Beriman kepada Internet di Era Pasca-Kebenaran - 07-19

advertisement
Beriman kepada Internet di Era Pasca-Kebenaran - 07-19-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
Beriman kepada Internet di Era Pasca-Kebenaran
Wednesday, July 19, 2017
https://www.itsme.id/beriman-kepada-internet-di-era-pasca-kebenaran/
iT's me - Ada banyak pergeseran dalam cara menerima suatu kebenaran masyarakat Indonesia belakangan
ini. Yakni ketika keyakinan atau keimanan mereka kepada internet bisa menjadi suatu hal yang paling
diyakini kebenarannya, tanpa harus mempertanyakan lebih jauh soal dari siapa kebenaran itu diperoleh.
Menelisik terminologi keimanan secara agama yang berkonotasi pada sebuah “keyakinan hati”, tentu akan
selalu membenarkan fenomena apa pun di luar dirinya sesuai dengan keyakinan yang dimiliki.
Jika dalam ajaran Islam, keimanan kepada adanya Tuhan, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, MalaikatNya dan kenyataan datangnya hari kiamat, justru realitas hari ini bertambah, yaitu beriman kepada
internet.
Celakanya, internet menjadi semacam “kepercayaan personal” yang dapat mempengaruhi emosi seseorang
melampaui nilai-nilai kebenaran yang semestinya diperoleh secara obyektif.
Keimanan memang selalu bertaut dengan kepercayaan dan emosi yang sedikit sekali melakukan verifikasi
atas sebuah kebenaran obyektif. Tanpa disadari, ketergantungan nasib kita ini bisa sangat mudah
dipercayakan kepada sopir, pembantu, restoran, bank, atau bahkan yang marak belakangan adalah
internet.
Kita seringkali tak perlu mempertanyakan siapa supir bis yang membawa kita melakukan perjalanan, atau
soal bagaimana pembantu di rumah kita melakukan pekerjaannya, atau kita tak perlu lagi
mempertanyakan mengenai uang kita yang disimpan di bank. Termasuk keyakinan kita atas informasi
yang diperoleh dari internet, kita tampak dengan mudah “mengimani” tanpa perlu susah-payah
memverifikasi kebenarannya.
Beriman kepada internet tampaknya semakin menguat belakangan ini, bahkan menjadi tolok ukur
keabsahan iman seseorang. Bagaimana tidak, seseorang bisa saja dituduh “kafir” atau “toghut” karena
tidak “mengimani” informasi yang disampaikan dari media internet.
John Diamond (1995) pernah menulis, “Masalah dengan internet adalah segalanya benar” patut kita
renungkan sebagai sebuah kenyataan pada realitas sosial masyarakat kita belakangan ini. Beragam
peristiwa yang terjadi di sekitar kita, pada kenyataannya akan terus dihubungkan dengan serentetan
peristiwa lainnya, walau kadang telah keluar jauh dari konteks yang sesungguhnya. Kita tentu masih bisa
merasakan, bagaimana sebuah peristiwa hukum atau politik di negeri ini kemudian dihubung-hubungkan
dengan persoalan agama.
Tentu kita belum lupa bagaimana persoalan terorisme yang muncul belakangan, baik itu bom bunuh diri
atau atau perlakuan teror kepada orang lain, dianggap sebagai sebuah rekayasa untuk menyudutkan umat
beragama tertentu. Informasi yang mudah diakses dari media internet kadang sangat keterlaluan, misalnya
1/3
Beriman kepada Internet di Era Pasca-Kebenaran - 07-19-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
menganggap potongan tubuh pelaku bom bunuh diri adalah patung lilin yang sengaja dibuat sekadar
mengalihkan isu lain yang sedang ramai di sekitar kita.
Menguatnya “keimanan” kepada internet, bahkan pernah saya rasakan ketika berdiskusi dengan seseorang
yang dengan mudah mengatakan, “silakan anda browsing, semua informasi itu sudah dibenarkan oleh
internet”.
Aparat berwenang dalam banyak hal memang harus dapat menyodorkan narasi tandingan secara lebih
obyektif, walau kadang karena keyakinan dan emosi seseorang, sisi obyektivitas malah luput dari
jangkauan upaya pencarian kebenaran.
Fenomena menguatnya keyakinan dan emosi yang menggeser ruang obyektivitas atas kebenaran
informasi dapat dibaca melalui kacamata post-truth atau pasca-kebenaran yang saat ini benar-benar
mewujud dalam masyarakat di sekeliling kita. Post-truth menggambarkan era kita saat ini, saat “situasi
fakta obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan
personal dalam pembentukan opini publik” (Kamus Oxford).
Masih ingat tentunya dalam benak kita bagaimana seseorang bisa menjadi sangat radikal hanya karena
gara-gara sebuah konten di internet. Mulyadi, pelaku penusukan aparat kepolisian di Masjid Falatehan,
Jakarta, adalah contoh konkret dari “keimanan” yang begitu dalam kepada internet. Hasil penyelidikan
pihak kepolisian atas Mulyadi yang tewas ditembus timah panas aparat menyebutkan bahwa Mulyadi
sebelum “nekat” menjalankan aksinya di masjid terpengaruh konten radikal yang selama ini dia baca.
Saya kira, mungkin masih banyak Mulyadi lainnya yang dengan mudahnya beriman kepada internet tanpa
perenungan mendalam dan menggali fakta-fakta lainnya yang dapat mendorong seseorang lebih obyektif
dalam mencapai kebenaran. Emosi dan kepercayaan personal dalam mempengaruhi opini publik tampak
mengkristal dan menjauhi ruang-ruang kebenaran secara obyektif, bahkan “kebenaran” dari pihak lain
yang menawarkan narasi tandingan tak akan pernah dipercaya.
Kita tentu sadar, bagaimana isu PKI yang begitu mudah kita “imani” sehingga kita sangat mudah
menuduh pihak lain sebagai bagian dari antek-antek komunis Itu. Islam, Pancasila yang merupakan hasil
pergulatan ide kompromistik para faunding fathers lalu dengan mudah kita yakini sebagai “thogut” dan
kita “dipaksa” mempercayai bahwa Pancasila adalah produk orang-orang kafir.
Bukankah Pancasila adalah persemaian ide-ide politik-kebangsaan yang digali dari nilai-nilai budaya
masyarakat Indonesia? Munculnya isu-isu NKRI, Pancasila, kebhinnekaan, justru belakangan kita
rasakan, di saat banyak masyarakat kita mulai beriman kepada internet dan menjadi sebuah fakta pascakebenaran dalam realias sosial-politik kita.
Tanpa sadar kita sudah mengimani internet jauh lebih dahsyat daripada mengimani hal yang telah
diwariskan oleh agama kita sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya sempat dituduh sebagai orang yang tak
peduli terhadap agama saya sendiri yang menurut mereka umat Muslim saat ini telah difitnah oleh banyak
pihak yang dapat dibuktikan dari informasi yang tersebar di media internet atau media sosial.
Hampir seluruh informasi yang disodorkan adalah dari internet yang mungkin tak pernah diverifikasi
sebelumnya kepada pihak lain agar diperoleh sebuah fakta kebenaran yang lebih obyektif. Jika dalam
2/3
Beriman kepada Internet di Era Pasca-Kebenaran - 07-19-2017
iT's Me - Kembali ke Fitrah - https://www.itsme.id
ajaran Islam rukun iman disebut hanya ada enam, maka di era saat ini jumlahnya bertambah menjadi
tujuh, yakni “beriman kepada internet” yang diyakini sebagai sebuah kebenaran kebenaran agama.
Dalam ajaran Islam, terminologi iman secara klasik dapat didefinisikan sebagai “tashdiqu bi al-qobi wa
a’maalu bi al-arkaan” (membenarkan dalam hati dan mengimplementasikannya dengan perbuatan).
Karenanya model keimanan kepada internet di era pasca-kebenaran akan tampak sebagai bentuk rukum
iman yang ketujuh yang diyakini kebenarannya dan sekaligus diimplementasikan dalam kehidupannya
sehari-hari.
Fenomena ini semakin mengental di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Maka,wajar jika kemudian
mucul tuduhan-tuduhan yang menyakitkan yang harus diterima kalangan Muslim lainnya—karena tidak
beriman kepada internet—sebagai pihak yang “kafir” atau bahkan “thogut”. Parahnya lagi, tuduhan-tuduhan
pun sudah menyasar para ulama yang memiliki otorisasi dalam bidang keislaman, hanya gara-gara opini
publik yang dibentuk oleh kebenaran internet yang diimani.
Kita nampaknya perlu mereformasi iman kita, agar internet hanya dimanfaatkan sebagai alternatif
kebenaran, bukan tolok ukur kebenaran itu sendiri. Iman membutuhkan obyektivitas melalui prinsip
tabayyun, sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kita, Ibrahim AS.
(//diterbitkan atas izin sumber)
_______________________________________________
WWW.ITSME.ID
3/3
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download