Bab 2 Migrasi, Modal Sosial, dan Kewirausahaan Pengantar Pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada tiga konsep utama yang digunakan dalam penulisan ini. Tiga konsep utama itu adalah konsep migrasi (migration), konsep modal sosial (social capital), dan konsep kewirausahaan (kewirausahaan). Tiga konsep ini digunakan dalam penulisan sebagai prepektif teoritis atas temuan lapangan atau data empiris. Konsep migrasi (migration), digunakan untuk memahami alasan migrasi, dan jenis migrasi, yang dilakukan oleh migran Makassar. Untuk itu dalam pembahasan di bab ini, akan memaparkan penelitianpenelitian yang membahas tentang definisi konsep migrasi, dan alasan migrasi, serta jenis migrasi migran, khususnya jenis migrasi yang dilakukan migran Makassar, ke Papua (Jayapura). Selanjutnya, terkait konsep modal sosial (social capital), penelitian-peneltian yang dikemukakan pada bagian ini lebih terarah pada penjelasan definisi modal sosial, dan elemennya. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan cara kaum migran membetuk modal sosial, di daerah tujuan. Penelitianpenelitian ini digunakan untuk memahami terbentuknya modal sosial antara sesama migran Makassar di Kota Jayapura. Terkait konsep kewirausahaan (entrepreneurship), penelitianpenelitian yang akan ditampilkan adalah penelitian terkait definsisi dari kewirausahaan (entrepreneurship), dan wirausaha (entrepreneur). Kemudian dilanjutkan dengan penelitian-penelitian yang menjelaskan 7 tentang hal-hal yang membentuk dan menopang kemampuan berusaha. Dengan demikian pembahasan konsep kewirausahaan pada bagian ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan berusaha migran Makassar. Kemampuan Berusaha De Beer, et al (2014), mengatakan bahwa walaupun belum ada satupun definisi yang baku terhadap istilah entrepreneurship (kewirausahaan). Tetapi dari definsi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan sangat bernilai serta berguna bagi dirinya dan orang lain. Sedangkan orang yang memiliki sikap, jiwa dan kemampuan demikian disebut sebagai entrepreneur (wirausaha). Bersamaan dengan itu, Walter, et al (2014) juga mengatakan bahwa kewirausahaan adalah sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya cipta, berkarsa dan bersaahaja dalam berusaha guna meningkatkan pendapatan dalam kegaitan usahanya atau kiprahnya. Dengan demikian seorang wirausaha adalah orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan. Dalam memberikan definisi kewirausahaan, Walter, et al mengacu pada Portes dan Yiu (2013), yang mendefinisikan kewirausahaan sebagai kemampuan dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan kuentungan yang lebih besar. Untuk itu menurut mereka, yang disebut sebagai wirausaha adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menangani usaha. Terlepas dari pengertian kewirausahaan dan wirausaha yang telah dipaparkan. Burhn dan Zia (2013) mengatakan; yang mutlak diperlukan oleh seorang wirausaha untuk membentuk kemampuan berusaha-nya, yaitu modal usaha. Modal usaha adalah sejumlah uang yang digunakan oleh pengusaha untuk membeli apa yang mereka 8 butuhkan untuk membuat produk mereka atau untuk menyediakan layanan kepada sektor ekonomi di mana operasi mereka didasarkan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bastié at el (2013), dalam penelitian yang berjudul The Effect Of Social And Financial Capital. Modal usaha adalah uang pokok, atau uang yang dipakai sebagai induk untuk mendirikan dan mengembangkan usaha. oleh karena itu, seorang wirausaha membutuhakan modal usaha, karena dengan adanya modal usaha, dia dapat membiayai kebutuhan usahanya, baik dalam hal berbelanja bahan baku, maupun peralatan usaha lainnya. Dengan demikian dia mampu untuk memulai, menjalankan, dan mengembangkan usahanya (berusaha). Itulah alasan mengapa modal usaha merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan berusaha dari wirausaha. Menurut Ridwan (2014), dalam membentuk kemampuan usaha, salah satu faktor pendukung yang dibutuhkan adalah modal usaha (uang). Artinya, jika memulai usaha diibaratkan dengan membangun sebuah rumah, maka adanya modal merupakan bagian fondasi dari rumah yang akan dibangun. Semakin kuat fondasi yang dibuat, maka semakin kokoh pula rumah yang dibangun. Karena keberadaan modal usaha ibarat menjadi fondasi awal usaha yang akan dibangun. Artinya, modal usaha adalah mutlak diperlukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan berusaha dari seorang wirausaha. Tanpa mengesampingkan pentingnya modal usaha, Frey et al (2014) menyebutkan; bagaimana mungkin seorang wirausaha dapat menciptakan produk yang inovatif dan kreatif, bila dia tidak mempunyai informasi. Untuk itu, informasi sudah merupakan suatu kebutuhan pokok bagi seorang wirausaha yang ingin memulai atau mengembangkan usahanya. lebih dari itu, informasi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan-keputusan usaha. Itulah salah satu thesis steanment yang di sampaikan dalam penelitian mereka yang berjudul Information Seeking Among Individuals And Groups And Possible Consequences For Decision-Making In Business. 9 Memang benar bila informasi dikatakan sebagai suatu kebutuhan pokok seorang wirausaha. Tetapi informasi seperti apa yang di butuhkan oleh wirausaha. Itulah yang dijelaskan oleh Burtch, et al (2014) bahwa an entrepreneur requires an accurate and up to date information so that decisions can be taken appropriate to its business. (seorang wirausaha membutuhkan suatu informasi yang akurat dan terbaru agar keputusan yang diambilnya dapat tepat guna bagi usahanya). Dengan demikian mereka berpandangan bahwa jika wirausaha ingin mengambil suatu keputusan usaha yang tepat guna, maka wirausaha membutuhkan lebih dari satu sumber informasi. Secara lebih spesifik Pratamasari (2013), menjelaskan bahwa informasi yang akurat dan terbaru yang dibutuhkan oleh wirausaha adalah informasi mengenai konsumen, permintaan dan penawaran, pesaingan, advertensi, produk saingan, pengembangan produk, desain, dan prilaku konsumen. Informasi-informasi inilah yang dibutuhkan oleh wirausaha sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan usaha. The importance of legality in business merupakan judul penelitian dari Miller dan Jent (2012). Dalam penelitian ini, mereka menekankan akan pentingnya pengakuan atau legalitas usaha dari pemerintah atau otoritas yang ada. Dalam suatu usaha, pengakuan ini berwujud pada kepemilikan surat izin usaha. Mereka menganggap bahwa hal ini penting karena dengan adanya pengakuan atau legalitas, seorang wirausaha dapat memiliki rasa percaya diri dalam memulai dan mengembangkan usahanya. Selain itu, dengan adanya legalitas usaha, maka wirausaha dapat disentuh oleh program-prongram pemerintah yang menopang kemampuan berusaha-nya. Hal itu juga menjadi thesis steament dalam penelitian yang di lakukan oleh Lemppe (2014), dengan judul A New Paradigm for the Teaching of Business Law and Legal Environment Classes. Dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa legalitas suatu usaha merupakan suatu kebutuhan dalam menjalankan usaha. Buktinya dewasa ini telah banyak wirausaha yang menyadari akan pentingnya sautu legalitas usaha. Hal itu mereka sadari karena mereka menginginkan usaha yang 10 akan dimulai atau dikembangkan dapat berjalan secara berkelanjutan, dan tidak terhambat dengan permasalah pemindahan (relokasi), atau sebagainya. Legalitas usaha tidak hanya memberikan rasa percaya diri dan kenyamanan pada pemiliknya. Tetapi juga memberikan rasa percaya terhadap wirausaha lainnya, yang ingin membangun mitra usaha dengan pemilik legalitas usaha. Hal itu tentu berdampak positif terhadap kemampuan berusaha dari wirausaha. Peryataan ini tertuang dalam penelitian dari Abosag dan Joong (2014) yang berjudul The Formation Of Trust And Commitment In Business Relationships In The Middle East: Understanding Et-Moone relationships. Dari penelitian-penelitian yang ada, muncul pertanyaan kontekstual, yaitu; bagaimana wirausaha migran Makassar dapat memperoleh sumber daya usaha (informasi, legalitas, modal usaha,) di Kota Jayapura. Hal ini menjadi salah satu fokus dari penelitian ini karena sejauh amatan penulis, hingga saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menaruh perhatian terhadap kemampuan berusaha migran Makassar di Kota Jayapura. Migran Membentuk Modal Sosial (Social Capital) Dari sekian banyak definisi modal sosial (social capital) yang telah disampaikan oleh para ahli, seperti Colemen (1990), Burt (1992), Fukuyama (1995,2002), Cox (1995), Partha (1999), Solow (1999), Prusak (2001), dan lain-lain. Lasinkay (2013), mengatakan bahwa social capital is social network or institute where someone to participate and obtain benefit to its life (modal sosial adalah jaringan sosial atau lembaga dimana seseorang berpartisipasi dan memperoleh kuentungan untuk hidupnya). Selanjutnya Arthurson et al (2014), mengatakan bahwa ada tiga elemen inti dalam membentuk modal sosial. Tiga elemen inti itu adalah jaringan (network), norma (norm), dan kepercayaan (trust). Jaringan (network) adalah bentuk struktur sosial yang terdiri dari simpul-simpul yang saling terikat oleh satu atau lebih tipe hubungan 11 yang spesifik. Simpul-simpul yang dimaksudkan disini dapat berupa individu maupun organisasi (Barnes 1995, dalam Arthurson et al, 2014) Sedangkan yang dimaksud dengan norma adalah pemahamanpemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Normanorma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standarstandar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Norma-norma dapat merupaka pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995, 2002, dalam Pambudi 2014). Secara harafiah, trust dalam bahasa Inggris memang merupakan kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, trust dapat berarti kepercayaan keyakinan atau juga rasa saling percaya. Sedangkan dalam kata kerja, trust berarti proses mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya (http://kamusbahasainggris.com/). Tetapi dalam tataran konsep modal sosial, Lawang (2005) mendefinisikan trust sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih, yang mengandung harapan yang menguntungkan ke-dua belah pihak. Bila dikaitkan antara penelitian ini dengan penjelasan tentang modal sosial, dan ketiga elemen pembentuknya, muncul suatu pertanyaan; Bagaimana migran membentuk modal sosial di daerah tujuannya. Pertanyaan ini telah coba di jawab oleh Pero (2014), yang mengatakan bahwa pada umumnya ketika seorang migran berada di daerah tujuan. Migran itu cenderung untuk bergabung dengan kelompok-kelompok agama atau etnis atau profesi. Hal itu dilakukannya dengan maksud memperkuat identitas sosialnya. Karena dengan demikian akan lahir kepercayaan, yang mempermudah terbentuknya jaringan sosial. Jaringan sosial inilah yang biasanya digunakan sebagai modal sosial untuk mencapai kepentingannya di daerah tujuan. Dalam penelitian yang berjudul Social Networks, Social Support And Social Capital: The Experiences Of Recent Polish Migrants In 12 London. Secara lebih spesifik, Sales et al (2008) mengatakan bahwa ketika berada di suatu daerah tujuan, kaum migran menyadari bahwa mereka memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya di sana. Sehingga sebagai cara untuk dapat mengakses sumber daya yang tersedia, mereka akan menggunakan modal sosial yang mereka miliki. Modal sosial yang mereka miliki biasanya berupa kelompok formal atau jaringan informal yang terbentuk berdasarkan kesamaan etnis dan atau agama. Jaringan-jaringan ini terbentuk atas dasar kepercayaan yang lahir dari suatu proses penguatan identitas sosial yang dilakukan oleh para migran. Proses penguatan identitas yang mereka lakukan dapat berupa penggunaan simbol-simbol etnis dan atau agama tersebut, maupun memenuhi tipe ideal lainnya, yang mengindikasikan identitas sosial itu. Guna menjelaskan mengapa suatu identitas sosial dapat melahirkan kepercayaan yang kemudian berujung pada lahirnya suatu modal sosial, Davis (2013) melakukan suatu penelitian yang berjudul Social Capital and Social Identity: Trust and Conflict. Dalam penelitian tersebut, Davis menjelaskan bahwa identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras. Identitas sosial dapat melahirkan kepercayaan, karena dalam satu identitas sosial, terkandung nilai-nilai yang mencerminkan kepribadian seseorang. Oleh karena itu ketika A mengenal identitas B, dan merasa identitas B mencerminkan kepribadian yang dapat dipercaya, tentu A akan mempercayai B, begitu juga sebaliknya. Melalui rasa saling percaya di antara mereka, maka dapat tercipta jaringan sosial yang berorientasi terhadap kepentingan bersama. Dengan demikian jaringan sosial tersebut dapat dimanfaatkan oleh A atau B sebagai modal sosial-nya. Hubungan identitas dan kepercayaan juga dijelaskan oleh Rahayo (2010) bahwa dalam semua jenis relasi sosial terdapat semacam kebutuhan dasar, yakni kebutuhan tentang identitas, baik di dalam diri setiap orang (dalam konteks individual) ataupun kelompok (dalam konteks komunal). Identitas diperlukan tidak semata-mata untuk 13 mencari persamaan dan perbedaan (identifying) sehingga teridentifikasi dengan jelas mana “aku” dan mana “kamu”, atau mana “kita” dan mana “mereka” (in- group dan out- group). Tetapi lebih dari itu, identitas sering kali juga memberi rasa percaya, rasa aman, rasa nyaman, rasa diterima, rasa tidak terancam, dan mengikis rasa takut, sebab di dalam identitas tersebut tersirat kesatuan (unity) dan kebersatuan (oneness). Selain beberapa penelitian yang telah dipaparkan, tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak penelitian lainnya yang menaruh perhatian pada pembentukan modal sosial migran, dan alasan migran membentuknya. Tetapi sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang memberikan penjelasan tentang bagaimana migran Makassar membentuk modal sosial antara sesama mereka di Kota Jayapura. Dengan demikian penelitian ini akan lebih diarahkan untuk menjelaskan bagaimana migran Makassar membentuk modal sosial di Kota Jayapura. Alasan dan Jenis Migrasi Kata migrasi, telah banyak didefinisikan oleh para ahli, diantaranya yang biasa dikutip adalah definisi migrasi menurut Lee (1966), Todaro (1969), Gould dan Porthero (1975), Mantra (1985), Tjiptohorijanto (1986), Gilbert dan Guler (1996), Saggala (2012), Reyes dan Zhao (2014), dan lain-lain. Tetapi secara umum migrasi dapat didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan tujuan untuk menetap (Bartram et al, 2014). Migrasi dapat terjadi karena adanya faktor pendorong (push factor) di daerah asal, dan karena adanya faktor penarik (pull factor) di daerah tujuan. Faktor pendorong (push factor) adalah faktor yang terdapat di daerah asal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan migrasi atau memutuskan untuk menjadi migran. Sedangkan faktor penarik (pull factor) adalah faktor yang terdapat di daerah tujuan, yang mempengaruhi seseorang untuk datang ke tempat itu (Kainth 2010, Zacharian et al 2003). 14 Fabry dan Roselli (2013) menyebutkan; walaupun dalam berbagai teori migrasi meyakini bahwa migrasi terjadi karena dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Tetapi permasalahan ekonomi adalah permasalahan paling sering mempengaruhi terjadinya migrasi. Mereka mengatakan demikian karena dalam penelitian mereka yang berjudul “Resetting Migration Strategy”. Mereka menemukan bahwa pada umumnya informan mereka melakukan migrasi karena alasan ingin mencari pekerjaan, atau mencari penghasilan lebih di daerah tujuan migrasi. Hal yang sama juga disampikan oleh Gromosv (2013), dia menyebutkan bahwa permasalahan ekonomi seperti rendahnya pendapatan, dan tidak adanya sumber nafkah di daerah asal merupakan salah satu hal yang membuat seseorang memutuskan untuk melakukan migrasi keluar dari daerah asalnya. Sedangkan faktor penarik di daerah tujuan adalah karena daerah tujuan lebih menjanjikan dalam hal pekerjaan dan pendapatan. Tetapi tak jarang juga migrasi terjadi akibat adanya permasalahan sosial dan atau politik. Okayayus et al (2014), juga menemukan bahwa biasanya seseorang melakukan migrasi ke suatu daerah, karena kondisi ekonomi yang tidak stabil di daerah asal. Ketidakstabilan ekonomi tersebut, dapat terjadi karena di daerah asal, tidak tersedia lapangan pekerjaan, atau adanya keterbatasan penghasilan. Sehingga sebagai solusi atas permasalahan tersebut, mereka melakukan migrasi ke daerah yang lebih berpotensi memberikan lapangan kerja, dan penghasilan yang lebih baik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Benoit, et al (1989), berjudul Transmigration And Spontaneous Migrations In Indonesia, mereka menyebutkan bahwa penduduk Indonesia juga sering melakukan migrasi, karena terbelit permasalahan-permasalah ekonomi, sosial, politik dan bencana. Bila ditinjau dari inisiatif migrasi, di Indonesia ada yang dikenal transmigrasi, dan migrasi spontan. 15 Transmigrasi adalah program pemerintah untuk memindahkan penduduk dari pulau yang padat penduduknya, ke pulau yang jarang penduduknya. Sedangkan migrasi spontan adalah migrasi yang dilakukan atas dasar kemauan dan biaya sendiri. Bahkti (2014), juga mengemukakan bahwa migrasi di Indonesia terjadi atas inisiatif pemerintah, dan inisiatif individu atau kelompok. Dalam khasus migrasi berdasarkan inisiatif sendiri, biasanya calon migran telah memiliki kenalan atau kerabat di daerah tujuan. Sehingga memberikan informasi yang mempengaruhi calon migran untuk berinisiatif melakukan migrasi ke daerah tujuan. pola migrasi semacam itulah yang disebut pola migrasi berantai. Pola migrasi berantai adalah suatu rantai migrasi sering dimulai dengan salah satu anggota keluarga yang mengirimkan uang untuk membawa keluarga lainnya ke lokasi baru. Dalam ruang kajian yang sedikit berbeda, Milles dan Pike (2014) mengemukakan bahwa yang dikatakan sebagai pola migrasi berantai adalah pola perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain yang kemudian diikuti oleh penduduk daerah asalnya, karena adanya ajakan atau hasutan dan atau karena difasiltasi oleh orang pertama yang telah berhasil di daerah tujuan migrasi. Dia lalu menyebutkan bahwa perpindahan penduduk yang terjadi biasaynya terjadi atas kesadaran sendiri (migrasi spontan). Salah satu fenomena migrasi spontan di Indonesia adalah migrasi spontan yang dilakukan oleh beberapa suku atau warga Sulawesi Selatan ke dataran Tanah Papua. Hal ini seperti yang dibahas oleh Aditjondro (1986, dalam Levang, 2007), yang mengatakan bahwa permasalahaan keterbatasan lapangan kerja dan penghasilan di daerah asal telah mendorong penduduk Sulawesi Selatan, seperti suku Bugis, Buton, dan Makassar, untuk melakukan migrasi spontan, ke Irian Jaya. Elmslie (2002), dalam penelitiannya yang bertajuk Irian Jaya Under The Gun, kembali menegaskan bahwa sebagian besar penduduk Bugis, Buton, dan Makassar, yang ada di Irian Jaya, merupakan orang16 orang yang berinisiatif sendiri untuk datang ke Papua, karena terbelit permasalah-permasalah ekonomi di daerah asalnya. Sehingga dia berpendapat bahwa migran di Papua, memiliki dua wajah, yaitu migran pemerintah dan migran spontan. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gannon et al (2012), yang diluncurkan dalam buku berjudul Comprehending Papua, mereka menemukan bahwa jumlah warga Bugis, Buton, dan Makassar, semakin banyak di wilayah Papua. Kenyataan itu mereka sebutkan sebagai dampak dari arus migrasi spontan ke wilayah Papua, yang tidak dapat dibendung dan dikendalikan oleh Pemerintah Daerah setempat. Menurut Seweng et al (2014), kenyataan tentang bertambahnya jumlah warga migran di Papua, merupakan suatu fenomena yang wajar. Karena dalam penelitian mereka yang berjudul Proyeksi Angka Migrasi Indonesia Tahun 2005-2010, mereka telah menemukan bahwa penyebab utama terjadinya migrasi spontan ke Papua, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup besar, dengan pendapatan yang cukup tinggi. Nampak bahwa fokus penelitian tersebut, lebih banyak menaruh perhatian terhadap alasan terjadinya migrasi, dan pembiayaan, serta inisiatif migrasi. Sedangkan belum banyak yang menaruh perhatian terhadap pola migrasi yang terbentuk dari migrasi spontan warga Sulawesi Selatan, khususnya Makassar. Untuk itu dalam penelitian ini akan lebih menaruh perhatian terhadap pola migrasi yang terbentuk dari migrasi spontan warga Makassar. 17