Sejak tingkat taman kanak-kanak, permasalahan

advertisement
Sejak tingkat taman kanak-kanak, permasalahan perilaku anak sudah mulai
dikeluhkan. Studi yang dilakukan oleh Fahrunnisa (2014) menunjukkan bahwa 91
guru TK di Yogyakarta menghadapi perilaku bertengkar, mengamuk, menjahili
teman, mengejek, berteriak kepada guru dan teman, melawan guru, dan tidak
patuh yang terjadi pada anak. Keluhan ini sejalan dengan permasalahan perilaku
yang dilaporkan guru mengenai anak di salah satu TK di Yogyakarta pada Praktek
Kerja Profesi Psikologi pada tahun 2014 hingga 2015. Guru menilai bahwa
terdapat beberapa anak yang cenderung melakukan perilaku mengganggu dengan
bentuk perilaku memukul anggota badan teman, menggigit, melempar mainan,
menendang kursi dan pintu kelas, berkata kasar, mengancam, menakuti, serta
menjauhi teman. Beberapa perilaku anak bahkan membuat kelas menjadi kacau
dengan fokus guru yang akhirnya seringkali terarah pada anak-anak yang
melakukan tindakan kasar. Perilaku-perilaku yang dikeluhkan oleh guru ini
dikhawatirkan menjadi contoh bagi anak lainnya untuk melakukan tindakan yang
serupa.
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 21-24 September 2015 dan
bulan Oktober 2015 di lima taman kanak-kanak di Yogyakarta menunjukkan
bahwa di setiap sekolah terdapat beberapa anak yang melakukan perbuatan kasar
atau menyakiti orang lain seperti memukul, mencubit, menjambak, merebut
barang yang sedang dipegang oleh teman, mengejek, meneriaki teman, menjauhi
teman, dan mengancam teman. Menyikapi perlakuan tersebut, beberapa anak
menunjukkan perlawanan sehingga menimbulkan pertengkaran, beberapa anak
memilih bermain dengan teman yang lain, ada pula anak yang menjadi takut dan
mengikuti perintah temannya tersebut atau lebih sering terlihat sendiri. Menurut
guru, bentuk-bentuk perilaku menyakiti, reaksi dari teman-teman sebaya, dan
dampak yang terjadi pada situasi kelas ini selalu ada setiap tahunnya dari
sejumlah anak dan membuat kondisi kelas menjadi tidak kondusif. Di sisi lain,
sekolah belum memiliki program khusus untuk mengurangi permasalahan
perilaku yang terjadi tersebut. Cara yang biasa dilakukan guru adalah dengan
mengingatkan anak untuk kembali melakukan aktivitas di kelas, mengenalkan
2
peraturan dan nilai-nilai luhur di sekolah ketika upacara atau saat anak
menunjukkan perilaku yang tidak baik.
Wawancara lebih lanjut kepada guru menunjukkan bahwa perilakuperilaku yang dikeluhkan dari anak berhubungan dengan emosi yang dimiliki.
Pada umumnya anak menunjukkan perilaku menyakiti ketika merasa marah,
misalnya memukul teman, merusak benda, atau berteriak. Anak juga dapat
bertengkar satu sama lain karena adanya kekeliruan dalam mengekspresikan
emosi senang, misalnya mengekspresikan senang dengan menarik teman yang
sedang bermain dengannya atau mengejek teman. Anak juga menunjukkan
perilaku menyendiri atau menolak melakukan instruksi guru ketika merasa takut
atau sedih. Rasa takut atau sedih anak dapat muncul karena adanya teman lain
yang mengganggu atau ditinggalkan oleh pengasuh.
Bentuk-bentuk perilaku yang ditunjukkan anak pada temuan di atas
menunjukkan adanya permasalahan perilaku yang terjadi sejak masa kanak-kanak.
Perilaku-perilaku tersebut terlihat dalam bentuk perilaku kasar, menyakiti, atau
menarik diri. Permasalahan-permasalahan perilaku tersebut berhubungan dengan
emosi yang dimiliki anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Havighurst,
Wilson, Harley, Kehoe, Efron, dan Prior (2013) yang menunjukkan bahwa anak
yang mempunyai permasalahan perilaku memiliki kekurangan dalam pemahaman
terhadap emosi dan regulasi emosi. Anak yang memiliki kekurangan dalam
pemahaman dan regulasi emosi lebih rentan mengalami permasalahan perilaku
dan berlanjut hingga remaja dan dewasa dibandingkan dengan anak yang
memiliki pemahaman dan regulasi emosi yang baik (Havighurst dkk, 2013;
Leerkes, Paradise, O’Brien, Calkins, & Lange, 2008).
Emosi memegang peranan penting dalam kehidupan individu dengan
perannya sebagai regulator dalam perilaku individu, baik yang terjadi di dalam
diri (intrapersonal) maupun perilaku yang melibatkan interaksi dengan orang lain
(interpersonal) (Denham, 1998). Permasalahan perilaku pada anak, baik yang
bersifat intrapersonal maupun interpersonal, dapat disebabkan oleh kesulitan
anak dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain, serta kekurangan
pengetahuan dan kemampuan dalam menunjukkan ekspresi emosi yang tepat saat
3
mendapatkan suatu pengalaman emosi (Denham dkk, 2003; Denham dkk, 2012;
Leerkes dkk, 2008; Miller dkk, 2006; Morris, 2010; Roll, Koglin, & Petermann,
2012). Kekurangan-kekurangan tersebut membuat anak cenderung menunjukkan
permasalahan dalam menyesuaikan diri dan berperilaku yang sesuai dengan
lingkungan sosial. Kurangnya kemampuan dalam memahami emosi dan
menunjukkan ekspresi emosi yang sesuai dengan lingkungan sosial merupakan
komponen-komponen yang tercakup di dalam kompetensi emosi, yakni
pengetahuan emosi dan regulasi emosi (Denham dalam Tsai, 2008; Denham &
Burton, 2003; Garner, 2010; Havighurst dkk, 2013; Miller dkk, 2006).
Kompetensi emosi diartikan sebagai kemampuan individu dalam memahami
emosi diri dan emosi orang lain, serta mengatur atau meregulasi ekspresi emosi
sesuai dengan lingkungan (Denham, 1998). Kompetensi emosi terdiri atas dua
komponen utama, yakni pengetahuan emosi dan regulasi emosi (Denham dalam
Tsai, 2008; Denham, Bassett, & Zinsser, 2012; Denham & Burton, 2003; Garner,
2010). Pengetahuan emosi mengacu kepada pengetahuan yang dimiliki individu
dalam mengenali label ekspresi emosi yang dirasakan pada diri sendiri dan yang
terlihat secara eksplisit pada orang lain, mengenali situasi yang menimbulkan
emosi tertentu, penyebab, konsekuensi yang ditimbulkan dari situasi dan ekspresi
emosi yang terjadi di dalamnya, serta cara atau aturan dalam mengekspresikan
emosi dengan tepat (Denham, 1998; Morris, 2010). Anak usia dini, terutama yang
berada pada akhir rentang usia dini, sudah dapat mengenali dan menyebutkan
label ekspresi emosi yang ia rasakan dan lihat, memahami situasi yang dapat
menimbulkan emosi tertentu, serta menyadari bahwa emosi dapat mempengaruhi
perilaku dan dapat digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain (Santrock,
2011). Kemampuan-kemampuan ini membuat anak lebih mudah menjalin
hubungan sosial dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan keterampilan
sosialnya (Santrock, 2011; Schultz, Richardson, Barber, & Wilcox, 2011).
Berseberangan dengan kemampuan tersebut, anak yang menampilkan
permasalahan perilaku menunjukkan kurangnya pengetahuan emosi (Denham
dkk, 2003; Denham dkk, 2012; Garner, 2010; Leerkes dkk, 2008; Miller dkk,
2006; Morris, 2010). Kurangnya pengetahuan emosi biasanya tampak pada
4
kesulitan dalam mengenali suatu emosi, meskipun berupa emosi sederhana.
Kesulitan dalam mengenali dan menerjemahkan emosi membuat anak merasa
bahwa lingkungan sekolah merupakan tempat yang membingungkan dan
membuatnya menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan lingkungan sosial,
contohnya perilaku agresif.
Komponen berikutnya adalah regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan
kemampuan individu dalam mengenali, mengevaluasi, dan memodulasi reaksi
emosi agar sesuai dengan lingkungan sosial (Denham, 1998; Havighurst dkk,
2013; Saarni dalam Mirabile, 2010). Regulasi emosi merupakan komponen
penting dalam kompetensi emosi karena perannya yang tidak hanya dapat
meningkatkan, namun juga menghalangi pemahaman dan ekspresi emosi yang
tepat di lingkungan sosial (Thayer, 2002). Regulasi emosi dapat membantu anak
dalam mengelola tuntutan dan konflik yang dihadapi dalam berinteraksi dengan
orang lain (Santrock, 2011). Kemampuan dalam meregulasi emosi membutuhkan
pengenalan terhadap emosi yang dirasakan dan mengenali situasi lingkungan yang
dapat menerima atau menolak ekspresi emosi yang ditunjukkan (Denham, 1998).
Dengan kata lain, regulasi emosi membutuhkan pengetahuan emosi untuk dapat
terwujud (Izard dkk, 2011; Tsai, 2008).
Regulasi emosi merupakan aspek perilaku dalam kompetensi emosi sebagai
wujud dari aspek kognitif kompetensi emosi (Garner, 2010). Regulasi emosi
merupakan tindakan dalam menampilkan ekspresi emosi yang tepat sesuai dengan
situasi yang dihadapi (Garner, 2010) atau konteks sosial dimana seseorang berada
(Cole, 2014). Terdapat dua bentuk perilaku yang mungkin muncul dalam
menampilkan kemampuan regulasi emosi, yakni regulasi emosi adaptif dan
disregulasi emosi (lability/negativity) (Shields & Cicchetti, 1998; Shields &
Cicchetti, 2001; Shields & Cicchetti dalam Miller dkk, 2006; Shields & Cicchetti
dalam Tsai, 2008). Regulasi emosi mengacu kepada kemampuan anak dalam
mengatur reaktivitas emosi pada berbagai situasi, sedangkan disregulasi emosi
mengacu pada kesulitan anak dalam mengatur ekspresi emosi sehingga
mengalami kesulitan dalam interaksi sosial.
5
Pada usia dini, anak sudah dapat mengetahui emosi yang dirasakan untuk
dapat menunjukkan atau menahan ekspresi emosi sesuai dengan apa yang
diharapkan lingkungan sosialnya atau untuk mendapatkan keinginannya (Denham,
1998; Denham dkk, 2003). Hal ini menunjukkan kemampuan anak dalam
melakukan regulasi emosi, meskipun yang bersifat sederhana dan melibatkan
emosi dasar, misalnya, seorang anak dapat mengekspresikan kemarahannya
dengan memberitahu kemarahan dan alasan kemarahannya tersebut tanpa
memukul temannya.
Anak yang menunjukkan permasalahan perilaku cenderung mengalami
kesulitan dalam melakukan regulasi emosi. Sebagai contoh, penelitian telah
membuktikan bahwa regulasi emosi berasosiasi dengan perilaku agresif pada
berbagai jenjang usia, mulai dari bayi hingga remaja (Roll dkk, 2012). Hal ini
disebabkan oleh kekurangan individu dalam menampilkan keterampilan tentang
cara mengekspresikan emosi yang dirasakannya dengan tepat (Denham dkk,
2003). Dengan adanya kekurangan tersebut, anak dengan permasalahan perilaku
mengalami kesulitan dalam mengatur atau menahan emosi negatif yang seringkali
muncul dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang lebih panjang
daripada teman sebayanya. Anak yang mengalami kondisi seperti ini dapat
dikatakan mengalami kondisi disregulasi emosi (Dennis, Hong, & Solomon,
2010; Shields & Cicchetti dalam Tsai, 2008).
6
Berikut ini merupakan bagan model kompetensi emosi yang dipaparkan
dalam penelitian ini:
Pengetahuan
tentang label
ekspresi emosi
Komponen
Pengetahuan
Emosi
Pengetahuan
tentang situasi yang
menimbulkan emosi
Aspek Kognitif
Pengetahuan
tentang
konsekuensi atas
ekspresi emosi
Kompetensi
Emosi
Pengetahuan
tentang cara
mengekspresikan
emosi yang tepat
Komponen
Regulasi
Emosi
Menampilkan ekspresi
emosi yang sesuai
dengan lingkungan
sosial untuk individu
seusianya
Aspek perilaku
Gambar 1. Bagan Model Kompetensi Emosi
Secara umum, anak usia dini sudah seharusnya dapat menunjukkan
kesadaran akan emosi, terutama untuk anak yang berada pada masa akhir usia
dini, yakni di usia 5-6 tahun (Denham, 1998; Denham dkk, 2003; Saarni, 1999;
Saarni, 2011). Hal ini didukung dengan semakin beragamnya interaksi anak
dengan teman-teman sebaya, serta pengalaman langsung akan aktivitas yang ada
dalam lingkungan kelas atau sekolah (Izard dkk, 2011). Adanya pengalamanpengalaman yang melibatkan emosi membuat kompetensi emosi anak semakin
7
berkembang yang juga tampak pada pengetahuan emosi dan regulasi emosi
sederhana (Denham, 1998).
Berdasarkan pemaparan mengenai kompetensi emosi anak usia dini di atas,
terlihat bahwa permasalahan perilaku pada anak berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan emosi dan regulasi emosi pada anak. Regulasi emosi berasosiasi
langsung dengan permasalahan perilaku pada anak (Roll dkk, 2012). Untuk dapat
menunjukkan kemampuan regulasi emosi, anak memerlukan pengetahuan emosi
sebagai dasar dalam berperilaku (Izard dkk, 2011; Tsai, 2008). Oleh karena itu,
pengajaran mengenai pengetahuan emosi diperlukan untuk dapat meningkatkan
regulasi emosi pada anak.
Pengajaran emosi dapat diberikan sejak awal usia dini (Denham, 1998;
Denham dkk, 2002; Denham dkk, 2003; Morris, 2010). Hasil pengajaran emosi
dapat terlihat dengan cukup stabil dan dilakukan dengan kesadaran oleh anak di
rentang akhir usia dini, yakni pada usia 5-6 tahun (Saarni, 2010; Saarni, 2011).
Pengajaran emosi juga dapat meningkatkan kemampuan sosial anak (Denham
dkk, 2003), termasuk dalam menunjukkan perilaku yang diterima oleh lingkungan
sosial.
Anak yang duduk di jenjang taman kanak-kanak terdiri atas anak yang
berada dalam rentang usia dini, namun hasil dari studi lapangan menunjukkan
bahwa taman kanak-kanak belum melaksanakan program khusus untuk
mengajarkan emosi kepada para siswa. Hasil studi lapangan yang dilakukan
menunjukkan bahwa belum terdapat materi khusus untuk mengajarkan emosi
kepada anak. Pengajaran emosi kepada anak biasanya disisipkan guru apabila
terjadi suatu kondisi yang memicu emosi anak. Guru akan mengajak anak
beraktivitas tanya-jawab tentang perilaku yang baik dan tidak baik untuk
dilakukan, meskipun demikian belum terdapat pengenalan ataupun pembahasan
mengenai emosi yang dirasakan anak di dalamnya. Selain itu, apabila anak
menampilkan perilaku yang kurang tepat seperti memukul pada saat marah, guru
biasanya akan menyuruh anak untuk menghentikan perilaku tersebut. Guru belum
terlihat mengajak anak bertanya-jawab mengenai kejadian ataupun mencoba
mengenalkan emosi yang sedang dirasakan anak (Susanti, 2016). Pada
8
kenyataannya, program pengajaran emosi merupakan program yang penting dan
dapat digunakan oleh sekolah sebagai upaya dalam mencegah berkembangnya
permasalahan perilaku di jenjang taman kanak-kanak dan berlanjut seiring
pertumbuhannya (Miller dalam Essa, 2011). Program pendidikan emosi juga
membutuhkan cara yang eksplisit dan spesifik, tidak hanya implisit untuk dapat
diberikan kepada anak usia dini (Denham dkk, 2002).
Pengajaran emosi pada anak dapat dilakukan melalui pendekatan sosial
kognitif (Denham, 1998; Morris, 2010; Tsai, 2008). Asumsi dasar Bandura (1986;
Bandura dalam Feist & Feist, 2009) dalam teori pembelajaran sosial kognitif
adalah, “manusia memiliki kemampuan untuk mempelajari berbagai sikap,
keterampilan, dan perilaku yang sebagian besarnya merupakan hasil dari
pengamatan
dan
penghayatan
atas
pengalaman
orang
lain
(vicarious
experiences).” Pada pembelajaran sosial kognitif, seseorang melakukan suatu
perilaku dengan adanya interaksi interdependen antara tiga faktor, yakni manusia,
lingkungan, dan perilaku (Bandura, 1986; Bandura dalam Olson & Hergenhahn,
2009). Prinsip ini dikenal dengan reciprocal determinism.
Faktor manusia menunjukkan bahwa manusia memiliki fungsi kognitif
untuk mengingat, merencanakan dan menilai apa yang terjadi di lingkungan.
Manusia juga memiliki suatu sikap, perasaan, dan keyakinan terhadap apa yang ia
amati di lingkungan. Faktor manusia tersebut dapat mempengaruhi faktor
lingkungan dan faktor perilaku dalam keseharian. Manusia bebas memilih dan
merestrukturisasi lingkungan yang akan dimasuki dan menunjukkan perilaku
tertentu untuk mencapai apa yang diinginkan.
Faktor berikutnya adalah lingkungan. Lingkungan memiliki fungsi sebagai
media belajar bagi manusia melalui pengamatan. Manusia mengamati model yang
ada di sekitarnya dalam berperilaku dan mengamati konsekuensi apa yang
didapatkan oleh model tersebut. Perilaku model dan konsekuensi yang
didapatkannya dapat mempengaruhi manusia dalam menilai kesesuaian perilaku
tersebut untuk ditiru. Konsekuensi yang terjadi pada model juga dapat
mempengaruhi perilaku manusia. Perilaku model yang menghasilkan konsekuensi
9
positif cenderung akan dilakukan juga oleh manusia yang mengamati situasi
tersebut.
Faktor terakhir adalah perilaku manusia. Perilaku yang ditunjukkan manusia
dapat mempengaruhi lingkungan dan fungsi yang ada di dalam diri manusia
tersebut. Penerimaan lingkungan terhadap perilaku yang ditunjukkan manusia
dapat mempengaruhi respon yang diberikan lingkungan terhadap perilaku
tersebut. Perilaku yang terus dilakukan manusia juga dapat mempengaruhi
keyakinan, sikap, atau pikiran manusia mengenai perilaku tersebut.
Reciprocal determinism merupakan suatu prinsip yang perlu dipahami
dalam memahami fungsi perilaku suatu manusia, sementara itu, manusia tetap
melewati suatu proses untuk dapat membentuk suatu perilaku di dalam dirinya
(Olson & Hergenhahn, 2009). Manusia mempelajari suatu perilaku melalui
observational learning. Observational learning meliputi proses mengamati suatu
perilaku, mengingat hasil amatan, untuk kemudian termotivasi melakukan hal
yang serupa atau yang sebaliknya untuk mendapatkan kondisi yang ia inginkan
(Bandura dalam Olson & Hergenhahn, 2009). Proses belajar melalui
observational learning terjadi dengan mengikuti empat tahapan, yakni atensi
terhadap informasi di lingkungan (attention), representasi informasi baik berupa
informasi verbal maupun gambaran perilaku yang terjadi secara berulang pada
otak manusia sehingga tersimpan dalam memori (retention), pembandingan
informasi mengenai perilaku model dengan perilaku diri untuk memicu perbaikan
perilaku (production), dan adanya motivasi untuk melakukan perilaku tersebut
(motivation).
Anak usia dini berada pada tahapan kognitif praoperasional (Piaget dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2008; Papalia dkk , 2008). Tahapan ini ditandai dengan
semakin berkembangnya kemampuan anak dalam berpikir simbolik, memahami
identitas, memahami hubungan sebab-akibat, mampu mengklasifikasi suatu
kelompok, mampu menunjukkan empati, dan lebih memiliki kesadaran akan
aktivitas dan fungsi mental yang terjadi di dalam pikiran (theory of mind).
Perkembangan kognitif ini juga mendukung perkembangan kemampuan anak
dalam melakukan role taking/perspective taking, yakni kemampuan dalam
10
memahami dan menduga reaksi emosi, perasaan, pikiran, motif, dan tujuan orang
lain dalam berperilaku (Eisenberg & Mussen, 1989). Kemampuan-kemampuan
kognitif anak usia dini, terutama yang berada ada tahap akhir usia dini
sebagaimana yang dipaparkan di atas menunjukkan potensi anak dalam menerima
informasi dan menjalani proses pembelajaran sosial kognitif.
Dalam pendekatan sosial kognitif, cara yang dapat digunakan dalam
mengajarkan emosi adalah melalui observational learning yang dilakukan dengan
modeling (Denham, 1998; Morris, 2010). Bandura (dalam Olson & Hergenhahn,
2009) mengatakan bahwa model bagi anak dapat disajikan dalam berbagai bentuk,
tidak harus melalui observasi langsung pada manusia. Model lain dalam
observational learning tersebut dapat berupa model simbolik, seperti film,
program televisi, gambar, ataupun instruksi (Lefrancois, 2012; Olson &
Hergenhahn, 2009). Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Susanti (2016) yang menunjukkan bahwa modul yang menggunakan tahapan
observational learning terbukti dapat meningkatkan aspek kognitif kompetensi
emosi pada anak yang berusia 5-6 tahun.
Modul “Perasaanku” yang dirancang oleh Susanti (2016) didasarkan pada
metode repeated interactive read aloud. Metode bercerita repeated interactive
read aloud merupakan suatu metode pembacaan cerita yang dilakukan secara
berulang dengan aktivitas tanya-jawab interaktif. Metode read aloud meliputi
penyampaian informasi, pemberian pertanyaan, pengenalan kata, dan pemadanan
cerita dengan gambar yang memancing munculnya aktivitas tanya-jawab antara
pencerita dengan anak (Kindle, 2009; Lane & Wright, 2007; Maloch & Beutel,
2010). Dalam aktivitas tanya-jawab tersebut, pencerita akan mengajak anak untuk
terlibat secara aktif dalam iklim yang positif dengan menggunakan pengetahuan
yang sudah ada mengenai tema cerita sehingga membentuk pemaknaan dan
pemahaman yang komprehensif (Hoffman, 2011; Maloch & Beutel, 2010; McGee
& Schickedanz, 2007). Pada metode repeated interactive read aloud dilakukan
pengulangan cerita yang memungkinkan anak untuk mengembangkan pemikiran
analitis melalui hubungan sebab-akibat pada suatu cerita dengan menghubungkan
suatu kejadian dengan kejadian lainnya (McGee & Schickedanz, 2007).
11
Sesuai dengan karakteristik repeated interactive read aloud, modul
“Perasaanku” memiliki tiga komponen penyusun, yakni cerita, gambar, dan
aktivitas tanya-jawab. Ketiga komponen ini mewakili komponen yang dibutuhkan
dalam observational learning sekaligus berperan dalam mengajarkan emosi
kepada anak. Dalam observational learning, gambar dan cerita yang dibacakan di
hadapan
anak
dapat
menjadi
representasi
model
bagi
anak
dalam
mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat. Pembahasan cerita yang
dilakukan secara berulang juga dapat menjadi stimulasi bagi anak dalam
mengingat situasi dan cara mengekspresikan emosi yang dicontohkan oleh model.
Aktivitas tanya-jawab dapat menjadi cara yang membantu anak dalam
membandingkan keterampilan emosi yang ditampilkan sehari-hari dengan
keterampilan emosi yang dicontohkan oleh model dalam cerita.
Secara lebih rinci, modul “Perasaanku” mengikuti empat tahapan
observational learning, yakni attentional process, retentional process, production
process, dan motivational process. Dalam attentional process, anak belajar
dengan memberikan perhatian pada informasi cerita berupa gambar dan cerita.
Gambar dan cerita tersebut menjadi model yang diperhatikan oleh anak untuk
dapat menerima informasi. Pada retentional process, informasi yang diperoleh
anak melalui cerita bergambar akan tersimpan dengan adanya representasi simbol,
baik berupa gambaran mental maupun verbalisasi dari informasi yang terjadi
secara berulang. Setiap sesi cerita dalam modul diberikan kepada anak sebanyak
dua kali. Pengulangan yang terjadi memungkinkan anak untuk mengingat
informasi yang diberikan dengan lebih baik. Setelah informasi disimpan,
informasi dapat diambil kembali (recall), dilatih (rehearsal), dan diperkuat dalam
keseharian (Olson & Hergenhahn, 2009).
Pada production process, informasi yang sudah tersimpan dapat ditampilkan
atau diubah ke dalam perilaku oleh anak. Dalam modul “Perasaanku”, production
process terjadi dalam proses aktivitas tanya-jawab. Dalam fase ini muncul
evaluasi dari dalam diri mengenai performansi perilaku yang ditampilkan oleh
seseorang dan melihat kesesuaian perilakunya dengan apa yang dicontohkan
model untuk dapat diperbaiki di masa yang akan datang (Olson & Hergenhahn,
12
2009). Sebelumnya, informasi mengenai pengalaman perilaku model disimpan
oleh anak dalam bentuk skema untuk membandingkan suatu perilaku. Pada proses
pengulangan kembali perilaku, anak akan mengamati perilakunya sendiri dan
membandingkannya dengan gambaran kognitif perilaku yang ditunjukkan model
dalam cerita (Olson & Hergenhahn, 2009). Perbedaan antara perilaku keseharian
anak dengan ingatan tentang pengalaman model akan memicunya untuk
melakukan perbaikan perilaku.
Proses terakhir adalah motivational process, yakni motivasi dalam
melakukan perilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh model (Olson &
Hergenhahn, 2009). Proses ini terjadi dengan adanya pujian dari fasilitator kepada
anak yang dapat menjawab pertanyaan tentang perilaku yang tepat saat merasakan
emosi tertentu. Pujian menjadi suatu konsekuensi yang dapat memotivasi anak
dan teman lainnya dalam menampilkan perilaku. Di akhir sesi fasilitator juga
memberikan benda sebagai reward dari keterlibatan anak dalam menyampaikan
pengalaman
dan
pemahamannya
selama
kegiatan
intervensi.
Seseorang
menampilkan perilaku ketika merasa akan mendapatkan keuntungan dari apa yang
ia tampilkan (Olson & Hergenhahn, 2009). Seseorang juga mempelajari ini dari
hasil observasi konsekuensi perilaku yang didapatkan orang lain, mengingatnya,
dan menggunakan hasil observasi tersebut untuk menguntungkan dirinya di masa
yang akan datang (Olson & Hergenhahn, 2009).
Ditinjau dari komponen penyusun metode repeated interactive read aloud,
peran komponen gambar, cerita, dan aktivitas tanya-jawab di dalam modul
“Perasaanku” juga terbukti dapat mengajarkan emosi kepada anak. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh Tsai (2008), Mohamed &
Maker (2011), serta Heinze (2013). Hasil penelitian Tsai (2008) menunjukkan
bahwa cerita bergambar yang disampaikan kepada anak di jenjang taman kanakkanak dapat meningkatkan pemahaman dan regulasi emosi mereka. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohamed & Maker (2011), yakni
pengajaran yang diberikan melalui cerita dapat meningkatkan imajinasi,
mengajarkan emosi, memberi informasi tentang lingkungan, dan membantu anak
dalam memahami situasi yang ada di sekitarnya. Lebih jauh lagi, aktivitas tanya13
jawab yang dilakukan antara pencerita dan anak mengenai perasaan tokoh cerita
dan pertanyaan kepada anak tentang pengalaman emosi yang serupa dengan tokoh
cerita dalam keseharian dapat membantu anak untuk mengenali perasaan yang
dimilikinya (Heinze, 2013).
Penelitian Susanti (2016) menunjukkan bahwa modul “Perasaanku” yang
didasarkan pada metode yang mengikuti kaidah observational learning terbukti
valid dalam meningkatkan aspek kognitif kompetensi emosi anak usia 5-6 tahun.
Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan pengetahuan
emosi yang signifikan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberi
modul “Perasaanku.” Selain itu, terdapat pula perbedaan pengetahuan emosi yang
signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah adanya
pemberian modul “Perasaanku” (Susanti, 2016). Kelompok eksperimen memiliki
skor yang lebih tinggi dalam pengetahuan emosi dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Pada kenyataannya, anak tidak hanya memerlukan pengetahuan emosi untuk
dapat mengatur perilakunya. Setelah adanya pengetahuan emosi, anak juga
membutuhkan pengembangan keterampilan dalam meregulasi emosi untuk dapat
mengembangkan kompetensi emosinya (Havighurst dkk, 2013). Anak yang
memiliki kompetensi emosi yang baik memiliki resiko yang lebih rendah dalam
menunjukkan permasalahan perilaku pada masa remaja hingga dewasa
dibandingkan dengan anak yang kurang baik dalam kompetensi emosi
(Havighurst dkk, 2013). Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa aspek perilaku
kompetensi emosi anak, yakni regulasi emosi, berasosiasi langsung dengan
permasalahan perilaku (Havighurst dkk, 2013; Holley, Ewing, Stiver, & Bloch,
2015; Roll dkk 2012).
Tidak adanya pengukuran dan metode khusus dalam mempraktikkan
perilaku emosi pada modul “Perasaanku” membuat modul ini membutuhkan
modifikasi pada aspek tersebut. Penelitian saat ini akan menambahkan metode
bermain peran pada tahap production process dalam observational learning yang
digunakan pada modul “Perasaanku”. Metode bermain peran merupakan salah
satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan regulasi emosi anak
14
(Elias dalam Tsai, 2008). Dalam bermain peran, anak akan mendapat kesempatan
mempraktikkan secara langsung pemahaman mengenai emosi yang sudah ia
dapatkan sebelumnya. Kesempatan mempraktikkan ini sesuai dengan tahapan
production process pada observational learning yang memungkinkan anak
melatih perilaku yang diharapkan dan membandingkannya dengan perilaku yang
ia lakukan sehari-hari (Lefrancois, 2012). Proses bermain peran akan dimulai dari
penjelasan mengenai karakter setiap tokoh yang terlibat, memainkan peran sesuai
karakter tokoh, hingga pembahasan mengenai tema peranan dan berbagi
pengalaman sesuai dengan isi peran. Selain itu, anak juga akan mengevaluasi
peranan yang ditunjukkan secara bersama-sama serta melakukan kembali peranan
yang lebih baik sesuai dengan hasil evaluasi (Shaftel & Shaftel, 1982). Dengan
demikian, metode bermain peran dapat memperkuat pembelajaran anak dalam
meregulasi emosi (Elias dalam Tsai, 2008).
Proses observational learning dalam modul “Perasaanku”
Attentional Process
(Pemberian perhatian pada
informasi dari model)




Gambar yang menarik
Cara bercerita yang interaktif
Bahasa sederhana
Berisi kejadian sehari-hari anak
Motivational Process
(Motivasi dalam menunjukkan
perilaku seperti model karena adanya
keuntungan yang didapatkan)
 Pemberian pujian dan reward dari
pencerita kepada anak untuk
memotivasi setiap anak yang
mendengar
Retentional Process
(Pengulangan informasi melalui
representasi simbol gambaran
mental/verbalisasi agar tersimpan
dalam memori)
 Adanya pengulangan cerita
Production Process
(Pengubahan informasi ke dalam bentuk
perilaku dan pembandingan perilaku
model dengan perilaku diri)
 Aktivitas tanya-jawab mengenai isi
cerita dan perilaku yang ditampilkan
anak saat merasakan emosi seperti
dalam cerita
 Memerankan isi cerita
Gambar 2. Bagan Proses Observational Learning dalam Modul “Perasaanku”
15
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi modul “Perasaanku”
dalam meningkatkan regulasi emosi anak usia 5-6 tahun. Hipotesis dari penelitian
ini adalah modul “Perasaanku” valid dan dapat digunakan untuk meningkatkan
regulasi emosi anak usia 5-6 tahun. Pengajaran emosi melalui modul
“Perasaanku” akan berfungsi sebagai upaya prevensi primer atas kemunculan
permasalahan perilaku sejak dini melalui peningkatan regulasi emosi. Prevensi
primer merupakan suatu program pencegahan yang dilakukan sebelum suatu
permasalahan terjadi (Kerig & Wenar, 2006).
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
pengayaan
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan profesi psikologi, khususnya pada ranah
pendidikan dan perkembangan anak. Modul “Perasaanku” dalam penelitian ini
juga diharapkan dapat digunakan pada jenjang pendidikan taman kanak-kanak
yang ada di Yogyakarta untuk dapat memberikan pengaruh positif pada
perkembangan emosi dan perilaku anak di masa yang akan datang.
16
Download