60 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Habitat tumbuhan
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal
dari Amerika, berada pada daerah tropis dan pusat penyebarannya diduga di
daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua (Kalie, 2008). Pada
pertengahan abad ke-16 pepaya mulai banyak ditanam serta dibudidayakan di
Cina dan Malaysia, diperkirakan mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-17
yang dibawa oleh bangsa Portugis (Suprapti, 2005). Di Indonesia tanaman
pepaya tersebar dimana-mana bahkan telah menjadi tanaman perkarangan.
Sentra penanaman pepaya di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (kabupaten
Sukabumi), Jawa Timur (kabupaten Malang), Yogyakarta (Sleman), Lampung
Tengah, Sulawesi Selatan (Toraja), Sulawesi Utara (Manado). Tanaman
pepaya banyak ditanam orang, baik di daerah tropis maupun subtropis, di
daerah-daerah basah dan kering atau di dataran tinggi dan pegunungan sampai
1000 m di atas permukaan laut (Warisno, 2003).
2.1.2 Nama lain
Di Indonesia tanaman pepaya dikenal dengan berbagai nama diantaranya
Kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela,
papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih, pancene, pisang, katuka, pisang
patuka, pisang pelo, gedang , punti kayu (Sumatera). Gedang, ketela gantung,
kates, gedhang (Jawa). Bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang
60
Universitas Sumatera Utara
mentela, gadang , bandas (Kalimantan). Gedang, kates, kampaja, kalu jawa,
padu, kaut panja, kalailu, paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa, kasi
(Nusa
Tenggara). Kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa,
tangan-tangan nikare, kaliki, rianre (Sulawesi). Tele, palaki, papae, papaino,
papau, papaen, papai, papaya, sempain, tapaya, kapaya (Maluku). Sampain,
asawa, menam, siberiani, tapaya (Papua) (Depkes, 1985).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan pepaya adalah sebagai berikut (Suprapti, 2005).
Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo
: Cistales
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Spesies
: Carica papaya L.
2.1.4 Morfologi Tumbuhan
Batang tanaman pepaya berbentuk tegak lurus, tidak bercabang, beruasruas berongga di bagian tengahnya, tidak berkayu dan tingginya dapat
mencapai 10 meter (Kalie, 2008). Daunnya bertulang menjari, tangkai daun
panjang, warna daun hijau tua pada bagian atasnya dan hijau muda pada bagian
bawahnya. Akarnya memiliki sistem perakaran yang berupa akar tunggang
(Suprapti, 2005). Buahnya berbentuk bulat memanjang, saat muda berwarna
hijau dan jika sudah matang berwarna kuning kemerahan, memiliki rongga di
61
Universitas Sumatera Utara
bagian tengah yang berisi banyak biji. Di dalam buah terdapat biji dalam
jumlah banyak, berwarna hitam keabu-abuan dan berbentuk bulat kecil
(Mangan, 2008).
Bunga pepaya jantan termasuk bunga majemuk yang tersusun pada
sebuah tangkai. Bunganya hanya memiliki benang sari yang berjumlah 10
buah. Bunga berbentuk tabung ramping dengan panjang kira kira 2,5 cm.
Mahkota bunga terdiri dari lima helai dan berukuran kecil-kecil (Kalie, 2008).
2.1.5 Kandungan kimia
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining bunga pepaya
jantan menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,
steroid-triterpenoid (Indrawati, dkk., 2002; Sitorus, 2012; Henova, 2012).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
Hampir seluruh bagian tumbuhan pepaya memiliki khasiat.
Daunnya berkhasiat mengobati penyakit malaria (Rehena, 2010), melancarkan
air susu ibu (Rengga dan Handayani, 2008) dan mengobati penyakit demam
berdarah (Ahmad, 2011). Bijinya berkhasiat mengobati penyakit asam urat
(Arsyiyanti, 2012), penyakit jantung koroner (Lusiana, dkk., 2011), sebagai
antibakteri (Martiasih, dkk., 2012) dan antioksidan (Osato, et al., 1993).
Getahnya berkhasiat untuk penyembuhan luka bakar (Fitria, dkk., 2014) dan
obat jerawat (Anggraini, dkk., 2005). Akarnya berkhasiat antidiuretik (BPOM,
2010).
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap khasiat bunga pepaya
jantan antara lain, ekstrak etanol sebagai antimutagenik (Sitorus, 2012), fraksi
62
Universitas Sumatera Utara
etil asetat sebagai antimutagenik (Fransisca, 2012), ekstrak etanol sebagai
antioksidan (Henova, 2012), fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat sebagai
antioksidan (Sianipar, 2013), ekstrak metanol sebagai antibakteri (Iman, 2009)
dan ekstrak etanol sebagai antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013).
2.2 Metode Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000). Ekstrak
adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati
atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari
langsung (BPOM, 2012).
Ekstraksi (dalam istilah farmasi) yaitu proses pemisahan bagian
senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat dari jaringan tanaman atau hewan
dengan menggunakan pelarut tertentu, sesuai prosedur standart yang akan
menghasilkan ekstrak (Depkes, 1979). Zat aktif yang terdapat dalam simplisia
dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan
lain-lain (Ditjen POM, 2000). Tujuan utama ekstraksi adalah untuk
mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki
khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).
Metode ekstraksi yang umum digunakan antara lain yaitu:
•
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan,
63
Universitas Sumatera Utara
sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
Maserasi digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tidak tahan terhadap
pemanasan. Pelarut yang dipakai adalah air atau pelarut organik (BPOM,
2012).
•
Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada
temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembapan bahan, tahap
perendaman, tahap perkolasi (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus
sampai diperoleh perkolat (Depkes, 2000). Perkolasi umumnya digunakan
untuk mengekstraksi serbuk kering simplisia terutama untuk bahan yang keras
seperti kulit batang, kulit buah, biji kayu dan akar. Pelarut yang digunakan
umumnya adalah etanol atau campuran etanol-air (BPOM, 2012).
•
Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat
pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
•
Digesti
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan pada
suhu 40 – 500C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang
zat aktifnya tahan terhadap pemanasan (BPOM, 2012).
•
Sokletasi
64
Universitas Sumatera Utara
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana
pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh
membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet,
setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi,
demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).
•
Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 15 menit (Depkes, 2000).
•
Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 30 menit (Depkes, 2000).
2.3 Toksisitas
Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang
yang terpapar (Wisaksono, 2002). Toksisitas adalah kemampuan suatu zat
asing dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau
saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
senyawa pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada
manusia sehingga dapat ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya
(OECD, 2001). Melakukan uji toksisitas untuk memperoleh informasi yang
65
Universitas Sumatera Utara
dapat digunakan untuk mengevaluasi resiko akibat pajanan bahan kimia yang
terjadi (Klassen, 2012).
Penelitian
toksisitas
konvensional
pada
hewan
coba
sering
mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai
dosis untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi
menjadi tiga kategori (Lu, 1995):
1.
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang
sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24
jam.
2.
Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan
memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama
jangka waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun
untuk anjing.
3.
Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia
berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya
sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24
bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.
2.3.1 Uji toksisitas akut
Uji toksisitas akut adalah salah satu uji praklinik untuk menentukan
efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi pada waktu yang singkat setelah
pemberiannya dalam takaran tertentu (Lu, 1995). Uji toksisitas akut dengan
menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat dalam dosis tunggal
66
Universitas Sumatera Utara
atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 24 jam;
apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval tidak kurang dari 3
jam (OECD, 2001).
Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam
beberapa tingkatan dosis kepada beberapa kelompok hewan uji (OECD, 2001).
Takaran dosis yang dianjurkan pada toksisitas akut paling tidak terdapat empat
peringkat dosis. Dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan
seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh
atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1996). Penilaian toksisitas akut
ditentukan dari kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati
selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk
dievaluasi
adanya
gejala-gejala
toksisitas
dan
selanjutnya
dilakukan
pengamatan secara makropatologi (OECD, 2001).
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia
yang toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila
terpajan. Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat
(OECD, 2001). Tujuan lain dilakukannya uji toksisitas akut yaitu untuk
mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek seperti perubahan
perilaku, koma, dan kematian serta mengetahui gejala-gejala toksisitas akut
sehingga bermanfaat untuk membantu diagnosis adanya kasus keracunan dan
untuk memenuhi persyaratan regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi
obat (Priyanto, 2009).
67
Universitas Sumatera Utara
Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk
menentukan dosis lethal (LD50). LD50 didefinisikan sebagai dosis dari bahan
kimia yang dapat menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang
diuji (Darmono, 2011). LD50 yaitu dosis tunggal suatu bahan yang secara
statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba. Pengujian ini dapat
menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak serta memberikan petunjuk
tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu,
1995).
Nilai LD50 sangat berguna untuk mengklasifikasikan zat kimia sesuai
dengan toksisitas relatifnya yaitu sebagai berikut:
Kategori
LD50
Supertoksik
5 mg/kg atau kurang
Amat sangat toksik
5-50 mg/kg
Sangat toksik
50-500 mg/kg
Toksik sedang
0,5-5 g/kg
Toksik ringan
5-15 g/kg
Praktis tidak toksik
>15 g/kg
2.3.1.1 Metode penentuan LD50
Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan
bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang
menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal
(Lu, 1995).
a. Perhitungan nilai LD50 berdasarkan cara Thomson dan Weil
68
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghitung nilai LD50 dengan cara ini digunakan tabel
yang dibuat oleh Thompson dan Weil. Pada penggunaan tabel, percobaan harus
memenuhi beberapa syarat berikut (Priyanto, 2009):
•
Jumlah hewan uji tiap kelompok peringkat dosis sama
•
Interval merupakan kelipatan (d) tetap.
•
Jumlah kelompok paling tidak terdapat 4 peringkat dosis.
Rumus :
Log m = log D + d (f + 1)
Dimana :
m = nilai LD50
D = Dosis terkecil yang digunakan
d = log dari kelipatan dosis
f = suatu nilai dalam tabel Thompson dan Weil dari variasi angka
kematian
b. Perhitungan nilai LD50 berdasarkan cara Farmakope Indonesia III (FI III)
Untuk menghitung LD50 berdasarkan FI III, uji harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Priyanto, 2009):
•
Menggunakan seri dosis atau konsentrasi yang berkelipatan tetap
•
Jumlah hewan percobaan tiap kelompok harus sama
•
Dosis harus diatur sedemikian rupa supaya memberikan respon dari 0100% dan hitungan dibatasi direntang tersebut.
Rumus perhitungan LD50 adalah :
m = a – b (∑ pi – 0,5)
69
Universitas Sumatera Utara
m = log LD50
a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan jumlah kematian
100% tiap kelompok
b = beda log dosis yang berurutan
pi = jumlah hewan yang mati
2.3.2 Uji toksisitas subkronik
Uji toksisitas subkronik adalah uji ketoksikan sesuatu
senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama
kurang dari tiga bulan. Uji toksisitas subkronik sesuatu zat uji, utamanya
ditujukan untuk mengungkapkan efek toksik dan jenis organ yang terkena,
maupun hubungan antara dosis dan efek toksik. Selain itu, dengan uji toksisitas
subkronik, memungkinkan terlihatnya wujud dan sifat efek toksik yang
munculnya lambat dan tidak dapat terdeteksi pada uji toksisitas akut (Donatus,
1996).
Prinsip dari uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji
dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama waktu
pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setap hari untuk menentukan
adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji
segera diotopsi dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan
histopatologi. Pada akhir periode pemberiaan sedia uji, semua hewan yang
masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi
dan histopatologi pada setap organ dan jaringan (OECD, 2008)
70
Universitas Sumatera Utara
Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh
informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut,
memperoleh informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, memperoleh
informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya
efek kumulatif dan reversibilitas atau irreversibiltas zat uji (OECD, 2008). Efek
reversibilitas adalah efek toksik yang hilang bila pemaparan sediaan uji
berhenti atau mereda. Efek irreversibilitas adalah efek toksik yang tidak akan
hilang atau permanen meskipun sediaan uji telah berhenti atau hilang
(Wisaksono, 2002). Uji toksisitas subkronik bertujuan untuk menentukan organ
sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).
2.3.3 Uji toksisitas kronik
Uji toksisitas kronik oral adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara
berulang sampai seluruh umur hewan. Perlu dilakukan uji toksisitas kronik
mengingat pemakaian obat seringkali memerlukan waktu yang relatif panjang,
bahkan mungkin sepanjang masa hidup si pemakai. Uji toksisitas kronik pada
prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronik, tetapi sediaan uji diberikan
selama tidak kurang dari 12 bulan (OECD, 2008). Keracunan yang bersifat
kronis efek toksisitasnya baru dapat terlihat atau teridentifikasi dalam waktu
lama, yang umumnya tidak disadari (Wirasuta dan Niruri, 2006).
Tujuan dari uji toksisitas kronik oral adalah untuk mengetahui
profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu
71
Universitas Sumatera Utara
yang panjang, memperoleh informasi efek toksik zat uji yang tidak terdeteksi
pada uji toksisitas subkronik dan untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak
menimbulkan efek toksik (OECD, 2008). Pada uji toksisitas kronis ini
dilakukan evaluasi patologi lengkap (Loomis, 1978).
2.4 Hati
Hati merupakan kelenjar yang paling besar dalam tubuh dan banyak
sekali fungsinya. Fungsi hati adalah sebagai berikut (Setiadi, 2007):
1.
Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu
tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam
jaringan.
2.
Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu
dan urin.
3.
Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
4.
Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam sistem
retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.
5.
Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum,
dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.
6.
Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.
Semua darah yang didistribusikan ke saluran pencernaan kembali ke
jantung melalu sistem portal hati untuk menjalani beberapa proses. Dengan
demikian semua zat yang ada dalam darah akan melewati hati dan beberapa zat
dapat menyebabkan kerusakan (Priyanto, 2009).
72
Universitas Sumatera Utara
2.5 Ginjal
Ginjal mempunyai bagian fungsional yang disebut nefron yang terdiri
dari glomerulus, tubulus proksimal, lengkung henle dan tubulus distal serta
kandung kemih (Priyanto, 2009).
Fungsi ginjal adalah (Syaifuddin, 2006):
1.
Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh.
2.
Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion
yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).
3.
Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin), zat-zat
toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing.
4.
Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
2.6 Hewan Percobaan
Hewan percobaan atau sering disebut dengan hewan laboratorium
adalah hewan yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian. Hewan
laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian dari pengaruh
bahan kimia atau obat (Darmono, 2011). Hewan coba dikarantina terlebih
dahulu selama 7 – 14 hari. Pengkarantinaan ini bertujuan untuk menghilangkan
stres akibat transportasi. Serta untuk mengkondisikan hewan dengan suasana
laboratorium (OECD, 2001). Pada waktu pengkarantinaan, temperatur harus
diperhatikan, temperatur yang cocok untuk karantina adalah temperatur kamar
(Ridwan, 2013). Cara pemberian senyawa pada hewan coba yang lazim adalah
per oral, namun yang paling tepat adalah dengan mempertimbangkan
kemungkinan cara pemberian senyawa tersebut pada manusia (Donatus, 1996).
73
Universitas Sumatera Utara
Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan percobaan
yang sering digunakan. Hewan ini dinilai cukup efisien ekonomis karena mudah
dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kehamilan yang singkat
dan banyak memilki anak perkelahiran (Sihombing dan Raflizar). Mencit
memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan
toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1995).
74
Universitas Sumatera Utara
Download