REPUBLIKA tasawuf JUMAT, 11 NOVEMBER 2011 Hermeneutika dalam Studi Tasawuf DADO RUVIC/REUTERS Prof Dr Nasaruddin Umar Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Wakil Menteri Agama RI S tudi tasawuf dan filsafat sangat akrab dengan metode hermeneutika. Studi ilmu tasawuf sangat menekankan makna esoteris atau batin sebuah teks suci, dan filsafat sangat menekankan aspek filosofi dan tujuan kemanusiaan pada teks. Untuk sampai kepada tujuannya, kedua disiplin ilmu ini merasa tidak cukup terwadahi dengan warisan metodologi konvensional studi Islam. Akhirnya, sadar atau tidak sadar kedua disiplin kajian keilmuan ini berada dalam alur metodologi yang sama, yaitu hermeneutika. Hermeneutika sebenarnya bukan sesuatu yang serba baru sama sekali. Hermeneutika adalah nama baru untuk sebuah masalah lama, yakni penafsiran teks suci. Kalangan sufi menganggap seluruh alam termasuk diri manusia adalah sebuah teks suci yang harus dibaca dan dimaknai. Kalangan filsuf menyebut teks itu adalah pemikiran atau jenis filosofi apa saja. Dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, teksnya adalah kenyataan sosial itu sendiri. Hakikat kenyataan ini (kauniah) adalah penafsiran itu sendiri. Manusia ada dan disebut manusia karena ia berpikir (bukan berakal saja). Apa saja yang dipikirkan selalu berarti memikirkan untuk mengetahui, memahami, dan mengerti teks, artinya menafsirkannya. Itu karena tidak seorang pun mengklaim sampai pada hakikat kenyataan. Kita hanya bisa menemukan suatu pengetahuan yang relatif bertahan (valid- ity) dan kuat bertahan (reliability) dari kelemahan-kelemahan pemahaman. Hermeneutika dan penafsiran mempunyai wilayah persentuhan tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah kegiatan berpikir, praktik penafsiran, dan usaha memahami. Untuk berpikir orang bisa tidak bermetode, tapi berpikir yang baik adalah berpikir dengan metode. Jika diputuskan untuk menggunakan metode dalam menafsirkan atau memikirkan teks, di situlah hermeneutika berperan. Jadi, hermeneutika adalah metode atau teori penafsiran. Hermeneutika tidak melulu berarti metode. Istilah teori di sini merujuk pada istilah Kunstlehre menurut Schleiermacher. Menurutnya, teori (Kunstlehre) berarti metode dan filsafat. Sebab, metode adalah teknik-teknik menafsirkan secara benar. Sebagai filsafat, hermeneutika berarti segala macam usaha manusia memahami apa yang terjadi ketika manusia menafsirkan teks dan apa yang terjadi ketika metode-metode interpretasi tertentu dirumuskan atau digunakan dalam penafsiran. Oleh karena itu, dalam berbagai literatur hermeneutika modern, proses pengungkapan pikiran dengan kata-kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian eksegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran yang lazim dalam hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar aktual terhadap teks, hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan bereksegesis. Hermeneutika itu ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk ber- kebudayaan. Setiap agama lahir dengan teksnya masing-masing, Islam dengan Risalah Muhammad berupa Alquran dan Sunah. Teks Alquran dan Sunah itu ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat dari bahasa Tuhan, sekali pun tidak dengan metode yang sangat rigid. Itu karena masa Nabi dan sahabat, kata Muhammad Ata As-Sid, adalah masa penerimaan teologis terhadap teks Alquran. Iman adalah segala-galanya dan pemahaman terhadap Alquran adalah hal yang gampang. Jika ada kerancuan pemahaman para sahabat bertanya ke Nabi, sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan. Lagi pula, sahabat sangat memahami situasi Makkah dan Arab masa itu plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan kemahiran mereka dalam bahasa Arab. Hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran, terutama hukum terhadap teks-teks agama. Di sinilah mereka mulai berpikir metode. Awalnya sekadar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam Alquran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam asy-Syafii. Itu fase awal ketakutan kehilangan cara menafsirkan teks sehingga pemikir awal merumuskan hermeneutika sederhana untuk mencegah berhentinya orang menafsirkan Alquran. Tapi, sejarah berulang. Lama setelah itu, disiplin-disiplin keislaman, terutama usul fikih, fikih, tafsir, dan ulum Alquran, mandek setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan politik, di sisi lain. Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih banyak beralih pada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum Muslim dengan kolonialisme. Selama berabadabad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekadar pen- rehal D mengusahakan agar Alquran berbicara tentang realitas. Hanya saja, apa yang mereka lakukan tidak lebih dari jawaban instan terhadap kebutuhan-kebutuhan aktual masyarakat Muslim dalam rangka memelihara (solidaritas) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan pertahanan dari serangan (luar). Konsekuensinya, pemikiran yang mereka ajukan lebih cenderung bersifat apologetis karena tidak berangkat dari dasar-dasar metodologis yang sesuai untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika. Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah ke dalam wacana penafsiran Alquran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Alquran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman. Tidak aneh jika muncul tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim menafsirkan Alquran bukan demi memahami dan menyingkap makna sejati, tapi untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra-Qurani, yang antara lain demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat. Persoalan semacam ini bagaimanapun merupakan dilema intelektual tersendiri yang harus dipecahkan oleh para pemikir Muslim. Di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan Alquran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan objektif, sementara pada sisi lain terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Alquran sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Dua sisi tersebut memang tidak serta-merta kontradiktif dan saling menafikan, tetapi bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Ada kecenderungan, generasi mencari aspek-aspek spiritual dari ajaran agama dan menafikan aspek-aspek selainnya. Tentu saja hal ini menarik untuk dicermati, karena dalam Islam tasawuf adalah kelanjutan dari anak tangga yang ada di bawahnya berupa ajaran fikih, syariah, dan akhlak. Antara satu dengan lainnya tidak bisa dipisahkan. Man tashawwaf wa lam yatafaqqaha faqad tafassak, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad tazandaq, wa man jama’a baina huma faqad tahaqqaqah (Barang siapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia fasik. Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia zindik, dan barang siapa yang menggabungkan keduanya maka ia mencapai puncak kebenaran). n Hadis Dalil Hukum Mutiara Hadis Bukhari Muslim alam keseharian, kita sering mendengar istilah dalam periwayatan hadis, muttafaq ‘alaihi. Istilah tersebut merujuk pada hadis sahih yang disepakati dua imam terkemuka ahli hadis, yakni Imam Bukhari (194–265 H) dan Imam Muslim (204–261 H). Hadis muttafaq ‘alaihi atau riwayat Bukhari Muslim merupakan hadis yang paling tinggi derajat kesahihannya. Merujuk pada pengertian muttafaq ‘alaihi di atas, buku Shahih Al-Lu’lu (Bukhari) wal Marjan (Muslim) adalah kitab referensi himpunan hadis yang paling tinggi tingkat kesahihannya. Sebab, buku ini berisi hadis-hadis yang telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kelebihan kitab ini yang tidak ditemukan pada kitab lainnya adalah digabungkannya hadis sahih Bukhari, yang teksnya paling sesuai dengan teks hadis yang ada dalam sahih Muslim, menjadi satu kitab. Menurut pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar, ulama ahli hadis bertaraf internasional, yang dimaksud dengan kesepakatan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah kesepakatan atas takhrij induk hadis dari segi nama sahabatnya meskipun ada perbedaan dari segi redaksinya. Setelah kita mengetahui bahwa kitab ini merupakan himpunan hadis yang paling tinggi derajat kesahihannya, sudah selayaknya kalau setiap Muslim menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama yang kedua dalam kehidupan setelah Alquran. Kitab Al-Lu’lu wal Marjan meru- gulangan yang bersifat tautologis, di mana umat Islam—dan tradisi hermeneutika Alqurannya—tinggal mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma asy-Syafii, otoritas asy-Asy‘ari, dan ekletisisme al-Gazali. Fase kedua hermeneutika Alquran terjadi pada masa modern ini. Menurut Andrew Rippin, kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Alquran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Alquran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam atau dirujukkan kepada Alquran, dan pada saat yang sama mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisiks di sekitar penafsiran Alquran. Wahidur Rahman antara lain menyebut pemikir-pemikir modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, telah 8 Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal : : : : : Shahih Al-Lu’lu wal Warjan Dr Muhammad Fuad Abdul Baqi Akbar Media I, Juli 2011 xxii+844 halaman pakan panduan bagi setiap Muslim dalam menapaki jalan hidupnya di dunia ini, baik sebagai manusia pada umumnya maupun sebagai orang beriman pada khususnya. Hadis-hadis dalam kitab ini mengajarkan kepada kita bagaimana menghargai kehidupan dan kematian. Kehidupan dan kematian adalah lingkaran siklus keabadian yang sengaja diciptakan Allah kepada kita semua untuk menguji siapakah di antara kita yang terbaik amalnya (QS al- Mulk [67]: 2). Kehidupan tak akan bermakna apaapa bila kita menjalaninya tanpa amal ibadah yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul SAW melalui Alquran dan hadis yang sahih. Kematian kita pun seolah tak bermakna apa-apa bila ia mendatangi kita sementara kita tak memiliki bekal amal ibadah kepada-Nya sedikit pun. Bahkan, hal yang juga sangat perlu dicamkan oleh setiap Muslim adalah jangan sampai amal yang kita lakukan sia-sia karena tidak sesuai dengan Alquran dan hadis sahih. Al-Lu’lu wal Marjan—yang memuat 2.006 hadis dan dikelompokkan menjadi 54 kitab atau pembahasan— merupakan suluh yang menerangi setiap Muslim dalam beribadah kepada Allah. Di dalamnya termaktub semua hal yang perlu diketahui oleh kaum Muslim. Misalnya, iman, taharah (bersuci), haid, shalat, masjid dan tempat shalat, jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, jenazah, zakat, puasa, iktikaf, dan haji. Selain itu, pembahasan tentang pernikahan, persusuan, talak, jual beli, pembagian pusaka, hibah, wasiat, nazar, sumpah, hingga hudud. Dibahas pula soal jihad, kepemimpinan, minuman, pakaian dan perhiasan, adab, salam, keutamaankeutamaan sahabat, takdir, ilmu, tobat, surga, dan tanda-tanda kiamat. Dengan kandungannya yang sangat lengkap dan tingkat kesahihannya yang paling tinggi, sudah selayaknya kalau AlLu’lu wal Marjan ini dijadikan kitab rujukan atau pegangan hidup sehari-hari kaum Muslim. n irwan kelana, ed: wachidah handasah da dua pegangan hidup yang dipusakakan oleh Rasulullah SAW untuk umatnya, yakni Alquran dan Sunah. Dalam segala urusan apa pun, kaum Muslim dianjurkan untuk merujuk kepada tuntunan yang telah tersedia di dalam Alquran dan Sunah. Sebab, ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan Sunah tersebut sudah lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali masalah hukum. Bicara soal hukum, banyak sekali hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hal tersebut. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh para imam hadis terkemuka. Di antara hadis-hadis tersebut, ada sejumlah hadis sahih mengenai hukum yang disepakati oleh dua imam hadis paling terkemuka, yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadis-hadis semacam itu sering disebut muttafaq ‘alaihi. Hadis-hadis hukum yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim merupakan hadis hukum yang paling tinggi derajat kesahihannya, karena itu sangat layak dijadikan rujukan utama dalam pengambilan keputusan mengenai masalah hukum. Bila ada dalil yang menyatakan boleh, bahkan harus, kaum Muslim harus mengerjakannya. Sebaliknya, bila ada dalil yang menyatakan terlarang, sampai kapanpun kaum Muslim tidak diperkenankan mendekatinya, apalagi melakukannya. Buku yang ditulis oleh Taqiyuddin Abdul Ghaniy ini mengumpulkan hadishadis sahih seputar hukum yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Penulis membagi bukunya men- A Judul : Penulis : Penerbit : Cetakan : Tebal : Hadis-Hadis Shahih Seputar Hukum Taqiyuddin Abdul Ghaniy Republika Penerbit I, Agustus 2011 viii+401 halaman jadi 20 kitab atau pembahasan, dimulai dari taharah, shalat, zakat, puasa, dan haji. Kemudian, perdagangan, wasiat, pembagian harta warisan, pernikahan, perceraian, li’an (saling melaknat), saudara sesusuan, qishash, dan tindak pidana. Selain itu, sumpah dan nazar, makanan, minuman, pakaian, jihad, dan memerdekakan budak. Buku ini sangat perlu dibaca oleh kaum Muslimin, baik pejabat pemerintah, politikus, anggota dewan, guru, pengusaha, ulama, santri, para pemuda, ibu rumah tangga, maupun siapa pun. Dengan mengetahui dalil-dalil hukum yang paling sahih, insya Allah, kaum Muslim dapat senantiasa menjaga dirinya agar melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. n irwan kelana, ed: wachidah handasah