Pengelolaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif (Suatu Kajian

advertisement
Pengelolaan Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif
(Suatu Kajian Peningkatan Sektor Ekonomi Mikro dalam Islam)
Oleh: Haris al Amin
Abstract
Zakat as pillars of Islam that aims to redistribute the wealth of his people, its
momentum as one of the alternatives or solutions. With the aim to change the recipients into
giving zakat, Islam already offer shared values in society, as well as a characteristic as a
religion of liberation, freeing people from poverty. During this time, the role of zakat in
alleviating poverty is not optimal, it is because the perspective of all parties, both muzakki ,
managers and mustahiq, in managing Zakat is still oriented consumer. As a result, the
proceeds of such zakat runs for consumption without any effect on the problem of poverty.
In order to realize zakat as one solution to poverty, the need for a paradigm shift in
the management of Zakat of consumptive become productive oriented. Zakat management
productive orientation must be understood together thoroughly by all societies (muzakki,
amyl and mustahiq ). Society must understand the purpose of managing the productive zakat
is for the welfare of society,as mentioned in Article 3 of Law No. 23 of 2011 that the
management of zakat aims :
1. Improving the effectiveness and efficiency of care in the management of zakat
2. Increase the zakat benefit for the public welfare and poverty reduction.
Keyword: Poverty, Management of zakat, financial consulting, socio-walfare.
Pendahuluan
Kemiskinan sampai hari ini masih menjadi fenomena sosial sekaligus
permasalahan yang tiada ujungnya. Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dari
dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan untuk menolong
sesama. Dalam ajaran islam ada instrumen yang mengatur mekanisme untuk mengeluarkan
harta kekayaan yang wajib ditunaikan, instrumen tersebut adalah zakat. Zakat merupakan
salah satu pendekatan Islam dalam pengentasan kemiskinan dan pencapaian pemerataan
kesejahteraan berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah
satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam, oleh
sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat
– syarat tertentu.
Zakat disamping sebagai ibadah individu dimana di dalam zakat juga terkandung
misi pengembangan ekonomi umat, tujuan zakat untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sulit terwujud apabila tidak ada peran aktif dari para muzakki dan
pengelola zakat (amil). Para muzakki harus sadar betul bahwa tujuan mereka berzakat tidak
hanya semata-mata menggugurkan kewajibannya akan tetapi lebih luas lagi yaitu untuk
mengentaskan kemiskinan.
Badan Pemungut atau pengumpul zakat (amil) bukan hanya sebatas memungut,
pengumpul dan penbdistribusian saja melainkan dituntut harus profesional, inovatif dan
kreatif dalam pengelolaan dana zakat agar potensi zakat tepat, efisien dan maksimal
sehingga terwujudnya tujuan zakat yang sebenarnya yaitu meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan bersama dunia dan akhirat, karena kemiskinan dapat mempengaruhi akidah
umat dan salah satu penyebab orang keluar dari agama adalah karena kemiskinan dan
kefakiran.
Berdasarkan Undang – Undang No. 23 Tahun 2011, dijelaskan bahwa dana zakat
dapat didistribusikan pada dua jenis kegiatan besar, yakni kegiatan-kegiatan yang bersifat
konsumtif dan produktif. Kegiatan konsumtif adalah kegiatan yang berupa bantuan sesaat
untuk menyelesaikan masalah yang bersifat mendesak dan langsung habis setelah bantuan
tersebut digunakan. Sementara kegiatan produktif adalah kegiatan yang diperuntukkan bagi
usaha produktif yang bersifat jangka menengah-panjang (investasi). Dampak dari kegiatan
produktif ini umumnya masih bisa dirasakan walaupun dana zakat yang diberikan sudah
habis terpakai. Lebih jauh lagi, pendayagunaan dana zakat diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar bagi para mustahik zakat, seperti makanan, kesehatan, dan
pendidikan. Apabila kebutuhan tersebut sudah dipenuhi atau terdapat kelebihan, alokasi dapat
diperuntukkan bagi kegiatan usaha yang produktif melalui program pemberdayaan atau
kegiatan yang berkesinambungan.
Islam dan Problematika Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan kehidupan dimana orang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar. Zakiyah Darajat mendefinisikan kemiskinan bahwa orang yang tidak
cukup penghidupannya dan dalam kekurangan. Bambang Sudibyo mengukur ketetapan
miskin dengan memakai standar nisab zakat. Akan tetapi yang terjadi di dalam masyarakat
tidak jarang adanya perdebatan dalam kategorisasi seseorang dikatakan miskin, hal
tersebut karena masyarakat memandang bahwa kurang atau tidaknya pemenuhan seharihari itu bersifat relatif. Sebagai salah satu ukuran kemiskinan adalah apa bila seseorang
memiliki harta di bawah ukuran nisab zakat maka seseorang tersebut digolongkan
miskin. Penentuan seseorang atau keluarga dikategorikan miskin berdasarkan sampai
berapa jauh terpenuhinya kebutuhan pokok atau konsumsi nyata yang meliputi pangan
sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan pokok ini dinyatakan
secara kuantitatif (bentuk uang) berdasarkan harga tiap tahunnya. Ukuran tersebut di
atas menurut hemat penulis cukup untuk dijadikan landasan penentuan kategorisasi miskin
karena sudah mencakup kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Jika ditinjau dari pendapatan, kemiskinan ada dua macam yaitu kemiskinan
relatif dan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat antara satu tingkatan
pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya, sebagai contohnya seseorang dalam
kelompok masyarakat tertentu dapat digolongkan kaya akan tetapi dalam kelompok lain
dapat digolongkan miskin. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan
yang ditentukan terlebih dahulu menetapkan garis tingkat pendapatan di atas tingkat
pendapatan minimum tersebut dikategorikan bukan orang miskin.
Kemiskinan jika ditinjau dari penyebabnya ada dua macam yaitu sebab mental
(kultural) dan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh kultural yaitu kemiskinan yang
disebabkan oleh budaya seperti malas, boros, dan lainnya. Sedangkan Kemiskinan yang
disebabkan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sistem pembangunan yang
tidak adil dan diakibatkan oleh faktor-faktor ulah rekayasa manusia.
Kemiskinan dalam Islam menjadi perhatian serius. Hal tersebut terbukti dengan
banyaknya ayat-ayat al qur‟an yang memerintahkan untuk memberikan makanan kepada
orang-orang yang kelaparan dan saling mengingatkan untuk menolong fakir miskin. Begitu
pentingnya menolong orang orang miskin, sehingga Allah menyatakan sebagai pendusta
agama orang yang tidak mau memberi makan orang miskin, dengan Fifman-Nya dalam (Q.S.
al Ma‟un: 1-3):
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin”.
(Q.S. al Ma‟un: 1-3).
Nabi Muhammad selalu mengajarkan kepada umatnya agar memberikan bantuan
sosial kepada yang membutuhkan. Sebagai contohnya adalah ketika bani Nadir berpindah
dan harta bendanya dimiliki oleh umat Islam rasulullah membagikan harta tersebut
dengan bagian yang sama kepada kaum Muhajirin. Orang-orang Ansar yang miskin dan
tidak punya sumber kehidupan juga diberi harta tersebut. Rasulullah selanjutnya
berusaha menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap anggota masyarakat miskin
dan cacat serta bagi yang tidak mampu menyediakan kebutuhan pokok bagi dirinya atau
keluarganya.
Islam memerintahkan kepada umatnya agar melawan kemiskinan. Di samping umat
Islam diperintah untuk berjuang merubah diri mereka sendiri dengan bekerja keras, juga
diajarkan agar tanggap terhadap kondisi lingkungan sekitar untuk memeratakan pendapatan
dan kekayaan terutama bagi masyarakat pedesaan. Sebagai salah satu cara untuk
mempersempit ketimpangan ekonomi dalam masyarakat, maka umat Islam dianjurkan
untuk bersodaqoh, berinfaq dan diwajibkan untuk berzakat.
Pengertian dan Definisi Zakat
Kata zakat berasal dari kata zaka yang mempunyai pengertian berkah, tumbuh,
bersih dan baik. Sedangkan menurut lisan Arab, Zakat menurut bahasa artinya namu‟ atau
kesuburan, thaharah atau kesucian, barakah atau keberkahan serta tazkiyyah, tathhier artinya
mensucikan.
Zakat dalam istilah fiqih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
SWT diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Dinamakan zakat karena dapat
mengembangkan, menyuburkan pahala dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya
dari bahaya.
Undang-undang nomor 23 tahun 2011 pasal ayat 3 Tentang Zakat, menjelaskan
bahwa Zakat adalah “harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam ”.
Di dalam Al Qur‟an telah ditegaskan mengenai perintah berzakat antara lain:
Q.S. (Ath Taubah : 103) “Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka dengan itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”.
Q.S. (Al Baqarah :43) “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta
orang-orang yang ruku‟ ”.
Hadist rasulullah “Sesunguhnya Allah mewajibkan (Zakat) atas orang orang kaya
dari ummat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro‟ diantara
mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau pada saat
mereka tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantara mereka. Ingatlah
bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih”
(H.R Ath Thabarany dari Ali R.A).
Dari penegasan di atas tampak bahwasanya Zakat adalah merupakan alat
pertanggungan atau penjamin kesejahteraan sosial yang cukup efektif.
Tujuan Zakat
Setiap segala ajaran agama Islam pasti mempunyai sebuah tujuan, di antara tujuantujuan zakat adalah sebagai berikut:
-
Membantu, mengurangi dan mengangkat kaum fakir miskin dari kesulitan hidup
dan penderitaan mereka
Membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para mustahiq zakat
Membinan dan merentangkan tali solidaritas sesama umat manusia
Mengimbangi ideologi kapitalisme dan komunisme
Menghilangkan sifat bakhil dan loba pemilik kekayaan dan penguasaaan modal
Menghindarkan penumpukan kekayaan perseorangan yang dikumpulkan di atas
penderitaan orang lain
Mencegah jurang pemisah kaya miskin yang dapat menimbulkan kejahatan sosial
Mengembangkan tanggungjawab perseorangan terhadap kepentingan masyarakat dan
kepentingan umum
Mendidik untuk melaksanakan disiplin dan loyalitas seorang untuk menjalankan
kewajibannya dan menyerahkan hak orang lain.
Zakat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi
mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin. Harta zakat
diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan,
pakaian dan tempat tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok fakir,
miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun
untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat
temporal seperti: zakat fitrah, bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus
pada hari raya idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan
menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu
jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang
bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang
mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan dalam tiga hal
perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan. Pangan asal kenyang,
sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan beristirahat. Pemenuhan
kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka
yang lemah dalam bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada
saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Dasar Hukum Zakat Konsumtif
Rasulullah SAW dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya
berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan mereka
fakir miskin harus tercukupi.
Bunyi.Hadits rasulullah SAW yang Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu „anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho‟
kurma atau satu sho‟ sya‟ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan,
besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum
orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang dikeluarkan pada
waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu menghilangkan beban kesedihan
pada hari raya tersebut, juga secara objektif memang ada kebutuhan yang mendesak yang
bersifat konsumtif yang harus segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti
kebutuhan itu pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat
tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan
mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan mereka
teratasi.
Zakat Produktif
Kata produktif secara bahasa berasal dari dari bahasa inggris “productive” yang
berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil; banyak menghasilkan barang-barang
berharga; yang mempunyai hasil baik. “productivity” daya produksi.Secara umum produktif
berarti “banyak menghasilkan karya atau barang.” Produktif juga berarti “banyak
menghasilkan; memberikan banyak hasil.” Pengartian produktif dalam karya tulis ini lebih
berkonotasi kepada kata sifat.
Kata sifat akan jelas maknanya apabila digabung dengan kata yang disifatinya. Dalam
hal ini kata yang disifati adalah kata zakat, sehingga menjadi zakat produktif yang artinya
zakat dimana dalam pendistribusiannya bersifat produktif lawan dari konsumtif. Lebih
tegasnya zakat produktif dalam karya tulis ini adalah pendayagunaan zakat secara produktif
yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat
kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas, sesuai dengan ruh dan tujuan syara‟. Cara
pemberian yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif,
sesuai dengan pesan syari‟at dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Zakat produktif dengan demikian adalah pemberian zakat yang dapat membuat para
penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus, dengan harta zakat yang telah
diterimanya. Zakat produktif dengan demikian adalah zakat dimana harta atau dana zakat
yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan
digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.
Dasar Hukum Zakat Produktif
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan zakat produktif di
sini adalah pendayagunaan zakat dengan cara produktif. Hukum zakat produktif dalam hal ini
dipahami hukum mendistribusikan atau memberikan dana zakat kepada mustahiq secara
produktif. Dana zakat di berikan untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin, dan
orang-orang yang lemah. Al-Qur‟an, al-Hadits dan Ijma‟ tidak menyebutkan secara tegas
tentang cara pemberian zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif.
Dapat dikatakan tidak ada dalil naqli dan sharih yang mengatur tentang bagaimana
pemberian zakat itu kepada para mutsahik. Ayat 60 surat al-Taubah, oleh sebagian besar
ulama‟ dijadikan dasar hukum dalam pendistribusian zakat. Namun ayat-ayat ini hanya
menyebutkan pos pos di mana zakat harus diberikan. Tidak menyebutkan cara pemberian
zakat kepada pos-pos tersebut.
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk oarang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang -orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana,” (QS. At Taubah:60)
Teori hukum Islam menunjukkan bahwa dalam menghadapi masalah-masalah yang
tidak jelas rinciannya dalam Al-Qur‟an atau petunjuk yang ditinggalkan Nabi SAW,
penyelesaiaanya adalah dengan metode Ijtihad. Ijtihad atau pemakaian akal dengan tetap
berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits.
Berdasarkan hasil lokakarya BAZIS mengenai pengelolaan dana zakat, menentukan
kebijakan pembagian zakat sebagai berikut:
1. Pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis, sehingga pada
akhirnya penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi, bahkan menjadi wajib
zakat.
2. Hasil pengumpulan zakat selama belum dibagikan kepada mustahiq dapat merupakan
dana yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan, dapat disimpan di dalam bank
pemarintah berupa deposito, sertifikat atau giro biasa.
Menurut penulis, kebijakan dengan memproduktifkan dana zakat ini adalah agar zakat
berguna dan berdaya guna bagi masyarakat. Khususnya fuqara‟-masakin dan dhu‟afa.
Pendekatan kebutuhan dasar bertujuan mengetahui kebutuhan dasar masyarakat (fakir
miskin), sekaligus mengetahui apa latar belakang kemiskinan itu. Apabila si miskin itu
mempunyai ketrampilan menjahit, maka diberi mesin jahit, kalau ketrampilannya mengemudi
becak, si fakar miskin itu diberi becak. Maka dalam hal ini, memberi motivasi kepada
masyarakat miskin juga merupakan sesuatu yang sangat mendasar, agar mereka mau
berusaha dan tidak sekedar menunggu uluran tangan orang kaya.
Salah satu tujuan zakat adalah adalah agar harta benda tidak menumpuk pada satu
golongan saja, dinikmati orang-orang kaya sedang orang-orang miskin pada larut dengan
ketidakmampuan dan hanya menonton saja. Padahal orang kaya tidak akan ada dan tidak
sempurna hidupnya tanpa adanya orang-orang miskin. Zakat itu adalah milik bersama, karena
mendapatkannya atas usaha bersama masyarakat. Orang yang kaya tidak akan ada kalau tidak
ada orang miskin. Seorang pedagang tidak akan sukses menjadi konglomerat bila tidak ada
pembeli, distributor dan para karyawan. Uang itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Jika
darah tidak menjangkau seluruh bagian anggota tubuh, di mana sebagia anggota tubuh
kebagian terlalu banyak sehingga bagian yang lain mendapatkan terlalu sedikit, maka badan
menjadi sakit dan terserang penyakit.
Artinya dalam berbagai bidang kehidupan fakir miskin harus diperhitungkan dan
diikiut sertakan apalagi jumlah mereka tidaklah sedikit. Di bidang ekonomi, sosial,
pendidikan dan lainya, agar tidak terjadi gejolak ekonomi, kesenjangan sosial dan masyarakat
yang terbelakang karena kebodohan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan zakat produktif. Karena bila zakat selalu atau
semuanya diberikan dengan cara konsumtif, maka bukannya mengikutsertakan mereka tetapi
malah membuat mereka malas dan selalu berharap kepada kemurahan hati si kaya,
membiashakan mereka tangan dibawah, meminta dan menunggu belas kasihan, padahal ini
sangat tidak di sukai dalam ajaran agama Islam.
Peranan Lembaga Amil Zakat sebagai Financial Consulting
Peran lembaga amil zakat pada intinya hanya menghimpun dana zakat dari muzakki
dan menyalurkannya kepada mustahiq namun pada saat sekarang ini peranan tersebut dituntut
untuk lebih proaktif dalam artian peran lembaga amil zakat bukan hanya sebatas penghimpun
dan penyalur dana zakat saja melainkan juga menjadi financial consulting bagi muzakki dan
mustahiq sehingga penyerapan dan penyaluran dapat tepat terlaksana dan efisien.
Amil zakat sebagai financial counsulting bagi para muzakki adalah melakukan
pendekatan, pendataan dan pencerahan karena tidak jarang banyak kalangan orang Islam
yang kaya tidak sadar dan tidak paham bagaimana peraturan atau mekanisme hitungan
pembayaran zakat.
Amil zakat sebagai financial consulting bagi para mustahiq adalah melakuakan
pendataan, pendekatan dan pencerahan gunanya antara lain untuk:
1.
2.
Agar calon mustahiq sesuai dengan kriteria dalam Islam untuk menerima
zakat (yang menerima bukan hanya Islam formalitas tetapi orang yang
menerima zakat adalah orang yang taat melaksanakan ajaran Islam seperti
mendirikan solat jadi kriteria penerima dana zakat yang disalurkan sesuai
dengan ketetapan yang di perintahkan).
Mengukur sejauh mana tingkat kebutuhan dana yang diperlukan mustahiq
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memberikan motivasi dan
pencerahan agar mustahiq menjadi lebih semangat dalam upaya
peningkatan taraf dan kualitas hidupnya.
3.
Membekali mustahiq dengan keterampilan (skill) untuk membuka atau
menjalankan usaha, baik keterampilan teknis ataupun keterampilan non
teknis dengan melihat potensi mustahiq dan potensi daerah tempat tinggal
mustahiq serta memberi pengarahan ataupun penyuluhan kepada mustahiq
tentang peluang usaha apa yang baik untuk di jalankan.
Bila hal-hal diatas dapat terlaksana dengan baik tidak mustahil sektor perekonomian
mikro di Indonesia dapat bangkit dan tumbuh secara baik dan meningkat mengingat 85%
penduduk Indonesia adalah orang Islam sehingga potensi dana zakat yang akan terkumpulpun
sangat besar dan dapat di manajemen secara produktif, sehingga pada masa-masa berikutnya
akan melahirkan muzakki baru dari kalangan mustahiq.
Pengklasifikasian dan Pemberdayaan Dana Zakat
Dibawah ini adalah skema pemberdayaan zakat konsumtif dan produktif dimana
zakat produktif dilaksanakan setelah terpenuhinya kebutuhan primer dari mustahiq seperti
biaya kebutuhan pokok, pakaian, biaya kesehatan, biaya pendidikan dan biaya kebutuhan
sosial yang bersifat darurat seperti meninggal dunia, bencana alam dan lain sebagainya. Dana
yang dihimpun untuk zakat konsumtif diperioritaskan dari hasil dana zakat firah dan
ditambah sebahagian zakat mal.
Sedangkan zakat produktif sumber dananya dari zakat mal sehingga dari segi waktu
ataupun pengelolaan dananya bisa lebih leluasa untuk pengembangan, pemberdayaan
ekonomi ataupun taraf hidup mustahiq. Dari segi waktu pengembangan zakat produktif dapat
dibedakan atas dua jenis yaitu jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengahnya
seperti pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, pemberian modal usaha berupa
peralatan sarana dan prasarana usaha sesuai keahlian mustahiq pengarahan dan motivasi.
Sedangkan jangka panjangnya investasi dalam bentuk infrastruktur yang menunjang
pendidikan seperti bangunan madarasah, investasi lahan perkebunan seperti pembelian lahan
sawit dan lain sebagainya. Sehingga manfaat dana zakat dapat terus menerus dirasakan oleh
para mustahiq dan pada akhirnya mustahiq bisa naik taraf kehidupannya menjadi Muzakki
pada masa yang akan datang.
Skema Pendistribusian Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif.
MUZAKKI
Badan Zakat (amilin)
Level I
MUSTAHIK
pemenuhan kebutuhan
Fungsi(Consumtion)
pertahanan hidup
Pemberdayaan
modal
upaya pemetaan
problematika
para mustahiq
Level II
AKTIFITAS USAHA
Peningkatan taraf hidup
Shodaqah (zakat)
mengolah faktor
alat pertanggungan
sosial
Produktifitas dalam upaya
pemenuhan kebutuhan lingkunga
Membuka lapangan kerja
produksi
Level III
Fungsi pembangunan sektor mikro ekonomi Ummat
Analisis Pemikir Islam Terhadap Pemberdayaan Zakat
Perintah wajib zakat turun di Madinah pada bulan Syawal tahun ke dua Hijrah Nabi
Muhammad SAW, kewajibannya terjadi setelah kewajiban puasa Ramadhan. Zakat mulai
diwajibkan di Madinah karena masyarakat Islam sudah mulai terbentuk dan kewajiban ini
dimaksudkan untuk membina masyarakat muslim yakni sebagai bukti solidaritas sosial.
Adapun ketika umat Islam masih berada di Makkah, Allah SWT sudah menegaskan
dalam al Qur‟an tentang pembelanjaan harta yang belum dinamakan zakat, tetapi berupa
infaq bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta agar membantu bagi yang
kekurangan.
Pada masa khalifah Abu Bakar, mereka yang terkena kewajiban membayar
zakat tetapi enggan melakukannya diperangi dan ditumpas karena dianggap memberontak
pada hukum agama. Hal ini menunjukkan betapa zakat merupakan kewajiban yang tidak bisa
ditawar – tawar. Di jaman Umar bin Abdul Aziz, salah satu khalifah masa pemerintahan
Bani Umayyah berhasil memanfaatkan potensi zakat. Sedekah dan zakat didistribusikan
dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi dizamannya, tidak ada lagi
orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah.
M.A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat didayagunakan untuk investasi
produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan,
pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial lainnya, yang
semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin diharapkan bisa
meningkat sebagai hasil produktivitas mereka yang lebih tinggi.
Yususf Qaradhawy menjabarkan “sebagai mana diketahui bahwa pengaruh zakat
sangat signifikan dalam pngentasan kemiskinan akan tetapi sesunggunya maksud dan tujuan
zakat tidak terbatas pada pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan yang
mendesak dan juga berkesinambungan, melainkan memperluas kepemilikan dengan
memperbanyak volume kepemilikan dan juga mengubah orang-orang miskin menjadi orang
yang berkecukupan seumur hidup.”
Sedangkan untuk konsep kepemilikan sendiri menurut Dr Muhammad H. Behesti. “
pemberian yang bersifat sosial dan di akui suatu hak kepada seorang atau suatu kelompok
atau masyarakat.” Dari penjelasan tadi dapat kita ketahui bahwa zakat adalah merupkan salah
satu bentuk manifestasi distribusi dari kepemilikan itu sendiri. Lebih lanjut Iwan Triwiyono
menegaskan “Zakat, Infak dan Shodaqah (ZIS) adalah bagian dari harta kekayaan seseorang
yang sebetulnya bukan haknya.”
“Makanlah sebagian dari buahnya apabila dia berbuah dan berikan haqnya
(zakatnya) dihari dia dituai dan janganlah kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan” ( Q.S Al An‟am: 141).
Dalam hadis Rasulullah SAW. “Sesungguhnya Allah menfardlukan atas mereka
mengeluarkan zakat yang di ambil dari orang kaya mereka, lalu diberikan kpada orang
orang fakir mereka” (H.R Ibn „Abbas). Dari dasar perintah di atas terpancar jelas adanya
zakat merupakan perangkat (tools) pertanggungan atau penjamin dari kesejahteraan di
lingkungan masyarakat.
Di dalam sektor mikro ekonomi faktor produksi modal (Capital) adalah unsur yang
sangat dominan dalam menggerakkan kinerja sektor tersebut. Saat ini untuk menggerakkan
sektor mikro ekonomi masih baru di dukung oleh aspek permodalan dari lembaga-lembaga
keuangan maupun pmbiayaan yang ada.
Jika kita coba untuk evaluasi saat ini lembaga pembiayaan yang ada masih sangat
terbatas sekali melakukan peran-peranya dalam memacu kinerja sektor mikro untuk sektor
perbankan mereka lebih condong ke pembiayaan ritel sedangkan untuk koperasi dan BMT
jumlahnya belum mampu mengakomodir mereka yang membutuhkan pembiayaan. Zakat
Produktif dalam hal ini sebenarnya mampu menutup keterbatasan yang di miliki oleh
lembaga pembiayaan yang ada saat ini. Ranah-ranah yang belum bisa terakses oleh lembaga
pembiayaan sebenarnya mampu di kelola oleh struktur amilin zakat.
Berikut komparasi dari potensi kedua unsur tersebut.
LEMBAGA PERMODALAN
BADAN ZAKAT (AMILIN)
Memiliki syarat birokratis yang Dapat didirikan dengan mudah di
lingkungan sekitar. (Contoh masjid
rumit dalam pendirianya.
sekolah dll).
Dana yang di berikan adalah dana
Modal (Capital) yang di berikan ummat (social fund).
adalah dana yang merupakan
harta perusahaan.
Mengharuskan
prosedur
pengembalian dana tersebut baik
bunga (sistem konvensional)
maupun bagi hasil. (sistem
syariah).
Jangkauan (Aksesibilitas)
lembaga permodalan masih
sangat terbatas meskipun berada
di tingkatan desa telah ada
namun masih terbatas (baik
segmen maupun jumlah
lembaga di tiap tiap daerahnya).
Lembaga permodalan rata-rata
berdiri sendiri. Dan juga karakter
mereka yang profit oriented
menjadi
sangat
terbatas
aktualisasinya.
Dana yang telah di berikan menjadi
milik hak 100% mustahik. Untuk
digunakan dalam upaya peningkatan
standar hidup.
Memiliki akses yang sangat
satrategis di tengah-tengah ummat.
Badan zakat (Amilin) mampu
berafiliasi dengan lemabaga apapun.
Bisa didirikan di dalam struktur
kepengurusan masjid, aparatur desa,
koperasi, sekolah, kantor maupun
perbankan dan BMT itu sendiri
karena karakternya yang fleksibel
dan bersifat nirlaba.
Dalam pengentasan suatu permasalahan upaya mengidentifikasi permasalahan sampai
pada akar-akarnya adalah merupakan satu-satunya bentuk penyelesaian yang paling baik dan
bijak dari setiap fenomena yang muncul di dalam kehidupan sosial ekonomi ummat. Zakat
merupkan satu-satunya media yang mampu mengakomodir dari problematika sosial ekonomi
ummat termasuk khususnya pemberdayaan sektor mikro ekonomi ummat.
Lebih lanjut Prof. Dr. Yususf Qaradhawy menjelaskan “zakat dapat merubah dan
meningkatkan perekonomian masyarakat kecil sebagaimana pedagang yang memiliki toko
dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaanya, atau petani yang memiliki alat bajak, atau
orang yang memiliki keterampilan khusus dan mampu memiliki alat yang menunjang
keterampilannya tersebut sehingga setiap individu mampu merealisasikan maksud dan
tujuannya”.
Keistimewaan.Zakat
Zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah shalat, terletak di tengah-tengah antara
lima rukun Islam yang lain, didahului dengan syahadah dan shalat, lalu diikuti dengan puasa
dan menuaikan haji bagi mereka yang berkemampuan, sebagai rukun terakhir.
Apabila diteliti, kita mendapati bahwa zakat berbeda dari rukun-rukun Islam yang
lain. Kesemua rukun Islam merupakan amalan ta’ abudiyah kepada Allah. Akan tetapi, kita
lihat, zakat tidak hanya berhubungan dengan Allah (habluminallah), tetapi juga berhubungan
dengan manusia (habluminannaas) secara langsung.
Zakat merupakan rukun istimewa yang Allah turunkan dan tetapkan sebagai rukun
Islam yang menyentuh secara langsung tentang penghidupan atau ekonomi umat Islam. Inilah
satu-satunya amalan ibadah yang Allah wajibkan dan tetapkan sebagai rukun Islam. Zakat
memiliki kontribusi dan peran besar dalam dakwah dan jihad yang mutlak membutuhkan
harta. Urgensi keterkaitan antara dakwah dan harta, tercermin secara implisit di dalam AlQur`an, tatkala menyebutkan batas pengorbanan seorang muslim kepada Islam, umumnya
kata "amwal" (harta) selalu diiringi dengan kata "anfus" (jiwa).
Hikmah Zakat
Zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang
timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya. Di samping itu juga
dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal
sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama
Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu
belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap
bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia
mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
Menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang
masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak
dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan dan tidak akan
berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut
sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman Allah swt. terhadap
pemiliknya.
Penutup
Secara umum terdapat dua pendapat masalah pendayagunaan dana zakat.
Pertama, bahwa zakat lebih bersifat konsumtif dan disalurkan secara langsung kepada
para mustahiq untuk kepentingan konsumtif. Kedua, bahwa pendayagunaan dana zakat
mengedepankan aspek sosial ekonomi yang luas tidak sekedar konsumtif. Untuk
mencermati hal ini, perlu dibedakan antara zakat fitrah dan zakat mal. Meski keduanya
memiliki nilai ibadah (hablum minAllah) namun ada perbedaan antara keduanya. Zakat
fitrah yang dimaknai sebagai kewajiban bagi setiap muslim tanpa terkecuali untuk
mensucikan diri, dan sifat dari zakat fitrah untuk kebutuhan konsumtif.
Sedangkan zakat mal yang bertujuan untuk mensucikan harta maka sifat dari
zakat ini untuk kepentingan produktif, untuk menyokong pengembangan harta para
mustahiq terutama fakir miskin. Untuk dapat melakukan pendayagunaan dana zakat mal
maka penyalurannya diprioritaskan untuk kepentingan yang bersifat produktif. Sebagai
upaya mewujudkan produktifitas dalam pengelolaan dana zakat, dana hasil zakat dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin masyarakat. Dana tersebut
dapat digunakan untuk pembiayaan berbagai bidang seperti sarana ibadah, bidang
pendidikan Islam, kesehatan, layanan sosial dan pengembangan ekonomi.
Dari berbagai bidang atau program pengelolaan zakat secara produktif di atas
untuk
menentukan aplikasinya harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat. Di
samping melihat potensi daerah tertentu perlu juga diperhatikan potensi sumber daya
masyarakatnya (mustahiq), agar program-program yang digulirkan mampu berjalan
dengan baik, sehingga pemberdayaan harta zakat memang benar-benar berpengaruh
terhadap pemerataan kesejahteraan bisa terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syarifudin, Zakat Profesi, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2003.
Al Ghazaly, Ihya Ulumuddin, Buku Kedua : Rahasia-Rahasia Bersuci, Halat Zakat Puasa
Dan Haji, Bandung: Marja‟, 2003.
An Nadwi, Abul Hasan, Ash Sirah An Nabawiyah, Darrul Qulum, Damaskus, Edisi
Indonesia: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta. Mardhiyyah
Press, 2001.
Behesti, Muhammad, Kepemilikan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah,1992.
Dahlan, Moh, Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009.
Darajat, Zakiah, Ilmu Fiqih, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Tarjemaha, Semarang: Toha Putra, 1971.
________, Fiqih Zakat, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2008.
Fakhruddin, Fiqih dan Manajemen Zakat di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press, 2008
Hafiduddin, Didin, Panduan Praktis tentang ZIS, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
_________, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Husnan, Ahmad, Zakat Menurut Sunnah dan Zakat Model Baru, Jakarta: Pustaka Al
Kautstar, 1996.
Manan, MA, Teori dan Praktek Ekonomi Islam:Dasar-dasa Ekonomi Islami,Yokyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Mas‟udi Masdar F, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Muhammad, & Ridwan Mas‟ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Umat. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Shiddieqy, Ash T.M Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
________, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
________, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7,Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Qadir, Abdurrachman, Zakat: Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafndo
Persada, 2001.
Qardhawy, Yusuf, Hukum Zakat, alih bahasa Dr. Salman Harun dkk, Jakarta: P.T
Pustaka Litera antar Nusa, 2002.
________,Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, , Jakarta: Zikrul, 2005.
www.rumahzakat.co.id
Download