bab ii sejarah, tokoh dan perspektif sosiologi

advertisement
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
SOSIOLOGI
BAB II
SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF
SOSIOLOGI
ALI IMRON, S.Sos., M.A.
Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2017
BAB II
SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI
A. Kompetensi Inti
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu
B. Kompetensi Dasar :
Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu
C. Uraian Materi Pembelajaran :
1.
Sejarah Kelahiran Sosiologi
Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber dari filsafat, yang dianggap
sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Filsafat berkembang dan mempunyai berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan perkembangan zaman, masing-masing
cabang ilmu pengetahuan kemudian memisahkan diri dan berkembang untuk
mencapai tujuannya masing-masing. Pada awalnya, astronomi dan fisika yang
memisahkan diri dari filsafat kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan lain.
Sosiologi sendiri secara “resmi” memisahkan diri dari filsafat pada abad 19 yang
ditandai dengan terbitnya tulisan Auguste Comte. Tulisan yang berjudul Positive
Philosophy merupakan awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Tulisan
yang terbit pada tahun 1842 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak sosiologi.
Lahirnya tulisan Comte pada dasarnya adalah bentuk keprihatinan terhadap kondisi
masyarakat Eropa pada saat itu (Soekanto, 1982: 10-12). Pokok perhatian sosiologi di
Eropa adalah pada kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dipengaruhi oleh
kekuatan sosial. Adapun kekuatan sosial yang berperan dalam perkembangan ilmu
sosiologi, antara lain:
1
a.
Revolusi politik
Peristiwa politik yang terjadi di Eropa diawali dengan Revolusi Perancis pada
tahun 1789 yang memberikan semangat bagi para pemikir untuk mempelajari
perubahan yang terjadi pada masyarakat. Revolusi selain merubah tatanan politik
juga membawa dampak yang begitu luar biasa bagi masyarakat. Serangkaian konflik
dan peperangan menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi masyarakat, terutama di
Perancis. Pada saat itulah, para pemikir mencoba merubah tatanan masyarakat yang
tercerai berai menjadi lebih kondusif. Para pemikir bahkan secara ekstrim ingin
mengembalikan kondisi seperti pada abad pertengahan (Calhoun, 2002: 25). Namun,
beberapa pemikir lainnya mencoba mencari celah untuk mencari “tatanan
masyarakat masa depan” yang lebih ideal. Perhatian utama para pemikir adalah pada
isu “ketertiban sosial” yang kemudian dikenal dengan sebutan sosiologi klasik,
dengan pemikir utama Comte dan Durkheim.
b. Revolusi industri dan kemunculan kapitalisme
Selain revolusi politik yang melanda Eropa, revolusi industri juga ikut ambil
bagian memberikan warna pada lahirnya sosiologi. Revolusi industri ditandai dengan
berubahnya corak produksi negara-negara Eropa yang semula bertumpu pada sektor
pertanian berubah pada sektor industri. Revolusi industri muncul sebagai akibat dari
lahirnya penemuan baru di bidang teknologi. Salah satu penemuan yang spektakuler
adalah kemunculan mesin uap yang ditemukan oleh James Watt. Kapitalisme lahir
ditandai dengan penguasaan aset produksi oleh sebagian kecil masyarakat,
sedangkan sebagian besar masyarakat hanya dijadikan alat produksi sebagai buruh
dengan tingkat keuntungan yang kecil (Ritzer dan Goodman, 2007: 7-10). Kondisi ini
memunculkan gerakan buruh yang menuntut kesejahteraan bahkan secara radikal
seringkali berubah menjadi “pemberontakan buruh”. Pergolakan ini menjadi bahan
kajian bagi para pemikir, antara lain Marx, Weber, Durkheim dan Simmel.
2
c.
Kemunculan sosialisme
Sosialisme dianggap sebagai musuh bebuyutan kapitalisme sehingga dapat
dikatakan bahwa upaya penghancuran kapitalisme adalah melalui sosialisme. Marx
adalah salah satu pendukung gagasan sosialisme, walaupun Marx tidak secara tegas
akan mengambangkan sosialisme, namun dalam banyak tulisannya Marx mengkritik
habis-habisan kapitalisme. Walaupun menyadari masalah yang timbul seiring dengan
kapitalisme, mereka lebih mengkhawatirkan isu sosialisme yang dibawa oleh Marx.
Marx mencita-citakan tatanan masyarakat baru melalui revolusi sosial (gerakan
buruh).
d. Feminisme
Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut adanya persamaan
hak dan keluar dari subordinasi yang dihasilkan oleh sistem sosial masyarakat Eropa.
Gerakan buruh, persamaan hak perempuan, penghapusan perbudakan, dan
kedudukan perempuan dalam hukum menjadi perhatian utama para aktivis
feminisme pada waktu itu.
e.
Urbanisasi
Revolusi industri membawa permasalahan sosial baru berupa urbanisasi. Laju
perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi sangat mengkhawatirkan demikian
pula perubahan desa menjadi kota seiring perubahan sistem produksi. Migrasi desa
kota membawa dampak pada penyesuaian pola perilaku masyarakat urban.
Serangkaian permasalahan juga timbul ketika desa terkena dampak industrialisasi.
Topik ini kemudian semakin berkembang ketika Amerika mulai terkena dampak
revolusi industri.
f.
Perubahan keagamaan
Kapitalisme tidak dapat lepas dari perubahan-perubahan dalam bidang
keagamaan. Weber mencoba menelaahnya melalui tulisan yang berjudul “The
Protestan Ethic and The Spirit Capitalism”. Gerakan protestan yang berkembang
pesat menjadi salah satu kajian yang menarik bagi sosiolog.
3
g.
Perkembangan ilmu pengetahuan
Lahirnya sosiologi diiringi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan.
Tidak mengherankan apabila pemikir mencoba menggunakan pendekatanpendekatan ilmu pengetahuan alam. Namun demikian, perdebatan terjadi ketika
para ahli berargumentasi bahwa fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam.
2.
Tokoh-tokoh Sosiologi
a. Auguste Comte (1798-1857)
Comte merupakan orang yang pertama kali mengenalkan istilah sosiologi. Pada
awalnya, Comte tidak menggunakan istilah sosiologi, namun fisika sosial. Penggunaan
istilah ini menunjukkan bahwa Comte sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan alam yang sudah mapan pada masa itu. Comte mulai tertarik pada
masalah sosial ketika menghadapi masyarakat Eropa yang mengalami berbagai
“kerusakan” sebagai akibat peperangan. Perhatian utama Comte pada sosiologi
menghasilkan dua bidang kajian yaitu social static dan social dynamic. Social static
mencurahkan perhatian pada gejala sosial yang bersifat tetap seperti struktur sosial.
Sedangkan social dynamic lebih diarahkan pada proses-proses perubahan sosial yang
terjadi (Calhoun, 2002: 24-26). Bagi Comte, dinamika sosial jauh lebih penting karena
perubahan yang terjadi mampu merubah pola sosial yang semula statik. Comte tidak
menyetujui revolusi. Perubahan tatanan memang diperlukan oleh masyarakat Eropa
pada masa itu. Namun, langkah yang dirasa bijaksana adalah melalui reformasi.
Comte mempercayai akan adanya evolusi pada masyarakat sehingga dia
melahirkan hukum tiga tingkatan. Teori ini menerangkan bahwa terdapat tahapan
intelektual yang harus dilalui oleh dunia sepanjang sejarah. Pertama, teologis
merupakan tahapan yang menjadi karakteristik dunia pada tahun 1300-an. Pada
tahap ini manusia berkeyakinan bahwa kekuatan adi kodrati sebagai pengendali
segala sesuatu di dunia. Tokoh agama menjadi salah satu panutan utama bagi
masyarakat. Kedua, metafisik terjadi pada tahun 1300-1800. Pada tahap ini kekuatan
abstrak dianggap sebagai penentu segala sesuatu, bukan lagi hanya bertumpu pada
kekuatan adi kodrati. Ketiga, positivistik ditandai dengan munculnya keyakinan pada
4
ilmu pengetahuan. Kekuatan Tuhan dan alam mampu digali lebih lanjut melalui ilmu
pengetahuan.
b. Emile Durkheim (1858-1917)
Seperti halnya Comte, karya Durkheim diinspirasi oleh kekacauan pada
masyarakat sebagai akibat dari revolusi Perancis pada masa itu. Sebagian besar
karyanya berupaya mengupas masalah ketertiban sosial, sebuah keadaan yang dicitacitakan oleh masyarakat Eropa. Menurut Durkheim, kekacauan merupakan hal yang
wajar seiring perkembangan masyarakat yang semakin modern. Untuk mengatasi hal
itu, Durkheim menyarankan adanya reformasi sosial sehingga bisa membentuk
tatanan masyarakat yang lebih stabil. Jelas Durkheim berseberangan dengan Marx
yang lebih mengedepankan revolusi dengan kekuatan buruhnya.
c. Karl Marx (1818-1883)
Kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi tenaga kerja besar-besaran. Upah
yang diberikan oleh pemilik modal hanyalah upah semu saja, karena nilai lebih yang
dihasilkan oleh barang industri tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan oleh
buruh. Kapitalisme juga telah membelenggu krativitas buruh. Terlebih dengan adanya
introduksi mesin-mesin industri menjadikan buruh semakin termarginalisasi, selain
juga dihadapkan oleh persaingan diantara buruh menjadi ketat. Akibatnya, buruh
menjadi tidak berdaya dalam menolak upah rendah, yang ada adalah keterpaksaan
bekerja dengan upah rendah daripada harus tidak menerima upah sama sekali. Marx
melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang.
Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh
bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis.
Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi
“korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi kondisi dimana
terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa
dampak berupa kemauan melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari
praktik eksploitasi. Perjuangan ini hanya bisa dilakukan melalui revolusi. Marx
menyatakan bahwa negara terbelakang akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu
5
revolusi borjuis dan revolusi sosialis. Revolusi borjuis dilakukan oleh kelas borjuis
nasional untuk melawan penindasan oleh negara maju dan kemudian baru berlanjut
pada revolusi sosialis oleh kelas proletar (Calhoun, 2002: 30-31).
Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis nasional ternyata tidak mampu lagi
melaksanakan tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari eksploitasi kapitalisme,
karena kelas borjuis nasional sendiri merupakan bentukan dan alat kapitalisme
negara maju. Teori Marx terhadap perubahan memusatkan perhatiannya pada
unsure teknologi yang merubah segalanya. Teknologi yang berkembang pesat
menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
industrialis kapitalis.
3.
Perspektif struktural fungsional
Pada kegiatan belajar sebelumnya, kita sudah belajar untuk memahami secara benar
tentang struktur dan pola pikir keilmuan sosiologi. Selanjutnya, marilah kita melanjutkan
dengan belajar tentang berbagai perspektif keilmuan sosiologi. Sosiologi adalah ilmu
pengetahuan yang memiliki beberapa perspektif, antara lain perspektif struktural
fungsional, konflik, dan humanis. Perspektif struktural fungsionalisme dikenal sebagai
teori konsensus, karena teori memfokuskan pada aspek fungsi, keteraturan, dan
keseimbangan (Kanto, 2006: 54). Teoritisi yang menjelaskan perubahan sosial dalam
perspektif teori ini adalah Talcott Pansons, Robert K. Merton, dan Jeffry Alexander.
Menurut Vago, (2004: 66), secara umum pendekatan fungsionalisme struktural
mengembangkan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dianalisis secara holistik sebagai sistem terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan;
2. Hubungan sebab dan akibat bersifat multiple dan resiprokal;
3. Sistem sosial adalah dalam kondisi keseimbangan dinamis, seperti penyesuaian diri
terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi sistem dibuat dengan perubahan
minimum dalam sistem;
4. Integrasi sempurna tidak pernah dicapai, sehingga setiap sistem sosial mempunyai
ketegangan dan penyimpangan, tetapi kemudian cenderung menjadi stabil melalui
institusionalisasi;
6
5. Perubahan secara fundamental berjalan lambat, proses adaptif, daripada pergeseran
revolusioner;
6. Perubahan adalah konsekuensi dari penyesuaian diri terhadap perubahan dari luar
sistem, tumbuh melalui diferensiasi dan inovasi internal; dan
7. Adanya sistem terintegrasi melalui pembentukan nilai.
a.
Tokoh perspektif struktural fungsional
(1) Talcott Parsons
Penggagas teori struktural fungsional adalah Talcott Parsons. Parsons memfokuskan
pada masalah-masalah sistem tindakan dan sistem sosial (Kanto, 2006: 60). Parsons
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upayanya untuk membangun keseimbangan,
tertib, dan keteraturan sosial. Parsons mempertanyakan bagaimana mungkin tertib dan
keteraturan sosial yang menjamin tumbuhnya harmoni dalam masyarakat dapat
diwujudkan? Faktor-faktor apa saja yang dapat dipakai mewujudkan kesatuan dan kohesi
sosial? Pemikiran dan gagasannya untuk menjawab pertanyaan itu banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Emile Durkheim terutama analogi masyarakat dengan organisme hidup.
Pengaruh juga nampak ketika Parsons menyusun dalil-dalil menjawab persoalan yang
berkaitan dengan tertib sosial. Parsons berargumentasi bahwa tertib sosial dan kohesi
sosial disebabkan oleh tiga hal penting. Pertama, adanya nilai-nilai budaya yang dibagi
bersama. Kedua, nilai-nilai yang dilembagakan menjadi norma-norma sosial. Ketiga, nilainilai yang dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi.
Meskipun banyak dipengaruhi oleh Durkheim, namun Parsons juga mengkritik
Durkheim yang melihat masyarakat hanya sebagai suatu sistem yang analog dengan
organisme hidup, tetapi tidak menjelaskan jaringan-jaringan yang ada dalam sistem dan
kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Durkheim tidak menunjukan bagian-bagian mana dari
masyarakat yang mempunyai fungsi integrasi dan fungsi adaptasi untuk mencapai kondisi
equilibrium. Menurut Parsons, terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan-kebutuhan tertentu
yang harus dipenuhi oleh setiap sistem
yang hidup demi kelestariannya. Ada dua
kebutuhan penting yang harus dipenuhi, pertama, yang berhubungan dengan kebutuhan
sistem internal atau kebutuhan sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya; dan
7
kedua, berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang perlu
untuk mencapai tujuan itu (Ritzer, 1996: 63-65).
Gambar 2.1 Biografi Talcott Parson
Sumber: http://www.relatably.com/q/talcott-parsons-quotes
Berdasarkan premis tersebut, Parsons kemudian menciptakan empat kebutuhan
fungsional atau prasyarat fungsional yang disebut fungsi imperatif, yang dikenal dengan
istilah AGIL (Ritzer, 1996: 70-75 dan Kanto, 2006: 68-70). Pertama, kebutuhan adaptasi
(adaptation). Kebutuhan sistem untuk menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkungan
serta mendistribusikan sumber-sumber tersebut kepada sistem. Kebutuhan ini dipenuhi
oleh sistem ekonomi. Setiap anggota masyarakat untuk memiliki sarana material untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mendukung aktifitasnya. Tanpa sarana material,
maka ide, gagasan, dan bayangan betapapun bagusnya tidak akan dapat diwujudkan.
Kedua, kebutuhan goal attainment, yaitu prasyarat yang memberikan jaminan bagi
upaya pemenuhan tujuan sistem serta penerapan prioritas di antara tujuan-tujuan itu.
Oleh karena itu, dipersyaratkan agar sistem itu berlangsung suatu rumusan tujuan dan
orang-orang mencapai tujuan itu. Prasyarat ini dipenuhi oleh sistem politik. Ketiga,
integration, yaitu sebuah sistem harus mampu menjamin berlangsungnya hubungan
antarbagian, sehingga diperlukan prsyarat berupa kesesuaian bagian-bagian dari sistem
sehingga seluruhnya fungsional. Prasyarat fungsional ini dipenuhi melalui sistem sosial.
Keempat, kebutuhan latent pattern maintenance, yaitu prasyarat yang menunjuk
pada cara bagaimana menjamin kesinambungan tindakan dalam sistem sesuai dengan
8
beberapa aturan atau norma-norma. Prasyarat fungsional ini dipenuhi melalui sistem
budaya. Prasyarat ini tidak bisa diabaikan dan bahkan harus dipenuhi mengingat bahwa
sebuah sistem harus dipelihara dan dilestarikan serta diperbaharui baik melalui motivasi
individu maupun pola-pola budaya yang memberi iklim bagi tumbuhnya motivasimotivasi itu. Konsep AGIL diilustrasikan dalam diagram berikut.
L
I
Cultural
System
Social
System
Behavioral
Organisme
Personality
System
A
G
Gambar 2.2 Diagram Sistem Sosial AGIL
Perubahan sosial dalam sistem sosial atau masyarakat merupakan sebuah
keniscayaan. Perubahan itu bisa bersifat besar atau kecil, cepat atau lambat, dikehendaki
atau tidak dikehendaki. Menurut teori struktural fungsionali, perubahan sosial harus
dikendalikan sehingga sistem sosial tetap dalam keadaan keseimbangan. Perubahanperubahan itu dapat terjadi pada komponen-komponen sistem sosial. Komponen sistem
akan berkembang dan harus mampu menyesuaikan diri sehingga tidak menggganggu
keseimbangan struktural secara keseluruhan. Artinya, komponen sistem berubah dalam
suasana adaptive upgrading. Hal ini memungkinkan terjadinya keseimbangan dinamis.
Konflik memang harus dicegah. Bilamana tidak mungkin, masalahnya adalah bagaimana
mengendalikan konflik itu sehingga tidak terjadi disintegrasi sistem (Kanto, 2006: 57)
(2). Robert K. Marton
Robert K. Merton, salah seorang murid Parsons, mengembangkan teori struktural
fungsionali pada taraf menengah. Teori struktural fungsinal Merton berangkat dari kritik
terhadap tiga postulat yang dikembangkan oleh Parsons. Pertama, postulat tentang
kesatuan fungsional masyarakat; kedua, postulat tentang fungsionalisme universal; dan
ketiga, postulat tentang yang sangat diperlukan atau penting. Seperti halnya Parsons,
9
Merton menekankan tindakan yang berulang yang berhubungan dengan bertahannya
sistem sosial, namun Merton tidak menaruh perhatian pada orientasi subjektif individu
yang terlibat dalam tindakan seperti itu, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi sosial
objektifnya (Johson, 1990: 147). Pembedaan motif dan fungsi atau konsekuensi sosial
dapat dilihat pada gambar berikut ini (Johson, 1990: 147):
Motif
(orientasi subjektif)
Tindakan
Konsekuensikonsekuensi untuk
sistem sosial
Gambar 2.3 Diagram Alir Sistem Sosial Merton
Merton menyatakan pembedaan itu melalui pembedaan antara fungsi manifes dan
fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif yang menyumbang
pada penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksukan (intended) dan diketahui
(recognized) oleh partisipan dalam sistem itu. Sementara itu, fungsi laten adalah fungsi
yang tidak dimaksudkan atau tidak diketahui (Johnson, 1990: 147 dan Poloma, 1992: 39).
Namun, Merton (Johnson 1990: 147 dan Kanto 2006: 63), mengungkapkan bahwa tidak
semua pola tindakan baku harus mempunyai konsekuensi yang menguntungkan sistem
itu atau memenuhi persyaratan fungsionalnya. Banyak tindakan dapat mempunyai
konsekuensi yang bersifat disfungsional atau memperkecil penyesuaian terhadap sistem
itu. Perpindahan penduduk dari desa pertanian ke daerah perkotaan, di satu sisi
mempunyai konsekuensi sosial bagi pelakunya yaitu mendatangkan pendapatan yang
lebih tinggi dan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja di kota, di lain sisi, kawasan
pedesaan yang ditinggalkan mengalami kekurangan tenaga kerja. Bagi sektor petanian di
pedesaan, perpindahan penduduk menjadi disfungsional.
Merton juga mengemukakan konsep nonfunctions yang diidentifikasikannya sebagai
akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem sosial. Dalam hal ini termasuk
bentuk-bentuk sosial yang “bertahan hidup” sejak jaman sejarah kuno (Kanto, 2006: 63).
Menurut Merton, struktur mungkin bersifat disfungsional untuk sistem secara
10
keseluruhan, namun demikian struktur itu terus ada. Merton berpendapat bahwa tak
semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial. Beberapa bagian dari sistem
sosial Barat dapat dilenyapkan. Ini dapat membantu teori fungsional mengatasi
kecenderungan konservatifnya. Dengan mengakui bahwa struktur tertentu dapat
dilenyapkan maka fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh
makna (Kanto, 2006: 66).
(3). Jeffry Alexander
Jeffry Alexander bersama dengan Paul Colomy pada tahun 1980-an menganggas
neofungsionalisme.
Neofungsionalisme
untuk
menandai
kelangsungan
hidup
fungsionalisme struktural dan sekaligus menunjukan bahwa sedang dilakukan upaya
memperluas fungsionalisme struktural dan mengatasi kesulitannya. Menurut Alexander
dan Colomy, teori fungsionalisme terlampau sempit. Keduanya sepakat untuk
menciptakan teori sintesis yang dinamakan neofungsionalisme. Masalah fungsionalisme
struktural yang perlu diatasi adalah anti-individualisme, antagonistik terhadap perubahan,
konservatisme, idialisme, dan bias antiempiris (Ritzer dan Goodman, 2004: 148). Ritzer
dan Goodman (2004: 148-149, juga dikutip Kanto, 2006: 67-69), mengajukan beberapa
orientasi dasar teori neofungsionalisme sebagai berikut:
1). Neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Model ini melihat
masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut pola tertentu
yang memungkinkan sistem dibedakan dari lingkungannya. Unsur-unsur itu
berhubungan secara simbiosis. Oleh karena itu, neofungsionalisme bersifat terbuka
dan plural;
2) Neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan
dan keteraturan. Ini berbeda dengan fungsionalisme struktural yang memusatkan
perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan keteraturan tingkat makro dalam
struktur sosial dan kultur. Neofungsionalisme memberikan perhatian yang cukup
terhadap pola tindakan di tingkat yang lebih mikro, tak hanya yang bersifat rasional
tetapi juga tindakan yang ekspresif;
3)
Neofungsionalisme tetap memperhatikan masalahh integrasi, tetapi bukan dilihat
sebagai fakta mutlak, melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan sosial.
11
Neofungsionalisme mengakui bahwa penyimpangan dan kontrol sosial merupakan
realitas sosial. Neofungsionalisme melihat keseimbangan dalam konteks yang lebih
luas. Keseimbangan sosial bukanlah sesuatu yang statis, keseimbangan dilihat sebagai
rujukan untuk analisis fungsional bukan sebagai deskripsi kehidupan sosial yang
nyata;
4) Neofungsinalisme tetap menerima penekanan Parsonian tradisional atas kerpibadian,
kultur dan sistem sosial. Selain sebagai aspek vital untuk struktur sosial,
interpenetrasi atas sistem sosial itu juga menghasilkan ketegangan sebagai sumber
perubahan sosial dan kontrol;
5)
Neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses
diferensiasi dalam sistem sosial, kultural, dan kepribadian. Perubahan tidak hanya
menghasilkan keselarasan dan konsensus, tetapi juga dapat menimbulkan
ketegangan, baik individu maupun kelembagaan; dan
6)
Neofungsionalisme secara tak langsung menyatakan komitmennya terhadap
kebebasan dalam mengkonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis
sosiologis pada tingkat lain.
4.
Perspektif konflik
Perspektif konflik berasumsi bahwa perilaku sosial dapat dipahami dalam istilah
tekanan dan konflik antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Teori ini
beranggapan bahwa masyarakat adalah sebuah arena bagi perjuangan memperebutkan
komoditas-komoditas. Teoritisi konflik menganggap bahwa perubahan sebagai elemen
penting kehidupan sosial daripada keteraturan. Perubahan dipandang sebagai proses
intrinsik dalam masyarakat, bukan hanya dampak beberpa fungsi yang tidak tepat atau
ketidakseimbangan
bagian dari sistem sosial. Perbedaan struktural dirasa menjadi
sumber konflik. Berikut ini secara berturut akan dipaparkan penjelasan Karl Marx, Lewis
A. Coser, dan Ralf Dahrendorf tentang perubahan sosial.
(1)
Karl Marx
Tulisan Karl Marx secara umum menganggap bahwa diantara yang penting dan
dasar dalam kajian teori konflik adalah dengan mempertimbangkan perubahan sosial.
12
Menurutnya, ”tanpa konflik, tidak ada kemajuan” (Vago, 2004: 20). Marx mengajukan
postulat bahwa setiap masyarakat, tahapan perkembangan sejarahnya, berdasarkan
sebuah pondasi ekonomi. Marx menyebutnya sebagai the mode of production of
commodities. The mode of production mempunyai dua elemen. Pertama, sarana-sarana
produksi atau susunan fisik dan teknologi dari aktivitas ekonomi. Kedua, hubunganhubungan sosial produksi atau manusia merupakan alat pelengkap tambahan yang sangat
diperlukan. Individu harus berhubungan dengan individu lain dalam mengadakan
aktivitas-aktivitas ekonomi. Marx (dalam Vago, 2004: 23) mengungkapkan:
“Jumlah total dari hubungan-hubungan produksi ini membentuk struktur
ekonomi masyarakat sebuah pondasi nyata, dimana muncul
superstruktur legal dan politik dan berkaitan dengan bentuk-bentuk
kesadaran sosial. The mode of production dalam kehidupan material
menentukan karakter umum proses-proses kehidupan sosial, politik dan
spiritual. Bukan kesadaran orang yang menentukan eksistensi mereka,
melainkan eksistensi mereka yang menentukan kesadaran. Pada tahapan
tertentu, perkembangan mereka sarana-sarana produksi material dalam
masyarakat mewarisi konflik dengan adanya hubungan-hubungan
produksi, atau dengan adanya hubungan pemilikan. Dari bentuk
perkembangan sarana-sarana produksi, hubungan ini berubah menjadi
belenggu mereka. Kemudian datang periode revolusi sosial. Dengan
perubahan pondasi ekonomi superstruktur memasuki tranformasi yang
besar sekali”.
Bagi Marx (dalam Vago, 2004: 24-25; Ashley dan Orenstein, 2005: 195-196), mode
of production menjadi determinan atau variabel independen. Perubahan-perubahan
terjadi dalam hubungan-hubungan produksi, dimana kelompok-kelompok didekatkan
pada teknologi produksi. Sebagai ilustrasi, Marx membagi sejarah ke dalam lima tahapan,
masing-masing dicirikan oleh sebuah tipe produksi ekonomi. Lima tahap tersebut adalah:
(1) kepemilikan suku, sebuah tipe komunisme primitif, (2) kepemilikan negara dan
komunal kuno ditandai adanya perbudakan, (3) feudalisme, (4) kapitalisme, dan (5)
komunisme, yang dibagi ke dalam sebuah diktator proletariat dan komunisme asli. Kecuali
komunisme murni, setiap tahap dicirikan adanya konflik antara dua atau lebih kelompokkelompok ekonomi yang saling bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi
yang terpisah dan bertentangan. Konflik ekonomi diantara kelompok-kelompok ini
13
menciptakan konflik sosial dan politik, seperti setiap kelompok mencari kepentingan
mereka sendiri di atas kerugian kelompok lain.
Gambar 2.4 Karl Marx
Sumber: http://quotesgram.com/karl-marx-quotes/
Bagi Marx (dalam Vago, 2004: 27), konflik adalah sebuah kondisi normal dari
kehidupan sosial di mana ciri-ciri dan variasi adalah beberapa hal penting yang dianalisis
dan digambarkan oleh ilmu sosial. Bagi Marx, konflik dan perubahan tidak dapat
dipisahkan. Lembaga-lembaga sosial, seperti pemerintah, keluarga, pendidikan, dan
agama, tergantung pada the mode of economic production dalam masyarakat. Perubahan
dan variasi dalam produksi ekonomi menyebabkan perubahan dan variasi dalam
lembaga-lembaga sosial lain meliputi nilai-nilai, sikap-sikap, dan norma-norma.
Dalam sebuah masyarakat kapitalis, semua individu akan bergerak dari kelompokkelompok menengah menjadi kelas proletar atau kelas borjuis. Perjuangan diantara dua
kelas ini tak terelakan dan akan berakibat jatuhnya sistem. Hal tersebut akan mencapai
puncak dalam pembentukan bentuk produksi ekonomi baru – produksi komunistik – dan
tahap sejarah baru yaitu komunisme. Proletariat akan memenangkan revolusi dan akan
menjadi kelompok dominan dalam tahap akhir sejarah. Secara ringkas, serangkaian
peristiwa mengarah ke sebuah revolusi proletariat terakhir adalah sebagai berikut: (1)
kebutuhan produksi; (2) perluasan pembagian tenaga kerja; (3) perkembangan pemilikan
pribadi; (4) ketidakadilan sosial meningkat; (5) perjuangan kelas; (6) penciptaan struktur
politik sebagai representasi masing-masing kepentingan kelas; dan akhirnya (7) revolusi.
14
Gambar 2.5 Diagram Alir The Mode of Economic Production Karl Marx
Sumber:
http://www.faculty.rsu.edu/users/f/felwell/www/Theorists/Essays/Marx3.htm
(2) Lewis A. Coser
Dalam bukunya The Functions of Social Conflict, Lewis A. Coser (dalam Vago, 2004:
35), mengungkapkan bahwa konflik mempunyai efek positif dan negatif. Coser
menjelaskan bahwa konflik adalah bagian dari proses sosialisasi dan tidak ada satu
kelompokpun yang secara sempurna harmonis. Konflik adalah bagian dari kondisi
manusia, tetapi konflik dapat menjadi konstruktif ataupun destruktif. Coser percaya
bahwa konflik menciptakan sebuah peningkatan dalam adaptasi dan penyesuaian diri.
Konflik akan menciptakan kohesi in group sebab anggota kelompok memiliki musuh dan
alasan bersama.
Coser (dalam Vago, 2004: 40-42), memandang konflik sebagai alat untuk
meningkatkan perubahan sosial. Orang yang merasa bahwa masyarakat mereka
memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka tidak ingin mengubahnya. Orang yang
kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi akan mencoba mengubah situasi dengan melawan
kelompok dominan
yang menghambat tujuan-tujuan mereka. Namun, Coser
berpendapat bahwa konflik dapat membawa ke perubahan dalam berbagai cara,
15
termasuk pembentukan batas-batas kelompok baru, meredakan tekanan dan
permusuhan, pengembangan struktur kelompok yang lebih kompleks dikaitkan dengan
konflik dan akibat yang mengiringinya, dan penciptaan aliansi dengan partai-partai lain.
Konflik dilihat sebagai kekuatan kreatif yang mengubah masyarakat secara terus menerus.
(3)
Ralf Dahrendorf
Dahrendorf menolak pandangan Marx tentang kelas sosial yang ditentukan oleh
hubungan-hubungan terhadap sarana-sarana produksi. Menurut Dahrendorf, konflik
disebabkan oleh distribusi otoritas yang tidak merata. Masyarakat terbagi dalam
kelompok yang memiliki otoritas dan kelompok yang tidak memiliki otoritas. Konflik sosial
mempunyai asal-usul struktural dan dipahami konflik tentang legitimasi hubunganhubungan otoirtas. Dalam banyak organisasi, peranan-peranan dan posisi-posisi dapat
dikelompokan ke dalam dua kelompok semu, yang anggota-anggota mempunyai
kepentingan laten yang bertentangan. Kelompok yang memiliki kekuasaan atau otoritas
memiiliki kepentingan status quo, sementara yang tidak memiliki kekuasaan atau otoritas
memiliki kepentingan mengubahnya. Dua kelompok semu ini memiliki potensi
antagonistik, di mana anggotanya berbagi pengalaman-pengalaman, peranan-peranan,
dan kepentingan-kepentingan (Vago, 2004: 45).
Dibutuhkan tiga kondisi untuk mengubah kelompok semu menjadi kelompok
kepentingan. Pertama, di bawah ”kondisi-kondisi organisasi” yang tepat, kelompokkelompok kepentingan muncul tanpa kelompok-kelompok semu, seperti anggota-anggota
mengembangkan kepemimpinan, komunikasi antarkelompok secara efektif, ideologi yang
konsisten, dan kesadaran kepentingan bersama. Kelompok-kelompok kepentingan yang
tersubordinasi menjadi lebih terorganisasi, yang akan konflik dengan kelompok dominan.
Kedua, di bawah ”kondisi-kondisi konflik,” seperti peluang mobilitas sosial dan respon
agen terhadap kontrol sosial yang akan menentukan intensitas dan kekerasan konflik.
Dengan intensitas tersebut, partisipan menjadi terlibat secara emosional dan rasa
permusuhan. Kelompok kepentingan yang diorganisasi dan konflik di antara mereka
diatur, konflik tersebut menjadi kurang keras, sebaliknya, akan mengarahkan perubahan
struktural sebagai akibat dari sebuah perubahan dalam hubungan-hubungan dominasi.
Tipe, kecepatan, dan besaran perubahan sosial bergantung pada ”kondisi-kondisi
16
perubahan struktural”. Kondisi-kondisi ini meliputi kapasitas dalam kekuasaan dan
potensi
tekanan
dari
kelompok
kepentingan
yang
mendominasi.
Dahrendorf
menggunakan ilustrasi pemebntukan serikat pekerja dalam konflik di antara pekerja dan
manajemen (Vago, 2004: 48-50).
Dahrendorf (dalam Vago, 2004: 53) menyimpulkan bahwa ”kekuatan kreatif
besar” yang mendorong ke arah perubahan di masyarakat adalah konflik sosial.
Pandangan yang menyatakan bahwa ”dimana ada kehidupan sosial ada konflik” mungkin
menjadi mengganggu dan tidak menyenangkan. Namun, masyarakat dan organisasi sosial
dipertahankan bukan melalui konsensus tetapi melalui tekanan, bukan melalui
persetujuan umum melainkan pemaksaan, dan seperti konflik menghasilkan perubahan,
tekanan sebagai hasil konflik. Dahrendorf (dalam Vago, 2004: 55), mengubah teori Marx
dalam beberapa cara. Dahrendorf melihat konflik sebagai masalah distribusi otoritas yang
tidak merata di semua sektor masyarakat, sebaliknya Marx menekankan pada kelas.
Kemudian, Dahrendorf menganggap penting mengkaitkan dengan konflik eksternal,
sementara dalam konsep Marx, konflik diidentifikasi konflik bersumber dalam internal
masyarakat itu. Selain itu, konflik bukan berasal dari kontradiksi internal dalam
perkembangan sejarah, tetapi dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelompok lain.
Akhirnya, Dahrendorf berpendapat bahwa banyak konflik tidak dapat dipecahkan, seperti
anggapan Marx, tetapi sering dapat dikontrol melalui kompromi. Berikut perbedaan
mendasar antara perspektif struktural fungsional dan perspektif konflik.
Tabel 2.1 Perbedaan Asumsi Dasar Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik
-
-
Teori Fungsionalisme Struktural
Masyarakat
cenderung
statis,
perubahan
menuju
pada
keseimbangan
Menekankan
pada
keteraturan
masuarakat
Setiap elemen masyarakat berperan
dalam menjaga kestabilan
Masyarakat diikta oleh nilai, norma,
dan moral
Memusatkan perhatian pada kohesi
sosial yang diciptakan oleh nilai
kebersamaan dalam masyarakat
-
-
-
Teori Konflik
Masyarakat setiap saat tunduk pada
proses perubahan
Menekankan pada pertikaian dan
konflik dalam masyarakat
Setiap elemen masyarakat berpotensi
menyumbang terjadinya disintegrasi
dan perubahan
Keteraturan dalam masyarakat karena
adanya pemaksaan dari golongan yang
lebih berkuasa
Menekankan pada peran kekuasaan
dalam mempertahankan ketertiban
dalam masyarakat
Sumber: Kanto (2006: 71)
17
D. Referensi
Calhoun, C. et al. (2002). Classical Sociological Theory. Blackwell Publishing. Victoria.
Kanto, S. (2006). Modernisasi dan Perubahan Sosial: Suatu Kajian dari Perspektif Teori
dan Empirik. Malang: Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Ritzer, G. dan Goodman, D. (2003). Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam.
Terjemahan. Jakarta: Prenada Media.
. (2007). Teori Sosiologi Modern. Edisi Ketujuh.
Kencana. Jakarta.
Riyanto, G. (2009). Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES.
Scott, J. (Ed.). (2011). Sociology: The Key Concepts. Terjemahan. Jakarta: Rajawali
Press.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi: Suatu Pengantar. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Vago, S. (2004). Social Change. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
http://www.relatably.com/q/talcott-parsons-quotes
http://quotesgram.com/karl-marx-quotes/
http://www.faculty.rsu.edu/users/f/felwell/www/Theorists/Essays/Marx3.htm
18
Download