PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, TINGKAT SUKU BUNGA

advertisement
PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, TINGKAT SUKU BUNGA
DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DI
INDONESIA (PERIODE TAHUN 2000-2014)
e-Journal
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Pada Program Studi Ekonomi Pembangunan
Oleh:
Risyda Liasonya Azzi
113401027
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SILIWANGI
2015
ABSTRAK
PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, TINGKAT SUKU BUNGA
DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DI
INDONESIA PERIODE TAHUN 2000-2014
Oleh:
Risyda Liasonya Azzi
Pembimbing:
Chandra Budhi L.S.
Encang Kadarisman
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Jumlah Uang Beredar,
BI rate dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia pada tahun 2000
– 2014. Analisis data pada penelitian ini menggunakan Metode Regresi Linear
Berganda. Uji hipotesis menggunakan pengujian secara parsial (uji t) dan simultan
(uji F). Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Inflasi, Jumlah
Uang Beredar, BI rate dan Pengeluaran Pemerintah tahun 2000 – 2014. Hasil
dengan menggunakan uji parsial (uji t) dengan taraf nyata 5% adalah Jumlah Uang
Beredar negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi, BI rate mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap inflasi, Pengeluaran Pemerintah mempunyai
pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi. Secara simultan (Uji F)
Jumlah Uang Beredar, BI rate dan Pengeluaran Pemerintah mempunyai pengaruh
signifikan terhadap Inflasi di Indonesia periode tahun 2000 – 2014.
Kata kunci : Jumlah Uang Beredar, BI rate, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Inflasi merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting, laju
perubahannya selalu diupayakan rendah dan stabil. Inflasi yang tinggi dan tidak
stabil merupakan cerminan akan kecenderungan naiknya tingkat harga barang dan
jasa secara umum dan terus menerus sehingga akan melemahkan daya beli
masyarakat yang nantinya akan berdampak pada penurunan pendapatan
nasionalriil. Oleh karena itu diharapkan adanya pengendalian laju inflasi yang
akhir–akhirini menunjukkan grafik yang meningkat. Menurut sejarah
perkembangannya, fluktuasi inflasi Indonesia tergolong cukup bervariasi dari
waktu ke waktu dan bersifat persisten (Dwiantoro, 2004).
Secara umum penyebab inflasi di Indonesia terjadi karena adanya tekanan
dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation) maupun dari sisi penawaran (Cost
Push Inflation). Dari sisi permintaan menurut teori moneter, ekses permintaan ini
disebabkan terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, sedangkan jumlah
barang di pasar sedikit. Dari sisi penawaran (Cost Push Inflation), inflasi yang
disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Adanya kenaikan biaya produksi, asumsi
dengan modal yang sama, maka jumlah produk yang dihasilkan lebih sedikit dari
yang sebelumnya. Pengurangan produksi ini, menyebabkan kelangkaan yang
berakibat peningkatan harga barang.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesiapada 13 Juni 2013 memutuskan
untuk menaikkan suku bunga acuan pada level 6%. Seiring keputusan Bank
Indonesia (BI) yang menaikkan Tingkat suku bungasebesar 25 basis poin, Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS) memutuskan ikut menaikkan tingkat bunga
penjaminan sebesar 25 bps untuk periode 15 Juni 2013 hingga 14 September 2013.
Dengan demikian, tingkat bunga penjaminan untuk denominasi rupiah naik menjadi
5,75%. Keputusan LPS menaikkan tingkat penjaminan simpanan didasarkan pada
kenaikan Tingkat suku bunga sebagai respons peningkatan ekspektasi inflasi serta
untuk memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.
Kebijakan fiskal seperti pengeluaran pemerintah adalah variabel lain yang
memicu pergerakan inflasi. Sejumlah studi mencatat temuan – temuan mengejutkan
dan menarik tentang interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter, khususnya
ketika otoritas moneter menargetkan inflasi (Andersen, 2005). Menurut Andersen
(2005), kebijakan fiskal disebut ekspansif apabila mampu secara langsung
(temporer) mempengaruhi proses inflasi dengan cara mempengaruhi output
nasional dan kemudian mereduksi inflasi, apabila efek yang ditimbulkannya
berlawanan (meningkatkan inflasi) disebut kontraktif.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bagian latar belakang,
maka identifikasi masalah yang telah disusun dalam penelitian, yaitu:
1. Bagaimana Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan
Pengeluaran Pemerintah secara parsial terhadap Inflasi di Indonesia?
2. Bagaimana Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan
Pengeluaran Pemerintah secara simultan terhadap Inflasi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka tujuan
yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran
Pemerintah secara parsial terhadap Inflasi di Indonesia.
2. Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran
Pemerintah secara simultan terhadap Inflasi di Indonesia.
1.4
Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi berbagai
pihak, adapun kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi ke
khasanah ilmu pengetahuan.
b. Terapan Ilmu Pengetahuan
Dapat menambah terapan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai
Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga BI, dan Pengeluaran
Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia, dimana dalam penelitian ini
c.
d.
e.
penulis akan berusaha semaksimal mungkin melakukan pendekatan
terhadap permasalahan yang terjadi berdasarkan metode ilmiah, yang
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Bagi Penulis
Dapat memperdalam pemahaman dan pengetahuan khususnya tentang
permasalahan yang diteliti sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan.
Bagi Akademisi
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan dan
wawasan mengenai Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga
BI, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia.
Bagi peneliti lainnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan data tambahan bagi
peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Inflasi
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga – harga secara umum dan terus–
menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas
di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa,
bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum
tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan
dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
pengaruh–mempengaruhi. Jadi, kenaikan harga pada satu atau dua jenis barang tidak dapat
dikategorikan sebagai inflasi.
2.1.1.1 Penggolongan Inflasi
Inflasi dibedakan menjadi 4 macam, yaitu (Boediono, 1998: 162):
1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
2.1.1.2 Penyebab Timbulnya Inflasi
Inflasi dilihat dari sebab awalnya:
1) Demand-Pull Inflation
Demand-pull Inflation disebabkan oleh permintaan masyarakat akan barang –
barang (aggregate demand) bertambah. Inflasi ini biasanya terjadi pada masa
perekonomian yang berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan
tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi
kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini akan
menimbulkan inflasi. Selain pada masa perekonomian berkembang pesat, Demand–pull
Inflation juga dapat berlaku pada masa perang atau ketidakstabilan politik yang terus
menerus. Dalam masa seperti ini pemerintah berbelanja jauh melebihi pajak yang
dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluaran tersebut pemerintah terpaksa
mencetak uang atau meminjam dari bank sentral. Pengeluaran pemerintah yang berlebihan
tersebut menyebabkan permintaan agregat akan melebihi kemampuan ekonomi tersebut
menyediakan barang dan jasa. Maka keadaan ini akan mewujudkan inflasi.
2) Cost Push Inflation
Inflasi jenis Cost–Push Inflation terjadi karena kenaikan biaya produksi, yang
disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara–
negara partner dagang, peningkatan harga–harga komoditi yang diatur pemerintah
(administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi. Inflasi ini terutama berlaku dalam masa perekonomian
berkembang pesat ketika tingkat pengangguran sangat rendah. Apabila perusahaan –
perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan berusaha
menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji atau upah yang lebih tinggi kepada
pekerjanya dan mencari pekerja baru dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi.
Langkah ini mengakibatkan biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menyebabkan
kenaikan harga – harga barang.
2.1.1.3 Teori Inflasi
Secara garis besar teori yang membahas tentang inflasi dapat dibagi dalam tiga
kelompok dengan masing – masing menyoroti aspek – aspek tertentu dari proses terjadinya
inflasi. Namun demikian, ketiga teori tersebut bukanlah teori inflasi lengkap yang
membahas semua aspek penting dari proses terjadinya kenaikan harga barang. Ketiga teori
tersebut adalah Teori Kuantitas, Teori Keynes dan Teori Strukturalis.
a. Teori Kuantitas
Teori Kuantitas memaparkan bahwa terjadinya inflasi hanya disebabkan oleh satu
faktor, yaitu akibat adanya kenaikan jumlah uang yang beredar (JUB).
b. Teori Keynes
Pembahasan tentang inflasi dalam Teori Keynes didasarkan pada teori makronya.
Teori Keynes menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat cenderung ingin
hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Keadaan seperti ini ditunjukkan oleh
permintaan masyarakat akan barang – barang yang melebihi jumlah barang – barang yang
tersedia. Hal ini menimbulkan inflationary gap. Ketika inflationary gap tetap ada, maka
selama itu pula proses inflasi terjadi dan berkelanjutan.
c. Teori Strukturalis
Teori Strukturalis merupakan teori yang menjelaskan fenomena inflasi dalam
jangka panjang. Hal ini didasarkan pada penjelasannya yang menyoroti sebab – sebab
inflasi yang berasal dari kekakuan atau infleksibilitas struktur ekonomi suatu negara.
2.1.1.4 Cara Mencegah Inflasi
Dengan menggunakan Irving Fisher MV = PT dapat dijelaskan bahwa inflasi
timbul karena MV naik lebih cepat dari pada T. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya
inflasi maka salah satu variabel (M atau V) harus dikendalikan. Cara mengatur variabel
M.V dan T tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijaksanaan moneter, fiskal
atau kebijaksanaan yang menyangkut kenaikan produksi.
2.1.2 Definisi Jumlah Uang Beredar
Perekonomian membahas mengenai uang, dimana uang akan dibedakan antara
mata uang dalam peredaran dan uang beredar (Sukirno, 1994: 281). Mata uang dalam
peredaran adalah seluruh jumlah uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank
sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan
demikian mata uang dalam peredaran sama dengan uang kartal. Uang beredar adalah semua
jenis uang yang berada didalam perekonomian, yaitu jumlah dari mata uang dalam
peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank – bank umum. Pengertian uang beredar
atau money supply dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu dalam arti sempit, dalam arti
luas, dan dalam arti lebih luas.
2.1.2.1 Uang Inti sebagai Indikator Kebijaksanaan Moneter
Uang inti merupakan besaran penting uang berfungsi sebagai indikator bagi
kebijaksanaan moneter terhadap perekonomian. Pendapat di atas berdasarkan pada 2 hal
berikut:
a.
b.
1.
2.
3.
Adanya teori moneter yang memasukkan uang inti sebagai suatu mata
rantai penghubung antara tindakan-tindakan penguasa moneter dengan
dampak terakhirnya terhadap pendapatan, output, dan harga.
Uang inti merupakan variabel yang relatif lebih bisa dikendalikan penguasa
moneter.
Ada 3 konsep dalam menghitung besarnya uang inti yaitu:
Source Base
Reserve Adjustment
Monetary Base
2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Uang Beredar
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dasar terciptanya uang beredar adalah
karena adanya uang inti atau uang primer. Dengan demikian, besarnya uang beredar ini
sangat dipengaruhi oleh besarnya uang inti yang tersedia.
2.1.2.3 Pengendalian Jumlah Uang Beredar
Pengendalian terhadap JUB, merupakan kebijakan yang sangat esensial
berkaitan dengan perekonomian suatu negara. Pemerintah, dalam hal ini Bank
Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan, merupakan ‘aktor’ utama yang
bertanggung jawab terhadap JUB di Indonesia.
2.1.3
Tingkat Suku Bunga
Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa faktor penentu suku bunga terbagi
atas 2 (dua) faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan
nasional, jumlah uang beredar, dan Ekspektasi Inflasi. Sedangkan faktor eksternalnya
adalah penjumlahan suku bunga luar negeri dan tingkat Ekspektasi perubahan nilai tukar
valuta asing. Seperti halnya dalam setiap analisis keseimbangan ekonomi, pembicaraan
mengenai keseimbangan di pasar uang juga akan melibatkan unsur utamanya, yaitu
permintaan dan penawaran uang. Bila mekanisme pasar dapat berjalan tanpa hambatan
maka pada prinsipnya keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan merupakan wujud
kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran uang.
2.1.3.1 Ada 2 Macam Suku Bunga Riil dan Nominal
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997: 99-100) suku bunga dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
Suku bunga nominal adalah rasio antara jumlah uang yang dibayarkan kembali dengan
jumlah uang yang dipinjam.
2.1.3.2 Fungsi Suku Bunga menurut Sunariyah (2004: 81) adalah:
a) Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk
diinvestasikan.
b) Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka
mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu
perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu
sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut
akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih
rendah dibandingkan sektor lain.
c) Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang
beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu
perekonomian.
2.1.4 Pengeluaran Pemerintah
Untuk mengatur kegiatan perekonomian nasional, suatu negara harus
membuat anggaran pendapatan dan belanja, begitu pula dengan Indonesia.
Anggaran yang dimaksud yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah.
2.1.4.1 Pengeluaran Pemerintah dibagi 2 Kelompok
Teori mengenai pengeluaran pemerintah juga dapat dikelompokan menjadi
2 bagian yaitu teori makro dan teori mikro:
1. Teori Makro
2. Teori Keynes
3. Teori Rostow dan Musgrave
4. Teori Wagner
5. Teori Peacock dan Wiseman
2.1.4.2
Faktor–faktor yang Mempengaruhi Besarnya Pengeluaran Pemerintah
Menurut Sadono Sukirno (1994: 168- 169) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah dalam satu periode yaitu:
a. Proyeksi jumlah pajak yang diterima
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Ada kecenderungan semakin
banyak pajak yang diterima maka semakin besar pengeluaran yang dilakukan.
b.
Tujuan ekonomi yang ingin dicapai pemerintah
Tujuan – tujuan utama yang ingin dicapai pemerintah yaitu mengurangi
pengangguran, menurunkan tingkat inflasi dan mempercepat pembangunan
ekonomi dalam jangka panjang. Maka diperlukan dana yang besar yang salah
satunya bersumber dari pajak. Dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi
dan mengurangi pengangguran perlu diadakan perbaikan jalan dan sarana lainnya
guna meningkatkan minat investasi swasta, s eringkali penerimaan yang berasal
dari pajak tidak mencukupi maka terkadang keputusan untuk mencetak uang baru
merupakan jalan yang diambil pemerintah.
c. Pertimbangan politik dan keamanan
Stabilitas politik seringkali berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian. Seperti
perang yang melanda suatu Negara. Hal ini tentu berdampak pada besarnya alokasi
dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai perang, yang pada
akhirnya juga mengganggu iklim investasi di negara yang bersangkutan karena
alasan keamanan.
2.2
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang dalam
tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori
dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan
(Hamid, 2009: 26)
Inflasi merupakan salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan dijumpai
di hampir semua Negara di dunia. Inflasi adalah kecenderungan dari harga–harga untuk
menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja
tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau
mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang – barang lain. (Boediono, 1995).
Teori inflasi Keynes mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada pada
tingkat full employment. Menurut Keynes kuantitas uang tidak berpengaruh terhadap
tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun
tingkat kuantitas uang tetap konstan. Jika uang beredar bertambah maka harga akan naik.
Kenaikan harga ini akan menyebabkan bertambahnya permintaan uang untuk transaksi,
dengan demikian akan menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini akan mencegah pertambahan
permintaan untuk investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi.
Analisa Keynes mengenai inflasi permintaan dirumuskan berdasarkan konsep
inflanatiory gap. Menurut Keynes, inflasi permintaan yang benar – benar penting adalah
yang ditimbulkan oleh pengeluaran pemerintah, terutama yang berkaitan dengan
peperangan, program investasi yang besar – besaran dalam kapital sosial (Ackley, 1973:
534).
2.2.1 Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi
Hubungan antara Inflasi dan jumlah uang beredar didasari oleh teori kuantitas
uang. Nilai uang ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap uang. Jumlah uang
beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money
demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata – rata dalam
perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi
bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga,
semakin besar jumlah uang yang diminta.
2.2.2 Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi
Dalam teori klasik, bahwa “bunga” merupakan harga kapital (price of
capital), dimana apabila permintaan modal (uang) naik maka bunga akan naik pula,
tetapi orang meminta uang atau meminjam uang bukan semata – mata untuk
investasi tetapi juga untuk transaksi (konsumsi) dan spekulasi. Meskipun demikian
peminjam tetap dikenakan bunga. Itulah sebabnya dalam ekonomi kapitalis,
kegiatan transaksi ekonomi lebih banyak di sektor keuangan ini dibandingkan
dengan sektor riil.
2.2.3 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Inflasi
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang
bertujuan men–stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan
jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran
dan pajak.
2.3
Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara atas kesimpulan yang diambil untuk
menjawab permasalahan yang diajukan dalan penelitian yang sebenarnya masih harus diuji
secara empiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan dugaan yang mungkin benar atau
mungkin salah. Hubungan Inflasi (variabel terikat) dengan variabel-variabel bebasnya,
yaitu Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah adalah
sebagai berikut:
1. Diduga Jumlah Uang Beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap
inflasi di Indonesia.
2. Diduga Tingkat Suku Bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
inflasi di Indonesia.
3. Diduga Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan signifikan
terhadap inflasi di Indonesia.
4. Diduga Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran
Pemerintah berpengaruh secara bersama-sama terhadap Inflasi di Indonesia.
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1
Objek Penelitian
Penulis melakukan penelitan pada data sekunder yaitu berupa publikasi dari
laporan tahunan Bank Indonesia yang terdaftar di situs resminya www.bi.go.id dan
data dari situs www.bps.go.idadapun yang menjadi objek dalam penelitian ini
adalah Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah dan
Inflasi. Berikut Data Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, Pengeluaran
Pemerintah dan Inflasi.
Tabel 3.1
Data Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga,
Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi
M2
Tingkat Pengeluaran
M1
(Milyar
(Milyar
Suku
Pemerintah Inflasi
Tahun
Rupiah)
Rupiah)
Bunga
(Milyar
(%)
(%)
Rupiah)
2000
162.186
747.028
14,53
223.907
9,35
2001
177.731
844.053
17,62
354.578
12,55
2002
191.939
883.908
12,93
345.605
10,03
2003
223.779
955.682
8,31
377.248
5,06
2004
253.818
1.033.528
7,43
427.226
6,40
2005
281.905
1.203.215
12,75
565.070
17,11
2006
361.073
1.382.074
9,75
699.099
6,60
2007
460.842
1.643.203
8,00
752.373
6,59
2008
466.379
1.883.851
9,25
989.494
11,06
2009
515.824
2.141.384
6,50
1.000.844
2,78
2010
605.411
2.471.206
6,50
1.126.146
6,96
2011
722.991
2.877.220
6,00
1.320.751
3,79
2012
841.652
3.307.508
5,75
1.548.310
4,29
2013
887.084
3.730.409
7,50
1.726.191
8,38
2014
942.221
4.173.327
7,75
1.910.796
8,36
Sumber: Bank Indonesia dan BPS
3.2
Metode Penelitian
Metode adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya
untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknis serta alat-alat tertentu. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuantitatif . Data dalam
penelitian ini merupakan data runtut waktu (time series) dari tahun 2000 sampai
dengan tahun 2014.
Sedangkan pengertian kuantitatif menurut Sugiyono (2007:13), adalah
“Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi
atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan.”
3.2.1 Operasionalisasi Variabel
Variabel penelitian adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2000). Didalam penelitian ini
penulis menggunakan 2 variabel yaitu :
Tabel 3.2
Operasionalisasi Variabel
Variabel
Definisi
Skala
Jumlah Uang
Jumlah uang kartal dan uang giral (M1)
Beredar (X1)
Tingkat
Suku Suku
Bunga
kebijakan
yang
Bunga (X2)
mencerminkan sikap atau stance
kebijakan moneter yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan diumumkan
kepada publik.
Pengeluaran
Besarnya pengeluaran total pemerintah
Pemerintah (X3)
yang tercermin dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)
Rasio
Inflasi (Y)
Rasio
Kecenderungan harga-harga untuk
meningkat secara umum dan terus
menerus. Perhitungan berdasarkan
Indeks Harga Konsumen (IHK).
Rasio
Rasio
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu
mempelajari, memahami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasikan hal-hal
yang sudah ada untuk mengetahui apa yang sudah ada dan apa yang belum ada
dalam bentuk jurnal-jurnal atau karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh
penulis atau pihak pengumpul data primer dan dituangkan dalam bentuk tabel-tabel
atau diagram. Data sekunder yang diperoleh kemudian diolah kembali dan
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini. (Sugiyono, 1999).
Data diperoleh dari berbagai dokumen resmi Bank Sentral (Bank Indonesia)
beberapa edisi. Laporan Bulanan, Triwulanan dan Tahunan yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dipandang cukup mewakili sejauh mana pengaruh variabel-variabel
independen terhadap variabel dependen.
3.3
Analisis Regresi Berganda
Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
independen (jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah)
terhadap variabel dependen (Inflasi).
Persamaan regresi yang dipakai adalah sebagai berikut:
+ logX1+
X2+ logX3 + e
Y=
Dimana:
Y = Inflasi
= Konstanta
= Koefisien Regresi
X1= Variabel Jumlah Uang Beredar
X2= Variabel Tingkat Suku Bunga
X3= Variabel Pengeluaran Pemerintah
e = Error term
3.4
3.4.1
1.
a.
Teknik Analisis Data
Metode Ordinary Least Square (OLS)
Uji Statistika
Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji - t)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel independen secara
individu terhadap variabel dependennya. Adapun hipotesis pada uji t ini adalah
sebagai berikut:
• H0: β1 = 0 (tidak berpengaruh)
• H a : β1 ≠ 0 (berpengaruh)
b. Koefisien determinasi (R2)
Pengukuran ini bertujuan mengetahui atau mengukur seberapa baik garis
regresi yang dimiliki. Dengan kata lain mengukur seberapa besar proporsi variasi
variabel dependen dijelaskan oleh semua variabel independen (Widarjono, 2007).
c.
Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen
terhadap variabel dependen.Selain itu uji F dapat dilakukan untuk mengetahui
signifikansi koefisien determinasi R2.
2.
Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
a.
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan koefisien
korelasi untuk mendeteksi adanya multikolinearitas. Bila nilai koefisien korelasi
lebih dari 0,85 maka terdapat gejala multikolinearitas, sebaliknya jika angka
koefisien korelasi kurang dari 0,85 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas.
b.
Uji Autokorelasi
Digunakan uji statistik dari Breusch-Godfrey (BG Test) untuk mendeteksi
apakah ada serial korelasi (autokorelasi) atau tidak dalam data time series yang
digunakan. Serial korelasi adalah problem dimana dalam sekumpulan observasi
untuk model tertentu antara observasi yang satu dengan yang lain ada hubungan
atau korelasi. Pengujian ini dilakukan dengan meregresi variabel pengganggu
uidengan menggunakan model autoregressive dengan orde ρ sebagai berikut:
c.
Uji Heteroskedastisitas
Untuk menguji ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat digunakan Uji
White. Secara manual, uji ini dilakukan dengan meregresi residual kuadrat (ut2)
dengan variabel bebas. Dapatkan nilai R2, untuk menghitung χ2, dimana χ2 =
n*R2. Kriteria yang digunakan adalah apabila χ2 tabel lebih kecil dibandingkan
dengan nilai Obs*R-squared, maka terdapat gejala heterokedastisitas di dalam
persamaan penelitian.
d.
Uji Normalitas
Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel independen dan dependen memiliki distribusi normal atau tidak.Model
regresi yang baik apabila distribusi data normal atau mendekati normal (Kuncoro,
2003).Uji normalitas dideteksi dengan melihat penyebaran data pada sumbu
diagonal dari grafik atau dapat juga dengan melihat histogram dari residualnya.Jika
data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau
grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi
memenuhi asumsi normalitas, begitu juga sebaliknya.Jika terdapat data yang tidak
normal maka uji metode bisa dilakukan dengan uji outlier.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Dari Hasil Pengolahan Data didapat persamaan regresi dalam bentuk
persamaan ekonometrika sebagai berikut:
+ logX1 +
X2 + logX3 + e
Y=
Y = - 17,76331 – 8,355042 logX1 + 0,932423 X2 + 9,233907 logX3 + e
Prob t-statistik
(0,3626)
(0,0171)
(0,2356)
R-Squared
(0,649241)
F Statistik
(6,786864)
Berdasarkan persamaan di atas, diketahui bahwa koefisien tiap variabel
bebas adalah -8,355042 untuk variabel jumlah uang beredar, 0,932423 untuk
variabel tingkat suku bunga, 9,233907 untuk variabel pengeluaran pemerintah,
yang dimaksud koefisien dalam penelitian ini adalah besarnya pengaruh tiap
variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu inflasi, maka penulis menganalisisnya
melalui beberapa parameter dan pengujian sebagai berikut:
4.1.1. Koefisien Determinasi
Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,649241 hal
ini berarti variabel JUB, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah dapat
menjelaskan perubahan pada variabel Inflasi sebesar 64,92 % dan sisanya sebesar
35,08 % di jelaskan oleh variabel lain diluar model.
4.1.2. Uji F Statistik
Untuk melihat apakah variabel bebas mempunyai pengaruh secara bersamasama terhadap variabel terikat, dapat diketahui dengan pengujian secara
dengan
persamaan yang
keseluruhan yaitu melalui perbandingan
telah dijelaskan diatas.
Dari hasil perhitungan diperoleh
sebesar 6,786864 dengan
pada taraf nyata 5% adalah 2,54. Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat
>Ftabel atau 6,786864 > 2,54 artinya bahwa pengaruh variabel
dilihat bahwa
JUB, tingkat suku bunga dan pengeluaran pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia
Periode Tahun 2000-2014 secara bersama-sama adalah signifikan.
4.1.3. Uji t Statistik
Uji t dilakukan untuk menguji tingkat signifikansi pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat secara parsial. Berdasarkan hasil regresi, penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa pada level of significant 5% variabel JUB dan
pengeluaran pemerintah berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel terikat
yaitu inflasi. Sedangkan Tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat yaitu inflasi, hal ini dapat diketahui dari nilai probabilitas tstatistiknya tidak lebih besar dari 0,05. Nilai probabilitas dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel bebas terhadap
variabel terikat.
Tabel 4.1
Hasil Uji T Pengaruh JUB, Tingkat suku bunga dan Pengeluaran
Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 2004-2013
Variabel
Prob(t-statistik)
Jumlah Uang Beredar
0,3626
Tingkat suku bunga
0,0171
Pengeluaran Pemerintah 0,2356
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6
Signifikansi
Tidak Signifikan
Signifikan
Tidak Signifikan
4.1.4 Uji Asumsi Klasik
4.1.4.1 Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas menunjukan gejala adanya hubungan linier atau hubungan
yang pasti diantara variabel bebas dalam model regresi. Untuk mengetahui ada atau
tidak adanya multikolinearitas dalam model regresi maka dapat menganalisis
multikolinearity test dengan melihat Correlation antar variabel independen. Hal ini
bisa dilihat dengan nilai Correlation tidak lebih dari 0,85. Berdasarkan analisis
Correlation maka dapat disimpulkan bahwa model yang dipakai terdapat
multikolinearitas dalam model regresi. Hal ini bisa dilihat dengan nilai Correlation
tiap variabel yang lebih dari 0,85. Jika sudah terdeteksi mengalami problem
multikolinearitas maka bisa menggunakan perbaikan regresi, setelah dihasilkan
regresi yang baru dapat diketahui bahwa nilai Correlation pada regresi yang baru
kurang dari 0,85, itu berarti gejala multikolinearitas sudah dapat diatasi. Aplikasi
deteksi multikolinieritas dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Eviews6.
4.1.4.2 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi apabila variabel gangguan tidak mempunyai
varians yang sama untuk semua observasi. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
masalah heteroskedastisitas adalah dengan cara meregresikan residual kuadratnya
terhadap fitted kuadratnya. Untuk mengetahui ada atau tidaknya
heteroskedastisitas, maka nilai R2 dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square (χ2)
dengan besarnya df adalah 60. Jika Obs*R squared lebih kecil dari nilai tabelnya
maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Berdasarkan hasil residual kuadratnya terhadap fitted kuadrat maka
diperoleh Obs*R squared 4,535928 yang nilainya lebih kecil dari nilai tabel ChiSquare (χ2) dengan α = 5 % dan df = 60 sebesar , berarti tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Tabel 4.3
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White
F Statistic
1,589413
Obs*R-Square
4,535928
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6
Prob. F
Prob Chi-Square
0,2478
0,2091
4.1.4.3. Uji Autokorelasi
Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan korelasi
antar variabel dalam suatu model, adapun hasilnya sebagai berikut:
Tabel 4.4
Hasil Uji Autokorelasi
F-Statistic
0,271736
Prob F
0,7681
Obs*R-squared
0,854205
Prob.Chi-Square
0,6524
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6
Pada regresi variabel jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan
pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia periode 2000-2014 dengan
nilai degree of freedom (df) sebesar 60 – 4 = 56 dan menggunakan α = 5 persen
maka diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 74,47. Dibandingkan dengan nilai Obs*Rsquared Breusch-Godfrey (BG) Test hasil regresi yaitu sebesar 0,854205, maka
nilai Obs*Rsquared Breusch-Godfrey (BG) Test lebih kecil dibandingkan nilai χ2
tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi persamaan tersebut bebas
dari gejala autokorelasi.
4.1.4.4 Uji Normalitas
Uji normalitas bisa diuji dengan dua metode, yaitu uji Jarque-Bera dan uji
Histogram Residual. Digunakan untuk mengetahui apakah bentuk dari probability
distribution function (PDF) dari variabel random berbentuk distribusi normal atau
tidak. Dilihat dari nilai Jarque-Bera 1,694775 didasarkan pada distribusi ChiSquares dengan derajat kebebasan (df) = 60 – 4 = 56 dan α = 5% dengan nilai χ2
tabel sebesar 74,47, artinya nilai Jarque-Bera lebih kecil dari nilai χ2 tabel maka
persamaan ini berdistribusi normal. (Lampiran)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Jumlah Uang Beredar (JUB) terhadap Inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa JUB secara parsial memberikan
pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Inflasi di Indonesia periode 20002014 ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar -8,355042 dan prob. t-test 0,3626,
dengan hasil tersebut dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengubah JUB
tidak efektif dalam mengendalikan tingkat inflasi. Hal ini terjadi karena JUB itu
sendiri adalah imbas dari pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan
pendapatan masyarakat yang turut pula meningkatkan daya beli masyarakat
sehingga berpengaruh negatif terhadap inflasi namun tidak signifikan.
Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi. Hal ini bertolak belakang dengan
beberapa hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar
berpengaruh positif terhadap inflasi di Indonesia. Pada teori kuantitas uang, yang
dikembangkan oleh Irving Fisher mengatakan bahwa “Pada hakikatnya bahwa
perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama
cepatnya ke atas harga-harga”.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru
Perlambang (2012) yang menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan terlihat
bahwa JUB berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi di Indonesia
periode 2004-2009, ditunjukan dengan nilai koefisien sebesar -0.00000338 yang
prob t-test 0.5474 dengan hasil tersebut dikatakan bahwa kebijakan pemerintah
untuk mengubah JUB tidak efektif dalam mengendalikan tingkat inflasi. Sehingga
menduga hal tersebut disebabkan karena periode penelitian yang sangat singkat
sehingga tidak dapat secara tepat memperlihatkan kondisi yang terjadi.
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong
peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka
panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Ini berarti terdapat korelasi
positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan inflasi, yang dapat dijadikan prediksi
teori kuantitas bahwa pertumbuhan uang yang tinggi mengarah pada inflasi yang
tinggi sehingga pertumbuhan dalam money supply menentukan tingkat inflasi.
Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang
beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money
demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam
perekonomian. Jumlah uang yang diminta oleh masyarakat untuk melakukan
transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin
tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta.
Dengan jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan
nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama
terjadinya inflasi. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh
jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga.
4.2.2 Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil regresi level of significant 5% diketahui bahwa tingkat
suku bunga di Indonesia yang diukur menggunakan persen memberikan pengaruh
positif dan signifikan terhadap Inflasi di Indonesia. Hasil ini sejalan dengan
hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Kenaikan koefisien tingkat suku bunga sebesar
1 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 0,932423 persen.
Variabel tingkat suku bunga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Inflasi. Artinya tingkat suku bunga yang semakin meningkat mengakibatkan inflasi
meningkat, begitu juga sebaliknya dengan tingkat suku bunga yang semakin
menurun maka inflasi akan menurun. Tetapi pada saat inflasi naik maka tingkat
suku bunga akan ikut naik karena tingkat suku bunga merupakan instrument
kebijakan pemerintah yang mengikuti respon inflasi.
Kebijakan bunga rendah akan mendorong masyarakat untuk memilih
investasi dan konsumsinya daripada menabung, sebaliknya kebijakan
meningkatkan suku bunga simpanan akan menyebabkan masyarakat akan lebih
senang menabung daripada melakukan investasi atau konsumsi. Sehingga
mengartikan bahwa tingkat bunga rendah masyarakat melakukan kegiatan pada
pasar uang/pasar modal dan sektor-sektor produktif daripada menabung.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru
Perlambang (2012) yang mengatakan bahwa SBI berpengaruh positif dan signifikan
terhadap inflasi di Indonesia periode 2004-2009, ditunjukan dengan nilai koefisien
sebesar 1.851117 dengan prob t-test dengan prob 0.0000, hal tersebut disebabkan
karena pada saat bunga tinggi masyarakat lebih suka menabung di bank umum,
dana yang masuk ke bank umum akan dialokasikan dalam pembelian SBI.
Salah satu alasan orang yang menambah tabungan adalah produsen yang
mengalihkan anggaran produksinya untuk ditabung di bank sehingga anggaran
yang tersedia untuk memproduksi barang akan berkurang. Sehingga jumlah
produksi turun sehingga stok di pasar (penawaran) turun akan menyebabkan harga
naik. Pada dasarnya semuanya menggunakan prinsip yang sama, yaitu menyerap
dana sebesar-besarnya dari masyarakat sehingga jumlah uang cash yang beredar di
masyarakat jadi berkurang. Penyebab tingginya inflasi karena jumlah uang yang
beredar di masyarakat terlalu banyak.
Ketika jumlah uang cash yang beredar di masyarakat berkurang,
pertumbuhan inflasi memang akan tertekan. Namun disisi lain juga beresiko
menekan pertumbuhan ekonomi. Jika para bank enggan memberi pinjaman modal
ke pengusaha karena mereka lebih suka menyimpan uangnya di BI, maka para
pengusaha tentunya akan kesulitan mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya
akan menekan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Karena itulah, jika
kemudian tingkat inflasi telah terkendali, maka BI bisa menurunkan kembali
Tingkat suku bunga-nya, agar dana yang tadinya diendapkan bisa kembali
dikucurkan ke masyarakat, untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan
lapangan kerja.
Tingkat suku bunga atau suku bunga Bank Indonesia selanjutnya ditetapkan
sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau
lembaga-lembaga keuangan diseluruh Indonesia. Sederhananya jika Tingkat suku
bunga naik dari 7,25% menjadi 7,50%, maka bunga pinjaman maupun simpanan di
bank dan lembaga keuangan lainnya juga cenderung naik. Patokan ini hanya
bersifat rujukan dan bukan merupakan peraturan, sehingga tidak mengikat ataupun
memaksa. Sering terjadi ketika bank menaikkan bunga pinjaman kepada pihak yang
mengajukan kredit dengan dasar Tingkat suku bunga naik, namun di sisi lain bunga
deposito atau tabungan bagi para nasabahnya tidak berubah. Sementara bagi BI
sendiri, Tingkat suku bunga adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Ketika Tingkat suku bunga naik ke 7,50%,
maka pihak bank dapat menaruh dana mereka di BI dalam bentuk SBI, dan akan
menerima bunga 7,50%.
Jika Tingkat suku bunga dinaikkan, maka bank cenderung menaruh dana
tabungan nasabah mereka di BI daripada menyalurkan kembali ke masyarakat
dalam bentuk kredit. Sebab meskipun bunga yang ditetapkan BI lebih kecil dari
bunga kredit namun penjaminnya adalah pemerintah, sehingga resiko kredit
macetnya sangat kecil, bahkan mendekati nol. Jika dana milik masyarakat yang
dipegang para bank diendapkan di BI, maka jumlah uang yang beredar di
masyarakat akan berkurang, dan pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi. Itulah
sebabnya Tingkat suku bunga merupakan instrumen yang biasanya cukup ampuh
untuk menurunkan tingkat inflasi. Jadi adalah wajar ketika tingkat inflasi ternyata
melebihi ekspektasi, banyak pihak kemudian menuntut agar BI segera menaikkan
tingkat suku bunga-nya.
4.2.3 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa pengeluaran pemerintah di
Indonesia berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi di Indonesia.
Hasil ini sedikit tidak sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti, kenaikan
koefisien pengeluaran pemerintah sebanyak 1 persen akan meningkatkan inflasi di
Indonesia sebesar 9,233907 persen.
Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan
signifikan hal ini terjadi karena pengeluarannya lebih diutamakan untuk bantuan
masyarakat seperti halnya subsidi yang menurunkan harga-harga barang yang
diperjualbelikan tetap pada harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga
tingkat inflasi akan menurun.
Pengeluaran rutin pemerintah sangat berperan dalam menunjang
tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan dalam setiap lima tahun. Oleh karena
itu, penghematan dan efisien sebagai prinsip dasar daripada pelaksanaan anggaran
belanja rutin sangat menentukan bagi terbentuknya tabungan pemerintah yang
sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional. Pengeluaran
pemerintah mencerminkan kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah telah
menetapkan suatu kebijaksanaan untuk membeli barang dan jasa. Pengeluaran
pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk
melaksanakan kebijaksanaan tersebut.
4.2.4 Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran
Pemerintah secara bersama-sama terhadap Inflasi di Indonesia Periode
2000-2014
Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa jumlah uang beredar, tingkat suku
bunga dan pengeluaran pemerintah secara simultan memberikan pengaruh yang
signifikan (nyata) terhadap Inflasi di Indonesia. Dari hasil perhitungan diperoleh
Fhitung sebesar 6,786864 pada taraf nyata 5% adalah 2,54. Berdasarkan hasil
perhitungan, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh jumlah uang beredar, tingkat
suku bunga dan pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia Periode 20002014 secara bersama-sama adalah signifikan.
Sedangkan jika diuji secara parsial tidak semua variabel hasilnya signifikan.
Karena pada kenyataannya jumlah uang beredar banyak berpengaruh secara
signifikan (nyata) di kota-kota besar, contohnya saja peredaran jumlah uang yang
beredar di kota besar seperti Jakarta akan berbeda dengan jumlah uang yang beredar
di Tasikmalaya oleh sebab itu terjadi hasil yang tidak signifikan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Jumlah
Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah terhadap inflasi
di Indonesia tahun 2000-2014. Berdasarkan hasil penelitian, perhitungan dan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini menghasilkan kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Variabel Jumlah Uang Beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap Inflasi di Indonesia. Di sisi lain variabel Tingkat Suku Bunga
berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Variabel
Pengeluaran Pemerintah memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap Inflasi di Indonesia.
2.
Variabel Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran
Pemerintah secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Inflasi di
Indonesia Periode Tahun 2000-2014.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dipaparkan,
maka penulis dapat memberikan beberapa saran bagi berbagai pihak terkait.
Adapun saran yang dapat disampaikan penulis yaitu sebagai berikut:
1.
Bagi para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang variabel
Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga dan Pengeluaran Pemerintah.
Selain itu juga bagi pihak-pihak yang hendak melakukan penelitian lanjutan
dari masalah tersebut diharapkan memasukan variabel lain yang mempunyai
pengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia.
2.
Berdasarkan hasil penelitian variabel Jumlah Uang Beredar berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap Inflasi dipengaruhi oleh perbedaan
pemerataan Jumlah Uang Beredar di tiap daerah. Harus adanya
pengendalian Jumlah Uang Beredar oleh Bank Sentral agar ketika Jumlah
Uang Beredar di masyarakat meningkat tidak mengganggu stabilitas
ekonomi.
3.
Untuk hasil penelitian terhadap Tingkat Suku Bunga dengan terdapatnya
pengaruh positif dan signifikan antara Tingkat Suku Bunga terhadap inflasi
di Indonesia, dengan meningkatnya Tingkat Suku Bunga akan
mengakibatkan peningkatan tingkat inflasi dikarenakan jumlah uang
beredar berkurang di masyarakat. Tetapi disisi lain jika Tingkat suku bunga
4.
mengalami kenaikan dikhawatirkan akan menaikan suku bunga di Bank
Umum yang mengakibatkan menurunnya investasi.
Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan tidak
signifikan hal ini terjadi karena pengeluarannya lebih diutamakan untuk
bantuan masyarakat seperti halnya subsidi yang menurunkan harga-harga
barang yang diperjualbelikan tetap pada harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat sehingga tingkat inflasi akan menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Widarjono. (2007). Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia
FE UII.
Boediono. 1993. Ekonomi Makro. Edisi 4. Yogyakarta: BPFE.
----------. 1998. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
----------. 1998. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga.
Dwiantoro, Dedi. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan EngleGrangier Error Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen,
Volume 5 No 2.
Ghozali, Imam. 2005. Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan
Partial Least Square. Semarang: Badan Penerbit UNDIP
Gujarati, Damodar. N., 2012. Dasar-dasar Ekonometrika (Buku 2, edisi ke-5).
Jakarta: Salemba Empat.
Hamzah, M.Z., dan Solfida, E., (2005), ”Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Nilai
Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan Pengeluaran Pemerintah
terhadap Inflasi di Indonesia periode 1990-2005; Pendekatan Error
Correction Model (ECM)”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, II (1) Agustus, hal.
21 – 35.
Heru Perlambang (2012), Analisis Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga
SBI, Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi. Universitas Trisakti.
Langi, T.M., Masinambow, V., dan Siwu H., (2014), “Analisis Pengaruh Suku
Bunga BI, Jumlah Uang Beredar, dan Tingkat Kurs terhadap Tingkat Inflasi
di Indonesia”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol. 14, no 2 - Mei 2014.
Mangkoesoebroto, Guritno. (1994). Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: STIE
YKPN.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta:
Erlangga
Mudrajad Kuncoro. 2004. Metode Kuantitatif : Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan
Ekonomi. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter II. BPFE: Yogyakarta.
Nuri, Angraini. 2012. Analisis Pendapatan Nasional, Tingkat Suku Bunga SBI dan
Giro Wajib Minimum terhadap JUB di Indonesia.
Prasetiantono, 2000. Business & Economics. Gramedia Pustaka Utama.
Putong, Iskandar dan Andjaswati, ND. 2008. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta:
Mitra Wacana Media.
Rahardja, Prathama. 1997. Uang dan Perbankan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahmawati. (2011). “Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Tingkat Suku Bunga, dan
Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Nangroe Aceh Darussalam”,
Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 9, No 1, Januari 2011.
Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmu Makroekonomi Edisi ke17, terjemahan. Jakarta: Media Global Edukasi.
Sinambela, S., (2011). “Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Tingkat Inflasi
di Indonesia”, Majalah Forum Ilmiah UNIJA Vol. 15, No 03 Maret 2011.
Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suminto. 2004. Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara.
Makalah sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen
Anggaran, Depkeu). Jakarta: Depkeu.
Sunariyah, 2004. Pengantar Pengetahuan Pasar Modal,UPP AMP YKPN.
Yogyakarta.
Website:
Badan Pusat Statistik, 2014. Jakarta www.bps.go.id
Bank Indonesia, 2014. Jakarta www.bi.go.id
http://macroeconomicdashboard.com/download/2013/IERO2013K3.pdf
http://www.julfahmisalim.com/2012/12/laju-perkembangan-inflasi-di
indonesia.html
http://ekomid.blogspot.com/2012/06/kebijakan-fiskal-pemerintah.html
http://beucareng.blogspot.com/2014/04/perkembangan-uang-beredar-diindonesia.html
Download