TINJAUAN PUSTAKA A. Eucalyptus grandis Tanaman Eucalyptus grandis mempunyai sistematika sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Sud Divisio : Angiospermae Class : Dicotyledone Ordo : Myrtiflorae Family : Myrtaceae Genus : Eucalyptus Species : Eucalyptus grandis W. Hill ex Maiden Eucalyptus termasuk jenis pepohonan yang cepat tumbuh, pada umur 7 tahun ia sudah bisa ditebang untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas (Karyaatmadja, 2000). Riap volume tegakan Eucalyptus bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai laju (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua jenis pada waktu muda umumnya mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi, kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Untuk hutan tanaman biasanya pertumbuhan diameter huruf S karena pada mulanya tumbuh agak lambat, kemudian cepat lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda disebabkan tanaman hutan ditanam rapat Universitas Sumatera Utara untuk menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinnings) (Simon, 1996 dalam Latifah, 2004). Jenis Eucalyptus termasuk jenis cepat menghasilkan biomassa, cepat menghasilkan serasah, dikhawatirkan cepat menyerap hara/mineral dari dalam tanah. Serasah yang dihasilkan oleh Eucalyptus walaupun cepat dan banyak namun sangat lambat terdekomposisi, sehingga dikhawatirkan lambat dalam mengembalikan hara tanah (Pudjiharta, 2001). Daun-daun Eucalyptus yang banyak mengandung atsiri sangat sulit bisa hancur sehingga ia membentuk tumpukan serasah tebal. Serasah yang sulit dicerna itu mempercepat pengasaman tanah yang pada gilirannya menghambat perkembangan mikro dan makro fauna dan tumbuh-tumbuhan (bakteri dan jamur) yang merupakan sarana dalam proses pembusukan (decomposition) serasah tadi (Karyaatmadja, 2000). Eucalyptus L. Merit (Myrtaceae) merupakan marga besar tanaman yang terdiri dari sekitar 500 species pohon dan perdu. Namun sudah banyak juga jenis yang dikenal dan dikembangkan antara lain Eucalyptus urophylla, E. alba (ampupu), E. deglupta (leda), E. grandis (hooden gum), E. saligna (sidney blue) dan lain-lain. Daerah penyebarannya meliputi Australia, New Britain dan di sekitar kepulauan Tazmania. Namun ada beberapa jenis yang dijumpai tumbuh secara alami di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Irian Jaya, Sulawesi dan Timor-timur (Khaeruddin, 1999). Jenis Eucalyptus merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Jenis Eucalyptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Kayunya mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu Universitas Sumatera Utara gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuat pulp dan kertas. Oleh karena itu jenis tanaman ini cenderung untuk selalu dikembangkan. Tanaman ini dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Jenis ini termasuk cepat pertumbuhannya terutama pada waktu muda. Sistem perakaran yang sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Dephut, 1999). Kayu Ekaliptus merupakan salah satu dari jenis tanaman yang diprioritaskan untuk dikembangkan dalam program Hutan Tanaman Industri (HTI), mengingat pertumbuhannya yang cepat dan kegunaannya sebagai bahan baku industri pulp, kertas dan rayon (Martawijaya et al, 1986 dalam Tambunan, 2004). B. Biomassa dalam Komunitas Hutan Biomassa berasal dari kata bio artinya hidup dan mass artinya berat. Sehingga biomassa diartikan sebagai bobot bahan hidup. Brown (1997), mendefenisikan biomassa sebagai jumlah bahan organik hidup dalam pohon berdasarkan ton kering oven per unit area. Biomassa bisa dinyatakan dalam dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau kg per ha atau ton per ha (Poole, 1974, Chapman, 1976, Brown, 1997 dalam Onrizal, 2004). Sedangkan laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya Universitas Sumatera Utara juga menyatakan per satuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al., 1987 dalam Onrizal, 2004). Biomassa dapat dibedakan kedalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih lanjut dikatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit area di atas permukaan tanah pada suatu waktu (Hairiah et al., 2001). Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon di vegetasi hutan sebab 50 % dari biomassa adalah karbon. Oleh karenanya, biomassa menyatakan jumlah potensial karbon yang dapat ditambahkan ke atsmosfer ketika hutan ditebang atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atsmosfer dengan cara reboisasi atau penanaman (Brown, 1997). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Sedangkan iklim (curah hujan dan temperature) mempengaruhi laju biomassa pohon, selain itu gradien iklim juga menyebabkan perbedaan laju produksi bahan organik (Lugo dan Snedaker, 1974 dalam Tambunan, 2004). Selain curah hujan dan temperatur yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah kerapatan tegakan, komposisi tegakan dan kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick, 1982 dalam Tambunan, 2004). C. Pendugaan dan Pengukuran Biomassa Biomassa (berat kering oven) dari pohon dapat diukur secara langsung dengan menebang pohon, kemudian membagi pohon tersebut menurut bagian- Universitas Sumatera Utara bagiannya (kayu dengan ukuran yang berbeda-beda, daun dan buah), ditimbang berat basah, kemudian sampel dari bagian-bagian tersebut dikering ovenkan untuk menentukan kandungan kelembaban. Akan tetapi, keseluruhan percobaan ini memakan waktu untuk menebang semua pohon, dan memprediksi nilai pohon pada waktu yang akan datang (Stewart, et al, 1992). Brown (1997) mengatakan ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon. Pendekatan pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume pohon kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Pendekatan kedua adalah penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi biomassa ini adalah hanya mendekati biomassa per rata-rata pohon menurut sebaran kelas diameternya dimana dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkannya (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter. Chapman (1976) dalam Onrizal (2004) mengatakan bahwa secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokan ke dalam dua golongan, yaitu: 1. Metoda Pemanenan a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan yang cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. Universitas Sumatera Utara b. Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu tumbuhan dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa didapat dengan mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu. c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar ratarata Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Dengan metode ini pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2. Metode Pendugaan Tidak Langsung a. Metode hubungan allometrik Dalam metode ini beberapa pohon contoh dengan diameter yang mewakili kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan ditebang dan ditimbang beratnya. Berdasarkan berat berbagai organ dari contoh, maka dibuat persamaan alometrik antara berat suatu organ dengan dimensi pohon (tinggi dan diameter). Dalam penggunaan persamaan alometrik tersebut semua individu pohon dalam suatu unit area diduga beratnya. Nilai Universitas Sumatera Utara total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit areal tertentu. b. Crop meter Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakan dipermukaan tanah pada suatu jarak tertentu kemudian biomassa tumbuhantumbuhan yang terletak antara dua elektroda dapat dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan pada alat tersebut. D. Model Pendugaan Biomassa Mulyono (1991) dalam Tambunan (2004) mendefenisikan model sebagai abstraksi dari keadaan sebenarnya atau penyederhanaan realita sistem kompleks dimana hanya faktor-faktor dominan atau komponen yang relevan dari masalah yang dianalisis diikutsertakan yang menunjukkan hubungan langsung dalam pengertian sebab akibat. Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Peyerapan karbon bersih disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Boer dan Ginting, 1996 dalam Onrizal, 2004). Hubungan allometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya adalah hubungan antara Universitas Sumatera Utara volume pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon. Dalam hubungan ini, volume pohon atau biomassa pohon merupakan peubah tak bebas yang besar nilainya diduga oleh diameter dan tinggi total pohon, yang disebut sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan allometrik. Persamaan allometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh dengan melakukan penebangan dan perujukan dari berbagai sumber pustaka yang mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan. Persamaan tersebut biasanya menggunakan diameter pohon yang diukur setinggi dada (Dbh) yang diukur 1,3 m dari permukaan tanah sebagai dasar. Persamaan empirik untuk biomassa total W berdasarkan diameter D mempunyai sebuah bentuk polinomial : W = a + bD + cD2 + dD3 atau mengikuti fungsi : W = aDb. Setelah persamaan allometrik disusun, hanya diperlukan mengukur Dbh (atau parameter lain yang digunakan sebagai dasar persamaan) untuk menaksir biomassa satu pohon. Penaksiran biomassa total untuk seluruh pohon dalam transek ukur dapat dikonversi menjadi biomassa dalam satuan ton per hektar (Hairiah et al., 2001). Pilihan persamaan model regresi untuk tujuan penaksiran biomassa harus berdasarkan persamaan yang telah diketahui. Model yang telah banyak digunakan secara luas adalah berdasarkan hukum allometrik pertumbuhan : loge Y = a + b loge X, dimana Y adalah berat biomassa dan X adalah peubah penduga hasil pengukuran seperti diameter pangkal atau diameter yang diukur setinggi dada (Dbh) dengan berat, volume atau riap. Selain itu penaksiran dapat dilakukan dengan memasukan pengukuran diameter dan tinggi pohon kedalam persamaan : loge Y = a + b loge (d2h). Setelah persamaan dibangun, dapat dilakukan Universitas Sumatera Utara perhitungan berat biomassa dengan menggunakan berbagai dimensi pohon yang diperlukan dari tegakan yang ada dalam wilayah contoh (Chapman, 1976 dalam Adinugroho, 2002). Tabel 1 menunjukan beberapa persamaan allometrik untuk penaksiran biomassa pada hutan tropis. Tabel 1. Beberapa model regresi untuk penaksiran biomassa hutan tropis. Tipe iklim berdasarkan Persamaan curah hujan tahunan Kering (<1500 mm) Y = 34,4703-8,0671D+0,6589D2 Y = 38,4908-11,7883D+1,1926D2 Y = exp [-3,1141+0,9719 ln (D2H)] Lembab (1500-4000) Y = exp [-2,4090=0,9522 ln (D2HS)] H = exp (1,0701+0.5677 ln D) Basah (>4000 mm) H = 13,2579-4,8945 D Y = exp [-3,3012+0,9439 ln (D2H)] H = exp [1,2017+0,5627 ln D] Sumber : MacDicken, 1997 dalam Onrizal, 2004. R2-ajusted 0,67 0,78 0,97 0,99 0,61 0,90 0,90 0,74 Keterangan : Y = Biomassa per pohon dalam batang D = Dbh dalam cm H = tinggi dalam m S = Kerapatan kayu dalam ton/m3 E. Karbon Penanaman pohon menghasilkan absorbsi CO2 dari udara dan menyimpan karbon, sampai karbon dilepaskan kembali akibat vegetasi tersebut busuk atau dibakar. Hal ini disebabkan karena pada hutan yang dikelola dan ditanam akan menyebabkan terjadinya penyerapan karbon dari atmosfir, kemudian sebagian kecil biomassanya dipanen dan atau masak ke kondisi masak tebang atau mengalami pembusukan (IPCC, 1995 dalam Onrizal, 2004). Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Brown, 1997). Sejak level karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan Universitas Sumatera Utara diketahui sebagai masalah lingkungan, banyak ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah besar, oleh karena itu hutan tropika dapat menyediakan simpanan penting karbon. Selain itu karbon tersimpan dalam serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk dalam tanah (Whitmore, 1985). Hutan mempunyai fungsi untuk memfiksasi karbon dan menyimpannya dalam ekosistem yang tersimpan di dalam vegetasi yang dikenal dengan rosot (sink) CO2, misalnya sebagai akibat peningkatan biomassa hutan dataran tinggi dan hijau mempunyai sinks karbon bersihnya sekitar 0,74 ± 0,19 juta ton karbon/tahun. Hutan mempunyai potensi untuk menangkap CO2 dari udara yang dinyatakan sebagai sequestration. Salah satu kriteria penyimpanan karbon adalah potansi karbon jangka panjang dalam biomassa hutan dan produk hutan (Nabuurs & Mohren, 1995 dalam Onrizal, 2004). Dewasa ini masyarakat menyadari bahwa selain fungsi hutan sebagai penghasil, pengatur tata air, konservasi plasma nutfah, masyarakat juga mulai mengenal fungsi hutan lainnya, yaitu fungsi sebagai penyedia atau gudang karbon dalam mengantisipasi masalah perubahan iklim global. Universitas Sumatera Utara