8 Bab 2 Landasan Teori Pada bab satu Pendahuluan telah

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
Pada bab satu Pendahuluan telah dijelaskan bahwa bahasa dapat menunjukan dari
lingkungan sosial seperti apa seseorang itu berasal. Selain itu bahasa juga dapat
mengidentifikasi sisi psikologis dari pemakai bahasa tersebut. Oleh karena itu, teori
yang akan digunakan penulis untuk menganalisis, beberapa di antaranya memakai teori
di bidang psikologi.
2.1 Teori Psikologi Keluarga
M enurut Gea (2006:8) keluarga merupakan satuan hidup sosial terkecil yang dimiliki
manusia sebagai mahluk sosial. Keluarga terbentuk melalui suatu ikatan perkawinan
atau oleh hubungan darah. Ada yang disebut keluarga inti (nuclear family), dimana
anggotanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak kandung.
Selanjutnya Gea (2006:18) keluarga adalah tempat dan lingkungan utama dan
pertama bagi seorang anak dalam menjalani proses sosialisasi terhadap aneka macam
kehidupan. Konkritnya nilai nilai tersebut menjadi dampak melalui aneka norma yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup anggota keluarga dalam mengatur dan
mengarahkan tingkah laku mereka.
Sependapat dengan Gea, Soekanto (1990:494) juga berpendapat bahwa lingkungan
pertama yang berhubungan dengan anak adalah keluarga. M elalui lingkungan itulah
sang anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari hari.
Keluarga lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak, supaya anak
8
memperoleh dasar dasar pola pergaulan hidup yang baik dan benar. Bila sang anak tidak
mendapatkannya maka kemungkinan sang anak akan berpaling ke lingkungan lain.
Untuk mengerti seorang anak dalam sebuah keluarga kita harus melihat pada
lingkungan keluarganya, misalnya dari suasana dan struktur keluarganya (Papalia,
2007:360). Seperti yang dinyatakan Bronfenbanner dalam Papalia (2007:360), bahwa
lapisan penyebab tambahan seperti orang tua bekerja, status sosio-ekonomi, urbanisasi,
perubahan ukuran keluarga, perceraian dan penikahan kembali setelah mengalami
perceraian turut membentuk lingkungan keluarga dan juga membentuk pertumbuhan
anak.
Pada paragraf sebelumnya tertulis bahwa perceraian dapat membentuk pertumbuhan
anak. Perceraian adalah hal yang memberi tekanan pada anak (Papalia, 2007:365).
Pertama tekanan karena konflik suami-istri, kemudian berpisahnya orang tua dan secara
mendadak berpisah dengan salah satu sosok orang tua dan biasanya sosok yang berpisah
adalah sosok sang ayah. Tentunya perceraian ini membawa dampak bagi sang anak.
M enurut Amato dalam Papalia (2007:367) kebanyakan anak yang orang tuanya
mengalami perceraian memiliki resiko yang lebih tinggi pada masa remaja atau masa
dewasa, seperti perilaku antisosial, kesulitan dalam menerima figur kekuasaan.
M enurut Papalia (2007:365) perceraian membuat seorang anak akan kehilangan salah
satu sosok orang tua dalam hidupnya dan biasanya sosok ayah. Perceraian atau
perpisahan dalam keluarga dapat membuat seorang ibu atau ayah menjadi seorang single
parent dalam mengasuh anak mereka. Anak yang diasuh dengan single parent, menurut
Papalia (2007:367) tidak jarang ditemukan akan mengalami ketinggalan dalam
lingkungan sosial dan pendidikan mereka, walaupun anak yang memiliki orangtua
single parent ini melakukan segala sesuatunya dengan baik.
9
2.1.1 Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua dalam keluarga atau parenting style juga dapat membentuk
kepribadian atau perilaku sang anak yang negatif (Papalia, 2007:296). Baumrind dalam
Papalia (2007:300) membagi pola asuh orang tua ini menjadi tiga macam, yaitu :
1. Authoritarian parents (orang tua yang otoriter), sesuai yang dikatakan oleh
Baumrind dalam Papalia (2007:300) bahwa orang tua yang menerapkan pola
asuh ini menjunjung pengaturan diri dan patuh agar tidak mempertanyakan suatu
hal atau mempertanyakan keputusan orang tua yang sudah ditetapkannya untuk
anak-anak mereka. M ereka mencoba untuk membuat anak mereka patuh pada
standar yang telah ditetapkan dan menghukum mereka dengan keras apabila
melanggar standar tersebut. M ereka cenderung canggung dan kurang hangat
kepada anak mereka dibandingkan orang tua yang menerapkan pola asuh lainnya
pada anak mereka. Anak yang berpola asuh otoriter ini akan merasa tidak
bahagia, pendiam atau suka menyendiri, dan penuh rasa curiga pada orang
sekitar. Papalia (2007:427) pola asuh seperti ini, menerapkan anak untuk tidak
berargumen dan bertanya pada orang dewasa serta memberitahu anak mereka
bahwa mereka akan tahu lebih baik ketika mereka tumbuh. Apabila sang anak
mendapatkan nilai yang baik disekolah, mereka memperingatkan pada anak
mereka untuk mendapatkan nilai yang lebih baik lagi. Bila anak mereka
mendapatkan nilai yang buruk mereka akan menghukum dengan mengurangi
uang jajan/kelonggaran atau memarahi anak mereka. Papalia (2007:373-374),
Anak yang dididik dengan pola asuh hukuman dan ancaman ini kemungkinan
10
besar akan berprilaku mengancam dan berpura-pura pada anak yang lain. M ereka
juga kurang populer di kalangan teman-teman sepermainannya.
2. Permissive parents (orang tua yang serba membolehkan), Baumrind dalam
Papalia (2007:300) menyatakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh
permissive ini akan menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri anak mereka.
M ereka membuat sedikit peraturan dan membiarkan anak mereka memonitor
aktivitas mereka sendiri selagi memungkinkan. Ketika mereka membuat
peraturan, mereka akan menjelaskan pada anak mereka. M ereka berbicara
dengan anak-anak tentang kebijaksanaan yang mereka putuskan, dan jarang
menghukum anak mereka. M ereka hangat, tidak mengatur, dan tidak menuntut.
Anak-anak yang masih pre-school cenderung akan menjadi pribadi yang belum
dewasa, kurang pengendalian diri, dan kurang explore atau menyelidiki segala
sesuatu. Ginsburg dan Bronstein dalam Papalia (2007:340), orang tua permissive,
tidak peduli pada apa yang dilakukan anaknya di sekolah. Papalia (2007:427),
pola asuh ini tidak menerapkan peraturan seperti peraturan nonton TV, tidak ikut
serta dalam menjalankan fungsi sekolah, dan tidak membantu dalam memeriksa
pekerjaan rumah anak mereka. Orangtua percaya bahwa pada masa remaja
seharusnya anak tersebut bertanggung jawab pada hidup mereka sendiri.
3. Authoritative parents, menurut Baumrind dalam Papalia (2007:300) pola asuh
orang tua ini menilai individualitas anak. M ereka percaya akan kemampuan
mereka dalam mendidik anak tapi mereka juga menghormati anak mereka dalam
kebebasan mengambil keputusan, kebebasan memberi perhatian, kebebasan
beropini dan bebas membentuk kepribadian. Teguh pada standar peraturan, akan
menetapkan batasnya, bijaksana dalam memberi hukuman ketika hal tersebut
11
dibutuhkan. Orang tua yang hangat dan memiliki hubungan yang supportive.
Pada anak yang masih pre-school, pola asuh ini cenderung membuat anak
tersebut menjadi
percaya diri, mampu mengendalikan diri, tegas, mampu
mengexplore diri. Sementara pada remaja, pola asuh ini berakibat pada
kesuksesan anak disekolah. Orang tua authorative ini mendorong remaja untuk
melihat isu dari kedua sisi, melibatkan anak mereka untuk ikut berpartisipasi
dalam mengambil keputusan keluarga, dan mengakui bahwa anak-anak mereka
terkadang lebih tahu dibandingkan orang tua. Apabila anak mereka mendapatkan
nilai bagus di sekolah, mereka akan memberi pujian dan memberikan hak
istimewa untuk anak mereka, sementara bila anak mereka mendapatkan nilai
buruk, maka mereka akan memberikan dorongan untuk lebih keras lagi dan
menawarkan bantuan bila anak mereka membutuhkannya.
Selain ketiga jenis pola asuh orang tua yang telah disebutkan oleh Baumrind di atas,
M accoby dan M artin dalam Papalia (2007:300) menambahkan satu pola asuh lagi. Pola
asuh tersebut adalah neglectful parenting yaitu orang tua yang lalai dikarenakan stres
atau depresi, dan mereka memfokuskan kebutuhan mereka sendiri dibandingkan anak
mereka. M ereka tidak memperhatikan kebutuhan anak mereka seperti kebutuhan
makanan, pakaian, pengobatan, perlindungan, dan pengawasan terhadap anak.
Dari ketiga jenis pola asuh yang telah dijelaskan di atas, pola asuh yang baik untuk
perilaku sang anak adalah pola asuh authoritative. M enurut Papalia (2007:301), pola
asuh ini jelas, konsisten pada peraturan yang dibuat, mereka membiarkan anak mereka
mengetahui hal apa yang mereka harapkan pada anak mereka. Dalam keluarga yang
authoritarian, anak-anak diatur sangat keras, mereka tidak bisa membuat keputusan
mereka sendiri dan orang tua bebas mengatur perilaku anak mereka. Sementara dalam
12
keluarga permissive, anak-anak kurang menerima didikan dari orang tua mereka, mereka
akan menjadi pribadi yang bimbang dan khawatir atas apa yang mereka lakukan itu
merupakan suatu hal yang benar atau tidak.
Salah satu contoh pola asuh yang salah adalah pola asuh ibu yang bekerja. M aksud
dari ibu yang bekerja di sini adalah ibu yang bekerja untuk memenuhi kondisi keuangan
keluarga agar tidak mengalami kemiskinan. Karena menurut Papalia (2007:362), orang
tua yang tinggal dalam kemiskinan, biasanya menjadi mudah cemas, depresi, dan mudah
marah. M ereka akan kurang kasih sayang dan kurang tanggap terhadap anak mereka.
M ereka mungkin akan kejam, dan sewenang-wenang. Dengan kondisi lingkungan
keluarga yang seperti ini, dapat membuat anak menjadi depresi, bermasalah dalam
sebuah pertemanan, kurang percaya diri, bermasalah pada akademis atau pendidikan
mereka dan bermasalah dalam membangun tingkah laku mereka, serta bertingkah anti
sosial terhadap lingkungan.
2.2 Konsep Masculine Protest
Masculine Protest merupakan suatu kondisi yang menyatakan bahwa kehidupan
psikis wanita pada dasarnya sama dengan pria. Salah satu tokoh psikologi yang percaya
akan konsep ini adalah Alfred Adler. Adler dalam Feist (2006:83) percaya bahwa pada
umumnya kehidupan psikis wanita dan pria adalah sama dan perkumpulan yang
didominasi oleh pria itu bukan suatu yang alami melainkan hanya produk dari
perkembangan sejarah yang palsu. Dari pernyataan Adler (2006:83) ini, menyebabkan
banyak pria dan wanita terlalu menekankan bahwa menjadi lebih berani adalah suatu hal
yang penting.
13
Di banyak masyarakat, anak laki-laki biasanya diajarkan untuk menjadi seorang yang
maskulin atau bisa dibilang diajarkan menjadi seorang yang berani, kuat, dan dominan.
Lambang sebuah kesuksesan bagi anak laki-laki adalah kemenangan, kekuatan, dan
selalu berada di puncak. Laki-laki itu agresif dan bebas. Seorang anak laki-laki terlihat
memiliki kekuatan, pendidikan, berbakat dan memiliki motivasi untuk melakukan hal
yang hebat. Tapi berbeda dengan anak perempuan, yang selalu diajarkan untuk menjadi
seorang yang pasif dan menerima posisi rendah di masyarakat, ketergantungan dan
lemah.
M enurut Adler dalam Feist (2006:83), beberapa wanita memilih untuk bertarung
melawan feminitas mereka, membangun orientasi kemaskulinan, dan menjadi seorang
yang tegas maupun kompetitif. Kondisi perlawanan seperti ini disebut dengan masculine
protest.
Konsep penolakan feminitas ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif dari konsep ini adalah menjadikan perempuan lebih bersemangat, dia
akan memperlihatkan semacam pendidikan yang memberinya energi lebih banyak.
Sedangkan dampak negatif dari konsep ini adalah ancaman pada angka kelahiran anak.
Biasanya wanita yang menganut konsep ini cenderung akan sangat bekerja keras, dan
tidak memikirkan untuk menikah ataupun melahirkan seorang anak (Connel, 2003:249).
Adler dalam Connel (2003:249) menyatakan bahwa kemaskulinan dan kefeminisan atau
hirarki gender seseorang dibentuk oleh kekuatan hubungan sosial
orang tersebut
(social power relation).
14
2.3 Kedudukan Persona Pronomina dalam Tata Bahasa Jepang
Dalam bahasa Jepang, banyak sekali persona pronomina yang dapat digunakan dalam
berkomunikasi. Kata tunjuk orang atau persona pronomina ini dalam bahasa Jepang,
berada dalam kelas kata meishi (kata benda). Meishi adalah kata-kata yang menyatakan
orang, benda, keadaan dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh M asuoka dan
Takubo (1992:33)
日本語の名詞は「人名詞」「もの名詞」「事態名詞」「場所名詞」「方向
名詞」「時間名詞」という基本的な意味はんちゅうにわけて考えることが
できる。
Terjemahan : Nomina dalam bahasa Jepang dapat dikelompokkan berdasarkan
artinya, yaitu hitomeishi (nomina orang), monomeishi (nomina benda), jitaimeishi
(nomina situasi), bashomeishi (nomina tempat), houkoumeishi (nomina arah),
jikanmeishi (nomina waktu).
Pronomina dalam bahasa Jepang sering dikenal dengan sebutan daimeishi. Sama
halnya dengan meishi, daimeishi yang merupakan bagian atau salah satu jenis dari kelas
kata meishi memiliki arti yang sama dengan meishi, yaitu kata-kata yang menunjukan
sesuatu secara langsung tanpa menyebutkan nama orang, benda, barang, perkara, arah,
tempat, dan sebagainya (Sudjianto dan Dahidi, 2004:160). Selain pendapat Sudjianto
dan Dahidi, Tanaka (1990:81) juga menyebutkan pengertian tentang daimeishi, yaitu
人や事物の名を言う代わり、それらを直接に指して言う言葉を代名詞とい
います。代名詞には人指し示す人称代名詞と事物の場所.方向を指し示す
指示代名詞とがあります。
Terjemahan : Yang disebut daimeishi adalah kata yang menunjukan secara
langsung penggantian kata penunjuk orang dan benda. Dalam daimeishi yang
menunjukan orang disebut ninsho daimeishi (kata ganti orang) dan yang
menunjukan tempat benda atau arah disebut dengan shiji daimeishi (kata ganti
tunjuk).
.
Dari kutipan pengertian daimeishi yang diberikan oleh Tanaka di atas diketahui
bahwa daimeishi yang digunakan untuk menyebutkan orang disebut juga dengan ninsho
15
daimeishi (persona pronomina). Ninsho daimeishi dikelompokkan menjadi tiga bagian
yaitu jisho daimeishi (persona pronomina pertama), taisho daimeishi (persona
pronomina kedua) dan tasho daimeishi (persona pronomina ketiga) (Tanaka,1990:81).
Jisho daimeishi merupakan persona pronomina pertama yang dipergunakan untuk
menunjukkan diri sendiri, misalnya watashi, atashi, boku, ore, washi, atai, dan
sebagainya. Taisho daimeishi merupakan persona pronomina yang digunakan untuk
menunjukkan orang yang diajak berbicara atau lawan bicara, misalnya anata, anta, kimi,
omae, kisama, dan sebagainya. Sementara tasho daimeishi merupakan persona
pronomina yang digunakan untuk menunjukkan orang yang menjadi bahan pembicaraan
atau orang ketiga, misalnya kare, kanojo, aitsu, koitsu, dan lain lain. Bentuk jamak dari
kata-kata yang telah disebutkan tadi biasanya hanya perlu ditambahkan tachi
(watashitachi, atashitachi, kimitachi, anatatachi, oretachi, bokutachi, dan sebagainya)
dan ra (bokura, omaera, dan sebagainya) kecuali watakushi yang ditambahkan kata
domo di belakangnya.
Dari semua yang telah disebutkan di atas, kesemua persona pronomina tersebut
memiliki aturan yang jelas dalam penggunaannya. Persona pronomina boku dan kimi
hanya boleh digunakan oleh pria sementara atashi hanya digunakan oleh wanita.
普通男性用はぼく(第一人称)、きみ(第二人称)であり、女性用はあた
し(第一人称)、あなた(第二人称)である。そして「ぼく」と「きみ」
は男性専用語である。
Terjemahan : biasanya laki-laki menggunakan boku (persona pronomina
pertama) dan kimi (persona pronomina kedua), perempuan menggunakan atashi
(persona pronomina pertama) dan anata (persona pronomina kedua). Boku dan
kimi adalah bahasa yang digunakan oleh laki-laki (Liudeyou, 1989:76).
Aturan penggunaan persona pronomina lain yang dikemukakan oleh Liudeyou
(1989:77) adalah
16
このほかに、男性専用語として「おれ」「自分」「わし」わが輩」(以上第一
人称)、「貴様」「てめえ」(以上第二人称)などがあり、女性専用語に
「あたい」「あたくし」「うち」(以上第一人称)などがある。
Terjemahan : Selain itu, bahasa yang digunakan laki-laki sebagai persona
pronomina pertama lainnya ada (ore), (jibun), (washi) dan (wagahai) dan lain lain;
(kisama), (temee) (persona pronomina kedua lainnya), bahasa yang digunakan
wanita ada (atai), (atakushi), (uchi) (persona pronomina pertama lainnya) dan lain
lain.
Agar lebih mudah dalam aturan penggunaannya, penulis mengelompokkan beberapa
persona pronomina dalam bahasa Jepang berdasarkan jumlah dan gender dari
pemakainya.
Tabel 2.1
Persona Pronomina「人称代名詞」
Kata Ganti Orang Pertama 「自称代名詞」
Laki-laki (Single)
Laki-laki (Plural)
わたし
ぼく
おれ
われわれ
わし
わたくし
自分
わがはい
わたしたち
ぼくたち
おれたち
ぼくら
Perempuan
(Single)
わたし
あたし
あたくし
わたくし
あたい
うち
Perempuan
(Plural)
わたしたち
あたしたち
Perempuan
(Single)
あなた
あんた
Perempuan
(Plural)
あなたたち
あんたたち
Kata Ganti Orang Kedua 「対称代名詞」
Laki-laki (Single)
Laki-laki (Plural)
あなた
あんた
きみ
おまえ
きさま
てめえ
あなたたち
あんたたち
きみたち
おまえら
17
Kata Ganti Orang Ketiga 「他称代名詞」
Laki-laki (Single)
Laki-laki (Plural)
かれ
かのじょ
こいつ
そいつ
あいつ
どいつ
かれら
かれたち
こいつら
そいつら
このかたがた
そのかたがた
このかたたち
そのかたたち
あのかたたち
Perempuan
(Single)
このかた
そのかた
あのかた
どのかた
かれ
かのじょ
Perempuan
(Plural)
このかたたち
そのかたたち
あのかたたち
このかたがた
そのかたがた
かれたち
18
Download