KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sekilas Kinerja Integritas, Nilai-nilai perangkat Nilai-nilai Keuangan sehingga Keuangan Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan, ditetapkan sebagai Kementerian Keuangan, diharapkan akan selalu menjiwai setiap insan Kementerian Keuangan dalam memberikan baktinya kepada nusa dan bangsa. tersebut sangat vital mengingat skala organisasi Kementerian yang besar dengan ruang lingkup dan beban kerja yang besar pula, gerak langkah dari pejabat dan pegawai di lingkungan Kementerian akan memberikan dampak yang signifikan bagi banyak pihak. Dengan menjiwai nilai-nilai tersebut, unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan baik dari tingkat pimpinan tertinggi sampai pelaksana pada umumnya akan mampu mencapai beragam target Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan pada tahun 2011. Salah satu target IKU yang dicapai adalah keberhasilan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan mendapatkan opini yang terbaik dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Capaian ini merupakan peningkatan apabila dibandingkan dengan laporan keuangan pada tahun anggaran 2009 dan 2010 yang masing-masing memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Capaian yang cukup menonjol lainnya di tahun 2011, yaitu rata-rata efisiensi dari unit-unit kerja di Lingkungan Kementerian Keuangan adalah 0,97 dengan prestasi unit mendapatkan nilai B atau baik. Rata-rata efisiensi tersebut berdasarkan perhitungan beban kerja Kementerian Keuangan, yaitu sebesar 80.226.794,71 jam yang merupakan akumulasi beban kerja dari 12 unit eselon I, dan dilaksanakan oleh 55.882 pegawai, sehingga setiap pegawai Kementerian Keuangan telah menyelesaikan beban kerja sebanyak 1.437,06 jam dalam tahun 2011. Untuk melaksanakan beban kerja dan mencapai target indikator-indikator kinerja tahun 2011 tersebut, Kementerian Keuangan telah merealisasikan belanja neto sebesar Rp16,10 triliun atau 92,81 persen dari pagunya sebesar Rp17,35 triliun dan mengalami kenaikan sebesar Rp1,83 triliun atau 12,78 persen jika dibandingkan dengan realisasi belanja pada tahun 2010 sebesar Rp12,30 triliun. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi 01 02 03 04 2 | Sekilas Kinerja Daftar Isi Peristiwa Penting Pengesahan Undang-Undang Visi & Misi Sambutan Menteri Keuangan Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Eselon I Kementerian Keuangan Profil Pejabat Kementerian Keuangan Struktur Organisasi 01 02 06 15 16 18 22 24 30 BAB 1: PENDAHULUAN 34 BAB 2: 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. PROFIL KEMENTERIAN KEUANGAN Profil Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi di Bidang Sumber Daya Manusia Inisiatif Strategis Laporan Keuangan Kementerian Keuangan 40 40 42 45 47 BAB 3: 3.1. 3.2. PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL Penyusunan Asumsi Ekonomi Makro Perkembangan Kebijakan dan Realisasi Pengelolaan Ekonomi Makro 52 52 54 BAB 4: 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 4.10. PENERIMAAN NEGARA Kinerja Perpajakan Penyempurnaan Kebijakan Perpajakan Penggalian Potensi Perpajakan Penegakan Hukum Penyelesaian Sengketa Perpajakan Penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar dan Cukai Pengawasan dan Penindakan Kepabeanan dan Cukai Perkembangan Indonesian National Single Window (INSW) Penerimaan Negara Bukan Pajak Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam 66 66 69 73 77 80 82 83 87 89 LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 94 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 05 06 07 BAB 5: 5.1. 5.2. 5.3 5.4. 5.5. BELANJA NEGARA Reformasi Penganggaran Penyusunan APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2011 Belanja Pusat Terobosan Penyusunan APBN Tahun Anggaran 2012 Langkah - Langkah Percepatan Pelaksanaan APBN 2012 96 96 98 101 102 103 BAB 6: 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. PERIMBANGAN KEUANGAN Transfer ke Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pinjaman, Hibah dan Kapasitas Daerah Evaluasi Pendanaan, Akuntansi dan Pelaporan serta Informasi Keuangan Daerah 106 106 123 126 PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA Peningkatan Pelayanan Perbendaharaan Penilaian Kinerja Pelayanan Publik/Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan Peringkat Tertinggi Survei Opini Stakeholder terhadap Layanan Kementerian Keuangan Hasil Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi Standarisasi Sarana dan Prasarana Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Perencanaan Kas Remunerasi Atas Penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum Pembentukan Treasury Dealing Room Bank Indonesia Government Electronic Banking Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam Penyempurnaan Tata Cara Pembebanan Dana PHLN Melalui Mekanisme Rekening Khusus 144 144 BAB 7: 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6. 7.7. 7.8. 7.9. 7.10. 7.11. 7.12. 7.13. 7.14. www.kemenkeu.go.id | 132 146 147 147 148 149 151 154 155 157 158 159 160 160 LAPORAN TAHUNAN 2011 | 3 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi 4 08 BAB 8: 8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 8.5. PENGELOLAAN PEMBIAYAAN MELALUI UTANG Pendahuluan Kebijakan Pembiayaan Utang Sumber dan Penggunaan Pembiayaan Utang Capaian Pengelolaan Utang Isu Terkini dalam Pengelolaan Utang 162 162 163 164 167 170 09 BAB 9: 9.1. 9.2. 9.3. 9.4. 9.5. 174 174 174 178 180 9.6. PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA Arah dan Strategi Pengelolaan Kekayaan Negara Utilisasi Kekayaan Negara Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara Pengelolaan Investasi Pemerintah Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian Aset eks-Kontraktor Kontrak Kerja Sama Perkembangan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina 10 BAB 10: 10.1. 10.2. 10.3. 10.4. 10.5. INDUSTRI PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK Kinerja Pasar Modal Kinerja Industri Keuangan Non Bank Penegakan Hukum Regulasi Infrastruktur Penunjang Industri Keuangan 188 188 193 197 201 203 11 BAB 11: 11.1. 11.2. 11.3. KERJA SAMA INTERNATIONAL Kebijakan Hubungan dan Kerja sama Internasional Kerja sama Internasional di Bidang Perpajakan Kerja sama Internasional di Bidang Kepabeanan dan Cukai 206 206 217 220 12 BAB 12: 12.1. 12.2. 12.3. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil Nilai-Nilai Kementerian Keuangan 222 222 228 231 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 181 182 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 13 BAB 13: 13.1. 13.2. 13.3. 13.4. 13.5. 13.6. 13.7. 14 PENGAWASAN INTERN KEMENTERIAN KEUANGAN Peran Strategis Pengawasan Intern Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Pelaksanaan Pengawasan yang Memberi Nilai Tambah Penegakan Hukum dan Disiplin Tantangan Pengawasan Intern Tahun 2012 236 236 237 238 239 240 242 246 248 BAB 14: PENUTUP www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 5 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Peristiwa Penting 2011 Pembukaan Bursa 2011 3 Januari 2011 Presiden RI bersama Menteri Keuangan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia membuka perdagangan saham perdana tahun 2011 di Bursa Efek Indonesia. Presiden memberikan apresiasi atas prestasi industri pasar modal tahun 2010. Tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2010 merupakan indeks dengan kinerja terbaik se-Asia Pasifik. Indeks saham pada akhir perdagangan 2010 ditutup pada 3.703,51 poin atau menguat sebesar 46,13 persen. Penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi Pejabat Negara 18 Maret 2011 Presiden RI bersama kabinet Indonesia Bersatu II menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta. Tema yang diangkat pada tahun 2011 adalah “Peran Ibu dan Anak dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Membayar Pajak.” Tema ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman mengenai pentingnya pajak dalam kehidupan keluarga. AFMM ke-15 7 – 8 April 2011 Indonesia yang menduduki posisi Keketuaan (Chair) Association of South East Asia Nations (ASEAN) tahun 2011, menjadi tuan rumah ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM) 2011 yang diselenggarakan pada tanggal 7 – 8 April 2011 di Nusa Dua, Bali. 6 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Konferensi Pers Pertemuan G20 14 – 15 April 2011 Menteri Keuangan hadir dalam pertemuan G20, di Washington D.C. yang menyorot sektor komoditas pangan dan energi. Selain itu, pertemuan G20 juga menyikapi terjadinya ketidakseimbangan global (global imbalance). Pertemuan tersebut menyepakati dilakukannya proses identifikasi dengan menggunakan acuan norma struktural dan statistik terhadap beberapa indikator makro negara anggota G20. The 18th Asean Summit 6-7 Mei 2011 ASEAN Summit yang dibuka oleh Presiden RI di Jakarta, dihadiri oleh para pemimpin dari 10 negara yaitu Sultan Brunei Darussalam, Perdana Menteri Kamboja, Perdana Menteri Laos, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri Myanmar, Presiden Filipina, Perdana Menteri Thailand, dan Perdana Menteri Vietnam serta perwakilan Perdana Menteri Singapura. Acara pembukaan juga dihadiri para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Menteri Ekonomi dan Menteri Luar Negeri Negara Anggota ASEAN, para Duta Besar negara sahabat, serta delegasi dari seluruh Negara Anggota ASEAN. The Islamic Development Bank (IDB) Group Day and The Launching of The Member Country Partnership Strategy for The Republic of Indonesia 11 Mei 2011 Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menghadiri acara The Islamic Development Bank (IDB) Group Day and The Launching of The Member Country Partnership Strategy (MCPS) for The Republic of Indonesia di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. MCPS difokuskan untuk mendukung pengembangan peluang yang muncul pada masing-masing negara anggota. Dukungan tersebut diprioritaskan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi seperti pembangunan akses antar wilayah, pembangunan daerah untuk mewujudkan kondisi perkotaan, pasokan air dan jaringan distribusi, pencapaian ketahanan pangan, pengembangan sektor UKM, melalui akses murah untuk pengembangan keterampilan, ketersediaan listrik dan investasi. Dalam hal ini, Menteri Keuangan mewakili Pemerintah Indonesia menyambut baik langkah IDB untuk mengembangkan Islamic Finance dan mengapresiasi rencana pengembangan potensi ekonomi lainnya di Indonesia. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 7 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Peristiwa Penting 2011 Peluncuran MP3EI 27 Mei 2011 Pemerintah meluncurkan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Jakarta. MP3EI sangat diperlukan mengingat masterplan tersebut akan menjadikan berbagai kebijakan dan strategi yang ditempuh Pemerintah menjadi lebih jelas. Dalam sambutannya, Presiden menyampaikan bahwa ini merupakan salah satu upaya pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran, sehingga kesejahteraan rakyat dapat terus meningkat. Opini WDP Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 1 Juni 2011 BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010. BPK memberikan penghargaan kepada Pemerintah yang telah banyak mengikuti rekomendasi BPK sehingga opini pada kementerian negara/lembaga (KL) banyak mengalami peningkatan. “Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2010 mendapat WDP, begitu banyak catatan. Kita niat tahun 2011 ini, LKPP kita naik jadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” kata Menteri Keuangan. Capital Market Awards 8 Juli 2011 Menteri Keuangan menghadiri Capital Market Awards tahun 2011 yang diadakan oleh PT Bursa Efek Indonesia bersama dengan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, di Jakarta. Acara yang bertema ‘Good Corporate Governance to Support Sustainable Growth’ ini bertujuan untuk memberi apresiasi dan motivasi kepada pelaku pasar modal di Indonesia, khususnya emiten dan anggota bursa agar terus melakukan perbaikan dari aspek bisnis maupun Good Corporate Governance. 8 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Launching Nilai-Nilai Kementerian Keuangan 29 Juli 2011 Mengusung nilai-nilai Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan, Kementerian Keuangan meluncurkan secara resmi nilai-nilai Kementerian Keuangan di Aula Utama Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta. Acara dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan dan dihadiri oleh seluruh Eselon 1 Kementerian Keuangan. “Masing-masing unit eselon perlu membangun satu kesatuan value di lingkungan Kementerian Keuangan. Tujuannya agar mendapatkan nilainilai yang baik dan disegani,” tegas Menteri Keuangan. Annual Report Award 14 September 2011 Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Bank Indonesia, Bursa Efek Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance, dan Ikatan Akuntan Indonesia menyelenggarakan Annual Report Award (ARA) tahun 2010. Ajang tahunan yang diselenggarakan di Hotel Ritz Calton, SCBD, Jakarta. ini merupakan penghargaan atas akuntabilitas dan keterbukaan perseroan kepada publik atau pemegang saham. Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2011 19 September 2011 Wakil Presiden RI membuka Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2011 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan. Rakernas yang bertemakan Keuangan “Peningkatan Pemerintah dalam Kinerja Rangka Pengelolaan Mewujudkan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah yang Berkualitas” tersebut dihadiri selurun pimpinan lembaga negara dan kementerian. Menteri Keuangan dalam laporannya menyebutkan, acara tahunan ini ditujukan untuk terus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas laporan keuangan Pemerintah. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 9 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Peristiwa Penting 2011 Sensus Pajak Nasional 30 September 2011 Menteri Keuangan didampingi Gubernur DKI meresmikan peluncuran program Sensus Pajak Nasional di JITEC Mangga Dua Square, Jakarta. Sensus Pajak Nasional merupakan program penggalian potensi perpajakan melalui kegiatan pendataan objek pajak. Di sisi lain Sensus Pajak Nasional dapat dipandang sebagai upaya menegakkan keadilan di bidang perpajakan dimana seluruh subjek pajak kembali diingatkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Asian Roundtable on Corporate Governance 3 Oktober 2011 Menteri Keuangan, Deputi Sekretaris Jenderal Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Chair OECD Corporate Governance Committee, Head of Regulation Impact Analysis Office Commissione Nazionale per le Societa e la Borsa, Italia serta perwakilan dari 19 negara-negara OECD menghadiri acara “The 2011 Asian Roundtable on Corporate Governance”. Agenda utama pada acara yang diadakan di Bali ini adalah merumuskan kebijakan dalam menyikapi berbagai tantangan serta prioritas reformasi di kawasan Asia dalam peningkatan corporate governance berdasarkan the White Paper on Corporate Governance in Asia dan OECD Principles on Corporate Governance. Launching Aplikasi WiSe 5 Oktober 2011 Menteri Keuangan meresmikan aplikasi Whistleblowing System (WiSe) di Jakarta. Aplikasi ini disediakan bagi pegawai/pejabat Kementerian Keuangan maupun masyarakat luas yang ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran dan/ atau ketidakpuasan pelayanan yang diberikan dan terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan. Aplikasi ini juga akan mempermudah pengelolaan dan tindak lanjut pelaporan pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/ PMK.09/2010 serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 149/ KMK.09/2011. 10 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Proyek PLN CJPP 6 oktober 2011 Pemerintah Kementerian Republik Indonesia Keuangan), PT (yang diwakili Penjaminan oleh Infrastruktur Indonesia (PERSERO) (PII), dan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) menandatangani Perjanjian Penjaminan untuk Perjanjian Jual Beli Listrik antara PT Bhimasena Power Indonesia dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (PLN). Perjanjian Jual Beli Listrik ini mencakup pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara berkapasitas 2.000 MW di Propinsi Jawa Tengah (Central Java Power Plant/CJPP) dan penyediaan listrik ke PLN selama 25 tahun. Adapun total investasi proyek ini sekitar USD4 miliar. Ini merupakan skema kerja sama antara Pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership) yang pertama kali direalisasikan di Indonesia dengan jaminan yang disediakan oleh PII/IIGF. Investor Summit dan Capital Market Expo 5 Oktober 2011 Menteri Keuangan membuka Investor Summit and Capital Market Expo 2011 di Jakarta. Expo kali ini merupakan perhelatan yang keenam dengan mengusung tema “Investing in Capital Markets: A Journey for a Better Future”. Acara yang digagas Self Regulatory Organization (SRO) yaitu BEI, KSEI dan KPEI tersebut, mengajak semua pihak baik Pemerintah dan swasta, untuk bersama menjaga dan memperkuat ekonomi domestik untuk meminimalisir dampak dari perekonomian global. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 11 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Peristiwa Penting 2011 2nd Annual Meeting Financial Policy Dialogue Framework GOI-JBIC 24 Oktober 2011 Kementerian Keuangan RI menyelenggarakan Pertemuan Tahunan kedua untuk Financial Policy Dialogue Framework antara Pemerintah Indonesia (GOI) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), cabang internasional dari Japan Finance Corporation. Dalam sambutannya, Menteri Keuangan menyoroti beberapa kebijakan baru dalam hal pembiayaan infrastruktur, terutama dalam mendukung pelaksanaan Kemitraan publik-swasta (Public-private Partnership / PPP) di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, JBIC menjelajahi gagasan tentang “Kemitraan untuk Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur” dengan tujuan untuk mempercepat persiapan tepat waktu untuk kelancaran pelaksanaan proyek infrastruktur yang berkualitas (quickwins) sebagaimana dimaksud dalam Pemerintah pada Master Plan (MP3EI) yang diumumkan pada Mei 2011 lalu) pada sektor swasta dan PPP di Indonesia. Pengesahan UU APBN 28 Oktober 2011 DPR mengesahkan RUU APBN 2012 menjadi UU APBN 2012. Dalam sistem penganggaran ini, Pemerintah menyempurnakan APBN 2012 dengan mengkombinasikan penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, prakiraan maju, penganggaran berbasis kinerja, dan penyusunan inisiatif baru (sesuai dengan PP Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga), serta penerapan kebijakan reward and punishment. The ASEAN Finance Ministers’ Investor Seminar (AFMIS) ke-8 8 November 2011 Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan AFMIS ke-8 yang mengusung tema Growth and Resiliency - the ASEAN Story atau Pertumbuhan dan Daya Tahan Ekonomi. AFMIS merupakan kesempatan yang baik bagi negara-negara ASEAN, untuk menyampaikan perkembangan ekonomi dan sosial di kawasan ASEAN 12 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penghargaan Best Sovereign Bond Desember 2011 Kementerian Keuangan diwakili oleh Wakil Menteri Keuangan II menerima penghargaan dari majalah FinanceAsia berupa “Best Sovereign Bond-Republic of Indonesia $2.5 billion 10-year bond” pada Desember 2011. Penghargaan tersebut diberikan kepada Indonesia atas prestasinya dalam menerbitkan obligasi negara berdenominasi dolar AS di pasar global (global market) pada Mei 2011 dengan tenor 10 tahun sebesar 2,5 miliar dolar AS. Penerbitan obligasi global tersebut dinilai menunjukkan performa mengesankan karena total pemesanan mencapai 6,9 miliar dolar. Penyerahan DIPA TA 2012 oleh Presiden RI Kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur 20 Desember 2011 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2012 resmi diserahkan oleh Presiden kepada para pengguna anggaran di Istana Negara, Jakarta. Menteri Keuangan menyatakan penyerahan DIPA dilakukan sebelum tahun anggaran berjalan agar pelaksanaan anggaran bisa dilakukan tepat waktu. “Agar masyarakat bisa langsung merasakan dampak pembangunan,” kata Menteri Keuangan. G20 High Level Roundtable 20 Desember 2011 G20 High Level Roundtable : From Cannes 2011 to Los Cabos 2012 diselenggarakan Jakarta. Pertemuan tingkat pejabat tinggi ini ditujukan sebagai sarana diseminasi informasi mengenai hasil-hasil pertemuan dan perkembangan isu-isu G20 selama keketuaan (chairmanship) Perancis. Selain itu, dipaparkan pula perkembangan ekonomi global terkini, khususnya menyangkut krisis keuangan yang melanda negara-negara Eropa. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 13 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Peristiwa Penting 2011 Penerimaan Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya tahun 2011 pada puncak acara peringatan hari Ibu ke-83 22 Desember 2011 Kementerian Keuangan mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Madya pada Tahun 2011 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diserahkan langsung oleh Presiden RI atas komitmen tinggi dalam upaya memujudkan Keadilan & Kesetaraan Gender. Penghargaan tersebut diberikan atas komitmen Kementerian Keuangan dalam mengimplementasikan strategi pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak di berbagai sektor pembangunan. Pemberian penghargaan APE tersebut merupakan rangkaian puncak Peringatan Hari Ibu ke-83 pada 22 Desember ini, yang diadakan di Balai Kartini Jakarta. Peresmian SSO, INTR dan BTKI 2012 29 Desember 2011 Menteri Keuangan meresmikan Peluncuran Single Sign On (SSO), Indonesia National Trade Repository (INTR) dan Penerapan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012 dalam Kerangka Implementasi National Single Window (NSW) di Kantor Pusat Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta. Dengan adanya SSO, maka para eksportir, importir dan pengguna jasa pelayanan NSW lainnya akan lebih mudah memanfaatkan semua pelayanan perizinan dan informasi secara elektronik (in-house system) yang disediakan oleh 18 unit penerbit perizinan dalam kegiatan impor ekspor dari 15 Kementerian/Lembaga yang terintegrasi dalam sistem NSW. Penutupan Perdagangan Efek Sesi Terakhir 30 Desember 2011 Menteri Keuangan bersama Wakil Menteri Keuangan I, Ketua Bapepam, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, serta Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, mengakhiri perdagangan saham sesi hari terakhir tahun 2011. IHSG sepanjang tahun 2011 mencatat kenaikan sebesar 3,2 persen year to date, dan pada tahun 2011 tersebut, IHSG ditutup pada level 3.821,99. 14 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pengesahan Undang-Undang Kementerian Keuangan senantiasa berupaya menyempurnakan regulasi yang mendasari berbagai aspek pengelolaan keuangan negara. Tujuannya adalah agar pengelolaan keuangan negara dapat berlangsung secara optimal untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Di sepanjang tahun 2011, terdapat dua rancangan undang-undang (RUU) dan lima undang-undang (UU) yang telah disahkan/ditandatangani, yaitu: No Acara Tanggal 1. Pengesahan Rancangan UndangUndang RI Nomor 5 tentang Akuntan Publik 5 April Indonesia dipandang memerlukan suatu UndangUndang yang mengatur tentang Akuntan Publik. Akuntan publik merupakan suatu profesi yang jasa dan hasil pekerjaannnya digunakan secara luas oleh publik, sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan ekonomi. Selain itu Akuntan Publik berperan dalam meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi keuangan atau laporan keuangan suatu entitas. Deskripsi 2. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang 31 Mei Undang-Undang ini merupakan bentuk upaya untuk mengangkat harkat dan martabat mata uang Rupiah sebagai legal tender atau alat pembayaran yang sah dan satu-satunya dalam kegiatan perekonomian di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, setiap transaksi yang terjadi di wilayah NKRI harus menggunakan mata uang rupiah. 3. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 27 Oktober Undang-undang Otorisasi Jasa Keuangan (OJK) merupakan langkah fundamental dan strategis Pemerintah dalam menghadapi situasi keuangan Indonesia yang makin kompleks dan dinamis. Undangundang tersebut dibuat berdasarkan pembelajaran dan evaluasi keuangan dalam satu dasawarsa terakhir, dengan tujuan untuk mengukuhkan otoritas yang lebih berpihak pada konsumen. 4. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 28 oktober Pemerintah menyempurnakan APBN 2012 dengan mengkombinasikan penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, prakiraan maju, penganggaran berbasis kinerja, dan penyusunan inisiatif baru (sesuai dengan PP Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga), serta penerapan kebijakan reward and punishment. 5. Penandatanganan Rancangan Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 28 oktober BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS ini adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 15 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Visi & Misi 16 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Visi Menjadi pengelola keuangan negara yang dipercaya, akuntabel dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera demokratis dan berkeadilan. Misi Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai 4 misi, yaitu: (i) Misi Fiskal Mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent) dan bertanggungjawab. (ii) Misi Kekayaan Negara Mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, efisien dan bertanggungjawab. (iii) Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global. (iv) Misi Penguatan Kelembagaan 1. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat. 2. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegrasi tinggi dan bertanggungjawab. 3. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang moderen dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 17 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sambutan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo Menteri Keuangan 18 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Reformasi Birokrasi menjadi langkah awal Kementerian Keuangan untuk mengawal pelaksanaan amanat pengelolaan keuangan negara, dan dalam menghadapi tantangan gejolak ekonomi global. Meskipun diwarnai berbagai pro dan kontra dalam pelaksanaannya, Kementerian Keuangan senantiasa menjalankan tugas dan fungsi dalam menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara dengan sebaik-baiknya. Faktor pendukung keberhasilan program Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan sendiri, berupa esprit de corps dan value yang harus diinternalisasikan dan diaplikasikan dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Value organisasi menjadi landasan dalam menentukan arah pikiran, tindakan dan pengambilan keputusan. Sebuah organisasi sebesar Kementerian Keuangan memerlukan panduan untuk mengatur standar perilaku bagi anggota organisasinya. Masing-masing unit eselon I sebenarnya telah memiliki value, yang pada intinya tatanan moral bagi jajarannya. Dalam rangka menyatukan gerak langkah dan semangat, maka ragam value yang ada disatukan dalam satu jiwa yaitu Nilai-nilai Kementerian Keuangan. Maka pada tahun 2011, Kementerian Keuangan meluncurkan Nilai-nilai tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011. Pada dasarnya, Nilai-nilai Kementerian Keuangan itu merupakan sublimisasi dari nilai-nilai Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap unit. Nilai-nilai inilah yang menjadi pedoman perilaku setiap pegawai di Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Nilai-nilai ini juga merupakan perangkat Kementerian Keuangan untuk dapat menciptakan keselarasan dalam rangka mencapai visi, misi, dan sasaran strategis yang telah ditetapkan. Sebagaimana diketahui bersama, Kementerian Keuangan diamanatkan untuk mengelola keuangan dan kekayaan negara dengan cita-cita yang tercermin dalam visinya yaitu menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya, Akuntabel dan Terbaik di Regional untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan.Visi ini dijabarkan kembali dalam beberapa misi yang meliputi misi bidang fiskal, misi bidang kekayaan negara, misi pasar modal dan lembaga keuangan, serta misi penguatan kelembagaan. Melaksanakan amanat sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara bukanlah perkara yang mudah. Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan rakyat, Kementerian Keuangan menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa: pertama, masih rendahnya tingkat investasi terhadap PDB; kedua, pembangunan infrastruktur yang masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN; ketiga, iklim usaha yang belum kondusif; dan keempat, krisis ekonomi global yang mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia. Menyadari hal tersebut, Kementerian Keuangan berupaya menjaga ketahanan perekonomian Indonesia dengan membentuk program-program internal dan menetapkan kebijakan fiskal maupun asumsi ekonomi makro. Beberapa program internal yang telah dibentuk oleh Kementerian Keuangan antara lain pembangunan pola manajemen yang berorientasi pada hasil yang dapat diukur melalui Key Performance Indicator (KPI), meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing, serta membangun dan meningkatkan koordinasi antar satuan kerja dalam lingkungan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga telah membentuk mekanisme untuk mengawasi kualitas integritas pegawai dengan media yang dinamakan Whistleblowing System (WISE) melalui penerbitan KMK No.149/KMK.09/2011, sebagai upaya dalam meminimalisir korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pencegahan dan pemberantasan korupsi juga dilaksanakan melalui sosialisasi anti korupsi serta penegakan hukum dan disiplin pegawai melalui penerapan reward and punishment yang dipantau melalui pengawasan internal Kementerian Keuangan. Disisi lain, pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI) pada masing-masing unit kerja Kementerian Keuangan diharapkan dapat semakin memperkuat supervisi manajemen dan meningkatkan kualitas pemantauan pengendalian internal Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 19 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kemudian, untuk antisipasi dan penanganan krisis, Kementerian Keuangan bersama dengan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah membentuk prosedur khusus dalam menghadapi situasi krisis yang dinamakan Crisis Management Protocol (CMP). Dalam hal ini, CMP merupakan salah satu strategi fiskal yang dijalankan Pemerintah dan bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan Indonesia untuk menangani krisis serta dampaknya. CMP ini juga didukung dengan mekanisme peringatan dini untuk mendeteksi apakah krisis ekonomi global mulai berdampak ke Indonesia. Sementara itu, perumusan dan penetapan kebijakan fiskal diarahkan kepada peningkatan stimulus dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal yang dijabarkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal. Secara sektoral, Pemerintah juga terus berupaya mendorong dan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan iklim investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan daya saing industri dan produk ekspor, serta peningkatan ketahanan pangan nasional termasuk stabilisasi harga. Setelah melewati perjalanan panjang, maka pada tahun 2011 ini, BPK memberikan Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010. Hal ini merupakan prestasi yang baik mengingat LKPP tahun 2010 mencakup seluruh aspek keuangan yang dikelola oleh seluruh entitas Pemerintah Pusat seperti 8 Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BUN), 76 Kementerian Negara/Lembaga (K/L), beserta jenjang struktural di bawahnya. Capaian ini merupakan hasil kerja keras Pemerintah untuk menjaga kualitas akuntabilitas keuangan negara yang sejalan dengan kualitas LKBUN dan LKK/L. Ini merupakan kali kedua BPK memberikan LKPP dengan status WDP. Beberapa perbaikan dalam hal (i) permasalahan penagihan, pengakuan, dan pencatatan piutang perpajakan; (ii) pencatatan uang muka BUN tidak memadai; (iii) permasalahan dalam pengendalian atas pencatatan Piutang Pajak, dan (iv) permasalahan dalam pelaksanaan invetarisasi dan penilaian aset tetap masih sangat diperlukan untuk mencapai status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun selanjutnya. Sama halnya dengan LKPP, BPK juga memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (LKKK) tahun 2010. Ini merupakan ketiga kalinya LK Kementerian Keuangan mendapat opini WDP dari BPK. Meskipun jumlah temuan dari tahun ke tahun terus menurun, namun beberapa catatan terkait data transaksi reversal dan penagihan PBB Migas akan menjadi catatan penting bagi Kementerian Keuangan yang optimis mencapai status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun mendatang. Tidak hanya itu, pada tahun 2011 lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings juga memberikan penghargaan investment grade kepada perekonomian Indonesia sebagai bentuk pengakuan terhadap kokohnya fundamental ekonomi makro Indonesia. Hal ini tercermin pada beberapa indikator makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun dengan kisaran 26 persen, serta defisit anggaran di bawah 2,5 persen. Fundamental ekonomi yang kuat ini pada kenyataanya mampu meminimalkan dampak dari gejolak ekonomi global. Pencapaian peringkat investment grade memiliki nilai sangat penting, karena akan berpengaruh pada pandangan dunia terhadap perekonomian Indonesia dan memperbesar peluang untuk bisa meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia. Pengakuan lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings, disusul pula oleh Moody’s Investor Service yang menaikkan peringkat utang Indonesia ke level layak investasi. Moody’s menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi Baa3 dari Ba1 dengan outlook stable. Kita patut berbangga dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sepanjang tahun 2011 perekonomian Indonesia dinyatakan memiliki daya tahan yang kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Hal ini tercermin pada kinerja pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen dengan kontrol inflasi pada level yang rendah sebesar 3,79 persen 20 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dan kestabilan makro ekonomi yang tetap terjaga. Peningkatan kinerja tersebut disertai dengan perbaikan kualitas pertumbuhan yang tercermin dari tingginya peran investasi dan ekspor sebagai sumber pertumbuhan, penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah yang semakin membaik. Outlook pertumbuhan ekonomi inilah yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang patut diperhitungkan di kancah internasional. Dalam mendukung percepatan pertumbuhan yang telah ditetapkan dalam Marsterplan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan percepatan infrastruktur, Kementerian Keuangan senantiasa memperbaiki sistem kinerja keuangan bidang anggaran melalui perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam membiayai penyelenggaraan negara yang meliputi Pemerintahan dan pembangunan. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam kerangka APBN. Untuk melihat secara lebih rinci seluruh kebijakan, program, dan capaian kinerja Kementerian Keuangan, maka kami merangkum dan menyajikannya dalam bentuk Laporan Tahunan Kementerian Keuangan (LTKK) periode tahun 2011. Pada kesempatan kali ini, melalui LTKK ini saya berharap, stakeholders Kementerian Keuangan mendapatkan pemahaman lebih banyak mengenai tupoksi Kementerian Keuangan dan bentuk tanggung jawab Kementerian Keuangan kepada para stakeholders, serta untuk melaksanakan keterbukaan informasi yang seluas-luasnya dalam hal pengelolaan keuangan dan kekayaan negara. Tak lupa saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pejabat dan pegawai Kementerian Keuangan yang pada tahun 2011 ini telah memasuki masa purnabhakti, dan telah menyelesaikan tugasnya selama ini dengan profesional dan penuh integritas di Kementerian Keuangan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada seluruh pejabat dan pegawai atas kerja kerasnya selama tahun 2011 dengan tetap berada dalam koridor Reformasi Birokrasi dengan memegang teguh dan menjiwai Nilai-nilai Kementerian Keuangan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan yang dicapai Kementerian Keuangan pada tahun 2011 merupakan bentuk sinergi dari seluruh elemen di Kementerian Keuangan serta dukungan dan kerja sama masyarakat dan stakeholders. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa terus bekerja dengan hati dan berkarya untuk menjadi yang terbaik dalam mewujudkan perekonomian yang adil dan merata demi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Saya juga berharap, nilai-nilai yang luhur yang telah kita miliki dapat selalu diterapkan dan menjiwai pelaksanaan tugas kita sebagai abdi negara, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan. Semua yang kita lakukan ini semata adalah demi bakti kita kepada Nusa dan Bangsa. Jakarta, September 2012 Menteri Keuangan Republik Indonesia Agus D.W. Martowardojo www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 21 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Eselon I Keuangan 11 22 12 6 10 4 1. Agus DW Martowardojo Menteri Keuangan 5. Herry Purnomo Direktur Jenderal Anggaran 2. Anny Ratnawati Wakil Menteri Keuangan I 6. Ahmad Fuad Rahmany Direktur Jenderal Pajak 3. Mahendra Siregar Wakil Menteri Keuangan II 7. Agung Kuswandono Direktur Jenderal Bea dan Cukai 4. Kiagus Ahmad Badaruddin Sekretaris Jenderal 8. Agus Suprijanto Direktur Jenderal Perbendaharaan | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 2 15 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 14 1 13 5 7 9. Hadiyanto Direktur Jenderal Kekayaan Negara 10. 11. 12. 9 3 8 13. Marwanto Harjowiryono Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Nurhaida Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 14. Rahmat Waluyanto Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Bambang Brodjonegoro Kepala Badan Kebijakan Fiskal 15. Kamil Sjoeib Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Vincentius Sonny Loho Inspektur Jenderal www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 23 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Profil Pejabat Kementerian Keuangan Lahir pada tahun 1956. Menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia. Mengikuti berbagai pendidikan di institusi, seperti State University of New York, Harvard Business School, Standford University, dan Wharton Executive Education. Memulai karir perbankan di Bank of America, kemudian pada tahun 1986 bergabung dengan PT Bank Niaga dan terakhir menduduki posisi sebagai Vice President-Corporate Banking Head, Corporate Banking Group. Pada tahun 1995 menjadi Direktur Utama PT Bank Bumiputera dan pada tahun 1998 ditugaskan sebagai Direktur Utama PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero). Agus D.W. Martowardojo Menteri Keuangan Kemudian selama kurun 1999-2002 bertugas sebagai Managing Director Bank Mandiri yang membawahi berbagai bidang, seperti Risk Management & Credit Restructuring, Retail Banking & Operations, dan terakhir memimpin Bidang Human Resources & Support Services. Pada bulan Oktober 2002, setelah menjabat sebagai Penasehat Ketua BPPN, ditugaskan menjadi Direktur Utama PT Bank Permata Tbk. Selanjutnya, sejak bulan Mei 2005 hingga Mei 2010 memimpin PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai Direktur Utama. Pada tanggal 20 Mei 2010 dilantik sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Republik Indonesia. Penghargaan yang pernah diraih adalah Indonesia’s Best Executive in 2009 yang dianugerahkan oleh Asiamoney dan The Indonesian Banker Leadership Achievement Award 2010 dari The Asian Banker. Anny Ratnawati Wakil Menteri Keuangan I Mahendra Siregar Wakil Menteri Keuangan II 24 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id Lahir di Yogyakarta pada tanggal 24 Februari 1962. Meraih gelar Sarjana Agribisnis dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1985, kemudian lulus Magister Ekonomi Pertanian pada tahun 1989 dan Doktor Ekonomi Pertanian pada tahun 1996 dari kampus yang sama. Sebelum dilantik oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Wakil Menteri Keuangan I sejak tanggal 20 Mei 2005, pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mulai tanggal 25 Februari 2008 hingga bulan Juli 2008. Selanjutnya dilantik menjadi Direktur Jenderal Anggaran hingga 20 Mei 2010. Beberapa kali mendapat penghargaan sebagai Dosen Teladan, antara lain dari Bogasari Awards pada tahun 2002, IPB pada tahun 2002 dan 2005, serta Bukopin Bank ODP Education Throughout Indonesia pada tahun 2007. Lahir di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1962. Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1986 dan Master Ekonomi dari Monash University, Australia, tahun 1991. Bergabung di Kementerian Luar Negeri pada 1986 dan pernah menjabat sebagai Economic Third Secretary pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London tahun 1992 hingga 1995. Pada tahun 1998 hingga 2001 menjadi Counselor Penerangan KBRI di Washington, D. C. dan tahun 2001 juga bergabung dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai staf ahli. Tahun 2005 menjadi Deputi Menteri Bidang Koordinasi Kerjasama Internasional hingga tahun 2009 dan sempat menjadi Chairman dan CEO Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia selama 5 tahun. Pernah ditugaskan mewakili Pemerintah Indonesia di berbagai pertemuan dan organisasi internasional. Termasuk tahun 2007 hingga 2008 menjadi anggota Adaptation Fund Brand UNFCCC mewakili Asia dan sejak 2009 hingga saat ini menjadi Sherpa Presiden RI di G20. Pernah menjabat Komisiaris mewakili Pemerintah Indonesia pada PT Dirgantara Indonesia, PT Aneka Tambang, Tbk., PT Rajawali Nusantara Indonesia dan saat ini menjadi Komisiaris Utama PT Semen Gresik Group, Tbk. Selanjutnya dilantik menjadi Wakil Menteri Perdagangan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 November 2009 dan menjadi Wakil Menteri Keuangan sejak tanggal 19 Oktober 2011. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kiagus Ahmad Badaruddin Sekretaris Jenderal Lahir di Palembang pada tanggal 29 Maret 1957. Menempuh pendidikan Diploma III Ekonomi Perusahaan dan S1 ekonomi Manajemen di Universitas Sriwijaya Palembang. Gelar Sarjana Ekonominya diraih pada tahun 1986. Menempuh pendidikan S2 di Universitas of Illinois at Urbana-Champaign dan mendapatkan gelar Master of Science pada tahun 1991. Pada tahun 2006 menjabat sebagai Direktur Sistem Perbendaharaan, kemudian dipercaya menduduki jabatan Direktur Pelaksanaan Anggaran sejak tahun 2008 hingga 2009, di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Selanjutnya, dilantik menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Jenderal Perbendaharaan di tahun 2009. Kemudian di bulan Januari 2011, menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara hingga ditugaskan sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan mulai bulan September 2011. Herry Purnomo Ahmad Fuad Rahmany Direktur Jenderal Anggaran Direktur Jenderal Pajak Lahir di Ciamis pada tanggal 8 Mei 1953. Gelar Sarjana Muda dan Sarjana diraih dari Institut Ilmu Keuangan pada tahun 1975 dan 1980. Kemudian, gelar Master of Social Science diperoleh dari University of Birmingham pada tahun 1989. Pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perbendaharaan selama kurang lebih 5 tahun, yaitu sejak tahun 2006. Jabatan lain yang pernah didudukinya antara lain adalah sebagai Direktur Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktur Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sejak tanggal 16 Februari 2011. Lahir di Singapura pada tanggal 11 November 1954. Meraih gelar Sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1981, kemudian menyelesaikan Master of Arts in Economics di Duke University, Durham, North Carolina pada tahun 1987 dan Doctor of Philosophy in Economics dari Vanderblit University pada tahun 1997. Mulai bekerja pada Kementerian Keuangan pada Agustus 1981. Pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepem-LK) sejak tahun 2006, sebelum dilantik sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tanggal 21 Januari 2011. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 25 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Agung Kuswandono Agus Suprijanto Hadiyanto Direktur Jenderal Bea dan Cukai Direktur Jenderal Perbendaharaan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Lahir di Banyuwangi pada tanggal 29 Maret 1967. Meraih gelar Sarjana Kehutanan dari IPB pada tahun 1990, kemudian mendapatkan gelar Master of Arts Economics di Universitas of Colorado pada tahun 1997. Memulai karirnya di Kementerian Keuangan sebagai Penata Muda pada tahun 1991 dan pernah menjabat sebagai Direktur Teknis Kepabeanan dan Direktur Fasilitas Kepabeanan pada tahun 2008 dan 2010. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sejak tanggal 25 April 2011. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 14 Agustus 1953. Meraih gelar S1 Hukum Perdata dari Universitas Udayana pada tahun 1985. Selanjutnya, gelar Master of Arts in Economics dan Doctor of Philosophy in Economics didapat dari University of Colorado di Boulder pada tahun 1991 dan 1995. Mulai bekerja sebagai CPNS pada tanggal 1 Maret 1975. Pernah menjabat sebagai Kepala Pushaka, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Pada tanggal 21 Januari 2011 resmi menjabat sebagai Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan hingga saat ini. Lahir di Ciamis pada tanggal 10 Oktober 1962. Gelar Sarjana Hukum diraih dari Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1986, sedangkan gelar Master of Law diperoleh dari Harvard University, Amerika Serikat pada tahun 1993. Mulai bekerja sebagai CPNS Kementerian Keuangan pada tanggal 1 Maret 1987. Pernah menjabat sebagai Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal pada tahun 2005. Sejak tahun 2006 hingga saat ini memimpin Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. 26 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Marwanto Harjowiryono Rahmat Waluyanto Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Inspektur Jenderal Lahir di Yogyakarta pada tanggal 6 juni 1959. Meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 1983 dan menamatkan pendidikan S2 di Vanderbilt University pada tahun 1991. Selanjutnya, gelar S3 diraih dari Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun 2009. Mulai bekerja sebagai CPNS Kementerian Keuangan pada tanggal 1 Desember 1983. Pernah menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat di Sekretariat Jenderal dari tahun 2004 hingga 2006. Jabatan lain yang pernah didudukinya adalah Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara. Berpengalaman sebagai Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia sejak tahun 2009 hingga 2011. Sejak tanggal 21 Januari 2011 menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan hingga saat ini. Lahir di Metro, Lampung, pada tanggal 3 Oktober 1956. Gelar Sarjana Akuntansi diraih dari UGM pada tahun 1983 dan Master of Business Administration (MBA) dari University of Denver, Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1992. Kemudian gelar Ph.D diperoleh dari University of Birmingham, Inggris pada tahun 1997. Pada tahun 2005-2006, pernah menjabat sebagai Direktur Pengelolaan Surat Utang Negara pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan sejak tahun 2006. Lahir di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1957. Mulai bekerja sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kementerian Keuangan pada tanggal 1 November 1979. Menempuh pendidikan Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 1977 hingga 1980. Kemudian melanjutkan pendidikan Diploma IV di STAN hingga tahun 1987 dan mendapatkan gelar Master of Public Management di Carnegie Mellon University Pitsburgh, Pennsylvania, pada tahun 1998. Pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Direktorat Jenderal Perbendaharaan pada tanggal 9 November 2006 serta Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan mulai tanggal 17 Oktober 2008. Dilantik sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan pada tanggal 21 Januari 2011. Vincentius Sonny Loho www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 27 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nurhaida Bambang Brodjonegoro Kamil Sjoeib Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Lahir di Padang Panjang pada tanggal 27 Juni 1959. Menempuh pendidikan S1 di Institut Teknologi Tekstil, Bandung pada tahun 1985. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Indiana University, USA dan meraih gelar MBA pada tahun 1995. Mulai bekerja sebagai CPNS sejak tanggal 1 Februari 1989. Pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal sejak Januari 2011. Dilantik sebagai Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan pada tanggal 16 Februari 2011. Lahir di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1966. Menempuh pendidikan sarjana di bidang Ekonomi Pembangunan dan Ekonomi Regional pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1985-1990. Melanjutkan pendidikan di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master pada tahun 1995. Gelar Ph.D diraih dari universitas yang sama pada Agustus 1997. Pernah menjadi dosen tamu pada The Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois at UrbanaChampaign, Amerika Serikat, pada bulan November 2002. Menjadi Dekan FE-UI sejak tahun 2005 hingga 2009. Kemudian menjadi Director General Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank hingga tahun 2011. Menjabat sebagai Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sejak tanggal 21 Januari 2011. Saat ini juga masih menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lahir di Padang pada tanggal 17 Desember 1952. Menempuh pendidikan Sarjana Muda di Institut Ilmu Keuangan milik Kementerian Keuangan pada tahun 1972 hingga 1975. Kemudian mendapatkan gelar Sarjana dari kampus yang sama pada tahun 1979. Gelar Master of Arts in Economics diraih dari Ohio University pada tahun 1986. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selama sekitar 3 tahun, yaitu dari bulan Juni 2007 hingga Oktober 2010. Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2010 menduduki jabatan sebagai Direktur Kepabeanan Internasional. Dilantik sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan pada bulan Januari 2011. 28 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Robert Pakpahan R. B. Permana Agung Dradjattun Staf Ahli Bidang Pemerimaan Negara Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional Lahir di Tanjung Balai pada tanggal 20 Oktober 1959. Lulusan Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi Sekolah Tinggai Akuntansi Negara pada tahun 1981. Kemudian melanjutkan pendidikan Diploma IV di kampus yang sama pada tahun 1985 hingga 1987. Meraih Gelar Doctor of Philosophy in Economics dari University of North Carolina at Chapel Hill, USA pada tahun 1998. Lahir di Cakranegara-Lombok pada tanggal 27 Oktober 1952. Lulusan Sarjana Muda Institut Ilmu Keuangan pada tahun 1975. Melanjutkan pendidikan D4 di kampus yang sama pada tahun 1977 hingga 1979. Mendapat gelar Master of Science dari University of Illinois-Urbana Champaign pada tahun 1985 dan Master of Arts Public Finance dari University of Notre Dame pada tahun 1988. Menempuh pendidikan S3 di University of Notre Dame. Sempat menjadi Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak pada tahun 2003 hingga tahun 2005. Kemudian menjabat sebagai Direktur Pontensi dan Sistem Perpajakan hingga tahun 2006 dan Direktur Transformasi Proses Bisnis. Selanjutnya dilantik menjadi Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara pada tahun 2011. Dilantik sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai dari tahun 1999 hingga 2002. Kemudian menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekayaan Negara hingga tahun 2006. Sempat memimpin Inspektorat Jenderal hingga tahun 2006 dan kemudian menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional sejak bulan Agustus 2008. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 29 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Struktur Organisasi MENTERI KEUANGAN Agus D.W. Martowardojo WAKIL MENTERI KEUANGAN I WAKIL MENTERI KEUANGAN II Anny Ratnawati Mahendra Siregar SEKRETARIS JENDERAL DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN Kiagus Ahmad Badaruddin Herry Purnomo DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN NEGARA Agus Suprijanto Hadiyanto INSPEKTUR JENDERAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Vincentius Sonny Loho 30 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id Nurhaida KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI Ahmad Fuad Rahmany Agung Kuswandono DIREKTUR JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN UTANG Marwanto Harjowiryono Rahmat Waluyanto KEPALA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEPALA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN Bambang Brodjonegoro Kamil Sjoeib www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 31 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 32 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INTEGRITAS Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 33 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 01 Pendahuluan Keuangan negara merupakan instrumen Pemerintah yang sangat vital dalam mendukung kegiatan administrasi Pemerintahan, pembangunan, maupun pelayanan masyarakat. Kedudukannya yang sangat vital menyebabkan keuangan negara harus dikelola seoptimal mungkin. Berbagai aspek yang diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara perlu dikembangkan dan ditingkatkan, sebaliknya, kendala-kendala yang ditemukan harus dapat diatasi. Kementerian Keuangan merupakan institusi Pemerintah yang menurut Undang-Undang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara. Tugas dan tanggung jawab ini di satu sisi merupakan tantangan yang cukup berat, karena pengelolaan keuangan negara dari waktu ke waktu semakin dinamis dan kompleks, seiring dengan perkembangan situasi domestik maupun global. Di sisi lain, tugas dan tanggung jawab ini memberikan peluang bagi Menteri Keuangan dan segenap jajarannya, baik di tingkat pusat maupun unit-unit kerja vertikal di daerah, untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pencapaian tujuan bernegara. Kinerja Kementerian Keuangan dalam mengelola keuangan negara pada dasarnya merupakan sinergi dari seluruh sumber daya manusia dan unit kerjanya. Sinergi yang ideal tidak mudah dicapai mengingat Kementerian Keuangan merupakan salah satu organisasi Pemerintah yang berukuran relatif besar. Selain itu, tugas dan fungsi yang diemban oleh beragam unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan sangat beragam. Sebagai konsekuensinya, terdapat unit kerja yang sangat progresif, namun terdapat pula unit kerja yang terkendala oleh berbagai faktor dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga belum mampu mencapai target yang ditetapkan. Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja dari setiap unit kerja, maka Kementerian Keuangan setiap 34 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA tahun menyusun Buku Laporan Tahunan Kementerian Keuangan (LTKK). Di samping sebagai media informasi kepada para stakeholder eksternal, Buku LTKK juga merupakan bahan introspeksi bagi kalangan internal di lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk tahun 2011, tema yang ditetapkan untuk Buku LTKK adalah “NilaiNilai Kementerian Keuangan Menjiwai Setiap Bakti Yang Dipersembahkan Kepada Nusa Dan Bangsa”. Tema ini sangat sesuai dan relevan dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh segenap jajaran Kementerian Keuangan maupun bangsa Indonesia. Pada tataran internasional, krisis ekonomi dan keuangan yang melanda berbagai negara secara langsung maupun tidak langsung, cepat atau lambat, akan mempengaruhi perekonomian nasional, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Situasi ini masih diperburuk dengan konflik politik dan keamanan serta kejadian bencana yang masih terus berlangsung di banyak negara. Pada tataran domestik, peningkatan pendapatan negara, efisiensi dan efektivitas belanja negara, perbaikan pengelolaan keuangan daerah, pengelolaan perbendaharaan negara, pengelolaan pembiayaan melalui utang, pengelolaan kekayaan negara, penataan industri pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank, peningkatan kerjasama internasional, serta pengembangan sumber daya manusia, masih memerlukan penanganan yang sistematis. Langkah fundamental telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam upaya memastikan bahwa segenap jajarannya mampu menangani berbagai persoalan, yaitu Reformasi Birokrasi. Implementasi Reformasi Birokrasi terbukti dapat memperbaiki sendi-sendi Kementerian Keuangan, sehingga telah terjadi peningkatan kinerja secara signifikan, meskipun masih terdapat kelemahan-kelemahan yang terus-menerus diperbaiki. Langkah fundamental selanjutnya adalah penetapan “Nilai-Nilai Kementerian Keuangan”, yang terdiri dari “Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan”. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 35 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diupayakan secara bertahap mampu menjadi fondasi yang kokoh bagi praktik etika profesi dan budaya kerja pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Keuangan. Fondasi yang kokoh sangat dibutuhkan, karena setiap pegawai Kementeriaan Keuangan pada saat ini menghadapi tantangan yang besar dalam pelaksanaan tugas, yang dibarengi dengan ekspektasi yang besar dari masyarakat. Melalui pemahaman dan implementasi nilai-nilai yang telah disepakati bersama diharapkan setiap insan Kementerian Keuangan mampu mempersembahkan karya yang terbaik di bidang kerjanya masing-masing. Buku ini secara sistematis menjabarkan bakti dari personil Kementerian Keuangan dalam mengelola keuangan negara di sepanjang tahun 2011. Isi buku secara keseluruhan memuat 13 bab, termasuk pendahuluan dan penutup. Substansi pertama yang diulas adalah profil Kementerian Keuangan yang memuat uraian-uraian mengenai profil sumber daya manusia, Reformasi Birokrasi di bidang sumber daya manusia, inisiatif strategis, dan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan. Bab selanjutnya adalah perumusan kebijakan fiskal. Di dalam bab ini dijelaskan mengenai penyusunan asumsi ekonomi makro serta perkembangan kebijakan dan realisasi pengelolaan ekonomi makro yang meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga surat perbendaharaan negara 3 bulan, harga dan lifting minyak bumi, dan neraca pembayaran. Bab yang keempat berisi tentang berbagai aspek yang terkait dengan penerimaan negara. Aspek yang pertama dibahas menyangkut kinerja perpajakan, kemudian diikuti oleh penyempurnaan kebijakan perpajakan. Selanjutnya diuraikan mengenai upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka penggalian potensi perpajakan, penegakan hukum perpajakan, dan layanan penyelesaian sengketa perpajakan. Setelah seluruh aspek perpajakan, bagian lain dari bab ini menggambarkan mengenai penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai. Ulasan kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai pengawasan dan penindakan kepabeanan dan cukai serta perkembangan Indonesian National Single Window. Bagian akhir dari bab ini digunakan untuk memaparkan tentang penerimaan negara bukan pajak. Pembahasan mengenai belanja negara ditempatkan sebagai bab kelima di dalam buku ini. Bidang yang senantiasa mendapat perhatian dari banyak pihak ini diawali dengan uraian-uraian yang terkait dengan reformasi penganggaran. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Perubahan Anggaran Pendapatan (APBN-P) dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 adalah materi berikutnya yang diikuti oleh tulisan-tulisan mengenai belanja pusat. Materi lainnya pada bab ini adalah terobosan-terobosan yang dilakukan dalam penyusunan APBN dan langkah-langkah percepatan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2012. Bab yang keenam secara khusus membahas mengenai perimbangan keuangan. Perimbangan keuangan telah menjadi substansi keuangan negara yang semakin penting seiring dengan semakin besarnya dana yang dialokasikan ke daerah. Cukup banyak hal menyangkut desentralisasi fiskal yang dijabarkan pada bab ini yang dimulai dari transfer ke daerah. Pada bagian berikutnya dijabarkan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan tantangan baru bagi Pemerintah daerah dalam melaksanakannya. Pinjaman, hibah, dan kapasitas daerah merupakan pokok-pokok bahasan selanjutnya yang kemudian dilengkapi oleh penjelasan-penjelasan mengenai evaluasi pendanaan, akuntansi dan pelaporan, serta informasi keuangan daerah. Pengelolaan perbendaharaan negara menjadi bab yang ketujuh di dalam Buku LTKK 2011. Bab ini diawali dengan uraian-uraian mengenai peningkatan pelayanan perbendaharaan. Selanjutnya dijabarkan mengenai penilaian kinerja pelayanan publik pada Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan. Hasil survei opini stakeholder terhadap layanan Kementerian Keuangan, di mana layanan perbendaharaan menempati peringkat tertinggi, serta hasil survei integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan dua bagian selanjutnya 36 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA yang dijabarkan dengan elegan. Paparan berikutnya berturut-turut adalah mengenai standarisasi sarana dan prasarana, penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sistem perbendaharaan dan anggaran negara, perencanaan kas, serta remunerasi atas penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum. Pada bagian akhir bab ini dapat ditemukan tulisan-tulisan mengenai pembentukan Treasury Dealing Room, Bank Indonesia Government Electronic Banking, pengelolaan rekening Pemerintah lainnya, pengelolaan rekening sumber daya alam dan non sumber daya alam, serta penyempurnaan tata cara pembebanan dana pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) melalui mekanisme rekening khusus. Bab kedelapan memuat penjabaran yang terkait dengan pengelolaan pembiayaan melalui utang. Materi yang diulas dimulai dari kebijakan pembiayaan utang, kemudian diikuti oleh sumber dan penggunaan pembiayaan utang. Bagian selanjutnya mendiskusikan tentang pencapaian pengelolaan utang dan diakhiri dengan pembahasan mengenai isu-isu terkini yang dijumpai di dalam pengelolaan utang. Beragam aspek yang terkait dengan pengelolaan kekayaan negara menjadi kandungan di dalam bab kesembilan. Aspek yang pertama dibahas adalah mengenai arah dan strategi pengelolaan kekayaan negara, kemudian dilanjutkan dengan utilisasi kekayaan negara. Pokok bahasan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut tindak lanjut hasil penertiban barang milik negara (BMN) dan pengelolaan investasi Pemerintah. Selanjutnya dijabarkan mengenai pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset eks-kontraktor kontrak kerja sama, dan diakhiri dengan uraian mengenai perkembangan penyelesaian aset bekas milik asing/Cina. Industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank dipaparkan pada bab kesepuluh. Secara bertahap tapi pasti, peran pasar modal dan lembaga keuangan non bank semakin penting di dalam perekonomian Indonesia. Pembahasan di dalam bab ini dimulai dengan kinerja pasar modal dan dilanjutkan dengan kinerja industri keuangan non bank. Elemen lainnya yang dituliskan adalah penegakan hukum, regulasi yang diterbitkan sepanjang tahun 2011, dan infrastruktur penunjang industri keuangan. Bab ini ditutup dengan kegiatan-kegiatan penting yang terkait dengan aktivitas pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Bab kesebelas digunakan untuk mengekspresikan kiprah Kementerian Keuangan dalam berbagai bentuk kerjasama internasional. Kebijakan hubungan dan kerjasama internasional menjadi bagian yang pertama yang mengulas mengenai kerjasama multilateral, Forum G20, ASEAN Chairmanship 2011, dan kerjasama teknik luar negeri. Dua bagian selanjutnya menguraikan tentang kerjasama internasional di bidang perpajakan serta di bidang kepabeanan dan cukai. Adapun bab keduabelas membahas mengenai pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Kementerian Keuangan. SDM memainkan peran yang sentral di dalam semua organisasi. Muatan di dalam bab ini diawali dengan uraian mengenai pengembangan kapasitas SDM. Bagian selanjutnya secara khusus membahas mengenai moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang merupakan salah satu isu hangat yang diperbincangkan oleh berbagai kalangan terkait dengan kualitas dan kuantitas SDM di Pemerintahan serta tingginya beban anggaran negara untuk belanja pegawai. Pada bagian akhir dari bab ini dituliskan hal-hal menyangkut Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yang merupakan bagian dari tema LTKK 2011. Dikemukakan mengenai latar belakang penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan beserta fungsi dan proses penyusunannya. Selanjutnya, disajikan uraian-uraian singkat untuk memperjelas setiap nilai dan perilaku dasar dan dilengkapi dengan upaya-upaya untuk mengimplementasikannya. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 37 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Substansi terakhir dari Buku LTKK 2011 berisikan deskripsi mengenai pengawasan internal di Kementerian Keuangan. Uraian diawali dengan peran strategis pengawasan intern dalam mendukung kinerja organisasi, kemudian diikuti dengan penjabaran mengenai kebijakan pengawasan internal. Peningkatan penerapan pengendalian intern merupakan pokok bahasan selanjutnya dan difokuskan pada pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI). Bagian lainnya dari bab ini memuat uraian-uraian yang terkait dengan substansi peningkatan kualitas laporan keuangan dan pelaksanaan pengawasan yang memberi nilai tambah. Dua sub bab yang menutup bab adalah penegakan hukum dan disiplin serta tantangan pengawasan internal di tahun 2012. Uraian-uraian yang dituliskan di semua bab di dalam buku ini dilengkapi dengan dasar hukum, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu, disajikan pula data-data yang relevan, baik dalam bentuk tabel maupun gambar, yang disertai dengan sumber data. Kesemuanya dimaksudkan agar para pembaca mendapatkan gambaran yang holistik dan komprehensif mengenai berbagai upaya yang dilakukan Kementerian Keuangan selama tahun 2011. 38 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 39 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 02 Profil Kementerian Keuangan 2.1. Profil Sumber Daya Manusia Kementerian Keuangan diperkuat oleh 63.078 pegawai yang tersebar di 12 unit eselon I. Sebagian pegawai berkantor pada unit-unit kerja di pusat, sedangkan pegawai lainnya tersebar pada unit-unit kerja vertikal di seluruh Indonesia. Jumlah pegawai Kementerian Keuangan mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang disesuaikan dengan dinamika pelaksanaan tugas, di samping terdapat pula para pegawai yang memasuki masa purnabhakti. 2.1.1. Berdasarkan Golongan/Pangkat SDM Kementerian Keuangan yang terbesar adalah golongan ruang III/a, yaitu sebanyak 12.624 orang atau 20 persen dari keseluruhan pegawai. Di urutan kedua adalah para pegawai dengan golongan ruang III/b, yaitu sebanyak 10.999 orang atau 17 persen. Selanjutnya adalah kelompok pegawai dengan golongan ruang II/c yang tercatat sebanyak 9.397 orang atau 15 persen. Adapun pegawai dengan golongan ruang lainnya berjumlah relatif lebih sedikit. Tabel 2.1. Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Golongan Ruang Tahun 2011 Golongan I/a I/b I/c I/d II/a II/b II/c II/d III/a III/b III/c III/d IV/a IV/b IV/c IV/d IV/e Total Jumlah 39 134 39 68 3.029 6.214 9.397 5.656 12.624 10.999 6.582 5.848 1.600 657 102 81 9 63.078 Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan. 40 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2.1.2. Berdasarkan Jenjang Pendidikan Kementerian Keuangan diperkuat oleh SDM dari jenjang pendidikan tertinggi, yaitu doktor (S3) hingga terendah Sekolah Dasar (SD). Pegawai yang menyandang gelar doktor berjumlah 85 orang, sedangkan yang memiliki gelar magister (S2) sebanyak 6.302 orang atau 10 persen dari total pegawai. Selanjutnya pegawai yang berpendidikan sarjana (S1) tercatat 19.670 orang atau 31 persen, jenjang SMA sebanyak 13.350 orang atau 21 persen, jenjang Diploma IV sejumlah 1.300 orang atau 2 persen, jenjang Diploma III sebanyak 12.401 orang atau 20 persen, dan selebihnya adalah pegawai dengan jenjang pendidikan Diploma I sampai dengan SD. Tabel 2.2. Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Jenjang Pendidikan Tahun 2011 Pendidikan SD SMP SMA D1 D2 D3 D4 S1 S2 S3 Total Jumlah 316 977 13.350 8.623 54 12.401 1.300 19.670 6.302 85 63.078 Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan. 2.1.3. Berdasarkan Usia Rentang usia yang terbesar pada SDM Kementerian Keuangan adalah antara 25 hingga 29 tahun, yaitu sebanyak 13.372 orang atau 21 persen dari keseluruhan pegawai. Kelompok terbesar berikutnya adalah usia 35 hingga 39 tahun sejumlah 9.557 orang atau 15 persen. Kelompok usia terbesar ketiga terdapat pada rentang usia antara 30 sampai dengan 34 orang sebanyak 8.259 orang atau sebesar 13 persen. Selain itu, masih pula terdapat sejumlah pegawai dengan rentang usia lainnya, seperti antara 17-19 tahun hingga di atas 60 tahun. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 41 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 2.3. Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Usia Tahun 2011 Usia 17 s.d. 19 20 s.d. 24 25 s.d. 29 30 s.d. 34 35 s.d. 39 40 s.d. 44 45 s.d. 49 50 s.d. 54 55 s.d. 59 di atas 60 Total Jumlah 11 5.903 13.372 8.259 9.557 7.710 7.364 8.956 1.942 4 63.078 Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan. 2.1.4. Berdasarkan Jabatan Komposisi terbesar SDM Kementerian Keuangan berdasarkan jabatan adalah Pelaksana, yaitu sebanyak 46.364 orang atau 74 persen dari keseluruhan pegawai. Komposisi terbesar kedua adalah pejabat eselon IV A sebanyak 7.699 orang atau 12 persen. Sedangkan komposisi terbesar ketiga adalah kelompok jabatan fungsional sejumlah 5.608 orang atau 9 persen. Pada tataran yang lebih tinggi, terdapat Pejabat Eselon I A/B sebanyak 16 orang, Pejabat Eselon II A/B sebanyak 205 orang atau (dibawah 1 persen dari keseluruhan pegawai), Pejabat Eselon III A/B sebanyak 1.490 orang atau 2,36 persen, dan Pejabat Eselon IV A/B sebanyak 7.841 orang atau 12,43 persen. Di samping itu, terdapat pula Pejabat Fungsional sebanyak 5.608 orang atau 8,89 persen dari total SDM Kementerian Keuangan yang berjumlah 63.078 orang. Tabel 2.4. Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Jabatan Tahun 2011 Jabatan Jumlah Eselon IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVB VA 14 2 191 14 1.459 31 7.699 142 756 Fungsional Pelaksana Dipekerjakan Diperbantukan Total 5.608 46.364 483 315 63.078 Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan. 2.1.5. Berdasarkan Gender SDM Kementerian Keuangan masih didominasi oleh pegawai pria. Data per 31 Desember 2011 menunjukkan bahwa pegawai yang berjenis kelamin pria tercatat sebanyak 47.896 orang atau 76 persen, sedangkan jumlah pegawai wanita adalah 15.182 orang atau 24 persen dari keseluruhan pegawai. Komposisi ini terjadi secara alamiah melalui proses perekrutan pegawai yang disesuaikan dengan kebutuhan. Tabel 2.5. Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Gender Tahun 2011 GENDER Pria Wanita Total Jumlah 47.896 15.182 63.078 Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan. 2.2. Reformasi Birokrasi Di Bidang Sumber Daya Manusia 2.2.1. Analisa dan Evaluasi Jabatan Sebagai pedoman bagi perencanaan dan penilaian kinerja organisasi dan pegawai dalam rangka memacu kontribusi maksimal organisasi dan pegawai, telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/ KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. KMK ini menjadi standar 42 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA metode penilaian kinerja organisasi dan pegawai serta sekaligus sebagai alat manajemen untuk pengembangan kompetensi dan karier pegawai. Penerbitan dasar hukum merupakan bagian dari Program Refomasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan yang selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh pegawai. 2.2.2. Rencana Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Dokumen Rencana Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (RPPSDM) pada mulanya tersusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman dana dari World Bank sebagai bentuk dukungan terhadap Republik Indonesia yang sedang menggalakkan Reformasi Birokrasi di semua instansi Pemerintahan. Dana tersebut dialokasikan untuk mendidik pegawai dan pejabat instansi Pemerintahan untuk mengembangkan kapasitas serta membentuk mentalitas pegawai dan pejabat yang dapat diandalkan dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Nama generik dari RPPSDM adalah Human Capital Development Plan (HCDP). Dalam perkembangannya, Kementerian Keuangan mengembangkan dokumen RPPSDM sebagai acuan bagi pelaksanaan program pengembangan SDM. Tujuan penyusunan RPPSDM adalah untuk merencanakan, memetakan, dan merefleksikan program pengembangan SDM di lingkungan Kementerian Keuangan dalam kurun waktu tertentu, sehingga tersusun program pengembangan SDM yang tepat serta sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi. Konsep KMK tentang Rencana Program Pengembangan SDM di Lingkungan Kementerian Keuangan telah selesai disusun dan sedang dimintakan legal drafting dari Biro Hukum sebelum mendapat penetapan dari Menteri Keuangan. 2.2.3. Manajemen Talenta ManajemenTalenta adalah rangkaian kegiatan untuk mencari, mengelola, mengembangkan, dan mempertahankan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terbaik Kementerian Keuangan yang dipersiapkan sebagai pemimpin masa depan dalam rangka menjalin kesinambungan dan kesuksesan organisasi dalam jangka panjang. Pada tahun 2010, Kementerian Keuangan telah menyelesaikan rumusan Grand Design Manajemen Talenta. Rumusan ini selanjutnya dituangkan dalam kajian Manajemen Talenta yang dilaksanakan pada tahun 2011. Tujuan penyusunan sistem Manajemen Talenta adalah: 1. 2. merancang sistem untuk mengidentifikasi pegawai bertalenta yang masuk dalam talent pool; menyusun kajian mentoring untuk mencari kesesuaian karakter di antara mentor dengan mentee untuk menentukan kriteria mentor yang baik, ahli, dan kompeten; 3. merancang Program Pengembangan Talent untuk mengembangkan karakter, kemampuan, dan komitmen talent; serta 4. merancang sistem pemberian Retensi Talent untuk mempertahankan talent tetap berada di talent pool dan untuk meningkatkan kinerja talent. Target program Manajemen Talenta pada tahun 2011 adalah menyusun konsep Kajian Manajemen Talenta dan Kajian Penentuan Mentor di Kementerian Keuangan. Kedua target tersebut telah tercapai di tahun 2011. 2.2.4. Pola Mutasi Pasal 9 PMK No. 39/PMK.01/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Pola Mutasi Jabatan Karier di Lingkungan Departemen Keuangan menyebutkan bahwa setiap pimpinan unit eselon I wajib menyusun dan menetapkan pola mutasi jabatan karier unit eselon I yang bersangkutan setelah terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Biro www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 43 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sumber Daya Manusia. Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa Pola Mutasi harus ditetapkan dalam kurun waktu paling lambat 12 bulan. Sampai dengan tanggal 27 Februari 2010 atau 12 bulan setelah PMK tersebut ditetapkan, unit eselon I yang telah menetapkan Pola Mutasi adalah Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Selanjutnya hingga tanggal 10 November 2011, unit eselon I yang telah menetapkan Pola Mutasi adalah Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), serta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Sementara itu, unit eselon I lainnya masih dalam proses penyusunan. Pada tahun 2011, Tim Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Pusat (TRBTKP) telah menyelesaikan rumusan permasalahan yang dihadapi dalam proses penyusunan Pola Mutasi di unit-unit eselon I yang belum menetapkan Pola Mutasi. Di samping itu, telah disusun pula rumusan permasalahan yang dihadapi dalam rangka implementasi Pola Mutasi di unit-unit eselon I yang sudah menetapkan Pola Mutasi. 2.2.5. Penataan Pegawai Optimalisasi kinerja mensyaratkan hard competency maupun soft competency pegawai sesuai dengan persyaratan jabatan. Pada satu sisi, terdapat kondisi pegawai yang memiliki kompetensi, namun tingkat penguasaannya belum sesuai dengan tuntutan tugas. Sebaliknya, terdapat pegawai yang memiliki kompetensi yang tidak dipersyaratkan oleh jabatan, sementara kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatannya belum dikuasai. Permasalahan tersebut menuntut dilakukannya penataan pegawai secara terstruktur dan komprehensif. Dengan dilaksanakannya penataan pegawai, diharapkan dapat diwujudkan kesesuaian di antara jumlah, komposisi, dan kompetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi dan optimalisasi kinerja birokrasi. Selain itu, penataan pegawai dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi penerapan manajemen kinerja dan meningkatkan kualitas pengembangan SDM. Di tahun 2011, telah dilaksanakan beberapa hal terkait program penataan pegawai, yaitu: 1. penyelesaian konsep KMK tentang Penataan Pegawai melalui legal drafting dari Biro Hukum pada tanggal 8 Desember 2011; 2. penyelesaian Pemetaan Potensi melalui psikotes terhadap 3.270 Pelaksana; serta 3. penyelesaian penyusunan kajian akademis metode dan mekanisme GHS. 2.2.6. Bidang Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian Dalam rangka meningkatkan kinerja, perlu disusun ketentuan mengenai pengelolaan kinerja di Kementerian Keuangan secara objektif, adil, dan transparan. Untuk memastikan keberhasilan pencapaian tujuan ini, diperlukan suatu sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan. Di samping itu, keberadaan Sistem Manajemen SDM terkomputerisasi yang terpadu juga dibutuhkan, sehingga dapat memberikan percepatan dalam upaya mencapai sasaran organisasi. Pada tahun 2011, TRB telah menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan SIMPEG, yaitu: 1. pengembangan prototype aplikasi PKP berdasar RKMK tentang pengelolaan kinerja; dan 2. penyusunan kajian integrasi SIMPEG dan PINTAR yang digunakan sebagai referensi bagi pimpinan dalam pengambilan keputusan. 44 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2.3. Inisiatif Strategis 2.3.1. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 1. Pembentukan Unit Kontrol Internal di Setiap Unit Eselon I Kementerian Keuangan tengah membangun dan memperkuat fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan melalui pembentukan Unit Kontrol Internal (UKI) di setiap Unit Eselon I. Pembentukan UKI sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Selain itu, UKI akan memperluas jangkauan dan lingkup pengawasan intern di Kementerian Keuangan. Inspektorat Jenderal (Itjen) selaku PIC telah melaksanakan Asistensi Pengembangan Pelaksanaan Fungsi Pemantauan Pengendalian Intern di setiap Unit Eselon I dengan menunjuk unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern di setiap Unit Eselon I, serta mengembangkan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pemantauan. 2. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Kementerian Keuangan sangat serius melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Itjen Kementerian Keuangan telah bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) antara lain dalam bentuk korespondensi, pertukaran data, dan pemeriksaan gabungan/task force. Kementerian Keuangan telah menambah jumlah pejabat/ pegawai yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari sekitar 7.000 pejabat/pegawai menjadi 24.628 pejabat/pegawai melalui KMK No. 38/KMK.01/2011 tentang Penyelenggara Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Berdasarkan data KPK, penyampaian LHKPN Kementerian Keuangan per 14 Desember 2011 mencapai 95,96 persen. Di samping itu, Kementerian Keuangan telah menugaskan Itjen untuk melaksanakan eksaminasi harta kekayaan pejabat/pegawai Kementerian Keuangan dalam Laporan Pajak-pajak Pribadi (LP2P) dan Daftar Harta Kekayaan (DHK). Sesuai dengan konferensi pers KPK pada 28 November 2011 tentang Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2011, dari 7 instansi vertikal yang dinilai Kementerian Keuangan merupakan satu-satunya instansi vertikal yang mendapatkan nilai integritas 7,56, di atas rata-rata 6,4. Selain itu, 4 unit layanan di Kementerian Keuangan mendapatkan posisi 1 sampai dengan 4 dari 15 unit layanan vertikal yang dinilai. Unit layanan tersebut adalah pelayanan SP2D di KPPN, pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, pelayanan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, serta pelayanan pengurusan impor barang (bea masuk) di DJBC. 3. Pembenahan Pengadilan Pajak Dalam rangka mereformasi dan memperbaiki penyelenggaraan Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan telah melakukan berbagai pembenahan, antara lain pembuatan anotasi/ risalah seluruh Putusan Pengadilan Pajak yang dipublikasikan melalui situs Pengadilan Pajak, pemasangan IP-CCTV ruang sidang, pemasangan CCTV ruang kerja hakim, ruang kerja panitera, dan sekitar ruang tunggu, serta pemasangan layar dan proyektor untuk media paparan saat persidangan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk transparansi dan kemudahan akses terhadap seluruh Putusan Pengadilan Pajak. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 45 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Whistleblowing System Sejalan dengan KMK No. 149/KMK.09/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System/WiSe), Kementerian Keuangan telah memiliki mekanisme pengaduan pelanggaran melalui aplikasi WiSe. WiSe adalah aplikasi pengelolaan dan tindak lanjut pengaduan serta pelaporan hasil pengelolaan pengaduan yang disediakan oleh Kementerian Keuangan sebagai salah satu sarana bagi setiap pegawai Kementerian Keuangan maupun masyarakat luas pengguna layanan Kementerian Keuangan untuk melaporkan dugaan pelanggaran dan/atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/ pegawai Kementerian Keuangan. Pengaduan melalui aplikasi WiSe dilakukan dengan mengunjungi www.wise. depkeu.go.id. 2.3.2. Crisis Management Protocol Untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang masih diselimuti ketidakpastian dan berdasarkan pengalaman Pemerintah dalam menghadapi krisis tahun 1998 dan 2008, disadari perlunya sebuah prosedur untuk menghadapi situasi krisis yang dapat mengancam perekonomian nasional. Prosedur yang disebut sebagai Crisis Management Protocol (CMP) telah disusun dan dijalankan secara terkoordinasi di antara pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam menjaga stabilitas perekonomian, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). CMP digunakan dalam kondisi pencegahan maupun penanganan krisis. Kebijakan yang diambil sebagai pencegah krisis adalah kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi kondisi yang berdasarkan indikator tertentu berpotensi menimbulkan krisis. Sedangkan kebijakan penanganan krisis merupakan kebijakan untuk keluar dari krisis yang telah terjadi. Kementerian Keuangan telah menyusun CMP Kementerian Keuangan-wide yang bersifat operasional, meliputi subprotokol Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, subprotokol Pasar SBN, dan subprotokol Fiskal. Setiap CMP operasional mempunyai indikator, protokol, dan office. CMP office berfungsi sebagai koordinator dalam memantau perkembangan pasar dan memberikan analisis awal dalam menentukan status krisis terutama saat memasuki level siaga dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi di seluruh CMP operasional. Status level CMP meliputi normal, waspada, siaga, dan kritis. Selain itu, Kementerian Keuangan juga telah menyusun Standard Operating Procedure (SOP) CMP Kementerian Keuangan dan SOP masing-masing Subprotokol sesuai tugas dan kewenangannya. Selanjutnya, protokol manajemen krisis di tingkat nasional mengintegrasikan protokol Bank Indonesia yang terdiri dari Protokol Nilai Tukar dan Protokol Perbankan, Protokol LPS, dan Protokol Kementerian Keuangan. CMP nasional merupakan wadah koordinasi dalam penanganan krisis yang meliputi pertukaran data dan informasi dalam memantau perkembangan perekonomian nasional serta sinkronisasi kebijakan antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS dalam mencegah dan mengatasi krisis. Dengan telah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka CMP nasional akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan pembentukan OJK dan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kebijakan mengatasi krisis yang selama ini dilakukan Pemerintah telah terbukti dapat mengatasi kemungkinan krisis, seperti pada saat menghadapi gejolak keuangan global akibat krisis utang di Eropa pada tahun 2011. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menjalankan prosedur antisipasi krisis, khususnya yang berkaitan dengan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Prosedur yang dijalankan antara lain dengan melakukan buy back SBN yang terbukti dapat menstabilkan pasar SBN dengan indikasi yield SBN yang turun kembali setelah sebelumnya mengalami kenaikan. 46 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2.4. Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2004, setiap Kementerian/Lembaga (K/L) wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran dalam bentuk Laporan Keuangan (LK). LK yang disusun akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan 4 kategori penilaian, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer), atau Tidak Wajar (Adverse). LK yang disusun terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). LRA menyajikan informasi tentang pendapatan dan belanja dibandingkan dengan anggarannya untuk suatu tahun anggaran. Neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Adapun CaLK menyajikan informasi tentang kebijakan fiskal, ekonomi makro, ikhtisar capaian kinerja keuangan, kebijakan akuntansi yang digunakan, penjelasan pos-pos laporan keuangan, dan informasi penting lainnya yang diperlukan dalam rangka penyajian yang wajar atas kondisi keuangan kementerian. Jumlah temuan pemeriksaan BPK yang terus menurun sejalan dengan upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Laporan Tahunan Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2009 dan 2010 meraih opini WDP dan untuk Tahun Anggaran 2011 meraih opini WTP. 2.4.1. Laporan Realisasi Anggaran LRA Kementerian Keuangan menggambarkan perbandingan antara Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2011 dengan realisasinya yang mencakup unsur-unsur pendapatan dan belanja selama periode 1 Januari hingga 31 Desember 2011. Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 adalah Rp16.125.999.666.457 atau 92,96 persen dari pagu belanja dalam DIPA sebesar Rp17.346.872.669.000. Realisasi belanja tersebut terdiri dari belanja transaksi kas sebesar Rp16.121.963.191.000 dan belanja transaksi non kas sebesar Rp4.036.475.457, yang berasal dari belanja hibah langsung jasa luar negeri. Realisasi belanja tahun anggaran 2011 mengalami kenaikan Rp1.827.857.371.956,00 atau 12,78 persen dari realisasi belanja tahun anggaran 2010 sebesar Rp14.298.142.294.501. Realisasi belanja tersebut termasuk belanja pembayaran imbalan bunga sebesar Rp1.247.399.871.387. Apabila angka ini dikeluarkan, maka realisasi belanja Kementerian Keuangan (tanpa memperhitungkan pengembalian belanja) adalah Rp14.878.599.795.070 atau 85,77 persen dari pagu. Dalam tahun anggaran 2011, jumlah pengembalian belanja Kementerian Keuangan adalah Rp25.666.446.168 sehingga realisasi belanja Kementerian Keuangan Neto adalah sebesar Rp16.100.333.220.289 atau 92,81 persen dari pagu. Rp Triliun Gambar 2.1. Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2010 dan 2011 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Pagu Realisasi Bruto TA 2011 TA 2010 Sumber: Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 47 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2.4.2. Belanja Menurut Sumber Dana Belanja dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan dan efisiensi, namun tetap menjamin terlaksananya kegiatan-kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Kerja Kementerian Keuangan. Belanja Kementerian Keuangan dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber dana, unit eselon I, fungsi, dan jenis belanja. Tabel 2.6. Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Sumber Dana Tahun Anggaran 2011 Uraian Belanja Transaksi Kas Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Belanja Rupiah Murni Belanja Pinjaman Luar Negeri Persen (%) 17.044.964.597.000 15.969.969.008.138 93,69 119.794.862.000 101.364.595.447 84,62 Rupiah Murni Pendamping 85.505.086.000 4.090.811.443 4,78 Badan Layanan Umum 53.222.987.000 38.325.905.668 72,01 Hibah Luar Negeri 34.526.234.000 6.375.929.639 18,47 8.858.903.000 1.836.940.665 20,74 Hibah Langsung Luar Negeri Hibah Langsung Jasa Luar Negeri Jumlah Transaksi Kas Bruto Belanja Transaksi Non Kas Hibah Langsung Jasa Luar Negeri Jumlah Transaksi Non Kas Bruto Jumlah Belanja Bruto 0 0 0,00 17.346.872.669.000 16.121.963.191.000 92,94 0 4.036.475.457 0,00 0 4.036.475.457 0,00 17.346.872.669.000 16.125.999.666.457 92,96 Sumber: Kementerian Keuangan. Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 berjumlah Rp16.125.999.666.457 yang terdiri dari Belanja Rupiah Murni sebesar Rp15.969.969.008.138, Belanja Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp101.364.595.447, Rupiah Murni Pendamping sebesar Rp4.090.811.443, Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp38.325.905.668, Hibah Luar Negeri sebesar Rp6.375.929.639, Hibah Langsung Luar Negeri sebesar Rp1.836.940.665, dan Hibah Non Kas yang berasal dari realisasi belanja hibah langsung berupa Barang/Jasa sebesar Rp4.036.475.457. 48 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 2.7. Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Sumber Dana Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Uraian TA 2011 TA 2010 Kenaikan(Penurunan) Persen (%) Belanja Transaksi Kas Belanja Rupiah Murni 15.969.908.831.745 14.103.048.872.509 1.866.859.959.236 11,69 101.364.595.447 117.086.574.544 -15.721.979.097 -15,51 Belanja Pinjaman Luar Negeri Rupiah Murni Pendamping 4.090.811.443 14.528.041.907 -10.437.230.464 -255,14 38.325.905.668 25.669.270.287 12.656.635.381 33,02 Hibah Luar Negeri 6.268.325.111 22.048.003.594 -15.779.678.483 -251,74 Hibah Langsung Luar Negeri 1.836.940.665 15.761.531.660 -13.924.590.995 -758,03 Badan Layanan Umum Jumlah Belanja Bruto 16.121.795.410.079 14.298.142.294.501 1.823.653.115.578 11,31 Pengembalian Belanja 25.651.975.603 21.676.612.556 3.975.363.047 15,5 Jumlah Transaksi Kas Neto 16.096.143.434.476 14.276.465.681.945 1.819.677.752.531 11,31 986.102.000 0 986.102.000 0 986.102.000 0 986.102.000 0 0 0 0 0 Belanja Transaksi Non Kas Hibah Langsung Jasa Luar Negeri Jumlah Belanja Bruto Pengembalian Belanja Jumlah Transaksi Non Kas Neto Jumlah Belanja Neto 986.102.000 0 986.102.000 0 16.097.129.536.476 14.276.465.681.945 1.820.663.854.531 11,31 Sumber: Kementerian Keuangan. 2.4.3. Belanja Menurut Unit Eselon I Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 dapat dirinci menurut unit eselon I. Pengeluaran terbesar adalah Sekretariat Jenderal (Setjen) sebesar Rp5.963.937.082.788,00 atau 36,99 persen dari total realisasi belanja Kementerian Keuangan. Berdasarkan daya serap realisasi, penyerapan terbesar terdapat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar Rp5.397.033.396.680,00 atau 109,66 persen dari pagu belanja DJP. Realisasi belanja DJP termasuk pembayaran imbalan bunga sebesar Rp1.247.399.871.387,00 yang tidak tersedia pagu anggarannya di dalam DIPA. Apabila imbalan bunga ini dikeluarkan maka realisasi belanja DJP adalah sebesar Rp4.149.633.525.293,00 atau 84,32 persen dari pagu belanja DJP. Tabel 2.8. Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Unit Eselon I Tahun Anggaran 2011 No. Unit Eselon I Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%) Belanja Transaksi Kas 1 SETJEN 2 ITJEN 6.910.441.708.000 5.963.937.082.788 86,30 102.690.573.000 93.791.092.203 91,33 3 DJA 123.126.257.000 114.765.543.793 93,21 4 DJP 4.921.494.700.000 5.397.033.396.680 109,66 5 DJBC 2.074.536.058.000 1.726.841.144.537 83,24 6 DJPK 139.950.000.000 115.201.678.220 82,32 7 DJPU 112.142.456.000 107.415.130.754 95,78 8 DJPB 1.484.566.434.000 1.385.436.301.213 93,32 9 DJKN 653.148.000.000 543.878.523.670 83,27 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 49 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 2.8 (lanjutan) No. Unit Eselon I Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%) 10 Bapepam LK 199.236.145.000 140.999.075.196 70,77 11 BPPK 440.143.341.000 396.304.767.440 90,04 12 BKF 185.396.997.000 136.359.454.506 73,55 17.346.872.669.000 16.121.963.191.000 92,94 25.666.446.168 0,00 16.096.296.744.832 92,79 Jumlah Belanja Bruto Pengembalian Jumlah Transaksi Kas Neto 17.346.872.669.000 Belanja Transaksi Non Kas 1 BKF 0 986.102.000 0,00 2 Bapepam LK 0 3.050.373.457 0,00 Jumlah Belanja Bruto 0 4.036.475.457 0,00 Pengembalian 0 0 0,00 Jumlah Transaksi Non Kas Neto Jumlah Belanja Neto 0 4.036.475.457 0,00 17.346.872.669.000 16.100.333.220.289 92,81 Sumber: Kementerian Keuangan. Jika dibandingkan antarunit Eselon I, maka terlihat bahwa realisasi belanja mayoritas unit Eselon I di Kementerian Keuangan mengalami kenaikan pada tahun 2011. Pengecualian hanya terjadi pada DJPU dan Bapepam-LK yang realisasi belanjanya mengalami penurunan pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010. Kenaikan realisasi dengan persentase terbesar dijumpai pada DJP dan BKF, sedangkan yang terkecil ditemukan pada Itjen dan DJBC. Tabel 2.9. Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Unit Eselon ITahun Anggaran 2010 dan 2011 No. Unit Eselon I Belanja Transaksi Kas 1 SETJEN 2 ITJEN 3 DJA 4 DJP 5 DJBC 6 DJPK 7 DJPU 8 DJPB 9 DJKN 10 BAPEPAM DAN LK 11 BPPK 12 BKF Jumlah Belanja Bruto Pengembalian Jumlah Transaksi Kas Neto Belanja Transaksi Non Kas 1 BKF 2 Bapepam LK Jumlah Belanja Bruto Pengembalian Jumlah Transaksi Non Kas Neto Jumlah Belanja Neto TA 2011 (Rp) TA 2010 (Rp) | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id Persen (%) 5.963.937.082.788 93.791.092.203 114.765.543.793 5.397.033.396.680 1.726.841.144.537 115.201.678.220 107.415.130.754 1.385.436.301.213 543.878.523.670 140.999.075.196 396.304.767.440 136.359.454.506 16.121.963.191.000 25.666.446.168 16.096.296.744.832 5.490.764.396.822 90.526.200.496 95.625.189.671 4.319.005.999.039 1.627.137.038.020 106.318.595.888 184.206.507.790 1.262.943.812.132 498.025.099.926 145.798.248.519 367.952.325.609 109.838.880.589 14.298.142.294.501 21.676.612.556 14.276.465.681.945 473.172.685.966 3.264.891.707 19.140.354.122 1.078.027.397.641 99.704.106.517 8.883.082.332 (76.791.377.036) 122.492.489.081 45.853.423.744 (4.799.173.323) 28.352.441.831 26.520.573.917 1.823.820.896.499 3.989.833.612 1.819.831.062.887 8,62 3,61 20,02 24,96 6,13 8,36 (41,69) 9,70 9,21 (3,29) 7,71 24,14 12,76 18,41 12,75 986.102.000 3.050.373.457 4.036.475.457 0 4.036.475.457 16.100.333.220.289 0 0 0 0 0 14.276.465.681.945 986.102.000 3.050.373.457 4.036.475.457 0 4.036.475.457 1.823.867.538.344 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 12,78 Sumber: Kementerian Keuangan. 50 Kenaikan(Penurunan) (Rp) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2.4.4. Belanja Menurut Jenis Belanja Belanja Kementerian Keuangan menurut jenis belanja terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak). Realisasi belanja pegawai merupakan yang tertinggi, yaitu mencapai 92,02 persen, kemudian diikuti oleh realisasi belanja barang sebesar 83,59 persen. Adapun realisasi belanja modal tercatat berjumlah 72,65 persen dari total realisasi belanja. Tabel 2.10. Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Jenis Belanja Tahun Anggaran 2011 Uraian Transaksi Kas Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%) Belanja Pegawai 8.161.582.433.000 7.510.455.351.495 92,02 Belanja Barang 6.315.762.685.000 5.279.309.268.307 83,59 Belanja Modal 2.869.527.551.000 2.084.798.699.811 72,65 0 1.247.399.871.387 0,00 Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak) Jumlah Transaksi Kas Bruto 17.346.872.669.000 Transaksi Non Kas 16.121.963.191.000 92,94 Belanja Barang 0 4.036.475.457 0,00 Jumlah Transaksi Non Kas Bruto 0 4.036.475.457 0,00 17.346.872.669.000 16.125.999.666.457 92,96 Jumlah Belanja Bruto Sumber: Kementerian Keuangan. Belanja barang tercatat sebagai jenis belanja yang mencapai kenaikan realisasi tertinggi pada tahun 2011, yaitu 34,27 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2010. Urutan kedua ditempati oleh belanja modal yang mengalami kenaikan 12,68 persen. Sedangkan belanja pegawai hanya meningkat 4,39 persen. Gambar 2.11. Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Jenis Belanja Tahun Anggaran 2010 dan 2011 Uraian TA 2011 (Rp) Transaksi Kas Kenaikan(Penurunan) (Rp) TA 2010 (Rp) Persen (%) Belanja Pegawai 7.510.455.351.495 7.194.523.880.093 315.931.471.402 4,39 Belanja Barang 5.279.309.268.307 3.931.936.721.184 1.347.372.547.123 34,27 Belanja Modal 2.084.798.699.811 1.850.194.481.247 234.604.218.564 12,68 Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak) 1.247.399.871.387 1.321.487.211.977 (74.087.340.590) (5,61) 16.121.963.191.000 14.298.142.294.501 1.823.820.896.499 12,76 Jumlah Belanja Bruto Pengembalian Belanja Jumlah Transaksi Kas Neto Transaksi Non Kas 25.666.446.168 21.676.612.556 3.989.833.612 18,41 16.096.296.744.832 14.276.465.681.945 1.819.831.062.887 12,75 Belanja Barang 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00 Jumlah Belanja Bruto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00 0 0 0 0,00 Pengembalian Belanja Jumlah Transaksi Non Kas Neto Jumlah Belanja Neto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00 16.100.333.220.289 14.276.465.681.945 1.823.867.538.344 12,78 Sumber: Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 51 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 03 Perumusan Kebijakan Fiskal 3.1. Penyusunan Asumsi Ekonomi Makro Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP dan RPJM), sasaran kebijakan ekonomi makro Indonesia diarahkan pada terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan pembangunan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun swasta, dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Stabilitas ekonomi dijaga melalui pelaksanaan sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati serta pelaksanaan kebijakan fiskal yang mengarah pada kesinambungan fiskal dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi di Kementerian Keuangan, maka pada tahun 2006, melalui Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 dibentuklah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Dengan dibentuknya BKF, kebijakan fiskal yang sebelumnya berada pada masingmasing unit eselon I, kini dikelola di bawah satu atap. Kebijakan ekonomi makro serta kebijakan yang terkait dengan pendapatan dan belanja negara berada di bawah kewenangan BKF. Peran utama BKF dalam pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah melalui kebijakan fiskal yang tercermin dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Dalam menyusun APBN, diperlukan asumsi-asumsi ekonomi makro sebagai dasar perhitungan besaran pendapatan dan belanja yang akan dicapai serta pembiayaan yang dibutuhkan untuk menutup kekurangan atau defisit dalam APBN. Asumsi ekonomi makro yang digunakan selama ini adalah pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi, suku bunga SBI 3 bulan (kemudian diganti dengan suku bunga SPN 3 Bulan), harga minyak mentah (ICP), dan lifting minyak. 52 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam proses pengajuan asumsi ekonomi makro, dilakukan pemantauan dan pengkajian atas perkembangan indikator-indikator ekonomi makro, tidak saja indikator yang menjadi asumsi, tetapi juga variabel-variabel pendukung lainnya, seperti perkembangan ekonomi global, harga saham, perdagangan, dan lain-lain. Besaran asumsi ekonomi makro disusun dan ditetapkan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam kerangka penyusunan anggaran belanja negara yang mampu mencapai target pertumbuhan, tingkat pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Dari berbagai tugas kebijakan fiskal yang dijalankan, salah satu fokusnya adalah pengelolaan ekonomi makro. Pengelolaan ekonomi makro tidak saja ditujukan sebagai dasar penghitungan APBN, tetapi juga merupakan koridor utama Kementerian Keuangan dalam memainkan peran penting dalam bersinergi dengan program pembangunan nasional. Untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro secara cepat dan akurat, sangat diperlukan data dan informasi yang kredibel, konsisten, reguler, dan terkini. Sangat tidak mudah untuk menentukan angka-angka dalam asumsi makro, karena melewati beberapa kajian dan pertimbangan terkait input data dan kondisi di lapangan, serta hasil perhitungan dengan pengujian yang akurat. Akurasi pengujian ini membutuhkan metode, model, dan tools yang memadai, termasuk kapasitas personal yang handal. Selain memiliki hardware dan software yang memadai, juga diperlukan brainware yang handal. Keputusan besaran asumsi makro belum berakhir sampai keluarnya angka-angka tersebut, karena asumsi makro kemudian digunakan sebagai acuan dalam penyusunan APBN yang diajukan bersamaan dengan Nota Keuangan ke DPR. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 53 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam pelaksanaannya, BKF selalu bersinergi dan berkoordinasi dengan instansi lain, baik dalam lingkup internal maupun eksternal Kementerian Keuangan. Dengan demikian, konsistensi dan akurasi angka atau target, serta rancangan kebijakan APBN dapat dipahami oleh semua unsur yang terkait. Hal ini ditempuh dalam rangka akselerasi stabilitas ekonomi makro secara berkesinambungan guna mempercepat upaya Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. 3.2. Perkembangan Kebijakan dan Realisasi Pengelolaan Ekonomi Makro 3.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Gambar 3.1. Pertumbuhan PDB (% , yoy) Tahun 2008-2011 7,0 6,2 6,5 2010 2011 6,0 6,0 4,6 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 2008 2009 Sumber: Badan Pusat Statistik Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2011 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada kenyataannya tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Permintaan domestik masih cukup kuat untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi walaupun terjadi perlambatan pada sisi eksternal. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,2 persen (yoy). Pertumbuhan didukung oleh kinerja konsumsi masyarakat, konsumsi Pemerintah, investasi, dan ekspor neto, serta sektor industri yang tumbuh cukup siginifikan. Gambar 3.2. Laju PDB menurut Penggunaan (%) Tahun 2010-2011 20,0 17,3 Konsumsi Rumah Tangga 15,3 16,0 13,6 13,3 12,0 8,8 8,5 8,0 4,7 4,0 Import 3,2 0,3 2010 2011 Sumber: Badan Pusat Statistik 54 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | PMTB Ekspor 4,7 0,0 Konsumsi Pemerintah www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Di tahun 2011, konsumsi masyarakat tumbuh 4,7 persen (yoy), sama dengan pertumbuhan pada tahun 2010. Komponen ini tumbuh (yoy) lebih tinggi dari kuartal pertama hingga terakhir tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan perbaikan daya beli masyarakat di sepanjang tahun sejalan dengan menurunnya inflasi. Peningkatan konsumsi masyarakat didorong oleh konsumsi makanan maupun bukan makanan yang masingmasing tumbuh 3,8 persen dan 5,5 persen. Konsumsi masyarakat mampu memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi, yaitu 2,7 persen, sedangkan peran atau distribusinya sebesar 54,6 persen. Laju pertumbuhan konsumsi Pemerintah menunjukkan peningkatan yang signifikan, yaitu dari 0,3 persen di tahun 2010 menjadi 3,2 persen pada tahun 2011. Peningkatan konsumsi Pemerintah didorong oleh belanja barang dan belanja pegawai dengan pertumbuhan masing-masing 3,6 persen dan 5,4 persen. Meningkatnya belanja pegawai terkait dengan pemberian remunerasi pada beberapa Kementerian/Lembaga (K/L). Walaupun terjadi peningkatan, namun kontribusi konsumsi Pemerintah relatif kecil pada pertumbuhan ekonomi, yaitu hanya 0,3 persen, sedangkan perannya hanya 9,0 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Berbeda dengan komponen lainnya, pertumbuhan ekspor dan impor barang dan jasa di tahun 2011 relatif melambat dari tahun 2010. Pelemahan ekonomi global telah menyebabkan melambatnya kinerja ekspor Indonesia, yaitu dari pertumbuhan 15,3 persen di tahun 2010 menjadi 13,6 persen di tahun 2011. Hal yang sama terjadi pada pertumbuhan impor yang melambat dari 17,3 persen di tahun 2010 menjadi 13,3 persen di tahun 2011. Namun, perlambatan impor yang lebih besar dibanding ekspor telah menyebabkan peningkatan ekspor neto menjadi 14,4 persen di tahun 2011 dibanding 8,7 persen di tahun sebelumnya. Bila disimak lebih jauh, penurunan pertumbuhan ekspor dan impor barang baru terlihat di kuartal IV 2011. Dampak langsung dari perlambatan ekonomi Eropa terhadap ekspor Indonesia relatif kecil, karena rendahnya pangsa ekspor langsung ke negara-negara yang terkena krisis. Dari sisi penawaran, semua sektor ekonomi masih tumbuh positif di tahun 2011 walaupun beberapa sektor mengalami perlambatan. Sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, serta sektor jasa mengalami pertumbuhan. Sementara itu, empat sektor lain mengalami perlambatan, yaitu sektor pertambangan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor konstruksi, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor pertanian adalah satu-satunya sektor yang pertumbuhannya konstan pada periode 2010-2011 . Tabel 3.1. Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Tahun 2008-2011 No. Pertumbuhan (%, yoy) Sektor 2008 2009 2010 2011 1. Pertanian 4,8 4,0 3,0 3,0 2. Pertambangan dan Penggalian 0,7 4,5 3,6 1,4 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan, Air Bersih 3,7 2,2 4,7 6,2 10,9 14,3 5,3 4,8 5. Konstruksi 7,6 7,1 7,0 6,7 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,9 1,3 8,7 9,2 7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,6 15,8 13,4 10,7 8. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 8,2 5,2 5,7 6,8 9. Jasa-Jasa 6,2 6,4 6,0 6,7 Sumber: Badan Pusat Statistik. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 55 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sektor industri pengolahan di tahun 2011 tumbuh cukup kuat, yaitu 6,2 persen (yoy). Pertumbuhan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 4,7 persen. Lonjakan pertumbuhan sektor ini didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen, sedangkan subsektor industri migas mengalami kontraksi 0,9 persen. Pertumbuhan subsektor industri nonmigas ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, tembakau, industri tekstil, barang kulit, serta alas kaki. Kontraksi subsektor industri nonmigas terutama diakibatkan oleh penurunan industri gas alam cair. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen di tahun 2010 menjadi 9,2 persen di tahun 2011. Pertumbuhan sektor ini ditopang oleh kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen, sedangkan subsektor hotel dan subsektor restoran masing-masing tumbuh 9,0 persen dan 4,1 persen. Pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di tahun 2011 sama dengan tahun 2010, yaitu 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian berasal dari subsektor perikanan, perkebunan, dan peternakan, yaitu sebesar 6,7 persen. Sedangkan subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi kontributor utama sektor ini, mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 1,6 persen menjadi 1,3 persen. Melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan terutama disebabkan oleh gangguan cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi pertanian, terutama padi. 3.2.2. Inflasi Gambar 3.3. Laju Inflasi Tahun 2010-2011 2,0 Inflasi mtm Inflasi yoy 1,5 8,0 7,0 6,0 5,0 1,0 4,0 0,5 3,0 2,0 0,0 1,0 0,0 -0,5 2010 2011 Sumber: Badan Pusat Statistik Laju inflasi tahun 2011 secara umum relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi tahun 2010, yang didorong oleh penurunan inflasi di sepanjang tahun. Penurunan tersebut dipengaruhi melemahnya komponen inflasi administered price dan volatile food. Sampai akhir tahun 2011, hasil pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) di 66 kota mencatat laju inflasi kumulatif mencapai 3,79 persen (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan laju inflasi tahun 2010 yang mencapai 6,96 persen. Di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global karena krisis ekonomi di Eropa, laju inflasi Indonesia tahun 2011 menurun tajam dibanding tahun 2010. Rendahnya laju inflasi tahun 2011 disebabkan oleh semakin 56 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA meningkatnya koordinasi dan sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil. Berbagai kebijakan Pemerintah diarahkan untuk menjaga ketersediaan pasokan dan mendukung kelancaran arus distribusi, khususnya bahan pangan dan energi. Upaya tersebut antara lain dilaksanakan melalui kebijakan mitigasi gangguan iklim, ekstensifikasi dan intensifikasi produksi pertanian, penyediaan alokasi anggaran untuk benih, pupuk, dan cadangan pangan, serta dukungan alokasi anggaran untuk mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. Ketersediaan pasokan bahan pangan dan energi dalam jumlah yang memadai mampu mendorong ekspektasi inflasi masyarakat menjadi rendah dan terkendali. Selain itu, nilai tukar rupiah yang stabil juga mampu meredam tekanan inflasi yang bersumber dari luar negeri. Semakin padunya koordinasi pengendalian inflasi di tingkat pusat serta meningkatnya kesadaran daerah dalam upaya pengendalian inflasi semakin memperkuat upaya untuk meredam gejolak inflasi sepanjang tahun 2011. 3.2.3. Nilai Tukar Rupiah 140 Miliar USD 9.600 9.400 9.200 9.000 8.800 8.600 8.400 8.200 8.000 Devisa 120 Nilai Tukar 100 80 60 40 20 Des Okt Nop Mei Jun Jul Agust Sep Feb Mar Apr Des Jan Okt Nop Jul Agust Sep Mei Jun Jan Feb Mar Apr 0 Rp/USD Gambar 3.4. Perkembangan Devisa dan Nilai Tukar Tahun 2011 Sumber: Bank Indonesia Sepanjang tahun 2011, nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan kecenderungan menguat. Kondisi ini sejalan dengan derasnya arus modal asing, peningkatan rating Indonesia ke posisi investment grade, serta semakin seimbangnya permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik. Setelah mengalami sedikit tekanan pada awal tahun, secara bertahap nilai tukar rupiah bergerak menguat dengan rata-rata Rp8.904 per USD pada kuartal I tahun 2011. Pada kuartal II dan III tahun 2011, rata-rata nilai tukar rupiah menguat dan bergerak pada kisaran Rp8.500 hingga Rp8.600 per USD. Nilai tukar rupiah sempat mengalami apresiasi hingga Rp8.460 per USD pada 2 Agustus 2011, seiring dengan berita diturunkannya rating utang Amerika Serikat satu notch oleh S&P, serta belum jelasnya proses pemulihan ekonomi di Uni Eropa seiring dengan krisis ekonomi Yunani yang mulai merembet ke negaranegara Uni Eropa lainnya. Sentimen negatif di Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut mendorong terjadinya flight to quality, yaitu peralihan arus modal ke negara-negara emerging market. Nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan pada kuartal IV 2011 dengan adanya sentimen negatif kekhawatiran pelaku pasar terhadap penyelesaian krisis ekonomi di negara-negara Uni Eropa, ketegangan geopolitik di semenanjung Korea pasca meninggalnya pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-II, serta di www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 57 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA kawasan Timur Tengah, khususnya di Iran. Dari sisi domestik, peningkatan permintaan mata uang asing (valas) oleh korporasi untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dan bunga pinjaman yang jatuh tempo juga mendorong pelemahan rupiah sepanjang November-Desember 2011. Selama tahun 2011, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp8.779 per USD, menguat 3,39 persen bila dibandingkan dengan rata-ratanya tahun 2010 sebesar Rp9.087 per USD. Untuk menjaga stabilitas eksternal dan internal, Bank Indonesia memadukan kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dengan pengelolaan lalu lintas modal. Di tengah derasnya aliran modal asing yang masuk dan tekanan apresiasi, stabilitas nilai tukar dijaga untuk mengurangi volatilitas rupiah dalam upaya pengendalian dan stabilisasi harga. Kebijakan stabilitas nilai tukar juga dilakukan sebagai langkah antisipasi terjadinya pembalikan modal (sudden reversal) dengan menjaga cadangan devisa pada level yang memadai untuk mencukupi pembayaran impor dan utang luar negeri. Bank Indonesia melakukan pula intervensi secara terukur di pasar valuta asing untuk menahan laju penguatan rupiah. Kebijakan tersebut dilakukan secara symmetric dengan mengakomodasi nilai tukar yang lebih fleksibel dan tetap memperhatikan tren nilai tukar negara-negara kawasan agar daya saing rupiah tetap terjaga. Pergerakan rupiah diupayakan tidak mengalami overshooting, tidak terlalu fluktuatif, dan tidak menimbulkan dampak yang berlebihan terhadap pasokan likuiditas domestik. 3.2.4. Suku Bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 Bulan Gambar 3.5. Perkembangan Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) Tahun 2011 6,00 5,46 5,44 5,50 5,00 4,50 Rata-rata 2011 4,8% 4,00 3,50 3,75 3,00 1 1 1 1 1 1 1 1 11 11 11 l-11 11 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 n- Julppei u kt kt ar Apr pr gs Sep u o o J J O O A M A -N -N 05 19 21 05 19 04 18 03 16 27 22 01 22 -M Sumber: Kementerian Keuangan Sebagai dampak dari kebijakan Bank Indonesia tahun 2010 yang tidak lagi menyelenggarakan lelang SBI 3 bulan, maka suku bunga SBI 3 bulan tidak relevan lagi digunakan sebagai suku bunga acuan dalam perhitungan postur APBN tahun 2011. Oleh sebab itu, Pemerintah menerbitkan surat utang lain, dimana sistem pelelangannya setara dengan SBI sesuai dengan Ketentuan dan Persyaratan (Terms and Condition) Surat Utang Negara (SUN) dengan tingkat bunga mengambang (Variable Rate/VR). Terkait hal tersebut, mulai bulan Maret tahun 2011, Pemerintah telah menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebagai dasar perhitungan tingkat bunga surat utang negara dengan variable rate. Selanjutnya, suku bunga SPN 3 bulan digunakan sebagai pengganti suku bunga SBI 3 bulan dalam perhitungan postur APBN. 58 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pemerintah telah melelang SPN 3 bulan sebanyak 15 kali pada tahun 2011 dengan tingkat bunga yang bervariasi. Rata-rata yield SPN 3 bulan mencapai 4,8 persen. Pada lelang pertama di bulan Maret 2011, yield SPN mencapai 5,19 persen dan kemudian bergerak relatif stabil, hingga mencapai 5,44 persen pada pelelangan di bulan Juni 2011. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian di pasar global seiring eskalasi isu krisis utang Yunani. Di bulan-bulan berikutnya, suku bunga SPN 3 bulan kembali menurun hingga mencapai titik terendah, yaitu 3,75 persen di bulan Agustus 2011. Pergerakan tersebut juga dipengaruhi oleh membaiknya optimisme pasar seiring munculnya titik penyelesaian krisis utang Yunani melalui paket penghematan anggaran serta bantuan paket penyelamatan Uni Eropa dari International Monetary Fund (IMF). Yield kembali meningkat hingga mencapai tingkat tertinggi sebesar 5,47 persen di bulan Oktober. Peningkatan kali ini terkait dampak kebijakan Operation Twist di AS yang mendorong peralihan likuiditas dari emerging market ke instrumen US treasury yang bertenor panjang. Pada periode selanjutnya, yield menurun hingga 4,47 persen pada pelelangan bulan November 2011. Peningkatan dana European Financial Stability Facility (EFSF) dari 440 miliar Euro menjadi 1,0 trilun Euro mampu menjadi sentimen positif bagi kondisi pasar global dan di Indonesia. Tabel 3.2. Pelelangan SPN 3 Bulan Tahun 2011 Penawaran (Rp Triliun) Daya Serap (Rp Triliun) 5,19 9,72 2,00 5,02 5,43 2,00 Seri Maturity Tanggal Lelang Yield/Price SPN20110623 23-Jun-11 22-Mar-11 SPN20110706 06-Jul-11 05-Apr-11 SPN20110720 20-Jul-11 19-Apr-11 5,19 1,88 0,60 SPN20110804 04-Ags-11 03-Mei-11 4,88 5,54 2,00 SPN20110922 22-Sep-11 21-Jun-11 5,44 0,12 0,10 SPN20111006 06-Okt-11 05-Jul-11 4,63 6,79 1,40 SPN20111020 20-Okt-11 19-Jul-11 4,19 4,22 0,55 SPN03111118 18-Nov-11 16-Ags-11 3,75 4,77 1,30 SPN03111228 28-Des-11 27-Sep-11 5,23 2,14 0,15 SPN03120105 05-Jan-12 04-Okt-11 5,46 1,56 0,75 SPN03120119 19-Jan-12 18-Okt-11 4,81 1,93 0,20 SPN03120202 02-Feb-12 01-Nov-11 4,72 2,74 1,10 SPN03120223 23-Feb-12 1,89 22-Nov-11 4,47 Rata-rata 4,84 Jumlah 0,30 52,82 12,45 1) Sumber: Kementerian Keuangan. Keterangan: 1) Terdapat dua pelelangan SPN 3 bulan tanpa ada pemenangnya yaitu penawaran sebesar Rp 2,84 triliun pada 9 Agustus 2011 dan Rp 1,27 triliun pada 13 September 2011 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 59 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Prospek pasar SPN 3 bulan di dalam negeri cukup baik. Besarnya kepercayaan pada instrumen ini tercermin dari oversubscribed penawaran pada setiap pelelangan.Tingkat kepercayaan tersebut tidak lepas dari kondisi fundamental domestik dan pengelolaan fiskal yang baik. Peningkatan peringkat utang Indonesia pada tahun 2011 oleh lembaga credit rating dunia, seperti Moody’s, S&P, dan Fitch merupakan bentuk kepercayaan masyarakat internasional terhadap kondisi ekonomi nasional. Di samping itu, kepercayaan akan tingkat kesehatan dan sustainabilitas fiskal turut mendorong tingginya minat investor terhadap SPN 3 bulan yang diterbitkan Pemerintah. Selama tahun 2011, total penawaran oleh masyarakat dalam lelang SPN 3 bulan mencapai Rp52,8 triliun dan penawaran yang dimenangkan sebesar Rp12,45 triliun. Minat investor yang besar memberikan keuntungan tersendiri berupa tersedianya sumber pembiayaan defisit yang relatif murah. 3.2.5. Harga dan Lifting Minyak Kinerja ekonomi dunia yang masih tumbuh berdampak pada naiknya konsumsi minyak, terutama di beberapa negara berbasis industri, seperti Cina dan Rusia. Badan Energi Amerika (Energy Information Administration/ EIA) mencatat rata-rata realisasi total konsumsi minyak dunia pada akhir Desember 2011 mencapai 87,98 jutabarel per hari. Tingkat konsumsi ini merupakan yang tertinggi sejak periode krisis tahun 2008. Sejalan dengan meningkatnya konsumsi minyak dunia, EIA memperkirakan harga minyak mentah dunia WTI pada tahun 2012 akan berada pada level USD96,80 per barel atau naik 2,0 persen dari rata-rata harga minyak mentah WTI pada tahun 2011 yang mencapai USD94,86 per barel. USD/barel Gambar 3.6. Perkembangan Harga ICP Tahun 2011 140 120 100 80 60 40 Des Okt Nop Sep Jul Agust Jun Apr Mei Mar Jan Feb Des Okt Nop Sep Jul Agust Jun Apr Mei Mar Jan Feb 20 0 Sumber: Kementerian ESDM Seiring dengan tren harga minyak global, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) juga mengalami volatilitas. Harga rata-rata ICP pada bulan Januari 2011 mencapai USD97,1 per barel dan pada April 2011 mencapai USD123,4 per barel. Harga ICP bertahan pada harga diatas USD100 per barel selama tahun 2011. Secara keseluruhan, harga ICP di tahun 2011 mencapai USD111,55 per barel yang merupakan rata-rata tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. 60 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam beberapa tahun terakhir, lifting minyak selalu di bawah target yang ditetapkan. Setelah pada tahun 2010 lifting minyak mencapai 954 ribu barel per hari (lebih rendah dari asumsi APBN-P 2010 965 ribu barel per hari), pada tahun 2011 realisasi lifting minyak (periode Desember 2010-November 2011) berjumlah 898 ribu barel per hari (lebih rendah dari target 945 ribu barel per hari). Permasalahan utama yang menghambat tercapainya lifting minyak tahun 2011 adalah penurunan produksi alamiah. Gambar 3.7. Lifting Minyak Indonesia Tahun 2008-2011 980 Ribu barel/hari 940 965 960 960 Anggaran Realisasi 954 944 945 931 927 920 898 900 880 860 2008 2009 2010 2011 Sumber: Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan 3.2.6. Neraca Pembayaran Di tengah ketidakpastian ekonomi global, kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2011, baik dari sisi transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial sedikit tertekan bila dibandingkan dengan tahun 2010. Tekanan terhadap kinerja neraca pembayaran terutama tercatat pada transaksi modal dan finansial akibat aliran keluar dana asing jangka pendek,sedangkan Foreign Direct Investment (FDI) masih dalam tren meningkat. Peningkatan FDI ini sejalan dengan membaiknya perspektif pasar tentang prospek investasi sebagaimana dicerminkan oleh peningkatan posisi Indonesia dalam A.T. Kearney - FDI Confidence Index. Sementara itu, kinerja transaksi berjalan diperkirakan sedikit menurun, karena menguatnya impor yang sejalan dengan tingginya kegiatan ekonomi domestik. Kendati terdapat tekanan pada dua triwulan terakhir, untuk keseluruhan tahun 2011, NPI masih mencatat surplus yang cukup besar. Surplus ini berkontribusi pada posisi cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2011 yang tercatat mencapai USD110,1 miliar atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Transaksi berjalan pada tahun 2011 mencatat surplus USD1,7 miliar. Jumlah ini lebih rendah bila dibandingkan dengan surplus pada tahun 2010 sebesar USD5,1 miliar. Neraca perdagangan dalam tahun 2011 mengalami surplus USD33,9 miliar, meningkat USD3,3 miliar jika dibandingkan dengan surplus pada tahun 2010 sebesar USD30,6 miliar. Hal ini dikarenakan membaiknya harga komoditas internasional. Sementara itu, defisit neraca pendapatan meningkat dari USD20,8 miliar pada 2010 menjadi USD25,8 miliar pada 2011. Peningkatan defisit pendapatan disebabkan bertambahnya pembayaran hasil keuntungan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan imbal hasil kepada investor asing. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 61 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Transaksi modal dan finansial pada tahun 2011 mencatat surplus USD14,0 miliar. Surplus ini bersumber dari investasi langsung dan portofolio yang sejalan dengan membaiknya iklim investasi dan kondisi ekonomi makro yang stabil. Berdasarkan perkembangan besaran-besaran neraca pembayaran tersebut, maka dalam tahun 2011, neraca keseluruhan mengalami surplus USD11,9 miliar, sehingga cadangan devisa mencapai USD110,1 miliar. Tabel 3.3. Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2010-2011 NPI (USD Miliar) Uraian A. Transaksi Berjalan 1. 2010 Neraca Perdagangan 1,7 33,9 a. Ekspor, FOB 158,1 200,6 b. Impor, FOB -127,4 -166,6 -9,3 -10,6 -20,8 -25,8 2. Jasa-jasa 3. Pendapatan 4. Transfer Berjalan B. Transaksi Modal dan Finansial 1. Neraca Modal 0,1 0,0 2. Neraca Finansial 26,6 14,0 a. Investasi Langsung 11,1 11,1 b. Investasi Portofolio 13,2 4,5 c. Investasi lainnya 4,6 4,2 26,6 14,0 2,3 -1,6 31,8 15,7 C. Total (A+B) D. Selisih yang Belum Diperhitungkan -1,5 -3,9 E. Keseimbangan Umum (C+D) 30,3 11,9 96,207 110,1 Cadangan Devisa Sumber: Bank Indonesia. | 5,1 30,6 62 2011 LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA halaman ini sengaja dikosongkan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 63 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 64 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PROFESIONALISME Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 65 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 04 Penerimaan Negara 4.1. Kinerja Perpajakan 4.1.1. Penerimaan Pajak Realisasi penerimaan pajak neto Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tanpa PPh Migas tahun 2011 sebesar Rp669,65 triliun. Angka ini tumbuh Rp108,32 triliun atau 19,30 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2010 sebesar Rp561,33 triliun. Realisasi tersebut mencapai 95,88 persen dari rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2011 sebesar Rp698,44 triliun. Sementara realisasi penerimaan pajak neto DJP termasuk PPh Migas tahun 2011 tercatat sebesar Rp742,74 triliun dengan pertumbuhan Rp122,54 triliun atau 19,76 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2010 sebesar Rp620,20 trilun. Realisasi tersebut mencapai 97,26 persen dari rencana APBN-P 2011 sebesar Rp763,67 triliun. 66 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar 4.1. Perbandingan Realisasi Penerimaan Tahun 2010, Target Penerimaan Tahun 2011, dan Realisasi Penerimaan Tahun 2011 per Jenis Pajak 400 366,75 350 Rp Triliun 300 358,03 298,17 298,44 277,80 250 230,60 Realisasi 2010 200 Target 2011 150 Realisasi 2011 100 65,23 58,87 50 73,10 28,58 29,06 29,89 3,97 4,19 3,93 PPh Nonmigas PPN & PPnBM PBB Pajak Lainnya PPh Migas Sumber: LKPP Pertumbuhan realisasi penerimaan per jenis pajak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. PPh Nonmigas pada tahun 2011 mencapai Rp358,03 triliun atau tumbuh Rp59,85 triliun (20,07 persen) dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp298,17 triliun; 2. PPN dan PPnBM pada tahun 2011 mencapai Rp277,80 triliun atau tumbuh Rp47,19 triliun (20,47 persen) dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp230,60 triliun; www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 67 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. PBB pada tahun 2011 mencapai Rp29,89 triliun atau tumbuh Rp1,31 triliun (4,59 persen) dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp28,58 triliun; 4. Pajak Lainnya pada tahun 2011 mencapai Rp3,93 triliun atau tumbuh negatif Rp0,04 triliun (-1,02 persen) dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp3,97 triliun; dan 5. PPh Migas pada tahun 2011 mencapai Rp73,10 triliun atau tumbuh Rp14,22 triliun (24,16 persen) dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp58,87 triliun. Tabel 4.1. Kinerja Penerimaan Pajak Tahun 2007-2011 Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 Penerimaan Dalam Negeri (Rp Triliun) 706,11 979,30 847,10 992,25 1.205,35 Total Penerimaan Perpajakan (Rp Triliun) 490,99 658,70 619,92 723,31 873,87 Total Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (Rp Triliun) 425,37 571,11 544,53 620,20 742,74 44,00 77,02 50,04 58,87 73,10 Penerimaan PPh Migas (Rp Triliun) Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (Rp Triliun) 381,37 494,09 494,49 561,33 669,65 Pertumbuhan Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (%) 18,75 34,26 (4,65) 13,90 19,76 Pertumbuhan Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (%) 21,07 29,56 0,08 13,52 19,30 6,30 6,20 4,50 6,10 6,46 Pertumbuhan Ekonomi (%) Inflasi (%) 6,59 11,06 2,78 6,96 3,79 13,31 17,95 7,41 13,48 10,49 Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (%) 5,45 16,31 (12,06) 0,41 9,26 Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (%) 7,76 11,61 (7,32) 0,33 8,08 Pertumbuhan Alami (%) Sumber: LKPP Keterangan: Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP = Pertumbuhan Penerimaan DJP - Pertumbuhan Alami Penerimaan pajak tahun 2007 – 2009 termasuk BPHTB Penerimaan pajak tahun 2010 – 2011 tidak termasuk BPHTB 4.1.2. Quick Wins Penyempurnaan Proses Bisnis dan Optimalisasi Teknologi Informasi Pada tahun 2011-2014, DJP telah mencanangkan Reformasi Perpajakan Jilid Kedua yang ditandai dengan realisasi Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) dalam jangka waktu 6 hingga 12 bulan. Untuk mendukung implementasi PINTAR dan menciptakan nilai tambah atas proses bisnis yang ada, telah diidentifikasi 19 inisiatif terkait penyempurnaan proses bisnis dan optimalisasi teknologi informasi yang diharapkan menghasilkan peningkatan kinerja. Inisiatif ini disebut dengan Quick Wins DJP 2011-2012, karena dapat menghasilkan outcome signifikan dalam waktu relatif singkat. Quick Wins diupayakan selaras dengan rencana strategis DJP, dengan berfokus pada perbaikan kualitas perekaman data (data capture) SPT dan SSP, peningkatan penerimaan pajak, penambahan jumlah Wajib Pajak, dan persiapan implementasi PINTAR. Sampai dengan akhir tahun 2011, hampir seluruh inisiatif Quick Wins DJP yang mulai dicanangkan pada Agustus 2011 telah mendekati proses finalisasi. Quick Wins diharapkan tetap mendukung proses bisnis DJP secara keseluruhan, sehingga tercipta sistem administrasi perpajakan modern yang lebih efektif dan terpercaya. 68 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.2. Kemajuan Quick Wins DJP Tahun 2011-2012 Skala Prioritas Kemajuan (%) Loading data SPT ke SIDJP menggunakan Web Service Utama 98 I.2. Database dan hardware tuning untuk SIDJP secara sistematis Utama 98 I.3. Mengembangkan prosedur untuk memonitor secara aktif data processing pada SIDJP serta quick response jika terdapat permasalahan Utama 75 I.4. Data cleansing untuk mengeliminasi duplikasi data masterfile NPWP Utama 95 I.5. Penyempurnaan aplikasi PKPM (Pajak Keluaran-Pajak Masukan) Utama 98 I.6. Perbaikan proses pemasukan data (data entry) pada PPDDP Utama 70 I.7. Pengembangan sistem profiling Wajib Pajak Utama 95 I.8. Pengumpulan data pihak ketiga secara sistematis Sedang 80 I.9. Pengembangan tools dan metodologi untuk otomatisasi aktivitas pengawasan kepatuhan Wajib Pajak (compliance activities) Sedang 80 I.10. Pengembangan tools dan metodologi untuk otomatisasi penagihan berdasarkan risk, reward & aging Sedang 80 I.11. Perbaikan interface MPN dengan SIDJP/SIPMOD Sedang 95 No. Inisiatif Quick Wins I.1. I.12. Rekonsiliasi/audit data MPN – KPPN Sedang 5 I.13. Review software SIDJP untuk meningkatkan performa software Kontinyu 50 I.14. Review infrastruktur KPP (hardware dan network) Kontinyu 98 II.1. Pengembangan monitoring pembayaran pajak melalui MIS/EIS Utama 95 II.2. Pengembangan alokasi SDM pemeriksaan berdasarkan risiko dan potensi Utama 75 II.3. Penambahan Data Processing Center baru Utama 75 II.4. Promosi dan demosi Wajib Pajak Sedang 100 II.5. Peningkatan nilai tambah kepada Wajib Pajak Besar badan dan orang pribadi pada KPP Wajib Pajak Besar melalui pelayanan yang tinggi dan compliance cost yang rendah Sedang 55 Keterangan: Data per 31 Desember 2011. 4.2. Penyempurnaan Kebijakan Perpajakan 4.2.1. Ketentuan Perpajakan di Bidang KUP Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007. Dalam penerapan peraturan tersebut di masyarakat, Pemerintah memandang perlu untuk melengkapi dan menyempurnakan PP No. 80 Tahun 2007 agar memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakan, serta untuk menyelaraskan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPh, serta Undang-Undang PPN dan PPnBM. Pada tanggal 29 Desember 2011, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang mencabut PP No. 80 Tahun 2007 dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2012. Hal-hal yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2011, antara lain adalah: www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 69 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. penjelasan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP; 2. penegasan pelaksanaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, seperti Mutual Agreement Procedure, Advance Pricing Agreement, dan Exchange of Information; 3. pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UndangUndang KUP; 4. penghapusan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang KUP; serta 5. verifikasi dalam rangka penerbitan atau penghapusan NPWP, pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dan penerbitan surat ketetapan pajak. DJP secara intensif juga melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan Pasal 35A Undang-Undang KUP yang mengatur kewajiban pihak eksternal untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP. Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh DJP. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar DJP. Sampai dengan akhir tahun 2011 Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut masih dalam tahap penyelesaian. Beberapa ketentuan yang diterbitkan selama tahun 2011 dalam rangka menyempurnakan peraturan pelaksanaan yang ada, antara lain mengatur mengenai: 1. tata cara penghitungan dan pemberian imbalan bunga; 2. tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; 3. tata cara pemeriksaan pajak; dan 4. tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara. 4.2.2. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPh Beberapa ketentuan perpajakan di bidang PPh yang diterbitkan tahun 2011 antara lain mengatur mengenai: 1. pencabutan ketentuan mengenai PPh atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa; 2. fasilitas PPh untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu; 3. perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap dan tata cara pemberitahuannya oleh Wajib Pajak; 4. tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto; 70 5. tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga obligasi; 6. tata cara penghitungan dan pembayaran PPh atas surplus Bank Indonesia; 7. pengenaan PPh untuk kegiatan usaha perbankan syariah dan pembiayaan syariah; | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8. penentuan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, beserta aturan terkait lainnya; dan 9. badan/lembaga yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 4.2.3. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPN dan PPnBM Ketentuan perpajakan di bidang PPN dan PPnBM yang diterbitkan sepanjang tahun 2011 antara lain mengatur hal-hal, yaitu: 1. perubahan batasan harga jual Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN; 2. tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban subsidi jenis BBM tertentu. Salah satu ketentuan yang diatur adalah PPN atas subsidi BBM tertentu merupakan bagian dari subsidi harga. Mekanisme PPN tersebut menggantikan mekanisme PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP); 3. tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri; 4. batasan kegiatan dan jenis jasa kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN; 5. tata cara penatausahaan PPN DTP atas penyerahan minyak goreng kemasan sederhana dan/atau minyak goreng sawit curah di dalam negeri; 6. penentuan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak; dan 7. tata cara penerbitan faktur pajak dan surat setoran pajak atas penyerahan jenis BBM tertentu dan/atau liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram. 4.2.4. Ketentuan Perpajakan di Bidang PBB Beberapa ketentuan perpajakan di bidang PBB yang diterbitkan tahun 2011 mengatur hal-hal antara lain, yaitu: 1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB; 2. penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB; 3. tata cara penetapan Wajib Pajak atas objek PBB yang belum jelas diketahui Wajib Pajaknya dan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak; 4. bentuk dan isi nota penghitungan, skp PBB, STP PBB, surat keputusan kelebihan pembayaran pajak PBB, dan Surat Pemberitahuan; 5. pengenaan PBB sektor perhutanan; dan 6. tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran PBB. Terkait dengan tahapan pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai Pajak Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, selama tahun 2011 DJP beserta tim dari Kementerian Keuangan melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap persiapan pengalihan dan pelaksanaan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah kabupaten/kota yang telah mengadministrasikan PBB-P2. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 71 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.3 Pelaksanaan Pengalihan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah Tahun Jumlah Kabupaten/Kota 2011 1 Kota Subaraya 2012 17 Kota Medan, Kab Deli Serdang, Kota Pekan Baru, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung, Kota Depok, Kab. Bogor, Kota Semarang, Kab. Sukoharjo, Kota Yogyakarta, Kab. Sidoarjo, Kota Gresik, Kota Pontianak, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, Kota Gorontalo, dan Kota Palu 2013 60 Perkiraan berdasarkan kesiapan Pemerintah daerah 2014 419 Kabupaten/kota yang belum mengelola PBB-P2 tahun 2011 - 2013 Keterangan Sumber: Data tahun 2012-2014, DJPK dan DJP per 1 Februari 2012. 4.2.5. Fasilitas Perpajakan Ketentuan pemberian fasilitas perpajakan terbaru yang diterbitkan selama tahun 2011 meliputi aspek-aspek berikut. 1. Pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: t luas bangunan tidak melebihi 36 m2; t harga jual tidak melebihi Rp70.000.000; dan t merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu lima tahun sejak dimiliki. 2. PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) atas penyerahan minyak goreng kemasan sederhana dan/atau minyak goreng sawit curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak. 3. Pemberian subsidi harga dan PPN atas subsidi harga BBM tertentu dan/atau LPG tabung 3 kg. 4. Pengurangan penghasilan neto sampai dengan 30 persen, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian sampai dengan sepuluh tahun, dan pengenaan PPh atas dividen maksimal sebesar 10 persen. Fasilitas tersebut dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidangbidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu. 5. Pembebasan PPh Badan yang dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama sepuluh Tahun Pajak dan paling singkat lima Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial, serta fasilitas pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen dari PPh terutang selama dua Tahun Pajak setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan PPh Badan. Fasilitas tersebut diberikan kepada Wajib Pajak Badan baru yang memenuhi kriteria: t merupakan industri pionir yang mencakup: (i) industri logam dasar; (ii) industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; (iii) industri permesinan; (iv) industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau (v) industri peralatan komunikasi. t mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang 72 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA berwenang paling sedikit sebesar satu triliun rupiah; dan t menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10 persen dari total rencana penanaman modal dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal. 6. PPh DTP atas: t hasil pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan energi/listrik tahun anggaran 2011; dan t bunga atau imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara di pasar internasional tahun anggaran 2011. 7. Fasilitas pengangsuran dan penundaan pembayaran PBB bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas, kesulitan keuangan, atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. 4.3. Penggalian Potensi Perpajakan 4.3.1. Ekstensifikasi Kegiatan ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi merupakan kegiatan yang masuk dalam peta strategis DJP 2011. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperluas basis pengenaan pajak melalui upaya menambah wajib pajak baru sejalan dengan usaha meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan harapan penerimaan pajak negara akan optimal. Kegiatan ekstensifikasi merupakan upaya proaktif DJP dalam menambah jumlah wajib pajak baru dengan sasaran wajib pajak orang pribadi yang menurut peraturan perpajakan diwajibkan untuk memiliki NPWP, serta memberi kemudahan untuk memperoleh NPWP. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemberi kerja dengan sasaran wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja termasuk komisaris, pemegang saham, direksi dan karyawan pada perusahaan swasta atau BUMN serta PNS baik tingkat pusat maupun daerah. Gambar 4.2. Realisasi Capaian FIS Tahun 2011 per Kategori 13.45% Kategori 1 : Responden ada dan bersedia menandatangani FIS Kategori 2 : Responden ada dan namun menolak menandatangani FIS 15.68% 68.52% 2.35% Kategori 3 : Responden tidak namun FIS dapat dititipkan Kategori 4 : Kosong Keterangan: Data per tanggal 2 Februari 2012 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 73 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Di tahun 2011, DJP meluncurkan program Sensus Pajak Nasional (SPN) sebagai salah satu terobosan dalam upaya pencapaian target penerimaan pajak yang selalu meningkat setiap tahun. SPN pada dasarnya mengakomodasi pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak serta upaya intensifikasi melalui kegiatan pengumpulan basis data primer yang diperoleh secara langsung dari wajib pajak. Program ini merupakan program nasional berbasis wilayah yang dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan potensi dan feedback. Tahap pertama dilaksanakan di sentra ekonomi atau kawasan bisnis dengan menyasar subjek yang melakukan usaha. SPN dilaksanakan selama bulan Oktober dan November 2011 di 299 KPP Pratama di seluruh Indonesia. Dari target pengumpulan sebanyak 1.030.903 FIS, pelaksanaan SPN tahun 2011 memperoleh pengumpulan 646.655 FIS atau 62,73 persen. Dari jumlah FIS yang telah diperoleh tersebut, 523.961 FIS telah dilakukan perekaman. Tabel 4.4. Hasil Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2007-2011 Wajib Pajak 2007 2008 2009 2010 2011 1. Orang Pribadi Hasil Ekstensifikasi 1.756.531 4.892.032 9.019.975 10.922.128 12.208.981 a. Orang Pribadi Karyawan 1.639.815 4.648.324 8.606.567 10.433.183 11.670.075 b. Orang Pribadi Nonkaryawan 116.716 243.708 413.408 488.945 538.906 3.231.918 3.496.784 4.929.775 6.405.056 7.704.923 c. Orang Pribadi Karyawan 1.375.237 1.496.400 2.471.589 3.543.625 4.504.701 d. Orang Pribadi Nonkaryawan 1.856.681 2.000.384 2.458.186 2.861.431 3.200.222 2. Orang Pribadi Sukarela 3.Bendahara 348.451 379.681 434.355 467.984 507.844 1.308.160 1.443.570 1.580.287 1.737.459 1.942.811 6.645.060 10.212.067 15.964.392 19.532.627 22.364.559 4.Badan Jumlah Wajib Pajak Terdaftar (1+2+3+4) Keterangan: Data per 31 Desember tahun bersangkutan dan hasil data cleansing tahun 2011 (diolah). Berdasarkan perekaman FIS kategori 1, 2, dan 3, responden yang belum memiliki NPWP sebanyak 283.348 orang atau 54,71 persen dan responden yang telah memiliki NPWP sebanyak 234.515 orang atau 45,29 persen. Responden yang belum memiliki NPWP ditindaklanjuti dengan kegiatan ekstensifikasi, sedangkan responden yang telah terdaftar sebagai wajib pajak ditindaklanjuti dengan proses bisnis pengawasan sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP) yang berlaku. Program ekstensifikasi yang telah dicanangkan secara nasional merupakan jawaban atas permasalahan yang selama ini dihadapi oleh DJP terkait lambatnya laju penambahan NPWP baru setiap tahunnya. Gambar 4.3. Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Tahun 2007-2011 25 22,36 20 Jutaan 0,43 1,58 10,21 7,70 OP Sukarela 1,31 0,38 6,41 Badan 4,93 Bendaharawan 1,44 6,65 3,23 - OP Hasil Ekstensifikasi 1,74 15,96 5 1,94 0,47 15 10 0,51 19,53 0,35 3,50 10,92 12,21 2010 2011 9,02 Jumlah WP Terdaftar 4,89 1,76 2007 2008 2009 Sumber: DJP. Keterangan: Data per 31 Desember tahun bersangkutan dan hasil data cleansing tahun 2011. 74 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Di bidang PBB, kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui pendataan, yaitu pemeliharaan dan pembentukan data obyek dan subyek PBB yang terdapat dalam Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak (Sismiop) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan pendataan adalah menciptakan basis data obyek dan subyek PBB yang akurat dan terkini, sehingga tercipta pengenaan pajak yang lebih adil dan merata, peningkatan pokok ketetapan, tertib administrasi, dan penerimaan PBB, serta dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak. Gambar 4.4. Jumlah Objek Terdaftar Tahun 2007-2011 120 100 Jutaan 80 93,56 97,17 77,23 100,16 83,26 103,56 89,09 102,99 89,64 69,46 60 Objek Pajak 40 Objek Pajak Sismiop 20 0 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: DJP. Gambar 4.5. Jumlah Peta Digital Tahun 2007-2011 100 Jutaan 80 71,77 74,15 75,80 77,03 76,04 60 40 24,94 31,17 38,80 35,42 41,34 Desa/Kelurahan 20 Desa/Kelurahan Digital 0 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: DJP. 4.3.2. Intensifikasi Optimalisasi penerimaan pajak melalui intensifikasi pada tahun 2011 diprioritaskan pada 1000 wajib pajak penentu penerimaan pada setiap KPP melalui program/kegiatan berikut ini. 1. Pengawasan Pembayaran Masa Pengawasan pembayaran masa adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan terhadap pembayaran masa pada suatu bulan tertentu. Tujuan dari program ini adalah pengamanan penerimaan pajak serta upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban pembayaran masa. Hal ini mengingat data penerimaan menunjukkan bahwa kontribusi pembayaran masa terhadap penerimaan nasional cukup besar, yaitu sekitar 75 persen pada tahun 2009 dan 77 persen pada tahun 2010. Pengawasan dilakukan untuk seluruh kewajiban pembayaran masa atas jenis pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final, dan PPN/PPnBM. Prioritas pengawasan pembayaran masa dilakukan terhadap: www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 75 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t seluruh wajib pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya; serta t seribu wajib pajak penentu penerimaan untuk KPP Pratama dan KPP yang memiliki lebih dari 1.000 wajib pajak. 2. Pemanfaatan Feeding Feeding adalah program pertukaran data wajib pajak antar KPP dengan memanfaatkan teknologi informasi. Program yang diluncurkan pada tahun 2011 dimanfaatkan untuk pemutakhiran profil wajib pajak, peningkatan penerimaan pajak, dan menjaring wajib pajak baru. 3. Pengawasan Wajib Pajak Bendahara Bendahara dalam pekerjaannya bertugas membelanjakan belanja Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, dimana dalam belanja tersebut bendahara wajib melakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPN Dalam Negeri. Mengingat besarnya pengeluaran belanja pusat maupun daerah maka penerimaan pajak dari sektor bendahara mempunyai peranan yang besar, sehingga diperlukan pengawasan secara khusus terhadap kepatuhan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh bendahara. Pengawasan Wajib Pajak Bendahara difokuskan pada pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21, hal tersebut dikarenakan: t PPh Pasal 21 Bendahara memiliki andil yang cukup besar terhadap penerimaan PPh Pasal 21 nasional dengan kontribusi sekitar 25%; t penerimaan PPh Pasal 21 merupakan penyumbang penerimaan bendahara yang paling besar, yaitu kurang lebih sekitar 90% dari total penerimaan pajak bendahara; dan t PPh Pasal 22, Pasal 23, PPh Final dan pajak lainnya bersifat incidental sehingga sulit diawasi kepatuhan formalnya dan sulit dilakukan pengawasan kepatuhan materialnya. Tabel 4.5. Perkembangan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Bendahara Tahun 2011 Bulan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Tepat Waktu Terlambat Total Januari 8.281 2.804 11.085 Februari 6.116 1.158 7.274 912 - 912 April 6.649 3.867 10.516 Mei 6.895 3.424 10.319 Juni 7.393 2.411 9.804 Juli 12.072 5.726 17.798 Agustus 10.376 5.393 15.769 September 11.407 4.225 15.632 Oktober 15.487 8.662 24.149 November 15.562 6.398 21.960 Desember 17.274 1.289 18.563 Maret Sumber: DJP. 76 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4.4. Penegakan Hukum 4.4.1. Pemeriksaan Berdasarkan tujuannya, pemeriksaan dibagi menjadi pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan ditujukan untuk menguji kebenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak. Pemeriksaan dengan tujuan ini menghasilkan surat ketetapan pajak. Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain tidak dimaksudkan untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, tetapi untuk memberikan pelayanan tertentu kepada wajib pajak, seperti dalam rangka penghapusan NPWP, pengukuhan atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan berdasarkan hasil analisis risiko atas profil wajib pajak yang dilakukan oleh Account Representative atau berdasarkan hasil analisis informasi data, laporan, dan pengaduan (IDLP), yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak. Selain itu, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan juga dilakukan dalam hal terdapat permohonan restitusi oleh wajib pajak. DJP menggunakan dua pendekatan dalam pengukuran kinerja pemeriksaan, yaitu kuantitas penyelesaian pemeriksaan dan kualitas hasil pemeriksaan. Kinerja pemeriksaan dengan pendekatan kuantitas diukur berdasarkan realisasi penyelesaian pemeriksaan dibandingkan dengan target penyelesaian pemeriksaan. Standar penyelesaian pemeriksaan ditetapkan berdasarkan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak SPT Tahunan PPh Badan. Dalam hal ruang lingkup pemeriksaan yang dilakukan selain pemeriksaan all taxes SPT Tahunan PPh Badan, maka pemeriksaan tersebut dikonversi, sehingga setara dengan pemeriksaan all taxes SPT Tahunan PPh Badan. Tabel 4.6. Kinerja dan Pencapaian Target Pemeriksaan Tahun 2011 Target Penyelesaian Pemeriksaan (Laporan Hasil Pemeriksaan/LHP konversi) Penyelesaian Pemeriksaan (LHP konversi) Rutin Khusus 39.644 LHP 28.220 LHP 31.879 LHP 3.659 LHP Persentase Pencapaian Target Penyelesaian 80,41% Target Penerimaan dari Pemeriksaan Pemeriksaan Rp9,00 triliun Realisasi Penerimaan dari Pemeriksaan Rp11,11 triliun Persentase Pencapaian Target Penerimaan dari Pemeriksaan 123,44 % Target Persentase Hasil Pemeriksaan dan Refund Discrepancy terhadap Penerimaan Pajak 1% Refund Discrepancy Rp4,80 triliun Realisasi Penerimaan Pajak Nasional Rp669,65 triliun Persentase Hasil Pemeriksaan dan Refund Discrepancy terhadap Penerimaan Pajak Nasional 2,38% Sumber: DJP. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 77 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sedangkan kinerja pemeriksaan dengan pendekatan kualitas diukur dengan menghitung kontribusi kegiatan pemeriksaan terhadap penerimaan nasional, yaitu membandingkan nilai refund discrepancy ditambah realisasi penerimaan dari hasil pemeriksaan dengan realisasi penerimaan nasional. Refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan wajib pajak melalui SPT Tahunan/Masa. Sementara realisasi penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan dihitung dari pembayaran surat ketetapan pajak dalam kurun waktu sebelum dilakukannya tindakan penagihan. Tabel 4.7. Perkembangan Realisasi Penyelesaian Pemeriksaan (Riil) dan Jumlah Pemeriksa Pajak Tahun 2008-2011 Tahun 2008 Jumlah LHP (riil) Jumlah Pemeriksa Pajak (*tidak termasuk Penyidik) 2009 2010 2011 21.178 69.195 64.988 61.351 3.098 3.031 4.159* 4.113* Sumber: DJP. 4.4.2. Penagihan Dasar penetapan target pencairan piutang pajak mempertimbangkan estimasi kemampuan membayar wajib pajak/penanggung pajak, yang mencakup hal-hal berikut ini. 1. Estimasi pencairan atas saldo awal piutang pajak dengan memperhitungkan nilai piutang lancar, kurang lancar, diragukan, dan perhatian khusus, serta memperhatikan besaran penyisihan piutang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih. 2. Estimasi pencairan atas ketetapan yang terbit pada tahun berjalan berdasarkan rata-rata pencairan piutang pajak yang dibayar di atas 30 hari atau setelah jatuh tempo pembayaran atas ketetapan yang terbit pada tahun berjalan selama tiga tahun terakhir. Untuk efektivitas pencairan piutang pajak, ditetapkan prioritas tindakan penagihan atas kondisi piutang pajak, yaitu: 1. piutang pajak yang akan daluwarsa; 2. piutang pajak yang termasuk dalam 100 besar penunggak pajak pada KPP; 3. piutang pajak dengan nilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 per wajib pajak/penanggung pajak; 4. piutang pajak yang wajib pajak/penanggung pajaknya memiliki tingkat likuiditas keuangan tinggi (memiliki kemampuan membayar) dan memiliki kemauan untuk melunasi atau piutang pajak memiliki kriteria lancar; 5. piutang pajak yang wajib pajak/penanggung pajaknya memiliki kemampuan membayar, namun tidak kooperatif dalam pembayaran utang pajaknya; 6. piutang pajak yang penanggung pajaknya termasuk dalam kategori selebriti, public figure, atau tokoh masyarakat; 7. piutang pajak yang wajib pajaknya memiliki tanda-tanda kepailitan, dalam proses pailit, atau telah selesai proses kepailitannya; dan 8. piutang pajak yang wajib pajaknya memiliki tanda-tanda akan dilikuidasi/dibubarkan, atau dalam proses likuidasi/pembubaran. Pada tahun 2011 DJP berhasil merealisasikan pencairan piutang pajak sebesar Rp12.240.956.578.940. Kontributor terbesar adalah PPh Pasal 25 Badan yang mencapai Rp3.689.139.557.395, kemudian diikuti oleh PPN sebesar Rp2.816.881.535.934, dan PBB sektor perkotaan sejumlah Rp2.203.243.839.682. 78 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.8 Realisasi Pencairan Piutang Pajak Tahun 2011 Jenis Pajak Pencairan 2011 (Rp) PPh Pasal 25 Orang Privadi 128.824.098.466 PPh Pasal 25 Badan 3.689.139.557.395 PPh Pasal 21 413.045.614.332 PPh Pasal 22 20.358.399.701 PPh Pasal 23 399.004.567.186 PPh Pasal 26 721.174.365.789 PPh Pasal 4 ayat (2) 184.154.351.033 PPN 2.816.881.535.934 PPnBM 41.992.489.535 Bunga Penagihan 439.713.015.365 Pajak Tidak Langsung Lainnya 200.000 PBB Sektor Pedesaan 378.029.637.202 PBB Sektor Perkotaan 2.203.243.839.682 PBB Sektor Perkebunan 447.288.717.461 PBB Sektor Perhutanan 114.675.408.636 PBB Sektor Pertambangan Nonmigas 243.430.781.222 PBB Sektor Pertambangan Migas Jumlah Pencairan Nasional 12.240.956.578.940 Sumber: DJP. 4.4.3. Penyidikan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga merupakan upaya penegakan hukum terakhir yang dimiliki DJP sesuai amanat undang-undang. Keberhasilan penyidikan sangat bergantung dari pengembangan dan analisis IDLP yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan. Selama tahun 2011 DJP telah menyelesaikan 389 pemeriksaan bukti permulaan dan 49 diantaranya diusulkan untuk ditingkatkan ke penyidikan. Sementara jumlah kasus penyidikan yang dilaksanakan oleh unit penyidikan di seluruh Indonesia berjumlah 118 kasus penyidikan. Dari jumlah tersebut selama tahun 2011 telah diserahkan sebanyak 27 Berkas Perkara kepada Kejaksaan, terdiri dari 24 berkas telah dinyatakan lengkap (P-21) dan 3 berkas dinyatakan belum lengkap (P-19). Pada tahun 2011 sebanyak 15 Berkas Perkara dengan 14 terdakwa telah disidangkan dan divonis oleh pengadilan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 79 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.9. Kinerja Penyidikan Perpajakan Tahun 2007-2011 No. Keterangan I. 2007 2008 2009 2010 2011 Berkas diserahkan ke Kejaksaan II. A Berkas P-19 0 24 19 14 3 Kerugian Negara (Rp miliar) 0 1.412 162 233 5 Tersangka 0 13 16 12 6 B Berkas telah P-21 Kerugian Negara (Rp miliar) Tersangka: Status P-21 17 11 24 19 24 514 131 329 509 169 21 11 18 16 18 Berkas Sudah Divonis Jumlah sudah divonis Kerugian Negara (Rp miliar) Denda Pidana (Rp miliar) Terdakwa 8 13 18 13 15 100 463 288 409 58 6,8 115 633 301 42 9 17 14 11 14 Sumber: DJP. Keterangan: Data per 31 Desember 2011. 4.5. Penyelesaian Sengketa Perpajakan 4.5.1. Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan Penyelesaian, keberatan, pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan ketetapan pajak baik karena permohonan maupun secara jabatan selama tahun 2011 secara nasional adalah berikut ini. Tabel 4.10. Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan per Jenis Pajak Tahun 2011 Jenis Layanan PPh Pembetulan Keberatan PPN/PPnBM PBB BPHTB Jumlah 751 658 3.239 1 4.649 3.525 6.242 6.358 5 16.130 Pengurangan Pokok - - 26.561 44 26.605 Pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi 5.562 7.338 2.203 3 15.106 Pengurangan atau Pembatalan SKP 1.312 1.719 7.985 2 11.018 Pengurangan atau Pembatalan STP 948 1.143 - 4 2.095 5 29 - - 34 12.103 17.129 46.346 59 75.637 Pembatalan Hasil Pemeriksaan Pajak/SKP Hasil Pemeriksaan Total Sumber: DJP. 4.5.2. Banding dan Gugatan Pengajuan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim dan telah diterima putusannya oleh DJP selama tahun 2011 berjumlah 3.202 putusan. 80 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.11. Distribusi Putusan Banding dan Gugatan Berdasarkan Amar Putusan yang Diterima DJP selama Tahun 2011 Amar Putusan Banding Gugatan Jumlah Menolak 473 282 755 Mengabulkan Sebagian 668 18 686 Mengabulkan Seluruhnya 719 126 845 Membatalkan 18 33 51 Tidak Dapat Diterima 358 414 772 2 0 2 2.238 873 3.111 83 8 91 Menambah Jumlah Membetulkan Salah Tulis/Hitung Sumber: DJP. Keterangan: Amar Putusan berupa Membetulkan Salah Tulis/Hitung merupakan putusan yang membetulkan putusan yang sudah ada sebelumnya. 4.5.3. Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung oleh DJP disampaikan dalam bentuk Memori PK. Atas Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh wajib pajak, DJP wajib menjawab dalam bentuk Kontra Memori PK. Selama tahun 2011, DJP telah melakukan pengajuan Memori PK sejumlah 938 dan Kontra Memori PK sebanyak 340. Tabel 4.12. Pengajuan Peninjauan Kembali dan Kontra Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Tahun 2011 Memori PK KontraMemori PK Jumlah PPh Jenis Pajak 453 121 574 PPN dan PPnBM 477 215 692 PBB dan BPHTB 8 4 12 938 340 1.278 Jumlah Sumber: DJP. Dalam tahun 2011, DJP menerima Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung berjumlah 372 putusan. Tabel 4.13. Distribusi Putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung berdasarkan Asal Pemohon dan Amar Putusan yang Diterima DJP selama Tahun 2011 Pemohon Menolak Mengabulkan Jumlah DJP 169 2 171 Wajib Pajak 195 6 201 Jumlah 364 8 372 Sumber: DJP. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 81 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4.6. Penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai Realisasi Penerimaan DJBC pada tahun 2011 mencapai Rp131.103,89 miliar atau 113,99 persen dari target APBN Perubahan Tahun 2011. Tabel 4.14. Target dan Realisasi Penerimaan DJBC Tahun Anggaran 2011 (Rp Juta) Target Penerimaan Jenis Penerimaan 1. Bea Masuk Bea Masuk Riil BM-DTP 2. Cukai 3. Bea Keluar Total 4.6.1. APBN-P Kenaikan Target 17.902.008,00 21.500.792,21 3.598.784,21 20,10 25.238.844,47 117,39 15.902.008,00 21.000.792,21 5.098.784,21 32,06 25.191.492,93 119,95 2.000.000,00 500.000,00 -1.500.000,00 -75,00 62.759.938,00 68.075.339,10 5.315.401,10 8,47 APBN Persen (%) Realisasi Pencapaian APBN-P (%) 47.351,54 9,47 77.009.461,32 113,12 5.107.302,00 25.439.075,92 20.331.773,92 398,09 28.855.579,54 113,43 85.769.248,00 115.015.207,23 29.245.959,23 34,10 131.103.885,33 113,99 Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk Dapat terlampauinya target Penerimaan Bea Masuk dikarenakan tingginya tingkat importasi. Pada tahun 2011, nilai dutiable import mencapai USD140,86 miliar, serta adanya upaya DJBC dalam merealisasikan potensi penerimaan dari piutang Bea Masuk dengan tingkat kolektibilitas yang cukup tinggi, yaitu mencapai 80 persen. 4.6.2. Pencapaian Target Penerimaan Bea Keluar Penerimaan Bea Keluar yang melebihi target disebabkan tingginya harga CPO dan turunannya di pasar internasional. Tingginya harga berdampak pada meningkatnya tarif Bea Keluar atas ekspor komoditi CPO dan turunannya yang merupakan komoditi ekspor utama penyumbang Bea Keluar. Di samping itu, Bea Keluar atas ekspor biji kakao, kayu, rotan, dan kulit memberikan kontribusi yang cukup stabil. Tarif Bea Keluar untuk CPO pada tahun 2011 mencapai rata-rata 18 persen. Sedangkan Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO dan produk turunannya sepanjang tahun 2011 relatif tinggi, yaitu berkisar antara USD1.070,50 hingga USD1.957,92. 4.6.3. Pencapaian Target Penerimaan Cukai Dapat terlampauinya target penerimaan cukai pada tahun 2011 disebabkan adanya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlaku mulai 1 Januari 2011 dan adanya effort DJBC dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal. Penerimaan Cukai setiap bulan pada umumnya relatif stabil, kecuali pada bulan Februari dan Desember 2011 di mana terjadi peningkatan penerimaan CHT sebagai dampak tingginya pemesanan Pita Cukai Rokok untuk mengantisipasi kenaikan tarif Cukai Rokok yang biasanya diumumkan menjelang akhir tahun. Penerimaan bulan Februari 2011 cukup tinggi dikarenakan peningkatan pesanan pita cukai pada bulan Desember 2010 yang jatuh tempo pembayarannya pada bulan Februari 2011. Sedangkan tingginya penerimaan cukai pada bulan Desember 2011 disebabkan terjadinya pembayaran kredit cukai rokok sebelum jatuh tempo (jatuh tempo Januari 2012) agar dapat melakukan pemesanan pita cukai dengan tarif cukai lama untuk mengantisipasi kenaikan tarif Cukai Rokok pada Januari 2012. 82 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4.7. Pengawasan dan Penindakan Kepabeanan dan Cukai 4.7.1. Kegiatan Pengawasan Realisasi atas program kerja pengawasan yang ditetapkan pada tahun 2011 adalah berikut ini. 1. Melakukan operasi pengawasan penyelundupan fisik dan pelanggaran administrasi barang impor sebanyak 51 kali di seluruh Indonesia. Banyak temuan pelanggaran berupa kesalahan pemberitahuan jumlah dan jenis barang impor yang terkena larangan dan pembatasan yang tidak dilengkapai dengan ijin dari instansi terkait, pelanggaran tipe merk, spesifikasi, ukuran dan berat yang tidak sesuai pemberitahuan, nilai pabean yang tidak wajar, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. 2. Melaksanakan pengawasan dan penindakan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Operasi pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat (KB), Gudang Berikat (GB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dilaksanakan di wilayah pengawasan Kantor Wilayah DJBC Jakarta, Kantor Wilayah DJBC Banten, Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat, Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan DIY, serta Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I. Masih ditemukan adanya pelanggaran berupa kesalahan pemberitahuan jenis barang, HS dan tarif bea masuk, serta kesalahan pemberitahuan jumlah dan jenis barang dengan komoditi umumnya berupa barang elektronik. 3. Melaksanakan pengawasan dan penindakan penyelundupan di daerah rawan dan perbatasan. Operasi pengawasan untuk mencegah terjadinya penyelundupan di daerah rawan dan perbatasan dilaksanakan melalui operasi patroli laut di perairan wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC Nangroe Aceh Darussalam, Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara, Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau, Kantor Wilayah DJBC Riau dan Sumatera Barat, serta Kantor Wilayah DJBC Sumatera Bagian Selatan dengan menggunakan Kapal Patroli Bea dan Cukai dan Anak Buah Kapal dari Pangkalan Sarana Operasi Tipe A Tanjung Balai Karimun serta Wilayah perairan wilayah kerja Kalimantan Bagian Barat dan Kalimantan Bagian Timur dengan Kapal Ptroli Bea dan Cukai beserta Anak Buah Kapal dari Pangkalan Sarana Operasi Tipe B Pantoloan dengan Komandan Patroli dari Pegawai Direktorat Penindakan dan Penyidikan dan Kantor Pelayanan Utama Tipe B Batam. Beberapa hasil kegiatan patroli laut adalah berikut ini: t Salah satu patroli laut yang telah dilaksanakan adalah pencegahan kapal MT Western KGT dan MT Concertina yang kedapatan membawa komoditi crude oil sebanyak ±650 kilo liter dengan modus melakukan pemuatan dan pengangkutan barang ekspor berupa crude oil tanpa dokumen dengan cara ship to ship. t Penyegelan KM Artika yang mengangkut spare parts, stationery and accessories, dan lain-lain, dengan proses penyelesaian lebih lanjut diserahkan kepada KPPBC Tipe A3 Teluk Nibung. 4. Melaksanakan operasi pengawasan kegiatan ekspor untuk mencegah terjadinya ekspor fiktif, ekspor barang larangan dan pembatasan dan pelarian Pajak Ekspor (PE). Pelaksanaan operasi pencegahan pelanggaran kepabeanan di bidang ekspor belum menemukan adanya pelanggaran ketentuan di bidang ekspor. 5. Melaksanakan pengawasan dan penindakan pemalsuan pita cukai, pemakaian pita cukai palsu, penggunaan pita cukai yang bukan haknya, pengunaan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dan hasil tembakau (HT) yang tidak dilekati pita cukai (rokok polos). Hasil operasi pengawasan masih ditemukan pelanggaran berupa peredaran rokok yang dilekati pita cukai yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pelanggaranpelanggaran lainnya. 6. Melaksanakan pengawasan dan penindakan peredaran MMEA impor ilegal dan pengeluaran MMEA lokal yang tidak sesuai prosedur atau tidak membayar cukai. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 83 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.15. Kegiatan Pengawasan Kepabeanan dan Cukai oleh Direktorat Penindakan dan Penyidikan Tahun 2010-2011 No. Jumlah Pengawasan Kegiatan Pengawasan 2010 2011 1. Operasi pengawasan kegiatan impor 27 9 2. Operasi pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai 12 12 3. Operasi patroli laut 17 9 4. Operasi pengawasan kegiatan ekspor 10 3 5. Operasi pengawasan hasil tembakau 17 15 6. Operasi pengawasan MMEA 2 9 Jumlah 82 57 Sumber: DJBC. 7. Melaksanakan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor (NPP), serta asistensi kegiatan pengawasan NPP ke KPPBC. Tabel 4.16. Pengawasan di Bidang NPP Tahun 2011 No. Kegiatan Pengawasan Jumlah 1. Patroli NPP Rutin Bulanan 12 2. Patroli NPP Khusus 32 3. Asistensi Pengawasan dan Pelatihan NPP (CNT Workshop) 25 Sumber: DJBC. 4.7.2. Kegiatan Penindakan Jumlah penindakan yang dilakukan oleh DJBC sepanjang tahun 2011 mencapai 45 kasus. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan kuantitas penindakan pada tahun 2010 sebanyak 21 kasus. Penindakan terbanyak dilakukan terhadap kasus Cukai Hasil Tembakau dan Cukai MMEA yang masing-masing berjumlah 12 kasus. Selanjutnya diikuti oleh penindakan pada kasus impor (11 kasus) dan fasilitas kepabeanan dan cukai (9 kasus). Tabel 4.17. Jumlah Penindakan Tahun 2010-2011 No. Jumlah Penindakan (Kasus) Kegiatan Pengawasan 2010 2011 1. Impor 6 11 2. Fasilitas Kepabeanan dan Cukai 6 9 3. Patroli Laut 5 1 4. Ekspor 0 0 5. Cukai Hasil tembakau 2 12 6. Cukai MMEA 2 12 Jumlah 21 45 Sumber: DJBC. 84 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penindakan yang dilakukan merupakan hasil dari pengawasan yang dilakukan secara intensif. Pada tahun 2011, kuantitas pengawasan telah dilakukan terhadap 3.378 kasus. Jumlah ini sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah pengawasan pada tahun 2010 sebanyak 3.680 kasus. Tabel 4.18. Kegiatan Pengawasan DJBC Tahun 2010-2011 Tahun Jumlah Penindakan 2010 3.680 2011 3.378 Sumber: DJBC. Dalam kaitannya dengan NPP, penindakan yang telah dilakukan di seluruh Indonesia sebanyak 146 kasus yang tersebar pada 24 kantor dengan total barang bukti seberat 276.407,64 gram. Tabel 4.19. Penindakan NPP Berdasarkan Kantor Bea dan Cukai Tahun 2011 No. Kantor Jumlah kasus 1 KPPBC Madya Pabean Soekarno Hatta 52 2 KPPBC Teluk Nibung 19 3 KPPBC Medan 14 4 KPPBC Madya Pabean Ngurah Rai 12 5 KPU Tipe B Batam 9 6 KPPBC Madya Pabean Juanda 8 7 KPPBC Madya Pabean Bandung 6 8 KPPBC Madya Pabean Dumai 3 9 KPPBC Madya Pabean Surakarta 3 10 KPPBC TP Nunukan 3 11 KPPBC Jayapura 3 12 KPPBC Madya Pabean Yogyakarta 2 13 KPPBC Tanjung Balai Karimun 1 14 KPPBC Bengkalis 1 15 KPPBC Selat Panjang 1 16 KPPBC Banda Aceh 1 17 KPPBC Palembang 1 18 KPPBC TMP Pekan Baru 1 19 KPU Tanjung Priok 1 20 KPPBC Pasar Baru 1 21 KPPBC TMP Makassar 1 22 KPPBC TMP Tarakan 1 23 KPPBC Cirebon 1 24 KPPBC Mataram 1 Jumlah 146 Sumber: DJBC. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 85 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penindakan NPP pada dasarnya dihasilkan dari kegiatan asistensi dan pengawasan. Sepanjang tahun 2011 telah direalisasikan asistensi dan pengawasan terhadap 23 kasus. Kasus terbanyak dijumpai pada KPPBC TMP SoekarnoHatta dan KPPBC TMP Bandung. Tabel 4.20. Realisasi Asistensi dan Pengawasan yang Menghasilkan Penindakan NPP oleh Subdirektorat Narkotika Tahun 2011 No. Kantor Jumlah Kasus 1. KPPBC TMP Soekarno Hatta 8 2. KPU Tanjung Priok 1 3. KPU Batam 1 4. KPPBC TMP Bandung 5 5. KPPBC TMP Medan 2 6. KPPBC Makassar 1 7. KPPBC Pasar Baru 1 8. KPPBC Cirebon 1 9. KPPBC TMP Ngurah Rai 3 Jumlah 23 Sumber: DJBC. Jika dikaji berdasarkan jenisnya, maka diketahui bahwa penindakan terbanyak dilakukan pada methamphetamine yang mencapai 158.376,70 gr. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jenis-jenis NPP lainnya. Tabel 4.21. Penindakan NPP Berdasarkan Jenis Tahun 2011 No. Jenis NPP Jumlah Satuan 158.376,70 gram Cocalin 176,17 gram Ekstasi 9.665,70 gram 4. Ganja 1.280,50 gram 5. Erimin Five / Happy Five 348,00 gram 6. Hashish 3,00 gram 7. Heroin 14.718,11 gram 8. Ketamine 32.355,99 gram 9. Morphine 158,00 gram 10. Amfetamin 295,00 gram 11. Bromazepam 15,00 gram 276.407,64 gram 1. Methamphetamine 2. 3. Jumlah Sumber: DJBC. Di samping melaksanakan kegiatan pengawasan dan penindakan, Direktorat Penindakan dan Penyidikan juga melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya. 86 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. Ikut serta dalam kegiatan Patkor Optima Malindo ke-20A pada tanggal 19-21 Mei 2011 dengan mengirimkan anggota delegasi pada upacara pembukaan di Batam dengan dukungan Kapal Patroli BC 9002 dan Patkor Optima Malindo ke-20B pada tanggal 20-30 Oktober 2011 dengan upacara penutupan di Port Klang, Malaysia pada tanggal 31 Oktober 2011. 2. Ikut serta dalam kegiatan Patkor Kastima pada tanggal 18-30 Juli 2011 dengan pembukaan di Batam, Indonesia pada tanggal 19 Juli 2011 dan penutupan di Pangkalan Kastam Marin Sungai Pulai, Johor, Malaysia tanggal 30 Juli2011. 3. Ikut serta melakukan pemantauan dan pengawasan atas pencacahan dan perajangan kertas banderol berhologram rusak dan pelat cetak hologram rusak, mengawasi pelaksanaan pemusnahan pita cukai, plat cukai, dan pemantauan batas lekat pita cukai MMEA apabila ada permintaan dari unit lainnya. 4. Mengkoordinasikan pelaksanaan rapat koordinasi pengawasan bidang kepabeanan dan cukai yang diikuti oleh para pejabat unit pengawasan dari Kantor Wilayah DJBC, KPU BC, dan KPPBC. 5. Melakukan kegiatan koordinasi lintas sektoral dengan instansi teknis terkait di dalam negeri yang diwujudkan melalui kegiatan seperti partisipasi dalam kegiatan rapat dan patroli bersama yang dilaksanakan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA). 6. Mengadakan dan mengikuti pelatihan SDM melalui seminar, workshop, serta pendidikan dan pelatihan dengan materi pelatihan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Direktorat Penindakan dan Penyidikan. 4.7.3. Kegiatan Penyidikan Kegiatan penyidikan dalam tahun 2011 mencapai 121 kasus. Secara kuantitas mengalami penurunan 33 persen jika dibandingkan dengan tahun 2010. Hal ini disebabkan kuantitas penindakan pelanggaran kepabeanan dan cukai menurun yang mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha terkait kepabeanan dan cukai semakin meningkat. Dari 121 kasus yang disidik dalam tahun 2011, sebanyak 96 kasus atau 79 persen diantaranya telah diserahkan ke kejaksaan dengan status P-21. Pencapaian ini melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar 50 persen. Ke 121 kasus tersebut terdiri dari: 1. penyidikan tindak pidana kepabeanan 69 kasus, di mana 60 kasus telah P-21; dan 2. penyidikan tindak pidana cukai 52 kasus, di mana 36 kasus telah P-21. 4.8. Perkembangan Indonesian National Single Window (INSW) Sesuai rencana kerja tim persiapan NSW pada tahun 2011 dan sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan Menteri Keuangan selaku ketua tim persiapan NSW, yaitu melakukan perluasan (ekstensifikasi) penerapan sistem NSW impor dan ekspor di beberapa pelabuhan, maka pada tahun 2011 telah dilaksanakan penerapan mandatori sistem National Single Window (NSW) ekspor dan impor pada 4 Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai, yaitu: 1. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bekasi pada tanggal 29 September 2011; 2. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Merak pada tanggal 27 Oktober 2011; 3. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda pada tanggal 22 Desember 2011; dan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 87 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Jakarta pada tanggal 24 Desember 2011. Pada tahun 2011 juga telah dilakukan penerapan Indonesia National Trade Respisotory (INTR) dan Single Sign On (SSO) antara portal INSW dengan Badan POM pada tanggal 19 Desember 2011, serta Integrasi antara TPS Online dengan portal INSW terkait dengan informasi cargo release (data waktu penimbunan, PLP, gate out). Di samping pengembangan sistem NSW, capaian kinerja DJBC lainnya yang terkait dengan pembangunan sistem aplikasi meliputi aspek-aspek berikut ini. 1. Pembangunan website DJBC. Penerapan official website DJBC yang baru dan portal intranet DJBC. 2. Pembangunan aplikasi pelayanan/pengawasan. t Aplikasi Registrasi Kepabeanan; t Aplikasi Database Nilai Pabean II; t Aplikasi Passenger Analysis Unit (PAU); t Aplikasi BC 23 Sentralisasi; t SAC EA/MMEA Sentralisasi; dan t Aplikasi Manifes untuk Cikarang Dry Port (CDP). 3. Penyempurnaan Aplikasi Sistem Manajemen Audit (SIMAUDI) terkait penambahan laporan penyampaian IKU dan KPI. 4. Penyempurnaan Aplikasi Sistem Informasi Direktorat P2 (SIDIA) terkait laporan hasil penindakan dan rekapitulasi penanganan perkara. 5. Penyempurnaan SKP Impor, SKP Ekspor, SKP Manifes dan SKP BC 2.3 terkait mandatori pemberitahuan Nomor Identitas Kepabeanan (NIK). 6. Perluasan pendampingan penerapan/uji coba sistem aplikasi. t Perluasan penerapan Pertukaran Data Elektronik (PDE) untuk pelayanan manifes, impor (BC 2.0) dan ekspor (BC 3.0) di 6 kantor pelayanan, yaitu: - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bekasi; - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Merak; - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Jakarta; - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda; - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bandung; dan - Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Medan. t Perluasan penerapan SAC Hasil Tembakau di 11 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) dan 13 Kantor Wilayah DJBC. 88 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Uji coba penerapan Aplikasi BC 23 Sentralisasi di KPPBC Madya Pabean Surakarta. t Uji coba penerapan SAC EA/MMEA Sentralisasi di KPPBC Madya Pabean Surakarta. t Penerapan SKP KITE di KWBC Banten dan migrasi pelayanan KITE KWBC Jakarta dari gedung A KP DJBC Jakarta di Kemayoran. t Penerapan Aplikasi Manifes untuk CDP di KPPBC Madya Pabean Bekasi. t Penerapan Aplikasi Registrasi Kepabeanan di Kantor Pusat (Subdit Registrasi) dan di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam. t Penerapan Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) di 26 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai dan 4 Kantor Wilayah DJBC. t Penerapan Aplikasi Office Automation (OA) di beberapa kantor pelayanan. 4.9 Penerimaan Negara Bukan Pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu sumber pendapatan negara selain pajak dan cukai yang porsinya dari tahun ke tahun terus meningkat. Capaian PNBP pada tahun 2011 adalah Rp321,28 triliun atau 112,09 persen dari target APBN-P. Sebagian besar realisasi PNBP berasal dari penerimaan sumber daya alam migas yang mencapai Rp193,49 triliun atau 60 persen dari total PNBP. Kontribusi PNBP terbesar berikutnya berturutturut adalah PNBP lainnya Rp68,59 triliun, bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rp28,18 triliun, sumber daya alam non migas Rp20,62 triliun, dan Rp10,39 triliun merupakan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU). Gambar 4.6. Realisasi PNBP Tahun Anggaran 2011 10.39,3% 0,0% Migas 68.59,21% Non Migas Bagian Laba BUMN 28.19,9% 193.49,60% 20.62,7% PNBP Lainnya BLU Sumber: Buku Merah, 31 Desember 2011. Nilai PNBP pada tahun 2011 merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Tingginya pencapaian tersebut terutama disebabkan oleh realisasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price-ICP) yang rata-rata mencapai USD109.94 per barrel. Realisasi ICP ini jauh melampaui asumsi ekonomi makro dalam APBN yang ditetapkan sebesar USD95 per barrel. Pencapaian target PNBP pada tahun 2011 juga sekaligus memecahkan rekor pencapaian PNBP yang sebelumnya dicetak pada tahun 2008, yakni Rp320,60 triliun dengan ICP sebesar USD101,31 per barrel. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 89 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar 4.7. Realisasi PNBP dan ICP Tahun 2007-2011 Rp Triliun USD/Barrel 350 320,60 300 250 109,94 100 268,68 101,31 227,17 215,12 200 120 321,28 80 78,07 69,69 58,55 150 100 60 PNBP (Rp Triliun) 40 ICP (USD/Barrel) 20 50 0 0 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber : LKPP Tahun 2011. Di samping karena variabel ekonomi makro, tercapainya target PNBP juga didukung oleh upaya ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dilakukan antara lain dengan mempercepat penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP. Langkah ini ditempuh dalam rangka menginventarisir berbagai jenis PNBP baru yang potensial untuk dipungut oleh K/L. Adapun intensifikasi dilakukan antara lain dengan penagihan secara intensif atas piutang PNBP, terutama yang berasal dari piutang migas. Kedudukan Kementerian Keuangan dalam pengelolaan PNBP adalah sebagai fasilitator bagi K/L dalam pemungutan PNBP. Permasalahan yang dijumpai dalam mengoptimalkan penerimaan PNBP antara lain adalah: 1. besaran target PNBP K/L yang belum optimal; 2. besaran dan jumlah ijin penggunaan PNBP K/L yang relatif tinggi dan terus meningkat; serta 3. belum berjalannya pembagian tugas yang tegas di antara Kementerian Keuangan dan instansi terkait. Tabel 4.22. Penerimaan Migas, Pembayaran Subsidi, dan PNBP Tahun Anggaran 2011 (dalam miliar rupiah) MAP I. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) A. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) 1. SDA Migas 4211 a. Minyak Bumi 4212 b. Gas Alam 2. SDA Non Migas 4213 a. Pertambangan Umum 421311 t iuran tetap 421312 t royalti 90 | LAPORAN TAHUNAN 2011 APBN-P TA 2011 Buku Merah 2) 268.941,86 250.906,99 286.567,32 321.205,08 128,02% 112,09% 277.991,38 168.825,44 163.119,23 191.976,02 214.042,42 131,22% 111,49% 177.263,35 152.733,24 149.339,80 173.167,27 193.426,18 129,52% 111,70% 159.471,89 111.814,92 107.540,68 123.051,03 141.239,09 131,34% 114,78% 113.681,49 Realisasi LKPP 2010 Keterangan 421 APBN TA 2011 % Realisasi Buku Merah Terhadap APBN | www.kemenkeu.go.id % Realisasi Buku Merah thd APBN-P APBN TA 2012 40.918,31 41.799,12 50.116,24 52.187,09 124,85% 104,13% 45.790,40 16.092,20 13.779,43 18.808,75 20.616,24 149,62% 109,61% 17.791,46 12.646,75 10.365,17 15.394,50 16.652,77 160,66% 108,17% 14.453,95 160,83 168,48 273,16 287,34 170,55% 105,19% 158,90 12.485,92 10.196,70 15.121,34 16.365,43 160,50% 108,23% 14.295,05 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.23. (Lanjutan) MAP 4214 Keterangan b. Kehutanan Realisasi LKPP 2010 APBN TA 2011 APBN-P TA 2011 Buku Merah 2) % Realisasi Buku Merah Terhadap APBN % Realisasi Buku Merah thd APBN-P APBN TA 2012 3.009,67 2.908,14 2.908,14 3.216,93 110,62% 110,62% 2.954,45 1.764,96 1.279,18 1.279,18 1.796,01 140,40% 140,40% 1.409,73 421421 t Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 797,33 1.359,05 1.359,05 868,65 63,92% 63,92% 1.304,89 421431 t Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) 271,54 94,89 94,89 119,72 126,16% 126,16% 12,55 421441 t Pendapatan Penggunaan Kawasan Hutan 175,85 175,02 175,02 432,55 247,15% 247,15% 227,29 421411 t Dana Reboisasi 4215 c. Perikanan 4216 d. Pertambangan Panas Bumi 92,00 150,00 150,00 183,84 122,56% 122,56% 150,00 343,79 356,11 356,11 562,70 158,01% 158,01% 233,06 422 B. Bagian Laba BUMN 30.096,93 27.590,40 28.835,82 28.173,44 102,11% 97,70% 28.001,29 423 C. PNBP Lainnya 59.428,64 45.166,55 50.339,44 68.595,71 151,87% 136,27% 53.492,30 4231 1. Pendapatan Penjualan dan Sewa 16.498,91 16.745,37 17.499,49 21.375,23 127,65% 122,15% 24.446,25 42311 t Pendapatan Penjualan Hasil Produksi/Sitaan 6.304,68 6.190,04 6.190,04 9.242,13 149,31% 149,31% 13.579,22 423113 t Pendapatan Penjualan Hasil Tambang 5.905,30 6.134,95 6.134,95 7.590,32 123,72% 123,72% 13.449,73 42312 t Pendapatan Penjualan Aset 263,88 28,18 28,18 134,40 476,94% 476,94% 5,19 42314 t Pendapatan Sewa 147,50 84,61 84,61 195,14 230,62% 230,62% 142,81 423131 t Pendapatan Bersih Hasil Penjualan BBM 401,66 423132 t Pendapatan Minyak Mentah DMO 112,59% 105,01% 10.719,03 423139 t Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 4232 2. Pendapatan Jasa 4233 3. Pendapatan Bunga 4234 4. Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan 4235 5. Pendapatan Pendidikan 4236 9.225,10 0,02 10.442,54 11.196,66 156,10 11.757,36 46,19 25.416,55 22.179,87 22.535,63 27.353,75 123,33% 121,38% 23.983,02 7.352,41 2.000,00 2.000,00 4.661,84 233,09% 233,09% 1.736,31 166,61 36,54 36,54 241,22 660,21% 660,21% 98,72 2.983,45 3.671,10 3.699,84 2.956,79 80,54% 79,92% 2.660,47 6. Pendapatan Gratifikasi dan Uang Sitaan Hasil Korupsi 213,77 47,80 47,80 92,86 194,26% 194,26% 62,25 4237 7. Pendapatan Iuran dan Denda 704,80 467,53 467,53 1.318,98 282,12% 282,12% 474,35 4239 8. Pendapatan Lain-lain 6.092,15 18,35 4.052,61 10.595,04 57751,36% 261,44% 30,93 5.763,38 11,51 4.045,77 7.987,81 69419,89% 197,44% 6,35 t Pendapatan dari Penerimaan Kembali TAYL 424 D. Pendapatan BLU 10.590,84 15.030,81 15.416,04 10.393,50 69,15% 67,42% 19.234,45 220.987,17 215.335,95 249.594,60 278.325,31 129,25% 111,51% 231.106,49 1. SDA Migas 152.733,24 149.339,80 173.167,27 193.426,18 129,52% 111,70% 159.471,89 58.872,73 55.553,61 65.230,67 73.095,58 131,58% 112,06% 60.915,57 9.225,10 10.442,54 11.196,66 11.757,36 112,59% 105,01% 10.719,03 156,10 0,00 0,00 46,19 139.952,94 136.614,18 195.288,70 255.608,82 187,10% 130,89% 168.559,87 1. BBM & LPG 82.351,32 95.914,18 129.723,58 165.161,34 172,20% 127,32% 123.599,67 2. Listrik 57.601,62 40.700,00 65.565,12 90.447,49 222,23% 137,95% 44.960,20 II. Penerimaan Migas (SDA + PPh) 41111 2. PPh Migas 423132 3. Pen. Minyak Mentah DMO 423139 4. Pendapatan Lain dari Keg. Hulu Migas III. Pembayaran Subsidi 0,00 2) Data Realisasi sementara per 31 Desember 2011 berdasarkan Buku Merah Revisi 1 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 91 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) telah melakukan beberapa kegiatan selama tahun 2011. 1. Aplikasi Billing System Online Aplikasi billing system online merupakan pengembangan dari Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN2). MPN merupakan suatu sistem pengadministrasian pendapatan negara berbasis web yang dibangun oleh Kementerian Keuangan bekerjasama dengan pihak perbankan dan Bank Indonesia, PT. Pos Indonesia, serta pihak penyedia jasa switcher. Pada tahun 2011, MPN-2 telah memasuki tahap penyempurnaan agar dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan sekaligus memenuhi harapan Pemerintah akan ketersediaan data yang kredibel. Pengintregasian PNBP ke dalam sistem MPN-2 dilakukan dalam rangka: t mendukung penyempurnaan pembangunan sistem pengadministrasian pendapatan negara yang moderen; t membangun database realisasi PNBP yang komprehensif sebagai alat analisis dalam perumusan kebijakan dan perencanaan terkait PNBP; serta t memperbaiki kualitas perencanaan dan perumusan kebijakan PNBP. 2. Monitoring dan Evaluasi PNBP dan Subsidi Energi Pada tahun 2011, DJA telah melakukan kunjungan kerja dalam rangka evaluasi terhadap Kementerian Perhubungan dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Tujuan evaluasi adalah menguji efektivitas peraturan umum di bidang PNBP, serta menginventarisasi potensi PNBP dan permasalahan yang dihadapi oleh kedua K/L tersebut selama ini. Di samping itu, DJA juga melakukan peninjauan ke beberapa perusahaan kontraktor migas dengan tujuan untuk mengevaluasi over/underlifting dan pembayaran Domestic Market Obligation (DMO) fee dalam rangka perhitungan penerimaan migas. DJA juga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pembayaran subsidi energi dengan melakukan uji petik atas bukti penjualan BBM bersubsidi dan penjualan jasa tenaga listrik. Uji petik subsidi BBM jenis tertentu dilakukan terhadap PT. Pertamina (Persero), Petronas, dan AKR Corporindo Tbk. Adapun uji petik subsidi listrik dilakukan pada beberapa kantor operasional PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kegiatan uji petik ini antara lain ditempuh dalam rangka melakukan verifikasi atas bukti tagihan pembayaran subsidi energi yang dilakukan oleh badan usaha pelaksana subsidi Public Service Obligation (PSO). 3. Reformasi Pengelolaan PNBP Pada tahun 2011, DJA melakukan reformasi pengelolaan PNBP, seperti evaluasi jenis dan tarif PNBP K/L dalam rangka ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan serta melakukan evaluasi besaran ijin penggunaan PNBP K/L yang didasarkan pada kriteria yang tepat untuk memacu peningkatan potensi PNBP. Dalam hal penerimaan SDA, dilakukan perbaikan, yaitu dengan menyusun regulasi pengelolaan PNBP Migas untuk mengatur tanggung jawab dan kewenangan pengadministrasian PNBP, PPh, dan PBB Migas, termasuk bagi hasilnya di antara Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta BP Migas. Selain itu, juga diupayakan perbaikan dalam tata kelola pengawasan SDA Mineral dan Batubara. Upaya untuk merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terus dilakukan. Revisi undang-undang tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010- 92 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2014. UU No. 20 Tahun 1997 masih mengacu pada Indische Compabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan UU No. 9 Tahun 1968. Dengan telah ditetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 yang menggantikan Indische Compabiliteitswet, maka secara yuridis, UU No. 20 Tahun 1997 sudah saatnya direvisi guna menyesuaikan dengan landasan yuridis yang telah berubah. Revisi UU No. 20 Tahun 1997 ditargetkan selesai pada tahun 2013. Pada Tahun 2011, telah dilakukan kajian dan pembahasan materi dan isu pokok pengelolaan PNBP dengan melibatkan beberapa Eselon 1 di Kementerian Keuangan dan beberapa wakil K/L. Selain revisi UU No. 20 Tahun 1997, pada tahun 2011 telah diselesaikan berbagai peraturan dalam bidang PNBP, yaitu terkait dengan jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) telah diselesaikan, diantaranya revisi PP tentang Jenis dan Tarif PNBP pada Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Sekretariat Negara. Beberapa draft revisi PP tentang Jenis dan Tarif PNBP yang masih dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM adalah draft RPP tentang Jenis dan Tarif PNBP pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 4.9.1 Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sumber PNBP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan antara lain berasal dari hasil pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang yang berupa Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) dan bea lelang. Pencapaian target PNBP dari biad PPN dan bea lelang pada tahun 2011 mencapai sebesar Rp74,46 miliar atau 158,43 persen dari target sebesar Rp47 miliar. Adapun rincian capaian PNBP dari biad PPN dan bea lelang sejak dua tahun terakhir adalah sebagai berikut: Tabel 4.23. Realisasi Biad PPN Tahun 2010-2011 (dalam jutaan rupiah) Tahun BIAD % Capaian Target Realisasi 2010 67.750,00 68.113,66 100,54% 2011 47.000,00 74.460,00 158,43% Sumber: DJKN. Target tersebut dapat dicapai karena dari hasil pelaksanaan debtor tracing (investigation) dan asset tracing menghasilkan penyelesaian piutang negara baik melalui eksekusi maupun noneksekusi. Tabel 4.25. Realisasi Bea Lelang Tahun 2010-2011 (dalam jutaan rupiah) Tahun Bea Lelang Target Realisasi % Capaian 2010 44.047,00 83,336.05 100,54% 2011 47.575,76 102,800.33 216,07% Sumber: DJKN. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 93 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PNBP yang diperoleh dari bea lelang selama dua tahun terakhir ini dapat melampaui target karena: 1. Adanya kegiatan penggalian potensi lelang yang dilakukan kepada K/L, pengguna jasa lelang, maupun masyarakat dan stakeholders lain secara intensif dan berkesinambungan. Upaya penggalian potensi lelang yang dilakukan selama tahun 2011, meliputi peningkatan mutu layanan lelang, kunjungan, iklan layanan masyarakat, Auction on Clinic, penyuluhan, workshop, dan kegiatan lainnya. Terhadap upaya penggalian potensi lelang yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan tersebut memberikan hasil yang maksimal berupa pertumbuhan positif atas realisasi bea lelang; 2. Terdapat beberapa permohonan lelang yang laku dilelang dengan harga yang sangat tinggi (lelang booming); 3. Adanya kegiatan monitoring dan evaluasi baik yang dilakukan oleh Kantor Pusat maupun Kanwil atas pelaksanaan pelayanan lelang dalam rangka menunjang continuous improvement. Kegiatan monitoring dilakukan baik secara langsung (melalui peninjauan pelaksanaan lelang) maupun secara tidak langsung (melalui himbauan, teguran, petunjuk, dan pelaporan atas pelaksanaan lelang). Sedangkan, kegiatan evaluasi dilakukan secara berkelanjutan dengan menampung masukan melalui sosialisasi kebijakan yang diakomodasi ke dalam ketentuan lelang; 4. Adanya upaya yang optimal dari Kementerian Keuangan c.q. DJKN untuk meningkatkan kualitas kinerja Pejabat Lelang Kelas I, Pejabat Lelang Kelas II, dan Balai Lelang melalui penyelenggaraan Capacity Building dan sosialisasi kebijakan di bidang lelang. 4.10. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam Pengelolaan Rekening SDA (migas, panas bumi, pertambangan dan perikanan) dan non SDA (Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, Hibah Bencana Alam Sumatera, dan Hibah ESSP) melalui Penatausahaan rekening Koran Bank Indonesia, pemindahbukuan ke RKUN serta kepada Pihak Ketiga dilakukan atas permintaan dari DJA (rekening SDA) dan Direktorat SMI (RDI/RPD). Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara pada tahun 2011, RDI/RPD pada Bank Indonesia ditetapkan sebagai Rekening Penerimaan Kuasa BUN Pusat, sehingga setiap akhir hari kerja dilakukan penihilan saldo (penyetoran ke RKUN) serta pemberian remunerasi dari Bank Indonesia untuk rekening SDA dan non SDA yang lain. 94 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 4.26. Remunerasi dari Bank Indonesia untuk Rekening SDA dan Non SDA Tahun 2011 Nama Rekening Ke RKUN Kementerian Keuangan/hasil perjanjian karya production sharing (USD) Rekening Penerimaan Bidang Pertambangan dan Perikanan Rekening Penerimaan Panas Bumi Menteri Keuangan untuk Penerimaan Bantuan Bencana Alam Sumatera dalam Rupiah Menteri Keuangan untuk Penerimaan Hibah Education Sector Support Program (ESSP)/Uni Eropa RDI/RPD Jumlah Setoran Remunerasi 126.596.106.667.568,00 37.198.997.302,15 28.444.704.534,63 5.216.392.960,87 562.702.273.746,77 14.821.079.576,72 394.0710.402.000,00 3.354.833.460,92 609.638.500.000,00 0 8.078.265.521.241,23 0 136.269.238.069.090,00 60.591.303.300,65 Sumber: DIPBN www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 95 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 05 Belanja Negara 5.1. Reformasi Penganggaran Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan negara Republik Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), yang di dalamnya terdapat besaran-besaran angka dirinci menjadi pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan negara selama satu tahun anggaran (1 Januari-31 Desember). Sedangkan menurut pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen III, APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. APBN merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam membiayai penyelenggaraan negara yang meliputi Pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, menciptakan stabilitas ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, dan menentukan arah prioritas pembangunan nasional. APBN, APBN Perubahan (APBN-P), dan pertanggungjawaban APBN (LKPP) setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam kerangka APBN. Penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 17 Tahun 2003, RAPBN 96 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dalam bentuk RUU tentang APBN beserta Nota Keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas bersama DPR-RI. Setelah melalui pembahasan, DPR-RI menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Siklus penyusunan APBN di Indonesia terdiri dari beberapa tahap pokok berikut ini. 1. Persiapan anggaran oleh eksekutif (Pemerintah) dan perangkat-perangkatnya. Tahap ini meliputi dua kegiatan, yaitu perencanaan dan penganggaran. Tahap perencanaan dimulai dari penyusunan arah dan kebijakan umum APBN yang didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan diakhiri pada saat RKP telah disahkan. Tahap penganggaran dimulai sejak pagu indikatif ditetapkan hingga pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN dengan DPR-RI. 2. Persetujuan legislatif (DPR-RI). Tahap pengesahan APBN terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pengesahan UU dan penetapan Keputusan Presiden (Keppres) mengenai rincian APBN. 3. Pelaksanaan APBN. Setelah RUU APBN disahkan menjadi UU APBN, maka setiap Kementerian/Lembaga (K/L) wajib mengusulkan konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan menyampaikannya ke Kementerian Keuangan untuk disahkan. DIPA merupakan instrumen untuk melaksanakan APBN. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 97 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Laporan akhir tahun oleh eksekutif (Pemerintah) kepada legislatif (DPR-RI). Di Indonesia, pelaporan APBN dilakukan dua kali, yaitu Laporan Pelaksanaan APBN Semester I dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tahap ini merupakan bagian dari tahap pertanggungjawaban. 5. Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kegiatan ini merupakan tahap akhir dari siklus APBN, yaitu realisasi APBN yang diaudit oleh BPK. Selain proses penyusunan APBN, pada tahun berjalan juga dilaksanakan proses penyusunan, pembahasan, serta penetapan APBN-P tahun berjalan antara Pemerintah dan DPR-RI. Penyusunan APBN-P tersebut dalam rangka mengantisipasi/mengakomodir perkembangan ekonomi maupun perkembangan kebijakan terkini. 5.2. Penyusunan APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2011 Total pendapatan negara dan hibah yang ditargetkan pada tahun anggaran 2011 adalah Rp1.104,9 triliun. Angka ini naik Rp112,5 triliun dibandingkan APBN-P 2010 yang ditetapkan sebesar Rp992,4 triliun. Pendapatan negara dan hibah terdiri atas Penerimaan Dalam Negeri (PDN) yang meliputi penerimaan pajak sebesar Rp850,3 triliun, penerimaan non pajak/PNBP sebesar Rp250,9 triliun, dan Penerimaan Hibah sebesar Rp3,7 triliun. Adapun asumsi makro yang dipakai pada saat penyusunan awal APBN 2011 adalah: 1. pertumbuhan ekonomi 6,4 persen; 2. tingkat inflasi (y–0–y) 5,3 persen; 3. rata-rata suku bunga SBI-3 bulan 6,5 persen; 4. nilai tukar Rp9.250/USD; 5. harga minyak mentah Indonesia rata-rata USD80,0/barel; dan 6. lifting minyak 970 ribu barel/hari. Tabel 5.1 Asumsi-Asumsi Dasar Dalam APBN TA 2011 Uraian APBN APBN-P 1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,4 6,5 2. Inflasi (%) y-o-y 5,3 5,65 3. Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) 4. Nilai Tukar (Rp/USD1) 5. Harga Minyak (USD/barel) 6. Lifting Minyak (ribu barel per hari) 6,5 5,6 9250 8700 80,0 95,0 970,0 945,0 Sumber: DJA. Pada pertengahan tahun 2011, Pemerintah mengajukan APBN-P 2011 yang tanpa hambatan telah disetujui oleh DPR. Terdapat dua alasan utama pengajuan APBN-P, yaitu: 1. menampung perkembangan kondisi perekonomian nasional pada saat itu, khususnya besaran-besaran ekonomi makro yang telah mengalami perubahan cukup signifikan; dan 2. 98 | mengakomodasi tambahan belanja prioritas yang belum terakomodasi dalam UU APBN 2011. LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Table 5.2. Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah) APBN APBN-P Pendapatan Negara dan Hibah Uraian 1.104.902,0 1.169.914,6 105,9 A. Penerimaan dalam Negeri 1. 2. B. % thd APBN 1.101.162,5 1.165.252,5 105,8 Penerimaan Perpajakan 850.255,5 878.685,2 103,3 i. Pajak Penghasilan 420.493,8 431.977,0 102,7 ii. Pajak Pertambahan Nilai 312.110,0 298.441,4 95,6 27.862,4 29.057,8 105,0 - - - 62.759,9 68.075,3 108,5 4.200,1 4.193,8 99,9 iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak Lainnya vii. Bea Masuk 17.902,0 21.500,8 120,1 viii. Bea Keluar 5.107,3 25.439,1 498,1 250.907,0 28.835,8 114,2 163.119,2 191.976,0 117,7 PNBP i. PNBP SDA ii. Bagian Laba BUMN 27.590,4 28.835,8 104,5 iii. PNBP Lainnya 45.166,6 50.339,4 111,5 iv. Pendapatan BLU 15.030,8 15.416,0 102,6 3.739,5 4.662,1 124,7 Hibah Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011. Asumsi makro yang dipakai untuk menyusun APBN-P 2011 adalah: 1. pertumbuhan ekonomi 6,5 persen; 2. tingkat inflasi 5,65 persen; 3. rata-rata suku bunga SBI-3 bulan 5,6 persen; 4. nilai tukar Rp8.700/USD; 5. harga minyak mentah Indonesia rata-rata USD95,0/barel; dan 6. lifting minyak 945 ribu barel/hari. Total pendapatan negara dan hibah pada APBN-P 2011 ditetapkan sebesar Rp1.169,9 triliun atau naik Rp65 triliun dibandingkan pagu APBN 2011 (105,9 persen) yang berasal PDN sebesar Rp1.165,2 triliun (terdiri atas penerimaan perpajakan Rp878,7 triliun atau naik Rp28,4 triliun dan PNBP sebesar Rp286,6 triliun atau naik Rp35,7 triliun dibandingkan pagu APBN 2011). www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 99 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Table 5.3. Perbandingan Postur APBN dan APBN-P TA 2011 (dalam miliar rupiah) URAIAN APBN APBN-P % thd APBN-P 1,104,902.0 1,169,914.6 105.9 1,101,162.5 1,165,252.5 105.8 1. Penerimaan Perpajakan 850,255.5 878,685.2 103.3 2. Penerimaan Bukan Pajak 250,907.0 286,567.3 114.2 3,739.5 2,662.1 124.7 A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan dalam Negeri II. Hibah B. Belanja Negara 1,229,558.5 1,320,751.3 213.6 I. Belanja Pemerintah Pusat 836,578.2 908,243.4 108.6 II. Transfer ke Daerah 392,980.3 412,507.9 105.0 (124,656.5) (150,836.7) 121.0 124,656.5 150,836.7 121.0 125,266.0 153,613.3 122.6 (609.5) (2,776.6) 455.6 C. Surplus/Defisit Anggaran D. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011. Perubahan pendapatan negara dan hibah serta belanja negara pada akhirnya mengakibatkan perubahan terhadap besaran defisit anggaran, yaitu dari Rp124.656,5 miliar (1,8 persen terhadap PDB) pada APBN 2011 menjadi sebesar Rp150.836,7 milar (2,1 persen terhadap PDB) pada APBN-P 2011. Defisit anggaran tersebut ditutup melalui pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri. Tabel 5.4. Pembiayaan Anggaran Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah) KETERANGAN l. PEMBIAYAAN NON UTANG a. b. Perbankan Dalam Negeri Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan 1). Pinjaman 2). SAL Non Perbankan Dalam Negeri 1). Hasil Pengelolaan Aset 2). Dana Investasi Pemerintah dan PMN 3). Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 4). Kewajiban Penjaminan ll. PEMBIAYAAN UTANG a. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 1). Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) APBN APBN-P 25.507,3 1068,2 12.657,2 48.750,7 385,2 6.803,4 8.176,7 120,2 5.000,0 40.319,0 806,4 (15.045,2) (23.243,4) 154,5 583,1 965,7 165,6 (13.932,3) (21.112,4) 151,5 (100,0) (2.617,7) 261,8 (1.036,0) (904,0) 87,3 127.044,5 125.329,4 98,7 (609,4) (2.776,6) 455,6 58.933,0 56.182,9 95,3 2). Penerusan Pinjaman (11.724,8) (11.724,8) 100,0 3). Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (47.817,7) (47.234,7) 98,8 b. Surat Berharga Negara (neto) 1.266.53,9 126.653,9 100,0 c. Pinjaman Dalam Negeri 1.000,0 1.452,1 145,2 1). 1.000,0 1.522,1 152,2 2). 0 (70,0) - 124.656,5 150.836,7 121,0 Penarikan Pinjama Dalam Negeri (bruto) Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri Total Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011. 100 | % thd APBN (2.387,9) LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5.3. Belanja Pusat Alokasi belanja Pemerintah pusat pada APBN-P Tahun 2011 mengalami kenaikan pada semua jenis belanja, kecuali Belanja Hibah yang mengalami penurunan 52,5 persen, yaitu dari Rp771,3 miliar menjadi Rp404,9 miliar. Tabel 5.5 Belanja Negara Tahun 2011 (Rp Miliar) Uraian I. APBN Belanja Pemerintah Pusat APBN-P % thd APBN 836.578,2 908.243,4 108,6 1. Belanja Pegawai 180.824,9 182.874,9 101,1 2. Belanja Barang 137,849,7 142.825,9 103,6 3. Belanja Modal 135.854,2 140.952,5 103,8 4. Pembayaran Bunga Utang 115.209,2 106.583,8 92,5 5. Subsidi 187.624,3 237.194,7 126,4 6. Belanja Hibah 771,3 404,9 52,5 7. Bantuan Sosial 63.183,5 81.810,4 129,5 8. Belanja Lainnya 15.261,0 15.596,2 102,2 II. Transfer ke Daerah 392.980,3 412.507,9 105,0 392.324,0 347.538,6 104,0 58.656,3 64.969,3 110,8 1.229.558,5 1.320.751,2 107,4 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Total Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011. Alokasi belanja Pemerintah pusat selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah senantiasa berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu perwujudan fungsi APBN, yaitu alokasi, stabilisasi, dan distribusi. Tabel 5.6. Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Per Jenis Belanja (Rp Triliun) Uraian LKPP LKPP 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN APBN 361.20 440.10 504.60 693.30 628.90 697.60 908.30 954.20 965.10 Belanja Pegawai 54.30 73.30 90.40 112.80 127.70 148.10 182.90 215.70 215.90 Belanja Barang 29.20 47.20 54.50 56.00 80.70 97.60 142.80 138.50 188.00 Belanja Modal 32.90 55.00 64.30 72.80 75.90 80.30 141.00 168.10 152.00 Belanja Pemerintah Pusat Pembayaran Bunga Utang i. Utang Dalam Negeri ii. Utang Luar Negeri Subsidi i. Subsidi Energi ii. Subsidi Non Energi Belanja Hibah Bantuan Sosial Belanja Lainnya 2012 65.2 79.1 79.8 88.4 93.8 88.4 106.6 123.1 122.2 42.6 54.90 54.10 59.90 63.80 61.50 76.60 89.40 88.50 22.6 24.20 25.70 28.50 30.00 26.90 30.00 33.70 33.70 120.7 107.4 150.2 275.3 138.1 192.8 237.2 208.9 208.9 104.4 94.6 116.9 223 94.6 140 195.3 168.6 168.6 16.3 12.8 33.3 52.3 43.5 52.8 41.9 40.3 40.3 0 0 0 0 0 0.1 0.4 1.8 1.8 24.9 40.7 49.8 57.7 73.8 68.6 81.8 63.6 47.8 34 37.4 15.6 30.3 38.9 21.7 15.6 34.5 28.5 Sumber : Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Ditjen Anggaran, Edisi 12, Desember 2011 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 101 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tidak kalah pentingnya adalah perkembangan subsidi, baik subsidi energi maupun non energi, yang berfluktuasi dari tahun ke tahun sesuai kesepakatan antara Pemerintah dan DPR. Pemerintah mempunyai kepentingan bahwa yang berhak menikmati subsidi adalah masyarakat miskin dan bukan orang kaya. Besaran subsidi yang dialokasikan Pemerintah juga disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia, khusunya harga minyak dunia, di mana kenaikannya akan berpengaruh pada besaran subsidi, terutama subsidi BBM. Tabel 5.7. Perkembangan Belanja Subsidi Tahun 2005-2012 (Rp Triliun) Uraian LKPP LKPP 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN APBN SUBSIDI 120.80 107.40 150.20 275.30 138.10 192.70 237.20 208.90 208.80 I . Subsidi Energi 104.40 94.60 116.90 223.00 94.60 140.00 195.30 168.60 168.60 Subsidi BBM 95.60 64.20 83.80 139.10 45.00 82.40 129.70 123.60 123.60 Subsidi Listrik 8.90 30.40 33.10 83.90 49.50 57.60 65.60 45.00 45.00 II .Subsidi Non Energi 16.30 12.80 33.30 52.30 43.50 52.80 41.90 40.30 40.20 Subsidi Pangan 6.40 5.30 6.60 12.10 13.00 15.20 15.30 15.60 15.60 Subsidi Pupuk 2.50 3.20 6.30 15.20 18.30 18.40 18.80 16.90 16.90 Subsidi Benih 0.10 0.10 0.50 1.00 1.60 2.20 0.10 0.30 0.30 PSO 0.90 1.80 1.00 1.70 1.30 1.40 1.80 2.00 2.00 Subsidi Kredit Program 0.10 0.30 0.30 0.90 1.10 0.80 1.90 1.20 1.20 Subsidi Minyak Goreng (OP) 0.00 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Subsidi Bahan Baku Kedelai 0.00 0.00 0.00 0.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Subsidi Pajak 6.20 1.90 17.10 21.00 8.20 14.80 4.00 4.20 4.20 Subsidi Lainnya 0.00 0.30 1.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Ditjen Anggaran, Edisi 12, Desember 2011. 5.4. Terobosan Penyusunan APBN Tahun Anggaran 2012 Proses penyusunan APBN 2012 dapat diselesaikan tepat waktu dan ditetapkan melalui UU No. 22 Tahun 2011. Dalam pembahasan RUU tentang APBN 2012, Pemerintah dan DPR memperhatikan prinsip-prinsip governance, sehingga akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi dapat terjaga dalam proses tersebut. Berbeda dengan proses pembahasan RAPBN tahun-tahun sebelumnya, pembahasan RUU tentang APBN 2012, mengalami kemajuan yang sangat baik dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Semua rapat kerja dalam pembahasan substansi APBN 2012, baik Rapat Dengar Pendapat, Rapat Kerja (Raker) di tingkat komisi yang membahas RKAK/L dan asumsi makro, maupun Raker antara Badan Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dan Bank Indonesia, termasuk rapat-rapat di tingkat Panitia Kerja (Panja), telah dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak. Di samping itu, Pemerintah dan DPR-RI telah memulai tradisi baru dalam pembahasan RAPBN 2012, yaitu diselenggarakannya Raker antara Badan Anggaran DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka pengesahan Postur 102 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sementara. Pembahasan Hasil Optimalisasi dan Pemanfaatannya dilakukan secara terbuka setelah akhir pembahasan di Panja Asumsi Dasar Ekonomi Makro, Pendapatan Negara, Defisit, dan Pembiayaan Anggaran. Pemanfaatan hasil optimalisasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama. Terkait dengan penggunaan dana optimalisasi anggaran dan untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RAPBN 2012, Menteri Keuangan telah memberikan arahan-arahan berikut ini kepada seluruh K/L. 1. Dana optimalisasi harus terukur target dan sasarannya dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan tahun 2012. 2. Program/kegiatan yang diusulkan oleh K/L diterima oleh Kementerian Keuangan apabila telah disetujui secara tertulis dalam rapat kerja komisi terkait dengan K/L mitra kerjanya. 3. Program/kegiatan yang diusulkan harus mengacu pada kriteria-kriteria berikut ini. t Memperkuat pencapaian target dan sasaran prioritas pembangunan nasional dalam RPJM 2010-2014, RKP 2012, MP3EI, 6 Program Utama Klaster 4, dan 3 Program Prioritas. − 6 Program Utama Klaster 4 meliputi Rumah Sangat Murah, Kendaraan Angkutan Umum Murah, Air Bersih untuk Rakyat, Listrik Murah dan Hemat, Peningkatan Kehidupan Nelayan, serta Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan. − 3 Program Prioritas meliputi Surplus Beras 10 juta ton pada tahun 2014, Penciptaan Lapangan Kerja guna Mengurangi Pengangguran 1 juta jiwa/tahun, dan Pembangunan Transportasi Jakarta. t Kegiatan prioritas yang sudah dibahas dan disetujui dalam trilateral meeting, sidang kabinet, atau direktif presiden, namun belum dialokasikan di APBN 2012. Terobosan lain yang dicapai dalam proses penyusunan APBN 2012 adalah dimasukkannya pasal pada UU APBN Tahun 2011 mengenai tindakan Pemerintah dalam rangka menghadapi keadaan darurat atau disebut juga Crisis Management Protocol (CMP) serta pasal mengenai dana jaminan, khususnya untuk PLN dan PDAM yang dapat dicairkan dalam account khusus, yaitu account dana cadangan penjaminan. Dana dalam account khusus tersebut terakumulasi setiap tahun dan akan mengamankan sisi fiskal untuk penjaminan yang dilakukan Pemerintah. 5.5. Langkah-langkah Percepatan Pelaksanaan APBN 2012 Setelah disetujui oleh DPR, Menteri Keuangan mengundang seluruh K/L untuk memberikan arahan dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan APBN 2012. Hal-hal yang disampaikan terkait dengan proses penyelesaian administrasi pelaksanaan anggaran yang sudah dapat diselesaikan pada bulan Desember 2011. 1. Pembukaan Blokir t Bagi K/L yang diblokir, karena RKAKL-nya belum mendapatkan persetujuan dari komisi terkait DPR RI, agar segera memintakan persetujuan DPR. t Program/kegiatan yang belum dilengkapi data dukung administratif, seperti Term of Refernce (ToR), Rancangan Anggaran Biaya (RAB), risalah lelang, ijin prinsip pakaian dinas dari Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan kelengkapan lainnya, agar segera dilengkapi. t Bagi K/L yang melakukan perubahan struktur organisasi agar segera menyelesaikan dasar hukum struktur organisasi, mengisi formasi yang tersedia, dan menunjuk pejabat perbendaharaan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 103 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Dalam rangka fasilitasi penyelesaian dokumen clearance pengadaan tanah dan gedung baru, agar segera diselesaikan dalam desk bersama, yaitu Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan K/L terkait). t Setelah semua kelengkapan dokumen dipenuhi, diminta agar K/L segera mengajukan surat usulan pencairan blokir kepada Direktorat Jenderal Anggaran/Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJA/DJPB). 2. Percepatan Pencairan Anggaran t Menteri/Pimpinan Lembaga (Pengguna Anggaran) segera menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Anggaran dengan tidak terikat pada tahun anggaran sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (4a) Perpres No. 53 Tahun 2010. t KPA segera melakukan proses lelang sebelum diterbitkannya dokumen anggaran/DIPA, sesuai Pasal 25 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010, dan penandatanganan kontrak setelah DIPA disahkan, sesuai Pasal 86 ayat (2) Perpres No. 54 Tahun 2010. t K/L segera menetapkan Satuan Kerja Pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. t K/L segera menyiapkan Petunjuk Teknis (Juknis) tentang mekanisme, prosedur, dan penerima barang/ jasa terhadap kegiatan bantuan sosial/belanja barang yang akan diserahkan ke Pemerintah Daerah atau masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana. t K/L segera menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan dalam rangka perubahan Satuan Kerja Pengguna PNBP menjadi Satuan Kerja BLU dan mengajukan usulan revisinya. 104 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA halaman ini sengaja dikosongkan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 105 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 06 Perimbangan Keuangan 6.1. Transfer Ke Daerah 6.1.1. Kebijakan dan Perkembangan Dana Bagi Hasil Perhitungan dan penetapan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) kepada daerah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005. Penyempurnaan dalam perhitungan, penetapan alokasi, dan ketepatan waktu penyaluran DBH senantiasa diupayakan dari tahun ke tahun. Kebijakan DBH yang ditempuh pada tahun 2011 adalah: 1. peningkatan akurasi data melalui koordinasi dengan institusi pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta dengan melibatkan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan (Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak, dan Ditjen Perbendaharaan); 2. penyempurnaan proses perhitungan dan penetapan alokasi DBH agar lebih transparan dan akuntabel; 3. penyempurnaan sistem penyaluran DBH agar lebih tepat waktu; serta 4. penyelesaian kurang bayar DBH Sumber Daya Alam (SDA) dan DBH Pajak. Untuk mengoptimalkan kebijakan yang ditempuh, maka pada tahun 2011 telah dilaksanakan serangkaian aktivitas koordinasi berikut ini. 1. Workshop dan bimbingan teknis bagi pengelola DBH-SDA Kementerian/Lembaga (K/L) dan daerah penghasil, dengan tujuan: 106 | t daerah berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan penghimpunan data setoran; t daerah berperan aktif dalam rekonsiliasi PNBP/DBH; serta t setoran PNBP per daerah dapat dibagi secara optimal. LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH dilakukan bersama institusi pengelola PNBP DBH SDA dengan daerah penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDA. 3. Rapat kerja antarunit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau dengan daerah penghasil. New design transfer dalam pengelolaan DBH telah dilaksanakan sejak tahun 2008 dan terus dikembangkan dan diperbaiki. Mekanismenya antara lain dengan mengubah pola penyaluran DBH yang semula murni berdasarkan realisasi penyetoran PNBP dari rekonsiliasi triwulanan menjadi penyaluran dengan penggabungan antara penetapan persentase dengan realisasi penyetoran PNBP melalui rekonsiliasi dengan pola sebagai berikut: 1. Triwulan I, 20 persen; 2. Triwulan II, 20 persen; 3. Triwulan III, hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I ditambah Triwulan II; dan 4. Triwulan IV, hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I sampai dengan Triwulan III. DBH telah mencapai sasaran dalam Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014. Pelaksanaannya mengacu UU No. 33 Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan persentase tertentu dari realisasi penyetoran ke kas negara dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan PNBP. Dari 8 jenis DBH, pada tahun 2005 hingga 2008 telah dilaksanakan 7 jenis, sedangkan DBH Panas Bumi mulai dilaksanakan pada tahun 2009. DBH Panas Bumi dari PNBP tahun 2006 sampai dengan 2009 dibagikan kepada daerah di Provinsi Jawa Barat. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 107 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.1. Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006-2011 (Rp triliun) No. Komponen A. Pajak 1. Pajak Bumi Bangunan (PBB) 2. 2006 2007 2008 2009 2010 2011 18,73 21,79 22,37 22,8 27,12 27,59 BPHTB 3,08 4,29 7,35 7,65 7,69 - 3. Pajak Penghasilan (PPh) 6,07 7,94 9,98 10,09 10,93 13,16 4. Cukai Hasil Tembakau (CHT) 0,20 0,96 1,20 1,35 Sub Jumlah (A) 27,88 34,02 39,9 41,5 46,94 42,10 Persentase Kenaikan (%) 19,30 22,02 17,28 4,01 13,11 -10,31 B. Sumber Daya Alam 1. Pertambangan Umum 2,39 2,85 4,24 6,98 7,79 15,14 2. Kehutanan 1,16 1,52 1,71 1,51 1,75 1,75 3. Minyak dan Gas (Migas) 27,13 24,46 23,44 17,6 35,20 37,31 4. Perikanan 0,33 0,20 0,16 0,12 0,12 0,12 5. Panas Bumi - - - 0,26 0,31 0,35 31,01 29,03 29,55 26,82 45,17 54,67 Persentase Kenaikan (%) 167,56 -6,39 1,79 -9,24 68,4 21,05 Total (A+B) 58,89 63,05 69,45 68,32 92.1 96,77 Persentase Kenaikan (%) 68,45 7,06 10,15 -1,63 34,81 4,98 Sub Jumlah (B) C. Sumber: DJPK. Catatan: - DBH SDA TA 2010 mengacu pada APBN Perubahan 2010; - DBH SDA TA 2011 mengacu pada APBN Perubahan 2011; dan - DBH Pajak TA 2008, 2009, dan 2010 belum termasuk Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah. Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT) berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada tahun 2008 dan 2009, DBH CHT diberikan kepada 5 daerah di provinsi penghasil CHT, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda dengan DBH SDA yang pada umumnya bersifat block grant, penyaluran DBH Cukai bersifat specific grant. Dalam rangka melaksanakan Pasal 35 UU No. 33 Tahun 2004, maka DBH SDA Minyak dan Gas (Migas) dibagikan kepada daerah dengan porsi 15,5 persen dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5 persen dari PNBP Gas Bumi. Porsi tambahan 0,5 persen adalah specific grant yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi, daerah penghasil, dan daerah lainnya masing-masing sebesar 0,1 persen, 0,2 persen, dan 0,2 persen. 6.1.2. Kebijakan dan Perkembangan Dana Alokasi Umum Kebijakan yang menyangkut Dana Alokasi Umum (DAU) diarahkan untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant. Kebijakan-kebijakan dimaksud adalah: 1. peningkatan akurasi data dasar perhitungan DAU yang bersumber dari instansi yang berwenang; 2. penggunaan prinsip non-hold harmless; serta 3. penggunaan Williamson Index (WI) sebagai parameter untuk mengukur tingkat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. 108 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sejak tahun 2007, upaya mempercepat perhitungan DAU per daerah dengan WI yang terbaik telah dilakukan dengan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi, yaitu dynamic model. Perilaku dan pengaruh setiap variabel dalam formula DAU dapat langsung terlihat dan terkontrol, sehingga memudahkan operator dan pengambil keputusan untuk mengintegrasikan kebijakan pemerataan antardaerah berdasarkan WI atau weighted coefficient of variation. Di samping itu, proses penghitungan dilakukan oleh beberapa pejabat dan staf sebagai bentuk pengendalian intern untuk meminimalisir kesalahan penghitungan. Tabel 6.2. Alokasi DAU Tahun Anggaran 2006-2011 Tahun Anggaran Alokasi DAU (Rp Miliar) Jumlah Daerah 145.664,20 33 Provinsi Perpres No. 74 Tahun 2005 434 Kabupaten/Kota 164.787,40 33 Provinsi Perpres No. 104 Tahun 2006 434 Kabupaten/Kota 179.507,14 33 Provinsi Perpres No. 110 Tahun 2007 451 Kabupaten/Kota 186.414,10 33 Provinsi Perpres No. 74 Tahun 2008 477 Kabupaten/Kota 192.490,34 33 Provinsi Perpres No. 53 Tahun 2009 477 Kabupaten/Kota 225.532,83 33 Provinsi Perpres No. 6 Tahun 2011 491 Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: DJPK. Nilai dan persentase DAU mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Besaran DAU sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDNN) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PDNN adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan PNBP setelah dikurangi penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Sesuai Pasal 107 UU No. 33 Tahun 2004, sampai dengan tahun 2007, pagu DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5 persen dari PDNN. Sejak tahun 2008, sesuai pasal 27, besaran DAU menjadi sekurang-kurangnya 26 persen dari PDNN. Pada APBN 2011, besaran alokasi DAU (murni) untuk provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan sebesar Rp225.532.824.825.000. Dalam penyalurannya dilakukan pengurangan Rp122.137.223.000 kepada 469 daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.07/2011. Pengurangan ini merupakan konsekuensi atas koreksi alokasi DAU 2010 untuk Kabupaten Indramayu sebesar Rp121.250.000.00. Sebaliknya, dilakukan penambahan pada APBN Perubahan (APBN-P) 2011 sebesar Rp887.223.000 kepada 12 daerah sebagaimana ditetapkan dalam PMK No. 153/PMK.07/2011. 6.1.3. Kebijakan Dana Otonomi Khusus Besaran Dana Otonomi Khusus (Otsus) telah dinyatakan dalam undang-undang, yaitu 2 persen dari DAU Nasional. Oleh karena itu, kebijakan penetapan besaran DAU Nasional dalam setiap APBN secara langsung berdampak pada perubahan besaran Dana Otsus untuk Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan yang ditempuh adalah mengoptimalkan pemanfaatan Dana Otsus, yaitu antara lain dengan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 109 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA mensyaratkan adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri pada setiap tahap penyaluran, agar pemanfaatan Dana Otsus dapat direncanakan dengan baik dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dana Otsus yang dialokasikan kepada Provinsi NAD setara dengan 2 persen dari pagu DAU Nasional atau sebesar Rp4.510.656.496.500. Sedangkan total Dana Otsus untuk Papua adalah Rp4.510.656.496.500 atau 2 persen dari DAU Nasional. Dari jumlah tersebut, Provinsi Papua menerima Dana Otsus sebesar Rp3.157.459.547.550 atau 70 persen dari total Dana Otsus untuk Papua. Adapun Provinsi Papua Barat memperoleh Dana Otsus sebesar Rp1.353.196.948.950 atau 30 persen dari total Dana Otsus untuk Papua. Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) dalam rangka Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diutamakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur. Alokasi ini sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua. Total DTI dalam rangka Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebesar Rp1.400.000.000.000, dengan pembagian untuk Provinsi Papua sebesar Rp800.000.000.000 miliar dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp600.000.000.000. 6.1.4. Kebijakan Dana Penyesuaian Kebijakan yang menyangkut Dana Penyesuaian pada tahun 2011 adalah berikut ini. 1. Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) merupakan tunjangan profesi yang diberikan kepada Guru PNSD yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tunjangan Profesi Guru PNSD diberikan sebesar 1 kali gaji pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mulai menjadi komponen transfer ke daerah sejak tahun 2010. Alokasi Tunjangan Profesi Guru PNSD dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp18.537.689.880.200. 2. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD yang mulai diberikan sejak tahun 2009 merupakan tambahan penghasilan yang diberikan kepada Guru PNSD yang belum mendapatkan Tunjangan Profesi Guru PNSD. Dana ini diberikan sebesar Rp250.000 per orang per bulan. Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp3.696.177.700.000. 3. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp16.812,0 miliar. BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 4. Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp1.387,8 miliar. DID adalah dana yang dialokasikan kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan fungsi pendidikan dengan mempertimbangkan kriteria daerah berprestasi yang memenuhi Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja. 5. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) ditetapkan sebesar Rp7.700,8 miliar. DPID adalah dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai pembangunan infrastruktur untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. 6. Kurang bayar dana sarana dan prasarana infrastruktur Provinsi Papua Barat tahun 2008 sebesar Rp100,5 miliar. Kriteria Utama adalah kriteria yang harus dipenuhi sebagai penentu kelayakan daerah penerima, meliputi daerah yang sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan daerah yang menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tepat waktu. Kriteria Kinerja adalah kriteria yang ditetapkan sebagai unsur penilaian terhadap kinerja dan upaya daerah yang terdiri dari Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. 110 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6.1.5. Kebijakan Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan urusan daerah. Kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program prioritas nasional termuat di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2011 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2010. Berdasarkan RKP, Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, Menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus dimaksud kepada Menteri Keuangan. Arah kebijakan DAK yang ditempuh pada tahun 2011 meliputi: 1. dukungan terhadap program yang menjadi prioritas nasional dalam RKP 2011 sesuai kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) dan penganggaran berbasis kinerja (PBK); 2. bantuan kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam membiayai pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka pemerataan pelayanan dasar publik; serta 3. peningkatan penyediaan data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di pusat dan daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai APBN dan APBD, serta pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh DAK di daerah. Perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahap, yaitu penentuan daerah yang menerima alokasi DAK dan penentuan besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah. Dari 491 kabupaten/kota, terdapat 3 daerah yang tidak menerima alokasi DAK, dan dari 33 provinsi, terdapat 1 daerah yang tidak menerima alokasi DAK. Alokasi DAK mengalami kenaikan 19,4 persen, yaitu dari Rp21,1 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp25,2 triliun pada tahun 2011. Bidang yang didanai DAK juga bertambah, yaitu dari 14 bidang pada tahun 2010 menjadi 19 bidang pada tahun 2011. Kelima bidang baru adalah Listrik Perdesaan, Perumahan dan Permukiman, Keselamatan Transportasi Darat, Transportasi Perdesaan, serta Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan. 6.1.6. Penyaluran Anggaran Transfer Ke Daerah a. Perubahan Pola Penyaluran Anggaran Transfer Ke Daerah Sejalan dengan perubahan nomenklatur belanja negara untuk anggaran yang dialokasikan ke daerah, yakni dari “Dana Perimbangan” menjadi “Transfer Ke Daerah”, telah dilakukan perubahan yang mendasar dalam penyaluran anggaran transfer ke daerah. Apabila pada tahun 2001 hingga 2007 anggaran dana perimbangan disalurkan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) berdasarkan permintaan dari masingmasing Pemerintah Daerah, maka mulai tahun 2008, anggaran transfer ke daerah disalurkan secara langsung dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kepada masingmasing Pemerintah Daerah. Perubahan pola penyaluran diatur melalui PMK No. 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer Ke Daerah, yang kemudian diganti dengan PMK No. 21/ PMK.07/2009. Dalam mekanisme penyalurannya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku KPA diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk menyusun Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebagai dokumen pelaksanaan anggaran transfer ke daerah guna disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN). www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 111 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perubahan pola penyaluran telah berdampak yang positif terhadap pengelolaan anggaran transfer ke daerah di tingkat pusat (APBN) maupun pengelolaan keuangan daerah (APBD). Dampak positif yang dimaksud adalah: 1. mempercepat penyelesaian Perda APBD; 2. mendorong pelaksanaan treasury single account (TSA) dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; 3. mempercepat pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana; 4. mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal dan optimalisasi anggaran; 5. mempercepat tersedianya data realisasi transfer; 6. meningkatkan akuntabilitas penyusunan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Transfer Ke daerah; serta 7. meningkatkan akurasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Walaupun telah dihasilkan dampak positif dari perubahan pola penyaluran anggaran transfer ke daerah, namun masih dijumpai beberapa permasalahan/kendala yang terkait dengan penyaluran DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Bagian Daerah, DBH CHT, DAK, serta penerbitan dokumen penyaluran dan konfirmasi penyaluran dana transfer ke daerah. Untuk itu, telah dilakukan perbaikan atas PMK No. 21/PMK.07/2009 melalui PMK No. 126/ PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. b. Penyaluran Transfer Ke Daerah Dana transfer ke daerah diberikan kepada semua daerah yang berhak berdasarkan Perpres atau PMK dan dialokasikan dengan menggunakan mekanisme tertentu. Jumlah penerima dana transfer ke daerah pada tahun 2011 adalah 524 daerah. Penyaluran anggaran transfer ke daerah selama tahun anggaran 2011 dilakukan berdasarkan PMK No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Tabel 6.3. Pola dan Mekanisme Penyaluran Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011 No. I. 112 | Uraian Transfer Dana Bagi Hasil Pajak A. DBH PBB t DBH PBB Bagian Pusat (10%) Tahap I: 25%; Tahap II: 50%; Tahap III: selisih pagu alokasi definitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Tahap I dan II. t DBH PBB Bagian Daerah (81%) Selain Sektor Per Minggu tiap hari Jumat sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/ Migas & Panas Bumi Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan per Minggu. t DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%) Selain Sektor Migas & Panas Bumi Per Minggu tiap hari Jumat sebesar 9% dari realisasi penerimaan per Minggu. t DBH PBB Bagian Daerah Sektor Migas & Panas Bumi Triwulan I: 25%; Triwulan II: 25%; Triwulan III: 25%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi definitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III. t DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah Sektor Migas & Panas Bumi Triwulan I: 25%; Triwulan II: 25%; Triwulan III: 25%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi definitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III. B. DBH PPh t DBH PPh Pasal 21 t DBH PPh Pasal 25/29 Triwulan I: 20%; Triwulan II: 20%; Triwulan III: 20%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi definitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III. LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.3 (lanjutan) No. Uraian Transfer t Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25/29 TA 2009 t Kurang Bayar DBH PBB Bagian Daerah TA Dilakukan sekaligus pada Tahun 2011. 2009 t Kurang Bayar DBH BPHTB TA 2009 II. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Triwulan I: 15%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dengan penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III. III. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam A. Minyak dan Gas Bumi B. Panas Bumi Triwulan I: 20%; Triwulan II: 20%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dikurangi dengan realisasi penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III. Triwulan I: 20%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dikurangi dengan realisasi penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III. C. Pertambangan Umum D. Kehutanan E. Perikanan F. Alokasi Kurang Bayar DBH SDA Pertambangan MIGAS TA 2008 Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi. Penyaluran dilaksanakan pada awal hari kerja untuk bulan Januari dan satu hari kerja sebelum awal hari kerja bulan berikutnya untuk bulan Februari s.d. bulan Desember. Dana Alokasi Umum Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi. Penyaluran dilaksanakan pada awal hari kerja untuk bulan Januari dan satu hari kerja sebelum awal hari kerja bulan berikutnya untuk bulan Februari s.d. bulan Desember. IV. Triwulan I: 15%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dengan realisasi penyaluran Triwulan I dan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan IV dengan realisasi penyaluran Triwulan I, II, dan III. 1. Tahap I (30%) Disalurkan paling cepat bulan Februari, setelah DJPK menerima Perda APBD Tahun 2011, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya, dan Surat Pernyataan Dana Pendamping DAK TA 2011. V. Dana Alokasi Khusus (DAK) 2. Tahap II (45%) dan Tahap III (25%) Disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DAK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 113 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.3 (lanjutan) No. VI. Uraian Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian A. Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur 114 | B. Tunjangan Profesi Guru C. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi. 2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November. 3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester II Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2010. 4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan. 5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2011. 1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi. 2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November. 3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester II Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2010. 4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan. 5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2011. Penyaluran dilaksanakan 4 tahap, Tahap I (Januari): 25%; Tahap II (April): 25% ; Tahap III (Juli): 25%; dan Tahap IV sebesar selisih antara total pagu prognosa definitif dengan total realisasi hingga Triwulan III. 1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi. 2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November. 3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester Kedua Tambahan Penghasilan Guru PNSD T.A. 2010. 4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan. 5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tambahan Penghasilan Guru PNSD TA 2011. D. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD E. Dana Insentif Daerah LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id Penyaluran dilakukan secara sekaligus setelah daerah menyampaikan Perda APBD T.A. 2011, Surat Pernyataan Kesediaan Pencantuman DID dalam APBD/APBDP, dan Rencana Penggunaan Dana Insentif Daerah. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.3 (lanjutan) No. Uraian Transfer F. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 1. Tahap I (30%), disalurkan setelah DJPK menerima Perda APBD T.A. 2011, dan Surat Pernyataan Kesediaan Mencantumkan DPID dalam APBD/APBD-P 2011. 2. Tahap II (45%) dan Tahap III (25%), disalurkan setelah DJPK menerima laporan DPID tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/ kegiatan yang didanai DPID. 1. Tahap I (50%), Disalurkan setelah DJPK menerima Surat Pernyataan Kesediaan Mencantumkan Dana DPPID dalam APBD-P 2011 Tahap II (50%), disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Penyerapan DPPID yang telah mencapai 30% dari tahap I yang diterima RKUD dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/ kegiatan yang didanai DPPID. G. Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur 2. Daerah (DPPID) H. Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Dilakukan sekaligus pada Tahun 2011 Infrastruktur Provinsi Papua Barat TA 2008 Sumber: DJPK. c. Penyaluran DBH 1. Penyaluran DBH Pajak Tahun 2011 Realisasi DBH Pajak yang terdiri dari DBH PPh, DBH PBB, dan DBH BPHTB mencapai Rp42.764.783.841.009 atau 103,67 persen dari pagu alokasi sebesar Rp41.250.847.859.373. Dari jumlah tersebut, Rp6.630.514.870 merupakan penyaluran sisa DBH BPHTB tahun 2010. Tabel 6.4. Penyaluran DBH Pajak Tahun 2011 Jenis DBH Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%) DBH PPh 13.237.326.489.261 13.237.326.489.261 100,00 DBH PBB 26.597.548.367.060 28.112.378.072.694 105,70 DBH CHT 1.415.973.003.052 1.408.448.764.184 99,47 - 6.630.514.870 - 41.250.847.859.373 42.764.783.841.009 103,67 DBH BPHTB *) Jumlah Sumber: DJPK. Keterangan: *Penyaluran sisa DBH BPHTB tahun 2010. 2. Penyaluran DBH CHT Tahun 2011 Realisasi DBH CHT pada tahun 2011 mencapai Rp1.415.973.003.052 atau 99,47 persen dari alokasi DBH CHT sebesar Rp1.408.448.764.184. Adapun sisanya tidak dapat disalurkan karena ketidaklengkapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh daerah yang bersangkutan. 3. Penyaluran DBH SDA Tahun 2011 Realisasi untuk semua jenis DBH SDA, yaitu DBH SDA Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan, Perikanan, maupun Panas Bumi, mencapai 100 persen atau sama dengan pagu alokasi sebesar Rp53.974.986.297.954. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 115 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.5. Penyaluran DBH SDA Tahun 2011 Jenis DBH Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%) DBH Migas 37.306.330.494.277 37.306.330.494.277 100,00 DBH Pertambangan Umum 14.498.126.522.475 14.498.126.522.475 100,00 1.512.465.063.891 1.512.465.063.891 100,00 DBH Kehutanan DBH Perikanan 138.077.102.117 138.077.102.117 100,00 DBH Panas Bumi 519.987.115.194 519.987.115.194 100,00 53.974.986.297.954 53.974.986.297.954 100,00 Jumlah Sumber: DJPK. d. Penyaluran DAU DAU merupakan komponen utama transfer ke daerah. Dikatakan utama, karena semua daerah mendapatkan alokasi DAU secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas fiskalnya. Selain itu, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya pada Pemerintah Daerah, karena bersifat block grant. Tujuan dari penetapan DAU adalah untuk mengatasi vertical and horizontal imbalances. Tabel 6.6. Alokasi DAU Tahun 2011 Jenis DAU Pagu (Rp) DAU Propinsi/Kabupaten/Kota Koreksi Positif DAU Jumlah Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%) 225.532.824.825.000 225.532.824.825.000 100,00 887.223.000 887.223.000 100,00 225.533.712.048.000 225.533.712.048.000 100,00 Sumber: DJPK. Jumlah DAU pada tahun 2011 didasarkan atas UU No. 10 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, Perpres No. 6 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta PMK No. 73/PMK.07/2011 tentang Koreksi Alokasi Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2010 dalam Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Umum Daerah Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2011. Sedangkan dasar untuk penyalurannya adalah Pasal 36 UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 49 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005, dan Pasal 25 PMK No. 126/PMK.07/2010 yang menyatakan bahwa penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masing-masing daerah. Secara umum, transfer DAU pada tahun 2011 tidak mengalami permasalahan yang signifikan. Permasalahan yang perlu dicatat adalah terlambatnya penetapan DAU tahun 2011. Permasalahan ini dapat diatasi, karena pencantuman DIPA DAU adalah total keseluruhan dari Pagu Alokasi DAU dan bukan merupakan rincian, sehingga dasar hukumnya cukup mengacu pada UU tentang APBN. 116 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.7. Penundaan Penyaluran DAU karena Keterlambatan Penyampaian Perda APBD No. Daerah DAU/Bulan Nilai Tunda 25% Tanggal KMK Pencabutan Tanggal SPM DAU Susulan 1. Provinsi Aceh 59.720.514.000 14.930.128.500 12/05/2011 30/05/2011 2. Kabupaten Bireuen 40.000.882.000 10.000.220.500 21/04/2011 29/04/2011 3. Kota Sabang 20.155.723.000 5.038.930.750 20/04/2011 29/04/2011 4. Kota Langsa 23.042.122.000 5.760.530.500 20/04/2011 29/04/2011 5. Kabupaten Aceh Jaya 21.293.130.000 5.323.282.500 13/04/2011 29/04/2011 6. Kabupaten Karo 36.819.235.000 9.204.808.750 04/07/2011 28/07/2011 7. Kabupaten Langkat 57.442.057.000 14.360.514.250 20/04/2011 29/04/2011 8. Kabupaten Nias Selatan 26.599.083.000 6.649.770.750 12/05/2011 30/05/2011 9. Kabupaten Batubara 32.181.745.000 8.045.436.250 05/04/2011 29/04/2011 10. Kabupaten Padang Lawas 20.810.343.000 5.202.585.750 20/04/2011 29/04/2011 11. Kota Bekasi 61.430.185.000 15.357.546.250 20/04/2011 29/04/2011 12. Kabupaten Blora 45.619.831.000 11.404.957.750 02/05/2011 30/05/2011 13. Kabupaten Jember 88.269.360.000 22.067.340.000 20/04/2011 29/04/2011 14. Kabupaten Jeneponto 29.649.866.000 7.412.466.500 05/04/2011 29/04/2011 15. Kabupaten Soppeng 31.336.941.000 7.834.235.250 23/05/2011 30/05/2011 16. Kabupaten Biak Numfor 30.258.155.000 7.564.538.750 05/04/2011 29/04/2011 17. Kabupaten Mappi 41.594.131.000 10.398.532.750 20/04/2011 29/04/2011 18. Kabupaten Mamberamo Tengah 24.253.098.000 6.063.274.500 20/04/2011 29/04/2011 19. Kabupaten Nduga 29.174.502.000 7.293.625.500 08/06/2011 30/06/2011 Sumber: DJPK. e. Penyaluran DAK DAK dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Alokasi DAK ditetapkan dengan PMK No. 216/PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011 sebagaimana telah diubah dalam PMK No. 42/PMK.42/2011 tentang Perubahan Atas PMK No. 216/ PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum Dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011. Sedangkan mekanisme pelaksanaan penyaluran DAK Tahun Anggaran 2011 berdasarkan Pasal 26 PMK No. 126/PMK.07/2010 dan PMK No. 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011 sebagaimana telah diubah dalam PMK No. 192/PMK.07/2011 tentang Perubahan atas PMK No. 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011. Penyaluran DAK Tahun Anggaran 2011 dilaksanakan melalui 3 tahap. 1. Tahap I sebesar 30 persen dari alokasi DAK, dilaksanakan setelah Perda APBD, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, dan Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Minimum jumlah dana pendamping yang wajib disediakan daerah adalah 10 persen dari alokasi yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan Pasal 41 UU No. 33 Tahun 2004 dan Pasal 61 PP No. 55 Tahun 2005. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 117 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Tahap II dan III masing-masing sebesar 45 persen dan 25 persen dari alokasi DAK, dilaksanakan selambatlambatnya 15 hari kerja setelah Laporan Realisasi Penyerapan DAK tahap sebelumnya diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Dalam Laporan Realisasi penggunaan DAK telah mencapai 90 persen dari penerimaan DAK sampai dengan tahap sebelumnya. Penyaluran bertahap tidak dapat dilaksanakan secara sekaligus dan tidak melampaui tahun anggaran yang bersangkutan. Pagu Alokasi DAK untuk tahun 2011 adalah Rp25.232.800.000.000 dengan realisasi sebesar 98,30 persen dan sisa sebanyak Rp429.290.975.000. Tabel 6.8. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DAK Tahun Anggaran 2011 Pagu (Rp) Jenis Dana DAK Rupiah Realisasi (Rp) Daerah Rupiah Daerah Daerah Tidak Tersalur Sisa Pagu (Rp) Persentase Realisasi (%) 25.232.800.000.000 24.803.509.025.000 429.290.975.000 98,30% 5.003.600.000 5.003.600.000 - 100,00% - Potongan DAK - Tahap I 7.569.840.000.000 520 7.568.338.920.000 520 1.501.080.000 - 99,98% - Tahap II 11.354.760.000.000 520 11.341.296.030.000 519 13.463.970.000 1 99,88% - Tahap III 6.303.196.400.000 520 5.888.870.475.000 478 414.325.925.000 41 93,43% Sumber: DJPK. Keterangan: potongan DAK dikarenakan adanya koreksi atas DAK Tahun Anggaran 2010 untuk Kabupaten Indramayu. Kendala utama dalam pelaksanaan transfer DAK adalah belum adanya program aplikasi untuk penyampaian laporan realisasi penyerapan DAK. Meskipun berdasarkan PMK No. 160/PMK.07/2011 sudah ditetapkan format pelaporan, namun masih banyak daerah yang laporannya tidak sesuai dengan format tersebut. Selain itu, beberapa daerah, seperti Kabupaten Bogor dan Kabupaten Pamekasan, tidak melaksanakan bidang perumahan dan pemukiman, sehingga dana sebesar Rp7.236.600.000 tidak terserap. f. Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian 1. Penyaluran Dana Otsus Otsus adalah dana otonomi yang khusus diberikan untuk percepatan pembangunan di daerah. Pada awalnya Otsus hanya diberikan untuk Provinsi Papua dengan landasan hukum UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada tahun 2008, dengan diubahnya undang-undang tersebut, sebagaimana perubahan terakhir dalam UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PP Pengganti UU No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, ditetapkan bahwa Dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka Otsus juga diberikan kepada Provinsi Papua Barat. Alokasi Dana Otsus ditetapkan sebesar 2 persen dari plafon DAU Nasional per tahun dan berlaku selama 20 tahun. Dari Alokasi tersebut, Provinsi Papua mendapatkan proporsi 70 persen dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Berdasarkan PMK No. 230/PMK.07/2010 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun Anggaran 2011, rincian alokasi dana Otsus Papua dan Papua Barat adalah: 118 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Dana Otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp3.157.459.547.550 dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp1.353.196.948.950; serta t Dana Tambahan Infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp800.000.000.000 dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp600.000.000.000. Selain Provinsi Papua dan Papua Barat, Dana Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU Nasional. Berdasarkan PMK No. 231/PMK.07/2010 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun Anggaran 2011, alokasi Dana Otsus untuk Provinsi NAD adalah Rp4.510.656.496.500. Tabel 6.9. Rekapitulasi Realisasi Penyaluran Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2011 No. Pagu APBN-P (Rp) Uraian Sesuai BAS Realisasi Penyaluran (Rp) Persentase Realisasi (%) 1. Transfer Dana Otsus Provinsi Papua 3.157.459.547.550 3.157.459.547.550 100,00 2. Transfer Dana Otsus Provinsi Aceh 4.510.655.496.500 4.510.655.496.500 100,00 3. Transfer Dana Otsus Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua 800.000.000.000 800.000.000.000 100,00 4. Transfer Dana Otsus Provinisi Papua Barat 1.353.196.949.000 1.353.196.949.000 100,00 5. Transfer Dana Tambahan Infrastruktur Papua Barat 600.000.000.000 600.000.000.000 100,00 10.421.312.993.000 10.421.312.993.000 100,00 Jumlah Sumber: DJPK. Penyaluran Dana Otsus dibagi dalam 3 tahap, yaitu masing-masing secara berurutan sebesar 30 persen, 45 persen, dan terakhir sebesar 25 persen dari alokasi. Penyaluran tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Pada tahun 2011, penyaluran Dana Otsus Provinsi Papua, Papua Barat, NAD, dan dana tambahan infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat, berhasil dilaksanakan 100 persen. 2. Penyaluran Dana Penyesuaian Dana Penyesuaian adalah jenis dana yang bersifat ad hoc dan bertujuan untuk menampung program-program tertentu. Jenis-jenis Dana Penyesuaian yang disalurkan pada tahun 2011 adalah berikut ini. t Dana Insentif Daerah (DID) ditetapkan melalui PMK No. 61/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2011. Tujuan utama DID adalah untuk mendorong agar daerah berupaya mengelola keuangannya dengan lebih baik dan membantu daerah dalam rangka melaksanakan program pendidikan. DID dialokasikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan daerah yang berprestasi yang memenuhi Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja. Kriteria Utama meliputi sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan dan penetapan APBD yang tepat waktu. Kriteria Kinerja terdiri dari Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. Batas Minimum Kelulusan Kinerja adalah nilai minimum tertentu atas hasil pembobotan terhadap masing-masing unsur penilaian dan Kriteria Kinerja Keuangan, www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 119 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. Pagu alokasi DID Tahun Anggaran 2011 untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan Rp1.387.800.000.000, dengan proporsi 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011, penyaluran DID berhasil dilaksanakan 100 persen. t Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan infrastruktur dan mendorong percepatan pembangunan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. DPID digunakan untuk belanja modal. Pagu alokasi DPID pada tahun 2011 yang ditetapkan dengan PMK No. 25/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah TA 2011 adalah Rp7.700.800.000.000. Penyaluran DPID dilaksanakan melalui 3 tahap. Realisasi transfer DPID ke daerah diketahui sebesar Rp7.535.043.988.000 atau 97,85 persen dari pagu yang ditetapkan. Kendala utama dalam pelaksanaan transfer DPID adalah belum adanya program aplikasi untuk penyampaian laporan realisasi penyerapan DPID. Meskipun berdasarkan PMK No. 25/PMK.07/2011 sudah ditetapkan format pelaporan, namun masih banyak daerah yang laporannya tidak sesuai dengan format tersebut. Tabel 6.10. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DPID Tahun Anggaran 2011 Pagu Alokasi Dana Rp DPID Realisasi Daerah 7.700.800.000.000 Rp Daerah 7.535.043.988.000 Daerah Tidak Tersalur Sisa Pagu (Rp) 165.756.012.000 Persentase Realisasi (%) 97,85 - Tahap I 2.310.240.001.000 298 2.310.240.001.000 298 - - Tahap II 3.465.360.000.000 298 3.430.833.749.000 293 34.526.251.000 5 100,00 99,00 - Tahap III 1.925.199.999.000 2968 1.793.970.238.000 273 131.229.761.000 25 93,18 Sumber: DJPK. t Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), ditetapkan sebagai salah satu komponen Dana Penyesuaian dalam UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2011. Dana ini dialokasikan dalam rangka peningkatan pelayanan publik melalui penyediaan infrastruktur dan prasarana untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. PMK No. 140/PMK.07/2011 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah TA 2011 menetapkan pagu alokasi DPPID sebesar Rp6.313.000.000.000. Tabel 6.11. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DPPID Tahun Anggaran 2011 Pagu Alokasi Dana DPPID Rp Realisasi Daerah 6.313.000.000.000 Rp Daerah 6.158.606.372.500 | 154.393.627.500 - Tahap I 3.156.500.000.000 524 3.115.930.974.500 517 - - Tahap II 3.156.500.000.000 524 3.042.675.398.000 518 40.569.025.500 Sumber: DJPK. 120 Daerah Tidak Tersalur Sisa Pagu LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id Persentase Realisasi (%) 97,55 98,71 5 96,39 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan dana yang dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Sekolah penerima BOS adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP/SMPLB/SMPT), baik negeri maupun swasta. Penyaluran BOS dilaksanakan secara triwulanan, yaitu triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing sebesar 1/4 dari alokasi sementara, sedangkan triwulan IV sebesar selisih antara penetapan alokasi prognosa definitif BOS dengan jumlah dana yang telah disalurkan sampai dengan triwulan III. Pemerintah Daerah wajib menyalurkan BOS kepada masingmasing sekolah paling lambat 7 hari kerja setelah diterima di Rekening KUD. Pada tahun 2011, Dana BOS berhasil disalurkan seluruhnya ke daerah penerima. Kendala yang sering ditemui adalah keterlambatan daerah dalam menyalurkan Dana BOS ke tiap-tiap sekolah. Tabel 6.12. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer BOS Tahun Anggaran 2011 Dana BOS Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%) Sisa Pagu (Rp) 16.329.888.218.250 16.329.888.218.250 - 100,00% - Triwulan I 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00% - Triwulan II 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00% - Triwulan III 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00% - Triwulan IV 4.130.358.659.250 4.130.358.659.250 - 100,00% Sumber: DJPK. t Dana Tambahan Penghasilan (Tamsil) diberikan dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan penghasilan bagi Guru PNSD dan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan Guru PNSD. Berdasarkan PMK No. 72/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2011, dana Tamsil Tahun Anggaran 2011 ditujukan untuk Guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi. Alokasi Tamsil bagi guru PNSD pada tahun 2011 adalah Rp250.000 per orang per bulan terhitung mulai 1 Januari 2011. Penyaluran Tamsil dilaksanakan setiap triwulan masing-masing 1/4 dari alokasi, tidak termasuk untuk bulan ke-13. Sisa realisasi pembayaran Tamsil wajib dikembalikan ke KUN. Permasalahan dalam penyaluran Tamsil adalah keterlambatan daerah dalam menyampaikan laporan daerah realisasi pembayaran semester II tahun anggaran 2010 yang merupakan syarat untuk pencairan triwulan I tahun anggaran 2011. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 121 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.13. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer Dana Tambahan Penghasilan Guru Tahun Anggaran 2011 Pagu Alokasi Dana Rp Tamsil Guru Realisasi Daerah 3.696.177.700.000 Rp Daerah 3.681.410.389.000 Sisa Pagu (Rp) Daerah Tidak Tersalur 14.767311.000 Persentase Realisasi (%) 99,60 - Tahap I 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74 - Tahap II 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74 - Tahap III 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74 - Tahap IV 924.044.425.000 519 916.513.897.000 500 7.530.528.000 19 99,19 Sumber: DJPK. t Dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberikan dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan penghasilan bagi Guru PNSD. Dana ini diperuntukan bagi Guru PNSD yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan. Tabel 6.14. Rekapitulasi Alokasi dan Transfer Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD Tahun Anggaran 2011 Pagu Alokasi Dana Rp TPG PNSD Realisasi Daerah 18.537.689.880.200 Rp Sisa Pagu (Rp) Daerah Tidak Tersalur Persentase Realisasi (%) 330.599.280 - 99,60 Daerah 18.537.689.880.200 - Tahap I 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74 - Tahap II 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74 - Tahap III 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74 - Tahap IV 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,19 Sumber: DJPK. t Pada tahun 2011 juga disalurkan dana Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp78.538.524.780. Dana ini tersalur 100 persen apabila dibandingkan dengan PMK alokasi yang mengatur dana kurang bayar tersebut. Namun, jika dibandingkan dengan pagu yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp100.500.000.000, hanya tersalur 78,52 persen. Hal ini dikarenakan PMK ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah setelah memperhitungkan hasil audit BPK dan reviu BPKP. Selanjutnya Badan Anggaran DPR juga menyarankan Pemerintah Daerah menindaklanjuti temuan-temuan dari audit BPK dan reviu BPKP sebesar Rp21.592.122.848. 6.1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Penyaluran Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi realisasi transfer ke daerah. 1. Keterlambatan pengiriman Perda APBD tahun 2011 mengakibatkan penyaluran DAU tertunda untuk beberapa daerah sebesar 25 persen dari alokasi per bulan. 2. Penyaluran DAK Tahap I tergantung pada penyampaian Perda APBD tahun 2010, Laporan Pelaksanaan DAK tahun 2009, dan pernyataan kesediaan menyediakan dana pendamping dalam APBD, sedangkan penyaluran Tahap II/III tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahap sebelumnya. 122 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. Keterlambatan penerbitan petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan DAK dan adanya perubahan mekanisme pelaksanaan kegiatan pada bidang pendidikan. Selain itu, pada tahun 2011 terdapat koreksi negatif atas Pagu DAK, sehingga daerah lebih berhati-hati dalam melakukan penyerapan anggaran sementara dengan menunggu perubahan APBD. 4. Penyaluran Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. 5. Penyaluran DPID Tahap I tergantung pada penyampaian Perda APBD tahun 2011 dan Surat Pernyataan pencantuman dalam APBD dan penyaluran Tahap II/III tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan Penggunaan DPID tahap sebelumnya. 6. Sebagian besar daerah penerima DPPID baru melaksanakan kegiatan setelah dana tersebut dimasukkan dalam APBD-P, sehingga mengakibatkan keterlambatan penyerapan. Penyaluran tahap I (50 persen dari total pagu) mempersyaratkan daerah menyampaikan Surat Pernyataan telah/akan memasukkan kegiatan yang didanai dalam Perda APBD/APBD-P tahun 2011 dan jadwal pelaksanaan kegiatan. Sedangkan penyaluran tahap II tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan Penggunaan DPPID tahap sebelumnya. Khusus untuk bidang Infrastruktur Transmigrasi mempersyaratkan adanya rekomendasi dari BPKP dalam penyaluran tahap II. Dalam rangka mengoptimalkan penyaluran anggaran transfer ke daerah telah dilaksanakan berbagai upaya berikut ini. 1. Melakukan sosialisasi PMK mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah, baik secara khusus maupun melalui acara-acara yang diselenggarakan oleh DJPK. 2. Menambah frekuensi penyaluran atau komposisi besaran per jenis transfer dan per tahap. 3. Melakukan bimbingan teknis kepada pejabat/staf pengelola keuangan daerah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyiapan dokumen dan laporan realisasi penyerapan. 4. Menjelaskan kepada pejabat/staf pengelola keuangan daerah, baik secara langsung di kantor maupun melalui tanya jawab via telepon dan email. 5. Menyampaikan Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-428/PMK.07/2011 tanggal 30 Juni 2011 mengenai Penegasan Tatacara Penyaluran DAK dan DPID tahun 2001. 6. Menyampaikan Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-535/PMK.07/2011 tanggal 14 Oktober 2011 mengenai Informasi Batas Waktu Penyampaian Dokumen Persyaratan Penyaluran DAK, DPID, dan DPPID Tahun 2011. 7. Menerbitkan Surat Edaran No. SE-06/PK/2001 tanggal 21 November 2011 tentang Langkah-langkah Penyaluran Anggaran ke Daerah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011. 8. Menerbitkan Surat Edaran No. SE-898/PK/2011 tanggal 22 Desember 2011 tentang Penegasan Pengembalian Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Derah Tahun Anggaran 2011 dan Tata Cara Pengembaliannya. 6.2. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Perubahan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menuntut Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, untuk segera menyusun Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hal tersebut dilakukan karena Perda PDRD yang jenisnya tercantum dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan masih mengacu pada UU No. 34 Tahun 2000 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 123 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah, hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2011. Mulai 1 Januari 2012, seluruh Perda tentang PDRD harus mengacu pada UU No. 28 Tahun 2009. Terkait dengan penyusunan Rancangan Perda (Raperda) dan Perda dibidang pajak dan retribusi oleh Pemerintah Daerah, dapat dijelaskan beberapa hal berikut ini. 1. (Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas Perda PDRD. Jumlah Perda yang direncanakan untuk dievaluasi pada tahun 2011 sebanyak 1.000 Perda. Evaluasi merupakan bentuk pengawasan agar Perda yang diterbitkan telah sesuai dengan Raperdanya. Target tersebut dibagi ke dalam 4 triwulan, dengan rincian 321 Perda dievaluasi pada triwulan I, 303 Perda pada triwulan II, 275 Perda pada triwulan III, dan 101 Perda pada triwulan IV. Realisasi evaluasi Perda pada triwulan I sebanyak 318 Perda, sedangkan realiasasi pada triwulan II, III dan IV masing-masing sebanyak 559 Perda, 443 Perda, dan 224 Perda. Pada akhir tahun 2011, jumlah Perda yang telah direalisasikan sebanyak 1.544 Perda atau 154,40 persen dari target 1.000 Perda. 2. Salah satu janji layanan Kementerian Keuangan adalah evaluasi Raperda PDRD paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya surat koordinasi dari Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Pada tahun 2011, telah dilakukan evaluasi 3.297 Raperda, di mana 2.770 Raperda dievaluasi tepat waktu (kurang atau sama dengan 15 hari) atau 84,02 persen dari total Raperda yang dievaluasi. Sementara itu, evaluasi terhadap 527 Raperda atau 15,98 persen memakan waktu lebih dari 15 hari. Keterlambatan disebabkan banyaknya Pemerintah Daerah yang menyampaikan Raperda ke Kementerian Keuangan cq. DJPK secara bersamaan. Kendala lainnya adalah kekuranglengkapan dokumen pendukung, sehingga proses evaluasi menjadi terhambat. 3. Pada tahun 2011, telah direalisasikan produk hukum di bidang PDRD, yaitu: t Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan No. 01/PK/2011 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang PDRD; dan t Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 6.2.1. Sosialisasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi Pajak Daerah Sosialisasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses pengalihan BPHTB dan PBB-P2 sebagai pajak daerah. Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB dialihkan paling lambat 31 Desember 2010 dan PBB-P2 dialihkan paling lambat 1 Januari 2014. Sosialisasi melibatkan nara sumber dari unsur Komisi XI DPR-RI, Direktorat Jenderal Pajak, dan Kementerian Dalam Negeri ke seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sampai dengan akhir 2011, sosialisasi telah dilakukan di 160 kabupaten/kota. Sosialisasi dimaksudkan agar Pemerintah Daerah mempercepat berbagai hal terkait dengan pemungutan BPHTB dan PBB-P2, khususnya penyiapan produk hukum, standar operasional prosedur, sarana dan prasarana, sumber daya aparatur, serta sistem informasi teknologi. Peserta sosialisasi terdiri dari unsur pimpinan dan anggota DPRD, Sekretaris Daerah, Kepala SKPD yang terkait dengan pemungutan BPHTB dan PBB-P2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat, Camat, Kepala Desa/Lurah, Notaris/PPAT, BPN, pihak Bank di daerah setempat, serta para stakeholder terkait lainnya. 124 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 6.15. Kesiapan Daerah Memungut PBB-P2* per 30 Desember 2011 Jumlah No. Kesiapan Daerah 1. Perda yang telah siap 2. Raperda (dalam proses) 3. Jumlah Daerah Prosentase Penerimaan PBB-P2 2010 (Rp) Jumlah Daerah Penerimaan PBB-P2 2010 (%) 114**) 2.608.092.405.463 23,2 34,3 55 2.960.086.275.774 11,2 39,0 Belum menyusun Raperda 323 2.030.142.789.145 65,6 26,7 Total 492 7.598.321.470.382 100 100 Sumber: DJPK. Catatan: *) Pemungutan PBB-P2 oleh Kabupaten/Kota paling lambat 1 Januari 2014. **) Mulai memungut PBB-P2: -Tahun 2011: 1 Daerah (Kota Surabaya); -Tahun 2012: 17 Daerah; -Tahun 2013: 25 Daerah; dan -Tahun 2014: 71 Daerah. Sebagai hasilnya, jumlah Pemerintah Daerah yang telah memiliki Perda BPHTB per 30 Desember 2011 sebesar 419 Pemerintah Daerah atau 85,2 persen. Pemerintah Daerah yang masih memproses Raperda BPHTB sebanyak 72 Pemerintah Daerah atau 14,6 persen dan Pemerintah Daerah yang belum menyusun Raperda sebanyak 1 Pemerintah Daerah atau 0,2 persen. Sedangkan jumlah Pemerintah Daerah yang telah memiliki Perda PBB-P2 per 30 Desember 2011 sebanyak 114 Pemerintah Daerah atau 23,2 persen. Pemerintah Daerah yang masih memproses Raperda PBB-P2 sejumlah 55 Pemerintah Daerah atau 11,2 persen dan Pemerintah Daerah yang belum menyusun Raperda sebanyak 323 Pemerintah Daerah atau 65,6 persen. Sejumlah 114 Pemerintah Daerah telah memiliki Perda PBB-P2 dan 1 daerah yang melaksanakan pemungutan PBB-P2 pada tahun 2011, yaitu Kota Surabaya. Pemungutan PBB-P2 yang akan dilaksanakan pada tahun 2012 sebanyak 17 daerah, kemudian pada tahun 2013 sebanyak 25 daerah, dan pada tahun 2014 sebanyak 71 daerah. Tabel 6.16. Kesiapan Daerah Memungut BPHTB per 30 Desember 2011 Jumlah No. Kesiapan Daerah Daerah Prosentase (%) Penerimaan BPHTB 2010 (Rp) Jumlah Daerah Penerimaan BPHTB 2010 1. Perda yang telah siap 419 7.971.209.498.979 85,2 99,4 2. Raperda (dalam proses) 72 47.206.900.947 14,6 0,6 3. Belum menyusun Raperda 1*) 0 0,2 0,0 100 100 Total 492 8.018.416.399.926 Sumber: DJPK. Keterangan: *) Pemerintah Daerah yang belum menyusun Raperda BPHTB: Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua (belum menyusun karena tidak ada potensi). www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 125 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6.3. Pinjaman, Hibah dan Kapasitas Daerah 6.3.1. Pinjaman Daerah Pada tahun 2011 telah dilaksanakan penyusunan PMK terkait dengan pinjaman daerah penyusunan PMK mengenai batas maksimal kumulatif defisit APBD dan pinjaman daerah, serta pemantauan pinjaman daerah dan penjaringan minat penerbitan obligasi daerah. Penyusunan PMK terkait dengan pinjaman daerah bertujuan untuk merumuskan konsep kebijakan pemberian pinjaman dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Output dari kegiatan ini adalah: 1. PMK No. 47/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat Melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil; serta 2. draft revisi PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. PMK No. 47/PMK.07/2011 merupakan revisi dari PMK No. 129/ PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil dalam Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat. Perubahan peraturan ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan peraturan yang sudah ada dan menjaga kolektibilitas pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Pokok-pokok perubahan dalam 47/PMK.07/2011 adalah berikut ini. 1. Perubahan judul PMK dari semula “Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil dalam Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat” menjadi “Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil”. 2. Perluasan lingkup pemotongan DAU dan/atau DBH dari semula hanya mencakup tunggakan pinjaman Pemerintah yang diberikan oleh Direktorat Sistem Manajemen Investasi, Ditjen Perbendaharaan, menjadi mencakup juga pinjaman Pemerintah yang diberikan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) maupun unit lainnya pada lingkup Kementerian Keuangan yang berwenang memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. 3. Penyederhanaan prosedur pengajuan permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH. 4. Kepastian hukum bagi PA/KPA Transfer ke Daerah untuk melakukan pemotongan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Sanksi Pemotongan DAU dan/atau DBH. Dengan ditetapkannya PP No. 30 tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah sebagai pengganti dari PP No. 54 Tahun 2005, beberapa pengaturan terkait dengan penerbitan obligasi daerah perlu disesuaikan. Untuk itu, telah disusun draft revisi PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah. Pokok-pokok perubahan yang diatur dalam draft PMK mencakup hal-hal berikut ini. 1. Prasyarat bahwa Obligasi Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang berdasarkan hasil audit terakhir oleh BPK atas LKPD mendapat opini WDP atau WTP. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kinerja pasar modal, sehingga hanya Pemerintah Daerah yang mempunyai pengelolaan keuangan yang sudah bagus yang dapat mengusulkan penerbitan Obligasi Daerah. 2. Penegasan mengenai kegiatan yang dibiayai Obligasi Daerah dapat merupakan kegiatan baru atau pengembangan kegiatan yang sudah ada. 3. Penegasan mengenai komposisi pendanaan kegiatan yang dibiayai Obligasi Daerah dapat sepenuhnya atau sebagian bersumber dari Obligasi Daerah. 126 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Penegasan bahwa sisa dana setelah seluruh kegiatan terlaksana hanya dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan atau pembelian kembali Obligasi Daerah. Pengaturan ini dimaksudkan untuk membatasi penggunaan sisa dana penerbitan Obligasi Daerah hanya untuk kegiatan yang sudah direncanakan. 5. Pemerintah Daerah bertanggung jawab menutup kekurangan pendanaan kegiatan dalam hal dana hasil penerbitan Obligasi Daerah tidak mencukupi. 6. Perluasan penilaian administrasi dengan menambah unsur kesiapan unit organisasi dan sumber daya manusia pengelola Obligasi Daerah. Pemerintah Daerah diharapkan memiliki unit pengelola Obligasi Daerah dengan struktur organisasi, perangkat kerja, dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai. 7. Penegasan bahwa pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Obligasi Daerah dapat dilakukan oleh satuan kerja, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 8. Pengaturan bahwa unit pengelola obligasi daerah harus memastikan bahwa pengelolaan pendapatan dan barang milik daerah yang dibiayai dari obligasi daerah oleh satuan kerja, BLUD atau BUMD dilakukan secara profesional untuk menjamin pembayaran obligasi daerah. 9. Penambahan subtansi dalam Perda mengenai Penerbitan Obligasi Daerah. Sebelumnya Perda hanya memuat ketentuan mengenai jumlah, nilai nominal, penggunaan dana, jadwal penerbitan tahunan, dan aset yang dijaminkan. Dalam revisi PMK, Perda juga memuat tanggung jawab atas pembayaran pokok, kupon, dan biaya lainnya yang timbul akibat penerbitan Obligasi Daerah. Pengaturan ini dimaksudkan untuk memastikan terlaksananya pembayaran kewajiban. 10. Pengadaan barang dan jasa dalam rangka penerbitan Obligasi Daerah dan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa proses pemilihan lembaga penunjang pasar modal, seperti underwriter, penilai, konsultan hukum dan lainnya dilakukan mengikuti ketentuan yang berlaku. 11. Pengaturan yang lebih jelas mengenai kewajiban Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan dana cadangan dalam APBD untuk pembayaran pokok Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa daerah wajib mengalokasikan dana cadangan untuk pembayaran Obligasi Daerah. Namun, besaran dana cadangan yang dialokasikan setiap tahun disesuaikan dengan kondisi keuangan masing-masing daerah. 12. Kewajiban Kepala Daerah melakukan penatausahaan atas dana Obligasi Daerah untuk memastikan bahwa Pemerintah Daerah melakukan penatausahaan Obligasi Daerah dengan baik. 13. Pengaturan isi laporan pelaksanaan Obligasi Daerah yang disampaikan Kepala Daerah kepada Menteri Keuangan. Pengaturan ini dimaksudkan agar Menteri Keuangan dapat memantau perkembangan pelaksanaan penerbitan Obligasi Daerah secara komprehensif. 14. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri dipertegas pada aspek kemanfaatan terhadap pelayanan publik. Hal ini dimaksudkan agar terdapat pembedaan yang tegas antara aspek yang dinilai oleh Kementerian Keuangan dengan pertimbangan yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam rangka penerbitan obligasi daerah. Dalam rangka pengendalian fiskal nasional, setiap bulan Agustus tahun anggaran yang bersangkutan, Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman daerah untuk tahun anggaran yang akan datang. Berkaitan dengan itu, dari Sub Kegiatan Penyusunan PMK mengenai Batas Maksimal Kumulatif www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 127 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Defisit APBD dan Pinjaman Daerah pada tahun 2010 telah dihasilkan PMK No. 127/PMK.07/2011 tentang Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2012. Hal-hal pokok yang diatur yang diatur dalam PMK tersebut adalah berikut ini. 1. Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD Tahun Angaran 2012 ditetapkan sebesar 0,5 persen dari proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012. Pengertian defisit pada APBD diselaraskan dengan pengertian defisit pada APBN, yaitu total pendapatan dikurangi total belanja. PDB yang digunakan adalah proyeksi PDB dalam penyusunan APBN Tahun 2012. 2. Batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6 persen dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2012. Dalam hal defisit APBD akan melampaui 6 persen dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2012, daerah harus melaporkan rencana pelampauan batas maksimal defisit APBD tersebut kepada Menteri Keuangan. 3. Dalam hal daerah akan membiayai defisit APBD dengan pinjaman daerah yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank dengan jumlah melampaui 6 persen dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2012, daerah harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Menteri Keuangan memberikan persetujuan setelah meminta pertimbangan Menteri Dalam Negeri. 4. Persetujuan Menteri Keuangan dapat diberikan sepanjang batas maksimal kumulatif defisit APBD sebesar 0,5 persen dari proyeksi PDB tahun 2012 tidak terlampaui. Persetujuan/penolakan Menteri Keuangan atas pelampauan batas maksimal defisit APBD menjadi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi Raperda tentang APBD atau APBD-P. 5. Batas maksimal kumulatif pinjaman daerah yang masih menjadi kewajiban daerah sampai dengan tahun 2012 diusulkan sama dengan PMK sebelumnya, yaitu sebesar 0,35 persen dari proyeksi PDB tahun 2012. Pinjaman tersebut termasuk pinjaman yang akan diteruskan menjadi pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada BUMD. 6. Pengendalian dan pemantauan defisit APBD dan pinjaman daerah. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan pada tahun 2011 telah dilaksanakan subkegiatan Pemantauan Pinjaman Daerah dan Penjaringan Minat Penerbitan Obligasi Daerah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memetakan status posisi pinjaman daerah, kendala dan hambatan yang terdapat dalam pelaksanaanya, dan rencana pinjaman atau penerbitan obligasi daerah, serta rekomendasi kebijakan. Kegiatan dilaksanakan dengan mengunjungi 15 Pemerintah Daerah yang telah melakukan pinjaman dari Pemerintah. Selain itu juga telah di lakukan Focus Group Discussion (FGD) di 5 Pemerintah Daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Bali, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Kota Samarinda. FGD menghasilkan beberapa rekomendasi. 1. Kebutuhan akan pinjaman selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kendala utama yang dihadapi berupa proses yang terlalu panjang baik di tahap persiapan di Pemerintah Daerah maupun proses persetujuan di Pemerintah Pusat. Perlu dibuat peraturan yang memuat mekanisme pinjaman daerah menjadi lebih singkat dan sederhana. 2. Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai lembaga Pemerintah Pusat yang bergerak di bidang investasi diharapkan dapat membantu Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana pebangunan infrastruktur dasar. Namun, PIP perlu melakukan pembakuan dan penyederhanaan mekanisme pemberian pinjaman, mengingat dari 26 Pemerintah Daerah yang telah mengajukan pinjaman, baru 2 Pemerintah Daerah yang telah selesai diproses dan disetujui pinjamannya. 128 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. Mengingat proses Subsidary Loan Agreement (SLA) memerlukan proses yang memakan waktu lama, perlu dipikirkan alternatif dengan membentuk Municipal Development Fund (MDF). Prinsip dasar dari MDF adalah pinjaman program dari luar negeri akan di pinjamkan ke Pemerintah Daerah dengan skema project loan. Dengan demikian, diharapkan proses persetujuan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan lebih cepat, sederhana, mandiri tanpa campur tangan dari lender. Selain itu, proses penarikan dana dan penyalurannya dapat dilakukan lebih mudah. 4. Perlu dilakukan revisi terhadap PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah untuk memberikan pedoman yang jelas dan tegas bagi Pemerintah daerah yang akan menerbitkan obligasi daerah. 6.3.2. Hibah ke Daerah Pada tahun 2011, terdapat beberapa kegiatan yang terkait dengan pengelolaan hibah daerah, yaitu: 1. pemantauan pelaksanaan hibah daerah; 2. penyusunan revisi PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Daerah; 3. bimbingan teknis pelaksanaan hibah daerah; dan 4. penyusunan PMK tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2012. Pemantauan dilaksanakan atas program yang didanai dari penerusan hibah luar negeri yang meliputi Hibah Air Limbah, Hibah Water and Sanitation Program in Indonesia Sub Program D (WASAP-D), Hibah Air Minum, Hibah Infrastructure Enhancement Grant (IEG), Hibah Local Basic and Education Capacity (L-BEC), dan pinjaman luar negeri yang diteruskan menjadi hibah, yaitu Mass Rapid Transit (MRT). Tujuan kegiatan ini adalah mengumpulkan data dan informasi tentang pengelolaan hibah daerah yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, penganggaran dan penyaluran hibah, serta untuk mengidentifikasi dan menyusun rekomendasi terkait dengan permasalahan atas pelaksanaan kegiatan hibah daerah. Dari pemantauan terhadap 22 kabupaten/kota dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan hibah daerah masih terdapat beberapa kendala baik di tingkat pusat maupun Pemerintah Daerah. Kendala pada Pemerintah Daerah ditemukan pada proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penyaluran, maupun pelaporan. Pada proses perencanaan dan penganggaran, ditemukan kendala berupa kurang lengkapnya dokumen yang dipersyaratkan serta pencatatan hibah dalam APBD. Pada proses pelaksanaan, terdapat kendala yang terkait dengan pelelangan yang membutuhkan penerbitan No Objection Letter (NOL) dari pihak donor/lender yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan kegiatan. Pada proses penyaluran dana hibah, pemahaman mengenai mekanisme pencairan dana khususnya atas kelengkapan dan kebenaran dokumen menjadi kendala di beberapa daerah. Selain itu, ditemukan juga kendala yang terkait dengan penyampaian laporan triwulanan oleh Pemerintah Daerah serta dalam hal penatausahaan hibah terkait penyusunan laporan keuangan. Di tingkat pusat, ditemukan kendala yang terjadi pada Executing Agency (EA)/ K/L maupun pada KPA Hibah. Desain program yang relatif baru, banyaknya jumlah daerah, serta cakupan verifikasi yang meliputi administrasi dan teknis merupakan beberapa kendala yang dihadapi EA dalam proses ini. Selain itu, kesiapan dan kelengkapan dokumen oleh Pemerintah Daerah juga menentukan penyelesaian proses verifikasi. Kendala-kendala ini menyebabkan terlambatnya proses verifikasi yang juga akan berdampak pada proses penyaluran dana hibah. Pada KPA, kendala utama yang dihadapi adalah rendahnya realisasi hibah pada beberapa program, seperti Hibah www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 129 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA L-BEC dan WASAP-D, sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan kegiatan di daerah. Dengan demikian, kendala pada penyelesaian kegiatan oleh Pemerintah Daerah, kendala dalam proses verifikasi, dan kendala dalam kelengkapan dokumen penyaluran akan berdampak pada rendahnya realisasi penyaluran dana hibah di APBN yang menjadi tanggung jawab KPA. Dalam rangka meminimalkan kendala-kendala sebagaimana tersebut di atas, telah dilakukan Bimbingan Teknis Pelaksanaan Hibah Daerah. Kegiatan yang dipusatkan di 3 daerah ini melibatkan beberapa daerah penerima hibah yang sedang atau akan melakukan pengajuan penyaluran dana hibah, sehingga diharapkan proses penyaluran dana hibah dapat terlaksana dengan lancar. a. Penatausahaan Hibah Sepanjang tahun 2011 dilakukan pembahasan atas masuknya program baru yang bersumber dari hibah atau pinjaman luar negeri. Program hibah yang bersumber dari hibah luar negeri yang direncanakan akan dilaksanakan di tahun 2012 adalah hibah Exploration of Seulawah Geothermal Working Area dan yang bersumber pinjaman luar negeri adalah Program Hibah Water Resources and Irrigation Sector Management Program Phase II (WISMP-2) yang sampai akhir tahun 2011 sudah dilakukan penerbitan surat persetujuan penerusan hibah oleh Dirjen Perimbangan Keuangan. Terkait kebijakan hibah daerah, pada tahun 2011 dilakukan finalisasi atas revisi terhadap PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Daerah, yang di tahun sebelumnya masih dalam tahap harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam revisi tersebut, dimasukkan mekanisme baru terkait variasi metode penyaluran hibah dalam bentuk uang untuk Pemerintah daerah guna menampung berbagai bentuk metode penyaluran untuk pemberian dan/atau penerusan hibah yang selama ini telah dikenal oleh pemberi pinjaman/hibah luar negeri dan telah diatur dalam PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Selain itu, ditegaskan pula bahwa hibah daerah bersifat performance based transfer guna mendukung upaya Pemerintah dalam meningkatkan kualitas belanja publik. Telah diterbitkan pula PMK No. 244 tahun 2011 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2012. PMK ini digunakan sebagai salah satu dasar bagi Pemerintah Pusat dalam melakukan penilaian atas usulan pinjaman yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pemberian hibah kepada Pemerintah Daerah. Sejak diterbitkannya PMK No. 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Pemerintah Daerah, maka penyaluran hibah uang yang bersumber dari APBN dilakukan melalui pemindahbukuan dari RekeningKas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Adapun mekanisme penyaluran hibah uang yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan/atau penerusan hibah luar negeri dilakukan melalui pemindahbukuan dari Rekening Khusus (Reksus) ke RKUD. Perubahan mendasar pada pola penyaluran hibah adalah hibah dalam APBN dialokasikan dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) Pengelola Hibah (999.02) dan KPA dialihkan dari Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai KPA Hibah kepada Pemerintah Daerah (KPA-HPD). 130 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Penyaluran Dana Hibah Ke Daerah Penyaluran hibah kepada Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan permintaan penyaluran hibah dari Pemerintah Daerah setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian/ Lembaga. Berikut ini adalah penyaluran hibah kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2011. 1. Hibah Local Basic Education Capacity (L-BEC) yang bersumber dari Komisi Eropa dan Pemerintah Belanda dengan Trustee Bank Dunia yang diteruskan melalui Pemerintah dalam bentuk hibah yang bertujuan untuk mendanai kegiatan peningkatan kapasitas pendidikan dasar di Indonesia. Hibah ini disalurkan mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 kepada 50 kabupaten/kota. Masing-masing daerah mendapatkan dana sebesar Rp2,5 miliar. 2. Hibah Air Minum yang bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian dari Program Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan pelayanan air bersih kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang didasarkan pada capaian kinerja (output based). Untuk mendapatkan hibah tersebut, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pelaksana di daerah harus terlebih dahulu melakukan pemasangan jaringan pipa sambungan rumah (SR). Dana hibah akan diberikan untuk setiap SR yang dibangun dan berfungsi dengan baik berdasarkan hasil verifikasi Kementeriam Pekerjaan Umum. Besaran dana hibah ini akan diberikan secara progresif sesuai dengan jumlah SR yang berhasil dibangun dan berfungsi. Hibah sebagai dana pengganti dimaksud merupakan penyertaan modal Pemerintah Daerah terhadap PDAM. Untuk 1-1000 SR Pemerintah Daerah mendapat penggantian Rp2.000.000/SR dan untuk >1.000 SR adalah Rp3.000.000/SR. Hibah Air Minum disalurkan kepada 34 Pemerintah Daerah. 3. Hibah Air Limbah Terpusat juga bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian dari program Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang diberikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan capaian kinerja (output based) atas pelaksanaan kegiatan pemasangan SR yang dilakukan terlebih dahulu oleh PDAM/Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah (PD PAL). Dana hibah diberikan untuk setiap sambungan rumah baru yang dibangun dan berfungsi dengan baik. Besaran dana hibah ini akan didasarkan pada sistem yang dibangun. Untuk Sistem Pengelolaan Air Limbah perpipaan skala kota, Pemerintah Daerah mendapat penggantian Rp5.000.000/SR dan untuk Sistem Pengelolaan Air Limbah perpipaan skala komunal, Pemerintah Daerah mendapat penggantian Rp2.000.000/SR. Hibah sebagai dana pengganti dimaksud merupakan penyertaan modal Pemerintah Daerah terhadap PDAM dan/atau PD PAL sebagai operator pengelolaan air limbah terpusat. Hibah Air Limbah disalurkan kepada 5 Pemerintah Daerah. 4. Hibah Investment Enhancement Grant (IEG) bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian dari program Indonesia Infrastructure Initiative Facility (IndII) untuk membantu kegiatan pembangunan dan pengembangan sistem pengelolaan air limbah maupun persampahan yang ditentukan berdasarkan alokasi dana APBD di bidang sanitasi. Hibah akan diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kinerjanya pada tahun 2010 atas pekerjaan dibidang persampahan dan air limbah dan pendanaan bersama akan dilakukan untuk kegiatan dibidang sanitasi pada tahun 2011. Hibah IEG bidang sanitasi disalurkan kepada 22 Pemerintah Daerah dan Hibah IEG bidang transportasi diberikan kepada 2 Pemerintah Daerah. Namun, sampai berakhirnya tahun 2011, Hibah IEG bidang transportasi belum tersalurkan. 5. Hibah Water and Sanitation Program, Sub Program D-Sanitation City Pilot Projects (Wasap-D) merupakan hibah yang bersumber dari Pemerintah Belanda melalui Bank Dunia yang ditujukan untuk membantu pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik sanitasi berbasis masyarakat dan/atau pembangunan fisik sanitasi berbasis institusi (lembaga) sebagaimana tertuang dalam Strategi Sanitasi Kota (SSK). Hibah Wasap-D disalurkan kepada 4 Pemerintah Daerah. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 131 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6. Hibah Mass Rapid Transit (MRT) bersumber dari pinjaman Pemerintah dari Pemerintah Jepang (JICA) yang diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai hibah untuk membantu membiayai pelaksanaan jasa rekayasa (engineering service), jasa konsultansi, dan pekerjaan sipil kegiatan pembangunan MRT. Program MRT dilaksanakan untuk membantu mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang telah menjadi prioritas pembangunan nasional. Berdasarkan DIPA No. 0037/999-02.1.15/0/2011 Revisi III tanggal 8 Desember 2011, telah dilaksanakan penyaluran hibah kepada daerah dengan realisasi sebesar Rp280 miliar untuk Hibah L-BEC, Hibah Air Minum, Hibah Air Limbah Terpusat, Hibah IEG, Hibah WASAP-D, dan Hibah MRT. Tabel 6.17. Realisasi Hibah Ke Daerah Tahun Anggaran 2011 No. Program/Kegiatan Pagu DIPA (Rp) Realisasi (Rp) 1. L-BEC 109.291.414.000 45.937.448.826 2. Air Minum 162.177.000.000 161.677.000.000 3. Air Limbah Terpusat 16.900.000.000 16.030.000.000 4. IEG 54.397.500.000 43.389.800.400 5. Wasap-D 17.952.000.000 6.297.150.700 6. MRT Jumlah 44.218.410.000 6.777.398.429 404.936.324.000 280.108.798.355 Sumber: DJPK. c. Laporan Realisasi Anggaran Hibah Ke Daerah Sebagai mana diatur dalam PMK No. 230 Tahun 2011 tentang Sistem Akuntansi Hibah (Sikubah) bahwa Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bertindak sebagai Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran BUN (UAKPA-BUN) atas transaksi belanja hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman dan/atau hibah. Selaku UAKPA-BUN, DJPK wajib menyampaikan Laporan Keuangan kepada Unit Akuntasi Pembantu BUN (UA-PBUN), yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) pada setiap akhir semester. 6.4. Evaluasi Pendanaan, Akuntansi dan Pelaporan serta Informasi Keuangan Daerah 6.4.1. Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah a. Kajian Performance Based Transfer Hasil analisis terhadap persepsi daerah tentang pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah saat ini menunjukkan bahwa terdapat jenis dana transfer ke daerah yang memenuhi karakteristik transfer berbasis kinerja, seperti DAK. DAK mensyaratkan tercapainya pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh daerah. Dalam hal penerapan transfer berbasis kinerja, sebagian besar daerah sangat setuju dengan adanya penilaian kinerja. Kinerja daerah dirasakan akan semakin membaik apabila diberi keleluasaan dalam penggunaan dana dan kemudahan dalam penetapan target kinerja. 132 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikemukakan beberapa saran berikut ini. 1. Kepedulian daerah terhadap pengukuran kinerja yang harus dicapai perlu ditingkatkan dan tidak terlalu terpaku pada penyerapan dan pertanggungjawaban anggaran semata. 2. Kajian lanjutan perlu dilakukan untuk mendalami desain kebijakan dan formulasi transfer berbasis kinerja yang mengedepankan prinsip-prinsip good governance. 3. Dana Insentif Daerah (DID) yang selama ini telah mempunyai karakteristik transfer berbasis kinerja dengan tujuan penguatan kelembagaan sebaiknya tetap dipertahankan dan diperkuat. 4. Desain Transfer Berbasis Kinerja (PBT) yang dapat diterapkan di masa yang akan datang adalah: t PBT sebaiknya didesain untuk sektor spesifik dengan maksud meningkatkan kinerja pelayanan sektor tertentu yang sangat krusial bagi masyarakat lokal dan menjadi tugas utama daerah (dalam hal ini PBT bisa ditransformasikan menjadi DAK); t dana PBT harus digunakan untuk meningkatkan kinerja pelayanan pada sektor yang telah dipilih dengan tetap mengedepankan esensi otonomi daerah (target kinerja yang dibebankan kepada daerah bisa mengacu pada Standar Pelayanan Minimum (SPM)); t besarnya pendanaan PBT sebaiknya tidak residual dan bisa diperhitungkan secara tepat untuk tujuan jangka menengah; serta t pengalokasian PBT dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan daerah yang layak menerima dan menentukan besaran dana yang akan ditransfer. Usulan mengenai desain, teknik alokasi, dan formulasi PBT perlu dimasukkan secara jelas dan tegas ke dalam Undang-Undang organik yang mengatur mengenai perimbangan keuangan, yaitu draft revisi UU No. 33 Tahun 2004, sehingga bisa segera diimplementasikan. b. Deskripsi dan Analisis APBD 2011 1. Gambaran Umum APBD 2011 Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD Tahun Anggaran 2011 secara nasional dibagi dalam 3 bagian utama, yaitu PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Dana perimbangan merupakan komposisi yang paling mendominasi, yaitu 68,0 persen atau Rp327,361 triliun, sedangkan PAD hanya 19,0 persen atau Rp90,393 triliun, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar 13,0 persen atau Rp61,343 triliun. Belanja daerah secara nasional pada tahun anggaran 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja pegawai masih dominan, yaitu mencapai 45,0 persen atau Rp229,077 triliun. Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau 22,0 persen, sedangkan Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0 persen. Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun menyebabkan seluruh daerah menganggarkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Total pembiayaan daerah mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar Rp8,406 triliun. 2. Tren APBD Tahun 2007-2011 Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007-2009 dan APBD 2010-2011 yang telah dikonsolidasikan, tren APBD secara nasional sejak 2007 hingga 2011 menunjukkan peningkatan pendapatan daerah rata-rata 11,4 persen, dengan peningkatan tertinggi pada tahun 2011 sebesar 18 persen. Pendapatan Daerah pada tahun 2011 www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 133 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA diketahui berjumlah Rp479,098 triliun yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp386,338 triliun. Secara nasional, tren belanja daerah mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2011 rata-rata sebesar 11,8 persen. Pada tahun 2011, belanja daerah dianggarkan berjumlah Rp514,467 triliun atau meningkat 17 persen dari tahun 2010 yang sebesar Rp426,857 triliun. Tren defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, namun sejak tahun 2009 terus menurun. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya sebesar -0,4 persen. Defisit daerah yang tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar Rp40,518 triliun atau 3,6 persen. Sedangkan pada tahun 2011, defisit daerah berjumlah Rp35,369 triliun atau 1,1 persen. Pembiayaan daerah neto juga menunjukkan berfluktuasi selaras dengan defisit daerah. Rata-rata pembiayaan daerah neto dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 0,2 persen dan cenderung menurun pada tahun 2010 dan 2011. Pembiayaan daerah neto pada tahun 2011 sebesar Rp36,090 triliun yang berarti lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp40,818 triliun. Ketergantungan seluruh Pemerintah Daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD yang walaupun mengalami peningkatan setiap tahun, tetapi pada tahun 2011 masih hanya 18,9 persen. Sedangkan dana perimbangan menurun setiap tahun dan mencapai 68,3 persen pada tahun 2011. Tren kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, yaitu 12,8 persen. Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011, dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan dan meningkat cukup tajam pada tahun 2010, yaitu 46,5 persen. Namun, pada tahun 2011 sedikit menurun menjadi 44,5 persen. Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 20,3 persen pada tahun 2011. Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yaitu 22,5 persen pada tahun 2010 dan 22,1 persen pada tahun 2011. Belanja lainnya juga cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 13,1 persen pada tahun 2011. 6.4.2. Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dan Urusan Bersama a. Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pada tahun 2011 telah dilakukan beberapa kegiatan terkait dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, yaitu penetapan Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah dalam rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2012, pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tahun anggaran 2010, serta sosialisasi PMK No.156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana telah disempurnakan dengan PMK No.248/PMK.07/2010. Rekomendasi Menteri Keuangan telah ditetapkan pada 23 Maret 2011 dan disampaikan kepada K/L yang mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Rekomendasi Menteri Keuangan merupakan masukan bagi K/L dalam merencanakan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi/ tugas perbantuan agar tepat sasaran dan tidak terkonsentrasi di daerah tertentu. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengambil objek satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait yang mendapat pelimpahan wewenang dan/atau penugasan dari pusat, serta mengelola dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun anggaran 2011. Agar kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, maka diberikan beberapa rekomendasi berikut ini. 134 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. K/L seharusnya tidak mensyaratkan dana pendamping. 2. Juknis dan Perdum agar bisa lebih awal diterima ke daerah. 3. K/L perlu menginformasikan lebih awal kepada daerah yang akan menerima dana dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan. 4. Sosialisasi kebijakan perlu dilakukan di awal tahun, sebelum penetapan pagu indikatif. 5. Sehubungan dengan keterbatasan APBD, maka selain kegiatan fisik, melalui tugas pembantuan perlu disiapkan dana yang cukup untuk kegiatan-kegiatan non fisik, seperti koordinasi dan konsultasi, monitoring dan evaluasi, serta biaya pengadaan sarana dan prasarana pendukung. 6. Daerah masih sangat memerlukan kegiatan yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga kegiatan serupa perlu terus dilanjutkan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan, dan kebutuhan pembangunan di daerah. Hasil pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dijadikan sebagai bahan penyusunan Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2013 yang akan ditetapkan paling lambat akhir Maret tahun 2012. Sosialisasi Kebijakan Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2011 dilakukan di Jakarta, Manado, dan Palembang dengan mengundang peserta yang berasal dari dinas-dinas penerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaran sosialisasi bertujuan untuk menyamakan persepsi, meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan yang efektif dan efisien, transparan, dan Akuntabel dalam upaya mendukung penguatan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta memberikan penjelasan atas Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah dalam rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan Tahun Anggaran 2012 yang telah disampaikan kepada K/L. b. Evaluasi Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan Terkait Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, pada 31 Maret 2011 telah ditetapkan PMK No. 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2012 serta sosialisasi PMK No. 168/PMK.07/2009. PMK No. 66/PMK.07/2011 merupakan amanat Pasal 7 PMK No. 168/PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan. Lampiran PMK dijadikan sebagai pertimbangan bagi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam menetapkan besaran Dana Daerah Untuk Urusan Bersama (DDUB) Tahun Anggaran 2012. c. Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Melaksanakan Urusan Daerah ke DAK Sesuai dengan Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004 dan Pasal 76 dan 77 PP No. 7 Tahun 2008, Dana DKTP yang merupakan bagian dari anggaran K/L untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi DAK. Hal ini sejalan pula dengan rekomendasi dan temuan BPK yang menyatakan bahwa masih ada dana Pemerintah Pusat yang membiayai urusan daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Panja Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah mengamanatkan untuk menerbitkan Perpres mengenai Road Map Rencana Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Masih Membiayai Urusan Daerah ke www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 135 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAK. Road Map Pengalihan menargetkan bahwa pada tahun 2013, program/kegiatan di semua K/L yang sudah menjadi urusan daerah dialihkan ke DAK serta diharapkan tidak ada lagi program/kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah didanai dari APBN. 6.4.3. Akuntansi dan Laporan Transfer Ke Daerah a. Konsolidasi antara Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Penyajian laporan konsolidasi antara LKPD dengan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011 dilaksanakan dalam rangka memenuhi kewajiban transparansi fiskal oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional. Proses penyusunanan laporan ini merupakan bagian dari penyusunan konsolidasi antara LKPD dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Penyusunan laporan yang memasuki tahun ke-2 dilakukan sebagai tindak lanjut rekomendasi BPK pada tahun 2009 dalam laporan reviu pelaksanaan unsur transparansi fiskal tahun anggaran 2008. Laporan ini diharapkan dapat mengisi kekosongan informasi dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Lingkup penyajian laporan masih dalam rangka konsolidasi realisasi antara anggaran transfer ke daerah dengan realisasi pendapatan dan belanja pada APBD. Pendapatan dan belanja negara, baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, merupakan komponen utama yang mencerminkan kondisi fiskal nasional dari sektor Pemerintahan. b. Uji Coba Rekonsiliasi Data Transfer ke Daerah Dalam rangka transparansi penyajian Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011 dan penyempurnaan LKPD Tahun Anggaran 2011 sebagai satu kesatuan Laporan Keuangan Pemerintah, DJPK telah melakukan uji coba rekonsiliasi data transfer ke daerah antara pihak DJPK dengan Pemerintah Daerah, yang dilaksanakan di Makasar dan Surabaya dengan mengundang beberapa pejabat Pemerintah daerah terkait. Kegiatan rekonsiliasi ini diharapkan dapat menjelaskan perbedaan mekanisme pencatatan transfer ke daerah oleh Pemerintah Pusat dan pencatatan atas pendapatan transfer oleh Pemerintah Daerah. Rekonsiliasi dapat mendukung pelaporan dana transfer ke daerah oleh Pemerintah Daerah dalam pos pendapatan transfer di Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah, sehingga tersaji LKPD yang lebih akurat. c. Penyusunan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Berdasarkan pasal 50 ayat (1) dan (6) PMK No. 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Pemerintah Pusat, setiap Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP) wajib memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa LRA, Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan Satuan Kerja yang disampaikan setiap semester dan akhir tahun. DJPK selaku Kuasa Pengguna Anggaran Bagian Anggaran 999.05 berkewajiban menyusun Laporan Keuangan Tahunan tersebut yang terdiri dari LKTD BA 999.05 Tahun 2010 (Audited), dengan pendapat pemeriksa WTP Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP), serta LKTD BA 999.05 Semester I Tahun 2011. Laporan ini telah disusun dan disajikan sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Masing-masing terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. 6.4.4. Data Keuangan Daerah a. Pemantauan, Penyampaian, Konsolidasi, dan Verifikasi Dokumen Data Keuangan Daerah Berdasarkan kebutuhan pihak internal dan eksternal, maka sejak tahun 2010 telah dimulai pengumpulan data 136 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA realisasi APBD triwulan I, Semester I, dan triwulan III. Kemudian pada tahun 2011, dengan pertimbangan bahwa APBD-P dipandang lebih mendekati angka realisasi dibandingkan dengan APBD induk, maka data APBD-P juga dikumpulkan dan diolah. Dengan demikian, jenis informasi keuangan daerah yang tersedia adalah APBD, realisasi APBD triwulan I, realisasi APBD Semester I, realisasi APBD triwulan III, APBD-P, realisasi APBD tahun 2011, dan neraca tahun 2011. Dengan diterbitkannya PP No. 65 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah yang diperjelas dalam PMK No. 04/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, terjadi beberapa perubahan sebagai berikut: 1. apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APBD-nya hingga batas waktu (31 Januari), maka diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan; 2. peringatan tertulis diterbitkan paling lama 15 hari setelah batas waktu; dan 3. dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih belum menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan DAU. Pengenaan sanksi efektif dilaksanakan pada bulan April, dimana sebelumnya pada bulan Mei. Pada tahun 2011 terdapat 19 daerah yang dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU sebesar 25 persen dari jumlah DAU yang diterima setiap bulannya, meningkat dari tahun 2010 yang hanya 2 daerah yang dikenakan sanksi. Tabel 6.18. Daerah Yang Mendapat Sanksi Penundaan Penyaluran DAU Tahun 2010-2011 No. Tahun 2010 Tahun 2011 1. Kabupaten Bulukumba Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2. Kabupaten Puncak Kabupaten Bireuen 3. Kota Sabang 4. Kota Langsa 5. Kabupaten Aceh Jaya 6. Kabupaten Tanah Karo 7. Kabupaten Langkat 8. Kabupaten Nias Selatan 9. Kabupaten Batu Bara 10. Kabupaten Padang Lawas 11. Kota Bekasi 12. Kabupaten Blora 13. Kabupaten Jember 14. Kabupaten Jeneponto 15. Kabupaten Soppeng 16. Kabupaten Biak Numfor 17. Kabupaten Mappi 18. Kabupaten Mamberamo Tengah 19. Kabupaten Nduga Sumber: DJPK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 137 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Monitoring dan Evaluasi Keterlambatan Penetapan APBD Di Indonesia, pengelolaan keuangan negara/daerah telah mengalami perubahan (perbaikan) jika dibandingkan dengan masa lalu. Salah satunya adalah pelimpahan kewenangan yang lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang disertai dengan pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Sejalan dengan tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan tata kelola Pemerintahan yang baik, salah satu hal yang harus dilakukan di bidang keuangan negara/daerah adalah pengelolaan keuangan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dalam konteks Pemerintahan daerah, pengelolaan keuangan yang dimaksud diawali dengan penyusunan APBD. Dokumen anggaran daerah yang antara lain berperan sebagai alat perencanaan, kebijakan publik, dan politik harus ditetapkan oleh Kepala Daerah dan DPRD sebelum tahun anggaran berjalan dimulai. Proses penyusunan APBD secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran dan perencanaan operasional anggaran. Setelah APBD ditetapkan, Pemerintah Daerah wajib menyampaikannya kepada Pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan. c. Monitoring dan Evaluasi Penerapan SIKD di Daerah Monitoring dan evaluasi bertujuan menggali pemahaman Pemerintah Daerah dalam menjalankan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sekaligus memotret pelaksanaannya di daerah. Melalui FGD dengan aparat penyelenggara SIKD dan kuesioner ke 30 Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota, dapat diperoleh gambaran pemahaman dan pelaksanaan SIKD di daerah. Secara umum, pemahaman tentang SIKD relatif sama meskipun ada pula yang masih menganggap bahwa Informasi Keuangan Daerah (IKD) tidak perlu dipublikasikan. Selain itu, daerah memiliki variasi penyelenggaraan SIKD, terutama penerapan sistem keuangan daerah dan infrastruktur teknologi informasinya. Berbagai faktor seperti kurangnya sumber daya yang memadai, peraturan dan kebijakan yang berubah, dan ketersediaan dana menjadi hal yang secara umum dirasakan menjadi kendala bagi daerah. d. Kesehatan Fiskal Desentralisasi fiskal telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Namun, hingga saat ini belum ada instrumen baku yang dapat digunakan untuk mengukur kesehatan keuangan Pemerintah Daerah. Dengan membandingkan praktik di berbagai negara, diperoleh fakta bahwa indikator-indikator yang digunakan dalam pengukuran fiscal health ternyata beragam antara satu negara dengan yang lainnya. Indikator-indikator tersebut dikembangkan dengan melakukan penyesuaian dan dengan mempertimbangkan kebutuhan negara yang bersangkutan. Didasarkan pada keinginan untuk dapat membangun sebuah model pengukuran fiscal health yang sederhana dan dapat digunakan di Indonesia, maka telah dilaksanakan capacity building atas dukungan dari Decentralization Support Facilities (DSF) World Bank. Kegiatan yang berlangsung pada 6-10 November 2011 tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pegawai dalam mengukur kesehatan keuangan dan reviu atas belanja Pemerintah Daerah. Selain itu, diharapkan pula dapat dirumuskan indikator-indikator fiscal health yang sederhana dan mudah diterapkan. 138 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6.4.5. Informasi dan Dukungan Teknis a. Mobile Fiskal Daerah Di dalam kegiatan ini dilakukan updating data pada aplikasi Mobile Fiskal Daerah (MOFISDA). Data yang diperbaharui adalah data dasar DAU, kemiskinan, inflasi, tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan transfer ke daerah. Proses pembaharuan data dilakukan dengan mengkonsolidasi dan mengkonversi semua data terkait ke dalam database aplikasi MOFISDA, sehingga dapat digunakan secara online. Dalam kegiatan terkait dilakukan pula pengembangan sumber daya manusia berupa workshop pembuatan database reporting yang berasal dari database aplikasi pelaksanaan transfer dan semua data terkait sehingga terbentuk database tunggal. b. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Elektronik Pembangunan Peta Kemampuan Keuangan Daerah Elektronik (PKKDE) dilakukan untuk 33 Provinsi di seluruh Indonesia. Kegiatan ini diawali dengan kompilasi semua data terkait, seperti data APBD dan transfer ke daerah. Dilakukan pula workshop untuk meningkatkan pengetahuan, tampilan, dan mutu penyajian informasi melalui PKKDE. Workshop mengundang narasumber yang menyajikan informasi terkait penggunaan tools Mondrian dan Pentaho Analysis. Tools ini merupakan open source, sehingga tidak berbayar. c. Layanan Pusat Data Kegiatan-kegiatan berikut ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan layanan pusat data. 1. Penyelenggaraan dan peningkatan SIKD (implementasi SIKD secara nasional dan pengembangan komunikasi data SIKD secara nasional untuk aplikasi SIPKD dan aplikasi non SIPKD) Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan sistem komunikasi data informasi keuangan daerah (Sistem Komda) yang selama ini belum ada antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (DJPK) guna mendukung penyelenggaraan SIKD secara nasional. Tujuan yang ingin dicapai adalah: t meningkatnya kualitas penyampaian informasi keuangan daerah secara berkala melalui dokumen media elektronik (Pasal 6 PP No. 56/2005 dan Pasal PMK No. 46/PMK.02/2006); t meningkatnya kualitas penyusunan SIKD, koordinasi jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi antarinstansi Pemerintah (Pasal 10 PP No. 56/2005); t meningkatnya kelancaran penyampaian informasi keuangan daerah yang disampaikan kepada Pemerintah Daerah (Pasal 4 PP No. 56/2005 dan Pasal 2 PMK No. 46/PMK.02/2006); t mengalihkan fungsi/kegiatan perekaman (secara manual) kearah penyampaian data/ informasi dengan menggunakan teknologi informasi yang berkembang saat ini; t melakukan standarisasi elemen data yang dikirim dari Sistem SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat sesuai dengan elemen data; serta t mewujudkan Pusat Data DJPK yang menampung seluruh data yang terkait dengan data perimbangan keuangan (data hubungan keuangan pusat dan daerah) sesuai elemen data yang sudah dilakukan standarisasi. 2. Implementasi SIKD secara nasional Implementasi Sistem Komandan SIKD dilaksanakan pada 119 Pemerintah Daerah yang sudah melaksanakan implementasi Sistem SIPKD yang pendanaannya dari Loan No.2193 INO ( Proyek LGFGR-I ADB) dari 171 Pemerintah Daerah sebagai target. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 139 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. Pengembangan komunikasi data SIKD secara nasional untuk aplikasi SIPKD Pengembangan Komunikasi Data SIKD secara Nasional mewujudkan standarisasi elemen data yang dikirim dari aplikasi SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui Sistem Komandan SIKD sesuai dengan elemen data yang telah ditetapkan. 4. Pengembangan komunikasi data SIKD secara nasional untuk aplikasi non SIPKD Pengembangan Komunikasi Data SIKD secara Nasional mewujudkan standarisasi elemen data yang dikirim dari aplikasi Non SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui Sistem Komandan SIKD sesuai dengan elemen data yang telah ditetapkan. 140 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA halaman ini sengaja dikosongkan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 141 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 142 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SINERGI Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 143 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 07 Pengelolaan Perbendaharaan Negara 7.1. Peningkatan Pelayanan Perbendaharaan 7.1.1. Layanan KPPN Filial Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Filial dibentuk dalam rangka membantu pelayanan kepada Satuan Kerja (Satker) yang berada di wilayah kepulauan yang terpisah dari KPPN induk. Konsep dasar dari layanan KPPN Filial adalah dengan menempatkan beberapa pegawai KPPN (gugus tugas) yang melaksanakan fungsi front office di lokasi yang dekat dengan Satker. Layanan KPPN Filial merepresentasikan pemenuhan tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam memberikan pelayanan keuangan negara hingga ke pelosok nusantara. Layanan KPPN Filial diluncurkan dengan tujuan antara lain sebagai berikut: 1. meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kepada stakeholder, khususnya dalam penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), rekonsiliasi data, dan validasi bukti penerimaan negara; 2. mempermudah proses pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) oleh Satker; serta 3. meningkatkan efisiensi keuangan negara. Pada tahun 2011, layanan KPPN Filial telah berjalan di 5 lokasi, yaitu: 144 1. Pulau Simeleu (KPPN Meulaboh); 2. Pulau Natuna (KPPN Tanjung Pinang). 3. Muara Teweh (KPPN Buntok); 4. Pulau Alor (KPPN Kupang); dan 5. Namlea (KPPN Ambon); | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.1.2. Layanan KPPN Mobile Untuk meningkatkan pelayanan kepada Satker di daerah yang jauh dari KPPN, telah pula dibentuk KPPN Mobile, yaitu unit pelayanan pencairan dana pada kendaraan bermotor yang bergerak di dalam suatu wilayah kerja KPPN. Pada awal pembentukannya, layanan KPPN Mobile diimplementasikan pada Satker di wilayah pembayaran KPPN Jakarta I. Dalam perkembangannya, untuk mempercepat penyerapan anggaran di bidang penanggulangan kemiskinan di wilayah DKI Jakarta, layanan KPPN Mobile diperluas operasionalnya pada Satker di wilayah pembayaran KPPN Jakarta II, Jakarta III, Jakarta IV, dan Jakarta V. Gambar 7.1. Layanan KPPN Mobile www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 145 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.2. Penilaian Kinerja Pelayanan Publik/Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan Penilaian Kinerja Pelayanan Publik pada KPPN Tahun 2011 dilaksanakan dalam 3 tahap seleksi. Diawali dengan pengusulan KPPN peserta oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan berdasarkan nilai hasil pembinaan. Berdasarkan usulan tersebut, Tim Penilai Kinerja KPPN Tahun 2011 melakukan seleksi tahap I berdasarkan data-data kinerja dan profil KPPN. Dari hasil seleksi tahap I, ditetapkan 10 KPPN yang lolos untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya. Tim Penilai kemudian melaksanakan seleksi tahap II, yakni presentasi yang disampaikan oleh Kepala KPPN. Materi presentasi meliputi: 1. profil singkat KPPN; 2. kinerja layanan; 3. permasalahan yang telah dan sedang dihadapi dan solusi atas permasalahan tersebut; 4. strategi dalam peningkatan pelayanan KPPN; serta 5. inovasi yang dilakukan guna peningkatan pelayanan atau kinerja. Berdasarkan hasil penilaian, ditetapkan 5 KPPN yang lolos ke seleksi tahap III, yaitu penilaian secara langsung pada KPPN (on the spot) oleh Tim Penilai. Dari hasil seleksi terhadap 5 KPPN, diperoleh urutan peringkat pemenang Penilaian Kinerja Pelayanan Publik pada KPPN Tahun 2011. Urutan tersebut selanjutnya ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-103/PB/2011 tentang Penetapan Pemenang Penilaian Kinerja Pelayanan Publik Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Tahun 2011. Peringkat KPPN terbaik adalah: 1. KPPN Semarang II sebagai Pemenang Pertama; 2. KPPN Denpasar sebagai Pemenang Kedua; 3. KPPN Purwakarta sebagai Pemenang Ketiga; 4. KPPN Pacitan sebagai Pemenang Harapan Pertama; dan 5. KPPN Pontianak sebagai Pemenang Harapan Kedua. KPPN Semarang II sebagai pemenang Kantor Pelayanan Tingkat Ditjen Perbendaharaan, diikutsertakan dalam kegiatan lomba Kantor Pelayanan Percontohan tingkat Kementerian Keuangan Tahun 2011. Kegiatan tersebut dilaksanakan bersama Biro Organisasi dan Tatalaksana Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, dengan melaksanakan peninjauan ke kantor-kantor pelayanan di lingkungan Kementerian Keuangan untuk dilakukan penilaian langsung dan pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Berdasarkan hasil penilaian Tim Penilai Kementerian Keuangan, telah ditetapkan urutan peringkat kantor pelayanan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.01/2011 tentang Pemenang Kantor Pelayanan Percontohan di Lingkungan Kementerian Keuangan Tahun 2011, yaitu sebagai berikut: 146 1. KPPN Semarang II sebagai Pemenang Pertama; 2. KPKNL Denpasar sebagai Pemenang Kedua; 3. KPP Wajib Pajak Besar Satu sebagai Pemenang Ketiga; dan 4. KPPBC Madya Pabean Juanda sebagai Pemenang Keempat. | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.3. Peringkat Tertinggi Survei Opini Stakeholder terhadap Layanan Kementerian Keuangan Apresiasi yang membanggakan atas keberhasilan Ditjen Perbendaharaan terhadap pelayanan di Kementerian Keuangan terlihat dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam survei tersebut, Ditjen Perbendaharaan mendapatkan peringkat tertinggi dengan nilai 4,03 poin (skala 1-5) di tahun 2011, di atas nilai rata-rata Kementerian Keuangan, yaitu 3,86 poin. Kota yang dijadikan wilayah survei adalah Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, Makassar, dan Batam, dengan fokus pada jenis Layanan Unggulan Kementerian Keuangan. Namun, jika dibandingkan dengan hasil survei tahun 2010, terjadi penurunan opini di tahun 2011, yaitu dari 4,10 poin menjadi 4,03 poin. Tabel 7.1. Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Tahun 2011 Berdasarkan Survei Institut Pertanian Bogor 2010 Unit 2011 Target 2012 Selisih Target Realisasi Target Realisasi 3,92 3,90 3,92 3,79 3,92 -0,13 DJA 3,8 3,79 3,87 3,81 3,87 -0,06 DJP 3,82 3,90 3,80 3,90 -0,10 SETJEN R-T DJBC 3,72 3,80 3,65 3,80 -0,15 DJPB 4,10 4,10 4,03 4,10 -0,07 DJKN 4,04 4,04 3,95 4,04 -0,09 DJPK 3,95 4,00 4,01 0,01 DJPU N/A 3,87 4,02 0,15 Bapepam-LK 3,65 3,73 3,80 0,07 Rata-rata 3,91 3,87 -0,04 DJPK+DJPU+BPPK 11,60 7,82 11,65 0,23 Sumber: Institut Pertanian Bogor. 7.4. Hasil Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi Prestasi lain juga ditorehkan oleh KPPN. Hasil survei integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilaksanakan pada April-Oktober 2011 terhadap 507 unit layanan di 89 instansi dengan 15.540 responden menunjukkan nilai tertinggi (peringkat pertama) integritas layanan unit vertikal sebesar 7,69 diberikan kepada pelayanan SP2D di KPPN. Capaian ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, pelayanan di KPPN berdasarkan hasil survei integritas KPK mendapatkan peringkat 104 dari 105 layanan yang disurvei, kemudian pada tahun 2009 menempati peringkat 52 dari 98 layanan yang disurvei. Pada tahun 2011, KPPN menduduki peringkat 1 dari 284 unit layanan instansi vertikal yang disurvei. Peringkat tertinggi integritas terhadap pelayanan SP2D merupakan pengakuan dari masyarakat yang diwakili oleh KPK akan layanan yang disediakan oleh KPPN. Prestasi ini juga sangat membanggakan bagi seluruh jajaran Ditjen Perbendaharaan, khususnya KPPN di Indonesia. Semangat reformasi birokrasi yang digaungkan selama hampir 5 tahun terakhir mendapatkan apresiasi yang luar biasa. Prestasi ini perlu dipertahankan secara konsisten dengan meningkatkan inovasi dan kualitas layanan kepada stakeholder serta menerapkan nilai-nilai Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 147 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.5. Standarisasi Sarana dan Prasarana Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi, mempertajam visi dan misi, serta memperkuat citra organisasi perlu didesain suatu ikon yang mampu memberikan ciri khas dan citra positif Ditjen Perbendaharaan. Sebagai ujung tombak pelayanan perbendaharaan, pembuatan ikon berupa standarisasi sarana dan prasarana diutamakan untuk kantor vertikal, yaitu KPPN dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Tujuan dari standardisasi adalah: 1. tersedianya sarana dan prasarana yang optimal (aman, nyaman, dan indah), sehingga mampu mendukung kinerja dan layanan kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan; 2. tercapainya keseragaman penggunaan sarana dan prasarana kerja; serta 3. terciptanya ikon dan ciri khas yang nantinya akan mendukung pembangunan image Ditjen Perbendaharaan di tengah kehidupan masyarakat. Dalam rangka standardisasi sarana dan prasarana, telah disusun draft buku standar sarana dan prasarana Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perencanaan, pembangunan, dan pengembangan sarana dan prasarana kantor. Gambar 7.2. KPPN Jakarta I Dalam rangka penyusunan buku standar sarana dan prasarana, telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. studi banding ke beberapa bank Pemerintah dan swasta untuk mendapatkan rujukan dalam perumusan awal standardisasi sarana dan prasarana kantor vertikal; 2. melakukan koordinasi dengan direktorat teknis dalam rangka perumusan awal standardisasi sarana dan prasarana kantor vertikal; 3. membuat ikon/logo Ditjen Perbendaharaan melalui sayembara yang diikuti oleh pegawai lingkup Ditjen Perbendaharaan serta dengan memanfaatkan jasa konsultan; 4. merumuskan design gedung dan lay out ruangan di kanwil maupun KPPN dengan mempertimbangkan sisi efisiensi dan ekonomis; serta 5. meninjau langsung ke beberapa instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Setelah melalui tahap tersebut, telah didapatkan standar sarana serta gambaran awal design gedung dan lay out ruangan di kanwil maupun KPPN. Design gedung dan lay out ruangan disusun dengan memperhatikan unsur estetika dan efisiensi pemanfaatan luas bangunan Kanwil dan KPPN. 148 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar 7.3. Pintu Masuk KPPN 7.6. Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) merupakan proses yang panjang yang melibatkan seluruh unit akuntansi dan pelaporan, tidak hanya di lingkungan Kementerian Keuangan, tetapi juga Kementerian/ Lembaga (K/L). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses penyusunan dan penyampaian LKPP sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di tahun 2010 adalah berikut ini. 1. Konsolidasi dan Penyampaian LKPP (Unaudited) oleh Menteri Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diaudit (Februari-Maret 2011). Kegiatan ini merupakan penyelesaian dari penyusunan LKPP (unaudited) yang terdiri dari: t penghimpunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN); t pengkonsolidasian LKKL dan LKBUN; t penyusunan dan pembahasan draft LKPP (unaudited); t pembahasan LKPP di lingkup Kementerian Keuangan; serta t penyampaian LKPP kepada BPK (30 Maret 2011). 2. Pembahasan antara Kementerian Keuangan, BPK, dan K/L (19-21 April 2011). Dalam rangka penyajian informasi yang wajar pada LKPP Audited, dilakukan pembahasan 3 pihak. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai perbedaan-perbedaan data yang terdapat dalam LKPP dan LKKL selama proses audit oleh BPK, serta berfungsi sebagai sarana komunikasi antara auditor dan auditee. 3. Pembahasan temuan pemeriksaan BPK atas LKPP terkait K/L dan BUN (18 Mei 2011). Berdasarkan pemeriksaan, BPK menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang berisi temuan-temuan yang harus dijawab/diklarifikasi oleh Pemerintah. 4. Penyampaian LKPP (Audited) kepada BPK (24 Mei 2011). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP, LKKL, dan LKBUN, dilakukan pemutakhiran data guna penyusunan LKPP (Audited) untuk disampaikan kepada BPK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 149 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5. Penyampaian Tanggapan Pemerintah terhadap LHP BPK atas LKPP oleh Menteri Keuangan kepada Ketua BPK dan Penyampaian Rencana Tindak terhadap Temuan BPK atas LKPP oleh Menteri Keuangan kepada BPK (28 Juli 2011). Berdasarkan hasil-hasil pembahasan Temuan Pemeriksaan BPK atas LKPP, Ditjen Perbendaharaan menyusun Tanggapan Pemerintah terhadap LHP BPK atas LKPP yang kemudian disampaikan secara resmi oleh Menteri Keuangan atas nama Pemerintah kepada BPK. Ditjen Perbendaharaan juga menyusun Rencana Tindak Pemerintah terhadap Temuan Pemeriksaan BPK dimaksud. 6. Penyampaian dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Dan Belanja Negara (RUU P2 APBN) oleh Presiden kepada DPR (19 September 2011 dan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2011 P2APBN TA 2010). Kegiatan ini merupakan tahapan setelah RUU disusun dan disampaikan kepada DPR untuk dibahas. Rincian kegiatannya adalah: t penyampaian RUU P2 APBN Tahun Anggaran 2010 kepada DPR (23 Juni 2011); t penyampaian Keterangan Pemerintah mengenai Pokok-Pokok RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI; t penyampaian Pandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR-RI mengenai RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI; t penyampaian Jawaban Pemerintah atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR-RI terhadap RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI; t Rapat Kerja Badan Anggaran DPR-RI dengan Menteri Keuangan Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/ Pembahasan RUU P2APBN TA 2010; t Rapat-rapat Panitia Kerja untuk membahas RUU P2 APBN TA. 2010 (18 s.d. 22 Agustus 2011); t Rapat Kerja Badan Anggaran DPR-RI dengan Menteri Keuangan Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/ Pembahasan RUU P2APBN TA 2010; serta t penyampaian Pendapat Akhir Pemerintah Terhadap RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI. 7. Penyusunan LKPP Semester I Tahun 2011 (25 Agustus 2011). Kegiatan penyusunan LKPP Semester I Tahun 2011 meliputi penyusunan dan pembahasan draft Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi APBN, Neraca Pemerintah Pusat, dan Catatan atas Laporan Keuangan. 8. Penyampaian Laporan Monitoring Tindak Lanjut terhadap Temuan BPK atas LKKL, LKBUN dan LKPP 2010 oleh Menteri Keuangan kepada Wakil Presiden (9 Desember 2011). Setelah penyusunan rencana tindak terhadap Temuan BPK atas LKPP, Ditjen Perbendaharaan menyusun Laporan Monitoring Tindak lanjut terhadap Temuan Pemeriksaan BPK atas LKPP berdasarkan sumbangan dari KL atau unit lain yang terkait untuk disampaikan kepada Wakil Presiden. Laporan monitoring tindak lanjut atas temuan pemeriksaan BPK menjadi lampiran dalam LKPP. Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana dengan baik di tahun 2011 atas dukungan berbagai pihak. Usaha-usaha konkrit Ditjen Perbendaharaan menunjukkan hasil yang positif sebagaimana tercermin dalam kualitas LKPP tahun 2010. Indikator-indikator peningkatan kualitas adalah: 150 1. memperoleh Opini audit Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk LKPP tahun 2010; 2. meningkatnya Opini LKKL dan LKBUN tahun 2010; 3. menurunnya jumlah temuan BPK; 4. meningkatnya jumlah kekayaan bersih Pemerintah; serta 5. menurunnya nilai suspen. | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 7.2. Opini BPK Atas LKKL dan LKBUN Tahun Anggaran 2006-2010 2009 2010 Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified) Opini 2006 7 16 35 45 53 Wajar Dengan Pengecualian (Qualified) 38 31 30 26 29* Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer) 36 33 18 8 2 Tidak Wajar (Adversed) Jumlah 2007 2008 - 1 - - - 81 81 83 79 84 Sumber: Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan. * Termasuk LK-BUN Konsolidasi 7.7. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara 7.7.1. Deployment Infrastruktur SPAN Dalam rangka implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), keberadaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi prasyarat yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, kegiatan deployment infrastruktur SPAN telah dimulai sebelum implementasi, bahkan sebelum selesainya SPAN. Mengingat beragam dan banyaknya lokasi dan medan yang dihadapi, maka deployment dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai pada tahun 2011 dan akan dilanjutkan pada 2012. Di tahun 2011, deployment infrastruktur SPAN dilaksanakan pada Kantor Pusat, Kanwil DKI Jakarta, Kanwil Jawa Barat, Kanwil Jawa Tengah, Kanwil Banten, dan Kanwil DIY. Adapun deployment untuk selain Kantor Pusat dilakukan pada triwulan IV 2011 dengan melibatkan tim dari LG dan Kementerian Keuangan. 7.7.2. Deployment Data Center/Data Recovery Center Data Center/Data Recovery Center (DC/DRC) adalah sebuah fasilitas yang digunakan untuk menyimpan semua infrastruktur information technology (IT) dan sistem komputer yang krusial dalam sebuah entitas. Fasilitas dan infrastruktur IT diwujudkan dalam dua sistem yang berperan penting, yaitu Collaboration Environment (CE) dan Commercial Off The Shelf (COTS). Pembangunan DC/DRC terdiri dari pekerjaan konstruksi dan instalasi fasilitas yang sepenuhnya dilakukan oleh LG-CNS dengan dukungan dari tim Kementerian Keuangan selaku counterpart. Sesuai perubahan proposal yang dilakukan oleh Bank Dunia, pembangunan instalasi DC/DRC dilakukan dalam dua tahap, sebagai berikut: 1. pembangunan instalasi tahap pertama dilaksanakan pada 18 September sampai dengan 30 November 2010 yang terdiri dari pengerjaan konstruksi DC dan pemasangan pipa/kabel; serta 2. pembangunan instalasi tahap kedua dilakukan pada 19 Februari sampai dengan 30 Maret 2011 yang terdiri dari fasilitas utama DC (panel listrik, outlet listrik dan konektor, UPS, CCTV, dan lain-lain) dan fasilitas DRC (pemasangan AC, FMS, dan kabel listrik). 7.7.3. Simulasi Tes Jaringan KPPN Yogyakarta, KPPN Wates, dan KPPN Wonosari Simulasi Tes Jaringan dilaksanakan pada 17-20 Maret 2011 di KPPN Yogyakarta, KPPN Wates, dan KPPN Wonosari yang berada dalam lingkup Kanwil Ditjen Perbendaharaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Uji coba akses jaringan dilakukan menggunakan aplikasi CRP 2 dengan beberapa skenario, yaitu diantaranya melalui jaringan VPN Intranet, Modem GSM, VSAT, dan Telkom Speedy yang ada di KPPN. Modul yang diujicobakan antara lain Payment www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 151 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA management, General Ledger/ Accounting, Government Receipt, dan Commitment Management. Pengujian jaringan dilaksanakan dengan menjalankan suatu langkah atau fungsi dalam aplikasi oracle (berbasis web) guna mengetahui kemampuan jaringan yang terdapat di kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan dalam mengakses dan menjalankan suatu skenario proses bisnis. 7.7.4. Persetujuan Rancangan Proses Bisnis SPAN Persetujuan rancangan proses bisnis SPAN adalah dukungan dari para pemangku kepentingan yang akan menentukan keberhasilan suatu perubahan sistem. Oleh karena itu, persetujuan dari para pemilik proses bisnis atas detil rancangan penyempurnaan proses bisnis menjadi syarat mutlak sebelum memasuki fase piloting. Mengawali koordinasi, pada awal Februari 2011 diselenggarakan Serial Workshop of SPAN-Business Process. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai proses bisnis SPAN yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tiap Direktorat sebagai pemilik proses bisnis. Persetujuan atas rancangan proses bisnis SPAN akan memudahkan pengembangan aplikasi. Peserta workshop terdiri dari beberapa staf yang mewakili setiap direktorat. Tahap pertama dari workshop adalah Preliminary Session (4 Februari 2011), di mana seluruh pimpinan unit eselon II di Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan beserta para staf terkait diundang. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan dukungan dan komitmen di tingkat pimpinan. Tahap kedua dilaksanakan pada 7-11 Februari 2011, yaitu Organizational Alignment Session. Pada tahap ini dilakukan diskusi intensif di antara penyusun modul SPAN dengan utusan direktorat teknis selaku pemilik proses bisnis. Pada akhir tahun 2011, total isu modul SPAN yang telah mendapatkan persetujuan dari pemilik proses bisnis mencapai 97 persen dan persetujuan 100 persen diharapkan dapat diraih pada awal tahun 2012. 7.7.5. Rancangan Interkoneksi SPAN dengan Bank Indonesia Pada tahap implementasi, SPAN akan berinteraksi dengan berbagai sistem lain, termasuk sistem layanan perbankan dari Bank Indonesia (BI) maupun bank komersial. Sebagai sistem elektronik yang terintegrasi, SPAN menjadi lebih efektif apabila didukung oleh sistem-sistem supporting dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. mengarah pada electronic communication, less paper, dan basis data tunggal; 2. setara dalam pemahaman konsep akuntansi, pelaporan, dan pertukaran data; serta 3. mengoptimalkan penggunaan sistem yang sudah tersedia sebelum pembangunan sistem baru. Secara sederhana, prinsip-prinsip tersebut dapat diterjemahkan sebagai otomatisasi proses pengiriman data dari BI ke server SPAN atau sebaliknya. Mengawali langkah persiapan, interkoneksi Ditjen Perbendaharaan dengan BI telah dikaji dan diharapkan dapat dilaksanakan melalui kolaborasi di antara Ditjen Perbendaharaan dan BI. Interkoneksi Ditjen Perbendaharaan dan BI melingkupi proses bisnis pembayaran, penerimaan negara, dan pengelolaan kas negara. Secara teknis, pihak luar tidak dapat langsung berhubungan dengan sistem operasional bank (core banking). Oleh karena itu, bentuk interkoneksi dilakukan dengan menggunakan suatu modul sebagai penyangga untuk memproses data yang berasal dari perintah transfer nasabah. Dalam interkoneksi di antara Ditjen Perbendaharaan dengan BI, modul penyangga tersebut bernama BIG-eB. Data dari Ditjen Perbendaharaan diinput dengan user interface ke BIG-EB, sedangkan dari BIG-eB ke sistem SPAN, data transfer diotomatisasi secara elektronik. 152 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.7.6. Interkoneksi SPAN dengan Perbankan Nasional/Bank Komersial Perbankan nasional memiliki peran yang penting dalam membantu eksekusi penerimaan dan pengeluaran negara, sehingga diperlukan interkoneksi SPAN dengan perbankan nasional. Ruang lingkup interkoneksi meliputi proses bisnis manajemen pembayaran, penerimaan, dan pengelolaan kas negara. Interkoneksi yang dibangun harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut: 1. mengarah pada komunikasi elektronik, less paper, single point of contact di antara Ditjen Perbendaharaan dengan perbankan, dan sentralisasi data; 2. mencakup transaksi penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk pengelolaan kas lainnya; 3. sentralisasi rekening bank operasional; serta 4. mengakomodasi konsep penguasaan BUN atas rekening bendahara pengeluaran. 7.7.7. Survei Kesiapan Perubahan II Survei Kesiapan Perubahan II (SKP II) adalah kegiatan menghimpun data di tahun 2011 untuk mengetahui/ mengukur kesiapan para pegawai dalam menghadapi implementasi SPAN. Pada tahun 2010, survei serupa (SKP I) pernah dilakukan terhadap pegawai dari 3 unit yang terlibat langsung dalam implementasi SPAN, yaitu Ditjen Anggaran, Pusintek-Setjen Kementerian Keuangan, dan Ditjen Perbendaharaan. Apabila tingkat kesiapan para pegawai diketahui, maka dapat diukur pula tingkat efektivitas dari kegiatan pengelolaan perubahan dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Survei dilakukan secara online dengan alasan validitas jawaban dan efisiensi pelaksanaan. Namun apabila terpaksa, survei dilakukan secara tertulis bagi pihak-pihak yang mengalami hambatan dalam mengakses internet. Selain itu, survei dilaksanakan secara serempak, sehingga tidak ada pembagian waktu pelaksanaan survei per wilayah. Secara resmi, Survei Kesiapan Perubahan II (SKP II) dilaksanakan pada 28 November hingga 23 Desember 2011 dan berhasil menghimpun data dari 8.799 responden atau 94 persen total pegawai aktif di Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Anggaran, dan Pusintek. Jumlah responden meningkat pesat jika dibandingkan dengan SKP I yang hanya berhasil menjaring 6.038 responden atau sekitar 57 persen dari total pegawai aktif di Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Anggaran, dan Pusintek. Dari segi tingkat partisipasi, responden yang dihimpun meningkat sebanyak 37 persen dari SKP I tahun 2010. Hasil SKP I hanya mendapatkan total poin 3,8 dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 menunjukkan tingkat yang paling baik dan skala 5 menunjukkan tingkat yang paling buruk. Angka kesiapan 3,58 dapat diartikan bahwa secara umum para pegawai belum siap dalam menghadapi implementasi SPAN, sehingga perubahan memiliki risiko yang cukup tinggi. Hasil ini pula yang dijadikan dasar dalam menyusun strategi komunikasi perubahan. Untuk mengetahui efektivitas strategi dan kegiatan pengelolaan perubahan, kembali dilakukan Survei Kesiapan Perubahan II pada bulan Desember 2011. Hasil survei menunjukkan peningkatan, di mana tingkat kesiapan perubahan naik menjadi 2,1. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 153 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.8. Perencanaan Kas Perencanaan kas bertujuan untuk memastikan bahwa negara memiliki kas yang cukup untuk membiayai kewajiban negara dalam pelaksanaan APBN. Untuk mewujudkan hal tersebut, Ditjen Perbendaharaan telah menerbitkan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas Instansi/ Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah serta Surat Edaran Nomor SE-38/PB/2008 tentang Penyampaian Laporan realisasi dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2008 yang dilengkapi dengan aplikasi IT. Sejak tahun 2006, telah dibentuk Tim Cash Planning Information Network (CPIN) yang bertugas melakukan koordinasi dan pengumpulan data/informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas di tingkat kantor pusat yang beranggotakan pejabat dari Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pengelolaan Utang, Ditjen Anggaran, Ditjen Kekayaan Negara, dan Ditjen Perimbangan Keuangan. Tim ini telah membantu mewujudkan perencanaan kas yang semakin baik, akurat, dan tepat waktu. Dalam pelaksanaannya, masing-masing unit eselon I menyampaikan proyeksi perencanaan kas sesuai dengan format i-account dalam struktur APBN beserta justifikasi dari proyeksi tersebut. Pada tahun 2011, telah dikembangkan aplikasi CPIN untuk memberI kemudahan bagi unit eselon I yang merupakan anggota Tim CPIN dalam melakukan updating data perencanaan kas secara real time online yang dibuat mingguan. Dengan ditetapkannya PMK No. 192/PMK.05/2009 tentang Perencanaan Kas dan Perdirjen Perbendaharaan No. Per-03/PB/2010 tentang Perkiraan Penarikan Dana Harian Satuan Kerja dan Perkiraan Pencairan Dana Harian Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), maka Satker diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan rencana penarikan/penyetoran dananya yang berbasis pada Petunjuk Operasional Kerja (POK) melalui Aplikasi Forecasting Satker (AFS) dan Aplikasi Forecasting KPPN (AFK). Untuk memberikan pemahaman kepada Satker, telah disosialisasikan penggunaan AFS dan AFK pada satuan kerja di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Sosialisasi dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. efektivitas dan akurasi perencanaan kas adalah salah satu kunci sukses dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, khususnya dalam fungsi perbendaharaan dan pengelolaan kas; 2. kemampuan untuk menerapkan perencanaan kas secara efektif adalah sebuah strategi untuk mendukung reformasi birokrasi; 3. implementasi kebijakan perencanaan kas selama ini belum dapat menghasilkan data yang akurat, sehingga kurang efektif dalam mendukung pengambilan keputusan strategis, seperti kebijakan eksekusi optimalisasi kelebihan/kekurangan kas dan penerbitan SBN; serta 4. belum akuratnya data perencanaan kas yang disebabkan belum seluruh Satker menyampaikan perkiraan penarikan dana dan masih rendahnya akurasi perkiraan penarikan dana yang telah disampaikan. Untuk meningkatkan akurasi perencanaan kas, juga telah dilakukan pengembangan melalui metode statistik dengan melibatkan seluruh unit eselon I di Kementerian Keuangan. Adanya berbagai pendekatan diharapkan dapat lebih meningkatkan tingkat akurasi perencanaan kas. 154 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 7.3. Rata-Rata Akurasi Perencanaan Kas dari Tim CPIN Tahun 2011 Total Penerimaan Bulan Perkiraan (Rp M) Realisasi (Rp M) Pengeluaran Deviasi (%) Akurasi (%) Perkiraan (Rp M) Realisasi (Rp M) Deviasi (%) Akurasi (%) Januari 77.345,62 71.711,56 7,28 92,72 71.542,74 69.507,62 2,84 97,16 Februari 83.225,81 83.099,87 0,15 99,85 62.313,21 47.259,01 24,16 75,84 Maret 105.587,12 101.046,81 4,30 95,70 94.789,95 98.895,88 4,33 95,67 April 143.217,62 123.837,73 13,53 86,47 106.904,13 75.219,49 29,64 70,36 Mei 150.861,15 119.370,37 20,87 79,13 83.018,17 87.837,57 5,81 94,19 Juni 99.722,10 83.926,41 15,84 84,16 131.071,42 87.129,89 33,52 66,48 Juli 102.298,10 110.228,56 7,75 92,25 119.960,70 128.262,79 6,92 93,08 Agustus 108.124,61 131.339,15 21,47 78,53 111.715,21 113.736,01 1,81 98,19 September 109.377,57 96.043,27 12,19 87,81 114.623,50 99.898,38 12,85 87,15 Oktober 121.888,03 99.748,91 18,16 81,84 130.878,19 127.959,22 2,23 97,77 November 137.213,26 149.688,51 9,09 90,91 141.900,52 115.215,48 18,81 81,19 Desember 4,24 238.845,81 228.725,91 95,76 310.708,46 301.190,76 3,06 96,94 Rata-Rata Akurasi Q1 96,09 89,55 Rata-Rata Akurasi Q2 83,25 77,01 Rata-Rata AkurasiSMT 1 89,67 83,28 Rata-Rata Akurasi Q3 86,20 92,81 Rata-Rata Akurasi Q4 89,50 91,97 Rata-Rata Akurasi SMT 2 87,85 92,39 Total 88,76 87,84 Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan. 7.9. Remunerasi Atas Penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum Dalam PMK No. 03/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas, antara lain disebutkan bahwa dalam mengelola kelebihan kas, Pemerintah dapat melakukan penempatan antara lain pada: 1. Bank Sentral (rekening giro); 2. Bank Umum (giro, overnight, deposit on call, dan time Deposit); 3. instrumen di pasar modal (mematuhi regulasi Bapepam-LK); 4. membeli SBN dari pasar sekunder (trade motive); dan 5. reverse repo. Sedangkan dalam mengelola kekurangan kas, Pemerintah dapat melakukan: 1. penarikan dari rekening penempatan pada Bank Sentral; 2. penarikan dari rekening penempatan pada Bank Umum; 3. menjual SBN di pasar sekunder; www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 155 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. repo SBN; dan 5. penerbitanSBN. Amanat tersebut sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 butir penjelasan Pasal 4 ayat (10) yang menyebutkan bahwa pendapatan atas pengelolaan rekening tunggal perbendaharaan dan/atau atas penempatan uang negara (akun 42325) mempunyai alokasi target sebesar Rp.3.008.103.524.000. Target dalam APBN 2011 juga sebagai target IKU untuk tahun anggaran 2011. Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA merupakan pendapatan yang diperoleh dari setiap penerbitan SP2D oleh KPPN yang dibayarkan oleh Bank Operasional I sesuai kesepakatan dalam lelang Bank Operasional. Adapun pendapatan atas pelaksanaan Treasury Notional Pooling (TNP) merupakan pendapatan yang diperoleh dari optimalisasi saldo rekening bendahara pengeluaran dan penerimaan pada Bank Umum peserta TNP dengan rate di atas nilai jasa giro yang berlaku. Landasan hukum atas pelaksanaan ini adalah PMK No. 61/ PMK.05/2009 tentang Penerapan Treasury Notional Pooling Rekening Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja dan PMK No. 126/PMK.05/2009 tentang Penerapan Treasury Notional Pooling Rekening Bendahara Penerimaan pada Satuan Kerja. Tabel 7.4. Pendapatan atas Pengelolaan Rekening Tunggal Perbendaharaan dan/atau Atas Penempatan Uang Negara Tahun 2011 Akun Uraian 423251 Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA 423252 Pendapatan atas penempatan uang negara pada Bank Umum 423253 Pendapatan dari pelaksanaan treasury notional pooling 423254 Pendapatan dari penempatan uang negara di Bank Indonesia Jumlah (Rp) 8.103.524.000 900.000.000.000 100.000.000.000 2.000.000.000.000 Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan. Pendapatan atas penempatan uang negara di Bank Indonesia didasarkan pada Keputusan Bersama Antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 17/KMK.05/2009 dan 11/3/KEP.GBI/2009 tentang Koordinasi Pengelolaan Uang Negara di Bank Indonesia. Dalam keputusan tersebut antara lain disebutkan tingkat bunga atas uang negara (Rupiah dan valas) pada Rekening Kas Umum Negara adalah sebesar 0,1 per tahun, sedangkan tingkat bunga masing-masing rekening penempatan adalah: 1. untuk rekening penempatan Rupiah diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI rate); 2. untuk rekening penempatan valas USD diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari Fed Fund Rate; serta 3. untuk rekening penempatan valas non USD diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari suku bunga acuan pada home currency valas tersebut. 156 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 7.5. Realisasi atas Target Pendapatan Atas Pengelolaan Rekening Tunggal Perbendaharaan dan/atau Atas Penempatan Uang Negara Tahun 2009-2011 No. Realisasi (Rp Miliar) Uraian 2011 1. Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA 2. Pendapatan atas penempatan uang negara pada Bank Umum 3. Pendapatan dari pelaksanaan TNP 4. Pendapatan dari Penempatan uang negara di Bank Indonesia 5. Bunga pengelolaan rekening cadangan Jumlah 2010 2009 75,38 54,38 8,23 - 1.719,12 2.356,42 193,25 119,68 51,47 4.666,71 2.434,31 1.763,23 254,71 - - 5.190,05 3.467,93 3.001,14 Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan. Pencapaian target 2011 sebagian besar diperoleh dari penempatan uang negara di BI yang didukung oleh: 1. besarnya idle cash pada saldo RKUN Penempatan di Bank Indonesia, karena penyerapan belanja Satker K/L yang belum maksimal dan masih menumpuk di akhir tahun anggaran; 2. tingginya saldo kas pada rekening SAL tahun 2010 di BI, yaitu Rp88,823 triliun; serta 3. BI rate yang relatif tinggi, yaitu pada kisaran 6,75-6,50 persen per tahun di sepanjang tahun 2011, sebelum akhirnya turun menjadi 6,00 persen per tahun di bulan November 2011. 7.10. Pembentukan Treasury Dealing Room Pembentukan dealing room merupakan salah satu strategi dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan uang negara, khususnya pengelolaan kelebihan/kekurangan kas, sehingga akan tercapai optimalisasi kas. Secara umum, dealing room adalah sebuah tempat jual-beli produk investasi jangka pendek dan/atau jangka panjang di pasar keuangan dalam bentuk surat berharga, produk derivatif, atau instrumen investasi lainnya secara elektronik. Pengelolaan kelebihan/kekurangan kas yang dilakukan pada dealing room dapat memperlancar proses transaksi investasi, khususnya pembelian atau penjualan instrumen keuangan yang digunakan dalam rangka pengelolaan kelebihan/kekurangan kas. Dealing room operation yang didukung oleh infrastruktur teknologi informasi yang handal, selain membantu efektivitas dan efisiensi pengelolaan kelebihan/kekurangan kas, juga membantu pengelolaan risiko investasi. Kelancaran proses transaksi investasi dengan disertai mekanisme pengelolaan risiko yang memadai akan meningkatkan penerimaan negara dari hasil pengelolaan kelebihan/kekurangan kas, sehingga tujuan optimalisasi kas tercapai. Selain itu, pemanfaatan dealing room dengan Standard Operating Procedure (SOP), tata kelola, dan penerapan internal control yang berstandar internasional akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta meminimalkan moral hazard dalam pengelolaan kelebihan/kekurangan kas. Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara pada tahun anggaran 2011 telah melaksanakan seleksi pegawai yang akan menjadi calon dealer dan lelang konsultan pengembang dealing room. Dengan demikian, diharapkan pada tahun 2012 telah dilaksanakan kegiatan yang mendukung pelaksanaan Capacity Building Treasury Dealing Room, yaitu: www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 157 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. membentuk tim capacity building treasury dealing room; 2. menyusun grand design treasury dealing room Kementerian Keuangan; 3. menyelenggarakan diklat teknis dealing room operation bagi pegawai Ditjen Perbendaharaan; 4. melaksanakan pembangunan infrastruktur dealing room pada Ditjen Perbendaharaan; 5. membentuk struktur kelembagaan dealing room Ditjen Perbendaharaan; 6. menyusun SOP dan tata kelola treasury dealing room; dan 7. mengembangkan pusat riset investasi pada Ditjen Perbendaharaan. 7.11. Bank Indonesia Government Electronic Banking Beroperasinya sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB) merupakan implementasi UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. BIG-eB sekaligus memperkuat koordinasi otoritas fiskal dan otoritas moneter melalui penyediaan layanan oleh BI untuk mendukung kebutuhan Pemerintah dalam meningkatkan pengawasan dan pengelolaan anggaran. UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa Rekening Pemerintah adalah rekening yang diatur dan diselenggarakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) serta ditatausahakan di Bank Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan Rekening Pemerintah, Menteri Keuangan menyimpan uang negara dengan membuka Rekening Kas Umum Negara (RKUN) pada BI sebagai pemegang kas Pemerintah dengan prinsip Treasury Single Account (TSA). Melalui BIG-eB, Pemerintah memperoleh data Rekening Pemerintah di BI secara online dan real time, serta mempercepat proses penyusunan laporan dan settlement transaksi. Saat peluncuran pertama kali (tahap I) pada Desember 2007, BIG-eB menyediakan modul informasi seluruh Rekening Pemerintah (khusus rupiah) yang ditatausahakan di Kantor Pusat maupun di Kantor BI. Pada tahap II, modul transaksi rupiah melalui pemindahbukuan, BI-RTGS, dan SKN-BI seperti Treasury Single Account (TSA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) mulai dapat diimplementasikan. Adapun tahap III merupakan implementasi modul informasi dan transaksi valas seluruh Rekening Pemerintah yang ditatausahakan di Kantor Pusat maupun di Kantor BI. Pada tahap IV atau terakhir, sistem BIG-eB diharapkan dapat diintegrasikan dengan sistem lain yang terkait dengan pengelolaan anggaran Pemerintah di Kementerian Keuangan. Perhatian utama BI terkait penatausahaan Rekening Pemerintah adalah dapat memberikan layanan yang sesuai dengan harapan pengguna jasa pembayaran. Pemberian layanan ini mencakup penatausahaan penerimaan, pengeluaran, dan penyelesaian transaksi. Selain itu, Pemerintah juga dapat memonitor secara online dan real time seluruh aktivitas inflow dan outflow, posisi, dan saldo Rekening Pemerintah. Dengan demikian, BIG-eB merupakan sistem elektronik yang disediakan oleh BI untuk Kementerian Keuangan dalam rangka memonitor saldo dan mutasi rekening, mencetak laporan, mengunduh data rekening dan informasi nilai tukar, serta melakukan tata usaha pengguna dan transaksi secara elektronik dan online. BIG-eB merupakan pengembangan metode transaksi dan informasi berbasis teknologi sebagai perubahan atas metode transaksi yang sebelumnya melalui giro bilyet/cek dan perolehan informasi melalui rekening Koran. Sistem BIG-eB dipergunakan oleh Kementerian Keuangan untuk kegiatan yang bersifat informational dan transactional. Ruang lingkup yang dapat dimonitor melalui sistem BIG-eB dalam rangka informational adalah seluruh Rekening Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan yang terdapat di BI. Sedangkan ruang lingkup kegiatan transactional meliputi transaksi pendebetan RKUN pada BI untuk RPK-BUNP pada Bank Umum dan 158 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA transaksi pendebetan antarrekening pada BI, baik pindah buku atau konversi. Seiring dengan kebutuhan dari masing-masing Subdirektorat di lingkungan Direktorat Pengelolaan Kas Negara, maka pada tahun 2011, telah dilaksanakan perluasan pemanfaatan sistem BIG-eB pada Subdit Perencanaan dan Pengendalian Kas, Subdit Dana Pinjaman Hibah, dan Subdit Rekening Pemerintah Lainnya. 7.12. Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara serta untuk memenuhi amanat undang-undang yang menjadi landasan bagi reformasi pengelolaan keuangan negara, telah dilakukan langkahlangkah penertiban rekening Pemerintah pada seluruh K/L. Salah satu instrumen yang digunakan dalam penertiban rekening adalah pemberian ijin pembukaan rekening. Proses input data Rekening Pemerintah Lainnya milik K/L melalui sistem aplikasi dilakukan sesuai dengan surat ijin pembukaannya atau perubahan status yang telah disetujui. Sementara itu, pembinaan kepada Satker telah dilakukan secara formal melalui: 1. workshop pengelolaan rekening Pemerintah; 2. memenuhi undangan Satker dalam hal pengelolaan rekening Pemerintah di lingkungan K/L; 3. menyusun modul pengelolaan rekening Pemerintah untuk didistribusikan kepada K/L sebagai pedoman dalam pengelolaan rekening Pemerintah; dan 4. secara informal dengan menjawab telepon dari Satker atau KPPN. Dampak positif yang diharapkan dari penertiban rekening adalah pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang lebih transparan dan akuntabel yang didukung oleh data rekening Pemerintah yang memiliki penjelasan posisi dan status dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan LKPP. Tabel 7.6. Pembukaan Rekening Pemerintah Lainnya Tahun 2011 No. Jenis Rekening 1. Rekening Penerimaan 2. Rekening Pengeluaran 3. a. Rekening Bendahara Pengeluaran b. Rekening Bendahara Pembantu Pengeluaran Jumlah Rekening 1.634 23.171 44 Rekening Lainnya 1.417 Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 159 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7.13. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam Pengelolaan Rekening SDA (migas, panas bumi, pertambangan dan perikanan) dan non SDA (Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, Hibah Bencana Alam Sumatera, dan Hibah ESSP) melalui Penatausahaan rekening Koran Bank Indonesia serta pemindahbukuan ke RKUN dan kepada Pihak Ketiga dilakukan atas permintaan dari Ditjen Anggaran (rekening SDA) dan Direktorat SMI (RDI/RPD). Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara, pada tahun 2011, RDI/RPD pada BI ditetapkan sebagai Rekening Penerimaan Kuasa BUN Pusat, sehingga setiap akhir hari kerja dilakukan penihilan saldo (penyetoran ke RKUN) serta pemberian remunerasi dari BI untuk rekening SDA dan non SDA yang lain. Tabel 7.7. Remunerasi dari Bank Indonesia untuk Rekening SDA dan Non SDA Tahun 2011 Nama Rekening Kementerian Keuangan/hasil perjanjian karya production sharing (USD) Ke RKUN (Rp) Remunerasi (Rp) 126.596.106.667.568,00 37.198.997.302,15 28.444.704.534,63 5.216.392.960,87 562.702.273.746,77 14.821.079.576,72 Menteri Keuangan untuk Penerimaan Bantuan Bencana Alam Sumatera dalam Rupiah 394.0710.402.000,00 3.354.833.460,92 Menteri Keuangan untuk Penerimaan Hibah Education Sector Support Program (ESSP)/Uni Eropa 609.638.500.000,00 0 8.078.265.521.241,23 0 136.269.238.069.090,00 60.591.303.300,65 Rekening Penerimaan Bidang Pertambangan dan Perikanan Rekening Penerimaan Panas Bumi RDI/RPD Jumlah Setoran Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan. 7.14. Penyempurnaan Tata Cara Pembebanan Dana PHLN Melalui Mekanisme Rekening Khusus Di awal tahun 2011, Ditjen Perbendaharaan menerbitkan peraturan yang menyempurnakan tata cara pembebanan dana PHLN melalui mekanisme Rekening Khusus (Reksus). Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa KPPN menerbitkan SP2D Reksus dengan membebani rekening BO dan mencatat belanja pengeluaran. Selanjutnya, KPPN menerbitkan SPB dan daftarnya untuk dikirimkan ke Direktorat PKN. Pencatatan penerimaan pembiayaan atau pendapatan dilakukan oleh Direktorat PKN dengan menerbitkan WPR ke Bank Indonesia. Peraturan ini mengadopsi mekanisme yang telah diterbitkan untuk penerbitan SP2D Reksus pada KPPN yang tidak satu kota dengan Kantor BI (KPPN Non KBI) dengan mengecualikan KPPN Khusus Jakarta VI. Terdapat dua esensi dari perubahan pembebanan tersebut. 160 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. Untuk menghindarkan double counting, yaitu pencatatan ganda atas satu transaksi. Sebelum peraturan ini diterapkan, KPPN menerbitkan SP2D dengan membebani Sub RKUN KPPN dan mencatat sebagai penerimaan pembiayaan atau pendapatan hibah sekaligus belanja. Sementara Direktorat PKN juga mencatat sebegai penerimaan pembiayaan atau pendapatan hibah pada saat terjadi aliran kas masuk dari rekening khusus ke rekening BUN. Dengan demikian, terdapat dua kali pencatatan penerimaan pembiayaan dan pendapatan hibah masing-masing oleh KPPN dan Direktorat PKN. Hal tersebut menyebabkan informasi penerimaan pembiayaan dan pendapatan hibah disajikan tidak semestinya. 2. Peraturan tersebut menegaskan tugas pokok dan fungsi antara KPPN dan Direktorat PKN sesuai PMK No. 184/ PMK.01/2010. Direktorat PKN sebagai pengelola rekening BUN, yang di dalamnya termasuk Reksus, adalah yang berwenang membebani Reksus karena memiliki akses informasi atas rekening terkait. Akses tersebut penting untuk mengetahui tingkat ketersediaan dana pada Reksus sebagai dasar untuk menginformasikan kepada EA agar mengajukan permintaan replenishment atau reimbursement. Dengan akses tersebut, Direktorat PKN juga dapat mengetahui dengan pasti aliran dana masuk ke rekening BUN sebagai dasar pengakuan penerimaan pembiayaan dan atau penerimaan hibah. Praktek pengakuan pendapatan dan penerimaan hibah yang dahulu dilakukan KPPN tidak tepat, karena KPPN tidak memiliki akses atas Reksus di BI. KPPN sebagai Kuasa BUN Daerah melakukan fungsi pembayaran dengan membebankan pada kas negara. Pada saat terjadi aliran dana dari kas negara atas dasar SP2D, maka diakui sebagai pengeluaran belanja. Dengan demikian, penyempurnaan tata cara pembebanan dana PHLN melalui mekanisme Reksus dimaksudkan untuk menerapkan prinsip akuntansi secara semestinya, yaitu pengeluaran belanja dibukukan pada saat terjadi aliran dana dari kas negara dan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah diakui pada saat ada aliran dana masuk pada rekening BUN. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 161 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 08 Pengelolaan Pembiayaan Melalui Utang 8.1. Pendahuluan Sejak tahun 2010 terjadi krisis di pasar keuangan negara-negara Eropa yang mengakibatkan gejolak pada pasar keuangan global. Akibat dari krisis tersebut, beberapa negara menerapkan kebijakan konsolidasi fiskal melalui pengetatan anggaran untuk menekan defisit dan mengendalikan utangnya. Untuk mengantisipasi pengaruh krisis keuangan dan belajar dari pengalaman negara-negara yang terkena krisis di Eropa, Pemerintah Indonesia menyusun kebijakan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara lebih berhati-hati. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden agar jumlah utang berada dalam tingkat yang aman dengan mengupayakan debt to GDP ratio pada tahun 2014 maksimal 22 persen. Salah satu kebijakan yang diambil adalah menyusun APBN dalam jangka menengah menuju anggaran berimbang. Hal ini dilakukan melalui pengendalian pembiayaan yang bersumber dari instrumen utang atau non utang pada saat Pemerintah menetapkan kebijakan defisit atau surplus APBN. Selain sebagai instrumen untuk menutup defisit, utang juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai investasi Pemerintah, penjaminan, dan pengeluaran pembiayaan lainnya. Dalam hal Pemerintah menetapkan kebijakan APBN surplus, pengadaan utang tetap diperlukan pada kondisi antara lain sebagai berikut: 162 1. membiayai utang yang jatuh tempo; 2. menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan mengelola portofolio utang Pemerintah; 3. membiayai investasi Pemerintah; serta 4. melanjutkan proyek-proyek tahun sebelumnya yang masih berlangsung masa penarikannya. | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8.2. Kebijakan Pembiayaan Utang Seiring dengan kebijakan defisit dalam 10 tahun terakhir, jumlah utang Indonesia cenderung meningkat, sehingga memerlukan pengelolaan utang yang prudent, efektif, efisien, dan akuntabel. Untuk mendukung hal tersebut, telah disusun pedoman pengelolaan utang jangka menengah melalui penetapan strategi pengelolaan utang tahun 2010-2014 yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dengan tetap memperhatikan risiko utang secara terukur. Tujuan tersebut diimplementasikan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Strategi pengelolaan SBN dititikberatkan pada peningkatan likuiditas dan daya serap pasar domestik melalui pengembangan pasar perdana dan sekunder, serta memperkuat basis investor. Adapun strategi pengelolaan pinjaman dititikberatkan pada penarikan dana secara tepat waktu serta peningkatan kualitas proses bisnis, data, dan informasi. Strategi jangka menengah menjadi acuan bagi penyusunan strategi dan kebijakan pembiayaan utang tahunan dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan terkini, besaran pembiayaan non utang, dan pengelolaan pasar sekunder SBN. Pada tahun 2011, kebijakan pengelolaan SBN diarahkan pada: 1. penerapan lengthening duration; 2. penyiapan peraturan yang mendukung penerbitan sukuk underlying project; 3. penerapan buyback dan debt switch untuk mengelola risiko dan stabilisasi pasar SBN; serta 4. penyiapan strategi alternatif dalam hal kondisi pasar domestik cenderung memburuk atau terjadi reversal. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 163 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sedangkan kebijakan pengelolaan pinjaman dilakukan melalui: 1. pengadaan pinjaman yang difokuskan pada pinjaman kegiatan (pinjaman proyek); 2. pemilihan lender yang memiliki terms and conditions yang favorable; 3. pemilihan suku bunga yang sesuai dengan kondisi pasar, sehingga dapat mengoptimalkan kondisi pasar; 4. pemilihan mata uang sesuai dengan portofolio utang dan yang memiliki risiko yang rendah; 5. pemilihan metode anuitas dan jangka waktu yang lebih panjang; serta 6. peningkatan penyerapan pinjaman untuk menghemat biaya yang tidak diperlukan. 8.3. Sumber dan Penggunaan Pembiayaan Utang Utang telah menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dalam 10 tahun terakhir dan dikelompokkan dalam dua instrumen, yaitu pinjaman dan SBN. Instrumen pinjaman berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri yang berbentuk tunai (program loan) atau terkait dengan proyek (project loan) dalam mata uang rupiah atau mata uang asing. Sedangkan instrumen SBN mencakup Surat Utang Negara (SUN) yang merupakan surat berharga konvensional dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang merupakan surat berharga berbasis syariah yang penerbitannya dapat menggunakan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing. Kedua instrumen ini terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pasar keuangan. Sebagai contoh, pada tahun 2011 telah dikembangkan SBSN berbasis proyek (Sukuk project) yang ditargetkan menjadi alternatif sumber pembiayaan APBN. 8.3.1. 1. Pinjaman Pinjaman Dalam Negeri Pinjaman Dalam Negeri (PDN) merupakan salah satu bentuk instrumen utang yang mulai dimanfaatkan pada tahun 2010 dan diarahkan untuk mendukung pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman komersial luar negeri serta dalam rangka mendukung pengembangan industri dalam negeri. Pada tahap awal, pemanfaatan PDN masih difokuskan pada pelaksanaan kegiatan Pemerintah (pinjaman proyek) dengan target penarikan sebesar Rp1 triliun. Berdasarkan pelaksanaan kegiatan selama tahun 2010-2011, realisasi penyerapan pinjaman belum dapat memenuhi target yang ditetapkan, sehingga perlu dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya. Terdapat sekurangkurangnya tiga faktor yang menyebabkan lambatnya penyerapan, yaitu: t penyiapan dan penyelesaian beberapa dasar operasionalisasi yang penetapannya baru dilakukan pada triwulan kedua tahun 2010; t pembahasan dan penyelesaian dokumen kontrak pengadaan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) yang memakan waktu relatif panjang, khususnya untuk tahun 2011; dan t diperlukannya familiarisasi atas mekanisme baru pengadaan PDN yang memisahkan pengadaan barang/ jasa dengan pengadaan pembiayaan. 164 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Pinjaman Luar Negeri Pada tahun 2011 terjadi peningkatan kinerja pengelolaan pinjaman luar negeri (PLN) jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pengelolaan PLN diwarnai dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah sebagai pengganti PP No. 2 tahun 2006. Dalam PP No. 10 tahun 2011 dilakukan perubahan beberapa substansi pengaturan untuk mendorong reformasi dalam pengelolaan PLN. Perubahan tersebut antara lain sebagai berikut: t kejelasan tugas dan tanggung jawab antarinstansi di lingkungan Pemerintah dalam pengadaan PLN; t pemberian dasar bagi Pemerintah dalam pengelolaan PLN secara aktif; t penyusunan mekanisme pengendalian PLN; serta t penajaman proses pengadaan pinjaman khususnya yang berasal dari kreditor swasta asing. Sepanjang tahun 2011 telah dilakukan penandatanganan 67 perjanjian PLN dengan nilai komitmen sebesar Rp47,69 triliun atau setara dengan USD5,26 miliar. Pinjaman ini bersumber dari berbagai kreditor, seperti lembaga multilateral (World Bank, Islamic Development Bank, Asian Development Bank, dan International Fund for Agricultural Development), serta lembaga bilateral dan komersial. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani 2 perjanjian debt swap, yaitu dengan Pemerintah Amerika Serikat dan Jerman. Perjanjian debt swap dengan Pemerintah Amerika Serikat diwujudkan melalui Debt Nature Swap for Tropical Forest Conservation Act Phase II senilai USD23,76 juta. Sedangkan perjanjian debt swap dengan Pemerintah Jerman dilaksanakan melalui Debt Swap VII Indonesian-German Scholarship Program yang merupakan komitmen Pemerintah Jerman untuk menghapus utang sebesar maksimal EUR 18,76 juta setelah Pemerintah Indonesia membayar biaya pendidikan untuk program doktoral di perguruan tinggi Jerman sebesar setengah dari nilai komitmen tersebut. 8.3.2. Surat Berharga Negara Kepemilikan asing pada SBN domestik cenderung meningkat pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi tujuan alternatif investasi dari investor asing. Kondisi ini didukung oleh kinerja positif perekonomian domestik di tengah-tengah ketidakpastian kondisi pasar keuangan di Eropa dan belum pulihnya kondisi perekonomian negara-negara maju akibat krisis tahun 2008. Kepemilikan asing atas SBN mencapai 35 persen (dari outstanding SBN tradable) dengan nilai sekitar Rp248 triliun pada Juli 2011, serta volume transaksi perdagangan SBN di Pasar Sekunder mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, dana asing yang masuk ke pasar obligasi Indonesia pada tahun 2011 cukup besar sebagaimana terlihat dari peningkatan nominal outstanding SBN yang dimiliki oleh asing dari Rp195 triliun menjadi Rp222 triliun. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 165 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar 8.1. Kepemilikan SBN Tradeable Tahun 2005-2011 Rp Triliun 800 40% 700 35% 600 30% 500 25% 400 20% 300 15% 200 10% 100 5% 0 2005 2006 2007 2008 2009 perbankan Asing 2010 2011 0% non perbankan % asing thd. total (rhs) Sumber: Bloomberg, diolah. Pengelolaan SBN pada tahun 2011 semakin membaik yang ditunjukkan dengan peningkatan Indeks SUN dan penurunan imbal hasil yang diminta investor. Indeks SUN pada akhir tahun 2011 ditutup pada level 109,29 persen atau meningkat 3,2 persen dari penutupan akhir tahun 2010 sebesar 106,05 persen. Sementara itu, terjadi penurunan yield curve yang disebabkan oleh tingginya likuiditas di pasar SBN domestik dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tingginya likuiditas juga ditunjukkan oleh bid to cover ratio lelang perdana SBN yang mencapai 2,63 kali. Pada akhir tahun 2011, yield curve bergerak ke bawah dan mendatar yang menunjukkan ekspektasi jangka panjang investor yang semakin baik terhadap fundamental ekonomi dan peningkatan credit rating Indonesia. Gambar 8.2. Bid to Cover Ratio Penerbitan SBN Tahun 2007-2011 Rp Triliun Total Bid Total Awd Bid to Cover Ratio -rhs 500 400 3,5 3,0 2,5 300 2,0 200 1,5 1,0 100 0,5 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang. Target penerbitan SBN bruto berdasarkan APBN-P 2011 adalah sebesar Rp211,2 triliun dan terealisasi sebesar Rp208,1 triliun dengan memperhitungkan buyback sebesar Rp3,5 triliun. Realisasi penerbitan SBN tersebut terdiri dari penerbitan SUN sebesar Rp171,29 trilliun dan SBSN sebesar Rp33,31 trilliun. Realisasi penerbitan SBN mencakup penerbitan SBN domestik sebesar Rp174,12 triliun dan penerbitan SBN valas sebesar Rp30,48 triliun. 166 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 8.1. Rincian Penerbitan SBN Tahun 2011 Rp Triliun SUN Domestik SBSN SBN 149.85 24.27 174.12 40 1.32 41.32 SPN/SPNS Ritel Fixed rate 11 7.34 18.34 98.85 15.61 114.46 Valas 21.44 9.04 30.48 Total 171.29 33.31 204.6 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang. 8.3.3. Penyiapan BMN sebagai Aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Sejak pertama kali diterbitkannya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2008, sampai dengan tahun 2010 DJKN telah menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset (DNA) SBSN sebesar Rp117 triliun. Langkah ini merupakan pemenuhan amanat UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan PMK No. 04/ PMK.08/2008 tentang Pengelolaan Aset Surat Berharga Syariah Negara yang Berasal dari Barang Milik Negara. DJKN ditugaskan untuk menyiapkan BMN sebagai underlying asset SBSN dengan Skema Ijarah. Setelah selalu meningkat sejak tahun 2008, mulai tahun 2011 terjadi penurunan jumlah nilai BMN yang disampaikan. Hal ini disebabkan semakin sedikit BMN yang memenuhi persyaratan dari aspek legal maupun syariah untuk dapat disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. Pada tahun 2011, DJKN menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset SBSN yang berasal dari BMN senilai Rp33,38 triliun yang terdiri dari tanah senilai Rp 27,22 triliun dan bangunan senilai Rp6,16 triliun. Gambar 8.3. Nominasi Aset SBSN Tahun 2008-2011 120 Rp Milliar 100 80 Tanah 60 Bangunan 40 20 0 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Direktorat Penilaian, DJKN. 8.4. Capaian Pengelolaan Utang Realisasi pembiayaan utang pada tahun 2011 mencapai Rp125,3 triliun. Jumlah ini meningkat Rp38,4 triliun jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp86,9 triliun. Kenaikan pembiayaan utang disebabkan naiknya kebutuhan pembiayaan APBN dan pembayaran kembali utang yang jatuh tempo. Penerbitan SBN masih menjadi www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 167 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA sumber utama pembiayaan dari sumber utang dengan mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp126,7 triliun. Adapun penarikan pinjaman adalah negatif Rp1,3 triliun. Realisasi pembiayaan utang tersebut menambah outstanding utang Pemerintah pada akhir tahun 2011 menjadi Rp1.803,49 triliun yang terdiri dari SBN sebesar Rp1.187,66 triliun dan pinjaman sebesar Rp615,83 triliun. Mengingat portofolio utang Pemerintah terdiri dari berbagai mata uang, maka jumlah outstanding utang sangat dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing. Dalam hal nilai rupiah melemah, maka outstanding utang akan bertambah. Sebaliknya, apabila nilai tukar rupiah menguat, maka outstanding utang akan berkurang. 8.4.1. Perkembangan Debt to GDP Ratio Meskipun outstanding utang cenderung mengalami kenaikan pada akhir tahun 2011, namun rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) mengalami penurunan. Rasio debt to GDP pada tahun 2009 dan 2010 berturutturut adalah 28,3 persen dan 26 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah 24,3 persen. Rasio ini menunjukkan peningkatan kemampuan fiskal Pemerintah dalam jangka panjang untuk memenuhi kewajiban utangnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2011, penurunan rasio ini didukung oleh pengendalian fiskal dan pengelolaan utang Pemerintah yang hati-hati, efisien, efektif, dan akuntabel, sehingga peningkatan nominal PDB lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal utang. Gambar 8.4. Perkembangan Debt to GDP Ratio Tahun 2005-2011 70% 60% 47% 50% 40% 30% 39% 35% 33% 28% 26% 24% 2008 2009 2010 2011 20% 10% 0% 2005 2006 2007 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang. Penurunan debt to GDP ratio melalui pengendalian fiskal merupakan wujud dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Berdasarkan penjelasan pasal 12 ayat 3, besaran defisit nasional tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan berikut ini yang mendukung upaya pengendalian utang. 168 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Pelaksanaan kebijakan net negative flow yang diterjemahkan dengan menetapkan jumlah penarikan PLN lebih rendah dari jumlah cicilan pokok PLN yang jatuh tempo, namun tetap sesuai dengan kebutuhan pembiayaan bagi K/L. Kebijakan ini diimplementasikan melalui penyusunan Batas Maksimum Pinjaman Luar Negeri (BMPLN). t Penerbitan dan penarikan utang semaksimal mungkin mengacu pada kebutuhan riil defisit APBN. t Pemilihan jenis mata uang dan tingkat bunga utang baru yang stabil dan menguntungkan dalam jangka panjang. 8.4.2. Risiko utang Peningkatan outstanding utang akan meningkatkan risiko, baik risiko pasar (market risk) yang terdiri dari risiko mata uang (currency risk) dan risiko tingkat bunga (interest rate risk) maupun risiko pembayaran kembali (refinancing risk). Untuk mengendalikan risiko tersebut, Pemerintah memprioritaskan pengadaan utang yang bersumber dari dalam negeri melalui penerbitan SBN dengan tingkat bunga tetap dan pengadaan pinjaman dalam negeri dalam mata uang rupiah. Tingkat risiko pengelolaan utang Pemerintah semakin membaik yang terlihat dari penurunan tingkat risiko suku bunga dan risiko nilai tukar. Sedangkan risiko pembiayaan kembali mengalami peningkatan yang disebabkan oleh penerbitan utang jangka pendek untuk meningkatkan efisiensi biaya utang. Namun demikian, secara keseluruhan tingkat risiko utang Pemerintah masih berada pada tingkat yang terkendali. Tabel 8.2. Perkembangan Indikator Risiko Utang Tahun 2010-2011 Indikator Risiko Outstanding (Rp milliar) Pinjaman 2010 2011 1.676.851 1.803.489 612.446 615.834 1.064.405 1.187.655 Rasio variable rate 20,3% 17,7% Refixing rate 26,1% 24,8% Rasio utang valas thd. PDB 12,1% 10,9% Rasio utang valas thd. Total Utang 46,2% 44,9% - Domestik 53,8% 55,1% - Valas 46,2% 44,9% Surat Berharga Negara Risiko suku bunga (%) Risiko nilai tukar (%) Komposisi mata uang Risiko pembiayaan kembali (%) Jatuh tempo dalam 1 thn. 7,1% 8,2% Jatuh tempo dalam 3 thn. 20,8% 22,7% Jatuh tempo dalam 5 thn. 34,1% 34,6% 9,5 9,3 Rata-rata jatuh tempo (tahun) Pinjaman Surat Berharga Negara 7,6 7,3 10,5 10,4 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang. Catatan: Data unaudited www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 169 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8.4.3. Biaya utang Untuk penerbitan SBN, terdapat efisiensi biaya akibat kecenderungan penurunan yield yang didorong oleh ekspekstasi investor bahwa perekonomian Indonesia semakin membaik dan pencapaian credit rating pada level layak investasi (investment grade). Selain itu, efisiensi biaya utang didorong pula oleh pengembangan pasar SBN menuju ke arah pasar yang dalam, likuid, dan aktif. Gambar 8.5. Grafik Perkembangan Yield SUN untuk Tenor 2, 5, 10, dan 15 Tahun 22 22 SUN 2 thn. SUN 5 thn. SUN 10 thn. SUN 15 thn. 20 18 16 20 18 16 14 14 12 12 10 10 8 8 6 6 4 Dec - 05 4 Dec - 06 Dec - 07 Dec - 08 Dec - 09 Dec - 10 Dec - 11 Sumber: Bloomberg, diolah. 8.5. Isu Terkini dalam Pengelolaan Utang 8.5.1. Investment Grade dan Credit Rating Sovereign credit rating merupakan salah satu referensi utama bagi investor dalam mempertimbangkan negara tujuan investasi, yaitu untuk menilai risiko sebuah negara. Semakin tinggi credit rating yang dimiliki oleh negara penerbit obligasi, maka semakin tinggi pula kepercayaan investor pada obligasi yang diterbitkan. Peningkatan credit rating memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi, karena mendorong arus modal masuk (capital inflow), baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio, sehingga meningkatkan neraca pembayaran dan menurunkan biaya utang Pemerintah maupun swasta. Pada tanggal 15 Desember 2011, lembaga pemeringkat (rating agency) Fitch telah menaikkan peringkat kredit Indonesia dari semula BB+ menjadi BBB-. Maknanya adalah obligasi Indonesia telah masuk dalam kategori layak investasi (Investment Grade). Perbaikan peringkat kredit Indonesia telah terlebih dahulu dilakukan oleh Japan Credit Rating Agency (JCRA) pada tanggal 10 Juli 2010. Peningkatan peringkat dapat mendorong persepsi positif investor dan masyarakat pada umumnya bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dalam mengatasi krisis keuangan global. 170 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 8.3. Hasil Assessment Lembaga Pemeringkat Kredit Tahun S&P Fitch Moody’s R&I JCRA CRC 1999 CCC+ B- B3 B- - 6 2000 B- B- B3 B- - 6 2001 CCC B- B3 B- - 6 2002 CCC+ B B3 B- B 6 2003 B B+ B2 B- B 6 2004 B+ B+ B2 B B+ 6 2005 B+ BB- B2 BB- B+ 5 2006 BB- BB- B1 BB- BB- 5 2007 BB- BB- Ba3 BB+ BB 5 2008 BB- BB Ba3 BB+ BB 5 2009 BB- BB Ba2 BB+ BB+ 5 2010 BB BB+ Ba2 BB+ BBB- 4 2011 BB+ BBB- Ba1 BB+ BBB- 4 2012 BB+ BBB- Baa3 BB+ BBB- 3 Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang 8.5.2. Kewajiban Kontinjensi Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur dan mempertimbangkan besarnya kebutuhan dana investasi, Pemerintah memberikan dukungan berupa penjaminan kewajiban pembayaran BUMN/BUMD kepada kreditur atas pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan penjaminan pembayaran BUMN kepada investor swasta atas kewajiban-kewajiban tertentu, seperti perjanjian jual beli listrik. Kemajuan pengelolaan pemberian penjaminan Pemerintah sampai dengan Desember 2011 mencakup berbagai program/ proyek berikut ini. 1. Fast track program I dan II yang merupakan program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara energi terbarukan dan gas yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero). 2. Program percepatan penyediaan air minum yang dilaksanakan oleh PDAM. 3. Proyek Central Java Power Plant (CJPP) yang merupakan program kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta (KPS). Sampai dengan Desember 2011, alokasi APBN untuk penjaminan Pemerintah tidak dicairkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kewajiban kontinjensi telah dilakukan dengan baik, sehingga tidak terjadi gagal bayar oleh pihak yang dijamin. 8.5.3. Pengembangan Pasar SBN Dalam rangka mengembangkan pasar SBN, Pemerintah telah menyusun instrumen baru dalam bentuk Project Based SUKUK (PBS) yang dapat dilakukan dengan skema project underlying dan project financing. Penerbitan PBS dengan skema project underlying telah dimulai pada tahun 2011. Di lain pihak, pelaksanaan penerbitan PBS dengan mekanisme project financing sedang dalam tahap persiapan, sehingga implementasinya diharapkan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses persiapan dilakukan melalui koordinasi dengan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 171 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Anggaran dalam menyiapkan sistem penganggaran dan koordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait dengan identifikasi proyek. Selain melalui pengembangan instrumen, pengembangan pasar SBN juga dilakukan melalui pelaksanaan lelang SBSN dengan green shoe option untuk SBSN atau Lelang SBSN Tambahan. Lelang ini merupakan lelang SBSN di pasar perdana yang dilaksanakan pada satu hari kerja setelah lelang SBSN, dengan yield yang mengacu pada Weighted Average Yield (WAY) yang dihasilkan pada lelang hari pertama. Dengan demikian, pada lelang SBSN Tambahan, peserta lelang yang dapat mengikuti hanya mengajukan penawaran dalam bentuk jumlah unit yang akan dibeli dan tidak mengajukan tingkat imbal hasil yang diinginkan. Pelaksanaan Lelang SBSN Tambahan ini selain dilakukan untuk pengembangan pasar juga untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dan dalam rangka mendukung mekanisme pembentukan harga dan/atau upaya pembentukan seri benchmark. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada tahun 2011 telah diajukan PMK terkait yang mengatur tentang lelang green shoe option untuk SBSN. Di samping itu, pada tahun 2011 juga dilakukan kajian atas potensi penerbitan USD Bond di pasar domestik, mengingat adanya permintaan investor terhadap instrumen dimaksud. Agar mekanisme ini dapat dijalankan dengan baik, masih diperlukan kajian lanjutan yang antara lain menitikberatkan pada operasionalisasi mekanisme penerbitan. 8.5.4. Bond Stabilization Frameworks Bond Stabilization Frameworks (BSF) merupakan langkah antisipatif yang dipersiapkan oleh Pemerintah sebagai respon atas terjadinya krisis keuangan global. BSF merupakan kerangka kerja yang memuat langkah-langkah strategis yang disiapkan untuk menjaga stabilitas pasar SBN yang programnya terdiri dari program jangka pendek dan jangka menengah. Program jangka pendek meliputi pembelian SBN di pasar sekunder oleh unit-unit di lingkungan Kementerian Keuangan dengan memanfaatkan dana yang telah dianggarkan atau dana kelolaan lainnya, termasuk pemanfaatan dana Saldo Anggaran Lebih, dan pembelian SBN oleh BUMN terkait di bawah koordinasi Kementerian BUMN. Sedangkan untuk mengantisipasi krisis keuangan di masa yang akan datang, Pemerintah perlu membentuk bond stabilization fund yang akan digunakan untuk melakukan stabilisasi pasar keuangan pada saat terjadi gejolak. 8.5.5. Instrumen Hedging (Lindung Nilai) Dalam pengelolaan utang Pemerintah tidak bisa dihindari adanya risiko yang melekat baik risiko tingkat bunga, nilai tukar, dan pembiayaan kembali. Untuk memitigasi risiko, maka salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah lindung nilai. Penggunaan instrumen ini tidak ditujukan untuk melakukan spekulasi dalam mencari keuntungan, namun sebagai alat untuk mengendalikan risiko. Selain itu, penggunaan instrumen lindung nilai dapat ditujukan pula untuk mewujudkan struktur portofolio yang optimal yang memiliki biaya minimal pada tingkat risiko yang terkendali. Untuk menjaga aspek governance dan tetap memperhatikan prinsip pengelolaan utang yang baik, diperlukan dasar operasional atas pelaksanaannya. Sehubungan dengan hal tersebut, aturan operasional pelaksanaan instrumen lindung nilai sedang disusun dan masih perlu untuk dipertajam dan disempurnakan, agar setelah ditetapkan dapat diimplementasikan dengan baik. 172 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8.5.6. Fleksibilitas Pembiayaan Utang Dalam situasi perekonomian dunia yang sulit diprediksi dan utang sebagai instrumen pemenuhan pembiayaan APBN sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar keuangan, maka diperlukan mekanisme fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menyediakan sumber pembiayaan. Dalam hal pasar keuangan sedang dalam kondisi bullish, maka pemenuhan pembiayaan melalui penerbitan SBN lebih menguntungkan. Di lain pihak, pada saat pasar keuangan sedang bearish, maka pinjaman menjadi pilihan yang dipertimbangkan. Terhitung mulai tahun 2010, mekanisme fleksibilitas pemilihan sumber pembiayaan untuk utang tunai, yaitu antara pengadaan pinjaman program dan penerbitan SBN, sudah diakomodasi dalam UU APBN. Namun, hal tersebut belum dapat dilakukan untuk pinjaman kegiatan dengan SBN. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme yang mendukung fleksibilitas pemanfaatan instrumen utang, khususnya dalam penggantian instrumen pinjaman kegiatan dengan penerbitan SBN atau sebaliknya. Hal ini dilakukan agar target pembiayaan utang dapat dipenuhi dengan risiko yang terkendali pada tingkat biaya yang wajar. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 173 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 09 Pengelolaan Kekayaan Negara 9.1. Arah dan Strategi Pengelolaan Kekayaan Negara Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan di bidang pengelolaan kekayaan negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) mengemban tugas untuk mewujudkan penataan dan pengelolaan aset negara yang tertib, akuntabel, dan transparan. Sesuai Roadmap Strategic Asset Management (Strategi Pengelolaan Barang Milik Negara), pengelolaan kekayaan negara merupakan suatu peran yang strategis dan menjadi salah satu indikator penting dalam pengendalian anggaran negara yang efisien, efektif dan optimal. Hal ini sebagai upaya mewujudkan akuntabilitas tata kelola keuangan negara dan merupakan penunjuk arah menuju manajemen aset yang sehat dan modern (sound and modern). Sejak tahun 2007 sampai dengan 2010, DJKN telah melaksanakan strategi pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) mulai dari melengkapi atribut organisasi pengelola BMN, penertiban BMN, penatausahaan BMN yang andal dan akuntabel, integrasi perencanaan penganggaran dan perencanaan aset negara, serta optimalisasi pengelolaan aset negara. 9.2. Utilisasi Kekayaan Negara Utilisasi kekayaan negara adalah optimalisasi pendayagunaan kekayaan negara melalui pemanfaatan, penetapan status penggunaan, tukar menukar, dan penyertaan modal Pemerintah. Nilai kekayaan negara yang diutilisasi diperoleh dari nilai aset yang ditetapkan utilisasinya, yaitu melalui: 1. pemanfaatan kekayaan negara yang diperoleh dari pendayagunaan BMN melalui sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun serah guna, bangun guna serah, dan pinjam pakai; 174 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. penetapan status penggunaan yang diperoleh dari pendayagunaan kekayaan negara melalui penetapan status penggunaan BMN karena hibah masuk, penetapan status yang berasal dari aset KKKS, aset eks kelolaan PT. PPA dan BPPN, serta nilai BMN yang ditetapkan status penggunaannya untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian dan lembaga yang bersangkutan; 3. penetapan BMN sebagai underlying asset dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); 4. tukar-menukar yang diperoleh dari nilai aset baru hasil tukar-menukar; serta 5. penyertaan modal Pemerintah yang diperoleh dari konversi aset/kekayaan negara yang diutilisasi, meliputi BMN, aset KKKS, aset kelolaan PT. PPA, dan aset eks BPPN. Utilisasi kekayaan negara merupakan bagian dari siklus pengelolaan BMN yang meliputi perencanaan, penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, dan pengawasan/pengendalian. Semua barang yang telah dibeli atau diperoleh secara sah pada dasarnya wajib ditetapkan status penggunaannya dan digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Setelah ditetapkan statusnya, BMN tersebut dapat digunakan, dimanfaatkan, dipindahtangankan, atau dihapuskan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 175 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 9.2.1. Tujuan Utilisasi Kekayaan Negara Tujuan dari utilisasi kekayaan negara adalah mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dalam rangka pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara efisien, efektif, dan optimal. Tujuan ini dicapai melalui: 1. penghematan anggaran untuk belanja modal dan pemeliharaan aset melalui pemanfaatan aset; 2. peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui optimalisasi aset negara; serta 3. peningkatan pembiayaan dalam negeri melalui SBSN dengan aset negara sebagai underlying asset. Kekayaan negara yang dapat diutilisasi meliputi BMN, aset eks kelolaan PT. PPA, aset eks BPPN, aset eks KKKS, dan aset eks Pertamina. Salah satu syarat agar suatu aset dapat diutilisasi adalah aset tersebut berstatus free and clear, dalam arti memiliki dokumen kepemilikan, tidak dalam sengketa, dan tidak dikuasai pihak lain. Dengan demikian, proses utilisasi kekayaan negara perlu didukung dengan kesadaran K/L untuk mengelola kekayaan negara sesuai ketentuan dengan prinsip 3T, yaitu Tertib Hukum, Tertib Administasi, dan Tertib Fisik. Dalam proses penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara masih ditemukan BMN yang belum berstatus free and clear, sehingga menghambat proses penetapan utilisasi kekayaan negara. Untuk itu, diperlukan kerja sama dari pihakpihak terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pengadilan, dan K/L untuk menyelesaikan aset-aset yang bermasalah tersebut. 9.2.2. Capaian Utilisasi Kekayaan Negara Pada tahun 2011, kekayaan negara yang terutilisasi secara optimal mencapai Rp102,45 triliun atau 100,06 persen dari target awal Rp102,39 triliun. Nilai ini diantaranya berasal dari: 1. penetapan BMN sebagai underlying asset (SBSN) sebesar Rp30.196.264.971.874; 2. persetujuan Penetapan Status Penggunaan (PSP) dan pemanfaatan BMN yang berasal dari K/L sebesar Rp25.530.054.130.546,00, diantaranya berasal dari PSP kepada Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat Negara, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Otorita Batam, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komisi Yudisial; 3. pemanfaatan aset eks Pertamina sebesar Rp10,28 triliun; serta 4. penetapan status atas Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) sebesar Rp1,78 triliun. Nilai utilisasi kekayaan negara mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2009 sampai dengan 2011, di samping realisasi yang selalu melampaui target. Capaian ini merupakan hasil dari kerja keras jajaran DJKN dalam upaya “jemput bola” untuk menggali potensi utilisasi kekayaan negara dan penyelesaian permohonan pengelolaan kekayaan negara. 176 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar 9.1. Utilisasi Kekayaan Negara Tahun 2009-2011 120 102,39 102,45 100 Rp Triliun 80 52,68 60 40 Target 20 Realisasi 0 0,21 3,34 0 2009 2010 2011 Sumber: DJKN. Selain capaian berupa nilai dalam satuan rupiah, utilisasi kekayaan negara juga berupa jumlah aset Kekayaan Negara Lain-lain (KNL) yang dimanfaatkan. KNL yang berhasil diutilisasi sepanjang tahun 2011 adalah berikut ini. 1. Pemanfaatan 12 aset BMN atau 109 persen dari target awal sebanyak 11 aset. Aset-aset yang dimanfaatkan berasal dari: t sewa sebagian tanah oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM); t tukar-menukar aset Kementerian Kehutanan; t PSP pada Kementerian Perindustrian; t PSP pada Kementerian Perdagangan; t PSP pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; t PSP pada Kejaksaan Negeri Pontianak; serta t hibah aset lain-lain (eks profit) kepada Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat dan Bali. 2. Penetapan 389 berkas penyelesaian kekayaan negara atau 41,38 persen dari target yang ditetapkan, yang berasal dari: t Aset Bekas Milik Asing/Cina (ABMA/C), Bea dan Cukai, Gratifikasi, Barang Rampasan, dan Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) sebanyak 64 berkas; t eks PT. PPA dan eks BDL sebanyak 303 berkas; serta t eks BPPN sebanyak 22 berkas. Nilai utilisasi kekayaan negara dapat mencapai target yang ditetapkan karena terdapat hasil penggalian potensi utilisasi dan penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara, serta penetapan utilisasi kekayaan negara dengan nilai yang cukup signifikan. Di samping itu, juga adanya dukungan dari hasil penertiban BMN dan tindak lanjut hasil penertiban BMN yang telah dilakukan oleh K/L dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 271/KMK.06/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Penertiban BMN pada Kementerian/Lembaga. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 177 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 9.3. Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara Pembenahan terhadap pengelolaan dan penatausahaan BMN dimulai sejak digulirkannya Reformasi Keuangan Negara melalui penetapan 3 paket undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Namun, pembenahan yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini ditandai dengan adanya temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004-2006 yang terkait dengan aset tetap, yaitu: 1. penyajian aset tetap belum dilakukan secara lengkap dan akurat, termasuk sistem dan prosedur; 2. nilai aset tetap pada neraca awal tahun 2004 belum didasarkan pada hasil inventarisasi fisik dan penilaian; 3. Laporan BMN masih dihasilkan secara manual dan tidak dilaksanakan secara berjenjang; 4. pertanggungjawaban atas penggunaan Dana Dekonsentrasi/Tugas Perbantuan belum memadai; 5. pengungkapan aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), sitaan DJBC, dan ABMA/C kurang memadai; serta 6. BMN berupa tanah belum seluruhnya bersertifikat atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Temuan-temuan tersebut memberikan kontribusi atas opini disclaimer terhadap LKPP Tahun 2004-2006. Berdasarkan temuan BPK dan keinginan untuk melakukan pembenahan terhadap pengelolaan dan penatausahaan aset negara, Pemerintah telah mencanangkan Program Penertiban BMN. Gambar 9.2. Hasil Penertiban BMN sampai dengan Semester I Tahun Anggaran 2011 1000 813,75 Rp Triliun 800 600 371,52 400 442,23 200 0 Saldo awal IP BMN Koreksi hasil penilaian +/Mutasi Saldo akhir IP BMN Hasil IP Sumber: DJKN. Penertiban BMN yang didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2007 jo. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penertiban BMN mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2007. Sampai dengan 31 Desember 2011, jumlah Satuan Kerja (Satker) yang telah melakukan koreksi hasil inventarisasi dan penilaian ke dalam neraca sebanyak 22.781 Satker dari 22.781 Satker yang telah menyelesaikan inventarisasi dan penilaian BMN. Terjadi kenaikan jumlah Satker, karena terdapat beberapa Satker yang baru menyelesaikan inventarisasi dan penilaian BMN pada tahun 2011. Berdasarkan Arsip Data Komputer semester I tahun 2011 dan hasil rekonsiliasi data BMN antara Pengguna Barang dan Pengelola Barang semester I tahun 2011, nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN yang telah dilakukan koreksi ke dalam neraca K/L sebesar Rp422.001.243.861.344. Inventarisasi dan penilaian BMN masih terus dilakukan untuk menindaklanjuti temuan BPK atas LKPP Tahun Anggaran 2010, yaitu adanya 690 Satker yang belum dilakukan inventarisasi dan penilaian pada 8 K/L. 178 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Berdasarkan data hasil inventarisasi dan penilaian sampai dengan 31 Desember 2011, diketahui bahwa telah dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN terhadap 686 Satker, sedangkan 4 Satker lainnya sedang dalam proses penyelesaian. Penertiban BMN serta pemetaan dan pengkajian BMN telah mengidentifikasi aset-aset yang masih bermasalah yang meliputi: 1. BMN yang tidak ditemukan; 2. BMN dalam kondisi rusak berat, namun masih tercatat dalam daftar BMN; 3. BMN berupa tanah yang berada dalam penguasaan K/L, namun belum bersertifikat atas nama K/L; 4. BMN berupa tanah yang berada dalam penguasaan K/L, namun tidak didukung dengan dokumen kepemilikan; 5. BMN dikuasai oleh pihak lain; 6. BMN dalam sengketa; 7. BMN yang dimanfaatkan oleh pihak lain dengan kompensasi, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan; 8. BMN yang dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa kompensasi; 9. gedung berdiri di atas tanah pihak lain atas dasar kontrak dan masa kontrak telah habis; serta 10. gedung sudah dibongkar tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Dari hasil kegiatan tersebut telah teridentifikasi aset-aset bermasalah berikut ini. 1. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 2011, diketahui bahwa dari 66.971 bidang tanah milik 56 K/L, sebanyak 39.271 bidang tanah atau 58,64 persen belum bersertifikat dan 27.700 bidang tanah atau 41,36 persen sudah bersertifikat. 2. Berdasarkan pemetaan dan pengkajian BMN bermasalah tahun 2010 pada 27 K/L, diperoleh data sebagai berikut: t 60 tanah dan/atau bangunan tidak digunakan sesuai tugas dan fungsi; serta t 52 tanah dan/atau bangunan masih dalam sengketa. Mengingat masih banyaknya tanah K/L yang belum disertifikatkan, maka Menteri Keuangan bersama dengan Kepala BPN telah menerbitkan Peraturan Bersama No. 186/PMK.06/2009 dan No. 24 Tahun 2009 tentang Pensertifikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah. Dalam peraturan bersama tersebut ditetapkan tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak, yaitu Kementerian Keuangan, BPN, dan K/L. Selain itu, untuk menyelesaikan aset-aset bermasalah telah diterbitkan KMK No. 271/KMK.06/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara pada Kementerian Negara/Lembaga. Dalam KMK ditetapkan langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilaksanakan guna penyelesaian aset bermasalah dengan jangka waktu paling lambat 2 tahun terhitung sejak tanggal penetapan, kecuali menyangkut BMN dalam penguasaan pihak lain atau dalam sengketa. Salah satu tindak lanjut untuk penyelesaian aset-aset bermasalah adalah pelaksanaan sertifikasi BMN dalam rangka pengamanan aset-aset negara. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengamanan aset-aset negara sudah selayaknya berpartisipasi dan berkontribusi aktif dalam upaya sertifikasi BMN sebagai program nasional. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 179 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 9.4. Pengelolaan Investasi Pemerintah 9.4.1. Divestasi Newmont Penanganan permasalahan divestasi Newmont oleh DJKN merupakan kelanjutan dari keputusan Pemerintah melalui Menteri Keuangan untuk menggunakan hak pembelian 7 persen saham kewajiban divestasi terakhir PT. Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Pembelian ini dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Pembelian saham divestasi PT. NNT merupakan keputusan yang sejatinya ditujukan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia sebagai perwujudan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum” dan dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengenai penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mengenai penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dengan pembelian 7 persen saham divestasi PT. NNT oleh Pemerintah Pusat, maka 51 persen saham PT. NNT merupakan kepemilikan nasional yang mewakili semua unsur kepentingan nasional, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham oleh beberapa unsur nasional secara bersama-sama akan menjaga kepentingan nasional dalam pelaksanaan perusahaan ke depan. Selain itu, Pemerintah Pusat juga ingin menjadikan pengelolaan PT. NNT sebagai contoh pengelolaan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan yang baik, benar, taat asas, dan berkinerja prima di Indonesia, serta memenuhi semua kewajiban kepada negara, patuh menjaga lingkungan hidup, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Strategi ini juga sejalan dengan semakin besarnya peran Pemerintah di negara-negara lain dalam industri pertambangan. Sepanjang tahun 2011, DJKN berperan aktif dalam perkembangan permasalahan divestasi Newmont yang berujung pada Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN). 9.4.2. Pengambilalihan PT. Inalum Proyek Asahan adalah kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan 12 investor Jepang yang tergabung dalam konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Kerja sama dilakukan untuk menggunakan potensi hidrolistrik sungai Asahan sebagai pembangkit listrik guna menyokong pengembangan pabrik peleburan aluminium di Asahan, yang kemudian dikenal sebagai PT Indonesia Asahan Aluminium (PT. Inalum). Untuk itu, telah dibangun Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Siguragura yang berdaya 292,8 MW dan PLTA Tangga yang berdaya 324,4 MW. Kesepakatan kerja sama tersebut dituangkan dalam suatu Master Agreement (MA) untuk jangka waktu 30 tahun. Pemerintah telah mengakhiri kerja sama dengan Jepang dalam Proyek Asahan dan berencana mengambil alih aset PT. Inalum. Perundingan dengan pihak Jepang harus dilakukan paling lambat setahun sebelum MA berakhir, yaitu pada Oktober 2012. Untuk itu, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2010 tanggal 1 Desember 2010 tentang Tim Perundingan Proyek Asahan dengan Menteri Perindustrian sebagai Ketua Tim Perunding. Kementerian Keuangan yang dalam hal ini diwakili oleh DJKN turut terlibat dalam Tim Perunding tersebut. Sebagai persiapan perundingan, Menteri Perindustrian telah menerbitkan Keputusan No. 39/M-IND/PER/3/2011 tanggal 31 Maret 2011 tentang Kelompok Kerja Penyiapan Pengakhiran Master Agreement. Direktur KND menjadi Ketua Sub Tim Penyiapan Pengambilalihan PT. Inalum yang bertanggung jawab sebagai koordinator 180 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA persiapan pengambilalihan tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, DJKN melakukan kerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk pelaksanaan audit nilai buku PT. Inalum. Selain itu, DJKN bersama dengan Kementerian Perindustrian, Bappenas, BPKP, dan Otoritas Asahan melakukan site visit ke Pabrik Pengolahan Aluminium PT. Inalum serta PLTA Siguragura dan Tangga. 9.5. Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian Aset eks-Kontraktor Kontrak Kerja Sama Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan BMN sesuai dengan ketentuan pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Disebutkan bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi milik/kekayaan negara, yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dinyatakan bahwa BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN yang berasal dari perolehan lain yang sah antara lain meliputi barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak. Terhadap aset KKKS, DJKN bersama BPKP telah melakukan inventarisasi dan penilaian dengan menggunakan data awal sesuai laporan BP-MIGAS per 30 Desember 2010. Latar belakang inventarisasi dan penilaian aset KKKS adalah: 1. seluruh barang dan peralatan yang diperoleh/digunakan KKKS merupakan BMN; serta 2. tindak lanjut hasil audit/temuan BPK atas LKPP Tahun 2009 terkait pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS, yaitu jumlah dan nilai aset KKKS tidak dapat diyakini kebenarannya. Berkenaan dengan temuan BPK atas LKPP Tahun 2009, DJKN telah menyusun beberapa strategi penyelesaian permasalahan, yaitu: 1. melakukan koordinasi secara intensif dengan Ditjen Perbendaharaan, BP-MIGAS, dan Ditjen MIGAS mengenai penetapan Kebijakan Akuntansi aset KKKS, dan selanjutnya melalui PMK No. 02/PMK.05/2011 telah ditetapkan Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Aset Berupa BMN Yang Berasal Dari KKKS; 2. bersama-sama BP-MIGAS, BPKP, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan inventarisasi dan penilaian aset KKKS dengan target selesai pada 31 Desember 2011; serta 3. menetapkan saldo awal BP-MIGAS berdasarkan hasil inventarisasi dan penilaian. Berdasarkan pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2010 terkait aset KKKS, ditemukan bahwa pengendalian atas pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset KKKS belum memadai. Terkait hal tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada Pemerintah agar memperbaiki metode dan pengendalian atas pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset KKKS yang saat ini sudah selesai dilaksanakan dan memverifikasi hasil IP aset KKKS tersebut. DJKN telah menyusun beberapa strategi penyelesaian permasalahan, yaitu: 1. DJKN dan DJPB telah melakukan koordinasi dengan BPKP dan BPK untuk menyelesaikan permasalahan aset KKKS, yaitu mencatat aset KKKS dalam LKPP 2010 dan penyelesaian kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN yang berasal dari KKKS; www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 181 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. menerapkan Buletin Teknis Inventarisasi yang telah disempurnakan mengenai metode dan pengendalian atas pelaksanaan inventarisasi dan penilaian BMN KKKS yang akan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan IP BMN KKKS yang belum selesai; serta 3. memverifikasi seluruh hasil inventarisasi dan penilaian yang telah selesai dilaksanakan dan memperbaikinya sesuai dengan hasil rekomendasi/temuan BPK. Selain dalam rangka menindaklanjuti temuan BPK, pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset KKKS merupakan salah satu langkah untuk menciptakan tertib administrasi, tertib fisik, tertib hukum, dan tertib pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS. Terdapat setidak-tidaknya 3 tujuan pengelolaan aset KKKS secara tertib dan akuntabel, yaitu: 1. menurunkan cost recovery; 2. meningkatkan penerimaan negara; dan 3. meningkatkan opini BPK. Tabel 9.1. Hasil Inventarisasi dan Penilaian BMN yang berasal dari KKKS Per 31 Desember 2011 Hasil Inventarisasi dan Penilaian Jumlah KKKS 76 Jumlah Aset Nilai Perolehan (USD) Nilai Wajar (Rp) 156.159 28.880.486.951 172.841.080.614.374 Sumber: DJKN. 9.6. Perkembangan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 Tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina, penyelesaian status kepemilikan ABMA/C dilakukan dengan cara: 1. dimantapkan status hukumnya menjadi BMN; 2. dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik Daerah (BMD); 3. dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah dengan menyetorkannya ke Kas Negara; 4. dikembalikan kepada pemilik perorangan yang sah; atau 5. dikeluarkan dari daftar ABMA/C. Pada tahun 2011, 37 ABMA/C telah dimantapkan status hukumnya yang terdiri dari: 1. sebanyak 7 aset dimantapkan status hukumnya menjadi BMN, yaitu 5 aset digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan 2 aset oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI); 2. sebanyak 29 aset dimantapkan status hukumnya menjadi BMD, yaitu 25 aset digunakan oleh Sekolah Negeri dan 4 aset oleh Kantor Pemerintahan; serta 3. sebanyak 1 aset dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada Pemerintah dengan menyetorkannya ke Kas Negara. 182 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Jumlah Aset Gambar 9.3. Penyelesaian ABMA/C Tahun 2011 35 30 25 20 15 10 5 0 29 7 1 Dimantapkan sebagai BMN Dimantapkan sebagai BMD Dilepas kepada Pihak Ketiga Status Aset Sumber: DJKN. Penyelesaian ABMA/C selama kurun 2009-2011 senantiasa meningkat setiap tahun. Jika pada tahun 2009 tercatat hanya mampu dimantapkan 5 ABMA/C, maka pada tahun 2010 dan 2011 telah meningkat menjadi masingmasing 20 ABMA/C dan 37 ABMA/C. Dengan demikian, penyelesaian ABMA/C sampai dengan tahun 2011 telah mencapai 62 unit. Pada tahun 2012, diharapkan jumlah ABMA/C yang dimantapkan status hukumnya akan semakin bertambah. Gambar 9.4. Penyelesaian ABMA/C Tahun 2009-2011 Jumlah ABMA/C 40 37 30 20 20 10 5 0 2009 2010 2011 Sumber: DJKN. Pada tahun 2011, jumlah ABMA/C yang belum selesai berdasarkan Petunjuk Penyelesaian pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 tercatat sebanyak 948 unit. Jumlah ini senantiasa menurun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Cara penyelesaian yang terbanyak adalah disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah, kemudian disusul oleh beberapa alternatif petunjuk. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 183 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 9.2. Daftar ABMA/C Yang Belum Selesai Berdasarkan Petunjuk Penyelesaian pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 No. Tahun (ABMA/C) Cara Penyelesaian 2008 2009 2010 2011 1. Disertifikatkan atas nama Pemerintah RI 101 100 95 88 2. Disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah 445 445 433 408 3. Dilepaskan kepada Pihak Ketiga dengan 234 233 231 230 Pembayaran Kompensasi 4. Ditukar 15 15 15 15 5. Hibah 1 1 1 1 6. Dikembalikan 0 0 0 0 7. Dikeluarkan 0 0 0 0 8. Beberapa Alternatif Petunjuk 133 132 131 129 9. Penelitian 81 79 79 77 1010 1005 985 948 Jumlah Sumber: DJKN. 184 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA halaman ini sengaja dikosongkan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 185 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 186 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PELAYANAN Memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 187 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 10 Industri Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank 10.1. Kinerja Pasar Modal 10.1.1. Industri Efek Pasar saham mengalami gejolak sepanjang tahun 2011 sebagai akibat dari krisis yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Kinerja indeks dari bursa global, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia mengalami penurunan. Kondisi tersebut tidak berkepanjangan bagi IHSG, sehingga mampu menarik minat investor asing dan domestik untuk kembali berinvestasi di pasar saham. IHSG pada tahun 2011 kembali mencatat prestasi sebagai indeks dengan kinerja terbaik kedua di Asia Pasifik setelah Bursa Efek Filipina. Pada tanggal 1 Agustus 2011, IHSG menyentuh level tertinggi selama tahun 2011, yakni pada posisi 4.193,44, sedangkan titik terendah pada posisi 3.269,45 terjadi pada tanggal 4 Oktober 2011. 188 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 10.1. Perkembangan Indeks Saham di Beberapa Bursa Utama di Asia Pasifik Posisi Indeks Saham Bursa Utama Asia Pasifik Desember 2010 Desember 2011 Philippine Stock Exchange Index 4.201,14 4.371,96 4,07 IDX Composite Stock Price Index 3.703,51 3.821,99 3,20 Kuala Lumpur Stock Exchange Composite Index 1.518,91 1.530,73 0,78 Stock Exchange of Thailand Index 1.032,76 1.025,32 -0,72 KOSPI Index 2.051,00 1.825,74 -10,98 S&P/ASX 200 Index 4.745,20 4.056,56 -14,51 Straits Times Index 3.190,04 2.646,35 -17,04 Nikkei-225 Stock Exchange 10.228,92 8.455,35 -17,34 Hangseng Index 23.035,45 18.434,39 -19,97 Taiwan Stock Exhange Index 8.972,50 7.072,08 -21,18 Shanghai Stock Exchange Composite Index 2.808,08 2.199,42 -21,68 20.509,09 15.454,92 -24,64 1.290,87 866,65 -32,86 BSE Sensex 30 Shenzen Composite Index Perubahan (%) Sumber: Bapepam-LK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 189 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Seiring penguatan IHSG, nilai kapitalisasi pasar saham Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami peningkatan 8,94 persen, yaitu dari Rp3.247,10 triliun pada akhir tahun 2010 menjadi Rp3.537,29 triliun pada akhir tahun 2011. Total nilai transaksi saham meningkat 4,01 persen dari Rp1.176,24 triliun di tahun 2010 menjadi Rp1.223,44 triliun di tahun 2011. Kondisi yang sama terjadi pada nilai transaksi rata-rata harian yang meningkat dari Rp4,80 triliun per hari menjadi Rp4,95 triliun per hari. Dari total nilai transaksi saham, sebesar 64,93 persen atau Rp794,34 triliun dilakukan oleh investor domestik, sedangkan Rp429,09 triliun atau 35,07 persen merupakan transaksi yang dilakukan oleh investor asing. Jika dilihat dari nilai bersih transaksi saham yang dilakukan investor asing, sepanjang tahun 2011, terjadi aliran masuk dana asing (net inflow of foreign capital) sebesar Rp24,29 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2010, dengan aliran masuk dana asing bernilai Rp20,98 triliun. Prestasi IHSG selain dipengaruhi oleh faktor eksternal, juga tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Kebijakan yang ditempuh pada tahun 2011 antara lain berupa Pengembangan Infrastruktur Pasar Modal (PIPM) yang merupakan kerja sama BapepamLK dengan Self Regulatory Organizations sejak akhir 2009. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah berikut ini. 1. Pengembangan Straight Through Processing (STP) atau sistem perdagangan efek terintegrasi merupakan sebuah sistem untuk melakukan eksekusi pesanan dan penyelesaian secara elektronik dan otomatis tanpa intervensi proses manual. Rangkaian kegiatan pengembangan STP yang meliputi tes keseluruhan pengembangan Risk Engine, Sistem Roll Out dan Pengujian dengan Partisipan, serta Kliring berdasarkan SID dan Efek telah diselesaikan pada tahun 2011. Selanjutnya, STP ditargetkan dapat diterapkan pada semester I tahun 2012. 2. Pengembangan Single Investor Identity (SID) merupakan salah satu kegiatan yang mendukung penerapan keterbukaan aset nasabah dan implementasi STP. Hingga akhir tahun 2011, jumlah SID meningkat sangat signifikan, yakni mencapai 80 persen dari nasabah yang ada. 3. Pengembangan data dan informasi warehouse merupakan suatu inisiatif yang ditempuh untuk mengintegrasikan data dan informasi yang ada pada masing-masing institusi. Pada tahun 2011, penyusunan data model telah diselesaikan dan dilanjutkan dengan tahap pembangunan data warehouse. Kegiatan ini akan berlanjut hingga tahun 2012. Bapepam-LK telah melakukan pengawasan untuk mendukung pengembangan pasar modal dan sekaligus memastikan terpenuhinya peraturan perundangan-undangan oleh pelaku pasar modal. Kegiatan yang dilakukan pada tahun 2011 meliputi: 1. pengawasan terhadap 146 Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek (PPE) dan atau Penjamin Emisi Efek (PEE); 2. pemeriksaan terhadap 36 Perusahaan Efek; 3. monitoring setempat terhadap 24 Perusahaan Efek; serta 4. pemantauan transaksi perdagangan saham terhadap 445 perusahaan tercatat, 38 warrant, 314 seri obligasi perusahaan, dan 111 seri SBN. Dari kegiatan pengawasan ditemukan terdapat beberapa pelaku pasar modal yang belum memenuhi peraturan perundang-undangan, sehingga mendapat sanksi. 190 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 10.1.2. Industri Pengelolaan Investasi Kondisi perekonomian Indonesia semakin membaik pada tahun 2011 yang tercermin dari meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan III sebesar 6,5 persen dibanding triwulan III tahun 2010 (y-on-y), ditetapkannya BI Rate sebesar 6 persen atau turun 50 basis poin, dan keputusan Moody’s untuk menaikkan peringkat kredit Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3. Kondisi perekonomian yang kondusif turut mendorong tumbuhnya industri pengelolaan investasi. Total Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada akhir tahun 2011 tercatat sebesar Rp172,09 triliun atau meningkat 12,27 persen bila dibandingkan dengan akhir tahun 2010 sebesar Rp153,28 triliun. Perkembangan Reksa Dana pada tahun 2011 juga terlihat dari peningkatan jumlah Unit Penyertaan (UP), yaitu dari 82,08 miliar unit menjadi 98,98 miliar unit pada periode yang sama atau mengalami kenaikan sebesar 20,59 persen. Jumlah rekening investor pemegang UP juga mengalami peningkatan. Pada triwulan IV, jumlah rekening pemegang UP Reksa Dana tercatat sebanyak 476.940 rekening, meningkat 34,84 persen dibanding posisi akhir bulan Desember tahun 2010 yang tercatat sebanyak 353.704 rekening. Pertumbuhan industri pengelolaan investasi tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dilakukan oleh BapepamLK pada tahun 2011. Kebijakan strategis dimaksud antara lain berikut ini. 1. Pembangunan sistem e-licensing Manajer Investasi dan e-registration Reksa Dana Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, Bapepam-LK bersama PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) membangun sistem pelayanan perizinan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi dan sistem pernyataan pendaftaran produk Reksa Dana. Sistem Perizinan Manajer Investasi merupakan sistem pelayanan secara elekronik untuk meningkatkan efisiensi dan transpransi proses pemberian izin serta permohonan pergantian Direksi dan Komisaris Manajer Investasi. 2. Penerbitan produk reksa dana untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Bapepam-LK telah mengeluarkan 2 produk investasi untuk pembiayaan UMKM, yaitu Reksa Dana Penyertaan Terbatas Danareksa BUMN Fund 2011 Microfinancing dan Reksa Dana Penyertaan Terbatas PNM Pembiayaan Mikro BUMN 2011 yang diterbitkan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Total nilai pembiayaan adalah sebesar Rp300 miliar dengan skema pembiayaan disalurkan melalui produk investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas. 3. Pengembangan Aplikasi Industri Reksa Dana (ARIA). Untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap industri Reksa Dana, Bapepam-LK berupaya mengembangkan ARIA untuk memperoleh informasi mengenai APERD dan WAPERD yang mendapatkan ijin, serta referensi mengenai produk Reksa Dana. Pada tahun 2011, Bapepam-LK telah selesai mengembangkan sistem pelaporan ARIA yang terdiri dari: t pelaporan elektronik Profil Agen Penjual Efek Reksa Dana/APERD (termasuk cabang APERD dan produk Reksa Dana yang didistribusikan oleh APERD); t pelaporan elektronik Profil Bank Kustodian; t pelaporan elektronik tenaga pemasar Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana/ WAPERD; t pelaporan elektronik profil investor Reksa Dana; serta t pelaporan elektronik data transaksi investor Reksa Dana. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 191 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Untuk mendukung pengembangan industri pengelolaan investasi dan memastikan bahwa peraturan perundangan-undangan ditaati oleh para pelaku, maka Bapepam-LK telah melakukan serangkaian kegiatan pengawasan pada tahun 2011. 1. evaluasi terhadap 48 Manajer Investasi; serta 2. pemeriksaan kepatuhan terhadap 26 Manajer Investasi, 17 APERD, 291 Reksa Dana, 1 KIK-EBA, 4 Bank Kustodian, dan 1 Penasihat Investasi. Dari kegiatan pengawasan diketahui bahwa masih terdapat beberapa pelaku yang mendapatkan sanksi, karena belum memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10.1.3. Emiten dan Perusahaan Publik Pada tahun 2011, terdapat 25 perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana saham. Jumlah ini naik 4,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 24 perusahaan. Namun, dari sisi nilai Penawaran Umum, nilai emisi pada tahun 2011 menurun 33,25 persen dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari Rp29.512.130.725.000 menjadi Rp19.697.949.120.000. Penawaran Umum saham dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau Right Issue juga mengalami penurunan, baik dalam hal nilai emisi maupun jumlah emiten. Pada tahun 2011, terdapat 25 Emiten yang melakukan HMETD, turun 19,35 persen dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 31 Emiten. Sedangkan nilai emisi Right Issue menurun 18,24 persen dari Rp48.669.235.936.693 menjadi Rp39.790.821.731.900. Selain melalui penawaran umum saham, terdapat alternatif lain bagi pelaku usaha untuk memperoleh dana di Pasar Modal, yaitu Penawaran Umum Obligasi dan Sukuk. Dengan diterbitkannya Peraturan Bapepam Nomor IX.A.15 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan pada tanggal 30 Desember 2010, Emiten memiliki tambahan alternatif dalam menerbitkan Obligasi, yaitu melalui Penawaran Umum Berkelanjutan. Selama tahun 2011, terdapat 40 Penawaran Umum Obligasi dan Sukuk yang dilakukan oleh 36 Emiten. Sedangkan 9 perusahaan melakukan Penawaran Umum Obligasi melalui Penawaran Umum Berkelanjutan. Penawaran Umum Obligasi dan sukuk yang dilakukan tahun 2011 terdiri dari: 1. Penawaran Umum Obligasi sebanyak 29 penawaran dengan nilai Penawaran Umum sebesar Rp30.963.000.000.000; 2. Penawaran Umum Sukuk sebanyak 1 penawaran, yaitu PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dengan nilai Rp100.000.000.000; dan 3. Penawaran Umum Obligasi melalui Penawaran Umum Berkelanjutan dilakukan oleh 9 Emiten dengan nilai Penawaran Umum Obligasi Berkelanjutan Tahap I sebesar Rp14.773.000.000.000 dan USD50.000.000, serta 1 Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Berkelanjutan Tahap II senilai USD30.000.000. Berdasarkan Prospektus Emiten dan Perusahaan Publik yang melakukan penawaran umum di tahun 2011, persentase terbesar dari penggunaan dana emisi adalah untuk ekspansi, yaitu 76 persen atau Rp80.754.465.416.528. Penggunaan dana lainnya adalah untuk melakukan penyertaan pada perusahaan lain maupun pada anak perusahaan sebesar 3 persen atau sekitar Rp3,5 triliun. Selanjutnya, penggunaan dana untuk akuisisi sebesar 6 persen atau Rp6,4 triliun, modal kerja sebesar 5 persen atau Rp5,1 triliun, restrukturisasi utang sebesar 9 persen atau Rp9,1 triliun, dan 1 persen atau Rp1,04 untuk lainnya. 192 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 10.2. Penggunaan Dana Hasil Emisi Tahun 2011 Penggunaan Dana Sektor Jasa (Rp) Sektor Riil (Rp) Total (Rp) Persentase (%) Total Emisi 87.209.065.901.600 18,814,704,950,300 106,023,770,851,900 100 Ekspansi 69,197,270,794,330 11,555,194,622,198 80.752.465.416.528 76 Penyertaan 3,473,307,854,342 54,036,000,000 3,527,343,854,342 3 Akuisisi 6,401,163,982,732 - 6,401,163,982,732 6 Modal Kerja 3,333,655,493,436 1,809,392,402,078 5,143,047,895,514 5 Restrukturisasi Utang 3,762,728,630,000 5,396,081,926,024 9,158,810,556,024 9 Lain-Lain 1,040,939,146,761 - 1,040,939,146,761 1 Sumber: Bapepam-LK. Bapepam-LK telah menerbitkan beberapa kebijakan strategis pada tahun 2011 untuk melaksanakan fungsi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Emiten dan Perusahaan Publik. Kebijakan dimaksud antara lain adalah pemberian kemudahan dalam penawaran umum obligasi melalui penerbitan Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.A.15 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan. Penawaran umum ini merupakan kegiatan Penawaran Umum atas Efek yang bersifat utang dan atau Sukuk yang dilakukan secara bertahap, dalam waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu. Emiten yang memenuhi persyaratan tertentu diberikan kemudahan dengan hanya sekali mengajukan Pernyataan Pendaftaran untuk beberapa penerbitan Obligasi yang akan dilakukan dalam 2 tahun secara bertahap. Pada tahap kedua dan seterusnya, Emiten hanya berkewajiban menyampaikan informasi tambahan dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam-LK serta mengumumkan informasi tambahan dimaksud dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sebelum dimulainya masa penawaran yang direncanakan. Selain kemudahan dalam penerbitan obligasi, pada tahun 2011 telah dilaksanakan finalisasi pembentukan sistem Integrasi Data Emiten atau SIEMI (Sistem Informasi Emiten). Sistem ini mengintegrasikan data Emiten dan Perusahaan Publik, termasuk laporan-laporan yang disampaikan, sehingga meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Emiten dan Perusahaan Publik. SIEMI mulai digunakan pada bulan Agustus 2011 dan akan terus dikembangkan. Untuk memastikan bahwa para Emiten dan Perusahaan Publik telah memenuhi peraturan perundang-undangan, maka Bapepam-LK melakukan kegiatan pengawasan yang terdiri dari: 1. Penelaahan 284 Laporan Keuangan Tahunan, 334 Laporan Tahunan, 264 Laporan Keuangan Tengah Tahunan Emiten dan Perusahaan Publik; serta 2. Pemeriksaan teknis terhadap 34 Emiten dan Perusahaan Publik. 10.2. Kinerja Industri Keuangan Non Bank 10.2.1. Industri Perasuransian Perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan pada tahun 2011. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tumbuh 6,5 persen dibandingkan tahun 2010. Selain itu, tingkat inflasi tahun 2011 berada di angka 3,79 persen, lebih rendah 3,17 persen jika dibandingkan tingkat inflasi tahun sebelumnya (6,96 persen). www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 193 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kondisi ini berdampak positif terhadap perkembangan industri perasuransian, yang terlihat dari peningkatan beberapa indikator utama, seperti total aset, investasi, dan premi bruto. Di tahun 2011, total aset perusahaan asuransi dan reasuransi meningkat 18,84 persen dibandingkan posisi akhir tahun 2010 atau nilainya meningkat dari Rp405,16 triliun menjadi Rp481,50 triliun. Sebesar 87,30 persen atau Rp420,35 triliun dari total aset perusahaan asuransi dan reasuransi ditempatkan dalam berbagai instrumen investasi. Total investasi ini naik 17,93 persen dibandingkan tahun 2010 yang bernilai Rp356,45 triliun. Dari sisi perolehan premi, selama tahun 2011, total premi yang dihimpun mengalami kenaikan 29,58 persen dibandingkan tahun 2010, yaitu dari Rp125,07 triliun menjadi Rp162,07 triliun. Total nilai premi tersebut mencapai 2,18 persen dari PDB tahun 2011. Adapun premi per jumlah penduduk atau densitas asuransi pada periode yang sama mencapai Rp672.497 per orang. Perkembangan industri perasuransian tidak terlepas dari kerja keras para pelaku usaha dalam mengembangkan industri perasuransian serta peran Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas dalam mengeluarkan kebijakan dan melakukan pengawasan untuk mendukung perkembangan industri perasuransian yang sehat dan mampu melindungi kepentingan pemegang polis. Selama tahun 2011, beberapa kebijakan strategis telah diambil Bapepam-LK untuk mengembangkan industri perasuransian, antara lain yaitu penyempurnaan aplikasi pendukung pengawasan perasuransian, pengembangan Risk Based Supervision (RBS), dan penerapan Early Warning System (EWS). Sampai dengan akhir tahun 2011, terdapat 2 aplikasi yang telah selesai dibangun dan diuji coba, yaitu e-reporting perusahaan asuransi jiwa konvensional dan e-reporting perusahaan asuransi kerugian konvensional. Selain kedua aplikasi tersebut, juga telah selesai dibangun aplikasi e-reporting laporan perusahaan pialang asuransi dan reasuransi, namun belum dilakukan uji coba. Bapepam-LK juga telah menyusun modul yang menjadi pedoman umum dalam penilaian masing-masing risiko serta kualitas manajemen dan pengendalian yang dimiliki perusahaan. Untuk menerapkan RBS secara efektif, pada tahun 2012, Bapepam-LK akan menyusun pedoman yang lebih rinci untuk menilai risiko, menyiapkan format standar penilaian risiko perusahaan, serta melakukan review dan penyempurnaan jenis dan format laporan berkala yang harus disampaikan oleh perusahaan asuransi. Pada tahun 2011, Bapepam-LK mulai menerapkan EWS dalam pengawasan kondisi keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi. EWS merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai secara dini risiko keuangan yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan reasuransi. Berdasarkan hasil analisis EWS, BapepamLK dapat lebih memfokuskan pembinaan pada aspek-aspek yang memerlukan pengawasan secara intensif dan segera. Analisis EWS dilakukan oleh Bapepam-LK berdasarkan laporan reguler yang disampaikan perusahaan asuransi, yaitu laporan keuangan dan laporan operasional, baik triwulanan maupun tahunan, serta informasi lain. Analisis dapat pula dilakukan untuk periode yang lebih sering, misalnya secara bulanan. Bapepam-LK telah melakukan kegiatan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian sepanjang tahun 2011, yaitu antara lain penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemeriksaan 127 perusahaan perasuransian. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan sebagai upaya agar direksi dan komisaris perusahaan perasuransian memiliki kemampuan dan integritas yang baik dalam mengelola perusahaan, sehingga dapat melindungi kepentingan pemegang polis. Bapepam-LK telah melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan direksi dan komisaris perusahaan perasuransian sebanyak 301 kali. Sejumlah 95 persen dari direktur dan komisaris, yaitu 194 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 285 orang, telah memiliki kemampuan dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan, serta memiliki integritas dalam mengelola perusahaan perasuransian sesuai dengan peraturan yang berlaku. 10.2.2. Industri Dana Pensiun Industri dana pensiun berpotensi untuk berperan strategis dalam perekonomian nasional, karena dapat menjadi salah satu sumber pendanaan jangka panjang untuk membiayai program-program pembangunan. Meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan tren kenaikan dalam hal jumlah kekayaan dan peserta, harus diakui bahwa pertumbuhan industri dana pensiun di Indonesia masih belum menggembirakan. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengikuti program pensiun relatif masih rendah. Pada tahun 2011, terdapat 4 pengesahan pembentukan dana pensiun baru, yaitu 3 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 1 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Sampai dengan akhir Desember 2011, jumlah dana pensiun di Indonesia berjumlah 270, yang terdiri atas 245 DPPK dan 25 DPLK. Sementara itu, jumlah peserta dana pensiun mencapai 2.817.997 orang, meningkat 136.764 orang atau 5,10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja Indonesia yang mencapai 109.670.399 orang (data BPS Agustus 2011), hanya sekitar 2,57 persen dari jumlah tersebut yang memiliki program pensiun. Fakta ini menunjukkan potensi yang masih sangat besar bagi industri ini untuk berkembang. Berdasarkan data per 30 Juni 2011, total kekayaan dana pensiun mencapai Rp136,2 triliun atau meningkat 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Dari total kekayaan dana pensiun, penempatan pada instrumen investasi mencapai Rp130,1 triliun yang sebagian besar terserap dalam instrumen-instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN), obligasi, deposito, dan saham. Selain dipengaruhi oleh faktor eksternal, perkembangan industri Dana Pensiun tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK. Selama tahun 2011 beberapa kebijakan strategis telah dilakukan untuk mengembangkan industri Dana Pensiun. 1. Fit and Proper Kegiatan penilaian kemampuan dan kepatutan Dana Pensiun dimulai pada bulan Mei 2011. Sampai dengan Desember 2011, Bapepam-LK telah melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap 74 orang, terdiri atas penilaian kemampuan dan kepatutan 70 calon pengurus DPPK dan 4 calon pelaksana tugas pengurus DPLK. Sebagai penguji dalam setiap kegiatan penilaian kemampuan dan kepatutan, dibentuk tim penguji yang terdiri dari 2 orang dari Bapepam-LK dan 1 orang yang berasal dari luar Bapepam-LK yang merupakan praktisi dan profesional di bidang yang terkait dengan industri dana pensiun. 2. Pengembangan Data Digital Dana Pensiun (D3P) D3P adalah suatu aplikasi yang dibuat untuk melakukan proses input data laporan berkala dari Dana Pensiun kepada Bapepam-LK secara lebih cepat. Data yang disampaikan melalui aplikasi D3P sangat berguna untuk analisis awal ataupun SPERIS. Demikian pula halnya dalam kegiatan pemeriksaan, data tersebut menjadi dasar dalam membuat perencanaan kegiatan pemeriksaan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh aplikasi D3P menjadi sumber utama dalam proses pembuatan data statistik industri Dana Pensiun. Dalam rangka memastikan terpenuhinya peraturan perundangan-undangan oleh perusahaan Dana Pensiun, Bapepam-LK melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam-LK pada tahun 2011 antara lain melakukan pemeriksaan terhadap 50 Dana Pensiun. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ratarata nilai risiko Dana Pensiun secara kualitatif berada pada tingkat risiko sedang. Dilihat dari modul risikonya, www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 195 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA risiko yang memiliki nilai rata-rata tertinggi adalah risiko operasional dan pengelolaan kekayaan. Sedangkan risiko yang memiliki nilai rata-rata terendah adalah risiko disain dan strategi serta iuran. 10.2.3. Industri Pembiayaan dan Penjaminan a. Industri Pembiayaan Sejalan dengan kondisi ekonomi makro Indonesia yang kondusif, industri pembiayaan mengalami perkembangan positif. Aset industri Perusahaan Pembiayaan mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu 26,52 persen dari Rp230,3 triliun di akhir tahun 2010 menjadi Rp291,4 triliun di akhir tahun 2011. Perkembangan positif lainnya adalah penyaluran piutang pembiayaan yang tumbuh rata-rata 2,32 persen per bulan, sehingga nilai piutang pembiayaan pada akhir tahun 2011 mencapai Rp245,3 triliun atau sekitar 84,18 persen dari total aset industri. Perkembangan industri pembiayaan tersebut, selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro Indonesia, juga tidak terlepas dari kebijakan strategis Bapepam-LK. Kebijakan strategis yang dilakukan pada tahun 2011 antara lain mendorong perusahaan pembiayaan untuk memenuhi Rasio Permodalan minimal 50 persen. Sampai dengan akhir 2011, terdapat 190 dari 195 perusahaan pembiayaan yang memenuhi Rasio Permodalan. Untuk memastikan bahwa industri pembiayaan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada, Bapepam-LK senantiasa melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan pada tahun 2011 antara lain fit and proper test terhadap 179 calon Direksi dan calon Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan, pemeriksaan 43 Perusahaan Pembiayaan, pencabutan 1 izin usaha Perusahaan Pembiayaan, dan pemberian sanksi administratif kepada 27 Perusahaan Pembiayaan karena keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan Audit 2010 dan 5 Perusahaan Pembiayaan karena keterlambatan penyampaian Laporan Bulanan selama 2011. b. Industri Penjaminan Kinerja keuangan industri Perusahaan Penjaminan pada tahun 2011 cukup baik yang dapat terlihat dari peningkatan nilai total aset, investasi, dan ekuitas. Total aset Perusahaan Penjaminan pada Desember 2011 adalah Rp5,09 triliun atau meningkat 63,76 persen dibandingkan dengan Desember 2010, yang tercatat sebesar Rp3,11 triliun. Sementara itu, total investasi Perusahaan Penjaminan pada Desember 2011 adalah Rp3,02 triliun atau meningkat 91,20 persen dibandingkan dengan November 2011 yang tercatat sebesar Rp1,58 triliun. Di lain pihak, nilai ekuitas Perusahaan Penjaminan mencapai Rp3,65 triliun atau meningkat 81,46 persen dibandingkan dengan Desember 2010 yang tercatat sebesar Rp2,01 triliun. Berdasarkan masukan dari berbagai stakeholders, pengembangan industri Perusahaan Penjaminan pada tahun 2011 difokuskan pada penyesuaian ketentuan modal disetor minimum yang dianggap menghambat pertumbuhan jumlah Perusahaan Penjaminan baru. Penyesuaian ketentuan modal dimaksud dilakukan oleh Bapepam-LK melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Perubahan yang dilakukan meliputi: 1. modal disetor minimum Perusahaan Penjaminan dengan lingkup provinsi diturunkan dari Rp50 miliar menjadi Rp25 miliar; dan 2. 196 | modal disetor minimum Perusahaan Penjaminan Ulang diturunkan dari Rp1 triliun menjadi Rp200 miliar. LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Perusahaan Penjaminan, Bapepam-LK melaksanakan pengawasan secara tidak langsung (off-site supervision) dan pengawasan secara langsung (on-site supervision). Pengawasan secara tidak langsung dilaksanakan dengan monitoring dan analisis atas laporan bulanan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit yang dilaporkan secara periodik oleh Perusahaan Penjaminan. Sedangkan pengawasan secara langsung dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan lapangan. Sepanjang tahun 2011, Bapepam-LK telah melakukan pemeriksaan terhadap 4 kantor pusat Perusahaan Penjaminan dan 3 kantor cabang Perusahaan Penjaminan. 10.3. Penegakan Hukum 10.3.1. Pemeriksaan dan Penyidikan Sepanjang tahun 2011, Bapepam-LK menangani kasus dugaan pelanggaran di bidang pasar modal dengan modus yang sangat beragam. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas dan kualitas pelanggaran, maka dibutuhkan proses penegakan hukum yang lebih agresif dan komprehensif. Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan kuantitas pemeriksa dan penyidik di bidang pasar modal mutlak diperlukan. Saat ini, peningkatan kualitas pemeriksa dan penyidik dilakukan secara berkelanjutan melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan di dalam maupun luar negeri. Dalam hal penyelenggaraan pelatihan, Bapepam-LK melakukan kerja sama dengan beberapa pihak, seperti praktisi hukum, akuntansi, teknologi informasi, serta pihak kepolisian dan kejaksaan, demi menunjang kelancaran proses penegakan hukum di pasar modal. Jumlah pemeriksaan yang ditangani Bapepam-LK mengalami peningkatan dari 130 kasus di tahun 2010 menjadi 178 kasus pada tahun 2011. Dari 178 kasus tersebut, 59 kasus telah selesai dan dikenakan sanksi administratif oleh Bapepam-LK dan/atau perintah untuk melakukan tindakan tertentu kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, 4 kasus ditutup demi hukum karena tidak terbukti adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, 81 kasus telah selesai pada tahap proses pemeriksaan namun masih menunggu proses pengenaan sanksi dan proses lebih lanjut, dan 34 kasus masih dalam proses pemeriksaan. Sejumlah 81 kasus terkait transaksi dan Lembaga Efek, 78 kasus terkait Emiten atau Perusahaan Publik, dan 19 kasus terkait pelanggaran di bidang pengelolaan investasi. Tabel 10.3. Penanganan Kasus pada Tahun 2011 Penanganan Kasus Jumlah Kasus 63 Kasus Selesai 59 - Dikenakan Sanksi 4 - Ditutup Demi Hukum Kasus Dalam Proses Pengenaan Sanksi Kasus Dalam Proses Pemeriksaan 81 34 Jumlah 178 Sumber: Bapepam-LK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 197 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 10.3.2. Pengenaan Sanksi Sebagai bagian dari upaya penegakan hukum, penetapan sanksi kepada para pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan di pasar modal dan industri keuangan non bank diperlukan sebagai efek jera bagi para pelaku pelanggaran agar tidak mengulangi perbuatannya dan sebagai bentuk peringatan bagi pihak lain agar tidak melakukan hal yang sama. Bentuk sanksi yang ditetapkan cukup beragam, yaitu sanksi administratif berupa denda, peringatan tertulis sampai pada pembekuan dan pencabutan izin usaha, baik kepada institusi maupun kepada perorangan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, Bapepam-LK selalu melakukan paparan publik atas sanksi yang telah ditetapkan, khususnya terhadap kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Pada industri pasar modal, di tahun 2011, Bapepam-LK telah menetapkan 321 surat Sanksi Administratif berupa denda kepada Emiten atau Perusahaan Publik dengan total denda sebesar Rp10.653.300.000. Sanksi administratif ini ditetapkan karena adanya beberapa pelanggaran atas ketentuan peraturan di pasar modal, baik karena keterlambatan penyampaian laporan berkala dan laporan insidentil atau karena kasus lainnya, antara lain pelanggaran atas transaksi material dan hak memesan efek terlebih dahulu. Sementara itu, Sanksi Administratif berupa denda kepada PE sebagai PEE maupun PPE telah ditetapkan sebanyak 39 surat sanksi dengan total denda sebesar Rp1.528.300.000 dan PE sebagai MI sebanyak 39 surat sanksi dengan total denda Rp465.400.000. Tabel 10.4. Sanksi Administratif pada Industri Pasar Modal Tahun 2011 Denda Sanksi Pihak Jumlah Surat Emiten Rp (000) Peringatan Tertulis Pembatasan Usaha 321 10.653.300 38 - - - 46 1.075.400 1 - 1 11 Perantara Pedagang Efek 15 82.300 - - - - Penjamin Emisi Efek 24 1.446.000 - - - - Manajer Investasi 39 465.400 4 - - 2 Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian - - - - - - Lembaga Kliring dan Penjaminan - - - - - - Perusahaan Pemeringkat Efek 1 500 - - - - Akuntan Publik 90 470.700 3 - 6 - Penilai 20 74.300 - - - - Biro Administrasi Efek 3 20.300 - - - - Wali Amanat - - - - - - Bank Kustodian - - 1 - - - Wakil Perusahaan Efek - - - - 2 - Wakil Perantara Pedagang Efek - - - - 2 2 Wakil Penjamin Emisi Efek - - - - 1 3 Wakil Manajer Investasi 1 2.800 1 - 1 3 Perorangan 4 706.600 - - - - 564 14.997.600 48 - 13 21 Sumber: Bapepam-LK. | Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Efek Jumlah 198 Pembekuan Usaha LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Bapepam-LK juga memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran sebanyak 90 surat sanksi kepada Akuntan dengan jumlah denda Rp470.700.000 dan 20 surat sanksi kepada Penilai dengan jumlah denda Rp74.300.000. Selain itu, Bapepam-LK telah menerbitkan 3 surat sanksi kepada Biro Administrasi Efek dengan jumlah denda Rp20.300.000. Tabel 10.5. Jumlah dan Jenis Sanksi terhadap Perusahaan Perasuransian Tahun 2011 Jumlah Sanksi Asuransi Jiwa 180 33 SP I dan Terakhir 23 SP II 33 Jenis Sanksi Asuransi Kerugian Reasuransi Pialang Asuransi Pialang Reasuransi Konsultan Aktuaria Penilai Kerugian Pengenaan SP I SP II dan terakhir 83 1 11 5 - 4 12 - 53 8 1 1 3 - 2 2 15 2 - - 3 1 2 - - - - - 21 2 10 - 7 2 - - Pembatasan Kegiatan Usaha 8 2 3 - 2 1 - - Penegasan PKU 17 5 4 - 4 - 2 2 Pencabutan Izin Usaha 9 - 3 - 5 - - 1 294 58 122 1 89 13 5 6 125 26 67 - 27 4 1 - SP III Jumlah sanksi per jenis perusahaan Pencabutan SP I SP I dan Terakhir 7 3 3 - 1 - - - SP II 16 4 5 - 7 - - - SP III 13 4 2 - 7 - - - Pembatasan Kegiatan Usaha 6 - 3 - 2 - - 1 Penegasan PKU 3 2 - - 1 - - - 170 39 80 0 45 4 1 1 Jumlah pencabutan sanksi per jenis perusahaan Sumber: Bapepam-LK. Sebagaimana pada industri pasar modal, dalam pembinaan dan pengawasan terhadap industri keuangan nonbank, Bapepam-LK menemukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2011, Bapepam-LK menerbitkan 260 surat peringatan terhadap perusahaan perasuransian yang terdiri dari 180 surat peringatan pertama, 23 surat peringatan pertama dan terakhir, 33 surat peringatan kedua, 3 surat peringatan kedua dan terakhir, serta 21 surat peringatan ketiga. Beberapa bentuk sanksi yang lebih tegas berupa pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha juga dikenakan kepada beberapa perusahaan perasuransian. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 199 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 10.6. Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan karena Tidak Menyampaikan Laporan Keuangan Bulanan di Tahun 2011 No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan 1. Surat Peringatan Pertama 3 2. Surat Peringatan Kedua 2 3. Surat Peringatan Ketiga - Sumber: Bapepam-LK. Selain sanksi dalam bentuk peringatan, selama tahun 2011 Bapepam-LK juga telah mengenakan denda kepada 28 perusahaan perasuransian karena terlambat menyampaikan laporan tahunan dengan total mencapai Rp3.405 juta. Terdapat 25 Dana Pensiun yang terdiri dari 22 Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 3 Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang terlambat menyampaikan laporan berkala. Atas keterlambatan tersebut, total denda yang dikenakan kepada Dana Pensiun mencapai Rp149.514.000. Sedangkan untuk industri pembiayaan, pengenaan sanksi diberikan dalam bentuk surat peringatan pertama, surat peringatan kedua, surat peringatan ketiga, dan surat pembekuan kegiatan usaha. Tabel 10.7. Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan karena keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan Audit Tahun 2010 No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan 1. Surat Peringatan Pertama 20 2. Surat Peringatan Kedua 5 3. Surat Peringatan Ketiga 2 Sumber: Bapepam-LK. Tabel 10.8. Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan pemeriksaan Tahun 2011 No. Jenis Sanksi 1. Surat Peringatan Pertama 16 2. Surat Peringatan Kedua 9 3. Surat Peringatan Ketiga 6 4. Surat Pembekuan Kegiatan Usaha 1 Sumber: Bapepam-LK. 200 | Jumlah Sanksi LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 10.4. Regulasi Dalam kurun waktu 4 Januari 2011 hingga 29 Desember 2011, Bapepam-LK telah menerbitkan beberapa peraturan baru dan menyempurnakan peraturan yang telah ada. 1. Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/ PMK.010/2011 tanggal 12 Januari 2011 Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Usaha dengan Prinsip Syariah 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/ Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga PMK.010/2011 tanggal 7 Februari 2011 Keuangan dan Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/ PMK.010/2011 tanggal 12 April 2011 Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil 3. 2. Penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan No. 1. Nomor Keputusan/Peraturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/ PMK.010/2011 tanggal 4 Januari 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 Tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/ PMK.010/2011 tanggal 16 Maret 2011 Perubahan atas PMK Nomor: 492/KMK/06/2004 Tentang Biaya Pengelolaan Program Jaminan Hari Tua 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ PMK.010/2011 tanggal 8 Juli 2011 Perubahan Atas PMK Nomor: 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit 3. Penerbitan Peraturan Baru Bapepam-LK a. Peraturan Bidang Pasar Modal No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang 1. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-395/ BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 Publikasi Laporan Keuangan Tengah Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik 2. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-376/ BL/2011 tanggal 18 Juli 2011 Pedoman Penyiapan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan di Lingkungan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 3. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-620/ BL/2011 tanggal 30 November 2011 Peraturan Nomor VIII.C.5 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Aset Tak berwujud di Pasar Modal www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 201 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Peraturan Bidang Lembaga Keuangan No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang 1. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-01/ BL/2011 tanggal 10 Januari 2011 Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Perusahaan Perasuransian 2. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-02/ BL/2011 tanggal 20 Januari 2011 Pedoman Pemeriksaan LPEI 3. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-03/ BL/2011 tanggal 28 Februari 2011 Pedoman Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Calon Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Negara 4. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-04/ BL/2011 tanggal 18 Maret 2011 Referensi Unsur Premi Murni Serta Unsur Biaya Administrasi dan Biaya Umum Lainnya Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun 2011 5. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-05/ BL/2011 tanggal 30 Maret 2011 Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Pembiayaan 6. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-06/ BL/2011 tanggal 29 April 2011 Bentuk dan Susunan Laporan serta Pengumuman Laporan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah 7. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-07/ BL/2011 tanggal 29 April 2011 Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana yang Harus Disediakan Perusahaan untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian yang Mungkin Timbul dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah 202 | 8. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-08/ BL/2011 tanggal 18 Juli 2011 Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Seluruh atau Sebagian Usahanya Dengan Prinsip Syariah 9. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-09/ BL/2011 tanggal 1 Desember 2011 Pedoman Penghitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4. Penyempurnaan Peraturan Bapepam-LK No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang 1. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-16/ BL/2011 tanggal 18 Januari 2011 Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal 2. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-86/ BL/2011 tanggal 28 Februari 2011 Peraturan Nomor VIII.A.2 tentang independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal 3. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-262/ BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 Peraturan Nomor IV.C.4 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks 4. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-263/ BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 Peraturan Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender Sukarela 5. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-264/ BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 Peraturan Nomor IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka 6. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-346/ BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 Peraturan Nomor X.K.2 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten dan Perusahaan Publik 7. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-375/ BL/2011 tanggal 18 Juli 2011 Pedoman Penyusunan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 8. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-566/ BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 Peraturan Nomor V.D.5 tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan 9. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-614/ BL/2011 tanggal 28 November 2011 Peraturan Nomor IX.E.2 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama 5. Penerbitan Surat Edaran No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang 1. Surat Edaran Ketua Bapepam-LK Nomor SE-03/ BL/2011 tanggal 13 Juli 2011 Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik 2. Surat Edaran Nomor: SE-07/BL/2011, tanggal 31 Oktober 2011 Pedoman Penyusunan Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan 10.5. Infrastruktur Penunjang Industri Keuangan Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai regulator pasar modal dan industri keuangan non bank, Bapepam-LK memiliki infrastruktur penunjang untuk internal organisasi maupun industri. Berikut ini adalah beberapa infrastruktur penunjang yang dikembangkan oleh Bapepam-LK selama tahun 2011. 1. Penyempurnaan Standard Operating Procedures (SOP) Pada tahun 2011, Bapepam-LK telah melakukan 11 penyempurnaan SOP lama dan 16 usulan SOP baru. SOP yang direvisi diantaranya adalah SOP Pemeriksaan Kepatuhan Perusahaan Efek dan SOP Kegiatan Studi/ Pengkajian. Sementara SOP baru yang akan ditetapkan sebagian besar terkait dengan Peraturan Nomor II.E.1 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Bapepam-LK dan Peraturan Nomor II.E.2 tentang Pedoman Penyiapan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan di Lingkungan Bapepam-LK. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 203 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Teknologi Informasi Selama tahun 2011, Bapepam-LK melakukan beberapa pengembangan teknologi informasi. t Penerapan Sistem Informasi Manajemen Pelaporan Perusahaan Efek secara Elektronik yang telah diujicobakan pada tahun 2011. Sistem laporan secara elektronik mempermudah Bapepam-LK dalam mengawasi kegiatan Perusahaan Efek, terutama untuk Perantara Pedagang Efek. t Pengembangan Sistem Perizinan Elektronik (electronic licencing) Wakil Perusahaan Efek dan Profesi Penunjang Pasar Modal. t Pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik (electronic reporting), Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Pembiayaan, serta pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik Perusahaan Efek. t Penyempurnaan dan pengembangan sistem manajemen pengaduan, sehingga masyarakat semakin mudah menyampaikan pengaduannya dan kerahasiaannya terjamin, serta tindak lanjut dari pengaduan tersebut dapat dimonitor lebih mudah oleh Bapepam-LK. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik, Bapepam-LK juga telah mengembangkan Sistem Aplikasi Penyediaan Informasi Publik. t Pengembangan Sistem Informasi Emiten dan Perusahaan Publik (SIEMI). Sedangkan untuk pengawasan internal, Bapepam-LK mengembangkan Sistem Aplikasi Audit Internal dan Sistem Aplikasi Manajemen Risiko. t Melakukan penyempurnaan sistem informasi terpadu (Portal) yang ada. Penyempurnaan yang dilakukan terhadap Portal selama tahun 2011 antara lain sistem aplikasi kepatuhan Biro Administrasi Efek, sistem aplikasi kepatuhan Bank Kustodian, sistem aplikasi kepatuhan Perusahaan Efek, sistem administrasi pemeriksaan perasuransian, dan Database Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Pendapat Hukum di Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Untuk mempermudah dan memperlancar proses penyidikan, Bapepam-LK mengembangkan Format Sistem Administrasi Penyidikan (FORSISMINDIK). Dalam hal pembangunan data warehouse pasar modal, Bapepam-LK bekerja sama dengan SROs pada tahun 2011 telah melakukan analisis dan pemetaan data untuk kebutuhan perencanaan pembangunan data warehouse industri pasar modal dan telah melaksanakan pengadaan server untuk kebutuhan implementasi data warehouse yang pada tahun 2012 akan diujicobakan. Berkaitan dengan pelaporan Emiten dan atau Perusahaan Publik, sejak tahun 2010, Bapepam-LK bekerja sama dengan PT. BEI mengembangkan sistem pelaporan Emiten dan Perusahaan Publik. Nantinya, Emiten dan Perusahaan Publik dapat menyampaikan kewajiban pelaporannya secara elektronik, sehingga Bapepam-LK menjadi lebih mudah dalam mengawasi kegiatan Emiten dan Perusahaan Publik. 204 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA halaman ini sengaja dikosongkan www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 205 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 11 Kerjasama Internasional 11.1. Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional Selain melaksanakan tugas sebagai pengelola fiskal, Kementerian Keuangan juga menjalankan kebijakan hubungan dan kerja sama internasional melalui kerja sama Multilateral, Forum G20, kerja sama Regional, kerja sama Bilateral, dan kerja sama Kawasan ASEAN. Kementerian Keuangan senantiasa memberikan kontribusi yang bermakna dan sekaligus mengupayakan agar Indonesia memperoleh manfaat dari setiap forum yang diikuti. Hubungan dan kerja sama internasional dari waktu ke waktu terjalin dengan semakin kondusif dan produktif. 11.1.1. Kerja Sama Multilateral Berlanjutnya dampak krisis keuangan Amerika Serikat dan Eropa di tahun 2011 telah mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan regional di beberapa kawasan. Walaupun Asia, khususnya Asia Tenggara, masih menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif dan relatif tinggi, namun berlanjutnya sovereign debt crisis di Eropa mengancam terciptanya perlambatan pertumbuhan ekonomi kawasan. Hal ini diperparah dengan masih tingginya harga beberapa komoditi kunci, seperti minyak bumi, yang dapat menyebabkan inflasi di negara-negara pengimpor. Di sisi lain, keuangan syariah meskipun lebih tahan atas krisis keuangan global, namun tetap saja terpengaruh mengingat sistem keuangan dunia yang menyatu. Sebagai negara yang memiliki volume perdagangan cukup besar dengan kawasan Eropa dan Amerika Serikat, sekaligus negara yang berstatus sebagai net importer minyak bumi, kedua tekanan berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menyikapi ancaman-ancaman tersebut, Indonesia perlu melakukan langkahlangkah proaktif di semua lini kunci. Salah satu lini yang perlu dibenahi adalah peningkatan kualitas dan efektivitas kebijakan ekonomi nasional dalam menghadapi perkembangan perekonomian global dan risiko yang 206 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dikandungnya. Dalam rangka mempertangguh respon kebijakan, Pemerintah perlu memperkuat kerja sama dan kolaborasi internasional, baik dalam hal surveillance ekonomi dan keuangan maupun penguatan kebijakan dan modal. Sebagai unit terdepan dalam mengkoordinasikan dan menggalang kerja sama multilateral di bidang kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan c.q. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan penguatan kapasitas, jaringan kerja, dan kerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank (IDB). Kerja sama yang dibangun tidak terbatas pada bidang keuangan, namun dapat lebih luas dalam hal riset, studi, kajian, dan bahkan uji coba konsep dan standar kebijakan, seperti yang dilakukan dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Untuk menopang upaya-upaya peningkatan kerja sama ini, selama tahun 2011 telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, operasional, dan khusus. a. Kegiatan Rutin dan Operasional Sepanjang tahun 2011 telah dilakukan serangkaian penatakelolaan kerja sama dengan berbagai organisasi dan lembaga keuangan internasional. 1. Penatakelolaan ijin prinsip bagi investasi lembaga keuangan internasional (LKI) swasta maupun Pemerintah, di mana proses pemberian ijin prinsip diupayakan untuk mengarahkan perilaku lembaga investor pada investasi-investasi yang berdampak signifikan secara ekonomi. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 207 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Penatakelolaan iuran, kontribusi, dan penanaman modal Pemerintah pada LKI. Diupayakan untuk mengelola iuran dan menambah modal yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 3. Pengurusan dan persiapan keikutsertaan delegasi Republik Indonesia (RI) pada sidang-sidang internasional yang diselenggarakan oleh LKI serta organisasi dan forum internasional lainnya. Diupayakan agar partisipasi dan kontribusi delegasi RI dapat lebih efektif. 4. Pengurusan dan persiapan kunjungan pejabat lembaga-lembaga keuangan multilateral ke Indonesia. 5. Pengurusan administrasi pegawai Kementerian Keuangan pada lembaga keuangan internasional sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku, seperti dengan Keputusan Menteri untuk tingkat Sekretaris Eksekutif dan Keputusan Presiden untuk tingkat Direktur Eksekutif, serta pengurusan pensiun pegawai yang diperbantukan pada lembaga keuangan internasional. 6. Penentuan kebijakan manajerial, seperti pemilihan Presiden ADB untuk periode berikutnya dan penentuan remunerasi baru bagi Presiden, Direktur, dan Direktur Alternatif. Kegiatan utama yang telah dilakukan adalah proses voting Presiden ADB pada bulan Juni 2011 dengan memilih kembali Presiden Kuroda dan proses voting atas remunerasi Dewan Direktur. Selain itu, memantau pengurusan atas Keputusan Presiden RI tentang Direktur Eksekutif dan perpanjangan penugasan Sekretaris Eksekutif ADB. Di samping itu, telah diterbitkan no objection letter (NOL) atas pergantian Country Director ADB Indonesia Resident Mission (IRM) dan pemberitahuan kepada Presiden IDB bahwa field representative telah pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Keuangan RI. Telah pula diproses NOL kepada ADB atas pembiayaan kepada sektor swasta serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. 7. Pengembangan SDM Indonesia melalui penawaran Program S3 dan Post Doctoral di bidang high tech atas biaya IDB, serta Program IDB Prize dalam keuangan syariah dan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada instansi-intansi terkait, universitas-universitas, dan asosiasi keilmuan. Di samping itu, telah diproses usulan penerima IDB Prize di bidang peranan wanita pada pembangunan dari Indonesia. b. Kegiatan Khusus Selama tahun 2011 juga telah dilakukan beberapa kegiatan khusus berupa penelitian, pengkajian, dan telaahan isu-isu di lingkup lembaga keuangan internasional dan lembaga multilateral lainnya. Penelitian dan pengkajian dilakukan dalam rangka mencari penyelesaian terhadap berbagai isu yang dibahas pada lembaga keuangan multilateral dan juga untuk mengoptimalkan sistem dan jaringan kerja sama internasional yang telah ada. Berbagai instansi Pemerintah di dalam dan luar negeri menjadi obyek penelitian, di mana hasil penelitian berupa temuan model win-win cooperation di antara Pemerintah Singapura dan World Bank. Kerja sama dilakukan dalam bentuk sharing of resources di antara Pemerintah Singapura dan World Bank untuk mendukung berbagai hal terkait investasi dan pembiayaan infrastruktur. Pengkajian dilakukan untuk melihat potensi peningkatan kerja sama teknis non-keuangan di antara Kementerian Keuangan dan World Bank. Topik penelitian ini dipilih untuk merespon arah kebijakan jangka panjang Pemerintah yang secara bertahap akan mengurangi pinjaman luar negeri dan mentransformasikan loan based cooperation menjadi non-loan based cooperation. Kementerian Keuangan bekerja sama dengan IDB dan Lembaga Pengembangan Kepemimpinan Global menyelenggarakan kursus regional mengenai asuransi syariah (takaful) di Jakarta pada tanggal 10-14 Oktober 2011. Selain itu, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan IDB, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dan Bank Indonesia menyelenggarakan lokakarya dengan tema Optimalisasi Akses Pendanaan Sektor Swasta Indonesia atas Sumber Dana Islamic Development Bank Group pada tanggal 15 November 2011 di Jakarta. Telah pula diselenggarakan focused group discussion (FGD) bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana 208 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Malik Ibrahim Malang dengan tema Optimalisasi Fungsi Kelembagaan Universitas dalam rangka Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia pada tanggal 3 November 2011 di Malang, Jawa Timur. Kementerian Keuangan juga telah menyelenggarakan IDB Group Day pada tanggal 11 Mei 2011 di Jakarta. Acara ini mempromosikan kegiatan-kegiatan IDB Group (Islamic Research and Training Institute/IRTI, ICIEC, ICD, dan ITFC) kepada Indonesia, khususnya sektor swasta. Pada acara ini juga diluncurkan Member Country Partnership Strategy (MCPS) IDB-Indonesia, yaitu cetak biru strategi kemitraan IDB di Indonesia untuk periode 2011-2014. Di samping itu, dilakukan kegiatan tripartit dengan pihak lain dalam penyelenggaraan kursus regional mengenai asuransi syariah (takaful). c. Rangkaian Sidang Tahunan Dewan Gubernur ADB Ke-44 Tahun 2011 Rangkaian pertemuan diselenggarakan pada tanggal 3-6 Mei 2011 di Hanoi, Vietnam. Menteri Keuangan RI mengetuai Delegasi RI yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Bank Indonesia. Pada rangkaian pertemuan ini diselenggarakan pula ASEAN+3 Finance Ministers’ Meeting pada tanggal 2 Mei 2011, di mana Menteri Keuangan RI menjadi Co-chair. Dalam Governor’s Speech yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas, Indonesia mengangkat isu ekonomi global, perubahan iklim, perdagangan dan infrastruktur, bencana alam di Asia yang rentan, dan reformasi tata kelola lembaga keuangan internasional sesuai hasil G20. Dalam penutup acara, Presiden ADB menerima masukan-masukan dari para Gubernur, yang dirangkum menjadi isu harga pangan dan minyak, pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDG) dan ketimpangan pembangunan, pembangunan ramah lingkungan, dan kontribusi Asia atas ekonomi dunia yang dijabarkan mulai dari tingkat negara, kawasan, dan global. Untuk kawasan Asia Pasifik, ADB akan memperkuat kantor perwakilannya untuk bekerja sama dengan Pemerintah masing-masing negara dan meningkatkan modal melalui Asian Development Fund (ADF) X dan General Capital Increase (GCI) V untuk mencapai Strategi 2020 dan membantu pembangunan negara anggota. d. Rangkaian Sidang Tahunan Dewan Gubernur IDB Ke-36 Tahun 1432H Rangkaian sidang tahunan yang seharusnya diselenggarakan di Sana’a, Yaman dipindahkan ke Jeddah, Arab Saudi, karena pergolakan politik. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan adalah Sidang Tahunan Dewan Gubernur IDB Ke-36, Sidang Tahunan Dewan Gubernur Islamic Corporation for the Insurance of Investment and Export Credit (ICIEC) Ke-18, Sidang Tahunan Dewan Gubernur Islamic Solidarity Fund for Development (ISDF) Ke4, Sidang Umum Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD) Ke-11, dan Sidang Umum International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) Ke-6. Delegasi RI pada rangkaian pertemuan ini dipimpin oleh Kepala BKF dan terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, dan Bank Indonesia. Indonesia mengangkat isu tekanan inflasi atas harga komoditas, perlunya jaring pengaman keuangan syariah global, pujian kepada IDB atas reformasi yang telah dilakukan, dan mobilitas arus modal. 11.1.2. Forum G20 Krisis finansial yang berkepanjangan di Amerika Serikat telah mulai memberikan dampak pada kestabilan perekonomian di negara lain yang memiliki keterkaitan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung dengan negara tersebut, tidak terkecuali Indonesia. Collapse-nya beberapa institusi keuangan utama di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa memperburuk sentimen negatif dan masalah kepercayaan pemegang modal www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 209 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA terhadap pasar keuangan. Akibatnya, terjadi penarikan dana besar-besaran dari pasar saham, obligasi, dan institusi perbankan yang mengakibatkan krisis likuidasi global. Pasar keuangan di Indonesia pun sempat terpukul akibat penarikan dana oleh investor asing yang mengakibatkan indeks saham terkoreksi cukup dalam. Krisis di bidang keuangan juga memberikan dampak negatif pada sektor rill. Hal ini dapat dilihat dari turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah turunnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor yang memicu penurunan nilai ekspor Indonesia dan negara pengekspor lainnya. Selain itu, sentimen negatif pasar juga mempengaruhi stabilitas nilai tukar mata uang di Eropa dan Asia, khususnya Rupiah yang sempat terdepresiasi. Karena permasalahan yang dihadapi bersifat lintas negara, maka diperlukan langkah-langkah terkoordinasi dan policy sharing dengan negara-negara mitra utama dalam pengambilan kebijakan tersinergi untuk mengatasi krisis yang bersifat khusus dan di luar agenda rutin. Selain itu, mengingat volatilitas perekonomian, di mana perubahan dapat berlangsung sangat cepat, diperlukan inisiatif dalam keadaan emergency untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis keuangan di Indonesia. Inisiatif antara lain ditempuh melalui koordinasi diplomasi ekonomi dan keuangan dalam forum lembaga keuangan multilateral dan regional untuk menjajaki kemungkinan pemberian pinjaman co-financing maupun stand-by loan. Berikut ini adalah beberapa kegiatan/pertemuan/workshop Forum G20, di mana Kementerian Keuangan hadir dan terlibat. 1. Workshop G20 mengenai Komoditas pada tanggal 19-20 Mei 2011 di Buenos Aires, Argentina Workshop ini membahas 5 isu besar yang terkait dengan volatilitas harga komoditas, yaitu: (i) identifikasi faktor-faktor utama penyebab volatilitas harga komoditas; (ii) pandangan negara-negara yang berbeda dalam menyikapi pengaruh finansialisasi; (iii) pasar komoditas, di mana pada umumnya sepakat mengenai dibutuhkannya transparansi pasar; (iv) rekomendasi-rekomendasi untuk mengatasi volatilitas harga komoditas energi; (v) kendala-kendala dalam mengakses komoditas pangan yang berujung pada ketahanan pangan; serta (vi) rekomendasi-rekomendasi untuk mengatasi tantangan kebijakan publik dan koodinasi internasional. 2. G20 Framework Working Group for MAP and International Monetary System pada tanggal 20 – 21 Juni 2011 di Paris, Perancis Pertemuan teknis ini merupakan tindak lanjut dari IMF setelah melakukan preliminary assessment terhadap submisi Mutual Assessment Process (MAP) negara-negara G20. IMF memproyeksi global outlook pada Juni 2011 yang antara lain bersisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, tekanan inflasi di emerging markets, submisi indikator ekonomi makro G20 yang pesimis, dan pertumbuhan ekonomi yang terpusat di negara berkembang. Beberapa kendala teknis dalam assessment antara lain perbedaan hasil proyeksi yang dihasilkan oleh beberapa negara G20 dengan IFIs (IMF dan World Bank) yang kemudian ditentukan berdasarkan konsensus. 3. Study Group on Commodity dan G20 Seminar on Fossil Fuel Price Volatility pada tanggal 27-28 Juni 2011 di Paris, Perancis Pertemuan ini adalah tatap muka terakhir sebelum draft laporan final studi disampaikan pada pertemuan G20 Deputi pada tanggal 9 dan 10 Juli 2011. Sebagai sesi tatap muka terakhir, dibahas beberapa hal penting seperti: (i) masalah distorsi suplai komoditi dan penyebabnya; (ii) kebijakan Pemerintah yang berkontribusi terhadap 210 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA volatilitas harga komoditi; (iii) peran pelaku pasar komoditi dalam mempengaruhi volatilitas harga komoditas; serta (iv) inisiatif bersama yang dapat dilakukan dalam mengatasi volatilitas harga komoditas. 4. Pertemuan G20 Finance and Central Deputies pada tanggal 9-10 Juli 2011 di Paris, Perancis Pertemuan ini dimaksudkan untuk mencari dukungan dari para Deputi terkait kelanjutan pembahasan agenda sepanjang Presidensi Perancis tahun 2011. Agenda yang dibahas adalah global economy, mutual assessment process, international monetary system, financial regulation, dan commodities. Terkait laporan review IMF tentang global economy, beberapa Deputi meminta agar IMF berupaya untuk mengumpulkan data dan mengkonfirmasi otoritas terkait di negara yang di-review agar menggambarkan perkembangan yang lebih akurat, baik yang terkait dengan dampak negatif maupun positif dari perkembangan ekonomi global. Sedangkan terkait MAP/Framework, beberapa negara mengharapkan agar pelaksanaannya dapat lebih dikontrol oleh negara anggota G20 dan bukan oleh lembaga-lembaga internasional. Perihal masalah International Monetary System, para Deputi tetap sepakat untuk terus membahas masalah Capital Flow Management (CFM) dan Global Liquidity Management (GLM) sebagai bagian dari International Monetary System. Namun, penekanan akan diberikan pada pelaksanaan regional initiatives, seperti yang telah dilakukan di beberapa kawasan. Mengenai isu commodities, negara anggota G20 sepakat bahwa diperlukan regulasi sampai batas tertentu untuk komoditas-komoditas spesifik, seperti energi dan makanan. 5. Pertemuan Sherpa G20 pada tanggal 21 - 22 Juli 2011 di Paris, Perancis Agenda pertemuan difokuskan pada pembahasan mengenai situasi terkini ekonomi global dan respon kebijakan G20 melalui MAP untuk mencapai sasaran Framework for Strong, Sustainable, and Balanced Growth (FSSBG), serta progress terkini dari reformasi sektor keuangan. Dalam pembahasan MAP, para Sherpa sepakat bahwa proses MAP dari FSSBG merupakan inti dari program kerja G20 dan proses tersebut akan menentukan keberhasilan KTT Cannes. G20 harus menghindari persepsi publik mengenai kegagalan proses MAP. Tantangan yang dihadapi adalah memperkuat proses MAP agar dapat menghasilkan sesuatu yang konkrit, termasuk mengatasi risiko jangka pendek. Sherpa juga memandang bahwa 7 negara yang diidentifikasi sebagai sistemik memiliki tanggung jawab dan beban kepemimpinan atas kebijakan domestiknya agar tidak berdampak negatif pada ekonomi global. Dalam pertemuan ini, belum terdapat kesepakatan mengenai cara menyeimbangkan isu rebalancing dengan strengthening global growth. Dalam pembahasan reformasi sektor keuangan, para Sherpa membahas perlunya menjaga ekspektasi pasar terhadap time line dan hasil implementasi komitmen di sektor keuangan. Khususnya mengingat bahwa terdapat kecenderungan persepsi negatif dari pasar terhadap realita pelaksanaan komitmen mengenai pasar OTC Derivative, Basel III, dan kompensasi manajer sektor keuangan. Disadari bahwa G20 belum memiliki mekanisme otoritas untuk memonitor dan meningkatkan transparansi pelaksanaan kesepakatan, khususnya di antara lembaga keuangan besar di negara G20 untuk menjaga level of playing field. 6. G20 Reform of the International Monetary System: Global Liquidity Management and Capital Flow Management Subgroups pada tanggal 2 September 2011 di Paris, Perancis Pertemuan teknis ini membahas 2 agenda pokok, yaitu: (i) Global Liquidity Management, termasuk draft report ke G20 Leaders terkait kesepakatan masalah likuiditas global dan Global Financial Safety Net; serta (ii) Capital Flow www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 211 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Management yang diantaranya menekankan pada pembahasan kebijakan masing-masing negara terkait aliran modal internasional dan usulan untuk negara G20 secara bertahap menuju full capital account liberalization. Pertemuan ini menghasilkan G20 Coherent Conclusions for the Management of Capital Flows Drawing on Country Experiences. 7. G20 Framework Working Group Meeting pada tanggal 7 September 2011, di Paris, Perancis Pertemuan teknis ini membahas 4 agenda pokok, yaitu: (i) laporan IMF dan World Bank mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi global (MAP basecase projection) serta opini dari UNCTAD dan WTO mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi ekonomi global; (ii) laporan IMF terkait external sustainability assessment terhadap 7 negara sistemik G20 serta tanggapan dari ke-7 negara terhadap laporan tersebut; (iii) proposal Korea Selatan terkait G20 Accountability Report sebagai sarana “keeping track” terhadap implementasi komitmen G20 dan opini IMF dan OECD, serta; (iv) proposal Chair Working Group (Canada dan India) terkait Action Plan Cannes Summit 2011 mengenai isu Framework G20. 8. G20 Conference on Commodity Price Volatility dan G20 Fossil Fuel Workshop pada tanggal 12-14 September 2011 di Istanbul, Turki Dalam pertemuan Commodity Price Volatility, agenda konferensi tidak ditujukan pada identifikasi faktor-faktor penyebab volatilitas harga sebagaimana telah dirumuskan dalam Study Group on Commodity. Namun, lebih ditujukan pada pemaparan pengalaman negara dan rekomendasi guna memberikan pilihan-pilihan kebijakan dengan memperhatikan country-specific circumstances, implikasi terhadap kondisi kestabilan makroekonomi (harga dan inflasi), serta perkembangan kondisi global, seperti harga minyak dunia, isu-isu kesejahteraan (poverty), dan perubahan iklim. Peserta diskusi sepakat bahwa koordinasi global tetap dibutuhkan dalam mengakselerasi output/hasil dari kebijakan-kebijakan untuk mengatasi volatilitas harga komoditas. Sebagaimana diskusi-diskusi sebelumnya dalam Study Group on Commodities, belum ditemukan kesatuan pendapat dalam menentukan korelasi antara aktivitas finansialisasi komoditas dengan volatilitas harga komoditas. Namun, terdapat kesepahaman umum tentang pentingnya transparansi pasar melalui pertukaran informasi dan koordinasi global, sehingga inisiatif ini dianggap perlu mendapat prioritas dalam agenda pembahasan G20. Pertemuan Fossil Fuel Subsidy bertujuan membantu para pembuat kebijakan pada negara G20 untuk memperoleh referensi dalam pelaksanaan strategi rasionalisasi dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Pemaparan dan diskusi diarahkan pada pengalaman implementasi reformasi subsidi serta tantangan-tantangan politik, ekonomi, dan sosial dalam proses reformasi tersebut. Dalam pertemuan ini, Indonesia menjadi chairman dalam 2 dari 4 sesi yang diagendakan. Indonesia juga menjadi pembicara dalam sesi Options for Subsidy Policy Reforms yang membahas strategi implementasi penghapusan subsidi bahan bakar fosil. Indonesia memaparkan strategi gradual dalam penghapusan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) sebagaimana telah diatur dalam ESDM Roadmap. Keberhasilan program konversi Kerosene ke LPG disampaikan, termasuk kendala-kendala domestik dan internasional yang merintangi kelancaran proses reformasi subsidi BBM. Sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM, Indonesia menyampaikan program-program mitigasi yang ditujukan bagi masyarakat low income, seperti pengadaan fasilitas umum, diantaranya pendidikan dan kesehatan, beberapa stimulus fiskal, dan bantuan langsung tunai (BLT). 212 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 9. Pertemuan The G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (back-to-back meeting with IMF-World Bank Annual Meeting) pada tanggal 22 September 2011 di Washington, D.C., Amerika Serikat Pertemuan ini membahas dan meninjau perkembangan terakhir ekonomi global dengan menitikberatkan pada situasi terkini di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam pembahasan Framework (FSSBG), Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 menyetujui rencana aksi yang lebih ambisius dalam Pertemuan Tingkat Menteri di Paris untuk diajukan pada KTT Cannes di November 2011. Rencana aksi ini menjadi bagian dari pemenuhan dalam pembahasan framework yang dikenal dengan updating MAP, di mana semua anggota G20 diminta untuk menyerahkan kebijakan konkrit jangka pendek yang mendukung tujuan dari framework. Pada pertemuan berikutnya, para Menteri Keuangan G20 diharapkan membuat komitmen atas beberapa isu, seperti indikator likuiditas global, penilaian ulang FCL dan PCL dari IMF, kriteria komposisi mata uang SDR, pengembangan obligasi mata uang pasar lokal (LCBM), serta hubungan antara Global Financial Safety Net (GFSN) dan Regional Financial Arrangement (RFA). Para menteri juga diharapkan menyetujui G20 Coherent Conclusions for the Management of Capital Flows Drawing on Country Experiences yang telah dielaborasi oleh kelompok kerja IMS dalam rangka membantu mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh arus modal yang besar dan volatile. 10. Pertemuan The G20 Joint Finance Ministers and Development Ministers Meeting pada tanggal 23 September 2011 di Washington, D.C., Amerika Serikat Pertemuan ini membahas dan menilai kemajuan langkah-langkah Seoul Action Plan of the G20 Leaders on Development dengan memprioritaskan pembahasan pada isu infrastruktur dan ketahanan pangan. Para Menteri Keuangan dan Menteri Bidang Pembangunan G20 telah merilis komunike untuk memenuhi komitmen Pemimpin Negara G20 yang disahkan di Seoul tahun lalu, terutama untuk memfokuskan kinerja pada bidang ketahanan pangan dan infrastruktur. Terkait inisiatif untuk meningkatkan akses ke sumber pembiayaan infrastruktur, terdapat perbedaan pandangan terkait prioritas wilayah. Negara maju menginginkan agar prioritas diberikan kepada sub-saharan africa, namun Indonesia menginginkan agar semua kawasan menjadi prioritas. 11. Pertemuan G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting pada tanggal 14–15 Oktober 2011 di Paris, Perancis Pertemuan dilaksanakan di tengah proyeksi outlook perekonomian global yang cenderung memburuk akibat semakin menurunnya kepercayaan pasar terhadap kemampuan Eropa mengatasi krisis. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 sepakat mengenai pentingnya memberi sinyal ke pasar bahwa Forum G20 memiliki kapasitas yang cukup untuk mengatasi kekhawatiran likuiditas. G20 juga sepakat melakukan upayaupaya mempertahankan stabilitas sistem perbankan dan pasar keuangan, termasuk dengan menjaga likuiditas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, para Menteri G20 juga menyepakati beberapa langkah strategis untuk menciptakan sistem moneter internasional yang lebih stabil dan kuat. Sebagai tindak lanjut, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 telah merumuskan draft Cannes Action Plan yang berisikan rekomendasi kebijakan yang diluncurkan para kepala negara pada KTT Cannes. Dalam draft tersebut, Indonesia mendapatkan pengakuan dari G20 sebagai negara yang memiliki ketahanan fiskal yang kuat dan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi ekonomi global, termasuk dengan terus melaksanakan instrumen fiskal dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi domestik dengan tetap memperhatikan kesinambungan fiskal jangka panjang. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 213 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 12. Pertemuan Kepala Negara (KTT) G20 tanggal 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis Pertemuan ini dilangsungkan di tengah tekanan publik yang kuat terhadap G20 untuk menghasilkan kesepakatan berupa respon jangka pendek untuk membantu kawasan Eropa mengatasi krisis dan menenangkan kondisi pasar. Presiden RI secara tegas menyampaikan pandangannya kepada pemimpin G20 bahwa upaya stabilisasi jangka pendek perlu dilakukan tanpa melupakan komitmen yang telah dibuat sebelumnya untuk membangun fundamental jangka panjang yang menekankan pada penciptaan lapangan pekerjaan dan social inclusion. Terkait isu kenaikan modal IMF dalam rangka pembahasan pembangunan firewall di kawasan Eropa, posisi Indonesia adalah mendorong dibentuknya kerangka peraturan/persyaratan dan rencana reformasi kebijakan yang jelas bagi negara-negara Eropa, sehingga sumber daya IMF dapat dipergunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Sementara untuk sumber pendanaan, Indonesia menegaskan bahwa negaranegara Eropa harus menjadi core bagi penambahan sumber daya IMF dan proses ini tidak boleh mempengaruhi proses reformasi IMF yang mengupayakan peningkatan suara bagi negara berkembang di lembaga tersebut. KTT Cannes berhasil menyepakati komitmen negara G20 terkait kebijakan jangka pendek untuk menjaga pertumbuhan global dengan tetap membangun fundamental ekonomi jangka panjang, sebagaimana tertuang dalam Communiqué, Cannes Declaration, dan Cannes Action Plan. Dalam action plan tersebut, Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki ketahanan fiskal yang kuat, termasuk apabila situasi ekonomi global semakin memburuk. Indonesia juga diakui sebagai negara yang sedang melakukan phasing-out subsidi BBM secara berkala dengan memperhatikan dampak bagi masyarakat miskin, serta diakui sebagai negara yang memiliki framework untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. 13. Menghadiri G20 Deputies Meeting: Current Challenges for Global Economic Growth pada tanggal 12-13 Desember 2011 di Mexico City, Meksiko Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama finance track pada awal Presidensi Meksiko dalam rangka mendapatkan masukan untuk usulan agenda pembahasan G20 selama tahun 2012. Secara umum, para deputi masih memperdebatkan penanganan krisis utang Pemerintah di Eropa. Dalam pembahasan juga disepakati pelaksanaan beberapa hasil Cannes sebagaimana diamanatkan oleh para kepala negara, yaitu terkait dengan Framework, Financial regulations, Development issues, serta commodity and energy. Meksiko selaku tuan rumah mengangkat tema promoting growth, khususnya peningkatan pembahasan isu green growth dan climate changes dari sisi mobilisasi pembiayaan dan kebijakan Pemerintah. Namun, para deputi sepakat untuk tidak membahas isu teknis perubahan iklim dan menekankan pada penciptaan green economy sebagai salah satu pendukung growth di masa mendatang. 14. Pertemuan Sherpa G-20 pada tanggal 13-14 Desember 2011 di Cancun, Meksiko Dalam pertemuan ini, para Sherpa merespon isu kondisi ekonomi global. Indonesia mewakili ASEAN menyampaikan kondisi kawasan yang berpotensi mengalami dampak spillover krisis global. Selain itu, disampaikan pula upaya ASEAN untuk mengatasinya melalui berbagai inisiatif, seperti memperkuat skema CMIM tidak hanya dalam hal penanganan krisis, namun juga pencegahan krisis, serta menggandakan sumber daya CMIM. Hal lainnya adalah inisiatif pengembangan local currency bond market sebagai implementasi Action Plan G20, serta upaya mendorong Yuan China secara bertahap sebagai alternatif alat transaksi utama di kawasan dalam rangka mengurangi vulnerabilities akibat ketergantungan terhadap dolar AS. 214 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Para Sherpa juga membahas upaya formalisasi forum Troika dalam rangka meningkatkan efektivitas G20, diantaranya adalah perlu membatasi meluasnya agenda yang dibahas, termasuk usulan moratorium agenda, fungsi Troika untuk menjaga kesinambungan pembahasan antarpresidensi, dan mekanisme pemagangan. 15. G20 High Level Roundtable : From Cannes 2011 to Los Cabos 2012 pada tanggal 20 Desember 2011 di Jakarta Pertemuan tingkat pejabat tinggi ini ditujukan sebagai sarana diseminasi informasi mengenai hasil-hasil pertemuan dan perkembangan isu-isu G20 selama keketuaan (chairmanship) Perancis. Dalam pertemuan ini, wakil Meksiko mengemukakan rencana dan agenda pertemuan G20 sepanjang tahun 2012, di mana Meksiko berperan sebagai chairman. Dipaparkan pula perkembangan ekonomi global terkini, khususnya menyangkut krisis keuangan yang melanda negara-negara Eropa. 11.1.3. ASEAN Chairmanship 2011 Indonesia menjadi tuan rumah rangkaian pertemuan ASEAN pada tahun 2011. Keputusan tersebut ditetapkan pada pertemuan para Kepala Negara ASEAN ke-16 di Vietnam. Penetapan ini dua tahun lebih awal dari seharusnya, yaitu pada tahun 2013, mengingat pada tahun tersebut Indonesia akan memegang Chairmanship Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC). Sebagai Ketua, Indonesia memimpin setiap pertemuan ASEAN yang diadakan di sepanjang Tahun 2011. Pertemuan ASEAN yang telah diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan c.q. BKF selama tahun 2011 adalah: 1. empat pertemuan tingkat Menteri Keuangan; 2. satu pertemuan tingkat Deputi; dan 3. tujuh pertemuan tingkat Kelompok Kerja. Manfaat sebagai Ketua ASEAN adalah Indonesia mempunyai kesempatan untuk: 1. mengajukan topik dan inisiatif baru dalam kerja sama ASEAN; 2. memasukkan isu-isu strategis nasional, khususnya isu-isu keuangan dan ekonomi, ke dalam Forum ASEAN dan forum internasional lainnya; 3. memperkuat kerja sama di antara otoritas keuangan Indonesia dengan otoritas keuangan di ASEAN dan internasional; 4. menjadi media untuk menegaskan kembali kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN; serta 5. memperkenalkan produk, jasa, dan budaya Indonesia kepada komunitas ASEAN dan internasional. Sedangkan target yang dicapai dalam rangkaian pertemuan ASEAN pada tahun 2011 adalah: 1. ditandatanganinya Protocol to Implement the Fifth Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement of Services (AFAS); 2. disepakatinya daftar pre-agreed flexibilities atas sub sektor yang akan diliberalisasi pada tahun 2015; 3. diselesaikannya the Combined Study on Assesing Financial Landscape and Milestone towards Monetary and Financial Integration in ASEAN; 4. penandatanganan Shareholders’ Agreement of the ASEAN Infrastructure Fund (AIF) guna mendanai pengembangan infrastruktur di kawasan ASEAN; 5. pembentukan AIMO menggantikan MFSO guna memperkuat kapasitas monitoring kawasan dalam proses integrasi ekonomi kawasan; www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 215 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 6. pembentukan AFT yang bertugas untuk menyusun platform untuk mendukung proses dialog negaranegara anggota terkait isu-isu perpajakan dalam rangka proses integrasi kawasan. AFT juga diharapkan dapat memperkuat kerja sama perpajakan; 7. kesepakatan mengenai pemilihan Direktur ASEAN+3 Macroeconomic Reasearch Office (AMRO) pertama; 8. kesepakatan untuk mulai berlaku efektifnya Kantor AMRO di Singapura; 9. kesepakatan untuk mengembangkan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) sebagai resolution dan crisis prevention; 10. terpilihnya Chief Executive Officer (CEO) dan Companies Registration Office (CRO) sebagai kelengkapan struktur organisasi Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF), di mana Business Plan CGIF mulai beroperasi pada Semester II Tahun 2012; 11. disepakatinya usulan Indonesia menjadi salah satu topic Reaserch Group 2011/2012, yakni pentingnya kajian tentang “Dealing with Commodity Price Volatility”; 12. diterimanya kandidat Indonesia untuk posisi Senior Economist di Kantor AMRO; 13. kesepakatan mengenai pentingnya kajian mengenai potensi kerja sama kawasan di masa depan yang terkait dengan 3 isu, yaitu: (i) disaster management and disaster risk reduction; (ii) infrastructure financing; dan (iii) using local currency for intra regional trade, di mana Indonesia menjadi salah satu co-leading country untuk kajian mengenai infrastruktur dan penggunaan mata uang domestik; serta 14. kesepakatan mengenai pentingnya kajian mengenai pengembangan kerangka kerja ABMI. 11.1.4. Kerja Sama Teknik Luar Negeri Kegiatan-kegiatan Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) secara garis besar terdiri atas: 1. pengurusan pencalonan dan/atau keberangkatan pegawai Kementerian Keuangan ke luar negeri dalam rangka mengikuti program degree maupun non-degree yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan hibah (grant) dari sponsor; 2. pengurusan peta tenaga ahli asing (experts), baik untuk jangka pendek (short term) maupun jangka panjang (long term) yang ditempatkan pada dan/atau ditugaskan untuk kepentingan Kementerian Keuangan; 3. pengelolaan bantuan teknik luar negeri dari sponsor; serta 4. pengkoordinasian kunjungan misi asing. Pengurusan pencalonan dan keberangkatan pegawai ke luar negeri meliputi proses permintaan kepada unit-unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan penerusannya kepada Sekretariat Negara dan pihak sponsor luar negeri. Selain itu, juga pengurusan Surat Persetujuan dari Sekretariat Negara, pengurusan permohonan rekomendasi visa kepada Direktorat Konsuler, Kementerian Luar Negeri, pengurusan visa ke Kedutaan Besar terkait di Jakarta, dan pengaturan acara penandatanganan perjanjian bagi pegawai yang akan melanjutkan studi di luar negeri. Selama tahun 2011, telah diproses keberangkatan 512 pegawai Kementerian Keuangan ke luar negeri yang terdiri atas 83 peserta program degree (73 program S2 dan 10 program S3) dan 429 peserta program non-degree. Unit eselon I yang paling banyak mengirimkan pegawainya untuk mengikuti program degree secara berturut-turut adalah BKF (28 orang), DJP (22 orang), dan Ditjen PBN (14 orang). Sedangkan untuk program non degree, unit eselon I yang paling banyak mengirimkan pegawainya untuk program pembangunan kapasitas adalah BapepamLK, DJBC, dan BKF. 216 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Australia adalah negara tujuan utama, yaitu mencapai 134 orang (program degree 54 orang dan non degree 80 orang), kemudian Jepang 59 orang (program degree 9 orang dan non degree 50 orang), Amerika Serikat 53 orang (program degree 12 orang dan non degree 41 orang), Belanda 28 orang (program degree 3 orang dan non degree 25 orang), dan Korea Selatan 79 orang untuk program non degree. Sementara itu, sponsor untuk program degree yang paling banyak adalah ADS/ALA Australia 52 orang, diikuti USAID Amerika Serikat 12 orang, dan Stuned Belanda 3 orang. Jumlah peserta program degree pada tahun 2011 mengalami kenaikan 22 orang (36,06 persen) dibandingkan tahun 2010 sejumlah 61 orang. Sedangkan peserta program non-degree menurun 79 orang (15,5 persen) dibanding tahun 2010, yaitu dari 508 orang menjadi 429 orang. 11.2. Kerja Sama Internasional di Bidang Perpajakan 11.2.1. Kerja Sama Bilateral a. Pembentukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Beberapa perundingan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra yang dilaksanakan pada tahun 2011 meliputi: 1. perundingan putaran kedua P3B Indonesia-Laos yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 9-10 Februari 2011; 2. renegosiasi putaran kedua P3B Indonesia-India yang diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 28-29 April 2011; 3. perundingan P3B Indonesia-Belanda terkait Protokol Perubahan yang diselenggarakan di London pada tanggal 28-29 Mei 2011; 4. perundingan penjajakan renegosiasi P3B Indonesia-Australia (Informal Meeting) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 7-9 September 2011; 5. renegosiasi P3B Indonesia-Korea Selatan yang diselenggarakan di Seoul pada tanggal 28-30 September 2011; 6. renegosiasi P3B Indonesia-Malaysia terkait pasal mengenai Exchange of Information (EOI) yang dilakukan via korespondensi dan diparaf di Paris pada tanggal 19 September 2011 dan telah ditandatangani di Lombok pada tanggal 20 Oktober 2011; serta 7. renegosiasi putaran pertama P3B Indonesia-Jerman yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12-16 Desember 2011. Selama tahun 2011, DJP juga mengajukan proses ratifikasi P3B dengan pembuatan Peraturan Presiden atas pembentukan P3B dengan negara-negara berikut ini. 1. Zimbabwe, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 30 Mei 2001. 2. Kroasia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 15 Februari 2002. 3. Suriname, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 2003. 4. Armenia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 2005. 5. Maroko, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 8 Juni 2008. 6. Papua Nugini, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2010. 7. Hongkong, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 23 Maret 2010. 8. Serbia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 28 Februari 2011. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 217 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Adapun P3B Indonesia-Laos dan Indonesia-Tajikistan telah selesai proses negosiasinya, namun pada tahun 2011 belum diajukan ratifikasi. Sampai dengan akhir tahun 2011, Indonesia memiliki 60 P3B dengan negara mitra yang berlaku efektif. Tabel 11.1. Daftar Jaringan Tax Treaty/ Negara Mitra P3B yang Berlaku Efektif No. 1 Negara Mitra P3B Tanggal Berlaku Efektif Aljazair 2 Australia 3 Austria 1 Januari 2001 No. 31 Tanggal Berlaku Efektif 1 Januari 1991 1 Juli 1993 32 Pakistan 1 Januari 1991 1 Januari 1989 33 Filipina 1 Januari 1983 Bangladesh 1 Januari 2007 34 Polandia 1 Januari 1994 5 Belgia Renegosiasi 1 Januari 1975 1 Januari 2002 35 Portugal 1 Januari 2008 6 Brunei Darussalam 1 Januari 2003 36 Qatar 1 Januari 2008 7 Bulgaria 1 Januari 1993 37 Rumania 1 Januari 2000 8 Kanada Renegosiasi 1 Januari 1980 1 Januari 1999 38 Rusia 1 Januari 2003 9 Republik Rakyat Cina 1 Januari 2004 39 Saudi Arabia 1 Januari 1989 10 Republik Ceko 1 Januari 1997 40 Seychelles 1 Januari 2001 11 Denmark 1 Januari 1987 41 Singapura 1 Januari 1992 12 Mesir 1 Januari 2003 42 Slowakia 1 Januari 2002 13 Finlandia 1 Januari 1990 43 Afrika Selatan 1 Januari 1999 14 Perancis 1 Januari 1981 44 Spanyol 1 Januari 2000 15 Jerman Jerman Barat Jerman Timur Jerman Bersatu 1 Januari 1976 1 Januari 1988 1 Januari 1992 45 Srilanka 1 Januari 1995 16 Hungaria 1 Januari 1994 46 Sudan 1 Januari 2001 17 India 1 Januari 1988 47 Swedia 1 Januari 1990 1 Januari 2011 48 Swis Renegosiasi 1 Januari 1990 1 Januari 2010 Iran 19 Italia 1 Januari 1996 49 Suriah 1 Januari 1999 20 Jepang 1 Januari 1983 50 Taiwan 1 Januari 1996 21 Yordania 1 Januari 1999 51 Thailand Renegosiasi 1 Januari 1983 1 Januari 2004 22 Korea Utara 1 Januari 2005 52 Tunisia 1 Januari 1994 23 Korea Selatan 1 Januari 1990 53 Turki 1 Januari 2001 24 Kuwait 1 Januari 1999 54 U.A.E 1 Januari 2000 25 Luksemburg 1 Januari 1995 55 Ukraina 1 Januari 1999 56 Inggris Renegosiasi 1 Januari 1976 1 Januari 1995 26 Malaysia 1 Januari 1993 1 September 2010 27 Meksiko 1 Januari 2005 57 Amerika Serikat Renegosiasi 1 Februari 1991 1 Februari 1997 28 Mongolia 1 Januari 2001 58 Uzbekistan 1 Januari 1999 29 Belanda Protokol Perubahan Renegosiasi II 1 Januari 1971 1 Juni 1994 1 Januari 2004 59 Venezuela 1 Januari 2001 30 Selandia Baru 1 Januari 1989 60 Vietnam 1 Januari 2000 Sumber: DJP. | Norwegia 4 18 218 Negara Mitra P3B LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Penyelenggaraan Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) Penyelenggaraan Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) antara DJP dengan negara mitra P3B yang dilaksanakan selama tahun 2011 adalah: 1. MAP dengan Internal Revenue Service (IRS) Amerika Serikat pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Washington D.C., Amerika Serikat; 2. MAP dengan National Tax Service (NTS) Korea Selatan pada tanggal 27 September 2011 di Seoul, Korea Selatan; 3. MAP dengan National Tax Agency (NTA) Jepang pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2011 di Jakarta; dan 4. MAP dengan National Tax Service (NTS) Korea Selatan pada tanggal 22-23 Desember 2011 di Jakarta. c. Persetujuan dan Pelaksanaan Pertukaran Informasi Perpajakan Dalam rangka pembentukan TIEA dengan negara bukan mitra P3B (non tax treaty) yang dikategorikan oleh OECD sebagai cooperative jurisdictions, sepanjang tahun 2011, DJP telah melaksanakan penandatangan TIEA di antara Indonesia dengan beberapa negara/jurisdiksi yaitu: 1. Jersey, ditandatangani di Kantor Kementerian Guernsey pada tanggal 27 April 2011; 2. Guernsey, ditandatangani di Kantor Kementerian Guernsey pada tanggal 27 April 2011; 3. Isle of Man, ditandatangani di Kedutaan Besar RI di London pada tanggal 22 Juni 2011; dan 4. Bermuda, ditandatangani di Kedutaan Besar RI di London pada tanggal 22 Juni 2011. Atas keempat TIEA, DJP telah mengajukan proses ratifikasinya di tahun yang sama. Sementara itu, TIEA yang sampai dengan akhir 2011 masih dalam proses penandatanganan adalah: 1. TIEA Indonesia-Costa Rica; 2. TIEA Indonesia-Cayman Islands; 3. TIEA Indonesia-Bahama; dan 4. TIEA Indonesia-San Marino. 11.2.2. Partisipasi dalam Forum Internasional DJP berpartisipasi dalam kerja sama internasional selama tahun 2011, baik berupa kegiatan seminar, konferensi, maupun forum. 1. Peserta Peer Review Seminar Global Forum on Transparency and Exchange of Information pada tanggal 15-17 Maret 2011 di Canberra, Australia. 2. Peserta pada acara Meeting of the Advisory Group for Cooperation with Non-OECD Economic pada tanggal 2830 Maret 2011 di Livingstone, Zambia. 3. Peserta Global Forum on Transparency and EoI for Tax Purposes pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni 2011 di Bermuda. 4. Peserta pada acara The 5th International Financial Reporting Standards (IFRS) Regional Policy Forum & International Seminar pada tanggal 23-24 Mei 2011 di Denpasar, Bali. 5. Narasumber pada Seminar Tax, Regulation and Investment Opportunities in Indonesia pada tanggal 1 Juni 2011 di Bangkok, Thailand. 6. Pembicara pada The National Tax Conference 2011 pada tanggal 19-20 Juli 2011 di Kuala Lumpur, Malaysia. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 219 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 7. Peserta pada The 13th SGATAR Working Level Meeting pada tanggal 5-8 September 2011 di Macao SAR, China. 8. Peserta ATAIC’s 8th Technical Conference pada tanggal 1-5 Oktober 2011 di Arab Saudi. 9. Peserta 4th Meeting of the Global Forum on Transparency and EoI for Tax Purposes pada tanggal 25-26 Oktober 2011 di Paris, Perancis. 10. Peserta Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters pada tanggal 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis. 11. Narasumber pada EY’s Tax Symposium pada tanggal 15-17 November 2011, di Singapura. 12. Peserta 41st SGATAR Meeting pada tanggal 21-25 November 2011 di Kinabalu, Malaysia. 13. Peserta 4th International Tax Dialogue Global Conference on Tax and Inequality pada tanggal 7-9 Desember 2011, di India. 11.3. Kerja Sama Internasional di Bidang Kepabeanan dan Cukai Hubungan kepabeanan internasional dalam bentuk kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral pada tahun 2011 mencakup kerja sama bilateral, regional, dan multilateral. 11.3.1. Kerja Sama Bilateral 1. Kerja sama Indonesia-Jepang Kerja sama Indonesia-Jepang secara bilateral dalam bentuk Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA), kerja sama teknis kepabeanan dengan Japan Customs and Tariff Bureau (JCTB), dan High Level Consultation for Investment Promotion for Metropolitan Priority Areas (MPA). 2. Kerja sama Indonesia-Malaysia Kerja sama Indonesia Malaysia dalam bentuk bilateral meeting dengan Royal Malaysian Customs Department (RMCD), Patroli Koordinasi Kastam Indonesia-Malaysia (PATKOR KASTIMA), dan General Border Committee MalaysiaIndonesia (GBC MALINDO). 3. Kerja sama Indonesia-Singapura Kerja sama Indonesia-Singapura dalam bentuk pertemuan rutin tahunan di bawah koordinasi Direktorat Penindakan dan Penyidikan dengan Central Narcotics Bureau (CNB) dan pembentukan Joint Working Group (JWG) Indonesia-Singapore. 4. Kerja sama Indonesia-Korea Selatan Kerja sama Indonesia Korea dalam bentuk kerjasama DJBC dengan Korean Customs Service (KCS) dalam rangka mempererat kerjasama dalam penegakan hukum, pertukaran informasi, dan pengalaman. 5. Kerjasama Indonesia Indonesia-Amerika Serikat Kerjasama dengan Amerika Serikat diwujudkan dalam bentuk hibah peralatan untuk menunjang fungsi pengawasan serta bentuk kerjasama lainnya, seperti tukar-menukar informasi, workshop, dan lain sebagainya. 6. Kerjasama Indonesia-Belanda Kerjasama Indonesia-Belanda dalam bentuk amandemen terhadap perjanjian Mutual Administrative Assistance for the Proper Application of Customs Law and for the Prevention, Investigation and Combating of Customs Offences 220 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA terkait dengan perubahan struktur kerajaan Belanda. Saat ini counter draft telah dikirimkan ke Kedubes Belanda melalui surat Nomor S-1079/BC/2011 tanggal 26 Oktober 2011 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya DJBC tidak keberatan atas adanya amandemen tersebut. 7. Kerjasama bilateral dengan India, Iran, Pakistan, Kuwait, Meksiko, Turki, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. 11.3.2. Kerjasama Regional 1. Kerjasama pabean dalam lingkup ASEAN Kerjasama dalam lingkup ASEAN dilaksanakan dalam bentuk ASEAN Directors-General of Customs (ASEAN DGs of Customs) Meeting yang merupakan forum tertinggi kerjasama administrasi pabean ASEAN, beranggotakan para pimpinan masing-masing administrasi pabean negara anggota ASEAN. Pada the 20th ASEAN Directors-General of Customs Meeting di Nya Pyi Taw, Myanmar pada bulan Juni 2011, seluruh pimpinan administrasi pabean negara anggota ASEAN telah melakukan endorsement atas draft ASEAN Agreement on Customs (AAC). 2. Kerjasama dalam lingkup APEC Kerjasama dalam lingkup APEC dilaksanakan dalam forum Sub Committee on Customs Procedures (SCCP), APEC Collective Action Plan (CAP). 3. Kerjasama dalam lingkup ASEM dan Sub – Regional Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk forum kerjasama administrasi pabean ASEM adalah ASEM Customs DG Commissioner Meeting yang bertemu sekali dalam 2 tahun dan ASEM Customs Working Group (AWC). Di samping itu, masalah-masalah kepabean secara umum juga dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan seperti ASEM Finance Minister Meeting (FnMM), ASEM Economic Minister Meeting (EMM), dan ASEM Senior Official Meeting on Trade and Investment (SOMTI). 4. Kerjasama dalam lingkup BIMP-EAGA Forum kerjasama administrasi pabean Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, The Philippines-Eastern ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), di mana saat ini negara yang tergabung dalam BIMP-EAGA melakukan finalisasi dan persiapan penandatanganan “Memorandum of Understanding between the Governments of Brunei Darussalam, Indonesia, Malayasia and the Philippines for the Simplification, Streamlining and Harmonization of Customs, Immigration, Quarantine and Security Procedures for the East ASEAN Growth Area (EAGA)” (MoU CIQS BIMP-EAGA). 11.3.3. Kerjasama Multilateral Kerjasama multilateral yang dilaksanakan oleh DJBC adalah kerjasama dalam wadah Word Customs Organization (WCO) serta Negotiating Group on Trade Facilitation (NGTF). Perundingan NGTF sejak akhir tahun 2010 hingga pertengahan tahun 2011 menghasilkan draft Consolidated Negotiating Text yang lebih komprehensif dan menampung aspirasi banyak negara anggota. Sidang Reguler terakhir NGTF yang dilaksanakan pada tanggal 7-11 November 2011 membahas secara komprehensif draft Consolidated Negotiating Text TN/TF/W/165/Rev.11. Sidang regular tersebut merupakan sidang terakhir sebelum dilaksanakannya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) pada tanggal 15-17 Desember 2011. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 221 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 12 Pengembangan Sumber Daya Manusia 12.1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang vital dalam suatu organisasi, termasuk di Kementerian Keuangan. Menjawab tantangan perubahan zaman yang diiringi dengan tuntutan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi para stakeholder membuat Kementerian Keuangan selalu berusaha meningkatkan kapasitas SDM yang dimilikinya. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) merupakan unit eselon I di Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan (diklat) di bidang keuangan negara. Berikut ini adalah jenis-jenis diklat yang diselenggarakan oleh BPPK. 1. Diklat Prajabatan Diklat Prajabatan dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan serta membentuk wawasan kebangsaan, kepribadian, dan etika Pegawai Negeri Sipil (PNS), di samping pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan Pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Diklat ini merupakan syarat pengangkatan Calon PNS (CPNS) menjadi PNS dan diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pengembangan SDM. 2. Diklat dalam Jabatan Diklat ini dilaksanakan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap PNS agar dapat melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kompetensi jabatan yang disyaratkan. Diklat dalam Jabatan terdiri atas: 222 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t Diklat Kepemimpinan dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur negara sesuai dengan jabatan struktural tertentu yang dilaksanakan secara berjenjang untuk menanamkan kesamaan pola pikir yang dinamis dan bernalar agar memiliki wawasan, pengetahuan yang komprehensif, serta semangat pengabdian yang berorientasi kepada pelayanan prima dan pengembangan partisipasi masyarakat; t Diklat Fungsional dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi PNS yang sesuai dengan jenis dan jabatan fungsional secara berjenjang untuk memberikan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan fungsional tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas; t Diklat Teknis (DT) dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS serta dapat dilakukan secara berjenjang yang ditetapkan oleh instansi teknis; t Diklat Ujian Dinas (DUD) dilaksanakan untuk menyiapkan kompetensi PNS dalam rangka kenaikan pangkat dalam golongan yang lebih tinggi sebagaimana ditentukan dalam peraturan kepegawaian yang berlaku; t Diklat Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat (UPKP) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 411/KMK.01/2002 tentang Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat bagi PNS di lingkungan Departemen Keuangan; t Diklat Penyegaran dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan PNS sehubungan dengan perkembangan kebijakan serta ilmu pengetahuan dan teknologi; serta t Diklat Berbasis Kompetensi (DBK) dan Diklat Kompetensi Khas (DKK) yang merupakan rintisan terbaru BPPK dalam upaya peningkatan soft-competency bagi PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 223 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, para pegawai Kementerian Keuangan dituntut untuk memiliki kompetensi yang disyaratkan oleh Standar Kompetensi Jabatan. BPPK melalui Pusdiklat Pengembangan SDM mengembangkan program kediklatan tertentu sebagai sarana untuk menjembatani gap antara kompetensi yang dimiliki dengan kompetensi yang diharapkan. Program kediklatan yang dilaksanakan secara berkelanjutan disempurnakan untuk memenuhi dinamika kebutuhan layanan Kementerian Keuangan yang senantiasa berkembang. Diklat dalam Jabatan diselenggarakan oleh Pusdiklat-Pusdiklat di lingkungan BPPK yang meliputi: t Pusdiklat Pengembangan SDM; t Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan; t Pusdiklat Bea dan Cukai; t Pusdiklat Pajak; t Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan; serta t Pusdiklat Keuangan Umum. Selain itu, diklat-diklat juga diselenggarakan oleh Balai Diklat Keuangan (BDK) sebagai unit pelaksana teknis diklat BPPK yang berada 11 kota di seluruh Indonesia, yaitu: t BDK Medan; t BDK Pekanbaru; t BDK Palembang; t BDK Cimahi; t BDK Yogyakarta; t BDK Malang; t BDK Denpasar; t BDK Pontianak; t BDK Balikpapan; t BDK Makassar; dan t BDK Manado. Sebagai bentuk komitmen BPPK untuk meningkatkan kualitas SDM Kementerian Keuangan, pada tahun 2011 dibentuk Balai Diklat Kepemimpinan (BDK) di Magelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan. BDK ini merupakan unit pelaksana teknis Pusdiklat Pengembangan SDM yang mempunyai tugas menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim), yaitu Diklatpim III dan Diklatpim IV. Secara bertahap, PNS yang telah memenuhi persyaratan mengikuti kedua diklat ini. 3. Pendidikan Tinggi Kedinasan Pendidikan Tinggi Kedinasan (PTK) di lingkungan Kementerian Keuangan diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). PTK dimaksudkan untuk menghasilkan SDM di bidang keuangan negara dengan spesialisasi tertentu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan keahlian profesional dalam rangka memenuhi kebutuhan pegawai dan mencetak kader pengelolaan keuangan negara di Kementerian Keuangan. 224 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dari ketiga kelompok diklat, selama tahun 2011, BPPK secara keseluruhan telah mendidik dan melatih 40.636 peserta. Para peserta diklat terdiri dari pegawai di jajaran Kementerian Keuangan dan instansi Kementerian/ Lembaga (K/L) lain. Selain itu, terdapat pula sejumlah mahasiswa Program Diploma I, Diploma III, dan Diploma IV STAN. 12.1.1. Diklat Pengembangan SDM Diklat Pengembangan SDM diselenggarakan oleh Pusdiklat Pengembangan SDM yang selama tahun 2011 telah mendiklatkan 9.519 peserta. Diklat yang diselenggarakan meliputi Diklat Prajabatan (Golongan II dan Golongan III), DUD (I dan II), Diklat UPKP (II, IV, V, dan VI), DKK, DBK, serta Diklat Kepemimpinan. Diklat Kepemimpinan diselenggarakan oleh Balai Diklat Kepemimpinan Magelang sebagai unit pelaksana teknis Pusdiklat Pengembangan SDM. DBK yang diselenggarakan terdiri dari DBK III untuk pejabat eselon III dan DBK IV untuk pejabat eselon IV. Sementara itu, DKK yang diselenggarakan adalah DKK Kreativitas dan Inovasi, DKK Motivasi dan Pemberdayaan, serta DKK Public Speaking. Pusdiklat Pengembangan SDM juga mengelola beasiswa pendidikan pasca sarjana di dalam dan luar negeri, baik untuk tingkat magister atau Strata 2 (S2) maupun tingkat doktor atau Strata 3 (S3). Beasiswa untuk pendidikan pasca sarjana diperoleh melalui kerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan World Bank. Kerjasama dengan JICA diwujudkan dalam bentuk Professional Human Resource Development (PHRD), sedangkan kerjasama dengan World Bank dinamakan Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institution (SPIRIT). 12.1.2. Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Fungsional Untuk melengkapi dan meningkatkan kompetensi pegawai Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari, BPPK telah menyelenggarakan beragam Diklat Teknis, Diklat Fungsional, dan Diklat Penyegaran. Materi yang disampaikan dalam diklat-diklat tersebut sangat spesifik sesuai dengan kompetensi teknis yang disyaratkan untuk menjalankan tugas tertentu. Terdapat 2 jenis Diklat Teknis, yaitu Diklat Teknis Substantif Dasar (DTSD) dan Diklat Teknis Substantif Spesialisasi (DTSS). Materi dalam DTSD merupakan materi dasar yang bersifat umum, sedangkan materi pada DTSS difokuskan pada satu pokok bahasan yang dipelajari secara mendalam oleh peserta diklat. 1. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan telah mendiklatkan 5.208 peserta di sepanjang tahun 2011 melalui diklat yang dilaksanakan di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan sendiri serta di BDK yang tersebar di 11 provinsi. Jenis-jenis diklat yang diselenggarakan berkaitan dengan anggaran dan perbendaharaan, seperti DTSD Anggaran, DTSD Perbendaharaan, DTSS Pengadaan Barang dan Jasa, DTSS Pejabat Pembuat Komitmen, DF Bendahara Pengeluaran, dan lain-lain. Pada bulan Juli 2011, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mendapatkan sertifikat dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk penyelenggaraan Program Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan peringkat “A”. Selain diklat, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan juga menyelenggarakan Training of Trainers (ToT), MOT, Workshop, serta seminar-seminar yang berkaitan dengan anggaran dan perbendaharaan. 2. Pusdiklat Pajak Pusdiklat Pajak menyelenggarakan diklat dengan materi yang berkaitan dengan perpajakan. Di tahun anggaran 2011, Pusdiklat Pajak telah mendiklatkan 5.798 peserta. Jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya DTSD www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 225 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pajak I dan II, DTSS Pajak Penghasilan Tingkat Menengah dan Tingkat Tinggi, DTSS Pajak Pertambahan Nilai Tingkat Menengah dan Tingkat Tinggi, Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB, Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak Tingkat Menengah, Tingkat Tinggi dan Ahli, serta Diklat Account Representative (AR) Pajak. Pada tanggal 28 November hingga 5 Desember 2011, Pusdiklat Pajak bekerjasama dengan JICA, Kementerian Luar Negeri, serta Pemerintah Palestina telah menyelenggarakan “Land and Building Tax Training Program for the Improvement of Property Taxation of Palestine”. Diklat ini diikuti oleh 8 peserta dari Directorate General of Property Tax of the Ministry of Finance of the Palestinian Authority dan diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai sistem perpajakan di Indonesia, terutama di bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selain diklat, Pusdiklat Pajak juga menyelenggarakan ToT, MOT, Workshop, serta seminar yang berkaitan dengan perpajakan. 3. Pusdiklat Bea dan Cukai Pusdiklat Bea dan Cukai telah menyenggarakan diklat bagi 2.822 peserta pada tahun 2011. Selain bertempat di Pusdiklat Bea dan Cukai, diklat-diklat yang berkaitan dengan kepabeanan dan cukai juga diselenggarakan di BDK-BDK. Jenis diklat yang diselenggarakan mencakup Diklat Teknis Substantif, Diklat Fungsional, serta Diklat Kesamaptaan. Di samping itu, Pusdiklat Bea dan Cukai juga menyelenggarakan seminar tentang kepabeanan dan cukai. 4. Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan (KNPK) menyelenggarakan diklat di bidang kekayaan negara dan perimbangan keuangan. Diklat di bidang ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM di bidang pengelolaan kekayaan negara yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Pada tahun 2011, Pusdiklat KNPK telah mendiklatkan 1.650 peserta, yang pelaksanaannya selain di Pusdiklat KNPK sendiri, juga di beberapa BDK. Adapun jenis-jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya DTSD Kekayaan Negara I dan II, DTSS Pejabat Lelang, Diklat Pengelolaan Pembiayaan Kapasitas Daerah, dan Diklat Penyegaran SIMAK BMN. Di samping itu, Pusdiklat KNPK juga menyelenggarakan seminar tentang kekayaan negara dan perimbangan keuangan. 5. Pusdiklat Keuangan Umum Pusdiklat Keuangan Umum telah mendiklatkan 6.285 peserta pada tahun 2011. Materi diklat yang disajikan disesuaikan dengan kebutuhan para pengguna jasa, seperti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, serta BPPK sendiri. Jenis-jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya adalah DTU Legal Drafting, DTSD Orientasi Pegawai BKF, DTSS Manajemen Risiko, dan DF Jabatan Fungsional Auditor (JFA) Pengendali Teknis. Selain itu, Pusdiklat Keuangan Umum juga menyelenggarakan workshop dan seminar yang membahas isu-isu aktual yang terkait keuangan negara. 12.1.3. Pendidikan Tinggi Kedinasan Pada tahun 2011, STAN menerima 1.587 mahasiswa dari 42.515 pendaftar untuk Program Diploma I Kepabeanan dan Cukai serta Program Diploma I Perpajakan. Proses Ujian Saringan Masuk (USM) STAN telah mendapat sertifikat ISO 9001:2008 dengan Sertifikat Nomor QSC00822 pada tanggal 29 April 2010. Setiap tahunnya, proses USM STAN selalu diaudit oleh auditor independen untuk menjamin kualitas pelayanan dan penyelenggaraannya. 226 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA STAN juga mengadakan Program Pendidikan Tugas Belajar bagi para lulusan STAN Program Diploma I yang akan meningkatkan jenjang pendidikannya menjadi Program Diploma III, serta alumni Program Diploma III menjadi Program Diploma IV. Program studi yang dibuka untuk Program Pendidikan Tugas Belajar adalah Program Diploma III Akuntansi, Program Diploma III Perpajakan, serta Program Diploma IV Akuntansi. Ketiga program studi menggunakan Kurikulum Khusus. Dalam rangka memenuhi tugasnya sebagai Badan Layanan Umum (BLU), STAN menerima mahasiswa melalui Program Pendidikan Tugas Belajar (Kerjasama BLU). Pada tahun 2011, STAN membuka Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak dengan Konsentrasi Penilai PBB-P2 dan Konsentrasi OC PBB-P2, serta Program Diploma III Akuntansi Pemerintah. Secara keseluruhan, pada tahun 2011, STAN telah menyelenggarakan pendidikan bagi 9.354 mahasiswa. Tabel 12.1. Jumlah Mahasiswa STAN Tahun 2011 Program Jumlah Mahasiswa 1. Program Pendidikan Kedinasan t Program Diploma I Kepabeanan dan Cukai 1.430 t Program Diploma I Perpajakan 2. 3. 817 t Program Diploma III Akuntansi Pemerintahan 2.985 t Program Diploma III Perpajakan 1.767 t Program Diploma III Pajak Bumi dan Bangunan 255 t Program Diploma III Kebendaharaan Negara 604 t Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai 259 t Program Diploma III Pengurusan Piutang dan Lelang Negara 127 Program Pendidikan Tugas Belajar (Non Kerjasama) t Program Diploma III Akuntansi Kurikulum Khusus 183 t Program Diploma III Perpajakan Kurikulum Khusus 188 t Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus 580 Program Pendidikan Tugas Belajar (Kerjasama) t Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak 124 t Program Diploma III Akuntansi Pemerintah 35 Jumlah 9.354 Sumber: BPPK. Pada tahun 2011, STAN telah meluluskan 2.444 mahasiswa Program Diploma Keuangan Negara dari berbagai jurusan. Dari lulusan tersebut, sejumlah 2.272 atau 92,96 persen diantaranya berhasil memperoleh predikat lulusan baik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari atau sama dengan 3,00 pada skala maksimal 4. Para alumni diharapkan mampu berkontribusi secara signifikan dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas di lingkungan Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 227 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 12.2. Jumlah Lulusan STAN Tahun 2011 Program Jumlah Lulusan Lulusan Dengan IPK ≥ 3,00 1. Program Pendidikan Kedinasan t Prodip. I Kepabeanan dan Cukai 653 643 t Prodip. III Akuntansi Pemerintahan 787 698 t Prodip. III Perpajakan 486 452 t Prodip. III Pajak Bumi dan Bangunan 120 106 t Prodip. III Kebendaharaan Negara 48 43 t Prodip. III Kepabeanan dan Cukai 70 65 t Prodip. III Pengurusan Piutang dan LN 33 30 48 46 2. Program Pendidikan Tugas Belajar t1rodip. III Akuntansi Kurikulum Khusus tProdip. III Perpajakan Kurikulum Khusus 91 81 108 108 2.444 2.272 tProdip. IV Keuangan Negara Jumlah Sumber: BPPK. 12.2. Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan telah melaksanakan dua current issue strategis di tahun 2011. Pertama adalah pengusulan pengecualian atas kebijakan moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bagi Kementerian Keuangan. Kebijakan ini diberlakukan secara nasional bagi seluruh K/L dan instansi daerah. Kedua adalah perumusan dan peluncuran core values/nilai-nilai Kementerian Keuangan dalam rangka pembentukan budaya kerja yang berintegritas tinggi, profesional, dan modern. 12.2.1. Latar Belakang Moratorium CPNS Dalam rangka pelaksanaan Reformasi Birokrasi perlu dilakukan penataan organisasi dan PNS (rightsizing) untuk mengoptimalkan kinerja SDM serta efisiensi anggaran belanja pegawai. Dengan diitetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi penyerahan urusan Pemerintahan dan pegawai dari Pemerintah Pusat kepada Daerah. Sebagai konsekuensinya, struktur organisasi dan pegawai di instansi pusat seharusnya menjadi lebih ramping. Pembentukan kelembagaan pada instansi pusat selain K/L, baik yang bersifat struktural maupun non struktural berdampak pada permintaan PNS dan peningkatan pembiayaan. Proporsi belanja mengikat di dalam APBN, termasuk di dalamnya gaji PNS, sangat besar jika dibandingkan dengan belanja tidak mengikat. Di samping itu, masih terdapat pegawai yang tidak berkinerja baik. Tim Independen Reformasi Birokrasi dan para pakar menyatakan bahwa jumlah PNS dewasa ini telah berlebih, sehingga dipandang perlu menempuh suatu kebijakan yang berlaku secara nasional berupa penundaan penerimaan CPNS diseluruh K/L pada instansi pusat dan daerah. 12.2.2. Tujuan Moratorium CPNS Pelaksanaan moratorium CPNS oleh seluruh K/L di pusat maupun daerah mengandung dua tujuan. Pertama, sebagai pelaksanaan penataan organisasi dan PNS, sehingga diperoleh besaran dan ukuran organisasi dan 228 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA pegawai yang tepat, baik jumlah maupun kualitas, yang proporsional sesuai dengan kebutuhan riil. Kedua, untuk merumuskan jumlah pegawai yang tepat serta melihat kembali struktur organisasi sesuai dengan visi, misi dan tugas pokok instansi melalui proses analisis jabatan dan evaluasi jabatan. 12.2.3. Ketentuan/Peraturan Moratorium CPNS Moratorium CPNS dilandasi oleh Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan, Nomor 02/SPB/ M.PAN-RB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, dan Nomor 141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Menurut pasal 1 ayat (2) peraturan bersama ini, penundaan sementara penetapan tambahan formasi untuk penerimaan CPNS diberlakukan mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Pasal 2 ayat (1) mengatur perkecualian penundaan sementara penetapan tambahan formasi untuk penerimaan CPNS. Hal-hal yang dikecualikan dari moratorium CPNS adalah berikut ini. 1. K/L yang membutuhkan tugas sebagai: t tenaga pendidik; t tenaga dokter dan perawat pada UPT Kesehatan; t jabatan yang bersifat khusus dan mendesak; serta t memiliki lulusan ikatan dinas sesuai peraturan perundang-undangan. 2. Pemerintah Daerah yang besaran anggaran belanja pegawai dibawah/kurang dari 50 persen dari total APBD Tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan pegawai yang melaksanakan tugas sebagai: t tenaga pendidik; t tenaga dokter, bidan, dan perawat; serta t jabatan yang bersifat khusus dan mendesak. 3. Tenaga honorer yang telah bekerja di lembaga Pemerintah pada atau sebelum tanggal 1 Januari 2005 dan telah diverifikasi dan divalidasi berdasarkan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, sesuai kebutuhan organisasi, redistribusi, dan kemampuan keuangan negara yang akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah. 12.2.4. Dampak Moratorium CPNS Terhadap Proses Perencanaan SDM Dan Anggaran Kebijakan moratorium CPNS memberikan dampak terhadap proses perencanaan SDM dan anggaran di Kementerian Keuangan. Dampak pada proses perencanaan SDM adalah penyesuaian dalam pelaksanaan rencana rekrutmen pegawai maupun penempatan para lulusan Prodip I dan Prodip III Keuangan STAN. Dampak pada sisi anggaran adalah penyerapan anggaran terkait kegiatan rekrutmen pegawai yang tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan adanya moratorium CPNS, maka pada tahun 2011 tidak dilaksanakan pengadaan pegawai baru di Kementerian Keuangan, sehingga pagu anggarannya di dalam DIPA tidak dapat direalisasikan. 12.2.5. Langkah-Langkah Terkait Moratorium CPNS Terdapat dua langkah yang dilakukan terkait dengan moratorium CPNS. 1. Pengajuan Usul Pengecualian Moratorium CPNS Kementerian Keuangan mengajukan pengecualian moratorium CPNS untuk tetap memperoleh formasi sesuai kebutuhan mengingat hal-hal sebagai berikut: www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 229 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun terakhir cukup tinggi, yaitu rata-rata 5,8 persen, sehingga perlu diimbangi dengan peningkatan kinerja aparatur Kementerian Keuangan; t besaran APBN dari tahun 2007 hingga 2012 semakin meningkat; t target penerimaan pajak yang meningkat lebih dari 2 kali lipat, yaitu dari Rp490,98 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp1.019,33 triliun pada 2012 (target) atau sebesar 107,5 persen; t jumlah wajib pajak yang meningkat lebih dari 3 kali, yaitu dari 7,13 juta pada tahun 2007 menjadi 22,1 juta pada 2011 atau sebesar 209,9 persen; t target penerimaan bea masuk/keluar dan cukai yang meningkat lebih dari 2 kali, yaitu dari Rp51,00 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp114,88 triliun pada tahun 2012 atau sebesar 125,1 persen; t bertambahnya jumlah bandara yang berstatus internasional menjadi 23 bandara yang memerlukan Unit Pelayanan Bea dan Cukai; t peningkatan kelas Kantor Bea dan Cukai di daerah dalam rangka peningkatan kapasitas operasional untuk pencegahan serta meningkatkan kapasitas pelabuhan; t tugas pengamanan dan pencegahan yang memerlukan tambahan tenaga operasional lapangan; t perubahan sistem anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja (Performance-Based Budgeting); t peningkatan kegiatan dalam upaya mencapai opini Laporan Keuangan Pemerintah Wajar Tanpa Pengecualian (LKP-WTP); serta t pengelolaan aset negara yang tersebar di K/L dalam rangka mencapai LKP-WTP. 2. Berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Dalam rangka pengajuan usul pengecualian moratrium CPNS, Kementerian Keuangan menjalin kerjasama dan berkoordinasi dengan Kementerian PAN dan RB serta BKN. Adapun tahapan proses persetujuan permintaan pengecualian moratorium CPNS adalah sebagai berikut: t menyampaikan usulan formasi atas jabatan yang dikecualikan kepada Menteri PAN-RB dengan tembusan kepada Kepala BKN dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional; t Menteri PAN-RB akan mempresentasikan pengecualian tersebut kepada Tim Reformasi Birokrasi Nasional untuk selanjutnya dimintakan persetujuan kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional; serta t formasi ditetapkan oleh Menteri PAN-RB setelah memperoleh persetujuan dari Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional. Kementerian Keuangan telah melaksanakan seluruh tahap pengusulan pengecualian moratorium CPNS dan telah memenuhi seluruh persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh pengecualian. Persyaratan pengusulan pengecualian yang telah disampaikan kepada Kementerian PAN dan RB oleh Kementerian Keuangan adalah sebagai berikut: t Usulan lowongan formasi yang dikecualikan; t Buku Analisis Kebutuhan SDM, Analisis Beban Kerja 2011, dan Proyeksi Kebutuhan SDM 2012-2016; t Laporan Redistribusi PNS Kementerian Keuangan Tahun 2011; t Uraian Jabatan Kementerian Keuangan; t Peta Jabatan Kementerian Keuangan; t Laporan Evaluasi Organisasi Kementerian Keuangan Tahun 2011; t Laporan Perbandingan Analisis Beban Kerja Berdasarkan Keputusan Menpan No. 75 Tahun 2004 dan PMK No. 140 Tahun 2006; 230 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA t KMK No. 357/KMK.01/2011 tentang Peringkat Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan; t KMK No. 360/KMK.01/2011 tentang Peringkat Jabatan Pegawai Pelaksana di lingkungan Pangkalan Sarana Operasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; serta t Rekapitulasi Usulan Jabatan K/L yang mendesak pada masa moratorium. 12.2.6. Hasil dan Tindak Lanjut Atas pengajuan pengecualian moratorium CPNS oleh Kementerian Keuangan, terdapat dua tujuan yang dikehendaki, yaitu: 1. diberikan pengecualian atas moratorium CPNS, sehingga Kementerian Keuangan dapat melaksanakan rekrutmen pegawai baru untuk memenuhi kebutuhan SDM baru sebagai penunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan; serta 2. disetujuinya formasi untuk para lulusan Prodip I dan Prodip III Keuangan STAN sejumlah 1.607 orang dan formasi untuk mengakomodir rencana rekrutmen pegawai golongan III (sarjana) sejumlah 1.392 orang, sehingga secara keseluruhan formasi yang diusulkan kepada Kementerian PAN dan RB berjumlah 2.999 orang. 12.3. Nilai-Nilai Kementerian Keuangan 12.3.1. Latar Belakang Penyusunan Penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan dilatarbelakangi oleh: 1. untuk mewujudkan Kementerian Keuangan sebagai institusi Pemerintah terbaik, berkualitas, bermartabat, terpercaya, dihormati, dan disegani, perlu dilakukan penyatuan nilai-nilai yang ada dan tersebar di masingmasing unit eselon I Kementerian Keuangan; serta 2. untuk mendukung peningkatan kinerja institusi Kementerian Keuangan, perlu ditetapkan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi institusi Kementerian Keuangan, pimpinan, dan seluruh pegawainya dalam mengabdi, bekerja, dan bersikap. 12.3.2. Fungsi Fungsi dari Nilai-Nilai Kementerian Keuangan adalah: 1. membentuk budaya kerja yang kondusif di lingkungan Kementerian Keuangan; 2. menunjang peningkatan profesionalitas, kinerja pelayanan, dan perbaikan secara terus-menerus di dalam tubuh Kementerian Keuangan; serta 3. mempersatukan visi dan misi setiap unit eselon I ke dalam sebuah keseragaman nilai yang diimplementasikan di Kementerian Keuangan. 12.3.3. Proses Penyusunan Penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diawali oleh proses perumusan dan dilanjutkan dengan peluncuran. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 231 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 1. Perumusan Perumusan nilai-nilai dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan, Pejabat Eselon I, dan Pejabat Eselon II yang dipilih (74 orang). Dari proses ini lahirlah 5 nilai dan 10 perilaku utama Kementerian Keuangan. 2. Peluncuran Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diluncurkan pada tanggal 29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada Rapat Kerja Kementerian Keuangan yang dihadiri oleh seluruh Pejabat Eselon I dan Pejabat Eselon II. Sebagai payung hukum, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/ KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan pada tanggal 12 September 2011. Penyusunan, peluncuran, dan sosialisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pembentukan budaya kerja di Kementerian Keuangan. Adapun keseluruhan tahap yang akan dilaksanakan terkait Nilai-Nilai Kementerian Keuangan adalah: 1. Tahap Perumusan dan Peluncuran; 2. Tahap Sosialisasi; 3. Tahap Membangun Guiding Team; 4. Tahap Peran Pimpinan dan Struktur Implementasi; 5. Tahap Monitoring dan Evaluasi; serta 6. Tahap Program Pengembangan Change Agent. 12.3.4. Nilai-Nilai dan Perilaku Dasar Nilai-Nilai Kementerian Keuangan meliputi: 1. Integritas (Integrity) yang bermakna berfikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar, serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral; 2. Profesionalisme (Professionalism) yang bermakna bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen tinggi; 3. Sinergi (Synergy) yang bermakna membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas; 4. Pelayanan (Service) yang bermakna memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman; serta 5. Kesempurnaan (Excellent) yang bermakna senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik. 232 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Adapun 10 perilaku utama adalah sebagai berikut: 1. bersikap jujur, tulus, dan dapat dipercaya; 2. menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela; 3. mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas; 4. bekerja dengan hati; 5. memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormati; 6. menemukan dan melaksanakan solusi terbaik; 7. melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan; 8. bersikap proaktif dan cepat tanggap; 9. melakukan perbaikan terus-menerus; serta 10. mengembangkan inovasi dan kreativitas. 12.3.5. Implementasi Implementasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan ditempuh melalui fase-fase berikut: 1. Kick-Off Nilai-Nilai Kementerian Keuangan oleh Menteri Keuangan telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2011 bertempat di Gedung Dhanapala, kemudian dilanjutkan dengan Kick-Off di Auditorium Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Pada tanggal 1 dan 22 Oktober 2011. 2. Penunjukkan/penetapan Change Agent yang bertugas dalam internalisasi nilai-nilai. Sebagai tahap awal adalah pelaksanaan Workshop Change Agent pada tanggal 28 dan 29 November 2011. Peserta workshop adalah para Pejabat Eselon II dari seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang berjumlah 60 orang. 3. Rencana pelaksanaan sosialisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan ke daerah di tahun mendatang. 4. Workshop Change Agent untuk eselon III dan IV yang belum dilaksanakan dan akan dijadwalkan di tahun depan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 233 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 234 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEMPURNAAN Senatiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 235 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 13 Pengawasan Internal Kementerian Keuangan 13.1. Peran Strategis Pengawasan Intern Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) mengamanatkan setiap Menteri/Pimpinan Lembaga wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan Pemerintahan. Menteri Keuangan melaksanakan dan berusaha menguatkan sistem pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan dalam rangka mewujudkan Visi “Menjadi pengelola keuangan negara yang dipercaya, akuntabel dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera demokratis dan berkeadilan”. Untuk memperkuat dan menunjang keberhasilan sistem pengendalian intern, dilaksanakan pengawasan intern yang dapat memberikan keyakinan memadai bahwa pengendalian telah dilaksanakan secara efektif dan efisien. Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan melaksanakan pengawasan intern terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, review, evaluasi, pemantauan, pengawasan lainnya, dan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri Keuangan. Pelaksanaan pengawasan intern difokuskan untuk memberi nilai tambah bagi Kementerian Keuangan. Untuk itu, Itjen melakukan transformasi yang ditandai antara lain dengan perubahan mindset dari sebuah lembaga yang piawai menyingkap kekurangan, kelemahan, dan penyimpangan menjadi lembaga yang melangkah lebih jauh untuk menyodorkan solusi (problem solving) melalui peran assurance dan konsultasi serta memposisikan diri sebagai strategic business partner bagi unit eselon I lain. Sementara itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui sosialisasi anti korupsi serta penegakan hukum dan disiplin pegawai melalui penerapan reward and punishment. Sejalan dengan peran internal audit modern sebagaimana dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors, Itjen menjalankan salah satu program dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2010-2014, yaitu 236 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA mewujudkan pengawasan yang memberikan nilai tambah melalui peningkatan efektivitas proses manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola, serta peningkatan akuntabilitas aparatur di lingkungan Kementerian Keuangan. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan yang berkelanjutan dalam mencapai tata kelola Pemerintah yang baik dan bersih (good governance and clean governance) untuk mewujudkan Visi Kementerian Keuangan. 13.2. Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.09/2011, kebijakan pengawasan intern ditujukan untuk mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan. Kebijakan pengawasan intern dilaksanakan melalui: 1. pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan (sustainable); 2. pelaksanaan audit kinerja, kepatuhan (compliance), dan investigasi yang difokuskan pada program dan kegiatan yang memiliki risiko tinggi; 3. pemberian konsultasi untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas operasi, governance, dan manajemen risiko; 4. pelaksanaan review dalam rangka menjamin kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (Bagian Anggaran 015), Bagian Anggaran 999, dan Bendahara Umum Negara (BUN); serta 5. peningkatan kapabilitas dan kapasitas sumber daya Inspektorat Jenderal. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 237 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan dikoordinasikan oleh Itjen dan dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun dengan mencakup pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja. Sedangkan kebijakan pengawasan intern lainnya diarahkan untuk mendukung pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern dan memberikan penjaminan pada program dan kegiatan yang diawasi. 13.3. Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan Pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern diwujudkan melalui peningkatan penerapan pengendalian intern oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Menteri Keuangan telah menugaskan Itjen untuk memimpin peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan. Pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI) PENERAPAN SPIP Unit Operasional MONITORING Unit Kontrol Intern Sebagai upaya memperkuat supervisi manajemen, perlu dilaksanakan pemantauan pengendalian intern oleh suatu unit independen yang teringtegrasi sampai tingkat tertentu - UKI - pada sekluruh Eselon l Kemenkeu. INTERNAL AUDIT Inspektorat Jenderal THREE LINES OF DEFENCE Peningkatan penerapan pengendalian intern yang dilaksanakan pada tahun 2011 berupa penunjukan unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern di setiap unit eselon I terhadap kegiatan tertentu yang didukung dengan penambahan tugas, pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pemantauan. Adapun peningkatan terhadap penerapan pengendalian intern yang dilaksanakan pada tahun 2012 sampai dengan 2015 memiliki sasaran berupa terbentuknya struktur unit kontrol intern yang permanen pada tiap unit eselon I dan terlaksananya penerapan sistem pengendalian intern secara luas dan memadai di lingkungan Kementerian Keuangan. Selama tahun 2011, rencana aksi peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan yang telah direalisasikan meliputi: 1. penetapan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan; 2. penyelesaian penyusunan perangkat pemantauan pengendalian utama dan mekanisme kerja dalam melaksanakan pemantauan untuk kegiatan tertentu di seluruh unit eselon I; 3. capacity building melalui sosialisasi dan pelatihan (training of trainer and end user training) kepada seluruh unit eselon I, seperti melalui Seminar Sistem Pengendalian Intern Pemerintah kepada para pejabat eselon I; 4. pemantauan pengendalian utama (key control) kegiatan tertentu di seluruh unit eselon I; serta 5. monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemantauan di setiap unit eselon I, di mana terdapat 7 eselon I telah melaksanakan pemantauan pengendalian utama, yaitu DJBC, DJPU, DJA, DJPK, Bapepam-LK, BPPK, dan Itjen. 238 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Rencana peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan pada tahun 2012 adalah: 1. pembentukan struktur Unit Kontrol Intern (UKI) pada setiap unit eselon I; 2. pengembangan perangkat, mekanisme kerja, dan pelaksanaan pemantauan pengendalian intern pada kegiatan selain kegiatan yang dipantau selama tahun 2011; serta 3. pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pasa seluruh unsur pengendalian intern melalui pemantauan efektivitas implementasi dan kecukupan rancangan. 13.4. Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Pendekatan review yang dilakukan Itjen diubah dari hanya menunggu laporan keuangan di akhir tahun menjadi pengawalan atau pendampingan proses laporan keuangan dari tahap penyusunan sampai dengan pemeriksaan oleh BPK. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan memenuhi target opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (LK BA 15) tahun 2012, sesuai kontrak kinerja Menteri Keuangan dengan Presiden, Itjen selaku APIP melakukan review atas LK BA 15 yang dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan LK. Kegiatan monitoring, review, kajian, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15 yang dilakukan Itjen telah mendorong peningkatan opini BPK atas LK BA 15 tahun 2008 menjadi Qualified atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP), setelah 3 tahun sebelumnya selalu disclaimer (BPK tidak memberikan pendapat). Sejak itu, Itjen secara konsisten melakukan review, monitoring, kajian, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15 dalam rangka mencapai target WTP pada tahun 2012. Sejak tahun 2009, Itjen juga telah melakukan review monitoring, review, kajian, dan pendampingan audit BPK dalam rangka peningkatan opini BPK atas LK BA 999 dan LK BUN. Melanjutkan upaya pada tahun-tahun sebelumnya, selama tahun 2011, Itjen telah merealisasikan berbagai kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 tahun 2010. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 239 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel 13.1. Hasil Opini BPK terhadap LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 Tahun 2008-2010 Kode BA 15 999.01 Nama Laporan Keuangan Opini BPK 2010 2009 2008 Kementerian Keuangan WDP WDP WDP BUN WDP N/A N/A Pembiayaan Biaya Pinjaman dan Bunga serta Cicilan Pokok Utang WTP WTP WTP 999.02 Penerimaan Hibah 999.03 Penanaman Modal Negara 999.04 Penerusan Pinjaman WDP WDP TMP WTP-DPP WTP WTP WDP TMP TMP WTP-DPP WTP-DPP WDP untuk Dana Perimbangan dan WTP untuk Otonomi Khusus 999.05 Transfer Dana Daerah 999.06* Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain N/A WDP TMP untuk Belanja LainLain; WTP-DPP untuk Belanja Subsidi 999.07 Belanja Subsidi WDP N/A N/A 999.08 Belanja Lain-Lain WDP N/A N/A Keterangan: * Untuk LK BA 999.06 pada TA 2010 dipecah menjadi BA 999.07 dan BA 999.08. Secara umum telah terjadi peningkatan opini BPK yang cukup signifikan atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999. Kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK akan terus dilanjutkan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas LK sebagai salah satu perwujudan kepercayaan publik dalam pengelolaan keuangan negara yang akuntabel serta untuk memenuhi kontrak kinerja Menteri Keuangan dengan Presiden. 13.5. Pelaksanaan Pengawasan yang Memberi Nilai Tambah 13.5.1. Audit dan Evaluasi a. Penerapan Risk Based Audit Salah satu bentuk transformasi peran Itjen dewasa ini adalah pelaksanaan kegiatan pengawasan intern yang dapat meningkatkan stakeholders value melalui proses identifikasi area kegiatan unit eselon I yang membutuhkan pengawasan dengan pendekatan risk based audit. Pendekatan risk based audit memerlukan keterlibatan auditor Itjen dalam mengidentifikasi dan menganalisis risiko-risiko yang dihadapi unit eselon I. Itjen telah menggunakan pendekatan risk based audit dalam penentuan tema-tema pengawasan tahunan sejak perencanaan tahun 2010. Itjen menetapkan Tema Pengawasan Unggulan (TPU), yaitu kegiatan tertentu pada unit eselon I yang berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian bersama Itjen dan auditee memerlukan perhatian dan harus segera diperbaiki dan/atau ditingkatkan kinerjanya. Output akhir dari setiap penugasan pengawasan bukan lagi sekedar jumlah temuan, namun memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat mengatasi permasalahan utama dari tiap TPU. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan pengawasan Itjen akan semakin efisien dan efektif dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 240 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Audit Kinerja dan Audit Compliance Seiring perubahan paradigma pengawasan Itjen, selama tahun 2011, dilaksanakan berbagai audit kinerja dan beberapa audit compliance pada area-area di unit Eselon I yang telah dinilai dan disepakati bersama Itjen dan auditee dalam bentuk TPU. Audit kinerja dilaksanakan untuk menilai dan/atau mengevaluasi aspek ekonomis, efektivitas, atau efisiensi suatu program dan kegiatan. Sedangkan audit kepatuhan dijalankan untuk mengetahui kepatuhan auditee terhadap peraturan/ ketentuan yang berlaku. Beberapa TPU yang terkait dengan audit kinerja dan compliance antara lain audit kinerja penagihan piutang pajak, kinerja pemeriksaan pajak, pengawasan pembayaran setoran masa pajak, penyempurnaan pengelolaan utang kepada pihak ketiga, serta pengurusan piutang negara. Dari keseluruhan kegiatan audit kinerja dan compliance pada tahun 2011, Itjen telah menghasilkan 41 rekomendasi kebijakan sebagai alternatif solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi unit-unit Eselon I. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan pada tahun 2010 dan 2009, yaitu kurang dari 40 rekomendasi kebijakan. c. Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) adalah perwujudan kewajiban suatu instansi Pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik. AKIP dilaporkan setiap tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) kepada pimpinan unit di atasnya. Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, responsibilitas, kinerja instansi Pemerintah, dan kualitas LAKIP, selama tahun 2011, Itjen telah melaksanakan evaluasi sistem AKIP di lingkungan Kementerian Keuangan melalui evaluasi atas LAKIP Tahun 2010 seluruh unit Eselon I. Hasil evaluasi telah disampaikan kepada Menteri Keuangan serta Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kementerian PAN dan RB menggunakan hasil evaluasi AKIP unit Eselon I sebagai bahan evaluasi AKIP Kementerian Keuangan dan memberikan nilai B (Baik) atas Sistem AKIP Kementerian Keuangan. d. Monitoring dan Evaluasi Tindak Lanjut Hasil Survei Opini Stakeholders Untuk mendorong peningkatan mutu layanan publik dan menindaklanjuti hasil survei opini stakeholders Kementerian Keuangan Tahun 2010 dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Itjen telah melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) implementasi tindak lanjut (action plan) perbaikan oleh unit eselon I terkait. Pelaksanaan monev antara lain karena hasil survei menunjukkan terdapat beberapa unsur layanan yang perlu mendapat prioritas peningkatan berdasarkan hasil Importance Performance Analysis (IPA) serta masih terjadi pungutan di luar biaya resmi (biaya tambahan yang berdampak terhadap layanan). Berdasarkan hasil monev tahun 2011, telah dihasilkan peta tindak lanjut perbaikan di setiap unit eselon I terkait. Di samping itu, telah dapat diidentifikasi berbagai hambatan yang menjadi penyebab belum optimalnya action plan, serta telah disampaikan beberapa rekomendasi perbaikan atas peningkatan mutu pelayanan publik pada unit eselon I terkait. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 241 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 13.5.2. Asistensi dan Konsultasi a. Pelaksanaan Belanja Modal Kegiatan asistensi dan konsultasi belanja modal dilatarbelakangi adanya pendapat, saran, dan rekomendasi atas pengaduan masyarakat maupun hasil audit yang berkaitan dengan proses belanja modal di lingkungan Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan melalui Itjen dan Sekretariat Jenderal (Setjen) telah membuka layanan “help desk” belanja modal bagi seluruh unit eselon I. Layanan help desk meliputi pemberian pendapat, saran, atau rekomendasi yang berkaitan dengan pelaksanaan belanja modal. Selain itu, help desk juga memberikan layanan asistensi pelaksanaan belanja modal mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Selama tahun 2011 telah dilakukan 109 kali asistensi dan 140 kali konsultasi belanja modal di lingkungan Kementerian Keuangan. b. Penerapan Manajemen Risiko Kementerian Keuangan sebagai salah satu organisasi Pemerintah secara sadar dan aktif berusaha untuk mengelola risiko. Hal ini diwujudkan melalui PMK No. 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. PMK ini mengisyaratkan agar unit-unit mengelola risiko yang berdampak negatif bagi organisasi. Itjen sebagai compliance office for risk management berupaya memberikan asistensi dan konsultasi manajemen risiko bagi seluruh unit eselon I. Tujuan konsultasi dan pembimbingan manajemen risiko di tahun 2011 adalah: 1. meningkatkan keteladanan dari pimpinan dalam mengimplementasikan manajemen risiko dalam setiap kebijakan; 2. mendidik dan melatih anggota organisasi, sehingga memiliki kemampuan melaksanakan proses manajemen risiko; serta 3. membantu unit Eselon I lain menyusun peta risiko. Sampai akhir tahun 2011, asistensi dan review penyusunan profil risiko telah selesai dilaksanakan dengan tingkat capaian 90 persen Unit Pemilik Risiko (UPR) pada tiap eselon I telah menjalankan proses manajemen risiko secara lengkap. 13.6. Penegakan Hukum dan Disiplin Melalui Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2011 dari KPK, Kementerian Keuangan merupakan satu-satunya instansi vertikal dari 7 instansi vertikal yang dinilai, yang mendapatkan nilai integritas sebesar 7,56 di atas rata-rata 6,4. Selain itu, 4 unit layanan di Kementerian Keuangan mendapatkan posisi 1 s.d. 4 dari 15 unit layanan vertikal yang dinilai. Unit layanan tersebut, adalah: a. pelayanan SP2D di KPPN, b. pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, c. pelayanan Lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, serta d. pelayanan pengurusan impor barang (bea masuk) di DJBC. 242 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 13.6.1. Pemberantasan Korupsi Dalam rangka mewujudkan tata kelola Pemerintah yang baik dan bersih, serta melanjutkan program Reformasi Birokrasi, sepanjang tahun 2011 telah dilaksanakan berbagai upaya pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan, baik yang bersifat pencegahan maupun penindakan. Upaya pencegahan dilakukan dengan membangun sistem dan menumbuhkan sikap tidak korupsi dari para pejabat/pegawai untuk mencegah atau meminimalkan potensi terjadinya korupsi. Sedangkan upaya penindakan dilakukan dalam bentuk serangkaian kegiatan untuk mengidentifikasi, mendeteksi, membuktikan, menindaklanjuti, dan memperbaiki dampak terjadinya korupsi. a. Tindakan Pencegahan 1. Sosialisasi Pencegahan dan Anti Korupsi Sosialisasi pencegahan korupsi dilaksanakan untuk menumbuhkan sikap tidak korupsi para pegawai/pejabat dan mendorong keberanian untuk melaporkan pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Kementerian Keuangan. Sepanjang tahun 2011, telah dilaksanakan sosialisasi Anti Korupsi di Banda Aceh, Jawa Timur, Jawa Barat, lingkungan DJBC Sumut, Kalimantan Barat, Jambi, dan Manado. 2. Memorandum of Understanding dengan Lembaga Anti Korupsi Kementerian Keuangan sangat serius melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Dalam rangka koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, Kementerian Keuangan bekerjasama melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) antara lain dalam bentuk korespondensi, pertukaran data, dan pemeriksaan gabungan/task force. 3. Pemantauan Pelaporan dan Penyerahan LHKPN Kementerian Keuangan serta Pelaksanaan Eksaminasi Harta Kekayaan (Laporan Pajak-Pajak Pribadi/LP2P) Kementerian Keuangan bekerjasama dengan KPK melakukan pemantauan pelaporan dan penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di lingkungan Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan telah memperluas jumlah pejabat/pegawai yang wajib menyampaikan LHKPN dari sekitar 7.000 pejabat/ pegawai menjadi 24.000 pejabat/pegawai melalui KMK No. 38/KMK.01/2011 tentang Penyelenggara Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Penyampaian LHKPN per 28 Desember 2011 mencapai 96,04 persen. Kementerian Keuangan terus memantau dan mengingatkan pelaporan LHKPN pegawainya dengan kemungkinan pengenaan sanksi hukuman disiplin bagi penyelenggara negara yang belum menyampaikan LHKPN. Di samping itu, Kementerian Keuangan telah menugaskan Itjen untuk meneliti harta kekayaan pejabat/ pegawainya dalam Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dan Daftar Harta Kekayaan (DHK). Sampai akhir tahun 2011, telah diterima LP2P tahun 2010 sebanyak 36.054 laporan dan pada saat ini dilakukan penentuan pejabat/ pegawai yang akan dilakukan eksaminasi harta kekayaan. 4. Pengawasan dan Pengendalian Intern Kementerian Keuangan tengah melaksanakan pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan melalui pembentukan UKI di setiap unit eselon I. Hal ini diharapkan akan memperluas jangkauan dan lingkup pengawasan intern. Sistem pengendalian intern yang kuat dapat secara efektif mencegah dan meminimalisasi kemungkinan serta mendeteksi secara dini terjadinya pelanggaran dan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 243 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA b. Tindakan Penindakan 1. Permintaan Informasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Pejabat/Pegawai Kementerian Keuangan kepada PPATK Berdasarkan MoU yang telah ditandatangani, Kementerian Keuangan bekerjasama dengan PPATK dalam hal permintaan informasi transaksi keuangan mencurigakan pejabat/pegawai Kementerian Keuangan untuk keperluan audit investigasi yang sedang dilakukan. Total sejumlah 91 surat/laporan transaksi mencurigakan diterima Kementerian Keuangan dari PPATK sejak Januari 2007 hingga Desember 2011. Dari surat/laporan PPATK tersebut, sampai akhir tahun 2011, sejumlah 37 laporan telah diaudit dan kepada pegawai yang terbukti melakukan penyimpangan/penyalahgunaan wewenang direkomendasikan hukuman disiplin. Dalam kaitan ini, 7 pegawai telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menteri Keuangan secara periodik memantau dan membahas proses tindak lanjut atas laporan transaksi mencurigakan dari PPTAK. 2. Mengefektifkan Inspektorat Bidang Investigasi Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) merupakan unit investigasi Itjen yang dibentuk sebagai upaya penegakan disiplin dan pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Selama tahun 2011, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, IBI melaksanakan sosialisasi pencegahan korupsi, pengumpulan bahan dan keterangan/PULBAKET (surveillance), pelaksanaan audit investigasi, serta kegiatan lainnya. Selain hal di atas, IBI juga telah melakukan audit dengan membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari IBI, Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), dan KPK untuk melakukan audit atas keberatan dan banding pada DJP, serta Tim Khusus yang merupakan Tim Gabungan IBI, Bareskrim, Kejaksaaan, dan PPATK yang melakukan audit investigasi khusus di DJP. Kedua Tim Gabungan dibentuk untuk menindaklanjuti kasus “Gayus Tambunan” di DJP. 3. Pelimpahan Kasus Investigasi Tertentu kepada POLRI atau KPK Selama tahun 2011, IBI telah melimpahkan 2 kasus hasil audit investigasi kepada KPK dan 1 kasus kepada Bareskrim. IBI juga telah meneruskan pengaduan PPATK tentang informasi transaksi keuangan yang mencurigakan kepada KPK sebanyak 8 surat/laporan dengan terlebih dahulu meminta izin dari PPATK. 4. Tindak Lanjut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 Dalam rangka menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 sehubungan dengan terjadinya beberapa kasus hukum dan penyimpangan pajak, selama tahun 2011, Kementerian Keuangan telah melaksanakan berbagai kegiatan dengan penekanan pada bidang pengelolaan SDM perpajakan, penelitian dan investigasi kasus, serta perbaikan kinerja perpajakan. Beberapa kegiatan/tindak lanjut terkait pengawasan yang telah dilaksanakan, yaitu: t menonaktifkan dan menjatuhkan hukuman disiplin kepada beberapa pejabat/pegawai yang terkait dengan kasus Gayus Tambunan; t menyerahkan dokumen salinan Putusan Pengadilan Pajak atas 151 Wajib Pajak yang proses banding pajaknya pernah ditangani oleh Gayus Tambunan kepada POLRI untuk penyelidikan; serta t melaksanakan audit kinerja atas pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding untuk memperbaiki proses bisnis dan governance di bidang pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding. t Tindak Lanjut atas Inspres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17 Tahun 2011 244 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011, terdapat 6 rencana aksi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan, antara lain penyusunan PMK No. 249/PMK.02/2011tentang Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan RKA-KL. Secara keseluruhan, rencana aksi tersebut telah selesai 100 persen. Terkait aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk tahun 2012, telah diterbitkan Inpres No. 17 Tahun 2011. Untuk Kementerian Keuangan, terdapat 10 aksi yang akan dilaksanakan dengan penuh komitmen. 13.6.2. Pengembangan Whistleblowing System (WiSe) Sejalan dengan KMK No. 149/KMK.09/2011 tanggal 10 Mei 2011 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) Serta Tata Cara Pelaporan dan Publikasi Pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran di Lingkungan Kementerian Keuangan, telah diluncurkan Aplikasi WiSe Kementerian Keuangan pada tanggal 5 Oktober 2011. Whistleblowing System (WiSe) adalah aplikasi pengelolaan pengaduan yang disediakan oleh Kementerian Keuangan sebagai salah satu sarana bagi setiap pegawai maupun masyarakat luas pengguna layanan Kementerian Keuangan untuk melaporkan dugaan adanya pelanggaran dan/atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan. Pengaduan melalui aplikasi WiSe dilakukan dengan mengunjungi www.wise.depkeu.go.id. Dengan WiSe diharapkan dapat ditumbuhkan rasa takut untuk dilaporkan bagi pejabat/ pegawai Kementerian Keuangan yang akan melakukan suatu tindakan pelanggaran/korupsi, sehingga dapat turut membantu mencegah dan meminimalkan potensi terjadinya pelanggaran/korupsi. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 245 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 13.6.3. Penjatuhan Hukuman Disiplin Dalam rangka penegakan disiplin dan sekaligus sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, Kementerian Keuangan telah menjatuhkan berbagai hukuman, baik berupa peringatan tertulis maupun hukuman disiplin kepada para pegawai/pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran. Berdasarkan data Itjen, sejak tahun 2004 hingga 2011, total sejumlah 4.184 hukuman, berupa peringatan tertulis, hukuman disiplin, atau pemberhentian sementara telah dijatuhkan kepada pejabat/pegawai Kementerian Keuangan atas pelanggaran yang dilakukan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 512 hukuman di antaranya tercatat dijatuhkan pada tahun 2011. Tabel 13.2. Rekapitulasi Jumlah Penjatuhan Hukuman Disiplin di Lingkungan Kementerian Keuangan Tahun 2004-2011 Tahun Anggaran Jumlah Dikenai Hukuman 2011 512 2010 2009 Rincian per Jenis Hukuman Peringatan Hukuman Ringan 247 127 1.008 704 114 672 383 96 Hukuman Sedang 44 Hukuman Berat Pemberhentian Sementara 91 3 63 109 18 63 116 14 2008 883 417 190 100 167 9 2007 269 152 20 24 70 3 2006 349 197 25 34 89 4 2005 369 268 17 16 67 1 2004 Jumlah 122 62 4 6 50 0 4.184 2.430 593 350 759 52 Sumber: Itjen Kementerian Keuangan. 13.7. Tantangan Pengawasan Intern Tahun 2012 Itjen selaku APIP memegang peran penting dan sentral dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan intern di Kementerian Keuangan. Hal ini mendorong Itjen untuk terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber dayanya dalam menjalankan peran pengawasan intern. Kebijakan pengawasan intern telah memberi arah dan acuan bagi Itjen dan unit eselon I lainnya untuk mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan. Berbagai kegiatan pengawasan intern pada tahun 2011 serta beberapa hal yang menjadi tantangan bagi Itjen dalam menjalankan fungsi pengawasan intern Kementerian Keuangan di tahun 2012, antara lain: 1. pembentukan struktur UKI pada setiap unit eselon I untuk memperkuat sistem pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan; 2. pemenuhan target opini WTP dari BPK atas LK BA 15 pada tahun 2012, melalui kegiatan review, pembahasan, kajian, dan pendampingan audit BPK; 3. pelaksanaan berbagai kegiatan pengawasan, meliputi audit, monitoring, evaluasi, review, dan kegiatan lainnya yang dapat memberi nilai tambah bagi organisasi, terutama dalam mengawal Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan; serta 4. pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan menggiatkan berbagai tindakan pencegahan dan penindakan. 246 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Bagaimanapun, pengawasan intern adalah seluruh proses untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kePemerintahan yang baik. SPI melekat di sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, dan bukan keyakinan mutlak. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab seluruh elemen Kementerian Keuangan untuk mewujudkan sistem pengendalian yang kuat dalam mencapai tujuan organisasi. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 247 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 14 Penutup Banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh segenap jajaran Kementerian Keuangan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara. Kegiatan-kegiatan dimaksud dilaksanakan dengan berpedoman pada dokumen perencanaan dan didukung oleh tersedianya sumber daya manusia, pendanaan, serta prasarana dan sarana. Semua elemen di lingkungan Kementerian Keuangan berupaya memberikan yang terbaik sebagai wujud nyata bakti kepada nusa dan bangsa Indonesia, sehingga target-target kinerja yang ditetapkan pada umumnya dapat dicapai dengan baik. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa bidang kegiatan yang belum terselesaikan (pending matters) atau masih perlu ditingkatkan. Bidang-bidang yang masih tertunda akan terus diupayakan penyelesaiannya, sedangkan bidang-bidang yang belum memberikan kontribusi maksimal akan disempurnakan secara terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang. Setiap bidang yang ditangani oleh unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan memiliki karakter dan kekhasan tersendiri, sehingga membutuhkan sumber daya yang spesifik, meskipun terdapat pula kesamaan dalam beberapa hal. Sebagian bidang kerja memerlukan kompetensi sumber daya manusia yang memadai dalam penguasaan aspek-aspek ekonomi makro, sedangkan bidang-bidang kerja lainnya membutuhkan kapabilitas pada tataran mikro. Terdapat pula bidang-bidang kerja yang membutuhkan kemampuan sumber daya manusia dengan kombinasi di antara keduanya. Konteks keragaman juga terjadi pada sumber daya pendanaan maupun ketersediaan prasarana dan sarana. Kondisi ini merupakan konsekuensi alamiah dan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh Kementerian Keuangan sebagai suatu organisasi berskala besar, termasuk memiliki instansi vertikal di daerah. Kompleksitas ruang lingkup pekerjaan dan ekspektasi yang sangat besar dari stakeholder telah memacu seluruh elemen di lingkungan Kementerian Keuangan untuk memberikan yang terbaik. Untuk itu, pada periode sebelumnya telah diterapkan Reformasi Birokrasi untuk menata struktur organisasi, proses bisnis, dan sumber 248 | LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA daya manusia. Upaya ini masih terus dilakukan hingga saat ini dan telah menunjukkan hasilnya dengan nyata. Penanganan di bidang perumusan kebijakan fiskal, penerimaan negara, belanja negara, perimbangan keuangan, dan perbendaharaan negara, terus menunjukkan kinerja yang meningkat, bahkan beberapa diantaranya meningkat dengan sangat signifikan. Pencapaian yang serupa dapat pula diamati dalam pengelolaan pembiayaan melalui utang, kekayaan negara, industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank, kerjasama internasional,maupun pengembangan sumber daya manusia. Sekalipun telah menunjukkan perkembangan kinerja individu maupun organisasi yang membanggakan, namun implementasi Reformasi Birokrasi tersebut perlu senantiasa diperbaiki, ditingkatkan, dan diperkuat. Salah satu langkah strategis yang telah ditempuh untuk memaksimalkan kinerja para pegawai Kementerian Keuangan adalah dengan menetapkan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan. Pada tahap awal peluncurannya, tantangan yang dihadapi adalah mensosialisasikan nilai-nilai ini kepada segenap jajaran Kementerian Keuangan di tingkat pusat maupun daerah. Sosialisasi sangat penting dilakukan untuk memastikan diterima dan dipahaminya nilai-nilai integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan oleh segenap jajaran Kementerian Keuangan. Penerimaan dan pemahaman menjadi prasyarat bagi perubahan cara berpikir (mind set), sehingga dapat ditransmisikan menjadi perubahan perilaku sesuai yang diinginkan. Sejak tahun 2011, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan mulai diperkenalkan dan secara konsisten akan dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya. Tujuannya adalah agar nilai-nilai dimaksud dapat mewarnai bakti dalam bentuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi seluruh PNS Kementerian Keuangan, termasuk dalam hal membentuk budaya organisasi yang kokoh. Kesemuanya bermuara pada pengelolaan keuangan negara yang optimal dalam mendukung administrasi Pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 249