BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya, baik berupa sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tidak. Ini dibuktikan dengan kepemilikan sekitar 30% dari 30 jenis mineral yang menjadi kebutuhan sehari-hari di dunia ini. Menurut Adjat Sudradjat dalam Abubakar dan Muis (2003:12), Indonesia memiliki kekayaan alam berupa emas, perak, tembaga, nikel, timah putih, timah hitam, aluminium, besi, mangan, chromit, minyak bumi, gas bumi, batubara, yodium, berbagai garam, berbagai mineral industri (asbes, bentonit, zeolit, belerang, fosfat, batu gamping, dan lain-lain), batu mulia, termasuk intan, dan bahan bangunan, serta jenis mineral yang lainnya. Hasil tambang bumi yang melimpah seperti tambang tembaga dan emas Freeport di Papua, tambang tembaga dan emas Batu Hijau di Sumbawa (NTB), tambang nikel PT Vale, Tbk di Sorowako, Barubara Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur, dan penambangan timah oleh PT Timah di Bangka, semakin memperkuat asumsi bahwa Indonesia pantas menjadi tuan rumah bagi pertambangan kelas dunia. Di Sulawesi misalnya, terdapat kekayaan alam yang tak ternilai. Pulau berbentuk huruf ”K” ini, telah menjadi lokasi bagi proses pertambangan nikel di 1 Sorowako oleh PT International Nickel Indonesia, Tbk (yang selanjutnya disebut PT Vale, Tbk). Menjadi salah satu daerah yang memiliki kandungan alam atau bahan tambang, berarti memberi harapan besar bagi masyarakat. Hal ini setidaknya akan berdampak positif bagi perbaikan kehidupan mereka atau dengan kata lain memberikan kesejahteraan yang memadai bagi penduduk setempat. Masyarakat setempat menganggap perusahaan yang telah beroperasi selama kurang lebih 40 tahun ini telah melakukan berbagai penyimpangan terkait keberadaannya di Sorowako. Salah satu contoh kasus misalnya, meskipun PT Vale, Tbk mengklaim telah banyak melaksanakan berbagai kegiatan yang menyentuh kepentingan masyarakat, namun tetap dinilai kurang oleh penduduk disana. Isu lainnya adalah pengrusakan lingkungan hidup dan berubahnya struktur kehidupan masyarakat tradisional. Ragam masalah tersebut jika dibiarkan akan dapat berdampak buruk pada pencitraan PT Vale, Tbk di mata masyarakat luas. Menyikapi masalah tersebut, PT Vale, Tbk senantiasa berupaya meningkatkan ragam kegiatan sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setempat. Pada dunia usaha saat ini, kegiatan seperti itu dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (yang selanjutnya disebut CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang secara umum berarti komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan 2 menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. Melalui penguatan implementasi CSR bagi Perseroan Terbatas (PT), diharapkan program-program CSR yang selama ini dilaksanakan oleh berbagai perusahaan mampu memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut beroperasi. Dalam beberapa dekade terakhir, isu mengenai program community development yang merupakan bagian dari corporate social responsibility (CSR) menjadi isu kontroversial yang mengundang perdebatan serius bukan saja dalam lingkup nasional tetapi juga global. Kontroversi itu mencakup masalah konseptual maupun implementasinya di lapangan. Konsep CSR menurut World Bank merupakan komitmen sektor swasta yang mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) (Fox dkk, 2002). Di satu sisi masyarakat mempertanyakan orientasi sektor swasta untuk memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis untuk berkomitmen secara moral untuk mendistribusikan keuntungan-keuntungannya guna membangun masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan. Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi oleh beberapa kepentingan (Mulyadi, 2003). Setidaknya bisa diidentifikasikan tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan 3 pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Isu keamanan fasilitas produksi merupakan isu sensitif yang diperhatikan secara serius oleh perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang customer goods tentu saja berbeda dalam tujuan dan prioritas pelaksanaan program-program CSR dengan perusahaan ekstraksi. Sebagai contoh, prioritas dan tujuan perusahaan ekstraksi adalah motif untuk menjaga keamanan fasilitas produksi, karena sebagian besar perusahaan ekstraksi berada di daerah pedalaman, sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas yang secara fisikal kontrol terhadap infrastruktur tersebut menjadi tidak mudah. Oleh karena itu, pertimbangan faktor keamanan terhadap kelangsungan operasi perusahaan sangat penting bagi perusahaan. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang customer goods, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) berupa kegiatan filantropi dan pengembangan komunitas, umumnya dikemas untuk mengupayakan citra positif alias promosi. Lebih jauh dari sekedar kegiatan promosi, semakin berkembang pula pandangan bahwa keunggulan bersaing bisa dihasilkan dengan memadukan berbagai pertimbangan sosial dan lingkungan dalam strategi bisnis perusahaan. Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha.Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai pusat biaya (cost center) melainkan sebagai pusat laba (profit center) dimasa mendatang. Hal ini didasari dengan logika sederhana bahwa apabila CSR diabaikan dengan alasan efisiensi biaya dan dikemudian hari terjadi insiden maka biaya yang digunakan untuk menutupi risikonya jauh lebih besar 4 ketimbang biaya yang dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri, belum lagi resiko non-finansial yang berpengaruh buruk pada citra perusahaan dan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan. Mencermati tantangan dunia pertambangan yang semakin kompleks serta gencarnya tuntutan masyarakat madani (civil society) atas perwujudan konkrit paradigma CSR, maka sudah sepantasnya dunia pertambangan merumuskan rencana strategis jangka panjang yang berkelanjutan dalam bingkai socially and environmentally friendly. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut perlu dilakukan. Pertama, terjadinya perubahan politik nasional yang cukup signifikan menyangkut relasi pusat dan daerah, yang ditandai dengan komitmen pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan pemerintah ke tingkat pemerintah kabupaten atau kota. Kedua, munculnya semangat berdemokrasi yang cenderung kebablasan. Gejala ini telah menjalar sampai ke akar rumput, sehingga berpeluang menciptakan praktek-praktek berdemokrasi yang cenderung melakukan anarkismelokal. Ketiga, munculnya kesadaran politik masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses pengembilan keputusan publik di area lokal. Keempat, munculnya kesadaran internal perusahaan untuk merancang program-program pemberdayaan masyarakat jangka panjang (multi years) dengan sistem pengelolaan berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu peran komunikasi sangat penting, sesuai dengan fungsi komunikasi yang bersifat: persuasif, edukatif dan informatif. Komunikasi merupakan suatu tindakan yang memungkinkan bagi kita untuk dapat menerima dan memberikan informasi atau pesan sesuai dengan apa yang kita butuhkan. 5 Menurut Onong Uchjana Effendi dalam Rosadi Ruslan (2010:82), komunikasi berasal dari bahasa Latin“communicatio” yang berarti pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Dengan demikian maka secara garis besar dalam suatu proses komunikasi harus terdapat unsur-unsur kesamaan makna agar dapat menjadi suatu pertukaran pikiran atau pengertian, antara komunikator (penyebar pesan) dan komunikan (penerima pesan). Sementara itu proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan-pesan (messages) dari pengiriman pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan. Tujuan dari proses komunikasi tersebut adalah tercapainya saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak. Didalam sebuah perusahaan atau organisasi, komunikasi yang baik antara pihak-pihak terkait diperusahaan/organisasi juga menentukan pencapaian tujuan perusahaan. Sebagai perusahaan yang telah beroperasi di Indonesia selama lebih dari 40 Tahun, sudah sewajarnya apabila PT Vale Indonesia Tbk merasa turut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Dengan komitmen perusahaan (internally driven) untuk memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan sekitarnya, PT Vale Indonesia Tbk mencoba meredefinisi paradigma pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan tantangan zaman. Untuk mencapai salah satu tujuan perusahaan, yakni memperkuat kemitraan dan kerjasama dengan pemerintah, karyawan, dan masyarakat lokal, program community development atau pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan dengan tekad dan komitmen yang sungguh-sungguh dari semua 6 pihak yang terlibat. Untuk itu dibutuhkan evaluasi pelaksanaan program community development yang telah dilakukan agar semua program yang dilaksanakan dapat mencapai tujuannya yaitu pemberdayaan masyarakat atau dengan kata lain program-program pemberdayaan masyarakat harus menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat. Salah-satu bentuk pelaksanaan konsep CSR yang dikembangkan oleh PT Vale Indonesia Tbk adalah program pemberdayaan masyarakat (community development) di lingkungan perusahaan yang dilakukan bekerjasama dengan sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang Community Development yang bernama Hulu Inia. Harapannya lembaga ini bisa mewadahi keinginan serta merangsang perubahan yang ada di masyarakat kearah yang lebih baik dan tepat sasaran sehingga mempercepat kemandirian yang berkesinambungan. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk menganalisis bagaimana proses komunikasi yang dilakukan oleh PT Vale Indonesia Tbk dalam mempromosikan program Community Development-nya dan mencoba untuk melihat sustainable (keberlanjutan) dari program Community Development tersebut, melihat sejauh mana implementasi program-program community development yang dilaksanakan oleh PT Vale Indonesia Tbk sudah menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 7 “Bagaimana proses komunikasi yang dilakukan oleh PT Vale Indonesia Tbk dalam mempromosikan program CSR Community Development-nya?” C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui proses komunikasi dan implementasi kegiatan program Community Development PT Vale Indonesia Tbk melalui Program Kemitraan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, hingga proses evaluasi dan pengawasan. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Membantu peneliti untuk lebih mendalami konsep Corporate Social Responsibility khususnya kegiatan Community Development dalam sebuah perusahaan khususnya dalam merencanakan dan melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan yang bermanfaat bagi perusahaan dan publiknya. Penelitian ini juga membantu peneliti menambah pengetahuan mengenai kegiatan Corporate Social Responsibility yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan Community Development sehingga peneliti dapat menemukan pemecahan masalah yang tepat berdasarkan teori-teori seputar Community Development. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi serta masukan kepada perusahaan tempat di mana peneliti melakukan penelitian tentang 8 bagaimana pelaksanaan suatu kegiatan Community Development. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi Unit Community Development PT Vale Indonesia Tbk dalam menjalankan kegiatan Community Development di masa yang akan datang. E. Kerangka Pemikiran Saat ini berbagai macam cara yang digunakan oleh sebuah perusahaan dalam mengkomunikasikan hal-hal yang dirasa penting untuk diketahui oleh khalayaknya. Komunikasi di masa kini, tidak hanya bertujuan agar seseorang menjadi tahu, namun lebih dari itu komunikasi diharapkan mampu mengubah persepsi seseorang sesuai dengan isi pesan dari proses komunikasi tersebut. Untuk mencapai hal itu, tentunya diperlukan sebuah strategi komunikasi yang tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Strategi komunikasi ini juga memiliki peran penting sebagai upaya yang dilakukan sebuah perusahaan untuk mengubah, mempertahankan serta meningkatkan citra perusahaannya. Banyak program yang diciptakan untuk masyarakat guna menunjukkan kepedulian serta tanggung jawab sosial perusahaan. Salah satunya melalui pengimplementasian program Community Development sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Sehingga tidak hanya proses penyusunan programnya saja, namun sejalan dengan hal itu strategi komunikasinya juga perlu mendapat porsi perhatian yang lebih. Aktivitas komunikasi erat hubungannya antara tujuan yang hendak dicapai dengan konsekuensi-konsekuensi (masalah) yang harus diperhatikan, kemudian 9 merencanakan bagaimana mengatasi masalah dan mencapai hasil yang diharapkan atau tujuan yang akan dicapai. Pace, Petterson, dan Burnett dalam Effendy (1998:32) menyatakan bahwa tujuan sentral kegiatan komunikasi terdiri atas tiga (3) tujuan utama, yaitu : 1. to secure understanding, yaitu memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya. 2. to establish acceptance, yaitu membina penerimaan komunikan terhadap pesan tersebut. 3. to motivate action, yaitu memotivasi komunikan untuk melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan pesan yang diterimanya. Agar tujuan aktivitas komunikasi dapat tercapai, maka dibutuhkan strategi dengan menggunakan cara-cara yang menguntungkan, artinya cara-cara yang ditempuh harus memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi. Sehingga dalam menyusun strategi komunikasinya, seorang Public Relations (PR) atau pihak yang menjalankan fungsi PR bukan hanya memikirkan bagaimana mencapai tujuannya, namun yang terpenting bagaimana menyusun dan merumuskan pesan sedemikian rupa, sehingga dapat mendukung strategi perusahaan dalam meningkatkan kredibilitas serta citra perusahaan dimata publik. Menurut Arifin (1994:59), strategi komunikasi adalah : Suatu strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan. Jadi dalam merumuskan sebuah strategi komunikasi selain diperlukan rumusan tujuan yang jelas juga terutama memperhitungkan kondisi dan situasi khalayak. Sedang berdasarkan pemahaman McNichols dalam Salusu (1996:101) menawarkan satu definisi yang lain yaitu : “Strategi adalah suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungannya dalam kondisi yang paling menguntungkan.” 10 Berbicara tentang tujuan, maka citra merupakan salah satu efek yang diharapkan dari sebuah strategi dalam mengkomunikasikan program CSR. Tentunya strategi yang ada diharapkan mampu mensukseskan kegiatan komunikasi yang akan dilakukan, guna pencapaian tujuan utama, yakni citra positif perusahaan (Positive Corporate Image). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Harold Laswell (teori Laswell) dalam Arifin (1998:51) yang menyatakan bahwa : Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berikut: “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?. Model ini termasuk mekanistik, dimana menurut perspektif mekanistik komunikasi secara umum memiliki lima (5) unsur, yaitu : (1) Komunikator atau sumber; (2) Komunike (pesan); (3) Komunikan (khalayak); (4) Media atau saluran; dan (5) Efek atau balikan. Pada hakekatnya Public Relations (PR) adalah suatu teknik atau metode ataupun cara sistematis guna melakukan pendekatan-pendekatan (approachs) terhadap khalayak. Fungsi utama PR adalah menunjang manajemen organisasi dengan komunikasi sebagai kegiatan utamanya. Sedangkan tujuannya adalah terbinanya hubungan yang harmonis antara lembaga/organisasi dengan khalayak, sehingga mampu meningkatkan citra perusahaan, sebagai salah satu efek dari proses komunikasi. Proses ini juga dibenarkan oleh seorang ahli, yaitu Cutlip & Center (dalam Cutlip & Center, 2005:269) yang mengambarkan bagaimana proses manajerial yang bisa dilakukan oleh perusahaan dalam menciptakan sebuah 11 kebijakan berupa strategi komunikasi program CSR. Proses terdiri dari: fact finding, planning, communication, dan evaluation. LANGKAH PROSES PUBLIC RELATIONS (WHEEL SPINING PUBLIC RELATIONS MODEL) 4. Evaluating the Program 1. Definding Public Relations Problem “What’s happening now?” Situation Analysis “How did we do?” Asessment 3. Implementation Strategy “How and when do we do and say?” “What’s should we do and say?” Taking Actions & Communications 2. Planning and Programming Gambar 1.1 Sumber : Cultip, Scott M., Allen. H. Center & Glen M. Broom dalam Effective Public Relations Merancang dan Melaksanakan Kegiatan Kehumasan dengan Sukses. Tahapan di atas dapat dipaparkan sebagai berikut : 1. Defining the Problem (Fact Finding) atau Pengumpulan Fakta Tahap ini merupakan kegiatan mendapatkan data dan fakta yang erat kaitannya dengan pekerjaan yang akan dibahas. Dalam tahap ini kegiatan PR diarahkan pada usaha meneliti pendapat-pendapat umum yang tersebar mengenai lembaga/instansi yang bersangkutan. 12 2. Planning and Programming atau Perencanaan Tahap ini merupakan bagian yang penting dalam usaha untuk memperoleh opini khalayak yang menguntungkan. Perencanaan merupakan salah satu aktivitas Public Relations yang cukup penting karena dapat mengumpulkan kegiatan komunikasi dengan kepentingan organisasi. 3. Taking Action and Communicating atau Komunikasi dan Penggiatan Tahap ini merupakan proses kegiatan komunikasi yang ditujukan kepada usaha mengeluarkan serta menyebarkan pernyataan kepada khalayak. Pada tahap ini PR melakukan aktivitasnya dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang harus dikuasai dengan baik. 4. Evaluating the Program atau Evaluasi Tahap ini merupakan tahap paling akhir dalam proses kegiatan PR. Tahap ini mengarahkan pada usaha untuk menilai kembali sampai sejauh mana pesan komunikasi yang disampaikan kepada khalayak dapat diterima serta bagaimana tanggapan yang timbul dari khalayak ketika menerima pesan komunikasi. Selanjutnya dalam Adnanputera dalam Ruslan (1995:108), strategi Public Relations dibentuk melalui dua komponen yang saling terkait erat, yakni sebagai berikut : ”Komponen sasaran, satuan atau segmen yang akan digarap dan komponen sarana, yaitu paduan atau bauran sarana untuk menggarap suatu sasaran.” 13 Komponen sasaran umumnya adalah para stakeholder, dan publik yang mempunyai kepentingan dengan organisasi perusahaan. Sasaran umum tersebut dipersempit melalui upaya segmentasi sehingga akan ditemukan sasaran khusus. Maksud sasaran khusus disini adalah yang disebut publik sasaran (target publik). Sedangkan komponen yang kedua adalah keseluruhan atau seperangkat sarana yang akan digunakan oleh organisasi/perusahaan untuk mempengaruhi atau mengubah sikap dan perilaku khalayaknya, menumbuhkan kerjasama, serta menciptakan saling pengertian antara khalayak dengan organisasi guna mendapatkan tujuan kedua belah pihak yang saling menguntungkan. 1. Konsep CSR dan Comdev Apakah sebenarnya makna dari CSR? Mengapa beberapa tahun belakangan ini para perusahaan besar menyediakan dana dalam jumlah yang sangat fantastis untuk sebuah program CSR? Beberapa ahli atau pakar telah mengemukakan beberapa defenisi terkait tentang CSR. Diantaranya yaitu defenisi yang dikemukakan oleh Magnan & Ferrel yang mendefenisikan CSR sebagai “A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stake holder interest” (seperti dalam Susanto, 2007: 21). Definisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggungjawab. Terobosan besar dalam konteks CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (profit, people, and planet) yang dituangkan dalam bukunya 14 “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997 (seperti dalam Wibisono, 2007: 6). Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustainable, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Tanggung jawab sosial perusahaan ini dapat diwujudkan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, keselamatan lingkungan, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat umum yang beranggapan bahwa CSR adalah aksi belas kasihan perusahaan kepada masyarakat. Persepsi ini muncul dikarenakan adanya sebagian perusahaan yang hanya melakukan aksi sosial disaat keadaankeadaan tertentu contohnya bencana alam. Para perusahaan ini berlomba-lomba menarik simpati masyarakat dengan memberikan bantuan-bantuan kepada daerah yang terkena bencana alam. Padahal dalam praktiknya CSR bukan hanya sekedar aksi filantropis semata. Konsep CSR ini telah berkembang seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang mengerti betul tentang arti CSR itu sendiri. Bagi sebagian manajemen dalam sebuah perusahaan khususnya pada bagian keuangan memiliki anggapan bahawa CSR hanya sebuah kegiatan yang memerlukan biaya yang sangat besar namun manfaat yang dirasakan tidak sebanding dengan dana yang telah dikeluarkan oleh perusahaan. Oleh karena itu, ketika tim CSR merumuskan sebuah program CSR sering terbentur dengan bagian menajemen keuangan. Padahal banyak manfaat yang diperoleh perusahaan dari sebuah pelaksanaan program CSR. Manfaat ini memang tidak dapat diukur secara 15 kuantitatif, namun bukan berarti tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kemajuan bisnis perusahaan. Susanto mencoba mengambil kesimpulan tentang manfaat yang diperoleh perusahaan dari pelaksanaan kegiatan CSR.Pertama, mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggungjawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan melakukan menjalankan perilaku serta praktek-praktek yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelannya. Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela tempat institusi mereka bekerja. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memaafkannya. Kedua, keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Ketiga, CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki 16 kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholders senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan. Keempat, meningkatnya penjualan produk berupa barang atau jasa dari perusahaan. Seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide, konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik (Susanto, 2007: 28-31). Konsep dan praktek corporate social responsibility (CSR), jauh lebih tua dari istilah CSR itu sendiri. Setidaknya, menurut Windsor, sejak tahun 1920-an, pemimpin bisnis sudah melakukan praktik-praktik tanggung jawab dan responsif. CSR, yang istilahnya digunakan pada tahun 1960-an tersebut, bertujuan untuk mendorong aktivitas perusahaan yang memberikan efek positif pada karyawan, pemangku kepentingan, nasabah, dan lingkungannya (seperti dalam Rochon, 2011). Definisi dan model CSR terus berkembangan. Redman (2006) mengenalkan tiga model CSR. Model pertama disebut traditional conflict model. Model ini memandang bahwa kepedulian sosial dan lingkungan dengan profit adalah hal terpisah. Model kedua memandang CSR memberikan nilai tambah perusahaan (added value model). Praktik CSR akan dapat meningkatkan profit perusahaan. Sedangkan pandangan model ketiga adalah multiple goals model. Dalam model ini, perusahaan memiliki komitmen kuat kepada lingkungan tanpa memandang efek kepada profit perusahaan. 17 Masih ada debat bahwa CSR perlu diatur atau tidak oleh pemerintah. Bagi yang berpendirian bahwa CSR bersifat sukarela dan inisiatif perusahaan, maka pengaturan pemerintah itu mereduksi makna CSR. Namun menghadapi perusahaan penganut model pertama versi Redman, maka komitmen CSR harus dikukuhkan dalam peraturan yang memiliki sanksi hukum. Community Development merupakan salah satu bentuk kegiatan CSR. Teori Community Development dan prakteknya harus memilih fokus pada hubungan antar kelompok dan mediasi untuk mencapai keadilan dan pembangunan yang merata, Bregha menyatakan bahwa Community Development mempunyai dua sasaran yang berbeda. Pembangunan sebagai pertumbuhan dalam sumber daya dan produktivitas, sebagai fokus yang utama dalam Community Development dan pembangunan sebagai alokasi asset dan kecerdasan (Budimanta, 2004: 92). Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi, mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Michael Cernea menekankan pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai apabila hanya mengandalkan ekspansi ekonomi, pengelolaan lingkungan dan akumulasi teknologi saja, akan tetapi juga faktor lainnya dalam kehidupan sosial masyarakat perlu mendapat perhatian (seperti dalam Budimanta, 2004: 92). Community Development merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas charity ataupun 7 (tujuh) dimensi CSR 18 lainnya, antara lain: Community Relation. Hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan Community Development, terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan berkelanjutan. Dalam perwujudan Good Corporate Governance (GCG) maka Good Corporate Citizenship (GCC) merupakan komitmen dunia usaha untuk mewujudkannya. Dalam aktualisasi GCC, maka kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemandirian masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambadar, 2008: 34). Di Indonesia, pelaksanaan kegiatan CSR memang tampaknya lebih sesuai dengan program-program pemberdayaan masyarakat (Community Development). Diharapkan dengan aktivitas CSR yang bernapaskan Communitv Development dapat mencapai tujuan strategis perusahaan, di samping untuk mencapai profit optimum, juga dapat bermanfaat bagi komunitas. Di sisi lain, dengan adanya aktivitas tersebut, komunitas memiliki mitra yang peduli terhadap kemandiriannya. Menurut Shardlow pemberdayaan masyarakat (Community Development) intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka (Ambadar, 2008: 36). Community Development memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama 19 untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Payne berpendapat bahwa Community Development sering kali diimplementasikan dalam bentuk (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (seperti dalam Ambadar, 2008: 36). Konsep Community Development terdiri dari dua hal, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi 3(tiga) sektor utama, yaitu ekonomi, sosial (termasuk di dalamnya bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya), dan bidang lingkungan. Sedangkan masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu: masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukum tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Kemudian masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orangtua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental (Ambadar, 2008: 37). Berkembangnya konsep Community Development berbasis pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian tidak terlepas dari kondisi masyarakat Indonesia. 20 Konsep ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan sosial yang ada seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan. Dengan memberdayakan masyarakat, perusahaan dapat menggali kemandirian masyarakat agar dapat maju dan berkembang sehingga tercapainya kesejahteraan bersama. Edi Suharto (2004) menyebut berdasarkan definisi-definisi yang ada pemberdayaan juga dibedakan sebagai sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Hanya saja yang harus dipahami, menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008), pengembangan masyarakat bukan sekadar mengumpulkan orang-orang. Pengembangan masyarakat melibatkan pemberdayaan masyarakat untuk saling bekerja, mengembangkan struktur yang berarti orang-orang menjadi lebih tergantung satu sama lain untuk mencapai segala sesuatu, dan mencari cara-cara yang memberi pengaruh kepada setiap orang dan dihargai oleh orang lain. Proses kelompok, 21 inklusivitas, membangun kepercayaan, dan mengembangkan perasaan bersama untuk mencapai tujuan sangat penting dalam pengembangan masyarakat, dan oleh karena itu gagasan tentang masyarakat dapat dan seharusnya meluas ke semua proses pengembangan masyarakat. Dunham mendefinisikan community development merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri (seperti dalam Tampubolon, 2001). Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat dengan bantuan pemerintah maupun organisasi-organisasi non pemerintah secara sukarela. Lebih lanjut Dunham (seperti dalam Tampubolon, 2001) mengemukakan 4 unsur community development sebagai berikut: a. Program yang dijalankan dengan fokus kepada kebutuhan dari komunitas. b. Bantuan teknis. c. Integrasi dari berbagai bidang untuk mengembangkan masyarakat. d. Perhatian yang menyeluruh dari berbagai kalangan di dalam komunitas Dengan demikian dari definisi-definisi yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Community development merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya, kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi 22 tahap dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi. b. Community development bertujuan untuk meningkatkan kondisi ekonomi sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. c. Community development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. d. Community development memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya, pertisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama didalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan- kebutuhannya yang dilakukan berdasarkan potensi yang dimiliki masyarakat. Dengan makin banyaknya perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya kearah community development maka diharapkan terjadi perubahan yang berarti bagi kualitas kehidupan masyarakat disekitar daerah pertambangan. Pemberdayaan masyarakat seperti pengembangan kerja sama, pelatihan keterampilan, pembukaan akses pasar, dan kegiatan kemandirian yang lain diharapkan dapat mengurangi kebergantungan masyarakat pada perusahaan pasca kegiatan pertambangan. Umumnya community development dianggap sebagai sarana yang tepat untuk melaksanakan aktivitas CSR yang proporsional tersebut. Hal itu dapat dipahami dan ada beberapa pertimbangannya. Pertama, sesuai dengan 23 karakteristiknya melalui program community development dapat dikembangkan dan dimanfaatkan unsur modal sosial baik yang dimiliki dunia usaha maupun masyarakat. Dengan melaksanakan community development, dunia usaha dapat membangun citra sehingga selanjutnya dapat berdampak pada perluasan jaringan dan peningkatan trust. Sementara itu bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, melalui community development dapat dikembangkan dan dimanfaatkan unsur solidaritas sosial, kesadaran kolektif, mutual trust dan resiprokal dalam masyarakat untuk mendorong tindakan bersama guna meningkatkan kondisi kehidupan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Kedua, melalui community development dapat diharapkan adanya hubungan sinergis antara kekuatan dunia usaha melalui berbagai bentuk bantuannya dengan potensi yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh dunia usaha melalui CSR bukan semata-mata bantuan yang bersifat karitatif atau charity, melainkan bagian dan usaha untuk mengembangkan kapasitas masyarakat. Oleh sebab itu melalui pendekatan community development dapat diharapkan program CSR tersebut akan mendorong usaha pembangunan oleh masyarakat lokal secara berkesinambungan dan terlembagakan. Ketiga, aktivitas bersama antara dunia usaha dengan masyarakat, terutama masyarakat lokal melalui community development dapat difungsikan sebagai sarana membangun jalinan komunikasi. Apabila media komunikasi sudah terlembagakan, berbagai persoalan dalam hubungan dunia usaha dengan masyarakat dapat dibicarakan melalui proses dialog yang baik dan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Hal itu dimungkinkan karena melalui kegiatan bersama dalam menggarap program-program dengan pendekatan 24 community development dapat dibangun saling pengertian dan empati di antara semua pihak yang terkait. 2. Penerapan CSR Adapun tahapan-tahapan implementasi CSR yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Perencanaan Perencanaan (planning) merupakan awal kegiatan penetapan dari berbagai hasil akhir yang ingin dicapai oleh perusahaan yang meliputi strategi, kebijakan, prosedur, program, dan anggaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kesulitan metodologis untuk menghubungkan pelaksanaan CSR ataupun Corporate Social Performance (CSP) dengan kinerja keuangan perusahaan, namun tujuan pelaksanaan CSR oleh perusahaan dapat dirumuskan dengan jelas. Perumusan tujuan CSR oleh perusahaan sangat bergantung kepada hasil analisis perusahaan (Solihin, 2009: 129). Tahapan ini merupakan tahapan penting sebagai batu pijakan sebelum menjalankan program CSR. Sehingga perusahaan dapat menetapkan landasan awal bagaimana pelaksanaan program ini nantinya.Sebuah program tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa perencanaan yang matang. Melalui perencanaan, arahan dan tujuan program juga akan semakin jelas dan sinergis. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rencana CSR adalah bahwa pelaksanaan program CSR melibatkan kerjasama 25 perusahaan dengan pihak lain. Dalam hal ini pelaksanaan CSR biasanya melibatkan pula pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak-pihak calon penerima manfaat CSR misalnya masyarakat lokal. Oleh sebab itu, perencanaan CSR merupakan perencanaan yang terintegrasi dan bukan semata-mata perencanaan yang dibuat oleh perusahaan, tetapi dalam hal ini perusahaan pun harus melibatkan pihak-pihak lain yang akan terlibat dalam pelaksanaan program CSR agar program CSR dapat berjalan secara efektif (Solihin, 2009: 130). b. implementasi Dalam implementasi program CSR diperlukan beberapa kondisi yang akan menjamin terlaksananya implementasi program CSR dengan baik (Solihin, 2009: 145-146). Kondisi pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan dukungan dari para pihak yang terlibat. Sebagai contoh implementasi CSR harus memperoleh persetujuan dan dukungan dari manajemen puncak perusahaan sehingga pelaksanaan program CSR didukung sepenuhnya oleh sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Sumber daya tersebut meliputi sumber daya finansial dalam bentuk penyediaan anggaran untuk pelaksanaan CSR, maupun sumber daya manusia yakni para karyawan perusahaan yang diterjunkan perusahaan untuk melaksanakan program CSR. Kondisi kedua yang harus diciptakan untuk menunjang keberhasilan implementasi program CSR adalah ditetapkannya pola 26 hubungan di antara pihak-pihak yang terlibat secara jelas. Hal ini akan meningkatkan kualitas koordinasi pelaksanaan program CSR. Tanpa adanya pola hubungan yang jelas di antara berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan CSR, maka kemungkinan besar pelaksanaan program CSR tersebut tidak akan berjalan secara optimal. Selain itu tanpa adanya pola hubungan yang jelas, maka kemungkinan program CSR tersebut untuk berlanjut (suistainable) akan berkurang. Kondisi ketiga adalah adanya pengelolaan program yang baik. Pengelolaan program yang baik hanya dapat terwujud bila terdapat kejelasan tujuan program, terdapat kesepakatan mengenai strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan program dari para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan CSR. Perwujudan program tersebut juga memerlukan dukungan terhadap program yang tengah dijalankan dari pihak-pihak yang terlibat dan terdapat kejelasan mengenai durasi waktu pelaksanaan program serta siapa yang bertanggung jawab untuk memelihara kontinuitas pelaksanaan kegiatan (misalnya untuk aktivitas Community Development dalam bentuk pemberian fasilitas produksi kepada UKM) bila program CSR berakhir. c. Pengawasan dan evaluasi Pelaksanaan CSR perlu dipantau untuk memastikan bahwa pelaksanaan program CSR tidak menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan.Pemantauan dan evaluasi juga diperlukan untuk mengetahui sudah sejauh mana pencapaian tujuan program serta apakah terdapat 27 penyimpangan yang membutuhkan tindakan koreksi. Misalnya ketika Telkom membuat program Pengembangan Usaha Kecil, maka harus dilakukan pengawasan dan evaluasi untuk melihat apakah program itu telah sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan, apakah jumlah UKM yang bergabung sudah sesuai, apakah pelaksanaannya sesuai dengan anggaran biaya yang dibuat, serta apakah dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Alur Kerangka Pemikiran Konsep CSR Proses Komunikasi -Pengumpulan fakta -Perencanaan -Komunikasi (taking action) -Evaluasi Community Development 1. Berbasis pemberdayaan masyarakat. 2. Kemandirian. 3. Keberlanjutan Perencanaan 1. Dana dan SDM. 2. Tujuan. 3. Fokus Utama. 4. Mekanisme pelaksanaan. Pelaksanaan/Implementasi 1. Keterlibatan stakeholders. 2. Pola hubungan. 3. Pengelolaan program 28 yang baik. 4. Kerjasama pihak yang terlibat. Evaluasi 1. Pencapaian tujuan program. 2. Kekurangan dan kelebihan. 3. Manfaat. 4. Modifikasi program. Gambar 1.2 3. CSR di Indonesia CSR saat ini telah menjadi fenomena global. Dengan CSR, Korporasi diminta memperlihatkan kepedulian dan tanggungjawab kemasyarakatan yang lebih besar. Fenomena global ini juga melanda Indonesia. Perkembangan pelaksanaan CSR di Indonesia ditandai dengan sudah banyaknya perusahaan yang mengimplementasikan CSR. Perusahaan semakin banyak menerapkan CSR baik dalam bentuk amal (charity) maupun pemberdayaan (enpowerment). Setidaknya bisa dilihat dari gencarnya publikasi berkait dengan implementasi CSR di media cetak dan elektronik. Perkembangan CSR di Indonesia dapat dilihat dari beragam upaya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan CSR di wilayah Propinsi, Kabupaten dan Kota bersangkutan. Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) merupakan bentuk nyata kepedulian kalangan dunia usaha terhadap lingkungan di sekitarnya. Berbagai sektor dibidik dalam kegiatan ini, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan dan bahkan sosial budaya.. Saat ini, konsep dan pelaksanaan CSR makin berkembang di Indonesia. Hal ini tentu menggembirakan. Hanya saja pemahaman kalangan dunia usaha tentang konsep CSR masih beragam. Namun yang terpenting, agar masyarakat bisa merasakan hasil yang maksimal dari kegiatan CSR, maka kegiatan itu harus berkelanjutan (suistanable). 29 Sayangnya, banyak perusahaan yang kini memahami CSR hanya sekadar kegiatan yang sifatnya insidental, seperti pemberian bantuan untuk korban bencana, sumbangan, serta bentuk-bentuk charity atau filantropi lainnya. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan bisa membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih mandiri dan sejahtera. F. Metode Penelitian Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini diarahkan pada permasalahan bagaimana proses komunikasi dari program-program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh PT Vale Indonesia Tbk sudah menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan. Untuk itu diperlukan data yang dapat mendukung penelitian yang dilakukan. 1. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial (Maman, 2002: 3). Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Pendekatan kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah (Umar, 1999: 81). Sedangkan penelitian ini lebih 30 memfokuskan pada metode studi kasus yang merupakan penelitian yang rinci mengenai suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh. Studi kasus ialah suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, di mana tujuannya adalah untuk memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus disifatkan sebagai penelitian yang eksploratif dan deskriptif (Vredenbregt, 1984: 38) . Penelitian dengan menggunakan metode studi kasus merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relative terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2002). 2. Objek penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Vale Indonesia Tbk dengan obyek penelitiannya adalah program-program pemberdayaan masyarakat (community development programs) PT Vale Indonesia Tbk yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) terfokus di empat daerah pemberdayaan yakni Sorowaku, Nuha, Towuti, dan Malili semuanya berada di Kabupaten Luwu Timur, dengan melihat apakah program-program pemberdayaan masyarakat 31 yang sudah dilakukan PT Vale Indonesia Tbk sudah menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat di sekitar wilayah operasi PT Vale Indonesia Tbk. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu: a. Wawancara Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit 32 dalam kalimat Tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung (Patton dalam poerwandari, 1998) Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara : a) Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. b) Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu. c) Menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Menurut Yin (2003) disamping kekuatan, metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : a) Rentan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang penyusunanya kurang baik. b) Rentan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai. c) Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat. d) Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh interviewer. b. Observasi 33 Disamping wawancara, penelitian ini juga melakukan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (1991) observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Menurut Patton (dalam Poerwandari 1998) salah satu hal yang penting, namun sering dilupakan dalam observasi adalah mengamati hal yang tidak terjadi. Dengan demikian Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena : a) Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti akan atau terjadi. 34 b) Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan dari pada pembuktiaan dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. c) Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari. d) Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang halhal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara. e) Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasaan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti. 35