BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan Lingkungan menurut Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2014 adalah upaya pencegahan penyakit dan/ atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat dari aspek fisik, kimia, biologi maupun sosial yang diselenggarakan melalui upaya penyehatan, pengamanan dan pengendalian faktor risiko lingkungan (Lembaran Negara, 2014). Perlindungan dari kelompok yang rentan terhadap kondisi lingkungan yang berbahaya masih dianggap sebagai prioritas yang rendah di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Namun, dampak dari faktor-faktor risiko lingkungan terhadap kesehatan manusia sedang berkembang, baik dalam besarannya dan juga keanekaragamannya. Determinasi kualitas lingkungan terhadap status kesehatan masyarakat sangat dominan selain faktor perilaku, pelayanan kesehatan masyarakat dan keturunan. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mengurangi pengaruh lingkungan yang merugikan perlu dilakukan usaha penyehatan lingkungan dan pengendalian faktor risiko (Dirjen P2PL, 2012). Paradigma kesehatan lingkungan merupakan model dasar bagi suatu analisis terhadap perubahan-perubahan langsung atau dampak primer, yaitu perubahan komponen lingkungan yang langsung disebabkan oleh dinamika alam atau kegiatan manusia, dan memiliki potensi dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan masyarakat (Achmadi, 2011). Risiko merupakan konsep yang sangat fundamental dalam kesehatan lingkungan sebagai kemungkinan terjadinya hal yang merugikan akibat terpajan suatu bahaya/ agent pada kondisi tertentu baik yang sedang berlangsung maupun akan datang, sehingga berdasarkan paradigma kesehatan lingkungan maka dapat dilakukan usaha preventif dan mitigasi (Robson & Toscano, 2007; Soemirat, 2013). 1 2 Paradigma kesehatan lingkungan memberikan pemahaman dinamika perubahan lingkungan yang dipilah menjadi simpul-simpul pengamatan, pengukuran dan pengendaliannya dimulai dari simpul 1 sumber agen bahaya; simpul 2 media pemajanan; simpul 3 manusia yang berisiko sampai simpul 4 timbulnya dampak kesehatan. Pada titik-titik simpul tersebut kita dapat melakukan pencegahan, sebelum sampai simpul ke 4 kita mencegah terjadinya penyakit dengan melakukan pengendalian di simpul sebelumnya (Achmadi 2011). Dalam manajemen lingkungan untuk melakukan usaha preventif terhadap timbulnya dampak kesehatan akibat paparan bahan-bahan beracun dan berbahaya bisa dilakukan manajemen risiko kesehatan dengan menggunakan studi analisis risiko yang dapat memperkirakan risiko kesehatan yang akan dialami oleh manusia setelah terpajan oleh agen risiko (Robson & Toscano, 2007) Analisis risiko kesehatan merupakan bagian dari Public Health Assesment sebagai model kajian prediktif dampak lingkungan yang diperkenalkan oleh Agency for Toxic Substance and Drug Registry (ATSDR) US Department of Health and Human Service pada tahun 2005 walaupun awalnya analisis risiko digunakan dalam bidang pengendalian radiasi di tahun 1975 untuk menyelidiki kematian karena kanker yang disebabkan oleh kebocoran nuklir. Namun kini analisis risiko digunakan untuk berbagai bahaya lingkungan yang bisa menimbulkan efek merugikan kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan setelah di adopsi oleh US Enviromental Protection Agency (US EPA) pada tahun 1986. (Dirjen P2PL, 2012; Rahman, 2007). Selama ini kita sering menggunakan studi epidemiologi yang berdasarkan adanya kasus kejadian penyakit dan pajanan dalam menjelaskan masalah-masalah kesehatan sedangkan penelitian analisis risiko yang memprakirakan peningkatan risiko gangguan kesehatan berdasarkan karakterisasi efek-efek agen penyakit dosis respon pajanan bahaya lingkungan belum banyak disentuh. Padahal pendekatan semacam ini sangat diperlukan dan berperan penting tidak saja dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko itu sendiri di masa kini maupun masa yang akan datang, namun juga bermanfaat untuk memberikan kerangka ilmiah bagi para pengambil keputusan dan orang-orang yang peduli untuk memecahkan 3 atau menghilangkan masalah-masalah kesehatan dan lingkungan (Louvar, 1998; Rahman, 2007) Secara global saat ini terdapat kepedulian terhadap air minum dan sanitasi terutama yang tertuang didalam Millennium Development Goals (MDG’s) yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan melalui 8 tujuan. Salah satu tujuannya adalah pelestarian lingkungan hidup yang didalamnya pada tujuan 7C yaitu menurunkan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar pada 2015. Hasil riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat kecenderungan meningkat untuk rumah tangga yang mendapatkan akses ke sumber air minum aman dan sehat (improved) 62,0 persen tahun 2007 menjadi 66,8 persen tahun 2013, dan variasi antar provinsi yang sangat lebar dari yang terendah di Kep. Riau (24,0%) dan yang tertinggi Bali dan DI Yogyakarta (>80%). Demikian halnya untuk rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi ‘improved’ juga meningkat dari 40,3 persen (2007) menjadi 59,8 persen (2013), walaupun masih ada provinsi yang hanya 30,5 persen (NTT dan Papua). (Balitbangkes, 2013). Saat ini masih terdapat 784 juta jiwa yang mengandalkan sumber air yang tidak aman. Dimana 173 juta jiwa diantaranya menggunakan sumber air dari sungai dan kolam terbuka, dan sisanya dari mata air tidak terlindungi, sumur tidak terlindungi dan sumber lain yang tidak dijamin keamanannya. Selain itu, akses terhadap air minum yang aman (improved drinking water) masih rendah, hal ini khususnya terjadi di kawasan perkotaan dan sub urban yang kumuh (Dirjen Ciptakarya, 2014). Salah satu upaya untuk mencapai tujuan point 7 C pada target MDG’s tersebut pemerintah Indonesia bekerjasama dengan World Bank melaksanakan Program Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), Program Pamsimas merupakan kerja sama dari beberapa Lembaga Negara dan Kementerian yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri Kementrian Keuangan, dan World Bank, dengan satu Kementerian bertanggung jawab pada satu komponen, dalam program Pamsimas terdapat 5 4 komponen dan Kementrian Kesehatan berada pada komponen B yaitu pengawasan kualitas air minum dan sanitasi serta peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.(Pamsimas, 2013) Pada tahun 2015 ini program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru dilaksanakan di 3 (tiga) kecamatan dimana pada masing-masing kecamatan dipilih 1 (satu) desa yang memenuhi syarat yaitu desa Tebing Tinggi Kecamatan Kelumpang Tengah, Desa Sakalimau Kecamatan Pamukan Selatan dan desa Mangkirana Kecamatan Kelumpang Hilir. Program Pamsimas dalam meningkatkan akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak digunakan melalui pendekatan pemberdayaan kepada masyarakat untuk melakukan penyediaan sarana air minum sendiri dengan bimbingan fasilitator di lapangan, masyarakat secara aktif terlibat dalam identifikasi masalah dan analisa situasi untuk menentukan jenis dan lokasi sarana yang akan dibangun (Dirjen Ciptakarya, 2014; Pamsimas, 2013). Disini Analisis risiko berperan untuk dapat memperkirakan aman tidaknya sarana air minum dibangun melalui program Pamsimas tersebut. terhadap kesehatan masyarakat terutama yang berhubungan dengan kandungan zat-zat kimia pencemar didalammya, sehingga menjamin keamanan air minum yang digunakan masyarakat (Hrudey et al, 2006). Kabupaten Kotabaru memiliki daerah yang kaya akan sumber daya alam terutama bahan mineral berupa batubara dan biji besi (BPS, 2016) kondisi ini secara langsung ataupun tidak langsung akan melepaskan bahan-bahan logam berat ke alam baik secara alamiah maupun yang berasal dari proses sampingan produksi pertambangan, salahsatunya logam kadmium yang sudah secara alami dapat ditemukan dalam biji besi dan zink yang dapat terlepas ke lingkungan saat proses produksi pertambangan (Godt et al, 2006). Berdasarkan uji petik Dinas Kesehatan Kabupaten Kotabaru di tahun 2015 terhadap beberapa sarana air yang digunakan masyarakat di dapatkan nilai kadmium sebesar 0,027 mg/l sampai 0,14 mg/l yang sudah tidak memenuhi persyaratan sesuai permenkes RI. Secara kesehatan kadmium termasuk logam berat yang tidak diperlukan tubuh dalam proses fisiologinya, sehingga keberadaannya didalam tubuh manusia akan menyebabkan gangguan kesehatan. Toksisitas kronis kadmium dapat merusak 5 sistem fisiologis tubuh, antara lain sistem urinaria, sistem respirasi (paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung, kerusakan sistem reproduksi, sistem syaraf, bahkan dapat mengakibatkan kerapuhan tulang. Masuknya logam berat seperti kadmium dalam tubuh manusia bisa melalui bahan makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh logam berat tersebut(ATSDR, 2011; Tehubijuluw et al, 2013) B. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah teridentifikasi konsentrasi kadmium pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015? 2. Bagaimana tingkat risiko akibat cemaran kadmium pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015? 3. Bagaimana manajemen risiko kesehatan lingkungan akibat cemaran kadmium pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015? C. Tujuan Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Menentukan konsentrasi kadmium pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015 2. Menilai tingkat risiko pencemaran air akibat cemaran kadmium pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015 3. Merumuskan manajemen pengelolaan risiko yang timbul dari paparan bahan pencemar air pada sarana air minum yang dibangun program Pamsimas di Kabupaten Kotabaru tahun 2015 6 D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkaya informasi ilmu kesehatan lingkungan terutama mengenai analisis risiko kesehatan lingkungan 2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai dasar menggunakan air minum yang aman bagi kesehatan 3. Bagi Dinas Kesehatan dan instansi terkait lainnya, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam membuat kebijakan dan pengawasan program penyehatan air yang lebih baik serta penyiapan mitigasi dan manajemen risiko sehingga dapat menjamin keamanan terhadap pengguna sarana air minum. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) ini masih jarang dilakukan, dan yang menjadi subjek penelitian bukan berada di Kabupaten Kotabaru serta beberapa peneliti lain juga berbeda pada parameter yang diteliti. Adapun penelitian tentang Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) yang sudah pernah dilakukan, terlihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Perbedaan dengan penelitian lain Peneliti/ Judul tahun Nukman et Analisis Dan al, 2005 Manajemen Risiko Kesehatan Pencemaran Udara Di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi Ashar, 2007 Analisis risiko pajanan mangan dalam air melalui Intake oral terhadap kesehatan masyarakat di Sekitar TPA Rawakucing Kecamatan Neglasari Kota Hasil Perbedaan (RQ > 1) mempunyai urutan menurut kotanya : Palembang > Bandung > Jakarta > Banjarmasin > Medan > Surabaya > Yogyakarta > Semarang. Sedangkan menurut agen risiko TSP > PM10>SO2>NO2>Pb Nilai mean mangan air sumur di TPA Rawakucing adalah 4,3 mg/l (SD=2,8873 mg/l).Di luar TPA Rawakucing adalah 0,3000 mg/l (SD=0,1888 mg/l). Rata-rata (median) laju asupan konsumsi air di lokasi penelitian adalah 2,0833 liter per hari Rata-rata (median) durasi pajanan terhadap Parameter yang diperiksa TSP , M10, SO2,NO2, Pb Parameter yang diperiksa mangan 7 Tangerang provinsi konsumsi air yang Banten tahun 2007 mengandung mangan adalah 19 Tahun, Proporsi masyarakat di TPA Rawakucing dan di luar TPA Rawakucing kecamatan Neglasari mempunyai (RQ > 1) adalah 16,3% Anwar et.al, Analisis Risiko 90% air sumur tercemar di 2009 Kesehatan terhadap desa Buyat dengan Kontaminasi Arsen konsentrasi min (0,0063mg/l), pada Air Minum di maks (0,1040mg/l) dan ratadaerah Buyat rata + SD (0,040+0,030mg) Sulawesi Utara Risiko Kesehatan (RQ) telah melampaui angka 1,DT 1,5 tahun, Cmax (0,0082mg/l) dan laju konsumsi maks 53ml/hari/orang dengan BB 35 Kg Susiyeti, Analisis risiko Intake Kadmium dalam ikan 2010 kesehatan sebesar 0,000012 mg/kg/hari pencemaran logam masih aman dari efek Kadmium pada nonkarsinogenik pada ikan di kampung masyarakat disana dengan nelayan muara durasi pajanan 30 tahun angke kelurahan kedepan. pluit penjaringan Jakarta Utara tahun 2010 Parameter yang diperiksa arsen Parameter yang diperiksa Kadmium pada ikan