk-bentuk yang mencerminkan perasaan. Dan secara naturaliah, manusia merupakan subjek gaya sehingga kecenderungan satu masyarakat dapat dianalisa dengan spektrum gaya. Alvin Toffler melanjutkan bahwa gaya hidup merupakan wahana yang dengannya individu mensinyalkan identifikasi mereka dengan subkultur khusus. Setiap gaya hidup dikonstruksi dari mosaik berbagai item. item Oleh karenanya, gaya hidup merupakan semacam “super-produk” yang menawarkan cara mengorganisasikan produk dan ide. Dipandang dari fungsi sosial, gaya hidup menawarkan rasa identitas namun gaya hidup juga merupakan alat untuk mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh terlalu banyaknya pilihan. Dan berbicara tentang gaya hidup sebagai pilihan, maka akan mengarah pada “kedaulatan konsumen” yakni bahwa konsumen menggunakan kekuasaan dengan “voting” menggunakan uangnya. Gaya hidup menjadi salah satu kerangka utama dalam menata dan memanipulasi identitas sosial. Maka dari itu, gaya hidup terutama terartikulasi melalui perubahan secara konstan tontonan dari penampilan-penampilan tampak luar. Cooley dengan teorinya looking-glass self mencoba menjelaskan sebuah doktrin bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Ada 3 tahap yang dipaparkan Cooley terkait teori looking-glass self tersebut. Pada tahap http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap kedua, seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu. Manusia menduga terlebih dahulu dengan berasumsi bahwa seseorang memiliki pandangan terhadap dirinya. Kemudian, manusia tersebut melanjutkan dugaannya dengan asumsi bahwa orang lain memiliki penilaian terhadap penampilan dirinya. Pada tahap akhir, dengan pengamatan secara diam-diam maupun terang-terangan, manusia dengan sifat kemanusiaannya itu mempunyai perasaan hasil dari penilaian orang lain itu. Sejalan dengan teori manusia sebagai makhluk sosial, pendapat Cooley menjembatani pemahaman Penulis bahwa gaya hidup manusia saat ini telah menjelma menjadi komoditi yang dikonsumsi. Produsen dan media terus menginjeksikan pentingnya citra diri agar mendapat porsi dalam kehidupan bermasyarakat. Ditelusuri pada sejarah perkembangan manusia Indonesia yang cenderung meniru, gaya hidup yang ditawarkan media dan produsen menjadi sebuah citra netral yang mudah ditiru, dijiplak, dipakai sesuka hati oleh setiap orang, dan tidak lagi dimonopoli oleh kalangan eksklusif. Celakanya, pemaknaan demikian tidak disadari oleh masyarakat sebagai kesuksesan produsen dan media, melainkan diinsafi sebagai hasil dari pergulatan diri pribadi mencari identitas dan sensibilitas dengan lingkungan hidup. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 Berangkat dari penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa, maka tidak heran dapat muncul kemudian pandangan bahwa penampilan dari apa yang dilihat menjadi sangat penting karena merupakan sumber utama makna. Dengan menyadari arti penting penampilan, berimplikasi pada mahasiswa bersangkutan untuk menghadirkan kepentingan yang besar sekali untuk memantau penampilan diri mereka sendiri dan juga untuk orang lain yang dapat mereka kontrol. Setiap orang dalam masyarakat bisa bersama-sama berpartisipasi dalam permainan gaya hidup, namun ini mengabaikan fakta bahwa kelompok sosial masih berbeda dalam kepemilikan ekonomi dan modal budayanya. Secara sederhana, rentangan pilihan yang tersedia bagi ekonomi lemah jauh lebih terbatas dibandingkan dengan rentangan pilihan bagi kelompok ekonomi kuat. Adapun salah satu unsur yang mempengaruhi gaya hidup adalah unsur kecenderungan terhadap kesenangan. Kesenangan sendiri diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kesenangan hasrat: yaitu, lamunan dan fantasi tentang kepemilikan barang-barang yang didesain di masa depan. Kesemuanya ini dibahankabari oleh iklan, window shopping, dan rasa kecemburuan atas barang milik orang lain. 2. Kesenangan membeli: yaitu kesenangan berbelanja, menghabiskan uang/membeli dan kepemilikan. 3. Kesenangan atas objek itu sendiri: yaitu kualitas kebaruannya, kesempurnaan sentuhan akhir, kesempurnaan berbagai faktor desain dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 estetik/deoratif-warna, bentuk, tekstur dan sebagainya-yang menarik bagi indera. 4. Kesenangan guna: yaitu kepuasan yang diperoleh ketika produk itu cocok untuk digunakan dan dimainkan juga untuk dijanjikan. Kesemua kesenangan ini bergantung, tentu saja, pada karakter produk terkait, misalnya dalam perkara mobil, kesenangan guna bisa berupa kecepatan dan kekuatannya. 5. Kesenangan berkenaan dengan yang lain: yaitu impresi yang dibuat seseorang melalui kepemilikan barang-barang citraan, status atau prestise yang dipertinggi, impresi atas kekayaan atau selera yang halus. Berbagai respons rasa iri, hormat dan hasrat seksual. Tampaknya bukan keliru bilamana Penulis beranggapan bahwa globalisasi saat ini juga merambah pada globalisasi hasrat, dimana anak muda zaman sekarang cenderung terpesona pada budaya popular. Representasi globalisasi hasrat dimaksud terpancar pada homogenitas kebanyakan orang---terutama mahasiswa dalam penelitian ini---yang menginginkan sesuatu yang kurang lebih sama. Hasrat tidak semata-mata terbentuk dari rasa kurang ((lack of), melainkan dipengaruhi pula oleh dorongan dasar yakni karnal (carnal) dan libidinal. Karnal (carnal) adalah hasrat tubuh terhadap sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, makanan, dan segala hal material lainnya. Pembentukan karnal bergantung kepada sesuatu yang sifat dasar dari objek itu sendiri yang “bersentuhan” dengan individu. Libidinal adalah hasrat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman orang lain, kepandaian, dan segala hal immaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal lebih mengarah kepada sifat egosentris seseorang. Leiss, et al., mengemukakan fenomena penampilan demikian dengan 4 (empat) tahap yakni: idolatry (produk-produk yang disajikan dalam nilai guna murni); iconology (produk-produk diberi atribut-atribut simbolik); narsisme (produk-produk dipersonalisasi dan dinilai secara interpersonal); dan totemisme, produk-produk tampil sebagai suatu tanda atau indikator bagi suatu kolektivitas yang definisikan lewat penampilan dan aktivitasnya.16 Meyer Schapiro mendefiniskan gaya sebagai bentuk yang konstan dan kadangkala unsur-unsur, kualitas-kualitas dan ekspresi yang konstan dari perseorangan maupun kelompok.17 Lebih spesifik, Alvin Toffler berpendapat bahwa gaya adalah alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun oleh mosaik beberapa item, yaitu: super produk yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.18 Gaya hidup memang menawarkan rasa identitas dan sekaligus alat untuk menghindari kebingungan karena begitu banyaknya pilihan. Generasi muda menurut pandangan ahli Michael Brake terbagi atas: 1. Generasi muda yang terhormat 2. Generasi muda yang melakukan pelanggaran norma/hukum 3. Pemberontakan-pemberontakan kebudayaan 16 David Chaney, op. cit., hlm. 177. Alfathri Aldin, Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 1997), hlm. 165. 18 Loc. cit. 17 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 4. Generasi muda yang militan secara politik19 Sementara Fornas melihat bahwa generasi muda didefinisikan dengan tiga cara: 1. Sebagai fase perkembangan fisiologis; 2. Sebagai kategori sosial yang dibentuk oleh institusi-institusi seperti sekolah, dan untuk sebagian didefinisikan melalui ritual-ritual sebagai konfirmasi; 3. Sebagai fenomena kebudayaan yang berpusat pada pengungkapan identitas20 Berangkat dari pendapat para ahli diatas, Penulis sependapat bahwa generasi muda merupakan kaum pemberontakan-pemberontakan kebudayaan dalam pengertian menurut hemat Penulis bahwa generasi muda saat ini lebih agresif dalam proses pencarian identitas dirinya, sehingga cenderung berseberangan jauh dengan pandangan konservatif (orangtua). Pendapat demikian kian dipertegas oleh Fornas yang salah satunya mendeskripsikan generasi muda sebagai fenomena kebudayaan yang berpusat pada pengungkapan identitas. Generasi muda saat ini disebut dengan generasi digital. Generasi muda diundang untuk mengonsumsi, generasi muda adalah pasar, generasi muda diubah menjadi komoditas tersendiri. Artinya, hampir semua aktivitas keseharian mereka tidak terlepas dari hal-hal yang berbau digital dan faktanya, mereka dijadikan patokan oleh pasar. Lihatlah betapa generasi muda ditawarkan representasi gaya hidup yang atraktif dan aktif, dan senantiasa menjadi lahan yang menarik untuk “pelemparan” suatu produk, yang dalam 19 Michael Brake, dalam Graeme Burton, Pengantar Untuk Memahami Media Dan Budaya Populer, (Yogyakarta: Jalasutra, 1999), hlm. 149. 20 Fornes, Loc. cit. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 hemat Penulis terlebih adalah produk elektronik. Maka tidaklah heran, bila generasi mahasiswa saat ini pun dikenal dengan sebutan mahasiswa “paperless”, artinya, setiap mahasiswa seakan “diwajibkan” memiliki piranti elektronik seperti komputer jinjing (laptop) untuk menunjang proses perkuliahan yang dijalaninya. Claude Hopkins dalam bukunya Secientific Advertising mendefinisikan iklan sebagai pengiriman lembar penawaran atau promosi lewat pos.21 Dahulu iklan memang masih sederhana, namun kini cara beriklan sudah semakin bervariasi. Kegiatan beriklan tidak lagi sepenuhnya intuitif, karena nyatanya banyak menerapkan kaedah-kaedah ilmu sosial dalam memperkirakan dan mencoba mempengaruhi perilaku konsumen. Albert Frey mengemukakan tentang empat jenis bujukan dalam periklanan, yakni: 1. Bujukan Primer: dimaksudkan agar konsumen membeli satu jenis produk tertentu 2. Bujukan Selektif: agar konsumen membeli merek tertentu 3. Bujukan emosional: menggugah emosi konsumen agar membeli sesuatu 4. Bujukan Rasional: agar konsumen mau berpikir dalam memilih produk22 2.3 Citra Diri Gaya hidup ditentukan oleh keinginan seseorang untuk memproyeksikan citra dirinya. Citra diri (self image) dapat diartikan sebagai bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, dan mungkin diartikan sebagai bagaimana persepsi orang lain terhadap seseorang. Pembahasan tentang citra diri sebenarnya mempunyai banyak cabang. Misalnya, dalam diri seseorang 21 William L. Rivers, et. al., Media Massa Dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 271. 22 Loc. cit. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 terdapat gambaran idaman mengenai dirinya, yang disebut sebagai citra diri ideal (ideal self image).23 Berangkat dari citra diri yang menjadi tema besar penelitian, maka Peneliti mengaitkannya dengan pendapat Scott M. Cutlips and Allen H. Center yang mengatakan bahwa Public Relation is a planned effort to influence opinion through good character and responsible performance based upon mutual satisfactory two-way communication. Berdasarkan bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain, inilah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi gaya hidup seseorang. Ia memiliki frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku yang tertuang dalam minat, aktivitas dan opininya. Akan terbentuk pola perilaku tertentu, terutama berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image dimata orang lain yang melekat. Berkaitan dengan citra diri, terdapat suatu teori yang sejalan yakni teori dramaturgi. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk 23 A.B. Susanto, Potret-potret Gaya Hidup & Citra Metropolis, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 5. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”24. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku pertunjukan yang drama, mendukung seorang aktor perannya drama tersebut. kehidupan Selayaknya juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Fungsi telepon genggam tidak hanya dalam “harkatnya” sebagai alat telekomunikasi. Telepon genggam juga berfungsi sebagai atribut yang melekat pada tampilan seseorang juga berkontribusi dalam proses komunikasi insani. Telepon genggam dianggap memiliki fungsi komunikatif dalam bentuk komunikasi artifaktual (artifactual communication). Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui penataan berbagai artefak, misalnya: pakaian, dandanan, barang perhiasan, dan juga aksesoris lain yang melekat pada diri seseorang. Pesan yang disampaikan oleh komunikasi artifaktual adalah pesan non-verbal. Sebagai bentuk komunikasi, telepon genggam high-end yang dikategorikan sebagai barang perhiasan dapat menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non-verbal dan dapat menjadi sebuah identitas diri seseorang. Seperti halnya dengan seseorang yang menggunakan cincin bertahtakan 24 Littlejohn Stephen W dan Karen A.Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9. Terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2009). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 berlian yang mengomunikasikan dirinya sebagai anggota kelompok eksklusif, kelas tertentu yang berbeda dengan masyarakat mayoritas. Dalam tatanan pascatradisional (modernitas), diri (self) menjadi suatu proyek refleksif. Era keterbukaan kehidupan sosial saat ini menjadikan pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktivitas keseharian. Gagasan gaya hidup saat ini telah dikorup oleh konsumerisme. Konsumerisme diterjemahkan sebagai kebahagiaan individu atas konsumsi dan atas upaya memiliki suatu barang yang diawali dengan kemunculan kelompok kelas menengah pada awal abad ke-20 yang berkembang semakin besar pada akhir abad ke-20 melalui proses globalisasi. Ketika konsumerisme bukan lagi fenomena baru, ia telah berubah menjadi budaya. Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari sistem kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kontinuitas, keunikan, dan konsistensi dari kepribadian. Identitas dipengaruhi oleh stresor sepanjang hidup. Cara khusus yang dipilih seseorang untuk mengekspresikan diri merupakan bagian dari usahanya mencari gaya hidup pribadinya. Dengan cara yang nyaris sama, manusia mengindividualisasikan gaya hidup pribadinya. Namun biasanya selalu ada kemiripan yang jelas dengan salah satu model gaya hidup dan menjadi magnet yang mengikat bagi orang lain dan mampu menyerang milik psikologis manusia yang paling rawan: citra diri (self-image). Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 32 Konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Kita mulai membentuk konsep diri saat usia muda. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri. Berangkat dari prinsip dasar dalam psikologi bahwa ketika sebuah stimulus muncul berulang-ulang diikuti oleh stimulus yang lain, stimulus yang pertama akan segera dianggap sebagai tanda-tanda bagi munculnya stimulus yang mengikutinya. Artinya, ketika stimulus pertama terjadi, seseorang akan menduga stimulus kedua akan segera muncul. Manusia cenderung mengadopsi sikap orang lain dan cenderung setuju atas pilihan mayoritas yang dipilih kaum minoritas, bahkan rela mengesampingkan faktor fungsional pada tahap tertentu. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain terutama dalam suatu komunitas baru, maka secara alamiah identitas diri seseorang akan dipengaruhi oleh lingkungannya tersebut. Sifat masyarakat Indonesia (kebanyakan) adalah cenderung selalu ingin meniru dan menyamai orang lain. Artinya, ada hal-hal eksternal yang demikian kuat pengaruhnya mendongkrak “kelompok” manusia Indonesia demikian untuk menjadi “korban” trend yang berkembang, tanpa menelaah terlebih dahulu apakah hal itu dibutuhkan oleh mereka atau tidak. Umumnya mereka terjebak dalam suatu fenomena sosial yang menyeretnya ikut sebagai pemain padahal mungkin dia tidak mampu “bermain”. Tanpa mendiskreditkan kalangan dimaksud, namun watak manusia yang demikian sangat rentan menjadikannya pribadi yang abu-abu atau berkepribadian samar-samar. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 Kecenderungan sifat manusia Indonesia (kebanyakan) tersebut tidak muncul begitu saja. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi setiap orang untuk mengambil suatu keputusan tertentu. Kecenderungan sifat demikian mengacu pada psikologi sosial seseorang. Pemicu bagi seseorang untuk menentukan suatu sikap antara lain faktor internal seperti kepribadian/karakter/watak, dan faktor eksternal seperti budaya. Faktor internal pembentuk karakter individu sangat erat hubungannya dengan kebudayaan pribadi itu sendiri. Dalam rangka menelaah seberapa besar peranan faktor kebudayaan terhadap individu dalam menentukan suatu pilihan, penulis menggunakan persepktif keragaman budaya (multicultural perspective), yakni suatu perspektif yang secara hati-hati mempertimbangkan peran budaya dan keragaman manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku dan pemikiran sosial. Masyarakat Indonesia yang amat majemuk dengan ribuan kebudayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, memiliki karakteristik yang khas dalam tiap-tiap budaya, suku dan etnik tertentu. Sifat khas yang dimiliki antara lain keterbukaan (outspoken) pada masyarakat Suku Batak, sikap menunggu dan tenang pada masyarakat Suku Jawa, karakter masyarakat Sulawesi yang cenderung independen, dan sebagainya yang mana tidak lagi murni tertanam dalam pribadi masing-masing individu namun masih memberikan pengaruh yang “melekat dan diwariskan” turun-temurun. Karakteristik kesukuan tersebut tidak lagi tampil secara utuh, karena setiap individu bersinggungan dan berkepentingan dengan individu lain sehingga http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 sifat-sifat tersebut mengalami penyesuaian. Berangkat dari hal ini, tentu memberikan pengaruh juga terhadap individu dalam menentukan suatu pilihan. Misalnya, kecenderungan masyarakat suku tertentu yang mengedepankan faktor kebutuhan sebagai alasan utama atau alasan tuntutan sosial yang mempengaruhinya menentukan suatu pilihan. Seseorang yang bertindak dalam berbagai situasi sosial secara kuat dipengaruhi oleh pikiran mereka tentang situasi tersebut. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain---terlebih bila dengan orang/komunitas asing--orang tersebut meningkatkan kecenderungan untuk mengkategorisasikan dirinya sendiri dalam kelompok-kelompok tersebut, merasa positif terhadap kelompok-kelompok itu dan memiliki stereotip tentang orang lain atas dasar kelompok dimana orang tersebut menjadi anggotanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu pengaruh bagi seseorang menentukan suatu pilihan adalah lingkungan sekitar. Trend, Trend demikian sering disebut tentang situasi yang sedang hangat didalam masyarakat. Individu yang matang secara ekonomi merupakan sosok yang senantiasa rentan atas pengaruh sosial tersebut. Keingintahuan mendorong mereka untuk mencari sesuatu yang baru dan harga bukanlah persoalan. Lantas, apakah mahasiswa dapat dikategorikan sebagai individu yang sudah matang secara ekonomi? Identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk didalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain seperti gender dan ras. Menurut Jackson dan Smith, identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam empat dimensi: persepsi dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 35 konteks antarkelompok, daya tarik in-group, keyakinan yang saling terkait, dan depersonalisasi. Banyak kategori yang menyusun identitas sosial. Individu mengindikasikan sejauh mana dirinya serupa dan tidak serupa dengan orang lain disekitarnya. Sebagaimana sifat dasar manusia yang dikatakan cenderung mengategorikan dirinya dengan memposisikan diri pada kelompok “sekelas”, setiap pribadi akan merasa nyaman dan aman bila berada dalam komunitas yang dinilainya sama dengan dirinya, dan cenderung menarik diri bila berada dalam suatu komunitas yang berbeda dengan ukuran yang dipakainya terhadap dirinya. Setiap perjalanan kehidupan manusia mengalami fase-fase, dan fase menjadi dewasa dapat dikatakan masa-masa kritis dan menentukan, dimana seseorang harus menentukan sikap dan konsisten atas pilihannya. Kelak bila tidak berhasil melalui fase ini dengan baik, maka akan berpengaruh pada perkembangan kedewasaan mereka kelak, terlebih dalam lingkungan kerja, yang menuntut kemampuan pribadi seseorang dalam kelompok kerja/teamwork. Pada masa demikian, remaja cenderung berpusat pada sesuatu yang dinamakan gaya. “Namanya juga anak muda”, demikian biasanya pernyataan yang dilontarkan oleh kelompok usia tersebut sebagai bentuk “pembelaan diri” mana kala tindakan yang dilakukan berseberangan dengan rasio manusia dewasa. http://digilib.mercubuana.ac.id/