BAB II TELAAH PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Nilai Tukar (Kurs) Krugman dan Obstfeld (1994:73) mendefinisikan nilai tukar sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional, karena nilai tukar memungkinkan kita untuk membandingkan harga segenap barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara. Menurut Todaro (2000:247) nilai tukar adalah suatu tingkat, tarif, harga dimana bank sentral bersedia menukar mata uang dari suatu negara dengan mata uang negara lain. Tujuannya adalah untuk meningkatkan harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga impor yang diukur berdasarkan nilai tukar mata uang setempat. Sedangkan menurut Mankiw (2006:128) nilai tukar diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang suatu negara dengan negara lainnya, sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal dibagi harga relatif dalam negeri dan luar negeri (negara mitra dagang) kurs riil dijadikan sebagai acuan untuk mengukur daya saing suatu negara dengan negara lainnya. 8 Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai tukar merupakan harga dari mata uang suatu negara terhadap negara lain yang dipergunakan dalam perdagangan antar negara tersebut. 2. Sistem Nilai Tukar Tujuan dari adanya sistem nilai tukar adalah untuk mempermudah perdagangan dan keuangan internasional. Menurut Madura (2006:219225) sistem kurs dapat dikategorikan menurut seberapa kuat tingkat pengawasan pemerintah pada kurs, yaitu: a. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate system) Dalam sistem kurs tetap, kurs mata uang diatur konstan atau hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Apabila kurs mulai berfluktuasi terlalu besar maka pemerintah akan melakukan intervensi untuk menjaga agar fluktuasi tetap berada pada kisaran yang diinginkan. Keuntungan sistem kurs tetap yaitu pada kondisi dimana kurs dibuat tetap, sebuah perusahaan internasional dapat melakukan kegiatan bisnisnya tanpa perlu khawatir terhadap perubahan nilai mata uang di kemudian hari. Kelemahannya yaitu adanya risiko bahwa pemerintah akan melakukan perubahan nilai mata uang secara mendadak, dan dari sisi makro sistem kurs tetap dapat membuat kondisi ekonomi sebuah negara menjadi sangat tergantung dari kondisi ekonomi negara lain. 9 b. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system) Dalam sistem kurs mengambang bebas, kurs ditentukan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Pada kondisi kurs yang mengambang, kurs akan disesuaikan secara terus-menerus sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan dari mata uang tersebut. Keuntungan dari sistem ini yaitu kondisi ekonomi suatu negara akan lebih terlindungi dari kondisi ekonomi di negara lain. Kelemahannya tidak memerlukan campur tangan dari pemerintah. c. Sistem kurs mengambang terkendali (managed float exchange rate system) Sistem ini berada pada sistem kurs tetap dan sistem kurs mengambang bebas. Fluktuasi kurs dibiarkan mengambang dari hari ke hari dan tidak ada batasan-batasan resmi, pada kondisi tertentu pemerintah sewaktu-waktu dapat melakukan intervensi untuk menghindarkan fluktuasi yang terlalu jauh dari mata uangnya. d. Sistem kurs terikat (pegged exchange rate system) Dalam sistem ini mata uang lokal mereka diikatkan nilainya pada sebuah valuta asing atau pada sebuah jenis mata uang tertentu. Nilai mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai mata uang yang dijadikan ikatan tersebut. Mata uang yang telah diikat pada valuta asing tidak dapat diikat lagi pada mata uang yang lain. Bila telah diikat dengan Dollar AS maka mata uang tersebut harus mengikuti pergerakan Dollar AS terhadap mata uang lain. 10 Suatu negara tidak dapat mengikatkan mata uangnya terhadap seluruh mata uang lain, karena negara tersebut akan terpengaruh oleh pergerakan mata uang lain terhadap mata uang yang menjadi ikatannya. 3. Teori Nilai Tukar a. Teori Mundell-Fleming Model Mundell-Fleming digunakan untuk menganalisa efek penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi suatu negara yang berperekonomian kecil dan terbuka. Model Mundell-Fleming adalah versi perekonomian terbuka dari model IS-LM. Kedua model tersebut menekankan interaksi antara pasar barang dan pasar uang, serta mengasumsikan bahwa tingkat harga adalah tetap dan menunjukkan apa yang menyebabkan fluktuasi jangka pendek dalam perekonomian. Model Mundell-Fleming merupakan model yang memadukan antara keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal adalah keseimbangan antara pasar barang (IS), pasar uang (LM). Sementara itu keseimbangan eksternal ditunjukkan oleh keseimbangan neraca pembayaran. Menurut Mundell-Fleming, perekonomian terbuka dengan mobilitas modal sempurna dapat dijelaskan sebagai berikut (Mankiw, 2006:332): Y = C (Y-T) + I (r*) +G +NX (e) (2.1) M/P = L (r*, Y) (2.2) 11 Persamaan (2.1) menjelaskan keseimbangan di pasar barang (sektor riil), sehingga akan membentuk kurva IS*. Sedangkan, persamaan (2.2) menjelaskan keseimbangan di pasar uang (sektor moneter), dan akan menghasilkan kurva LM* Variabel eksogen dalam model ini adalah variabel kebijakan fiskal (G dan T), variabel kebijakan moneter (M), tingkat harga (P), dan tingkat bunga dunia (r*). Sedangkan variabel endogen adalah pendapatan nasional (Y) dan nilai tukar nominal (Mankiw, 2006: 332). Keseimbangan di pasar barang ditentukan oleh permintaan agregat dari barang-barang domestik yang terdiri dari absorpsi domestik dan neraca perdagangan. Keseimbangan neraca perdagangan ditentukan oleh tiga komponen yaitu pendapatan luar negeri dan domestik serta membentuk model ini nilai adalah Keseimbangan terbentuk saat tukar riil. Kondisi kedua yang keseimbangan permintaan uang di pasar sama uang. dengan penawaran uang. Penawaran uang dalam perekonomian terbuka di bawah rezim nilai tukar fleksibel ditentukan oleh otoritas moneter (eksogen). Sedangkan kondisi ketiga adalah keseimbangan neraca pembayaran. Keseimbangan neraca pembayaran dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu pendapatan domestik dan nilai tukar riil serta yang mempengaruhi neraca modal ditentukan oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri. 12 Gambar 2.1 Keseimbangan Internal dan Eksternal pada Model Mundell-Fleming Sumber: Dornbusch dan Fischer, 1997 Keseimbangan internal dan eksternal pada model Mundell-Fleming ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kebijakan bank sentral untuk menambah uang beredar akan menggeser kurva LM ke LM’. Atau dengan fenomena capital inflow, aliran modal yang masuk ke negara berkembang menyebabkan permintaan mata uang domestik meningkat. Hasilnya adalah pada poin E’ tingkat suku bunga lebih rendah dan output yang diperoleh lebih besar. Dengan demikian arus modal akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran akan mengalami defisit sementara itu nilai tukar akan terdepresiasi. Ekspor neto akan mengalami peningkatan akibat depresiasi Rupiah yang artinya akan menggeser kurva IS ke IS’ dan mencapai keseimbangan pada titik E”. Suku bunga kembali pada tingkat suku bunga dunia, depresiasi menyebabkan peningkatan pendapatan. Sedangkan kebijakan moneter bekerja dengan cara meningkatkan ekspor neto (Dornbusch dan Fischer, 1997:200). 13 Sehubungan dengan keseimbangan eksternal, nilai tukar dalam sistem nilai tukar mengambang akan ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran. Pasar valuta asing (valas) merupakan salah satu bentuk pasar dimana komoditi yang diperdagangkan adalah valas, seperti Dollar AS, Euro, Yen Jepang, dan sebagainya. Semakin tinggi nilai tukar (nilai Dollar AS meningkat) akan menyebabkan jumlah permintaan akan Dollar AS menurun. Sebaliknya, korelasi searah antara nilai tukar dan penawaran Dollar AS. b. Pendekatan Neraca Pembayaran Pendekatan ini lebih menekankan pada konsep aliran (flow concept) dimana menurut pendekatan ini nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi dalam pasar valuta asing. Permintaan valas berasal dari transaksi pembayaran yang diakukan kepada asing. Transaksi tersebut bisa berupa impor barang atau jasa maupun berupa pembelian surat berharga milik asing. Selanjutnya, transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi debit neraca pembayaran. Sedangkan penawaran valas berasal dari penerimaan valas yang diperoleh dari impor barang atau jasa maupun dari penjualan surat berharga kepada pihak asing. Selanjutnya transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi kredit neraca pembayaran. Penentuan kurs melalui pendekatan neraca pembayaran dapat dilihat dalam Gambar 2.2. 14 Gambar 2.2 Penentuan Kurs dalam Pendekatan Neraca Pembayaran Sumber: Kuncoro, 2001. Dalam Gambar 2.2, kurs Dollar yang dinilai dengan Rupiah digambarkan oleh sumbu vertikal, sedangkan volume permintaan Dollar AS digambarkan dengan sumbu horizontal. Permintaan (demand) yang dinotasikan dengan huruf D mempunyai sumbu yang negatif yang artinya semakin tinggi nilai tukar, maka akan semakin tinggi pula harga yang harus dibayarkan atas barang atau jasa yang diimpor dari asing maupun maupun surat berharga milik asing keadaan tersebut selanjutnya akan berakibat pada menurunnya permintaan akan impor maupun permintaan akan valas itu sendiri. Sedangkan penawaran (supply) valas yang dinotasikan dengan huruf S mempunyai sumbu yang positif. Artinya semakin tinggi nilai valas maka akan semakin tinggi pula penawaran terhadap valas.. 15 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar a. Pembalikan Modal Pembalikan arus modal merupakan istilah inklusif untuk semua perubahan negatif utama arus modal bersih. Pembalikan dapat mencerminkan perilaku baik investor asing dan domestik. Pembalikan modal dapat menyebabkan krisis mata uang karena aliran modal dari luar negeri terbatas. Namun, pembalikan modal juga dapat terjadi sebagai respon dari adanya perubahan dalam kebijakan makroekonomi yang dirancang untuk mencegah kemungkinan serangan spekulatif di masa depan atau sebagai konsekuensi dari shok perdagangan (Kim et al., 2014). Sementara itu sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam era globalisasi pembalikan modal memberikan dampak negatif terhadap perekonomian yang ditinggalkannya. Menurut beberapa ekonom (Dornbusch, Goldfajn dan Valdes, 1995) sudden capital reversal juga berdampak pada terjadinya pembalikan neraca transaksi berjalan dan proses penyesuaian ekonomi yang mahal. Sebagian besar krisis ekonomi yang terjadi di negara berkembang dewasa ini ditandai oleh terjadinya pembalikan modal (Calvo, 1998) yang diikuti oleh menurunnya output secara signifikan. Sula (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan metode probit dan data panel guna mengetahui faktor penyebab utama terjadinya pembalikan modal. Ditemukan bahwa penyebab utama 16 terjadinya pembalikan modal adalah tingginya aliran modal masuk pada periode sebelumnya (sekitar satu hingga tiga tahun sebelumnya), serta komposisi aliran modal masuk yang didominasi oleh non FDI. b. Neraca Transaksi Berjalan Neraca transaksi berjalan (current account) adalah ukuran perdagangan barang dan jasa internasional suatu negara yang paling luas. Komponen utamanya adalah neraca perdagangan, yaitu selisih antara ekspor dan impor. Pada neraca transaksi berjalan, ekspor dicatat sebagai kredit karena menghasilkan devisa bagi negara. Sedangkan impor dicatat sebagai debit karena mengeluarkan devisa dari negara. Selain ekspor dan impor, transaksi lain yang termasuk dalam neraca transaksi berjalan adalah pendapatan faktor dan transaksi satu arah (unilateral transfer). Calderon et al (2000) meneliti defisit neraca transaksi berjalan di 44 negara berkembang dengan rentang waktu 1966 sampai dengan 1995. Kajian tersebut menemukan bahwa (i) semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara berkembang cenderung akan semakin tinggi defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi, (ii) semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara maju cenderung akan semakin rendah defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya, (iii) semakin tinggi tingkat tabungan akan semakin rendah defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi, (iv) apresiasi nilai tukar riil meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, dan (v) tingkat bunga 17 internasional yang semakin rendah mengarah pada peningkatan defisit neraca transaksi berjalan. c. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Tingkat suku bunga diukur dengan menggunakan suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia selaku penguasa moneter melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besar kecilnya suku bunga sangat tergantung dari kondisi makro yang berkembang di Indonesia. SBI adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem mekanisme yang diskonto/bunga. digunakan SBI merupakan Bank salah satu Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Pada saat menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat akan mengakibatkan masyarakat cenderung membelanjakan uangnya yang pada akhirnya bisa berdampak pada kenaikan harga-harga barang, yang salah satunya sebagai faktor pemicu inflasi. Menaikkan suku bunga SBI, yang berarti bank–bank dan lembaga keuangan akan terdorong untuk membeli SBI. Adanya bunga yang tinggi dalam SBI membuat bank dan lembaga keuangan menikmatinya, ini akan memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk produknya. 18 Bunga yang tinggi akan berdampak pada alokasi dana investasi bagi para investor. Salah satu sifat tingkat bunga adalah mudah berubahubah, yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat dan berjangka waktu pendek. Tingkat bunga jangka panjang relatif kurang berfluktuatif (Permana, 2009). Teori yang dapat menjelaskan pengaruh tingkat bunga terhadap perubahan kurs mata uang asing adalah teori International Fisher Effect (IFE Theory). Teori ini menggabungkan teori PPP dengan teori Effect Fisher yang ditemukan oleh ekonom yang bernama Irving Fisher. Menurut teori IFE, nilai mata uang dari negara yang memiliki tingkat bunga tinggi atau lebih tinggi dari negara lain akan mengalami depresiasi. Jika tingkat bunga domestik lebih tinggi dari tingkat bunga negara asing, maka nilai mata uang domestik akan terdepresiasi, sedangkan mata uang asing akan terapresiasi. Nilai tukar dan tingkat suku bunga juga memiliki kaitan erat dengan istilah Purchasing Power Parity (PPP) atau Teori Paritas Daya Beli. Teori Paritas Daya Beli didefinisikan sebagai perbedaan harga suatu barang yang sama tetapi dijual dengan harga yang berbeda. Teori ini memaparkan bahwa perubahan dalam inflasi relatif (perbandingan inflasi antar negara) antara dua negara harus diimbangi pula oleh perubahan dalam nilai tukar untuk menjaga kesamaan harga barang di antara kedua negara tersebut (Daniels et al, 2007). 19 d. Jumlah Uang Beredar Uang adalah stok aset yang dapat dipergunakan untuk keperluan transaksi (Herlambang, dkk, 2002:114). Uang adalah persediaan aset yang dapat dengan segera digunakan untuk melakukan transaksi (Mankiw, 2006:76). Uang beredar (M2) meliputi mata uang dalam peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan, dan rekening/tabungan valas milik swasta domestik (Sukirno, 2004:281). Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar (money supply), dalam perekonomian yang menggunakan uang komoditas, jumlah uang beredar adalah jumlah dari komoditas itu dan pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar (Mankiw, 2006:79). Menurut Nopirin (1992:170), meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah uang beredar (JUB) dapat ditentukan secara langsung oleh Bank Sentral tanpa mempersoalkan hubungannya dengan uang primer, namun pada kenyataannya JUB pada suatu periode merupakan hasil perilaku dari bank sentral, bank umum (termasuk lembaga keuangan bukan bank), masyarakat secara bersama-sama. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah uang adalah cadangan minimum tetapi hasil seluruhnya terhadap jumlah uang masih tergantung pada sikap masyarakat. Jadi bank sentral tidak begitu mudah untuk mengatur JUB karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya. 20 Untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia menggunakan pendekatan kuantitas yakni jumlah uang yang beredar, yaitu level base money. Menurut Charles et al. (1999), pengaruh uang beredar terhadap nilai tukar dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu: 1) Domestic credit mempunyai hubungan yang positif terhadap nilai tukar, dimana bila terjadi penambahan domestic credit, maka likuiditas akan menyebabkan tekanan depresiasi Rupiah meningkat. 2) Aliran modal mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai tukar, karena semakin meningkat aliran modal masuk berarti permintaan terhadap Rupiah akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan memperkuat posisi Rupiah. B. Penelitian Terdahulu Wanaset (2008) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang bath Thailand. Variabel dependen yang digunakan yaitu nilai tukar bath Thailand terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel independennya terdiri dari CPI, GDP, jumlah uang beredar, dan harga minyak. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data time series per kuartal dari Q1 1993 sampai dengan Q4 menggunakan metode Vector menyimpulkan bahwa 2008. Pengujian pada Autoregressive (VAR). pada analisis impulse penelitian Hasil response dan ini penelitian variance decomposition, semua variabel independen berpengaruh terhadap nilai tukar. 21 Tetapi causality test menunjukkan hasil yang berbeda, dimana GDP terpengaruh oleh semua variabel termasuk nilai tukar, tetapi tidak ada satupun variabel yang mempengaruhi nilai tukar. Triyono (2008) menganalisis perubahan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel independennya terdiri dari Jumlah Uang Beredar (JUB), inflasi, tingkat bunga SBI, dan impor. Pengujian pada penelitian ini menggunakan metode regresi berganda dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil estimasi regresi ECM dan analisis jangka panjang variabel inflasi, SBI dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan pada α = 5% dengan arah positif terhadap kurs. Sementara variabel JUB mempunyai pengaruh dengan arah negatif terhadap kurs pada α = 5%. Hasil analisis dengan uji t diketahui bahwa regresi jangka pendek variabel inflasi, SBI dan impor tidak signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Sementara variabel JUB berpengaruh secara signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Dalam regresi jangka panjang variabel inflasi, JUB, SBI, dan impor berpengaruh secara signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Nucu (2011) meneliti hubungan antara nilai tukar dengan indikator makroekonomi yang ada di negara Romania. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai tukar mata uang Ron Romania terhadap Dollar AS dan Euro. Sedangkan variabel independennya terdiri dari GDP, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan neraca pembayaran. Data yang 22 digunakan dalam penelitian ini berupa data bulanan dari periode 2000 sampai dengan 2010. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk nilai tukar Ron terhadap Dollar AS dengan indikator makroekonomi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. menunjukkan Sedangkan adanya untuk hubungan nilai negatif tukar signifikan Ron terhadap Euro antara nilai tukar RON/EUR dengan GDP dan jumlah uang beredar. Untuk variabel inflasi dan tingkat suku bunga menunjukkan hubungan yang positif signifikan terhadap RON/EUR. Sedangkan untuk variabel neraca pembayaran tidak menunjukkan adanya korelasi karena tes statistik yang tidak signifikan. Kwan dan Yoonbai (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh tingkat suku bunga terhadap nilai tukar Indonesia, Korea, Filipina dan Thailand pasca Krisis Asia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pasca krisis, negaranegara tersebut tidak menggunakan kebijakan suku bunga yang aktif untuk menstabilkan nilai tukar. Selain itu, mata uang negara-negara tersebut juga menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap mata uang negara lain setelah terjadinya krisis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya fleksibilitas nilai tukar tidak mendorong stabilitas tingkat suku bunga. C. Kerangka Pemikiran 1. Hubungan Pembalikan Modal dengan Nilai Tukar Aliran modal asing mengalir deras ke Indonesia paska krisis keuangan global 2008 yang dipicu oleh permasalahan subprime mortgage di AS. Krisis yang kemudian menyebar ke kawasan Eropa dan seluruh dunia memaksa negara-negara maju yang terkena dampak krisis tersebut untuk 23 memindahkan dananya ke negara-negara berkembang yang kinerja ekonominya tetap baik, termasuk Indonesia. Aliran modal asing yang masuk ke Indonesia sebagian besar merupakan aliran modal jangka pendek (portfolio investment). Antara triwulan III/2009 sampai dengan triwulan III/2011 tercatat aliran modal masuk sebesar USD 49,7 miliar, dimana 58% nya merupakan portfolio investment. Aliran modal tersebut mendorong apresiasi Rupiah sebesar 18% dari level Rp 10.500 per USD (Juni 2009) ke level Rp 8.600 (Juni 2011). Gambar 2.3 Aliran Modal Keluar Menyebabkan Rupiah Terdepresiasi Sumber: Mankiw, 2006. Paska terjadinya krisis, aliran modal jangka pendek yang masuk ke Indonesia beberapa kali berbalik keluar (capital reversal.) Dikeluarkannya kebijakan tapering off oleh The Fed juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pembalikan modal di Indonesia. Kebijakan tapering off adalah 24 proses pengurangan jumlah pembelian obligasi yang dilakukan The Fed. Kebijakan ini mengakibatkan modal yang ada di Indonesia akhirnya ditarik kembali ke Amerika Serikat. Keluarnya arus kas modal yang begitu deras menyebabkan terdepresiasinya nilai riil mata uang Rupiah dan menambah jumlah uang Rupiah yang beredar. Oleh sebab itu, Rupiah akan terus terkoreksi ketika terjadi pembalikan modal. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nizar (2007) disimpulkan bahwa aliran modal masuk menyebabkan terapresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan sebaliknya saat terjadi pembalikan modal akan mengakibatkan terjadinya depresiasi Rupiah. H1= Pembalikan modal berpengaruh positif terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah). 2. Hubungan Neraca Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar Indonesia mulai mengalami defisit transaksi berjalan sejak kuartal keempat tahun 2011 dan terus mengalami defisit sejak saat itu. Penurunan permintaan dan harga komoditi global menyebabkan shok perdagangan yang besar dan menyebabkan pendapatan ekspor komoditi Indonesia berkurang. Di sisi lain jumlah impor terus meningkat karena pemerintah Indonesia terus mempertahankan program subsidi bahan bakar. Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi adalah defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari impor, yang terjadi adalah surplus. Ketika terjadi defisit pada neraca perdagangan atau dengan kata lain impor lebih tinggi daripada 25 ekspor, maka akan meningkatkan permintaan terhadap valuta asing yang akhirnya menyebabkan depresiasi mata uang lokal. Berbeda ketika terjadi surplus pada neraca perdagangan, maka yang terjadi adalah permintaan mata uang akan meningkat yang pada akhirnya akan mengapresiasi mata uang domestik (Madura, 2006). H2 = Neraca transaksi berjalan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah). 3. Hubungan Suku Bunga SBI dengan Nilai Tukar Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah investasi di suatu negara. Dalam sistem nilai tukar mengambang, perbedaan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi aliran modal dari luar negeri, dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang asing. Apabila tingkat suku bunga dalam negeri naik sementara tingkat suku bunga luar negeri tetap maka investor asing akan membeli asset keuangan domestik karena menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan nilai tukar negara tersebut terapresiasi. H3 = Tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah). 4. Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Nilai Tukar Di negara-negara berkembang adanya peningkatan jumlah uang beredar diantarnya disebabkan karena adanya defisit anggaran pemerintah. Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah memerintahkan Bank 26 Indonesia untuk mencetak uang lebih banyak sehingga jumlah uang beredar di masyarakat meningkat. Menurut Miskhin (2008:130) meningkatnya jumlah uang beredar akan mengakibatkan tingkat harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan akan menurunkan kurs di masa depan. Semakin tinggi jumlah uang beredar di suatu negara akan menyebabkan mata uang di negara tersebut terdepresiasi. Dalam pendekatan moneter yang mendasarkan kebijakan kurs mengambang bebas, menyatakan bahwa nilai tukar aktual mata uang dari suatu negara dalam satuan mata uang negara lain ditentukan oleh pertumbuhan penawaran uang dan permintaan uang. Jumlah uang beredar yang berlebihan dalam suatu negara akan menyebabkan nilai tukar mata uangnya melemah (depresiasi), hal itu dikarenakan tidak diimbangi dengan permintaan yang sesuai. Menurut Joseph, dkk (1999) bahwa pengaruh uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan kurs, dimana bila terjadi penambahan uang beredar maka akan menyebabkan tekanan depresiasi Rupiah dan USD meningkat. Semakin menaikkan jumlah uang beredar akan menaikkan kurs yaitu mata uang Rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar AS, begitu sebaliknya semakin menurunkan kurs maka mata uang Rupiah akan terapresiasi terhadap dollar AS. H4 = Jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah). 27 Berdasarkan telaah pustaka dan hasil penelitian terdahulu, kerangka penelitian ini dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut: Pembalikan Modal Neraca Transaksi Berjalan Suku Bunga SBI Jumlah Uang Beredar + Kurs + D. Pengembangan Hipotesis Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi nilai tukar Rupiah antara lain pembalikan modal, neraca transaksi berjalan, suku bunga SBI dan jumlah uang beredar. Karena belum teruji kebenarannya maka diambil suatu hipotesis. Hipotesis merupakan suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara, belum benar-benar berstatus sebagai tesis atau dalil. Kemudian diuji secara empiris untuk membuktikan kebenarannya. Adapun hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Diduga pembalikan modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah). 2. Diduga neraca transaksi berjalan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah). 3. Diduga tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah). 4. Diduga jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah). 28