8 BAB II TELAAH PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Nilai Tukar (Kurs

advertisement
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Nilai Tukar (Kurs)
Krugman dan Obstfeld (1994:73) mendefinisikan nilai tukar
sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar
memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional, karena nilai
tukar memungkinkan kita untuk membandingkan harga segenap barang
dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara.
Menurut Todaro (2000:247) nilai tukar adalah suatu tingkat, tarif,
harga dimana bank sentral bersedia menukar mata uang dari suatu negara
dengan mata uang negara lain. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga impor yang
diukur berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.
Sedangkan menurut Mankiw (2006:128) nilai tukar diantara dua
negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan
perdagangan. Nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan
nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang suatu
negara dengan negara lainnya, sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar
nominal dibagi harga relatif dalam negeri dan luar negeri (negara mitra
dagang) kurs riil dijadikan sebagai acuan untuk mengukur daya saing suatu
negara dengan negara lainnya.
8
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai tukar
merupakan harga dari mata uang suatu negara terhadap negara lain yang
dipergunakan dalam perdagangan antar negara tersebut.
2. Sistem Nilai Tukar
Tujuan dari adanya sistem nilai tukar adalah untuk mempermudah
perdagangan dan keuangan internasional. Menurut Madura (2006:219225) sistem kurs dapat dikategorikan menurut seberapa kuat tingkat
pengawasan pemerintah pada kurs, yaitu:
a. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate system)
Dalam sistem kurs tetap, kurs mata uang diatur konstan atau
hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Apabila
kurs
mulai
berfluktuasi
terlalu
besar
maka
pemerintah akan
melakukan intervensi untuk menjaga agar fluktuasi tetap berada pada
kisaran yang diinginkan. Keuntungan sistem kurs tetap yaitu pada
kondisi dimana kurs dibuat tetap, sebuah perusahaan internasional
dapat melakukan kegiatan bisnisnya tanpa perlu khawatir terhadap
perubahan nilai mata uang di kemudian hari. Kelemahannya yaitu
adanya risiko bahwa pemerintah akan melakukan perubahan nilai
mata uang secara mendadak, dan dari sisi makro sistem kurs tetap
dapat membuat kondisi ekonomi sebuah negara menjadi sangat
tergantung dari kondisi ekonomi negara lain.
9
b. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system)
Dalam
sistem
kurs
mengambang
bebas,
kurs
ditentukan
sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Pada kondisi
kurs yang mengambang, kurs akan disesuaikan secara terus-menerus
sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan dari mata uang
tersebut. Keuntungan dari sistem ini yaitu kondisi ekonomi suatu
negara akan lebih terlindungi dari kondisi ekonomi di negara lain.
Kelemahannya tidak memerlukan campur tangan dari pemerintah.
c. Sistem kurs mengambang terkendali (managed float exchange rate
system)
Sistem ini berada pada sistem kurs tetap dan sistem kurs
mengambang bebas. Fluktuasi kurs dibiarkan mengambang dari hari ke
hari dan tidak ada batasan-batasan resmi, pada kondisi tertentu
pemerintah
sewaktu-waktu
dapat melakukan
intervensi untuk
menghindarkan fluktuasi yang terlalu jauh dari mata uangnya.
d. Sistem kurs terikat (pegged exchange rate system)
Dalam sistem ini mata uang lokal mereka diikatkan nilainya
pada sebuah valuta asing atau pada sebuah jenis mata uang
tertentu. Nilai mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai
mata uang yang dijadikan ikatan tersebut. Mata uang yang telah
diikat pada valuta asing tidak dapat diikat lagi pada mata uang yang
lain. Bila telah diikat dengan Dollar AS maka mata uang tersebut
harus mengikuti pergerakan Dollar AS terhadap mata uang lain.
10
Suatu negara tidak dapat mengikatkan mata uangnya terhadap
seluruh mata uang lain, karena negara tersebut akan terpengaruh
oleh pergerakan mata uang lain terhadap mata uang yang menjadi
ikatannya.
3. Teori Nilai Tukar
a. Teori Mundell-Fleming
Model Mundell-Fleming digunakan untuk menganalisa efek
penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dalam pelaksanaan
kebijakan ekonomi suatu negara yang berperekonomian kecil dan
terbuka. Model Mundell-Fleming adalah versi perekonomian terbuka
dari model IS-LM. Kedua model tersebut menekankan interaksi antara
pasar barang dan pasar uang, serta mengasumsikan bahwa tingkat harga
adalah tetap dan menunjukkan apa yang menyebabkan fluktuasi jangka
pendek dalam perekonomian. Model Mundell-Fleming merupakan
model yang memadukan antara keseimbangan internal dan eksternal.
Keseimbangan internal adalah keseimbangan antara pasar barang (IS),
pasar uang (LM). Sementara itu keseimbangan eksternal ditunjukkan
oleh keseimbangan neraca pembayaran. Menurut Mundell-Fleming,
perekonomian terbuka dengan mobilitas modal sempurna dapat
dijelaskan sebagai berikut (Mankiw, 2006:332):
Y
= C (Y-T) + I (r*) +G +NX (e)
(2.1)
M/P
= L (r*, Y)
(2.2)
11
Persamaan (2.1) menjelaskan keseimbangan di pasar barang
(sektor riil), sehingga akan membentuk kurva IS*. Sedangkan,
persamaan (2.2) menjelaskan keseimbangan di pasar uang (sektor
moneter), dan akan menghasilkan kurva LM* Variabel eksogen dalam
model ini adalah variabel kebijakan fiskal (G dan T), variabel kebijakan
moneter (M), tingkat harga (P), dan tingkat bunga dunia (r*).
Sedangkan variabel endogen adalah pendapatan nasional (Y) dan nilai
tukar nominal (Mankiw, 2006: 332).
Keseimbangan di pasar barang ditentukan oleh permintaan
agregat dari barang-barang domestik yang terdiri dari absorpsi
domestik
dan
neraca
perdagangan. Keseimbangan
neraca
perdagangan ditentukan oleh tiga komponen yaitu pendapatan luar
negeri dan
domestik serta
membentuk
model
ini
nilai
adalah
Keseimbangan terbentuk saat
tukar riil. Kondisi kedua yang
keseimbangan
permintaan
uang
di
pasar
sama
uang.
dengan
penawaran uang. Penawaran uang dalam perekonomian terbuka di
bawah rezim nilai tukar fleksibel ditentukan oleh otoritas moneter
(eksogen). Sedangkan kondisi ketiga adalah keseimbangan neraca
pembayaran. Keseimbangan neraca pembayaran dipengaruhi oleh
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
neraca
perdagangan
yaitu
pendapatan domestik dan nilai tukar riil serta yang mempengaruhi
neraca modal ditentukan oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar
negeri.
12
Gambar 2.1 Keseimbangan Internal dan Eksternal pada Model
Mundell-Fleming
Sumber: Dornbusch dan Fischer, 1997
Keseimbangan internal dan eksternal pada model Mundell-Fleming
ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kebijakan bank sentral untuk menambah
uang beredar akan menggeser kurva LM ke LM’. Atau dengan
fenomena capital inflow, aliran modal yang masuk ke negara
berkembang menyebabkan permintaan mata uang domestik meningkat.
Hasilnya adalah pada poin E’ tingkat suku bunga lebih rendah dan
output yang diperoleh lebih besar. Dengan demikian arus modal akan
mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran akan mengalami defisit
sementara itu nilai tukar akan terdepresiasi. Ekspor neto akan
mengalami peningkatan akibat depresiasi Rupiah yang artinya akan
menggeser kurva IS ke IS’ dan mencapai keseimbangan pada titik E”.
Suku bunga kembali pada tingkat suku bunga dunia, depresiasi
menyebabkan peningkatan pendapatan. Sedangkan kebijakan moneter
bekerja dengan cara meningkatkan ekspor neto (Dornbusch dan Fischer,
1997:200).
13
Sehubungan dengan keseimbangan eksternal, nilai tukar dalam
sistem nilai tukar mengambang akan ditentukan oleh interaksi antara
permintaan dan penawaran. Pasar valuta asing (valas) merupakan salah
satu bentuk pasar dimana komoditi yang diperdagangkan adalah valas,
seperti Dollar AS, Euro, Yen Jepang, dan sebagainya. Semakin tinggi
nilai tukar (nilai Dollar AS meningkat) akan menyebabkan jumlah
permintaan akan Dollar AS menurun. Sebaliknya, korelasi searah antara
nilai tukar dan penawaran Dollar AS.
b. Pendekatan Neraca Pembayaran
Pendekatan ini lebih menekankan pada konsep aliran (flow
concept) dimana menurut pendekatan ini nilai tukar sebuah mata
uang ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi dalam
pasar valuta asing. Permintaan valas berasal dari transaksi pembayaran
yang diakukan kepada asing. Transaksi tersebut bisa berupa impor
barang atau jasa maupun berupa pembelian surat berharga milik
asing. Selanjutnya, transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi
debit neraca pembayaran. Sedangkan penawaran valas berasal dari
penerimaan valas yang diperoleh dari impor barang atau jasa
maupun
dari penjualan
surat
berharga
kepada pihak asing.
Selanjutnya transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi kredit
neraca
pembayaran.
Penentuan kurs melalui pendekatan neraca
pembayaran dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
14
Gambar 2.2 Penentuan Kurs dalam Pendekatan Neraca
Pembayaran
Sumber: Kuncoro, 2001.
Dalam Gambar 2.2, kurs Dollar yang dinilai dengan Rupiah
digambarkan oleh sumbu vertikal, sedangkan volume permintaan
Dollar AS digambarkan dengan sumbu horizontal. Permintaan
(demand) yang dinotasikan dengan huruf D mempunyai sumbu yang
negatif yang artinya semakin tinggi nilai tukar, maka akan semakin
tinggi pula harga yang harus dibayarkan atas barang atau jasa yang
diimpor dari asing maupun maupun surat berharga milik asing
keadaan
tersebut
selanjutnya akan
berakibat pada
menurunnya
permintaan akan impor maupun permintaan akan valas itu sendiri.
Sedangkan penawaran (supply) valas yang dinotasikan dengan huruf
S mempunyai sumbu yang positif. Artinya semakin tinggi nilai
valas maka akan semakin tinggi pula penawaran terhadap valas..
15
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar
a. Pembalikan Modal
Pembalikan arus modal merupakan istilah inklusif untuk semua
perubahan negatif utama arus modal bersih. Pembalikan dapat
mencerminkan perilaku baik investor asing dan domestik. Pembalikan
modal dapat menyebabkan krisis mata uang karena aliran modal dari
luar negeri terbatas. Namun, pembalikan modal juga dapat terjadi
sebagai respon dari adanya perubahan dalam kebijakan makroekonomi
yang dirancang untuk mencegah kemungkinan serangan spekulatif di
masa depan atau sebagai konsekuensi dari shok perdagangan (Kim et
al., 2014).
Sementara itu sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam era
globalisasi pembalikan modal memberikan dampak negatif terhadap
perekonomian yang ditinggalkannya. Menurut beberapa ekonom
(Dornbusch, Goldfajn dan Valdes, 1995) sudden capital reversal juga
berdampak pada terjadinya pembalikan neraca transaksi berjalan dan
proses penyesuaian ekonomi yang mahal. Sebagian besar krisis
ekonomi yang terjadi di negara berkembang dewasa ini ditandai oleh
terjadinya pembalikan modal (Calvo, 1998) yang diikuti oleh
menurunnya output secara signifikan.
Sula (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan metode
probit dan data panel guna mengetahui faktor penyebab utama
terjadinya pembalikan modal. Ditemukan bahwa penyebab utama
16
terjadinya pembalikan modal adalah tingginya
aliran modal masuk
pada periode sebelumnya (sekitar satu hingga tiga tahun sebelumnya),
serta komposisi aliran modal masuk yang didominasi oleh non FDI.
b. Neraca Transaksi Berjalan
Neraca transaksi berjalan (current account) adalah ukuran
perdagangan barang dan jasa internasional suatu negara yang
paling luas. Komponen utamanya adalah neraca perdagangan, yaitu
selisih antara ekspor dan impor.
Pada neraca transaksi berjalan, ekspor dicatat sebagai kredit karena
menghasilkan devisa bagi negara. Sedangkan impor dicatat sebagai
debit karena mengeluarkan devisa dari negara. Selain ekspor dan
impor, transaksi lain yang termasuk dalam neraca transaksi berjalan
adalah pendapatan faktor dan transaksi satu arah (unilateral transfer).
Calderon et al (2000) meneliti defisit neraca transaksi berjalan di
44 negara berkembang dengan rentang waktu 1966 sampai dengan
1995. Kajian tersebut menemukan bahwa (i) semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi suatu negara berkembang cenderung akan
semakin tinggi defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi, (ii)
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara maju cenderung
akan semakin rendah defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya,
(iii) semakin tinggi tingkat tabungan akan semakin rendah defisit neraca
transaksi berjalan yang terjadi, (iv) apresiasi nilai tukar riil
meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, dan (v) tingkat bunga
17
internasional yang semakin rendah mengarah pada peningkatan defisit
neraca transaksi berjalan.
c. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia
Tingkat suku bunga diukur dengan menggunakan suku bunga
yang ditentukan oleh Bank Indonesia selaku penguasa moneter melalui
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besar kecilnya suku bunga sangat
tergantung dari kondisi makro yang berkembang di Indonesia. SBI
adalah surat berharga
yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan)
dengan
sistem
mekanisme
yang
diskonto/bunga.
digunakan
SBI merupakan
Bank
salah
satu
Indonesia untuk mengontrol
kestabilan nilai Rupiah. Pada saat menjual SBI, Bank Indonesia dapat
menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga
yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme
pasar berdasarkan sistem lelang.
Peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat akan
mengakibatkan masyarakat cenderung membelanjakan uangnya yang
pada akhirnya bisa berdampak pada kenaikan harga-harga barang,
yang salah satunya sebagai faktor pemicu inflasi. Menaikkan suku
bunga SBI, yang berarti bank–bank dan lembaga keuangan
akan
terdorong untuk membeli SBI. Adanya bunga yang tinggi dalam
SBI membuat bank dan lembaga keuangan menikmatinya, ini akan
memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk produknya.
18
Bunga yang tinggi akan berdampak pada alokasi dana investasi bagi
para investor. Salah satu sifat tingkat bunga adalah mudah berubahubah, yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat dan
berjangka waktu pendek. Tingkat bunga jangka panjang relatif kurang
berfluktuatif (Permana, 2009).
Teori yang dapat menjelaskan pengaruh tingkat bunga terhadap
perubahan kurs mata uang asing adalah teori International Fisher Effect
(IFE Theory). Teori ini menggabungkan teori PPP dengan teori Effect
Fisher yang ditemukan oleh ekonom yang bernama Irving Fisher.
Menurut teori IFE, nilai mata uang dari negara yang memiliki tingkat
bunga tinggi atau lebih tinggi dari negara lain akan mengalami
depresiasi. Jika tingkat bunga domestik lebih tinggi dari tingkat bunga
negara asing, maka nilai mata uang domestik akan terdepresiasi,
sedangkan mata uang asing akan terapresiasi.
Nilai tukar dan tingkat suku bunga juga memiliki kaitan erat
dengan istilah Purchasing Power Parity (PPP) atau Teori Paritas Daya
Beli. Teori Paritas Daya Beli didefinisikan sebagai perbedaan harga
suatu barang yang sama tetapi dijual dengan harga yang berbeda. Teori
ini memaparkan bahwa perubahan dalam inflasi relatif (perbandingan
inflasi antar negara) antara dua negara harus diimbangi pula oleh
perubahan dalam nilai tukar untuk menjaga kesamaan harga barang di
antara kedua negara tersebut (Daniels et al, 2007).
19
d. Jumlah Uang Beredar
Uang adalah stok aset yang dapat dipergunakan untuk keperluan
transaksi (Herlambang, dkk, 2002:114). Uang adalah persediaan aset
yang dapat dengan segera digunakan untuk melakukan transaksi
(Mankiw, 2006:76). Uang beredar (M2) meliputi mata uang dalam
peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito
berjangka, tabungan, dan rekening/tabungan valas milik swasta
domestik (Sukirno, 2004:281). Jumlah uang yang tersedia disebut
jumlah uang beredar (money supply), dalam perekonomian yang
menggunakan uang komoditas, jumlah uang beredar adalah jumlah
dari komoditas itu dan pemerintah mengendalikan jumlah uang
beredar (Mankiw, 2006:79).
Menurut Nopirin (1992:170), meskipun secara umum dapat
dikatakan bahwa jumlah uang beredar (JUB) dapat ditentukan
secara
langsung
oleh
Bank Sentral
tanpa
mempersoalkan
hubungannya dengan uang primer, namun pada kenyataannya JUB
pada suatu periode merupakan hasil perilaku dari bank sentral,
bank umum (termasuk lembaga keuangan bukan bank), masyarakat
secara bersama-sama. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah
uang adalah cadangan minimum tetapi hasil seluruhnya terhadap
jumlah uang masih tergantung pada sikap masyarakat. Jadi bank
sentral tidak begitu mudah untuk mengatur JUB karena ada banyak
faktor yang mempengaruhinya.
20
Untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar Rupiah,
Bank Indonesia menggunakan pendekatan kuantitas yakni jumlah uang
yang beredar, yaitu level base money. Menurut Charles et al. (1999),
pengaruh uang beredar terhadap nilai tukar dapat dipisahkan menjadi
dua, yaitu:
1) Domestic credit mempunyai hubungan yang positif terhadap
nilai tukar, dimana bila terjadi penambahan domestic credit,
maka likuiditas
akan menyebabkan tekanan depresiasi Rupiah
meningkat.
2) Aliran modal mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai
tukar, karena semakin meningkat aliran modal masuk berarti
permintaan terhadap Rupiah akan semakin meningkat yang pada
akhirnya akan memperkuat posisi Rupiah.
B. Penelitian Terdahulu
Wanaset (2008) menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pergerakan nilai tukar mata uang bath Thailand. Variabel dependen yang
digunakan yaitu nilai tukar bath Thailand terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel
independennya terdiri dari CPI, GDP, jumlah uang beredar, dan harga minyak.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data time series per kuartal dari
Q1 1993 sampai dengan
Q4
menggunakan
metode Vector
menyimpulkan
bahwa
2008.
Pengujian
pada
Autoregressive (VAR).
pada analisis
impulse
penelitian
Hasil
response
dan
ini
penelitian
variance
decomposition, semua variabel independen berpengaruh terhadap nilai tukar.
21
Tetapi causality test menunjukkan hasil yang berbeda, dimana GDP terpengaruh
oleh semua variabel termasuk nilai tukar, tetapi tidak ada satupun variabel
yang mempengaruhi nilai tukar.
Triyono (2008) menganalisis perubahan kurs Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel independennya terdiri dari
Jumlah Uang Beredar (JUB), inflasi, tingkat bunga SBI, dan impor. Pengujian
pada penelitian ini
menggunakan
metode
regresi
berganda
dengan
menggunakan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa berdasarkan hasil estimasi regresi ECM dan analisis jangka panjang
variabel inflasi, SBI dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan pada α =
5% dengan arah positif terhadap kurs. Sementara variabel JUB mempunyai
pengaruh dengan arah negatif terhadap kurs pada α = 5%. Hasil analisis dengan
uji t diketahui bahwa regresi jangka pendek variabel inflasi, SBI dan impor
tidak signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Sementara variabel JUB berpengaruh
secara signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Dalam regresi jangka panjang
variabel inflasi, JUB, SBI, dan impor berpengaruh secara signifikan terhadap
kurs pada α = 5%.
Nucu (2011) meneliti hubungan antara nilai tukar dengan indikator
makroekonomi
yang
ada
di
negara
Romania.
Variabel dependen yang
digunakan adalah nilai tukar mata uang Ron Romania terhadap Dollar AS
dan Euro. Sedangkan variabel independennya terdiri dari GDP, tingkat inflasi,
jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan neraca pembayaran. Data yang
22
digunakan dalam penelitian ini berupa data bulanan dari periode 2000 sampai
dengan 2010. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk nilai tukar Ron
terhadap Dollar AS dengan indikator makroekonomi tidak menunjukkan hasil
yang
signifikan.
menunjukkan
Sedangkan
adanya
untuk
hubungan
nilai
negatif
tukar
signifikan
Ron
terhadap Euro
antara
nilai
tukar
RON/EUR dengan GDP dan jumlah uang beredar. Untuk variabel inflasi dan
tingkat suku bunga menunjukkan hubungan yang positif signifikan terhadap
RON/EUR. Sedangkan untuk variabel neraca pembayaran tidak menunjukkan
adanya korelasi karena tes statistik yang tidak signifikan.
Kwan dan Yoonbai (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh
tingkat suku bunga terhadap nilai tukar Indonesia, Korea, Filipina dan Thailand
pasca Krisis Asia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pasca krisis, negaranegara tersebut tidak menggunakan kebijakan suku bunga yang aktif untuk
menstabilkan nilai tukar. Selain itu, mata uang negara-negara tersebut juga
menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap mata uang negara lain setelah
terjadinya krisis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya
fleksibilitas nilai tukar tidak mendorong stabilitas tingkat suku bunga.
C. Kerangka Pemikiran
1. Hubungan Pembalikan Modal dengan Nilai Tukar
Aliran modal asing mengalir deras ke Indonesia paska krisis
keuangan global 2008 yang dipicu oleh permasalahan subprime mortgage di
AS. Krisis yang kemudian menyebar ke kawasan Eropa dan seluruh dunia
memaksa negara-negara maju yang terkena dampak krisis tersebut untuk
23
memindahkan dananya ke negara-negara berkembang yang kinerja
ekonominya tetap baik, termasuk Indonesia. Aliran modal asing yang
masuk ke Indonesia sebagian besar merupakan aliran modal jangka pendek
(portfolio investment). Antara triwulan III/2009 sampai dengan triwulan
III/2011 tercatat aliran modal masuk sebesar USD 49,7 miliar, dimana
58% nya merupakan
portfolio
investment. Aliran
modal
tersebut
mendorong apresiasi Rupiah sebesar 18% dari level Rp 10.500 per
USD (Juni 2009) ke level Rp 8.600 (Juni 2011).
Gambar 2.3 Aliran Modal Keluar Menyebabkan Rupiah Terdepresiasi
Sumber: Mankiw, 2006.
Paska terjadinya krisis, aliran modal jangka pendek yang masuk ke
Indonesia beberapa kali berbalik keluar (capital reversal.) Dikeluarkannya
kebijakan tapering off oleh The Fed juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya pembalikan modal di Indonesia. Kebijakan tapering off adalah
24
proses pengurangan jumlah pembelian obligasi yang dilakukan The Fed.
Kebijakan ini mengakibatkan modal yang ada di Indonesia akhirnya ditarik
kembali ke Amerika Serikat. Keluarnya arus kas modal yang begitu deras
menyebabkan terdepresiasinya nilai riil mata uang Rupiah dan menambah
jumlah uang Rupiah yang beredar. Oleh sebab itu, Rupiah akan terus
terkoreksi ketika terjadi pembalikan modal.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Nizar (2007) disimpulkan
bahwa aliran modal masuk menyebabkan terapresiasinya nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar AS dan sebaliknya saat terjadi pembalikan modal akan
mengakibatkan terjadinya depresiasi Rupiah.
H1= Pembalikan modal berpengaruh positif terhadap nilai tukar
Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).
2. Hubungan Neraca Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Indonesia mulai mengalami defisit transaksi berjalan sejak kuartal
keempat tahun 2011 dan terus mengalami defisit sejak saat itu. Penurunan
permintaan dan harga komoditi global menyebabkan shok perdagangan
yang besar dan menyebabkan pendapatan ekspor komoditi Indonesia
berkurang. Di sisi lain jumlah impor terus meningkat karena pemerintah
Indonesia terus mempertahankan program subsidi bahan bakar.
Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi adalah
defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari
impor, yang terjadi adalah surplus. Ketika terjadi defisit pada neraca
perdagangan atau dengan kata lain impor lebih tinggi daripada
25
ekspor, maka akan meningkatkan permintaan terhadap valuta asing yang
akhirnya menyebabkan depresiasi mata uang lokal. Berbeda ketika
terjadi surplus pada neraca perdagangan, maka yang terjadi adalah
permintaan
mata
uang
akan meningkat yang pada akhirnya akan
mengapresiasi mata uang domestik (Madura, 2006).
H2 = Neraca transaksi berjalan berpengaruh negatif terhadap nilai
tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).
3. Hubungan Suku Bunga SBI dengan Nilai Tukar
Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan
jumlah investasi di suatu negara. Dalam sistem nilai tukar mengambang,
perbedaan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi aliran modal dari luar
negeri, dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang negara
tersebut terhadap mata uang asing. Apabila tingkat suku bunga dalam
negeri naik sementara tingkat suku bunga luar negeri tetap maka investor
asing akan membeli asset keuangan domestik karena menawarkan imbal
hasil yang lebih tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan nilai tukar negara
tersebut terapresiasi.
H3 = Tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap nilai
tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).
4. Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Nilai Tukar
Di negara-negara berkembang adanya peningkatan jumlah uang
beredar diantarnya disebabkan karena adanya defisit anggaran pemerintah.
Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah memerintahkan Bank
26
Indonesia untuk mencetak uang lebih banyak sehingga jumlah uang
beredar
di
masyarakat
meningkat.
Menurut
Miskhin
(2008:130)
meningkatnya jumlah uang beredar akan mengakibatkan tingkat harga
lebih tinggi dalam jangka panjang dan akan menurunkan kurs di
masa depan. Semakin tinggi jumlah uang beredar di suatu negara akan
menyebabkan mata uang di negara tersebut terdepresiasi.
Dalam pendekatan moneter yang mendasarkan kebijakan kurs
mengambang bebas, menyatakan bahwa nilai tukar aktual mata uang
dari suatu negara dalam satuan mata uang negara lain ditentukan
oleh pertumbuhan penawaran uang dan permintaan uang. Jumlah uang
beredar yang berlebihan dalam suatu negara akan menyebabkan nilai
tukar mata uangnya melemah (depresiasi), hal itu dikarenakan tidak
diimbangi dengan permintaan yang sesuai.
Menurut Joseph, dkk (1999) bahwa
pengaruh
uang
beredar
memiliki hubungan yang positif dengan kurs, dimana bila terjadi
penambahan uang beredar maka akan menyebabkan tekanan depresiasi
Rupiah dan USD meningkat. Semakin menaikkan jumlah uang beredar
akan menaikkan kurs yaitu mata uang Rupiah mengalami depresiasi
terhadap dollar AS, begitu sebaliknya semakin menurunkan kurs maka
mata uang Rupiah akan terapresiasi terhadap dollar AS.
H4 = Jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap nilai tukar
Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).
27
Berdasarkan telaah pustaka dan hasil penelitian terdahulu,
kerangka penelitian ini dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut:
Pembalikan Modal
Neraca Transaksi Berjalan
Suku Bunga SBI
Jumlah Uang Beredar
+
Kurs
+
D. Pengembangan Hipotesis
Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi nilai tukar Rupiah antara
lain pembalikan modal, neraca transaksi berjalan, suku bunga SBI dan jumlah
uang beredar. Karena belum teruji kebenarannya maka diambil suatu hipotesis.
Hipotesis merupakan suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih
sementara, belum benar-benar berstatus sebagai tesis atau dalil. Kemudian diuji
secara
empiris
untuk membuktikan kebenarannya. Adapun hipotesis yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Diduga pembalikan modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).
2. Diduga neraca transaksi berjalan
berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).
3. Diduga tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).
4. Diduga jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).
28
Download