PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DI INDONESIA (PERIODE TAHUN 2000-2014) e-Journal Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Oleh: Risyda Liasonya Azzi 113401027 PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SILIWANGI 2015 ABSTRAK PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE TAHUN 2000-2014 Oleh: Risyda Liasonya Azzi Pembimbing: Chandra Budhi L.S. Encang Kadarisman Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Jumlah Uang Beredar, BI rate dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia pada tahun 2000 – 2014. Analisis data pada penelitian ini menggunakan Metode Regresi Linear Berganda. Uji hipotesis menggunakan pengujian secara parsial (uji t) dan simultan (uji F). Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Inflasi, Jumlah Uang Beredar, BI rate dan Pengeluaran Pemerintah tahun 2000 – 2014. Hasil dengan menggunakan uji parsial (uji t) dengan taraf nyata 5% adalah Jumlah Uang Beredar negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi, BI rate mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi, Pengeluaran Pemerintah mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi. Secara simultan (Uji F) Jumlah Uang Beredar, BI rate dan Pengeluaran Pemerintah mempunyai pengaruh signifikan terhadap Inflasi di Indonesia periode tahun 2000 – 2014. Kata kunci : Jumlah Uang Beredar, BI rate, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Inflasi merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting, laju perubahannya selalu diupayakan rendah dan stabil. Inflasi yang tinggi dan tidak stabil merupakan cerminan akan kecenderungan naiknya tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus sehingga akan melemahkan daya beli masyarakat yang nantinya akan berdampak pada penurunan pendapatan nasionalriil. Oleh karena itu diharapkan adanya pengendalian laju inflasi yang akhir–akhirini menunjukkan grafik yang meningkat. Menurut sejarah perkembangannya, fluktuasi inflasi Indonesia tergolong cukup bervariasi dari waktu ke waktu dan bersifat persisten (Dwiantoro, 2004). Secara umum penyebab inflasi di Indonesia terjadi karena adanya tekanan dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation) maupun dari sisi penawaran (Cost Push Inflation). Dari sisi permintaan menurut teori moneter, ekses permintaan ini disebabkan terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, sedangkan jumlah barang di pasar sedikit. Dari sisi penawaran (Cost Push Inflation), inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Adanya kenaikan biaya produksi, asumsi dengan modal yang sama, maka jumlah produk yang dihasilkan lebih sedikit dari yang sebelumnya. Pengurangan produksi ini, menyebabkan kelangkaan yang berakibat peningkatan harga barang. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesiapada 13 Juni 2013 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan pada level 6%. Seiring keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan Tingkat suku bungasebesar 25 basis poin, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) memutuskan ikut menaikkan tingkat bunga penjaminan sebesar 25 bps untuk periode 15 Juni 2013 hingga 14 September 2013. Dengan demikian, tingkat bunga penjaminan untuk denominasi rupiah naik menjadi 5,75%. Keputusan LPS menaikkan tingkat penjaminan simpanan didasarkan pada kenaikan Tingkat suku bunga sebagai respons peningkatan ekspektasi inflasi serta untuk memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan. Kebijakan fiskal seperti pengeluaran pemerintah adalah variabel lain yang memicu pergerakan inflasi. Sejumlah studi mencatat temuan – temuan mengejutkan dan menarik tentang interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter, khususnya ketika otoritas moneter menargetkan inflasi (Andersen, 2005). Menurut Andersen (2005), kebijakan fiskal disebut ekspansif apabila mampu secara langsung (temporer) mempengaruhi proses inflasi dengan cara mempengaruhi output nasional dan kemudian mereduksi inflasi, apabila efek yang ditimbulkannya berlawanan (meningkatkan inflasi) disebut kontraktif. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bagian latar belakang, maka identifikasi masalah yang telah disusun dalam penelitian, yaitu: 1. Bagaimana Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara parsial terhadap Inflasi di Indonesia? 2. Bagaimana Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara simultan terhadap Inflasi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara parsial terhadap Inflasi di Indonesia. 2. Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara simultan terhadap Inflasi di Indonesia. 1.4 Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, adapun kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut: a. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi ke khasanah ilmu pengetahuan. b. Terapan Ilmu Pengetahuan Dapat menambah terapan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga BI, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia, dimana dalam penelitian ini c. d. e. penulis akan berusaha semaksimal mungkin melakukan pendekatan terhadap permasalahan yang terjadi berdasarkan metode ilmiah, yang diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi Penulis Dapat memperdalam pemahaman dan pengetahuan khususnya tentang permasalahan yang diteliti sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Bagi Akademisi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan dan wawasan mengenai Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga BI, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia. Bagi peneliti lainnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan data tambahan bagi peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Inflasi Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga – harga secara umum dan terus– menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh–mempengaruhi. Jadi, kenaikan harga pada satu atau dua jenis barang tidak dapat dikategorikan sebagai inflasi. 2.1.1.1 Penggolongan Inflasi Inflasi dibedakan menjadi 4 macam, yaitu (Boediono, 1998: 162): 1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun) 2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun) 3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun) 4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun) 2.1.1.2 Penyebab Timbulnya Inflasi Inflasi dilihat dari sebab awalnya: 1) Demand-Pull Inflation Demand-pull Inflation disebabkan oleh permintaan masyarakat akan barang – barang (aggregate demand) bertambah. Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian yang berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini akan menimbulkan inflasi. Selain pada masa perekonomian berkembang pesat, Demand–pull Inflation juga dapat berlaku pada masa perang atau ketidakstabilan politik yang terus menerus. Dalam masa seperti ini pemerintah berbelanja jauh melebihi pajak yang dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluaran tersebut pemerintah terpaksa mencetak uang atau meminjam dari bank sentral. Pengeluaran pemerintah yang berlebihan tersebut menyebabkan permintaan agregat akan melebihi kemampuan ekonomi tersebut menyediakan barang dan jasa. Maka keadaan ini akan mewujudkan inflasi. 2) Cost Push Inflation Inflasi jenis Cost–Push Inflation terjadi karena kenaikan biaya produksi, yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara– negara partner dagang, peningkatan harga–harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Inflasi ini terutama berlaku dalam masa perekonomian berkembang pesat ketika tingkat pengangguran sangat rendah. Apabila perusahaan – perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan berusaha menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji atau upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja baru dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi. Langkah ini mengakibatkan biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga – harga barang. 2.1.1.3 Teori Inflasi Secara garis besar teori yang membahas tentang inflasi dapat dibagi dalam tiga kelompok dengan masing – masing menyoroti aspek – aspek tertentu dari proses terjadinya inflasi. Namun demikian, ketiga teori tersebut bukanlah teori inflasi lengkap yang membahas semua aspek penting dari proses terjadinya kenaikan harga barang. Ketiga teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Teori Keynes dan Teori Strukturalis. a. Teori Kuantitas Teori Kuantitas memaparkan bahwa terjadinya inflasi hanya disebabkan oleh satu faktor, yaitu akibat adanya kenaikan jumlah uang yang beredar (JUB). b. Teori Keynes Pembahasan tentang inflasi dalam Teori Keynes didasarkan pada teori makronya. Teori Keynes menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat cenderung ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Keadaan seperti ini ditunjukkan oleh permintaan masyarakat akan barang – barang yang melebihi jumlah barang – barang yang tersedia. Hal ini menimbulkan inflationary gap. Ketika inflationary gap tetap ada, maka selama itu pula proses inflasi terjadi dan berkelanjutan. c. Teori Strukturalis Teori Strukturalis merupakan teori yang menjelaskan fenomena inflasi dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan pada penjelasannya yang menyoroti sebab – sebab inflasi yang berasal dari kekakuan atau infleksibilitas struktur ekonomi suatu negara. 2.1.1.4 Cara Mencegah Inflasi Dengan menggunakan Irving Fisher MV = PT dapat dijelaskan bahwa inflasi timbul karena MV naik lebih cepat dari pada T. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya inflasi maka salah satu variabel (M atau V) harus dikendalikan. Cara mengatur variabel M.V dan T tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijaksanaan moneter, fiskal atau kebijaksanaan yang menyangkut kenaikan produksi. 2.1.2 Definisi Jumlah Uang Beredar Perekonomian membahas mengenai uang, dimana uang akan dibedakan antara mata uang dalam peredaran dan uang beredar (Sukirno, 1994: 281). Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian mata uang dalam peredaran sama dengan uang kartal. Uang beredar adalah semua jenis uang yang berada didalam perekonomian, yaitu jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank – bank umum. Pengertian uang beredar atau money supply dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu dalam arti sempit, dalam arti luas, dan dalam arti lebih luas. 2.1.2.1 Uang Inti sebagai Indikator Kebijaksanaan Moneter Uang inti merupakan besaran penting uang berfungsi sebagai indikator bagi kebijaksanaan moneter terhadap perekonomian. Pendapat di atas berdasarkan pada 2 hal berikut: a. b. 1. 2. 3. Adanya teori moneter yang memasukkan uang inti sebagai suatu mata rantai penghubung antara tindakan-tindakan penguasa moneter dengan dampak terakhirnya terhadap pendapatan, output, dan harga. Uang inti merupakan variabel yang relatif lebih bisa dikendalikan penguasa moneter. Ada 3 konsep dalam menghitung besarnya uang inti yaitu: Source Base Reserve Adjustment Monetary Base 2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dasar terciptanya uang beredar adalah karena adanya uang inti atau uang primer. Dengan demikian, besarnya uang beredar ini sangat dipengaruhi oleh besarnya uang inti yang tersedia. 2.1.2.3 Pengendalian Jumlah Uang Beredar Pengendalian terhadap JUB, merupakan kebijakan yang sangat esensial berkaitan dengan perekonomian suatu negara. Pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan, merupakan ‘aktor’ utama yang bertanggung jawab terhadap JUB di Indonesia. 2.1.3 Tingkat Suku Bunga Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa faktor penentu suku bunga terbagi atas 2 (dua) faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan Ekspektasi Inflasi. Sedangkan faktor eksternalnya adalah penjumlahan suku bunga luar negeri dan tingkat Ekspektasi perubahan nilai tukar valuta asing. Seperti halnya dalam setiap analisis keseimbangan ekonomi, pembicaraan mengenai keseimbangan di pasar uang juga akan melibatkan unsur utamanya, yaitu permintaan dan penawaran uang. Bila mekanisme pasar dapat berjalan tanpa hambatan maka pada prinsipnya keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan merupakan wujud kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran uang. 2.1.3.1 Ada 2 Macam Suku Bunga Riil dan Nominal Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997: 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Suku bunga nominal adalah rasio antara jumlah uang yang dibayarkan kembali dengan jumlah uang yang dipinjam. 2.1.3.2 Fungsi Suku Bunga menurut Sunariyah (2004: 81) adalah: a) Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan. b) Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. c) Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian. 2.1.4 Pengeluaran Pemerintah Untuk mengatur kegiatan perekonomian nasional, suatu negara harus membuat anggaran pendapatan dan belanja, begitu pula dengan Indonesia. Anggaran yang dimaksud yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah. 2.1.4.1 Pengeluaran Pemerintah dibagi 2 Kelompok Teori mengenai pengeluaran pemerintah juga dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu teori makro dan teori mikro: 1. Teori Makro 2. Teori Keynes 3. Teori Rostow dan Musgrave 4. Teori Wagner 5. Teori Peacock dan Wiseman 2.1.4.2 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Besarnya Pengeluaran Pemerintah Menurut Sadono Sukirno (1994: 168- 169) ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah dalam satu periode yaitu: a. Proyeksi jumlah pajak yang diterima Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Ada kecenderungan semakin banyak pajak yang diterima maka semakin besar pengeluaran yang dilakukan. b. Tujuan ekonomi yang ingin dicapai pemerintah Tujuan – tujuan utama yang ingin dicapai pemerintah yaitu mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat inflasi dan mempercepat pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Maka diperlukan dana yang besar yang salah satunya bersumber dari pajak. Dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran perlu diadakan perbaikan jalan dan sarana lainnya guna meningkatkan minat investasi swasta, s eringkali penerimaan yang berasal dari pajak tidak mencukupi maka terkadang keputusan untuk mencetak uang baru merupakan jalan yang diambil pemerintah. c. Pertimbangan politik dan keamanan Stabilitas politik seringkali berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian. Seperti perang yang melanda suatu Negara. Hal ini tentu berdampak pada besarnya alokasi dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai perang, yang pada akhirnya juga mengganggu iklim investasi di negara yang bersangkutan karena alasan keamanan. 2.2 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan (Hamid, 2009: 26) Inflasi merupakan salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan dijumpai di hampir semua Negara di dunia. Inflasi adalah kecenderungan dari harga–harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang – barang lain. (Boediono, 1995). Teori inflasi Keynes mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada pada tingkat full employment. Menurut Keynes kuantitas uang tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang tetap konstan. Jika uang beredar bertambah maka harga akan naik. Kenaikan harga ini akan menyebabkan bertambahnya permintaan uang untuk transaksi, dengan demikian akan menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini akan mencegah pertambahan permintaan untuk investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi. Analisa Keynes mengenai inflasi permintaan dirumuskan berdasarkan konsep inflanatiory gap. Menurut Keynes, inflasi permintaan yang benar – benar penting adalah yang ditimbulkan oleh pengeluaran pemerintah, terutama yang berkaitan dengan peperangan, program investasi yang besar – besaran dalam kapital sosial (Ackley, 1973: 534). 2.2.1 Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi Hubungan antara Inflasi dan jumlah uang beredar didasari oleh teori kuantitas uang. Nilai uang ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata – rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta. 2.2.2 Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi Dalam teori klasik, bahwa “bunga” merupakan harga kapital (price of capital), dimana apabila permintaan modal (uang) naik maka bunga akan naik pula, tetapi orang meminta uang atau meminjam uang bukan semata – mata untuk investasi tetapi juga untuk transaksi (konsumsi) dan spekulasi. Meskipun demikian peminjam tetap dikenakan bunga. Itulah sebabnya dalam ekonomi kapitalis, kegiatan transaksi ekonomi lebih banyak di sektor keuangan ini dibandingkan dengan sektor riil. 2.2.3 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Inflasi Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men–stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. 2.3 Hipotesis Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara atas kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalan penelitian yang sebenarnya masih harus diuji secara empiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan dugaan yang mungkin benar atau mungkin salah. Hubungan Inflasi (variabel terikat) dengan variabel-variabel bebasnya, yaitu Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah adalah sebagai berikut: 1. Diduga Jumlah Uang Beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. 2. Diduga Tingkat Suku Bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. 3. Diduga Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. 4. Diduga Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh secara bersama-sama terhadap Inflasi di Indonesia. BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Penulis melakukan penelitan pada data sekunder yaitu berupa publikasi dari laporan tahunan Bank Indonesia yang terdaftar di situs resminya www.bi.go.id dan data dari situs www.bps.go.idadapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi. Berikut Data Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi. Tabel 3.1 Data Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi M2 Tingkat Pengeluaran M1 (Milyar (Milyar Suku Pemerintah Inflasi Tahun Rupiah) Rupiah) Bunga (Milyar (%) (%) Rupiah) 2000 162.186 747.028 14,53 223.907 9,35 2001 177.731 844.053 17,62 354.578 12,55 2002 191.939 883.908 12,93 345.605 10,03 2003 223.779 955.682 8,31 377.248 5,06 2004 253.818 1.033.528 7,43 427.226 6,40 2005 281.905 1.203.215 12,75 565.070 17,11 2006 361.073 1.382.074 9,75 699.099 6,60 2007 460.842 1.643.203 8,00 752.373 6,59 2008 466.379 1.883.851 9,25 989.494 11,06 2009 515.824 2.141.384 6,50 1.000.844 2,78 2010 605.411 2.471.206 6,50 1.126.146 6,96 2011 722.991 2.877.220 6,00 1.320.751 3,79 2012 841.652 3.307.508 5,75 1.548.310 4,29 2013 887.084 3.730.409 7,50 1.726.191 8,38 2014 942.221 4.173.327 7,75 1.910.796 8,36 Sumber: Bank Indonesia dan BPS 3.2 Metode Penelitian Metode adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknis serta alat-alat tertentu. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuantitatif . Data dalam penelitian ini merupakan data runtut waktu (time series) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014. Sedangkan pengertian kuantitatif menurut Sugiyono (2007:13), adalah “Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.” 3.2.1 Operasionalisasi Variabel Variabel penelitian adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2000). Didalam penelitian ini penulis menggunakan 2 variabel yaitu : Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Variabel Definisi Skala Jumlah Uang Jumlah uang kartal dan uang giral (M1) Beredar (X1) Tingkat Suku Suku Bunga kebijakan yang Bunga (X2) mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Pengeluaran Besarnya pengeluaran total pemerintah Pemerintah (X3) yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rasio Inflasi (Y) Rasio Kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Perhitungan berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK). Rasio Rasio 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu mempelajari, memahami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasikan hal-hal yang sudah ada untuk mengetahui apa yang sudah ada dan apa yang belum ada dalam bentuk jurnal-jurnal atau karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh penulis atau pihak pengumpul data primer dan dituangkan dalam bentuk tabel-tabel atau diagram. Data sekunder yang diperoleh kemudian diolah kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini. (Sugiyono, 1999). Data diperoleh dari berbagai dokumen resmi Bank Sentral (Bank Indonesia) beberapa edisi. Laporan Bulanan, Triwulanan dan Tahunan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dipandang cukup mewakili sejauh mana pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. 3.3 Analisis Regresi Berganda Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh independen (jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah) terhadap variabel dependen (Inflasi). Persamaan regresi yang dipakai adalah sebagai berikut: + logX1+ X2+ logX3 + e Y= Dimana: Y = Inflasi = Konstanta = Koefisien Regresi X1= Variabel Jumlah Uang Beredar X2= Variabel Tingkat Suku Bunga X3= Variabel Pengeluaran Pemerintah e = Error term 3.4 3.4.1 1. a. Teknik Analisis Data Metode Ordinary Least Square (OLS) Uji Statistika Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji - t) Uji ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel independen secara individu terhadap variabel dependennya. Adapun hipotesis pada uji t ini adalah sebagai berikut: • H0: β1 = 0 (tidak berpengaruh) • H a : β1 ≠ 0 (berpengaruh) b. Koefisien determinasi (R2) Pengukuran ini bertujuan mengetahui atau mengukur seberapa baik garis regresi yang dimiliki. Dengan kata lain mengukur seberapa besar proporsi variasi variabel dependen dijelaskan oleh semua variabel independen (Widarjono, 2007). c. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.Selain itu uji F dapat dilakukan untuk mengetahui signifikansi koefisien determinasi R2. 2. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik a. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan koefisien korelasi untuk mendeteksi adanya multikolinearitas. Bila nilai koefisien korelasi lebih dari 0,85 maka terdapat gejala multikolinearitas, sebaliknya jika angka koefisien korelasi kurang dari 0,85 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas. b. Uji Autokorelasi Digunakan uji statistik dari Breusch-Godfrey (BG Test) untuk mendeteksi apakah ada serial korelasi (autokorelasi) atau tidak dalam data time series yang digunakan. Serial korelasi adalah problem dimana dalam sekumpulan observasi untuk model tertentu antara observasi yang satu dengan yang lain ada hubungan atau korelasi. Pengujian ini dilakukan dengan meregresi variabel pengganggu uidengan menggunakan model autoregressive dengan orde ρ sebagai berikut: c. Uji Heteroskedastisitas Untuk menguji ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat digunakan Uji White. Secara manual, uji ini dilakukan dengan meregresi residual kuadrat (ut2) dengan variabel bebas. Dapatkan nilai R2, untuk menghitung χ2, dimana χ2 = n*R2. Kriteria yang digunakan adalah apabila χ2 tabel lebih kecil dibandingkan dengan nilai Obs*R-squared, maka terdapat gejala heterokedastisitas di dalam persamaan penelitian. d. Uji Normalitas Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel independen dan dependen memiliki distribusi normal atau tidak.Model regresi yang baik apabila distribusi data normal atau mendekati normal (Kuncoro, 2003).Uji normalitas dideteksi dengan melihat penyebaran data pada sumbu diagonal dari grafik atau dapat juga dengan melihat histogram dari residualnya.Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas, begitu juga sebaliknya.Jika terdapat data yang tidak normal maka uji metode bisa dilakukan dengan uji outlier. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Dari Hasil Pengolahan Data didapat persamaan regresi dalam bentuk persamaan ekonometrika sebagai berikut: + logX1 + X2 + logX3 + e Y= Y = - 17,76331 – 8,355042 logX1 + 0,932423 X2 + 9,233907 logX3 + e Prob t-statistik (0,3626) (0,0171) (0,2356) R-Squared (0,649241) F Statistik (6,786864) Berdasarkan persamaan di atas, diketahui bahwa koefisien tiap variabel bebas adalah -8,355042 untuk variabel jumlah uang beredar, 0,932423 untuk variabel tingkat suku bunga, 9,233907 untuk variabel pengeluaran pemerintah, yang dimaksud koefisien dalam penelitian ini adalah besarnya pengaruh tiap variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu inflasi, maka penulis menganalisisnya melalui beberapa parameter dan pengujian sebagai berikut: 4.1.1. Koefisien Determinasi Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,649241 hal ini berarti variabel JUB, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah dapat menjelaskan perubahan pada variabel Inflasi sebesar 64,92 % dan sisanya sebesar 35,08 % di jelaskan oleh variabel lain diluar model. 4.1.2. Uji F Statistik Untuk melihat apakah variabel bebas mempunyai pengaruh secara bersamasama terhadap variabel terikat, dapat diketahui dengan pengujian secara dengan persamaan yang keseluruhan yaitu melalui perbandingan telah dijelaskan diatas. Dari hasil perhitungan diperoleh sebesar 6,786864 dengan pada taraf nyata 5% adalah 2,54. Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat >Ftabel atau 6,786864 > 2,54 artinya bahwa pengaruh variabel dilihat bahwa JUB, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia Periode Tahun 2000-2014 secara bersama-sama adalah signifikan. 4.1.3. Uji t Statistik Uji t dilakukan untuk menguji tingkat signifikansi pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Berdasarkan hasil regresi, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada level of significant 5% variabel JUB dan pengeluaran pemerintah berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel terikat yaitu inflasi. Sedangkan Tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu inflasi, hal ini dapat diketahui dari nilai probabilitas tstatistiknya tidak lebih besar dari 0,05. Nilai probabilitas dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Tabel 4.1 Hasil Uji T Pengaruh JUB, Tingkat suku bunga dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 2004-2013 Variabel Prob(t-statistik) Jumlah Uang Beredar 0,3626 Tingkat suku bunga 0,0171 Pengeluaran Pemerintah 0,2356 Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6 Signifikansi Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan 4.1.4 Uji Asumsi Klasik 4.1.4.1 Uji Multikolinearitas Multikolinearitas menunjukan gejala adanya hubungan linier atau hubungan yang pasti diantara variabel bebas dalam model regresi. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya multikolinearitas dalam model regresi maka dapat menganalisis multikolinearity test dengan melihat Correlation antar variabel independen. Hal ini bisa dilihat dengan nilai Correlation tidak lebih dari 0,85. Berdasarkan analisis Correlation maka dapat disimpulkan bahwa model yang dipakai terdapat multikolinearitas dalam model regresi. Hal ini bisa dilihat dengan nilai Correlation tiap variabel yang lebih dari 0,85. Jika sudah terdeteksi mengalami problem multikolinearitas maka bisa menggunakan perbaikan regresi, setelah dihasilkan regresi yang baru dapat diketahui bahwa nilai Correlation pada regresi yang baru kurang dari 0,85, itu berarti gejala multikolinearitas sudah dapat diatasi. Aplikasi deteksi multikolinieritas dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Eviews6. 4.1.4.2 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi apabila variabel gangguan tidak mempunyai varians yang sama untuk semua observasi. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas adalah dengan cara meregresikan residual kuadratnya terhadap fitted kuadratnya. Untuk mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas, maka nilai R2 dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square (χ2) dengan besarnya df adalah 60. Jika Obs*R squared lebih kecil dari nilai tabelnya maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil residual kuadratnya terhadap fitted kuadrat maka diperoleh Obs*R squared 4,535928 yang nilainya lebih kecil dari nilai tabel ChiSquare (χ2) dengan α = 5 % dan df = 60 sebesar , berarti tidak terjadi heteroskedastisitas. Tabel 4.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F Statistic 1,589413 Obs*R-Square 4,535928 Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6 Prob. F Prob Chi-Square 0,2478 0,2091 4.1.4.3. Uji Autokorelasi Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan korelasi antar variabel dalam suatu model, adapun hasilnya sebagai berikut: Tabel 4.4 Hasil Uji Autokorelasi F-Statistic 0,271736 Prob F 0,7681 Obs*R-squared 0,854205 Prob.Chi-Square 0,6524 Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6 Pada regresi variabel jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia periode 2000-2014 dengan nilai degree of freedom (df) sebesar 60 – 4 = 56 dan menggunakan α = 5 persen maka diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 74,47. Dibandingkan dengan nilai Obs*Rsquared Breusch-Godfrey (BG) Test hasil regresi yaitu sebesar 0,854205, maka nilai Obs*Rsquared Breusch-Godfrey (BG) Test lebih kecil dibandingkan nilai χ2 tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi persamaan tersebut bebas dari gejala autokorelasi. 4.1.4.4 Uji Normalitas Uji normalitas bisa diuji dengan dua metode, yaitu uji Jarque-Bera dan uji Histogram Residual. Digunakan untuk mengetahui apakah bentuk dari probability distribution function (PDF) dari variabel random berbentuk distribusi normal atau tidak. Dilihat dari nilai Jarque-Bera 1,694775 didasarkan pada distribusi ChiSquares dengan derajat kebebasan (df) = 60 – 4 = 56 dan α = 5% dengan nilai χ2 tabel sebesar 74,47, artinya nilai Jarque-Bera lebih kecil dari nilai χ2 tabel maka persamaan ini berdistribusi normal. (Lampiran) 4.2 Pembahasan 4.2.1 Pengaruh Jumlah Uang Beredar (JUB) terhadap Inflasi di Indonesia. Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa JUB secara parsial memberikan pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Inflasi di Indonesia periode 20002014 ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar -8,355042 dan prob. t-test 0,3626, dengan hasil tersebut dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengubah JUB tidak efektif dalam mengendalikan tingkat inflasi. Hal ini terjadi karena JUB itu sendiri adalah imbas dari pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang turut pula meningkatkan daya beli masyarakat sehingga berpengaruh negatif terhadap inflasi namun tidak signifikan. Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi. Hal ini bertolak belakang dengan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap inflasi di Indonesia. Pada teori kuantitas uang, yang dikembangkan oleh Irving Fisher mengatakan bahwa “Pada hakikatnya bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya ke atas harga-harga”. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru Perlambang (2012) yang menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan terlihat bahwa JUB berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 2004-2009, ditunjukan dengan nilai koefisien sebesar -0.00000338 yang prob t-test 0.5474 dengan hasil tersebut dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengubah JUB tidak efektif dalam mengendalikan tingkat inflasi. Sehingga menduga hal tersebut disebabkan karena periode penelitian yang sangat singkat sehingga tidak dapat secara tepat memperlihatkan kondisi yang terjadi. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Ini berarti terdapat korelasi positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan inflasi, yang dapat dijadikan prediksi teori kuantitas bahwa pertumbuhan uang yang tinggi mengarah pada inflasi yang tinggi sehingga pertumbuhan dalam money supply menentukan tingkat inflasi. Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta. Dengan jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga. 4.2.2 Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Inflasi di Indonesia. Berdasarkan hasil regresi level of significant 5% diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia yang diukur menggunakan persen memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap Inflasi di Indonesia. Hasil ini sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Kenaikan koefisien tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 0,932423 persen. Variabel tingkat suku bunga berpengaruh positif dan signifikan terhadap Inflasi. Artinya tingkat suku bunga yang semakin meningkat mengakibatkan inflasi meningkat, begitu juga sebaliknya dengan tingkat suku bunga yang semakin menurun maka inflasi akan menurun. Tetapi pada saat inflasi naik maka tingkat suku bunga akan ikut naik karena tingkat suku bunga merupakan instrument kebijakan pemerintah yang mengikuti respon inflasi. Kebijakan bunga rendah akan mendorong masyarakat untuk memilih investasi dan konsumsinya daripada menabung, sebaliknya kebijakan meningkatkan suku bunga simpanan akan menyebabkan masyarakat akan lebih senang menabung daripada melakukan investasi atau konsumsi. Sehingga mengartikan bahwa tingkat bunga rendah masyarakat melakukan kegiatan pada pasar uang/pasar modal dan sektor-sektor produktif daripada menabung. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru Perlambang (2012) yang mengatakan bahwa SBI berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 2004-2009, ditunjukan dengan nilai koefisien sebesar 1.851117 dengan prob t-test dengan prob 0.0000, hal tersebut disebabkan karena pada saat bunga tinggi masyarakat lebih suka menabung di bank umum, dana yang masuk ke bank umum akan dialokasikan dalam pembelian SBI. Salah satu alasan orang yang menambah tabungan adalah produsen yang mengalihkan anggaran produksinya untuk ditabung di bank sehingga anggaran yang tersedia untuk memproduksi barang akan berkurang. Sehingga jumlah produksi turun sehingga stok di pasar (penawaran) turun akan menyebabkan harga naik. Pada dasarnya semuanya menggunakan prinsip yang sama, yaitu menyerap dana sebesar-besarnya dari masyarakat sehingga jumlah uang cash yang beredar di masyarakat jadi berkurang. Penyebab tingginya inflasi karena jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak. Ketika jumlah uang cash yang beredar di masyarakat berkurang, pertumbuhan inflasi memang akan tertekan. Namun disisi lain juga beresiko menekan pertumbuhan ekonomi. Jika para bank enggan memberi pinjaman modal ke pengusaha karena mereka lebih suka menyimpan uangnya di BI, maka para pengusaha tentunya akan kesulitan mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya akan menekan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena itulah, jika kemudian tingkat inflasi telah terkendali, maka BI bisa menurunkan kembali Tingkat suku bunga-nya, agar dana yang tadinya diendapkan bisa kembali dikucurkan ke masyarakat, untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Tingkat suku bunga atau suku bunga Bank Indonesia selanjutnya ditetapkan sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan diseluruh Indonesia. Sederhananya jika Tingkat suku bunga naik dari 7,25% menjadi 7,50%, maka bunga pinjaman maupun simpanan di bank dan lembaga keuangan lainnya juga cenderung naik. Patokan ini hanya bersifat rujukan dan bukan merupakan peraturan, sehingga tidak mengikat ataupun memaksa. Sering terjadi ketika bank menaikkan bunga pinjaman kepada pihak yang mengajukan kredit dengan dasar Tingkat suku bunga naik, namun di sisi lain bunga deposito atau tabungan bagi para nasabahnya tidak berubah. Sementara bagi BI sendiri, Tingkat suku bunga adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Ketika Tingkat suku bunga naik ke 7,50%, maka pihak bank dapat menaruh dana mereka di BI dalam bentuk SBI, dan akan menerima bunga 7,50%. Jika Tingkat suku bunga dinaikkan, maka bank cenderung menaruh dana tabungan nasabah mereka di BI daripada menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Sebab meskipun bunga yang ditetapkan BI lebih kecil dari bunga kredit namun penjaminnya adalah pemerintah, sehingga resiko kredit macetnya sangat kecil, bahkan mendekati nol. Jika dana milik masyarakat yang dipegang para bank diendapkan di BI, maka jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi. Itulah sebabnya Tingkat suku bunga merupakan instrumen yang biasanya cukup ampuh untuk menurunkan tingkat inflasi. Jadi adalah wajar ketika tingkat inflasi ternyata melebihi ekspektasi, banyak pihak kemudian menuntut agar BI segera menaikkan tingkat suku bunga-nya. 4.2.3 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia. Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa pengeluaran pemerintah di Indonesia berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Hasil ini sedikit tidak sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti, kenaikan koefisien pengeluaran pemerintah sebanyak 1 persen akan meningkatkan inflasi di Indonesia sebesar 9,233907 persen. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan hal ini terjadi karena pengeluarannya lebih diutamakan untuk bantuan masyarakat seperti halnya subsidi yang menurunkan harga-harga barang yang diperjualbelikan tetap pada harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga tingkat inflasi akan menurun. Pengeluaran rutin pemerintah sangat berperan dalam menunjang tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan dalam setiap lima tahun. Oleh karena itu, penghematan dan efisien sebagai prinsip dasar daripada pelaksanaan anggaran belanja rutin sangat menentukan bagi terbentuknya tabungan pemerintah yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan suatu kebijaksanaan untuk membeli barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut. 4.2.4 Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara bersama-sama terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2000-2014 Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah secara simultan memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap Inflasi di Indonesia. Dari hasil perhitungan diperoleh Fhitung sebesar 6,786864 pada taraf nyata 5% adalah 2,54. Berdasarkan hasil perhitungan, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia Periode 20002014 secara bersama-sama adalah signifikan. Sedangkan jika diuji secara parsial tidak semua variabel hasilnya signifikan. Karena pada kenyataannya jumlah uang beredar banyak berpengaruh secara signifikan (nyata) di kota-kota besar, contohnya saja peredaran jumlah uang yang beredar di kota besar seperti Jakarta akan berbeda dengan jumlah uang yang beredar di Tasikmalaya oleh sebab itu terjadi hasil yang tidak signifikan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah terhadap inflasi di Indonesia tahun 2000-2014. Berdasarkan hasil penelitian, perhitungan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Variabel Jumlah Uang Beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Inflasi di Indonesia. Di sisi lain variabel Tingkat Suku Bunga berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Variabel Pengeluaran Pemerintah memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Inflasi di Indonesia. 2. Variabel Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Inflasi di Indonesia Periode Tahun 2000-2014. 5.2 Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka penulis dapat memberikan beberapa saran bagi berbagai pihak terkait. Adapun saran yang dapat disampaikan penulis yaitu sebagai berikut: 1. Bagi para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang variabel Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah. Selain itu juga bagi pihak-pihak yang hendak melakukan penelitian lanjutan dari masalah tersebut diharapkan memasukan variabel lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia. 2. Berdasarkan hasil penelitian variabel Jumlah Uang Beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Inflasi dipengaruhi oleh perbedaan pemerataan Jumlah Uang Beredar di tiap daerah. Harus adanya pengendalian Jumlah Uang Beredar oleh Bank Sentral agar ketika Jumlah Uang Beredar di masyarakat meningkat tidak mengganggu stabilitas ekonomi. 3. Untuk hasil penelitian terhadap Tingkat Suku Bunga dengan terdapatnya pengaruh positif dan signifikan antara Tingkat Suku Bunga terhadap inflasi di Indonesia, dengan meningkatnya Tingkat Suku Bunga akan mengakibatkan peningkatan tingkat inflasi dikarenakan jumlah uang beredar berkurang di masyarakat. Tetapi disisi lain jika Tingkat suku bunga 4. mengalami kenaikan dikhawatirkan akan menaikan suku bunga di Bank Umum yang mengakibatkan menurunnya investasi. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan tidak signifikan hal ini terjadi karena pengeluarannya lebih diutamakan untuk bantuan masyarakat seperti halnya subsidi yang menurunkan harga-harga barang yang diperjualbelikan tetap pada harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga tingkat inflasi akan menurun. DAFTAR PUSTAKA Agus Widarjono. (2007). Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII. Boediono. 1993. Ekonomi Makro. Edisi 4. Yogyakarta: BPFE. ----------. 1998. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE. ----------. 1998. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE. Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga. Dwiantoro, Dedi. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan EngleGrangier Error Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Volume 5 No 2. Ghozali, Imam. 2005. Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square. Semarang: Badan Penerbit UNDIP Gujarati, Damodar. N., 2012. Dasar-dasar Ekonometrika (Buku 2, edisi ke-5). Jakarta: Salemba Empat. Hamzah, M.Z., dan Solfida, E., (2005), ”Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia periode 1990-2005; Pendekatan Error Correction Model (ECM)”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, II (1) Agustus, hal. 21 – 35. Heru Perlambang (2012), Analisis Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi. Universitas Trisakti. Langi, T.M., Masinambow, V., dan Siwu H., (2014), “Analisis Pengaruh Suku Bunga BI, Jumlah Uang Beredar, dan Tingkat Kurs terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol. 14, no 2 - Mei 2014. Mangkoesoebroto, Guritno. (1994). Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: STIE YKPN. Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta: Erlangga Mudrajad Kuncoro. 2004. Metode Kuantitatif : Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter II. BPFE: Yogyakarta. Nuri, Angraini. 2012. Analisis Pendapatan Nasional, Tingkat Suku Bunga SBI dan Giro Wajib Minimum terhadap JUB di Indonesia. Prasetiantono, 2000. Business & Economics. Gramedia Pustaka Utama. Putong, Iskandar dan Andjaswati, ND. 2008. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Mitra Wacana Media. Rahardja, Prathama. 1997. Uang dan Perbankan. Jakarta: Rineka Cipta. Rahmawati. (2011). “Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Nangroe Aceh Darussalam”, Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 9, No 1, Januari 2011. Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmu Makroekonomi Edisi ke17, terjemahan. Jakarta: Media Global Edukasi. Sinambela, S., (2011). “Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia”, Majalah Forum Ilmiah UNIJA Vol. 15, No 03 Maret 2011. Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suminto. 2004. Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara. Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran, Depkeu). Jakarta: Depkeu. Sunariyah, 2004. Pengantar Pengetahuan Pasar Modal,UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Website: Badan Pusat Statistik, 2014. Jakarta www.bps.go.id Bank Indonesia, 2014. Jakarta www.bi.go.id http://macroeconomicdashboard.com/download/2013/IERO2013K3.pdf http://www.julfahmisalim.com/2012/12/laju-perkembangan-inflasi-di indonesia.html http://ekomid.blogspot.com/2012/06/kebijakan-fiskal-pemerintah.html http://beucareng.blogspot.com/2014/04/perkembangan-uang-beredar-diindonesia.html