Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiyah

advertisement
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiyah
Muhammad Nashir.
Abstract: This article discusses some aspects of Islamic
proselytizing during the Abbasid Daula, especially from the
geographical aspect of proselytizing, key figures, patterns
of change, the content, its characteristics, and
contextualization models that time compared to the
contemporary reality, especially in Indonesia. This paper
argues that the empire already developed Islamic
proselytizing comprehensively in various fields of life. The
valuable lesson from the history of proselytizing for today
is the importance of the synergy between the authorities
and the people in educating the preachers and carrying
out the preaching programs.
Keywords: aspects of Islamic proselytizing, Abbasid Daula,
contemporary reality
Abstrak: Artikel ini membahas tentang aspek-aspek
dakwah Islam pada masa Daulah Abbasiyah, baik dari
aspek geografis dakwah, para tokoh kunci, bentuk
perubahan dan konten dakwah, karakteristiknya serta
kontekstualisasi model dakwah pada masa itu dengan
realitas kontemporer, khususnya di negara Indonesia.
Tulisan ini berargumentasi bahwa imperium ini telah
mengembangkan dakwah Islam dengan sangat piawai dan
komprehensif di berbagai bidang kehidupan. Sebuah
pelajaran yang berharga dari sejarah dakwah untuk masa
ini adalah pentingnya sinergi antara penguasa dan rakyat
dalam mencetak da’i dan menjalankan program dakwah.
Kata kunci: aspek dakwah Islam, daulah Abbasiyah,
realitas komtemporer
Pendahuluan
.
Muhammad Nashir ([email protected]) adalah Mahasiswa
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Konsentrasi Dakwah, dan Wartawan Radio
Suara Muslim Surabaya.
Jurnal Komunikasi Islam | ISBN 2088-6314 | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel - Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Daulah Abbasiyah merupakan pelanjut Daulah Umayyah. Ia
merupakan perwakilan dari kekhalifahan Islam terbesar dan
terpanjang dalam sejarah Islam klasik. Daulah yang berpusat di
Bagdad ini didirikan oleh Abu> al-‘Abba>s al-Saffa>h, keturunan
al-‘Abba>s, paman Nabi Muhammad, sejak tahun 132 H/750 M dan
berakhir pada tahun 656 H/1258 M. Dihitung berdasarkan tahun
Hijriyah, kekuasaan Daulah ini bertahan sampai 524 tahun.
Sebagai bagian dari kekuasaan Islam, daulah ini tentunya
menyimpan sejarah dakwah Islam pada masa awal berdiri daulah ini
sampai keruntuhannya. Dilihat dari aspek politik, daulah ini bukan
perpanjangan dari kepentingan politik Daulah Umayyah yang
berkuasa sebelumnya. Namun dilihat dari aspek dakwah Islam,
Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari proses dakwah Islam
yang telah dilakukan oleh kekuasaan Bani Umayyah.
Meskipun dakwah pada masa Daulah Abbasiyah merupakan
kelanjutan dari Daulah Umayyah, namun setiap periode memiliki
karakteristik dakwah yang menjadi pembeda antara suatu masa
dengan masa yang lain, suatu pemerintahan dengan pemerintahan
yang lain, satu tokoh dengan tokoh yang lain.
Dakwah pada masa Daulah Abbasiyah juga akan lebih
kompleks dibandingkan masa Daulah Umayyah karena rentang
waktu kekuasaan daulah ini jauh lebih panjang dibandingkan Daulah
Umayyah. Namun karena keterbatasan waktu dan bahan pustaka,
dalam makalah ini tidak ditulis sejarah dan dakwah pada masa
Daulah Abbasiyah secara keseluruhan, ia hanya merupakan intisari
dari gerakan dakwah pada masa itu secara general.
Makalah ringkas ini ditulis untuk menampilkan aspek-aspek
dakwah Islam pada masa Daulah Abbasiyah, dimulai dari aspek
geografis dakwah, tokoh-tokoh kunci pada saat itu, bentuk
perubahan dan
konten dakwah,
karakteristiknya
serta
kontekstualisasi model dakwah pada saat itu dengan masa
kontemporer khususnya di negeri kita Indonesia.
Sekilas Dinasti Abbasiyah
Gerakan Abbasiyah mendapatkan dukungan dari rakyat karena
mengangkat isu-isu kebobrokan Daulah Umayyah, serta menyatakan
bahwa keturunan Bani H{ashi>m lebih berhak memperoleh
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 187
Nashir
kekuasaan.1 Dalam mengangkat isu yang kedua, mereka
bekerjasama dengan kalangan ‘Ala>wiyyi>n maupun Shi’ah
(Ahmed 1992: 44). Montgomery Watt (1990:100) memberikan
pandangan bahwa mayoritas pendukung gerakan Abbasiyah berasal
dari kalangan non-Arab yang menginginkan persamaan hak sebagai
sesama Islam sehingga tidak lagi dianggap sebagai warga kelas dua.
Pembentukan kekhilafahan Bani Abbasiyah melalui proses
yang cukup panjang, dan menggunakan strategi revolusi yang
handal. Pertama, melalui kekuatan bawah tanah oleh Muh}ammad
ibn ‘Abdulla>h ibn ‘Abba>s. kedua, melalui upaya-upaya
propaganda terus-menerus dan bersifat rahasia tentang hak
kekhilafahan yang seharusnya berada di tangan Bani H{ashi>m
bukan Bani Umayyah. Ketiga, pemanfaatan kaum muslim non Arab
yang sejak lama merasa dikelas duakan. Keempat, propaganda
terang-terangan yang dipimpin oleh Abu> Muslim al-Khura>sani
(Tayyib 1400 :21).
Daulah Abbasiyah berlangsung selama 524 tahun, khalifah
pertama adalah Abu> al-‘Abba>s al-Saffa>h} (132-136 H/750-754
M) sedangkan khalifah terakhir Abu> Ah}mad ‘Abdulla>h alMusta’s}im (641-656 H/1243-1258 M). Kekuasaan daulah ini
merupakan kekuasaan dinasti terlama sepanjang sejarah Islam
klasik.2 Karena panjangnya rentang kekuasaan daulah ini, para
sejarawan membaginya menjadi beberapa periode. Al-Sha’labi>
(2003:18) membagi menjadi tiga periode.3
1. Periode pertama berlangsung dari tahun 132-232 H/750-847 M,
yaitu semenjak kekuasaan Abu> al-‘Abba>s al-Saffa>h} sampai
Abu> al-Fad}l Ja’far al-Mutawakkil. Kekuasaan pada periode
1
Salah satu poin dari pidato yang disampaikan Abu> al-‘Abba>s ketika dibay’at di
masjid adalah janji untuk menghapuskan ketidakadilan dan keruntuhan moral yang
berlaku. Lihat Abu> Ja’far Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari> (1979:125-127)
untuk diskusi lebih lanjut.
2
Para sejarawan, sebagaimana dikutip Harun Nasution (2001:50-86; 1984:13-14;
1996:182-183) membagi sejarah Islam dalam tiga periode, klasik (650-1250 M),
pertengahan (1250-1800 M) dan modern (1800 M- sekarang).
3
Adapun Muh}ammad al-Khud{ari Bi>k (>1953: 542-543) merinci lagi menjadi
lima periode. Periode Abbasiyah pertama (golden age), periode kedua
(dikendalikan orang-orang Turki), periode ketiga (dibawah pengaruh Bani
Buwaihi), periode keempat (dikendalikan Bani Saljuq) dan periode kelima
(kejatuhan Bagdad diinvansi oleh Bangsa Mongol).
188 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
ini berada di tangan para khalifah, para khalifah pada periode ini
adalah pahlawan-pahlawan yang memimpin angkatan tentara
dan mengarungi peperangan.
2. Periode kedua berlangsung dari tahun 232-590 H/847-1184 M,
yaitu dari khalifah Abu> Ja’far Muh}ammad al-Muntas}ir
sampai Abu> al-‘Abba>s Ah}mad al-Nas}i>r. Pada periode ini
kekuasaan politik berpindah dari tangan khalifah kepada
golongan Turki (232-334 H/847-945 M), Bani Buwayh (334447 H/945-1056 M) dan Bani Saljuq (447-590 H/1056-1184 M).
3. Periode ketiga berlangsung dari tahun 590-656 H, pada masa ini
kekuasaan kembali ke tangan khalifah, namun terbatas hanya
pada daerah Bagdad dan sekitarnya. Akhirnya dinasti ini runtuh
setelah mendapat serangan dari Mongol yang dipimpin Hulaqu
pada tahun 656 H (1258 M).
Masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu> al-‘Abba>s alSaffa>h} dan Abu> Ja’far al-Mans}u>r merupakan masa
pembentukan dan konsolidasi orientasi pemerintahan. Di antara
keduanya, al-Mans}u>r lah yang paling gigih dan pembina Daulah
Abbasiyah sesungguhnya, hal ini karena masa pemerintahan alSaffa>h} berlangsung hanya 4 tahun. Untuk memantapkan posisi
daulah yang baru berdiri, al-Mans}u>r menghadapi lawan-lawannya
politiknya dengan keras. Termasuk Abu> Muslim al-Khura>sani>
yang menjadi tokoh penting pada masa revolusi juga dibunuh karena
dikhawatirkan akan menjadi pesaingnya di kemudian hari.
Untuk mengokohkan posisi daulahnya, al-Mans}u>r
mengambil strategi yang berbeda dengan Bani Umayyah yang
bercorak kearaban. Al-Mans}u>r menjalin kerjasama dengan
kalangan Persia, dan melengkapi struktur pemerintahan dengan
langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, memindahkan ibukota
dari Damaskus ke Bagdad, dekat ibukota Persia, Ctesiphon. Kedua,
membentuk tentara profesional yang direkrut dari orang-orang
Persia, bukan orang Arab. Ketiga, seperti dalam administrasi
pemerintahan Persia, al-Mans}u>r mengangkat wazi>r (mentri)
yang membawahi kepala-kepala departemen. Wazi>rnya yang
terkenal yaitu Kha>lid ibn Barma>k dari keluarga Barma>kiah
Budha berasal dari Balkh, Persia. Keempat, mengangkat
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Rah}ma>n menjadi hakim tinggi negara.
Memperbaiki sistem komunikasi antar wilayah dengan cara
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 189
Nashir
menambah fungsi jawatan pos, misalnya melaporkan gerak-gerik
para gubernur kepada khalifah.
Tidak hanya melakukan konsolidasi ke dalam, al-Mans}u>r
melakukan upaya penarikan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya melepaskan diri dari pemerintahan pusat, dan
membentengi daerah-daerah perbatasan. Di antara upaya-upaya
tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
Coppadocia dan Cicilia. Pegunungan Taurus dan daerah dekat selat
Bosporus di wilayah utara ibukota juga dijaga keamanannya. AlMans}u>r juga mengadakan perdamaian dengan Kaisar Konstantine
V (Brockelmann 1982:111).
Untuk mengokohkan posisinya di mata rakyat, al- Mans}u>r
menggunakan nama yang dilegitimasi oleh pandangan teologis. Ia
menyebut dirinya dengan Sult}a>n Alla>h fi> al-Ard}i (kekuasaan
Allah di muka bumi), al- Mans}u>r sendiri merupakan gelar tahta,
gelar dan panggilan seperti ini belum pernah digunakan pada masa
Daulah Bani Umayyah. Tradisi semacam ini kemudian dilanjutkan
oleh umumnya para khalifah Bani Abbasiyah.4
Dua khalifah pertama telah berhasil meletakkan dasar-dasar
bangunan kekhilafahan, maka sejumlah khalifah berikut
melanjutkannya sehingga Daulah Abbasiyah berhasil mencapai
puncak keemasan. Yaitu al-Mahdi>, al-Hadi>, al-Rashi>d, alMa`mu>n, al-Mu’tas}im, al-Wathi>q dan al-Mutawakkil.
Al-Mahdi> berhasil membawa kehidupan perekonomian
meningkat dengan cara memperbaiki sistem pertanian dan
perdagangan. Perbaikan irigasi menyebabkan produksi gandum,
kurma dan zaitun melimpah. Lancarnya arus perdagangan antara
timur dan barat menjadikan Bagdad sebagai pusat perekonomian,
hal ini semakin memperkokoh kemakmuran daulah.
Pemerintahan Ha>ru>n al-Rashi>d dan putranya, al-Ma`mu>n,
merupakan puncak kejayaan Daulah Abbasiyah dalam bidang sains,
kebudayaan, dan perekonomian. Al-Rashi>d memanfaatkan
kemajuan perekonomian untuk keperluan sosial seperti membangun
4
Penggunaan tradisi seperti ini selain untuk melegitimasi kekuasaan para khalifah,
menurut Hodgson (2002:64) juga karena dipengaruhi tradisi Raja Sasania yang
telah dinobatkan Tuhan dari tradisi Mazdean, sehingga menjadi wahana khusus
bagi kehendak Ilahi.
190 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
rumah sakit, pendidikan dokter dan mendirikan farmasi serta
fasilitas-fasilitas umum (Bagda>di tt:119).
Penyediaan infrastruktur yang lengkap pada masa al-Rashi>d
mendorong al-Ma`mu>n untuk melanjutkan program ayahnya
terutama dalam bidang pengembangan pendidikan, sains, kehidupan
intelektual dan kebudayaan. Maka didirikanlah Bayt al-H{ikmah
sebagai pusat studi, perpustakaan dan penerjemahan serta riset
berbagai cabang ilmu pengetahuan (Syalabi 2003:170).
Berbeda dengan khalifah-khalifah terdahulu yang banyak
berafiliasi dengan Persia, al-Mu’tas{im, seorang khalifah keturunan
Turki, mulai memasukkan unsur-unsur Turki ke dalam
pemerintahan. Ia merekrut orang-orang Turki secara profesional
untuk menjadi pengawalnya serta menjadikan mereka sebagai
tentara bayaran profesional, hal ini belum ada sebelum zaman alMu’tas}im.
Karena kepiawaian orang-orang Turki dan kelemahan khalifah,
akhirnya mereka berkuasa di istana. Khalifah sekedar dijadikan
boneka dan pemerintahan de facto di tangan para jenderal Turki.
Untuk melepaskan pengaruh Turki di istana, khalifah al-Wathi>q
mendirikan istana baru di kota Samarra>, kemudian pindah kesana.
Tetapi keadaan justru tidak seperti yang diharapkan, karena para
khalifah yang berada di Samarra> semakin mudah dikuasai jenderal
Turki (Syalabi 2003: 254-257).
Al-Mutawakkil merupakan khalifah besar terakhir di masa
puncak kejayaan Daulah Abbasiyah. Khalifah-khalifah sesudahnya
pada umumnya lemah dan tidak dapat melawan kehendak jenderal
Turki, akhirnya ibukota dipindah kembali ke Bagdad oleh khalifah
al-Mu’tadid. Dari masa al-Mutawakkil sampai al-Musta’s}im,
khalifah terakhir, meskipun jarak waktunya panjang, tetapi kondisi
pemerintahan dan politik mengalami disintegrasi sehingga akhirnya
mengalami kemunduran dan dijatuhkan oleh serangan tentara
Hulaqu dari Mongol pada tahun 1258 M.
Serangan Bangsa Mongol bukan satu-satunya faktor eksternal,
Perang Salib yang berlangsung ratusan tahun juga menyumbang
andil kehancuran daulah. Selain faktor eksternal, terdapat faktor
internal yang menjadikan daulah ini lemah. Faktor-faktor tersebut
seperti persaingan antar ras, kesulitan ekonomi, para khalifah yang
lemah, perilaku korup dan suka berfoya-foya dari pejabat negara,
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 191
Nashir
dan pemberontakan (Watt 1990:165-166; Ami>n tt: 21& 42; Hitti
2002:617; Khaldun 2001:221).
Penjelasan singkat di atas memberikan gambaran perbedaan
yang signifikan antara Daulah Bani Abbasiyah dengan
pendahulunya, Daulah Bani Umayyah.
1. Daulah Abbasiyah lebih pluralistik dibandingkan Daulah
Umayyah. Hal ini dapat dilihat dari unsur Persia dan Turki yang
mewarnai kekhalifahan.
2. Para khalifah memakai gelar kehormatan yang berkonotasi
teologis untuk melegitimasi kekuasaan mereka, hal seperti ini
tidak digunakan ketika Daulah Umayyah berkuasa.
3. Dalam penyelenggaran negara, pada masa Abbasiyah ada
jabatan wazir yang membawahi departemen.
4. Daulah Abbasiyah lebih menekankan pada pengembangan ilmu
pengetahuan agama, sains, kebudayaan, dan perekonomian, dan
tidak banyak melakukan perluasan wilayah seperti pada masa
Umayyah.
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiyah
Makalah ringkas ini memaparkan dakwah Islam pada masa
Daulah Abbasiyah dilihat dari aspek geografis, tokoh-tokoh pelaku
dakwah, bentuk perubahan yang terjadi, strategi dan konten dakwah.
Geografis
Pada masa Daulah Abbasiyah, tidak ada perluasan yang
dilakukan, mereka hanya mempertahankan daerah yang telah
dikuasai oleh Daulah Umayyah. Otomatis, yang mereka lakukan
adalah pembinaan dan pengembangan pemahaman agama di daerah
kekuasaan.
Wilayah imperium ini membentang sepanjang 6.500 kilometer
dari sungai Indus di India di sebelah timur sampai ke perbatasan
barat Tunisia, Afrik Utara, di sebelah barat. Dan seluas 3.000
kilometer dari Aden, Yaman di sebelah selatan sampai pegunungan
Armenia, Kaukasia di Utara. Sejumlah propinsi disebutkan Hitti
sebagai berikut: Sisilia, Mesir, Suriah, Palestina, Hijaz, Yamamah,
Yaman, Mekkah, Madinah, Bahrain, Oman, Basrah, Kufah, Sawad,
Mosul, Azerbaijan, Tibriz, Ardabil, Hamadan, Rayy, Isfahan,
Ahwaz, Tustar, Syiraz, Karman, Sijistan, Tabaristan, Jurjan,
192 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Armenia, Naysabur, Marw, Balkh, Khawarizm, Bukhara,
Samarkand, Farganah, Tashken, dll (Hitti 2002: 411-412).
Perluasan yang dilakukan semenjak sahabat Nabi sampai
Daulah Umayyah dilandasi keyakikan bahwa hal tersebut
merupakan realisasi dari penyampaian ajaran Islam ke seluruh alam.
Diantara sebab-sebab yang membuat ekspansi Islam berhasil dengan
cepat adalah; ajaran Islam mencakup aspek dunia-akhirat, materialspiritual, Byzantium dan Persia dalam keadaan lemah, Islam tidak
memaksa rakyat di wilayahnya untuk mengubah agama, rakyat tidak
senang terindas oleh penguasa Persia dan Byzantium, dan wilayah
perluasan adalah daerah yang subur (Nasution 2001:58-61).
Tokoh (Rija>l al-Da‘wah)
Al-Baya>nu>ni> memberikan definisi pelaku dakwah adalah
orang yang meyampaikan dan mengajarkan Islam atau berusaha
merealisasikan ajaran Islam, baik secara menyeluruh maupun
sebagian saja (1993: 40).
Terdapat banyak pelaku dakwah yang menonjol sepanjang
kekuasaan Daulah Abbasiyah. Hal ini disebabkan panjangnya
rentang kekuasaan mereka yaitu lebih dari setengah milenium. Para
pelaku dakwah terus menerus beregenerasi dari masa ke masa, dan
tidak terpengaruh oleh carut marut pemerintahan pada saat itu.
Karena pelaku dakwah pada masa daulah ini terdiri dari berbagai
komponen, disini akan disebutkan beberapa tokoh yang berpengaruh
dan mempunyai andil dalam melambungkan nama Islam dan agama
ini ke seluruh dunia sampai masa kontemporer.
Dalam tulisan ini, para tokoh tidak dibahas secara rinci, namun
dikelompokkan dalam bidang keahlian tertentu. Mereka adalah
pelaku dakwah yang menyebarkan ajaran Islam melalui keahlian
masing-masing. Meskipun terkadang satu tokoh memiliki multi
talenta di berbagai bidang.
Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan nama yang paling terkenal adalah
Ha>ru>n al-Rashi>d. Beliau memerintah dari tahun 170-193 H,
semenjak kecil sudah mendapat pendidikan eksklusif dari guru-guru
istana dan memang disiapkan sebagai pemimpin besar. Beliau juga
menjadi pemimpin rombongan haji dan sangat menghormati ulama.
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 193
Nashir
Nama lain di bidang pemerintahan adalah Niz}a>m al-Mulu>k,
seorang wazi>r Turki. Jasa beliau yang sangat besar adalah
memobilisasi pendirian madrasah secara resmi dan mereformasi
sistem pendidikan. Dan masih banyak nama lainnya.
Hukum Islam
Nama-nama besar dalam ruang lingkup yurisprudensi Islam
adalah Abu> H{ani>fah, Ma>lik ibn Anas, Muh}ammad ibn Idri>s
al-Sha>fi’i>, Ah}mad ibn H{anbal dan Da>wu>d ibn ‘Ali> alZ{a>hiri>.
Tafsir
Pada mulanya kajian tafsir al-Qur`an merupakan bagian
integral dari kajian dan kitab h}adi>th. Pada zaman Abbasiyah,
mulailah disusun kitab tafsir secara sistematis dan independen oleh
Yah}ya ibn Ziya>d al-Farra> dengan kitabnya Ma’a>ni> alQur`a>n. Al-Farra> hidup pada zaman Khalifah al-Mans{u>r.
Kemudian penyusunan tafsir secara terpisah dari h}adi>th dan
sistematis diikuti oleh Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Sahl aTustu>ri>, Mah}mu>d ibn Muh}ammad ibn ‘Umar alZamakhshari>.
H{adi>th
Pengkodifikasian h}adi>th dan pertumbuhan ilmu-ilmu
h}adi>th mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa
Daulah Abbasiyah. Para pakar h}adi>th berusaha memisahkan
antara h}adi>th yang valid dan cacat sebagai tanggung jawab moral
kepada Rasululah saw. Tokoh di bidang h}adi>th diantaranya
Ah}mad ibn H{anbal, Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>,
Muslim ibn al-H{ajja>j, Sulayma>n ibn al-Ash’ath Abu> Da>wu>d
al-Sijista>ni>, Muh}ammad ibn ‘I<sa> ibn Su>rah al-Tirmi>dhi>,
Ah}mad ibn Shu’ayb al-Nasa>i.
Teologi
Teologi Islam disusun secara sistematis oleh kalangan
Mu’tazilah, tujuan awalnya adalah untuk melawan teologi Yahudi,
Nasrani, Budha, dan Manichean. Pakar teologi diantaranya adalah
194 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Abu> al-H{uzayl, al-Naz}z}a>m, al-Jubba>’i>, Abu> al-H{asan
‘Ali> al-Ash’ari>, Abu> Mans}u>r Muh}ammad al-Matu>ridi>, alJuwayni>.
Filsafat
Abu> Yu>su>f Ya’qu>b ibn Yu>su>f al-Kindi>, Muh}ammad
ibn Muh}ammad Abu> Nas}r Al-Fara>bi>, Abu> ‘Ali> al-H{usayn
Ibn Si>na>.
Tasawwuf
Sahl al-Tustu>ri>, Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri}, Abu> H{ami>d
al-Gaza>li>, al-Qushayri>, Abu> Yazi>d al-Bust}ami.
Historiografi
Ah}mad ibn Yah}ya> al-Bala>dhu>ri>, Ibn Qutaybah alDi>nawari>, Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Abu> al-H{asan
‘Ali> al-Mas’u>di>, ‘Izz al-Di>n ibn al-Athi>r.
Geografi
Kewajiban melakukan ibadah haji, keharusan menghadapkan
mihrab masjid ke arah Mekkah dan penentuan arah Ka’bah ketika
salat telah memberikan nilai keagamaan yang sangat vital kepada
orang Islam dalam mempelajari geografi. Tokoh di bidang ini adalah
al-Khwarizmi>, Ibn Rustah, Ibn al-Faqi>h al-Hamadhani>, Ibn
H{awqa>l, al-Maqdisi>, Ya>qu>t ibn ‘Abdulla>h al-H{amawi>.
Kedokteran
‘Ali> ibn Sahl Rabba>n al-T{abari>, Abu> Bakr Muh}ammad
ibn Zakariya> al-Ra>zi>, Abu> ‘Ali> al-H{usayn Ibn Si>na>, dll.
Serta masih banyak tokoh dan bidang yang tidak dapat disebutkan
disini.
Bentuk Perubahan
Tujuan dakwah adalah mengubah kondisi masyarakat dari
kezaliman, kesirikan dan kesewenang-wenangan menuju tatanan
masyarakat yang berbudaya, adil dan sejahtera.5 Hal tersebut
5
Bandingkan dengan definisi yang diberikan Al-Alu>ri> seperi dikutip alBaya>nu>ni (1993:15).
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 195
Nashir
akhirnya membentuk suatu peradaban Islam, ciri utamanya adalah
integrasi antara aspek spiritual dan material, moral dan keduniaan.
Kekuatan hakiki dari peradaban Islam terletak pada pembangunan
moral dan kekuatan materi serta kesejahteraan dan keamanan secara
sekaligus.
Secara general, visi dakwah adalah menjadikan manusia yang
berkualitas dari aspek material dan spiritual serta mewujudkan
tatanan kehidupan yang adil6 dan beradab7 berdasarkan bimbingan
al-Qur`an dan al-Sunnah.8 Atau dengan kata lain, dakwah adalah
proses mengubah suatu individu dan masyarakat, dan pelaku
dakwah adalah agent of change (Achmad 1983:14).
Faktor yang sangat penting terhadap perubahan adalah
pembentukan manusia yang berkualitas, untuk memperoleh manusia
seperti ini diperlukan pendidikan yang berkualitas. Adapun
pendidikan pertama dimulai dari keluarga. Pendidikan yang baik
adalah yang menekankan kemerdekaan berpendapat, berinovasi dan
mendobrak ilmu pengetahuan di jamannya.9
Gilin dan Gilin mengatakan bahwa perubahan sosial adalah
suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, disebabkan
karena perubahan kondisi geografis, komposisi penduduk,
kebudayaan material, ideologi maupun adanya penemuan-penemuan
baru dalam masyarakat tersebut (Soekanto 1987:284).
Berikut perubahan yang terjadi dalam institusi masyarakat pada
era Abbasiyah karena rekayasa sosial (sosial engineering) yang
terinspirasi dari ajaran Islam:
Kemajuan Pedesaan dan Pertanian
6
Karena tanpa keadilan tidak akan terwujud pembangunan, lihat QS. T{a>ha> (20:
111). Sehingga dalam al-Qur`an banyak sekali penekanan pentingnya keadilan,
seperti dalam surat al-H{adi>d (QS 57:25), al-Ma>idah (QS. 5: 8), al-Nisa> (QS 5:
58), al-An’a>m (QS 6: 15), al-Nah}l (QS 16: 90), dll.
7
Surat Al-Anbiya> (QS. 21:107) mengindikasikan dakwah Islam sebagai rahmat
untuk semesta alam.
8
Hans Kung (2007:20) menyebutkan bahwa dalam seluruh era peradaban Islam,
ada elemen pokok yang menjadi perspektif dasar dan berakar pada peradaban
tersebut, yaitu kitab suci.
9
Umer Chapra (2010:8-9) menambahkan analisis Ibn Khaldun tentang faktor-faktor
penyokong cepatnya perubahan yaitu SDM, pemerintah, syariah, kekayaan, serta
keadilan dan pembangunan.
196 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Dalam masyarakat pedesaan dan Badui pada masa itu,
pertanian merupakan sektor pertama yang mendapatkan manfaat
dari eksternalitas Islam. Pertumbuhan pertanian yang pesat dan
peningkatan taraf hidup masyarakat desa telah berfungsi sebagai
katalisator bagi pembangunan.
Peran yang sangat menentukan dari sektor pertanian ini dapat
dilihat pada masa-masa awal dalam masyarakat muslim di era
Abbasiyah, seperti yang direfleksikan oleh sejumlah sarjana
(Mas’u>di 1988:47).
Sektor pedesaan dan pertanian yang sebelumnya tidur, tiba-tiba
menjadi hidup dan berkembang sesudah tersebarnya Islam karena
ditegakkan undang-undang dan ketersediaan pasar yang luas serta
adanya rasa aman dari perampokan dan terbebas dari pajak yang
berat.
Tanah fa>i diperlakukan dengan manusiawi, yaitu tetap
dimiliki dan dikuasai oleh pemilik asal, sangat berbeda dengan
kekaisaran Romawi dan Persia yang membagi tanah ini kepada para
elite militer dan prajuritnya. Adapun iqta (tanah yang dihadiahkan
oleh para khalifah kepada elite militer) relatif lebih kecil jumlahnya
dan terdiri dari tanah-tanah yang tidak ditanami dan tidak bertuan.
Kebijakan
manusiawi
ini
tidak
saja
membantu
mempertahankan kesinambungan kehidupan administrasi dan
ekonomi bagi tanah-tanah yang dikuasai, melainkan juga
mendorong keadilan antar generasi dan mewujudkan tujuan-tujuan
egalitarian Islam. Kebijakan ini juga melindungi kaum muslimin
agar tidak menjadi tuan tanah yang feodal (Ibra>hi>m 1352 H: 24).
Kepemilikan tanah yang bersifat umum ini bermakna bagi hasil
pertanian (muqa>samah) antara negara dan petani. Para petani
hanya diwajibkan membayar sejumlah pajak tertentu yang
dinamakan khara>j. Bagi hasil ini ditetapkan dengan laju tetap 5%
dan 10% dari keseluruhan hasil panen (Salla>m 1968:59-66).
Mengingat hasil pajak yang tidak berjumlah tetap, namun
hanya suatu bagian kecil dari hasil aktual, maka para petani tidak
dibebani pajak saat mereka gagal panen. Namun, pajak yang rendah
sekalipun bisa menjadi beban bagi rakyat jika hasil-hasilnya tidak
dapat dinikmati secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, para
fuqaha> telah menetapkan beban moral kepada negara untuk
membangun dan memelihara bendungan-bendungan dan kanal-
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 197
Nashir
kanal irigasi agar produktifitas tanah tetap terpelihara. Selain itu,
hasil khara>j juga digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur fisik dan sosial (Chapra 2010: 56).
Kemakmuran kota
Kemakmuran pedesaan tertransformasi ke seluruh sektor
ekonomi dan masyarakat. Hal ini telah mendorong ekspansi
urbanisasi yang cukup besar dan pengembangan kerajinan pedesaan
dan industri. Pasaran bersama yang begitu luas dengan arus barang,
modal, tenaga kerja, dan pengusaha yang bebas telah memicu
ekspansi perdagangan internal dan eksternal. Sebuah jaringan
perdagangan yang luas terbentuk baik dalam imperium maupun
dengan dunia luar. Aktifitas-aktifitas komersial berkembang hingga
ke negeri Cina pada masa kekuasaan Ha>ru>n al-Rashi>d. Potensi
pembangunan yang begitu luas dipergunakan secara optimal dan
Bagdad menjadi pusat perdagangan dan keuangan dunia pada waktu
itu.
Kemajuan intelektual
Kemajuan pedesaan dan perkotaan telah mendorong
berkembangnya suatu budaya perkotaan yang maju dan beraneka
ragam. Ketersediaan bantuan keuangan baik untuk para mahasiswa
maupun sarjana, adanya fasilitas yang memadai serta iklim yang
kondusif bagi pengembangan intelektual, disamping adanya
toleransi yang belum cukup dikenal pada waktu itu di Eropa, telah
menjadikan dunia Islam sebagai suatu tempat pertemuan bagi para
sarjana dari segala bidang pengajaran dan aliran (Muslim, Kristen,
Yahudi, Zoroastria dan Manichea) (Gibb 1962:20).
Pada waktu itu terjadi diskusi yang bebas dan tidak terhambat
terhadap semua persoalan, sehingga menimbulkan kemajuan
intelektual dari segala arah. Suatu kesadaran intelektual paling
cemerlang telah disaksikan, terutama pada masa kekuasaan Ha>ru>n
al-Rashi>d yang berlangsung hampir seperempat abad. Ketika
Bagdad tumbuh dari kekosongan menjadi pusat dunia kekayaan dan
pendidikan (Lewis 1960:20).
Jika kesemuanya itu bukan karena inspirasi dan dorongan yang
diberikan Islam melalui pendakwahnya, masyarakat Arab Badui
tidak akan melejit pada rangking pertama. Bahkan tanpa adanya
pelaku dakwah yang menggelorakan semangan Islam ke dalam hati
198 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
umat Islam, mereka tidak akan bertahan setelah kematian Rasulullah
dan berakhirnya kekuasaan Khulafa> al-Rashi>di>n.
Oleh karena itu, George Sarton memuji Islam dalam bukunya
Introduction of the History of Science seraya menulis bahwa
keimanan agama telah mendominasi kehidupan kaum muslimin
sampai batas yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak ada
masyarakat yang begitu serius menjalankan agamanya seperti kaum
muslimin (Sarton 1927:503). Tentunya untuk mencapai ke taraf
seperti ini peran para pelaku dakwah sangat vital dan tidak bisa
dilupakan.
Strategi Dakwah
Al-Baya>nu>ni> menyebutkan dakwah pada masa Daulah
Abbasiyah dilakukan melalui dua sektor, sektor yang dilakukan oleh
pemerintah dan sektor yang dijalankan oleh rakyat
(Baya>nu>ni1993:101).
Level Negara dan Penguasa
Strategi yang dijalankan oleh penguasa pada saat itu sangat
komprehensif, mencakup seluruh aspek vital kehidupan, ia
berkembang seiring dengan kecakapan khalifah yang berkuasa dan
ikut meredup dengan redupnya kekuatan para khalifah. Dilihat dari
peran pemerintah, dakwah Islam yang komprehensif, mencakup
aspek spiritual dan material, sains dan teknologi, ilmu-ilmu shari’ah
dan fasilitas umum menjadi fokus perhatian. Dengan kemampuan
yang luar biasa, para khalifah dan jajaran pemerintahan benar-benar
menarik minat seluruh dunia untuk menengok Islam sebagai spirit
pembangunan yang mereka laksanakan.
Berikut bidang-bidang yang menjadi garapan dakwah yang
dilakukan pemerintah:
1. Mendorong dan memfasilitasi upaya penerjemahan berbagai
ilmu dari berbagai bahasa ke Bahasa Arab, seperti ilmu
astronomi, matematika, fisika, filsafat, kedokteran, sastra, dll.
Upaya ini diwujudkan dengan didirikannya Bayt al-H{ikmah
pada zaman al-Ma`mu>n.
2. Mendorong dan memfasilitasi pembaruan bidang pendidikan
dengan mendirikan madrasah secara resmi atas perintah
pemerintah, yaitu pada masa perdana menteri Niz}a>m al-
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 199
Nashir
Mulu>k.10 Program ini diwujudkan dengan mendirikan
Madrasah Niz}a>miyah di Bagdad pada tahun 457 H dan di
Balkan, Naysabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan kota-kota
lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah,
menengah sampai tingkat tinggi dan meliputi berbagai bidang
ilmu pengetahuan (Hasymi 1993: 212).
3. Memudahkan rombongan haji yang berangkat menuju Mekkah
dengan cara menyuruh penggalian beberapa sumur di sepanjang
lintasan haji dari Irak sampai Madinah untuk digunakan bagi
mereka yang melaksanakan ibadah haji (Khallika>n 1994: 337).
4. Memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat dengan
mendirikan rumah sakit. Rumah sakit yang terkenal adalah
Rumah Sakit ‘Ad}u>di> di Bagdad pada masa kekuasaan Bani
Buwaihi 371 H, pemilihan tempat dilakukan oleh al-Ra>zi>.
Rumah sakit ini bukan hanya sekedar tempat mengobati orang
yang sakit, namun menjadi pusat penelitian kedokteran pada
masanya (Siba’i 2002: 197).
Pemasukan yang diperoleh pemerintah pada saat itu untuk
membiayai program-program dan pembangunan diperoleh dari
zakat, khara>j, dan jizyah.
Level Masyarakat
Dakwah pada level masyarakat dilakukan dengan strategi
konvensional. Yaitu para ulama dan pelaku dakwah lainnya
menjalankan aktifitas dakwah secara langsung kepada masyarakat.
Dakwah di level ini juga mendapat sokongan yang baik dari
pemerintahan, namun juga tidak terhenti dengan melemahnya
pemerintahan.
Konten Dakwah
Konten atau message dakwah dalam bahasa Arab disebut
mawd}u>’ al-da’wah. Term ini menurut Ali Azis lebih tepat
dibanding term materi dakwah, karena term materi dakwah kalau
10
Beberapa sejarawan mengatakan bahwa Niz}a>m al-Mulu>k adalah pelopor
berdirinya madrasah dalam tradisi pendidikan Islam. Namun menurut sumber yang
lebih valid, dikemukakan oleh Ibra>hi>m H{asan, bahwa madrasah sudah ada di
daerah Naysabur sebelum Madrasah Niz}a>miyah didirikan. Bedanya madrasah
tersebut didirikan atas nama pribadi, bukan atas nama pemerintahan. Lihat H{asan
(1967: 425).
200 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
diterjemahkan dalam Bahasa Arab menjadi ma>ddah al-da’wah.
Term ma>ddah al-da’wah akan menjadi ambigu karena bisa juga
berarti logistik dakwah. Konten (mawd}u>’) dakwah berupa alQur`an, al-Hadith, fatwa sahabat, fatwa ulama, kisah hikmah, karya
sastra, karya seni, berita dan peristiwa serta hasil penelitian ilmiah
(Azis 2009:318-330).
‘Abd al-Kari>m Zayda>n mengemukakan lima karakter pesan
dakwah; berasal dari Allah, mencakup semua bidang
(komprehensif), umum untuk semua manusia, ada balasan untuk
semua tindakan dan seimbang antara realitas dan idealitas
(Zaydan1993:45).
Apabila kita lihat dalam sejarah Daulah Abbasiyah, akan kita
temukan bahwa konten dakwah pada masa itu sangat variatif dan
komprehensif. Variatif karena mencakup semua jenis konten yang
ada. Mulai dari konten yang berdasarkan naql berupa al-Qur`an dan
al-H{adi>th, sampai yang berdasarkan ‘aql berupa fatwa sahabat,
ulama, hasil penelitian ilmiah, sastra, dsb. Komprehensif karena
cakupan dakwah pada saat itu bukan hanya untuk kalangan muslim,
bahkan untuk nonmuslim. Hal ini dibuktikan dengan masuk
Islamnya penganut Zoroaster dan Kristen Syiria secara berangsurangsur tanpa paksaan dari pemerintah.
Dalam bidang penelitian ilmiah, kita bisa menemukan para
sarjana nonmuslim yang akhirnya masuk Islam karena terlibat dalam
pekerjaan ini, seperti al-Batta>ni> mantan pemeluk Manichean, Ibn
Muqaffa>, ‘Ali> ibn Sahl Rabba>n al-T{abari> dan Ibn Rusta>h
(Hitti 2002:392).
Selanjutnya, konten etika tasawwuf yang dielaborasi dari
ajaran al-Qur`an, al-H{adi>th, fatwa sahabat dan perkataan hikmah
dari berbagai sumber. Dakwah dengan konten ini sangat marak,
khususnya ketika pihak istana sudah hanyut dalam kesenangan
materi dan bertindak semena-mena terhadap rakyat. Mulailah
kajian-kajian tasawwuf ramai didatangi masyarakat sebagai
penyeimbang bahkan penafian kenikmatan dunia yang dirasakan
oleh kalangan istana. Pengikut dan tokoh ajaran sufi didominasi oleh
kalangan yang kecewa dengan perilaku elit istana. Konten dakwah
ini dinilai cukup apresiatif terhadap nilai-nilai universal dan budaya
lokal, sehingga mudah diterima di berbagai tempat, bahkan dakwah
Islam yang sampai ke Indonesia sangat kental unsur tasawwufnya.
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 201
Nashir
Konten dakwah Islam yang paling kontroversial adalah bidang
pemikiran berupa teologi. Pada awalnya teologi Islam dielaborasi
oleh kalangan Mu’tazilah, mereka sangat interes dengan dialektika
Yunani. Mereka berdebat masalah teologi dengan trinitarianisme
Kristen, dualisme Manichean, dan materialisme pagan. Termasuk
doktrin mereka tentang kemakhlukan al-Qur`an pada awalnya
diformulasikan untuk membantah konsep logos dalam Trinitas.
Namun akhirnya kebebasan pendapat yang diusung kalangan
Mu’tazilah ternodai oleh ambisi mereka untuk menjadikan paham
teologi ini sebagai paham resmi negara (Lapidus 1999:161).
Akhirnya pemaksaan pendapat ini menjadi bumerang bagi
kalangan Mu’tazilah setelah khalifah yang berkuasa tidak lagi
menganut paham teologi mereka. Buku-buku serta paham mereka
berusaha untuk dilenyapkan oleh kalangan konservatif.
Menurut Ibn Taymiyyah, pada dua abad pertama dalam sejarah
Islam, terdapat perdebatan terbuka tentang berbagai persoalan.
Namun tidak seorang faqih pun yang berhak memaksakan
pendapatnya kepada orang lain (Taymiyyah 1961: 360). Barangkali
karena alasan inilah, saat Khalifah Ha>ru>n al-Rashi>d meminta
kitab Imam Ma>lik, al-Muwat}t}a>, sebagai madhhabnya, Imam
Ma>lik tidak menyetujuinya (Zarqa 1967:147).
Tetapi kebebasan berpendapat ini justru dilanggar oleh
kalangan Mu’tazilah dengan mengeksploitasi dukungan politik dan
finansial semenjak Khalifah al-Ma`mu>n, al-Mu’tas}im dan alWathi>q. Mereka menggunakan mih}nah (pengujian) kepada
faqi>h, muh}addith, mu’allim dan bahkan muadhdhin, agar
mengakui doktrin kemakhlukan al-Qur`an. Mereka yang tidak
sependapat akan dipenjara, disiksa, bahkan meninggal karena
penyiksaan (Zahrah 1979:178-183). Termasuk tokoh yang sangat
dihormati masyarakat, Imam Ah}mad ibn H{anbal pun
mendapatkan penyiksaan (Mas’u>di 1988:5).
Konteks Sejarah Dakwah Daulah Abbasiyah di Era Kekinian
Dakwah masa Daulah Abbasiyah dijalankan oleh dua pihak,
negara dan rakyat. Ketika para khalifah kuat dan pemerintahan
berlangsung baik, dakwah melalui sektor ini berkembang dengan
pesat. Namun seiring dengan melemahnya kecakapan para khalifah
dan pemerintahan yang memburuk, proses dakwah melalui sektor
ini juga ikut melemah. Suatu hal yang menggembirakan yaitu proses
202 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
dakwah di tingkat masyarakat tetap berlangsung tanpa terganggu
dengan melemahnya pemerintahan. Para ulama tetap berusaha
mengajarkan Islam dan berdakwah dengan tulus ikhlas mengayomi
masyarakat. Mereka tidak henti mencetak generasi da’i penerus
mereka yang akan membawa agama ke penjuru dunia.
Dilihat dari keberhasilan mereka, kita dapat mengambil
beberapa pelajaran. Pertama, pentingnya menyiapkan pemimpin
yang cakap dan tangguh serta mempunyai pemahaman yang
komprehensif antara material dan spiritual. Hal ini dilakukan oleh
khalifah-khalifah di era Abbasiyah pertama. Ketika mereka menjadi
putra mahkota, mereka langsung dibekali dengan berbagai macam
pengetahuan oleh pakar-pakar yang didatangkan ke istana.
Kedua, pengelolaan zakat, infaq dan sedekah secara
professional seperti terjadi di awal-awal dinasti. Hal yang
menggembirakan karena di negeri kita sudah banyak lembaga
professional yang menangani zakat, infaq dan sedekah. Tahap
selanjutnya adalah penyaluran dan manajemen yang tepat sehingga
hasilnya benar-benar terasa bagi masyarakat, khususnya kalangan
miskin.
Ketiga, kaderisasi da’i yang dilakukan pihak swasta. Sampai
saat ini sudah banyak lembaga swasta yang mencetak da’i di negeri
kita. Gerakan selanjutnya adalah bagaimana lembaga tersebut
bersinergi dengan pemerintah sehingga potensi mereka tidak
terbuang percuma.
Dalam melaksanakan dakwah, berupa percepatan di bidang
intelektual dan pembangungan, pemerintah Daulah Abbasiyah tidak
segan-segan menpekerjakan bahkan mengupah dengan gaji yang
tinggi bagi para professional. Seperti arsitek, penerjemah bahkan
menteri dari keluarga Barmakiyah yang Buddha. Selama mereka
bekerja dengan professional dan tidak mengacaukan stabilitas
pemerintahan, mereka benar-benar dihargai. Namun ketika mereka
mulai mencoba merongrong pemerintahan, hal itu tidak bisa
ditolerir, seperti yang akhirnya terjadi pada keluarga Barmakiyah.
Dari hal ini, kita mendapat suatu pelajaran berupa bolehnya
menggandeng para professional nonmuslim untuk membangun
bangsa demi kesejahteraan rakyat dan agama Islam. Tentunya
dengan catatan selama mereka tidak membuat makar pada negara
dan agama Islam. Tidak ada paksaan bagi mereka untuk memeluk
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 203
Nashir
Islam, bahkan sebagian dari professional nonmuslim di jaman
Abbasiyah memeluk Islam dengan sendirinya seperti Ibn Muqaffal.
Pola seperti ini dapat dilihat di Kerajaan Saudi Arabia, negara ini
mempekerjakan banyak professional nonmuslim di daerahnya,
kecuali Makkah dan Madinah, dalam rangka akselerasi
pembangunan negara tersebut.
Pelajaran terakhir adalah pentingnya melestarikan perbedaan
pendapat, jangan sampai memaksakan sebuah doktrin kepada
khalayak. Sejarah mencatat, dunia Islam kehilangan sebuah harta
berharga dengan hilangnya paham Mu’tazilah sebagai paham
rasional karena pemaksaan pendapat.
Kesimpulan
Imperium Abbasiyah sebagai representasi kekhalifahan Islam
klasik terlama telah menorehkan tinta emas dan hitam dengan segala
kemegahan metropolitan Bagdad dan konflik yang terjadi di istana.
Dilihat dari aspek dakwah Islam, imperium ini telah
mengembangkan dakwah Islam dengan sangat piawai komprehensif
di berbagai bidang kehidupan. Uniknya proses dakwah pada saat itu
dilakukan dengan kolaborasi antara penguasa dan rakyat di awalawal dinasti, dan setelah kerapuhan para khalifah, dakwah pada
level masyarakat tetap jalan.
Beberapa kebijakan pemerintah seperti kegiatan penerjemahan
dan penghargaan yang tinggi kepada pakar ilmu pengetahuan
menarik minat nonmuslim untuk memeluk Islam secara suka rela,
bahkan kebijakan pajak tanah yang tidak manusiawi di awal-awal
imperium menyebabkan para pemilik tanah memeluk Islam.
Peran pelaku dakwah di daerah-daerah muallaf dapat dibilang
sukses. Hal ini dibuktikan dengan muunculnya tokoh-tokoh sentral
seperti al-Bukha>ri> dan ‘Ali> ibn Sahl Rabba>n al-T{abari> yang
keturunan nonmuslim namun bisa menjadi tokoh besar.
Sebuah pelajaran yang berharga dari sejarah dakwah pada masa
ini adalah pentingnya sinergi antara penguasa dan rakyat dalam
mencetak da’i dan menjalankan program dakwah. Dan yang tidak
boleh dikesampingkan adalah adanya jaminan kebebasan
berpendapat dan berkreasi selama tidak keluar dari koridor ajaran
pokok Islam.
204 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Referensi
Abu> ‘Ubayd, Qa>sim ibn Salla>m. 1968, Kita>b al-Amwa>l, ed.
M. Khali>l al-H{arra>s, Maktabah al-Kulliyah alAz}hariyyah, Kairo.
Abu> Yu>su>f, Ya’qu>b ibn Ibra>hi>m. 1352 H, Kita>b alKhara>j, al-Mat}ba’ah al-Salafiyyah, Kairo.
Abu> Zahrah, Muh}ammad. 1979, Ta>ri>kh al-Madha>hib alIsla>miyyah, Vol. 1. Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, Beirut.
Achmad, Amrullah. 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,
Prima Data, Yogyakarta.
Ah}mad, Ibn Taymiyyah. 1961, Majmu>’ al-Fata>wa> Shaykh alIsla>m Ah}mad ibn Taymiyyah, ed. ‘Abd al-Rah}ma>n al‘A<s}imi>, vol. 35, Mat}a>bi’ al-Riya>d}, Riya>d}.
Ahmed, Akbar S. 1992, Citra Muslim; Tinjauan Sejarah dan
Sosiologi, terj. Nunding Ram & Ramli Yakub, Erlangga,
Jakarta.
Ami>n, Ah}mad. t.t., D{uh}a> al-Isla>m, vol. 1. Lajnah al-Ta`li>f
wa al-Tarjamah wa al-Nashr, Kairo.
Azis, Moh. Ali. 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Jakarta.
Bagda>di> (al), Ah}mad ibn ‘Ali> Abu> Bakr al-Khat}i>b. t.t.,
Ta>ri>kh Bagda>d, vol. 1. Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Beirut.
Baya>nu>ni> (al), Muh}ammad Abu> al-Fath}. 1993, al-Madkhal
ila> ‘Ilm al-Da’wah, Muassasat al-Risa>lah, Beirut.
Bi>k, Muh{ammad al-Khud}ari>. 1953, Muh}a>d}ara>t alTa>ri>kh al-Umam al-Isla>miyyah: al-Dawlah al‘Abba>siyyah, Istiqa>mah, Kairo.
Brockelmann, Carl. 1982, History of the Islamic People, Routledge
& Kegan Paul, London.
Chapra, M. Umer. 2010, Peradaban Muslim; Penyebab Keruntuhan
dan Perlunya Reformasi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Amzah,
Jakarta.
Gibb, H. A. R. 1962, Studies on the Civilization of Islam, Routledge
& Kegan Paul, London.
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 205
Nashir
H{asan, Ibra>hi>m H{asan. 1967, Ta>ri>kh al-Isla>m al-Siyasi>
wa al-Di>ni> wa al-Thaqa>fi> wa al-Ijtima>’i>, vol. 4. alNahd}ah al-Mis}riyyah, Kairo.
Hasymi, A. 1993, Sejarah Kebudayaan Islam. Bulan Bintang,
Jakarta.
Hitti, Philip K. 2002, History of The Arabs; Rujukan Induk dan
Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R.
Cecep Lukman Yasin, Serambi Ilmu, Jakarta.
Hodgson, Marshall G. S. 2002, The Venture of Islam; Iman dan
Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Islam Klasik, terj.
Mulyadhi Kartanegara, vol. 2, Paramadina, Jakarta.
Ibn Khallika>n, Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Muh}ammad. 1994,
Wafaya>t al-A’ya>n wa Anba> Abna> al-Zama>n, ed.
Ih}sa>n ‘Abba>s, vol. 1, Da>r S{a>dir, Beirut.
Khaldun, Ibnu. 2002, Mukaddimah, terj. Masturi Irham dkk.,
Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
Kung, Hans. 2007, Islam: Past, Present and Future, One World,
Oxford.
Lapidus, Ira M. 1999, Sejarah Sosial Umat Islam, bag. kesatu dan
kedua, terj. Gufron A. Mas’adi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Lewis, Bernard. ‘Abbasids’, dalam The Encyclopedia of Islam, vol.
1. E. J. Brill, Leiden.
Mas’u>di> (al), Abu> al-H{asan ‘Ali>. 1988, Muru>j al-Dhahab
wa Ma’a>din al-Jawhar, ed. M. Muh}yi al-Di>n ‘Abd alH{ami>d, vol. 4, al-Maktabah al-‘As}riyyah Beirut.
Nasution, Harun. 2001, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.
1, edisi kedua. UI Press, Jakarta.
----------. 1984, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan
Gerakan, cet. ke-3. Bulan Bintang, Jakarta.
----------. 1996, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, cet. ke-4,
Mizan, Bandung.
Sarton, George. 1927, Introduction of the History of Science, vol. 1.
Carnegie Institute, Washington.
206 | Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012
Dakwah Islam Masa Daulah Abbasiah
Siba’i (al), Mustafa Husni. 2002, Khazanah Peradaban Islam, terj.
Abdullah, Pustaka Setia, Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, cet. VIII,
Rajawali, Jakarta.
Syalabi, Ahmad. 2003, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, terj.
Muhammad Labib Ahmad. Pustaka al-Husna Baru, Jakarta.
T{abari> (al), Abu> Ja’far Muh}ammad ibn Jari>r. 1979, Ta}ri>kh
al-Umam wa al-Mulu>k, vol. 9. Da>r al-Fikr, Beirut.
T{ayyib (al), Muh}ammad. 1400 H, Ta>ri>kh al-Dawlah al‘Abba>siyah wa H{ad}a>ratiha, Ja>mi’ah al-Ima>m
Muh}ammad ibn Sa’u>d, Riya>d}.
Watt, W. Montgomery. 1990, Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari
Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Zarqa> (al), Mus}t}afa> Ah}mad. 1967, al-Fiqh al-Isla>mi> fi>
Thawbihi al-Jadi>d, vol. 1, Mat}a>bi’ Alif Ba, Damaskus.
Zayda>n, ‘Abd al-Kari>m. 1993, Us}u>l al-Da’wah, Muassasah alRisalah, Beirut.
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 02, Nomor 02, Desember 2012 | 207
Download