UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 96% TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT DUA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley SKRIPSI SITI WINDI HARIANI 1112102000018 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2016 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 96% TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT DUA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi SITI WINDI HARIANI 1112102000018 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2016 ii iii iv v ABSTRAK Nama : Siti Windi Hariani Program Studi : Farmasi Judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 96% Tumbuhan Paku Nephrolepis Falcata (Cav.) C. Chr terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diketahui memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi. Senyawa yang diperkirakan berperan dalam aktivitas tersebut diantaranya flavonoid dan fenol (Komala, et al., 2015). Senyawa flavonoid dan fenol pada berbagai tumbuhan lainnya diketahui berperan dalam aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan proses penyembuhan luka sehingga terdapat potensi pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dalam mempengaruhi proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap penyembuhan luka bakar derajat dua. Ekstrak dibuat dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%. Tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok kontrol positif yang diberikan krim Silver Sulvadiazine®, dan 3 kelompok uji konsentrasi yang diberikan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C 2,5%, 5%, dan 10%. Pembuatan luka bakar derajat dua dilakukan dengan cara memanaskan plat logam berukuran 4 x 2 cm dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian plat besi tersebut ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricular tikus. Pemberian krim ekstrak dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari selama 21 hari. Parameter yang diamati yaitu perubahan visual dan waktu penyembuha n luka bakar, penurunan dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C mempengaruhi perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar Hasil analisis statistik Paired Sample T test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (p<0,05) terhadap penurunan luas luka bakar sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji statistik One-Way ANOVA menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C konsentrasi 2,5% dan 5% menghasilkan persentase penyembuhan luka bakar yang berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif. Krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C dapat menurunkan jumlah sel radang, meningkatkan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar derajat dua berdasarkan parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka, penurunan luas dan persentase penyembuhan luka, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Kata kunci: Tumbuhan paku, Nephrolepis falcata (Cav.) C, krim ekstrak etanol, luka bakar. vi ABSTRACT Name : Siti Windi Hariani Major : Pharmacy Title : Effect of 96% Ethanolic Extract Fern Nephrolepis Falcata (Cav.) C. Chr In Second Degree Burn Wound Healing in Whitw Male Rats (Rattus Norvegicus) Sprague Dawley strain. Fern Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr have been known to have antioxidant and anti- inflammatory activity. Flavonoid and phenol predicted as compounds which have role in their activities (Komala, et al., 2015). Flavonoid dan phenol compound in many others plants known acts as antioxidant, anti- inflammatory activity, and in burn wound healing, so there is potency in fern Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr in burn wound healing process. The aim of this research is to examine the effect of ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C in second degree burn wound healing. The extract is made by maceration using ethanol 96%. White male rats (Rattus novergicus) Sprague Dawley strain divided into 5 groups, negative control group was given a base cream, positive control group was given Silver Sulvadiazine® cream, and 3 groups of test concentration was given ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C concentration 2,5%, 5%, and 10%. A second degree burn wound was made by heating a metal plate size 4 x 2 cm in boiling water for 5 minutes, then the metal plate attached for 10 seconds in dorsal ± 3 cm from rat’s auricula. The extract cream applied twice a day for 21 days. The observed parameter include visual change and burn wound healing time, decrease of wound area and percentage of burn wound healing, decrease amount of inflammatory cells, increase amount of fibroblast, and new formed capillaries. The results shows ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C affect in visual change and burn wound healing time. The results of statistical analysis Paired Sample T test shows significant difference (p<0,05) in decrease wound area. The results of statistical analysis One-Way ANOVA shows significant difference (p<0,05) in percentage of burn wound healing ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C concentration 2,5% dan 5% with negative control. Ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C can decrease amount of inflammatory cells, increase amount of fibroblast, and new formed capillaries. Ethanolic extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C influence the second degree burn wound healing process based on visual change and burn wound healing time, decrease wound area and percentage of burn wound healing, decrease inflammatory cells, increase amo unt of fibroblast, and new formed capillaries. Keywords: Fern, Nephrolepis falcata (Cav.) C, ethanolic extracts cream, burn wound vii KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan ridho-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu tahap dari serangkaian tahap untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa, tanpa kemudahan yang Allah berikan, ridho kedua orang tua, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Ismiarni Komala, MSc., PhD., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Azrifitria., M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan ibu mendapatkan imbalan yang lebih baik di sisiNya. 2. Ibu Puteri Amelia., M.Farm., Apt selaku penanggung jawab Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Ibu Eka Putri., M.Si., Apt selaku penanggung jawab Laboratorium Penelitian I, Ibu Nurlaely Mida R., M.Biomed, DMS selaku penanggung jawab Laboratorium Animal House, Ibu Zilhadia., M.Si., Apt selaku penanggung jawab Laboratorium Kimia Obat, beserta staf atas penggunaan segala fasilitas dan bantuannya selama penelitian. 3. Bapak Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Hidayatullah Jakarta. viii Universitas Islam Negeri Syarif 5. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc, Apt., selaku dosen pembimbing akademik, Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Keluarga Departemen Relasi dan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2012/2013, Fio Noviany, Muhammad Haidar Ali, Elsa Elfrida, Henny Pradikaningrum, Wahidin Saleh, dan Fandi Karami. 8. Pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2014/2015 9. Kedua orang tua yang sangat saya sayangi ibunda Afriwani Hutabarat dan ayahanda Hardadi, semoga segala amal kebaikan dan jerih payah keduanya mendapat balasan yang jauh lebih baik disisi-Nya. Demikian ucapan terima kasih yang setulusnya saya sampaikan, semoga Allah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skrpsi ini bermanfaat. Semoga Allah memudahkan jalan orang-orang yang menuntut ilmu dan orang-orang yang selalu berusaha memberikan kebermanfaatan untuk lingkungannya. Ciputat, 15 Juli 2016 Penulis ix x DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………............. iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….. iv HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….... v ABSTRAK……………………………………………………………………... vi ABSTRACT………………………………………………………………….... vii KATA PENGANTAR……………………………………………….….......... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……............ x DAFTAR ISI…………………………………………………………………... xi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xiv DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xv DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xvi BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………….............. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Latar Belakang………………………………………………….. 1 Rumusan Masalah……………………………………................. 3 Tujuan Penelitian…………………………………….................. 4 Hipotesis………………………………………………………... 4 Manfaat Penelitian……….……………………………………... 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 5 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 Kulit…………………………………………………………….. 5 Luka Bakar……………………………………………………... 6 Klasifikasi Luka Bakar………………………………................. 7 Patofisiologi Luka Bakar……………………………………….. 7 Proses Penyembuhan Luka Bakar……………………………… 8 Tumbuhan Paku……………………………………………….... 12 Ekstrak dan Ekstraksi…………………………………………... 14 Bentuk Sediaan Krim…………………………………………... 16 Spesifikasi Bahan untuk Formulasi Sediaan Uji……………….. 16 Hewan Percobaan……………………………………………… 20 BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………………. 23 3.1 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………... 23 Alat dan Bahan Penelitian………………………….…................ 23 xi 3.3 3.4 3.5 3.2.1 Alat Penelitian…………………………………………... 23 3.2.2 Bahan Uji……….………………………………………. 23 3.2.3 Bahan Kimia……………………………………………. 24 Hewan Uji..…………………..…………………………………. 24 Rancangan Penelitian…………………………….……………... 24 Kegiatan Penelitian……………………………….…………….. 27 3.5.1 Determinasi Tumbuhan…………………………………. 27 3.5.2 Penyiapan Simplisia…………………………………….. 27 3.5.3 Pembuatan Ekstrak……………………………………… 28 3.5.4 Skrining Fitokimia……………………………………… 28 3.5.5 Standardisasi Ekstrak…………………………………… 29 3.5.5.1 Penentuan Parameter Spesifik…………………... 29 3.5.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik……………... 29 3.5.6 Pembuatan Krim Ekstrak……………………….…….… 30 Evaluasi Sediaan Krim………………………………….. 33 3.5.6.1 Pengamatan Organoleptik……………................. 33 3.5.6.2 Homogenitas……………………...…………….. 33 3.5.6.3 Pemeriksaan pH………………………................ 33 3.5.7 Persiapan Hewan Uji……………..…….……….............. 33 3.5.8 Perlakuan Hewan Uji……………………………............ 34 3.5.8.1 Pembuatan Luka Bakar..…………………….... 34 3.5.8.2 Pemberian Bahan Uji…………….…………… 34 3.6.10 Pengamatan Penyembuhan Luka Bakar…….…………... 35 3.6.11 Eksisi Jaringan Kulit Tikus…………………………….. 36 3.6.12 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Tikus…….. 36 3.6.13 Pengamatan Preparat Histopatologi……………............. 36 3.6.14 Rencana Analisis Data…………………………………. 38 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………………….………………….... 39 4.1 4.2 Hasil Penelitian ………………………………………………… 39 4.1.1 Determinasi Tumbuhan…………………………………. 39 4.1.2 Penyiapan Simplisia…………………………………….. 39 4.1.3 Ekstraksi………………………………………………… 39 4.1.4 Skrining Fitokimia……………………………………… 40 4.1.5 Standardisasi Ekstrak…………………………………… 40 4.1.6 Pembuatan Krim Ekstrak……………………………….. 42 4.1.7 Evaluasi Sediaan Krim………………………………….. 43 4.1.8 Pengukuran Berat Badan Tikus…………………………. 44 4.1.9 Pengamatan Visual Luka Bakar………………………… 45 4.1.10 Pengukuran Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar.……………………………... 47 4.1.11 Pengamatan Histopatologi……………………………… 50 Pembahasan ……………………………………………………. 53 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………………….……………..… ….. 62 5.1 Kesimpulan……………………………………………………... 62 xii 5.2 Saran………………………………………………………......... 62 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 63 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Anatomi Kulit Normal……………………………………............. 5 Gambar 2.2 Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………... 13 Gambar 4.1 Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus……………............. 44 Gambar 4.2 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar...…………………... 49 Gambar 4.3 Hasil Pengamatan Histopatologi Hari Ke-7…..…………………... 51 xiv DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Data Biologis Tikus………………………………………………………. 22 3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………………….. 25 3.2 Formula Basis Krim………………………………………….................... 31 3.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………………………………………………... 32 3.4 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Sel Radang…………... 37 3.5 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Fibroblas…………….. 37 3.6 Kriteria Skoring Parameter Histopatologi Neokapilerisasi………………. 38 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………………………………….. 40 4.2 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ………………………………………………………………….… 41 4.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………………………………………………... 42 4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr……………..…………………… 43 4.5 Pengamatan Rerata Visual Luka Bakar…………………………………... 46 4.6 Luas dan Persentase Penyembuhan Luka………………………………… 48 4.7 Hasil Penilaian Parameter Mikroskopis Pada Preparat Hari Ke-7………………………………………………………………………. 52 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Alur Penelitian…………………………………………………. 72 Lampiran 2. Determinasi Tumbuhan……………………………………….... 73 Lampiran 3. Keterangan Kesehatan Hewan………………………………..... 74 Lampiran 4. Hasil Perhitungan Rendemen…………………………………... 75 Lampiran 5. Hasil Perhitungan Kadar Air…………………………………… 75 Lampiran 6. Hasil Perhitungan Kadar Abu………………………………….. 75 Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku…… 76 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian………………………………………… 77 Lampiran 9. Gambar Pengamatan Perubahan Rerata Luka bakar…………… 78 Lampiran 10. Tahapan Pengukuran Luas Luka Bakar Menggunakan Software ImageJ…..…………………………………………... 81 Lampiran 11. Data Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua………..………………………………………….. 83 Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Luas Luka Bakar Derajat Dua………. 85 Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua….……………………………………………….. 93 Lampiran 14. Hasil Analisa Statistik Berat Badan Tikus………………….... 98 xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar didefinisikan sebagai kerusakan pada kulit yang disebabkan panas berlebih atau bahan kimia kaustik. Proses penyembuhan luka terdiri dari fase inflamasi, fase poliferasi, dan fase maturasi (Tiwari, et al., 2012). Luka bakar dapat berkembang menjadi cedera yang lebih dalam dari waktu ke waktu tergantung pada cedera awal dan lingkungan yang selanjutnya mempengaruhi proses penyembuhannya (DeSanti,. 2005). Cedera yang terjadi pada sel dalam hal ini akibat ind uksi panas yang menyebabkan luka bakar melibatkan serangkaian reaksi yakni reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi akan menghasilkan senyawa radikal bebas yang dapat secara langsung merusak beberapa aspek pada membran sel atau fungsi organ dalam sel dan dapat menginisiasi kaskade sinyal inflamasi yang menghasilkan sejumlah mediator yang menyebabkan sel cedera (AlJawad, et al., 2008). Radikal bebas merupakan molekul dengan satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada kulit terluarnya. Radikal bebas terbentuk dari molekul yang mengalami pemutusan ikatan kimia sehingga setiap bagiannya menyimpan satu elektron. Senyawa radikal bebas yang sangat tidak stabil ini dapat bereaksi dengan substrat organik seperti lemak, protein, dan DNA (Pham- Huy, et al., 2008). Senyawa radikal bebas apabila berelebihan akan menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif terlibat kuat dalam patogenesis cedera yang disebabkan oleh termal (Al-Jawad, et al., 2008). Stress oksidatif dapat dinetralkan oleh sejumlah mekanisme yang ada dalam tubuh manusia yakni dengan memproduksi antioksidan yang secara alami diproduksi dalam sel ataupun diperoleh melalui makanan dan/atau suplemen dari luar tubuh (Pham-Huy, et al., 2008). Sehingga, 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 ketika sejumlah mekanisme dalam tubuh tidak dapat menetralkan stress oksidatif akibat cidera termal dibutuhkan penangkal radikal bebas tambahan dari luar tubuh seperti antioksidan. Antioksidan selain dapat menghambat pembentukan radikal bebas, menangkal produksi berlebih radikal bebas, atau mengganggu beberapa aspek ya ng menyebabkan respon inflamasi, antioksidan terbukti dapat menurunkan resiko kerusakan jaringan, memperbaiki fungsi organ, dan memperbaiki keluaran (Cakir dan Yegen, 2004). Vitamin C, vitamin A, vitamin E, dan Zinc merupakan beberapa contoh antioksidan. Antioksidan juga dapat diperoleh dari tumbuhan. Beberapa penelitian menyebutkan tumbuhan yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar seperti pada ekstrak etanol daun melati dalam penelitian Wibawani, et al (2015), dan ekstrak etanol daun Plectranthus amboinicus dalam penelitian Shenoy, et al (2012). Aktifitas yang dimiliki oleh kedua contoh tumbuhan tersebut tentunya tidak terlepas dari senyawa-senyawa aktif dari golongan metabolit sekunder diantaranya flavonoid dan fenol. Senyawa-senyawa aktif dari golongan metabolit sekunder seperti flavonoid dan fenol juga terdapat pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dan setelah diteliti secara in vitro tumbuhan paku tersebut memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi. Komala, et al (2015) menyebutkan bahwa ekstrak metanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diuji dengan metode DPPH menunjukan aktivitas antiinflamasi yang signifikan dengan persentase inhibisi denaturasi sebesar 49,5 ± 0,2% pada konsentrasi 10 µg/mL dan aktivitas tersebut lebih besar nilainya dibandingkan Na diklofenak dengan persentase inhibisi sebesar 28,5 ± 3,8% pada konsentrasi yang sama. Ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diuji dengan metode anti denaturasi pada BSA menunjukan aktivitas antioksidan yang kuat yakni dengan nilai Antioxidant Activity Index (AAI) 3,8 ± 0,5 walaupun tidak lebih tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 dibandingkan standar Vitamin C dengan nilai AAI 33,5 ± 2,3. Peneilitian tersebut juga menyebutkan bahwa senyawa golongan metabolit sekunder yakni senyawa flavonoid dan fenol yang diperkirakan bertanggung jawab dalam aktivitas antioksidan dan antiinflamasi pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Senyawa flavonoid dan fenol seperti yang disebutkan dalam Wibawani, et al (2015) dan Karimi, et al (2013) berperan dalam aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan proses penyembuhan luka sehingga terdapat potensi pada tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dalam mempengaruhi proses penyembuhan luka dikarenakan aktivitas antioksidan dan antiinflamasi yang dimiliki oleh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Korelasi yang kuat terkait aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan pengaruhnya dalam proses penyembuhan luka bakar seperti yang telah disebutkan menjadi dasar penelitian ini. Oleh karena itu pada penelitian ini peneliti akan menguji pengaruh ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley berdasarkan parameter makroskopis dan mikroskopis. Parameter makroskopis yang diamati adalah perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar. Parameter mikroskopis yang diamati berupa parameter penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. 1.2 Rumusan Masalah Apakah pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. 1.4 Hipotesis Pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu penyemb uhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. 1.5 Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai manfaat tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada penyembuahan luka bakar. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Kulit merupakan organ berlapis dengan banyak fungsi proteksi untuk pertahanan. Lapisan luar epidermis berfungsi sebagai penghalang yang terdiri dari sel yang mati dan keratin yang dapat menghalangi bakteri dan toksin dari lingkungan luar tubuh. Sel epidermis bagian bawah menyediakan sumber sel epidermis baru. Lapisan dermis bagian dalam memiliki fungsi termasuk dalam perbaikan epidermis yang berkelanjutan. Dermis terbagi menjadi dermis papilar dan dermis retikular. Dermis papilar memiliki senyawa bioaktif yang sangat banyak sedangkan dermis retikular memiliki lebih sedikit senyawa bioktif dibandingkan dermis papilar (DeSanti, 2005). Gambar 2.1 Anatomi Kulit Normal Sumber : DeSanti, 2005 5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 2.2 Luka Bakar Luka bakar didefinisikan sebagai kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh panas atau bahan kimia kaustik yang berlebihan. Luka bakar dapat diakibatkan oleh trauma suhu yang berasal dari sumber panas yang kering (api, logam panas), atau lembab (cairan atau gas panas). Gambaran klinis secara umum dari luka bakar antara lain rasa nyeri, pembengkakan, dan lepuhan. Kehilangan fungsi normal kulit menyebabkan komplikasi dalam luka bakar seperti infeksi, kehilangan panas tubuh, peningkatan kehilangan cairan tubuh, kehilangan fungsi sensasi/hiperalgesia, penurunan elastisitas kulit, dan perubahan penampilan (DeSanti, 2005). Cedera luka bakar menghasilkan respon lokal dan respon sistemik. Respon lokal berupa daerah koagulasi yang terjadi pada tempat kerusakan terparah, Kehilangan jaringan yang ireversibel akibat penggumpalan unsur protein terjadi pada daerah tersebut. Daerah yang dikelilingi oleh penurunan perfusi jaringan disebut daerah stasis, daerah ini berpotensi untuk diselamatkan. Tujuan utama penyembuhan luka bakar adalah meningkatkan perfusi pada daerah stasis dan mencegah kerusakan yang ireversibel. Hipotensi yang berkepanjangan, infeksi atau edema dapat mengubah daerah ini menjadi kehilangan jaringan secara keseluruhan. Daerah hiperemia bagian paling luar terjadi peningkatan perfusi jaringan dan daerah ini akan selalu dapat pulih kecuali terdapat sepsis yang parah atau hipoperfusi yang berkepanjangan. Ketiga daerah diatas berbentuk tiga dimensi dan jaringan yang hilang pada daerah stasis dan akan menghantarkan pada pendalaman dan perluasan jaringan yang hilang (Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004). Keparahan luka bakar dapat ditentukan berdasarkan kedalaman luka bakar, ukuran, lokasi, dan umur pasien. Kedalaman luka bakar ditentukan dengan seberapa banyak dari kedua lapisan kulit dihancurkan oleh sumber panas, dan hal tersebut merupakan faktor primer yang menentukan penanganan luka bakar (DeSanti, 2005). UI N Syarif Hidayatullah Jakarta 7 Luka bakar adalah proses dinamis dan dapat berkembang menjadi cedera yang lebih dalam dari waktu ke waktu tergantung pada cedera awal dan lingkungan yang selanjutnya mempengaruhi proses penyembuhannya. Luka bakar terdiri dari lapisan bagian luar dari jaringan yang mati disebut daerah nekrosis dan jaringan hidup di bawah jaringan nekrosis yang masih terkena cedera disebut daerah cedera dan dapat menjadi jaringan mati dari waktu ke waktu tergantung pada derajat cedera dan lingkungan seperti infeksi (DeSanti, 2005). 2.3 Klasifikasi Luka Bakar Menurut Tiwari (2012) penyembuhan luka bakar tergantung kepada kedalaman luka. Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kulit yang terlibat dan kedalaman jaringan sebagai berikut : 1. Luka bakar derajat satu atau luka bakar epitel – eritema kulit tanpa pembengkakan 2. Luka bakar derajat dua – melibatkan epidermis dan dermis dengan ketebalan yang dapat berubah, dan terbagi menjadi dua: 1) Luka bakar derajat dua superfisial – pembengkakan dan inflamasi terlihat pada kulit sampai bagian dermis papilar 2) Luka bakar derajat dua dalam – pembentukan keropeng dan melibatkan dermis retikular dalam 3) Luka bakar derajat tiga – dikenal juga dengan luka bakar ketebalan penuh terbentuk keropeng 2.4 Patofisiologi Luka Bakar (Cakir dan Yegen, 2004) Respon inflamasi lokal dan sistemik terhadap cedera panas sangat kompleks, menghasilkan kerusakan jaringan lokal dan efek sistemik yang merusak pada semua sistem organ lainnya yang jauh dari daerah luka. Inflamasi segera terjadi setelah cedera akibat panas, sedangkan respon sistemik membutuhkan waktu biasanya 5-7 hari setelah cedera terjadi. Perubahan lokal dan pastinya sebagian besar perubahan sistemik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 disebabkan oleh mediator inflamasi. Cedera panas menginisiasi reaksi inflamasi sistemik yakni memproduksi toksin luka bakar dan radikal oksigen sehingga pada akhirnya menyebabkan reaksi peroksidasi. Hubungan antara jumlah produk metabolisme oksidatif dan penangkal alami radikal bebas menentukan kerusakan jaringan lokal dan sistemik, lebih jauh kegagalan fungsi organ. Jaringan yang cedera menginisiasi inflamasi, derajat hipermetabolik dapat menghantarkan pada kegagalan organ sistemik yang parah dan progresif. Terdapat peningkatan bukti bahwa cedera menghasilkan radikal bebas yang melimpah dan merusak mekanisme penangkal radikal bebas alami. Radikal bebas dapat secara langsung merusak beberapa aspek pada membran sel atau fungsi organ dalam sel dan dapat menginisiasi kaskade sinyal inflamasi yang menghasilkan sejumlah mediator yang menyebabkan sel cedera. Antioksidan selain dapat menghambat pembentukan radikal bebas, menangkal produksi berlebih radikal bebas, atau mengganggu beberapa aspek yang menyebabkan respon inflamasi terbukti dapat menurunkan resiko kerusakan jaringan, memperbaiki fungsi organ, dan memperbaiki keluaran. 2.5 Proses Penyembuhan Luka Bakar Tiwari (2012) menyebutkan bahwa fase penyembuha n luka terdiri dari fase inflamasi, fase poliferasi, dan fase maturasi. Ketiga fase tersebut terjadi pada semua tipe luka yang membedakan adalah durasi dari setiap fase 1. Fase Inflamasi Fase inflamasi berlangsung selama 3-5 hari semenjak luka bakar terjadi (McCulloch dan Kloth, 2010). Menurut Tiwari (2012) segera setelah luka bakar respon inflamasi dari tubuh dimulai dan terjadi respon selular dan respon pembuluh. 1) Respon Pembuluh : terjadi terjadi vasodilatasi lokal dengan ekstravasasi cairan. Luka bakar ekstensif meningkatkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 permeabilitas kapiler dan secara umum menyebabkan ekstravasasi yang besar dari plasma dan memerlukan penggantian cairan. 2) Respon Selular : neutrofil dan monosit merupakan sel yang pertama bermigrasi ke daerah inflamasi. Makrofag segera menggantikan neutrofil ketika neutrofil mulai berkurang. Migrasi dari sel-sel tersebut diinisiasi oleh faktor kemotaksis seperti kallkirein pelepasan peptida fibrin dari proses penggumpalan dan substansi yang dilepaskan dari sel mast seperti TNF, histamin, protease, leukotrien, dan sitokin. Respon selular membantu fagositosis dan pembersihan jaringan mati dan toksin yang dilepaskan oleh jaringan yang terkena luka bakar. 2. Fase Poliferasi (Velnar, et al., 2009) Fase poliferasi berlangsung selama 4-20 hari setelah luka bakar terjadi. Setelah reepitelisasi terjadi daerah membran dasar terbentuk diantara dermis dan epidermis. Reepitelisasi pada luka bakar parsial dimulai dalam bentuk migrasi keratinosit dari bagian dermis kulit yang masih hidup beberapa jam setelah terjadi luka bakar. Angiogenesis dan fibrinogenesis membantu penyusunan kembali dermis. Ketika cedera berhenti, haemostasis telah dicapai dan respon imun berhasil sesuai dengan tempatnya, luka akut bergeser menuju perbaikan jaringan. Fase poliferasi dimulai pada hari ketiga setelah cedera dan berakhir sekitar 2 minggu setelahnya. Fase poliferasi ditandai dengan migrasi fibroblas dan endapan matriks ekstraseluler yang baru disintesis, bekerja sebagai pengganti jaringan sementara tersusun atas fibrin dan fibronektin. Pada tingkat makroskopis, fase ini dapat terlihat limpahan pembentukan jaringan granulasi. 1) Migrasi Fibroblas Mengikuti cedera, fibroblas dan miofibroblas yang ada disekeliling jaringan distimulasi untuk berpoliferasi selama 3 hari pertama. Kemudia bermigrasi ke daerah luka dan ditarik oleh faktor seperti TGF-β, PDGF yang dilepaskan oleh sel inflamasi dan platelet. Fibroblas pertama kali UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 muncul di daerah luka pada hari ketiga setela cedera dan akumulasinya membutuhkan modulasi fenotip. Ketika berada di daerah luka fibroblas berpoliferasi sebanyak-banyaknya dan memproduksi matrik protein hialuronat, fibronektin, proteoglikan dan prokolagen tipe 1 dan 3. Semua produk tersebut disimpan di daerah lokal. Pada akhir minggu pertama, limpahan matriks ekstraseluler terakumulasi, dan mendukung migrasi sel dan esensial untuk proses perbaikan. Setelah itu, fibroblas berubah menjadi fenotipe miofibroblas. Pada tahap ini, miofibroblas mengandung berkas aktin di bawah membran plasma dan secara aktif memperpanjang pseudopodia, menempelkan ke fibronektin dan kolagen di matriks ekstraseluler. Kontraksi luka, yang merupakan peristiwa penting dalam proses perbaikan membantu memperkirakan tepi luka kemudian terjadi perpanjangan tarikan sel. Setelah lengkap mengerjakan tugasnya fibroblas dieliminasi melalui apoptosis. 2) Sintesis Kolagen Kolagen penyembuhan merupakan komponen penting luka. Kolagen disintesis oleh pada semua fibroblas. fase Kolagen memberikan integritas dan kekuatan untuk semua jaringan dan memegang peranan penting terutama pada fase poliferasi dan remodeling perbaikan luka. Kolagen bekerja sebagai dasar bagi pembentukan matriks intraseluler di dalam luka. Dermis yang tidak luka mengandung 80% kolagen tipe 1 dan 25% kolagen tipe 3, dimana jaringan granulasi luka mengekpresikam 40% kolagen tipe 3. 3) Angiogenesis dan Pembentukan Jaringan Granulasi Pembaruan dan pembentukan pembuluh darah baru merupakan hal penting dalam penyembuhan luka dan terjadi bersamaan dengan semua fase perbaikan. Untuk menarik neutrofil dan makrofag sejumlah faktor angiogenik disekresikan selama fase haemostasis memicu angiogenesis. Sel endotel yang khas menjawab sejumlah faktor angiogenik termasuk FGF, VEGF, PDGF, angiogenin, TGF-α, dan TGF-β. Keseimbangan yang baik dipelihara dengan kerja faktor inhibitor, seperti angiostatin dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 steroid. Agen inhibitor dan stimulator bekerja pada poliferasi sel endotel secara langsung dan tidak langsung dengan mengaktifkan mitosis, mengembangkan gerak dan dengan stimulasi sel host untuk melepaskan faktor pertumbuhan endotel. Saat kondisi hipoksit, molekul disekresikan dari sekeliling jaringan, mengalakkan poliferasi dan dan pertumbuhan sel endotelial. 3. Fase Maturasi (Velnar, et al., 2009) Fase maturasi atau remodeling berlangsung sejak hari ke-20 sampai satu tahun lebih semejak luka bakar terjadi. Fase remodeling terjadi ditandai dengan terdapatnya protein struktural fibrin (misal : kolagen dan elastin) disekitar epitel, endotel, dan otot halus seperti matriks ekstraselular. Fase resolusi matriks ekstraselular menuju jaringan yang luka dan fibroblas menjadi fenotipe miofibroblas yang bertanggung jawab pada kontraksi bekas luka. Fase resolusi pada luka bakar derajat dua dalam dan luka bakar derajat tiga membutuhkan waktu yang lebih panjang dan biasanya membutuhkan waktu tahunan dan bertanggung jawab pada bekas luka hipertropik dan dan kontraktur. Hiperpigmentasi terjadi pada luka bakar superfisial diakibatkan respon reaktif dari melanosit akibat luka bakar. Hipopigmentasi terjadi pada luka bakar dalam diakibatkan pengancuran melanosit kulit. Fase remodeling bertanggung jawab untuk perkembangan epithelium baru dan pembentukan akhir bekas luka. Sintesis matriks ekstraselular pada fase poliferasi dan remodeling diinisiasi secara bersamaan dengan perkembangan jaringan granulasi. Fase ini dapat berlangsung 1-2 tahun, atau terkadang lebih lama. Remodeling luka akut secara ketat dikontrol oleh mekanisme pengaturan dengan tujuan memelihara keseimbangan antara sintesis dan degradasi, menuju ke penyembuhan normal. Bersamaan dengan pematangan matriks ekstraseluler, diameter serabut kolagen meningkat dan asam hialuronat dan fibronektin terdegradasi. Daya tarik luka meningkat secara progresif sejajar dengan pengumpulan kolagen. Serat kolagen mungkin kembali UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 memperoleh sekitar 80% kekuatan awalnya dibandingkan jaringan yang tidak luka. Kekuatan akhir yang didapat tergantung pada lokalisasi perbaikan dan durasinya, namun kekuatan awal dari jaringan yang asli tidak akan bisa kembali didapat. 2.6 Tumbuhan Paku Paku-pakuan merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang ada di Indonesia yang kaya akan jenisnya, dengan lebih dari 10.000 jenis (Suraida, et al., 2013). Tumbuhan paku merupakan salah satu golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Tumbuhan paku dikelompokkan dalam satu divisi yang jenis-jenisnya telah jelas mempunyai kormus dan dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok yaitu akar, batang dan daun. Tumbuhan paku dapat tumbuh pada habitat yang berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya, tumbuhan paku ditemukan tersebar luas mulai daerah tropis hingga dekat kutub utara dan selatan. Mulai dari hutan primer, hutan sekunder, alam terbuka, dataran rendah, dataran tinggi, lingkungan lembab, basah, rindang, kebun tanaman, pinggiran jalan paku dapat dijumpai (Arini dan Julianus Kinho, 2012). Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang dapat hidup dimana saja (kosmpolitan) (Widhiastuti, et al., 2006). Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi terutama di hutan hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan pegunungan (Ewusie, 1990 dalam Widhiastuti, et al., 2006). Tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan antara lain sebagai tanaman hias, sayuran, dan bahan obat-obatan. Secara tidak langsung, kehadiran tumbuhan paku memberikan manfaat dalam memelihara ekosistem hutan, antara lain dalam pembentukan tanah, pengamanan tanah, pengamanan tanah terhadap erosi, serta membantu proses pelapukan serasah hutan (Arini dan Julianus Kinho, 2012). Tumbuhan paku yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai keperluan pengobatan yaitu Dryopteris expansa yang dapat digunakan sebagai obat penurun panas, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 Lycopodium cernuum untuk obat batuk dan lelah. Blechnum orientale untuk obat bisul dan obat gangguan saluran kencing. Lygodium circinatum dan Drynaria sparsisora untuk obat luka. Jenis tumbuhan paku yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias yaitu Asplenium nidus (paku sarang burung), Pteris vittata, Nephrolepis falcata, Nephrolepis bisserata, dan Davalia denticulata. Sedangkan Gleichenia linearis untuk bahan baku kerajinan tangan, Stenochlaena palutris untuk bahan makanan dan membuat perangkap ikan serta keranjang (Suraida, et al., 2013). Gambar 2.2 Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Sumber : Koleksi Pribadi Nephrolepis falcata kemungkinan berasal di Filipina (Hennequin et al., 2010) dan telah diperkenalkan di tempat lain sebagai tanaman hias (cabi.org, Maret 2016). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 Identitas (cabi.org, Maret 2016) : Nama Ilmiah : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Nama Umum : Fishtail Swordferni Nama Ilmiah Lainnya : 1) Aspidium biserratum var. furcans 2) Nephrolepis barbata Copel. 3) Nephrolepis biserrata var. furcans Hort. ex Bailey 4) Nephrolepis falcata f. furcans 5) Tectaria falcata Cav. Taksonomi : Kingdom : Plantae Divisi : Pteridophyta Kelas : Filicopsida Ordo : Polypodiales Famili : Dryopteridaceae Genus : Nephrolepis Schott Spesies : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. (http://plants.usda.gov, USA Dept. of Agriculture, Maret 2016) Ekstrak metanol tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid dan terpenoid, sedangkan ekstrak etil asetat tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, fenol, dan saponin. Aktivitas biologis yang diketahui terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. adalah antiinflamasi dan antioksidan (Komala, et al., 2015). 2.7 Ekstrak dan Ekstraksi Menurut Farmakope edisi ketiga, ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 Tiwari, et al (2011) juga menyebutkan bahwa variasi dalam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan komposisi metabolit sekunder dari ekstrak bergantung pada : 1) Tipe ekstraksi 2) Waktu ekstraksi 3) Suhu 4) Sifat pelarut 5) Konsentrasi pelarut 6) Polaritas Menurut Tiwari, et al (2011) pemilihan pelarut juga bergantung pada senyawa target yang ingin diekstraksi. Aktivitas ekstrak etanol yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak encer dapat dikaitkan pada adanya jumlah polifenol yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak encer, hal tersebut menandakan bahwa etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi lebih efisien dalam dinding sel dan degradasi biji yang memiliki karakter nonpolar dan menyebabkan polifenol keluar dari sel. Penurunan aktifitas dari ekstrak encer dapat dideskripsikan pada enzim polifenol oksidase yang mendegradasi polifenol dalam ekstrak air, sementara pada ekstrak metanol dan etanol ezim tersebut inaktif. Selain itu, air merupakan media yang lebih baik untuk mikroorganisme tumbuh dibandingkan etano l. Etanol lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran sel untuk mengektraksi komponen intraselular dari tumbuhan. Hampir semua komponen yang teridentifikasi dari tumbuhan aktif melawan mikroorganisme berasal dari senyawa aromatik atau senyawa organik jenuh, sehingga sering digunakan etanol atau metanol pada ekstraksi awal. Etanol dapat mengekstraksi tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol, terpenoid, sterol, dan alkaloid. Metanol lebih polar dibandingkan etanol, dikarenakan sifat sitotoksisitasnya metanol tidak cocok untuk ekstraksi dalam jenis studi tertentu karena dapat menyebabkan hasil yang tidak benar. Metanol dapat mengekstraksi antosianin, terpenoid, saponin, tanin, santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, polifenol. UI N Syarif Hidayatullah Jakarta 16 Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yakni dengan cara tumbuhan utuh atau serbuk kasar tumbuhan dijaga untuk tetap berkontak dengan pelarut di dalam tempat bertutup selama waktu yang ditentukan dengan frekuensi pengocokan sampai senyawa terlarut. Metode ini merupakan metode terbaik untuk senyawa yang termolabil. 2.8 Bentuk Sediaan Krim (Yanhendri dan Yenny, 2012) Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Formulasi krim ada dua, yaitu sebagai emulsi air dalam minyak (W/O), misalnya cold cream, dan minyak dalam air (O/W), misalnya vanishing cream. Krim dipakai pada kelainan kering, superfisial. Krim memiliki kelebihan dibandingkan salep karena nyaman, dapat dipakai di daerah lipatan dan kulit berambut. Krim dipakai pada lesi kering dan superfisial, lesi pada rambut, daerah intertriginosa. Krim O/W memiliki daya pendingin lebih baik dari krim W/O, sementara daya emolien W/O lebih besar dari pada O/W. 2.9 Spesifikasi Bahan untuk Formulasi Sediaan Uji 1) Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktdekanoat, C 18 H36O2 dan asam heksadekanoat, C 16 H32O2 . Pemerian : zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur; putih atau kuning pucat; mirip lemak lilin. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P, dan dalam 3 bagian eter P. Suhu lebur : tidak kurang dari 540 C Titik leleh : 690 -700 C Titik didih : 3830 C UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 Densitas : 0,980 Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik Fungsi : agen pengemulsi, agen pelarut (Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009) 2) Trietanolamin Trietanolamin adalah campuran dari trietanolamina, dietanolamina, monoetanolamina. Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 107,4% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamina, N(C2 H2OH)3 Pemerian : cairan kental; tidak berwarna hingga kuning pucat; bau lemah mirip amoniak; higroskopik Kelarutan : mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut dalam kloroform P. Titik leleh : 200 -210 C Titik didih : 3350 C Bobot jenis : 1,120-1,128 Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya Fungsi : agen pembasa, agen pengemulsi (Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009) 3) Adeps Lanae Lemak bulu domba adalah zat serupa lemak yang dimurnikan, diperoleh dari bulu domba Ovis aries Linne (Familia Bovidae) yang dibersihkan dan dihilangkan warna dan baunya. Mengandung air tidak lebih dari 0,25%. Boleh mengandung antioksidan yang sesuai tidak lebih dari 0,02%. Pemerian : massa seperti lemak, lengket, warna kuning; bau khas Kelarutan : tidak larut dalam air; dapat bercampur dengan air lebih kurang 2 kali beratnya; agak sukar larut dalam etanol dingin; lebih larut dalam etanol panas; mudah larut dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 eter, dan dalam kloroform Jarak lebur : 38-440 C Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, sebaiknya pada suhu kamar terkendali Fungsi : agen pengemulsi (Depkes RI, 1979; Depkes RI, 1995; Rowe, et al., 2009) 4) Paraffin Liquidum Paraffin cair adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak mineral; sebagai zat pemantap dapat ditambahkan tokoferol atau butilhidroksitoluen tidal lebih dari 10 bpj Pemerian : cairan kental, transparan, tidak berflouresensi; tidak berwarna; hampir tidak berbau; hampir tidak mempunyai rasa. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut dalam kloroform P dan dalam eter P. Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya Fungsi : pelarut fase minyak (Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009) 5) Virginia Coconut Oil (VCO) Minyak kelapa berasal dari kernel/ kopra dari kelapa (Cocos nucifera L.). Minyak kelapa murni diperoleh dari kernel segar dan matang kelapa oleh cara mekanis atau alami dengan atau tanpa aplikasi panas, yang tidak menyebabkan perubahan minyak. Pemerian : cairan jernih; bebas dari bau tengik dan rasa asing Fungsi : memudahkan penyerapan pada kulit (ACCP Standard for VCO, n.d.) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 6) Nipagin Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8 H8 O3 Pemerian : serbuk hablur halus; putih; hampir tidak berbau; tidak mempunyai rasa; kemudian agak membakar diikuti rasa tebal Kelarutan : larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P; mudah larut dalam eter P dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam 60 bagian gliserol P panas dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih Suhu lebur : 1250 -1280 C Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik Fungsi : zat pengawet antimikroba (Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009) 7) Nipasol Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C10 H12O 3 Pemerian : serbuk hablur tidak berbau; tidak berasa Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalamlarutan alkali hidroksida Titik didih : 2950 C Suhu lebur : 950 -980 C Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik Fungsi : zat pengawet antimikroba (Depkes RI, 1979; Rowe, et al., 2009) UI N Syarif Hidayatullah Jakarta 20 8) Aquades Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa Titik didih : 1000 C Fungsi : pelarut fase air (Depkes RI, 1979) 2.10 Hewan Percobaan Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkanya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal) (Adiyati, 2011 dalam Mely, 2015). Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Moriwaki, 1994 dalam Mely, 2015). Tikus putih merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Selain Wistar, galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley. Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin (Sirosis, 2005 dalam Mely, 2015). UI N Syarif Hidayatullah Jakarta 21 Taksonomi tikus menurut Besselsen (2004) dalam Mely (2015) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub- filum : Vertebrata Kelas : Mammalia Sub-kelas : Theria Ordo : Rodensia Sub-ordo : Scuirognathi Famili : Muridae Sub- famili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang (lebih panjang dibandingkan tubuh). Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267 -500 gram dan betina 225 -325 gram (Sirois, 2005, dalam Mely 2015). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 Tabel 2.1 Data Biologis Tikus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988 dalam Nuha, 2015) Lama hidup Lama produksi ekonomis Lama bunting Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus kelamin Siklus estrus (berahi Lama estrus Perkawinan Ovulasi Fertilisasi Implantasi Berat dewasa Suhu (rektal) Pernapasan Denyut jantung Tekanan Darah Konsumsi oksigen Sel darah merah Sel darah putih SGPT SGOT Kromosom Aktivitas Konsumsi makanan Konsumsi minuman 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 1 tahun 20-22 hari 40-60 hari 8-10 minggu (jantan dan betina) Poliestrus 4-5 hari 9-20 jam Pada waktu estrus 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan 7-10 jam sesudah kawin 5-6 hari sesudah fertilisasi 300-400 g jantan; 250-300 g betina 36-39oC (rata-rata 37,5o C) 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stress 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan anestesi, naik sampai 550 dalam stress 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi 1,29-2,68 ml/g/jam 7,2-9,6 x 106 /mm3 5,0-13 0 x 103 /mm3 17,5-30,2 lU/liter 45,7-80,8 IU/liter 2n=42 nokturnal (malam) 15-30 g/hari (dewasa) 20-45 ml/hari (dewasa) UI N Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bertempat di Laboratorium Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Kimia Obat, dan Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 hingga bulan Agustus 2016 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain gunting, pisau, botol maserasi, erlenmeyer, batang pengaduk, corong, erlenmeyer, rotary evaporator, water bath, spatula, gelas ukur, batang pengaduk, beaker glass, kapas, alumunium foil, termometer, tabung reaksi, pipet tetes, tanur, cawan penguap, krus porselen, kaca arloji, botol timbang, lumpang, alu, pH meter, hot plate, pipet tetes, kaca objek dan penutupnya, mikroskop, timbangan hewan, kandang tikus, tempat makanan tikus, tempat minum tikus, masker, handscoon, spuit 1 cc, pinset, gunting bedah, alcohol swab, wadah pembiusan, plat logam berukuran 4 x 2 cm. 3.2.2 Bahan Uji Bahan uji pada penelitian ini adalah ekstrak etanol tumbuhan Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diambil dari lingkungan sekitar kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dideterminasi di 23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Science) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Center for Plant Conservation Botanic Gardens), Indonesia. 3.2.3 Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain, etanol 96%, alkohol 70%, larutan HCl, kloroform, amoniak, pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, serbuk Mg, amil alkohol, larutan NaOH, FeCl3 1%, FeCl3 , HCl 2 M, HCl Pekat, anhidrida asetat, H2 SO 4 Pekat, asam asetat glasial, eter, asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, parafin liquid, nipagin dan nipasol, akuades, larutan dapar pH 4,5 dan pH 6,5, krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®), cairan injeksi ketamin 50 mg/ml, Veet®, formalin buffer 10%, pakan tikus, larutan hematoksilin eosin. 3.3 Hewan Uji Peneiltian ini menggunakan hewan uji berupa tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 100 - 150 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor. 3.4 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley yang dibagi ke dalam 5 kelompok masing- masing kelompok terdiri dari 6 tikus. Kelompok kontrol negatif diberikan basis krim sediaan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, kelompok kontrol positif diberikan krim silver sulfadiazine 1% (Burnazin Cream 35 G®), kelompok uji konsentrasi 2,5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 2,5%, kelompok uji konsentrasi 5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 5%, dan kelompok uji konsentrasi 10% diberikan sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 10%. Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Kelompok Perlakuan Kontrol negatif Pemberian basis sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Kontrol positif Pemberian sediaan krim silver sulfadiazine 1% (Burnazin Cream 35 G®) Pemberian sediaan krim ekstrak etanol Uji konsentrasi 2,5% tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi Jumlah Tikus Frekuensi Perlakuan Lama Perlakuan 6 2 x sehari pada pagi dan sore hari 21 hari 6 2 x sehari pada pagi dan sore hari 21 hari 6 2 x sehari pada pagi dan sore hari 21 hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 2,5% Uji konsentrasi 5% Pemberian sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 5% Uji konsentrasi 10% Pemberian sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 10% 6 2 x sehari pada pagi dan sore hari 21 hari 6 2 x sehari pada pagi dan sore hari 21 hari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 3.5 Kegiatan Penelitian 3.5.1 Determinasi Tumbuhan Sejumlah sampel tumbuhan paku di lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diperoleh, terlebih dahulu dideterminasi untuk memastikan kebenaran jenis tumbuhan tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan untuk uji. Determinasi tumbuhan paku ini dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Science) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Center for Plant Conservation Botanic Gardens), Indonesia. 3.5.2 Penyiapan Simplisia Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diambil di sekitar lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagian tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang digunakan adalah bagian batang dan daun. Pengambilan sampel tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menggunakan gunting pemotong dan dipilih bagian tumbuhan yang segar dan masih dalam keadaan baik. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah dipilih lalu ditimbang beratnya menggunakan timbangan dan dicatat berat sampel basah tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang didapatkan. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah ditimbang langsung dicuci dengan air mengalir lalu dikering anginkan sampai batang dan daun tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut dapat dipatahkan. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah dikeringkan kemudian disortasi kering lalu dihaluskan menggunakan blender untuk mendapatkan serbuk simplisia. Serbuk simplisia tersebut kemudian ditempatkan dalam wadah tertutup terhindar dari cahaya matahari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 3.5.3 Pembuatan Ekstrak Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrasksi tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr adalah metode ekstraksi cara dingin yakni maserasi. Serbuk simplisia tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dimaserasi menggunakan pelarut etanol 96% dalam wadah botol maserasi tertutup berwana gelap. 1.500 mL pelarut etanol 96% dimasukan ke dalam wadah berisi 554 gram serbuk simplisia tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, setelah itu dilakukan sesekali pengadukkan. Remaserasi dilakukan hingga pelarut yang digunakan untuk maserasi telah berwarna bening yang diasumsikan bahwa tidak ada lagi senyawa yang belum tertarik dari sampel tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut. Simplisia yang telah dimaserasi disaring menggunakana kapas untuk mendapatkan maserat. Maserat dihilangkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak kental yang didapatkan dihitung rendemennya dengan menggunakan rumus berikut ini: % rendemen = 3.5.4 x 100 Skrining Fitokimia Dilakukan skrining fitokimia pada esktrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk memastikan bahwa senyawa flavonoid dan fenol terdapat pada ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang akan diujikan. 3.5.4.1 Identifikasi Flavonoid Sejumlah ekstrak diteteskan beberapa tetes larutan NaOH. Ekstrak dikatakan positif mengandung flavonoid jika terbentuk warna kuning yang kuat dan menjadi tak berwarna pada penambahan asam encer. (Somkuwar dan Kamblel, 2013) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 3.5.4.2 Identifikasi Fenol Sejumlah ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan FeCl3 . Ekstrak dikatakan positif mengandung fenol jika terbentuk warna hitam kebiruan. (Tiwari, et al., 2011) 3.5.5 Standardisasi Ekstrak 3.5.5.1 Penentuan Parameter Spesifik (Depkes RI, 2000) 1. Deskripsi tata nama: 1) Nama ekstrak (generik, dagang, paten) 2) Nama latin tumbuhan (sistematika botani) 3) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb) 4) Nama Indonesia tumbuhan 2. Organoleptik 1) Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair 2) Warna : kuning, coklat, dll 3) Bau : aromatik, tidak berbau, dll 4) Rasa : pahit, manis, kelat, dll 3.5.5.2 Penentuan Parameter Non Spesifik 1. Parameter Kadar Air Penentun kadar air bertujuan untuk memberikan batasan maksimal kandungan air di dalam sediaan, karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam sediaan. Ditimbang 10 g ekstrak dan dimasukkan ke dalam wadah yang sebelumnya telah ditara. Keringkan wadah berisi ekstrak tersebut pada suhu 105o C selama 5 jam dan ditimbang (Departemen Kesehatan RI, 2000). Kadar Air = × 100% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 2. Parameter Kadar Abu Sejumlah 2 g ekstrak ditimbang dengan seksama dalam krus yang telah ditera, dipijarkan perlahan- lahan. Kemudian suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25o C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta ditimbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen berat sampel awal. (Departemen Kesehatan RI, 2000 dalam Anam, 2011) Kadar Abu = 3.5.6 × 100% Pembuatan Krim Ekstrak Sediaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan krim yang mengandung ekstrak etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%. Pemilihan konsentrasi didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai tumbuhan paku Blechnum orientale Linn oleh Lai, et al (2011) yang menyebutkan bahwa konsentrasi 2% dari ekstrak metanol tumbuhan paku Blechnum orientale Linn memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar yang signifikan dan penelitian lain tumbuhan paku Lygodium flexuosum oleh Wasiullah (2014) yang menyebutkan bahwa konsentrasi 5% dari ekstrak Lygodium flexuosum memiliki aktivitas penyembuhan luka bakar. Sehingga konsentrasi 5% dipilih sebagai konsentrasi sedang dan dibuat 2 konsentrasi lainnya yang merupakan 1/2 kali dan 2 kali lipat konsentrasi 5% yakni konsentrasi 2,5% sebagai konsentrasi rendah dan 10% sebagai konsentrasi tinggi. Masing- masing sediaan krim dibuat sebanyak 50 gram. Formulasi sediaan krim dipilih berdasarkan penelitian Rahim, et al (2011) mengenai formulasi krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang memiliki kandungan senyawa diantaranya flavonoid dan polifenol. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 Penelitian tersebut menyebutkan formula pada tabel 3.2 sebagai basis sediaan krim ekstrak etanol daun ubi jalar mampu memberikan efektifitas lebih cepat dibandingkan formula lainnya. Selain itu secara umum sediaan krim mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit, mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada luka yang basah, dan terdistribusi merata. Tabel 3.2 Formula Basis Krim (Rahim, et al., 2011) Asam stearat 14,5 gram Trietanolamin (TEA) 1,5 mL Adeps lanae 3 gram Paraffin liquidum 5 mL Virgin Coconut Oil (VCO) 20 mL Nipagin 0,1 gram Nipasol 0,05 gram Aquadest ad 100 mL Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan basis krim ditimbang. Fase minyak (paraffin liquidum, asam stearat, adeps lanae, dan VCO) dalam cawan penguap dilebur diatas water bath pada suhu 60-70C. Fase air (nipagin, nipasol, TEA, dan akuades) dalam cawan penguap yang lain dilebur di atas water bath pada suhu 60-70C. Pada suhu 60-70o C fase minyak yang telah lebur dimasukan kedalam lumpang dan dicampur dengan fase air yang juga sudah dilebur sambil terus diaduk dengan alu. Pengadukan terus dilakukan hingga suhu menurun dan terbentuk massa krim yang homogen. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 Tabel 3.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Sediaan Konsentrasi Berat Ekstrak Ekstrak Etanol Etanol Tumbuhan Basis Krim Tumbuhan Paku Nephrolepis add Nephrolepis falcata (Cav.) falcata (Cav.) C. Chr C. Chr Kontrol Negatif - 50 g - Uji Konsentrasi 2,5% 2.5% 50 g 1.25 g Uji Konsentrasi 5% 5% 50 g 2.5 g Uji Konsentrasi 10% 10% 50 g 5g Masing- masing sedian krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dengan konsentrasi yang berbeda dibuat dengan cara menimbang ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr sesuai dengan perhitungan yakni 1.25 gram ekstrak etanol Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk sediaan krim uji konsentrasi 2.5%, 2.5 gram ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk sediaan krim uji konsentrasi 5%), dan 5 gram ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr untuk sediaan krim uji konsentrasi 10%. Ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan basis krim sedikit demi sedikit hingga 50 gram sambil terus diaduk. Campuran tersebut diaduk hingga homogen dan disimpan dalam wadah krim yang sudah diberi label. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 3.5.7 Evaluasi Sediaan Krim 3.5.7.1 Pengamatan Organoleptik Pemeriksaan pemerian sediaan krim terdiri dari pemeriksaan bentuk, warna, dan bau (Depkes RI, 1985 dalam Agustin, et al., 2013). 3.5.7.2 Homogenitas Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan krim yang telah dibuat pada kaca objek, kemudian dikatupkan dengan kaca objek lainnya dan dilihat apakah basis tersebut homogen dan apakah permukaannya halus merata. (Harun, 2014) 3.5.7.3 Pemeriksaan pH Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi. Pemeriksaan pH dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam krim yang telah dibuat. pH sediaan krim yang dihasilkan diharapkan memenuhi rentang pH sediaan topikal yang tidak menimbulkan iritasi kulit dan mendekati pH kulit normal yakni tidak kurang dari 4 dan tidak lebih dari 8 (Paudel, et al., 2010) 3.5.8 Persiapan He wan Uji Hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley didatangkan 7 hari sebelum eksperimen untuk memberikan waktu kepada tikus beradaptasi dengan lingkungannya. Masing- masing tikus ditempatkan pada 1 kandang plastik terpisah, dialasi sekam, dan diberi tutup berupa jaring kawat. Tikus diberikan akses makanan dan minuman. Tikus dipantau kesehatannya dan diukur berat badannya setiap hari. (Ma, et al., 2015). Hewan uji yang telah selesai digunakan untuk penelitian dieutanasia dengan eter berlebih, setelah itu hewan uji yang telah dipastikan mati, dibungkus dengan kertas dan dikubur di dalam tanah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 3.5.9 Perlakuan Hewan Uji 3.5.9.1 Pembuatan Luka Bakar Pembuatan luka bakar derajat dua dilakukan mengacu kepada penelitian Akhoondinasab, et al (2014) dan Verma, et al (2012) dengan sedikit modifikasi yakni dengan cara tikus setelah dianestesi menggunakan injeksi ketamin 50 mg/kg secara intramuskular rambut tikus dibagian dorsal digunting, kemudian dioleskan dengan krim depilatori (krim Veet®) selama 3-5 menit dan dicukur. Daerah dorsal yang telah dicukur lalu dibersihkan dengan alkohol 70%. Pembuatan luka bakar pada tikus dilakukan dengan plat logam berukuran 4 x 2 cm yang sebelumnya telah dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Plat besi tersebut kemudian ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus yang telah dicukur. 3.5.9.2 Pemberian Bahan Uji Tikus yang sudah dilukai bakar masing- masing diberi bahan uji berdasarkan kelompok perlakuan. Tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley sebanyak 30 ekor dibagi ke dalam 5 kelompok. Kelompok kontrol negatif diberikan basis krim sediaan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Kelompok kontrol positif diberikan krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®). Kelompok uji konsentrasi 2,5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 2.5%. Kelompok uji konsentrasi 5% diberikan sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 5 %. Kelompok uji konsentrasi 10% diberikan sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr konsentrasi 10%. Frekuensi perlakuan dilakukan sejak hari dibuatnya luka bakar hingga hari ke 21 atau hingga terlepasnya keropeng (Shenoy, et al., 2012). Frekuensi perlakuan yakni 2 x sehari yakni pada pagi dan sore hari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 (Balqis, et al., 2014; Farahpour, et al., 2014). Luas pemberian basis krim sediaan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, krim silver sulfadiazin 1% (Burnazin Cream 35 G®), dan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menutupi luka yang telah dibuat. 3.5.10 Pengamatan Penye mbuhan Luka Bakar Pengamatan penyembuhan luka dilakukan selama 21 hari. Pengamatan visual secara makroskopis dilakukan dengan pengamatan langsung setiap hari dimulai pada hari yang sama setelah pembuatan luka. Luas luka diukur dengan aplikasi ImageJ (Nuha, 2015). Persentase penyembuhan luka dihitung dengan rumus : Dimana : A = luas rata-rata A0 = luas luka setelah pembuatan luka Ax = luas luka pada hari dilakukan pengamatan Pengamatan visual secara mikroskopis dilakukan dengan dengan mengamati preparat histopatologi pada hari ke 7. Pemilihan pengamatan preparat histopatologi pada hari ke 7 didasarkan pada penelitian Cakir dan Yegen (2004) yang menyebutkan TGF-β merupakan kemoatraktif kuat monosit, neutrofil, dan fibroblas, merangsang banyak aspek perbaikan jaringan. Tingkat TNF-β plasma meningkat pada hari ke-6 sampai ke-8 setelah terjadinya luka. Sehingga pada waktu hari ke 7 kemungkinan parameter mikroskopis yang akan diamati seperti sel radang, fibroblas, neokapilerisasi, dan reepitelisasai bisa teramati. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 3.5.11 Eksisi Jaringan Kulit Tikus Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke 7 dari kelima kelompok diambil masing- masing 1 ekor tikus. Tikus pada setiap kelompok dieutanasia dengan eter. Pada bagian kulit yang luka dan disekeliling daerah luka dibuat eksisi dan fiksasi dengan formalin 10% (Nasiri et al., 2015; Bairy et al., 2011). 3.5.12 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Tikus Jaringan kulit yang diperoleh kemudian dibuat preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut Balqis, et al (2014) teknik pembuatan preparat histopatologis jaringan tikus adalah dengan cara jaringan kulit yang sudah dieksisi dimasukkan ke dalam larutan formalin 10%. Waktu fiksasi jaringan 18-24 jam. Setelah fiksasi selesai, jaringan didehidrasi dalam larutan aseton 2x masing- masing selama 1 jam. Selanjutnya pada jaringan dilakukan clearing dalam larutan kloroform 2x masing- masing selama 1 jam. Kemudian jaringan diinfiltrasi dalam larutan kloroform paraffin selama 1,5 jam dan paraffin infiltrasi selama 1,5 jam. Jaringan ditanam pada paraffin block. jaringan yang sudah padat dipotong setebal 5 mikron dengan mikrotom. Potongan jaringan ditempelkan pada kaca objek yang sebelumnya telah diolesi albumin- gliserin sebagai perekat. Jaringan pada kaca objek diletakksn di atas hot plate hingga mengering. Kemudian diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) untuk pemeriksaan mikroskopik. 3.5.13 Pengamatan Preparat Histopatologi Parameter yang diamati pada preparat histopatologi yang telah diwarnai dengan pewarna hematoksilin eosin (HE) pada 20 lapang pandang menggunakan mikroskop cahaya Olympus SZ61 dengan perbesaran 100x, 200x, dan 400x. Parameter-parameter pengamatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblast, neokapilerisasi, dan reepitelisasi setelah diamati selanjutnya dinilai dengan metode skoring sebagai berikut : Tabel 3.4 Krite ria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Sel Radang (Mawarti, et al., 2014) Skor Jumlah Sel Radang Sel radang menyebar dengan kepadatan +1 rendah (1 – 50 sel per lapang pandang) Sel radang menyebar dengan kepadatan +2 sedang ( > 50 - 100 sel per lapang pandang) Sel radang menyebar dengan kepadatan rapat +3 ( > 1 – 100 sel per lapang pandang) Sel radang menyebar dengan kepadatan +4 sangat ( > 200 sel per lapang pandang) Tabel 3.5 Krite ria Skoring Parameter Histopatologi Jumlah Fibroblas (Duarte, et al., 2011) Skor Jumlah Fibroblas 0 Tidak ada fibroblas 1 Sedikit fibroblas 2 Fibroblas tidak beraturan 3 Fibroblas sejajar dengan permukaan luka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 Tabel 3.6 Krite ria Skoring Parameter Histopatologi Neokapilerisasi (Mehrabani, et al., 2009) dalam (Hosseini, S.V., et al 2011) Skor 0 1 2 3 4 Neokapilerisasi Tidak ada angiogenesis, ada kongesti, pendarahan, edema 1 – 2 pembuluh per jaringan, edema, pendarahan, kongesti 3 – 4 pembuluh per jaringan, edema sedang, kongesti 5 – 6 pembuluh jaringan, edema ringan, kongesti Lebih dari 7 pembuluh per jaringan tersimpan secara vertikal menuju permukaan epitel 3.5.14 Rencana Analisis Data Data yang diperoleh berupa waktu dan luas penyembuhan luka, histopatologi (penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi) diuji secara statistik. Analisis data hasil uji menggunakan software pengolah data dan disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi dari masing- masing kelompok. Data dianalisis dengan uji One-Way ANOVA dan uji Paired T Data statistik signifikan pada nilai P < 0,05. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Determinasi Tumbuhan Sampel tumbuhan diambil di sekitar lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Science) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Center for Plant Conservation Botanic Gardens). Sampel tumbuhan tersebut dinyatakan sebagai tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. 4.1.2 Penyiapan Simplisia Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang masih segar dan dalam keadaan baik diambil bagian batang dan daunnya pada bulan Desember 2015. Didapatkan 2 kg sampel segar tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Sampel segara tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut selanjutnya dicuci dengan air mengalir dan dikering anginkan sampai batang dan daun tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tersebut dapat dipatahkan. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender dan didapatkan 554 g serbuk simplisia. 4.1.3 Ekstraksi Sebanyak 554 g serbuk simplisia tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang didapatkan selanjutnya dimaserasi dengan etanol 96%. Hasil maserasi diuapkan dengan Rottary Evaporator untuk menghilangkan pelarutnya hingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak 39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 kental yang diperoleh sebanyak 56,07 gram dengan persentase rendemen 10,12%. 4.1.4 Skrining Fitokimia Skrining fitokimia ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang dilakukan pada penelitian ini adalah identifikasi golongan senyawa flavonoid dan fenol. Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Golongan Hasil Kimia Pengamatan 1 Flavonoid + Terbentuk warna kuning 2 Fenol + Terbentuk warna hitam kebiruan No Keterangan Hasil uji identifikasi flavonoid pada ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menghasilkan warna kuning sedangkan uji identifikasi fenol menghasilkan warna hitam kebiruan, hal ini menunjukkan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr positif mengandung senyawa flavonoid dan fenol. 4.1.5 Standardisasi Ekstrak Standardisasi ekstrak bertujuan untuk menjamin mutu dan kualitas suatu produk obat tradisional. Standardisasi ekstrak terdisri dari penentuan parameter spesifik dan non spesifik. Hasil penentuan parameter spesifik dan non spesifik ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr disajikan dalam tabel 4.2. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 Tabel 4.2 Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Parameter Spesifik Deskripsi Tata Nama Parameter Hasil Nama latin tumbuhan Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Nama Indonesia tumbuhan Paku pedang, paku sepat Bagian tumbuhan yang digunakan Batang dan daun Nama ekstrak Ekstrak Etanol Paku Organoleptis Parameter Hasil Bentuk Ekstrak kental Warna Hijau tua kehitaman Bau Khas ekstrak Parameter Non Spesifik Parameter Hasil Kadar air 2,82% Kadar abu 5,53% Tabel 4.2 menunjukkan hasil uji parameter spesifik dan nonspesifik dari ekstrak tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Hasil uji parameter non spesifik berupa kadar air didapatkan sebesar 2,82% sesuai dengan syarat kadar air untuk ekstrak bahan alam yaitu ≤ 10% (Depkes RI, 1994 dalam Ratnani, et al., 2015). Parameter nonspesifik berupa kadar abu didapatkan sebesar 5,53% sesuai dengan syarat kadar abu untuk ekstrak bahan alam yakni tidak boleh lebih dari 10,2 % (Depkes RI, 2009 dalam Ratnani, et al., 2015). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 4.1.6 Pembuatan Krim Ekstrak Sediaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan krim yang mengandung ekstrak etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%. Tabel 4.3 Formula Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Sediaan Konsentrasi Berat Ekstrak Ekstrak Etanol Etanol Tumbuhan Basis Krim Tumbuhan Paku Nephrolepis add Nephrolepis falcata (Cav.) falcata (Cav.) C. Chr C. Chr Kontrol Negatif - 50 g - Uji Konsentrasi 2,5% 2.5% 50 g 1.26 g Uji Konsentrasi 5% 5% 50 g 2.53 g Uji Konsentrasi 10% 10% 50 g 5.07 g Sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang digunakan pada penelitian ini dibuat dengan menambahkan 1.26 g, 2.5 g, dan 5.07 gram ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ke dalam basis krim untuk masingmasing sediaan krim uji konsentrasi 2.5%, 5%, dan 10% secara berturutturut. Pembuatan basis krim dilakukan dengan mencampurkan fase minyak dan fase air yang masing- masing telah dilebur secara terpisah pada suhu 60-70o C. Pencampuran fase minyak dan fase air dilakukan di dalam lumpang dan di aduk dengan alu hingga suhu menurun dan terbentuk massa krim yang homogen. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 4.1.7 Evaluasi Sediaan Krim Evaluasi sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr disajikan dalam tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr Evaluasi Warna Organoleptik Bentuk Bau Homogenitas pH Sediaan Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Hasil Putih Susu Hijau muda Hijau Hijau tua Setengah Padat Setengah Padat Setengah Padat Setengah Padat Lemah Khas ekstrak Khas ekstrak Khas ekstrak Homogen Homogen Homogen Homogen 7,22 6,59 6,52 6,21 Tabel 4.2 menunjukkan semua sediaan krim yang dibuat homogen. pH sediaan krim yakni 6,59, 6,52, 6,21, dan 7,22 untuk sediaan krim uji konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, dan kontrol negatif secara berturu-turut. pH sediaan krim yang dihasilkan memenuhi rentang pH sediaan topikal yang tidak menimbulkan iritasi kulit, optimal untuk absorbsi sediaan mela lui kulit, dan mendekati pH kulit normal yakni tidak kurang dari 4 dan tidak lebih dari 8 (Paudel, et al., 2010). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 4.1.8 Pengukuran Berat Badan Tikus Berat badan tikus ditimbang setiap hari dan profilnya disajikan dalam gambar grafik berat badan mingguan tikus yang disajikan pada gambar 4.1. 260 250 Berat Badan (gram) 240 230 220 Kontrol Negatif 210 Kontrol Positif 200 Uji Konsentrasi 2.5% 190 Uji Konsentrasi 5% 180 Uji Konsentrasi 10% 170 160 150 0 7 14 21 Waktu Pengukuran Berat Badan Hari Ke Gambar 4.1 Grafik Rerata Pengukuran Berat Badan Tikus Profil berat badan tikus pada gambar 4.1 menggambarkan bahwa berat badan tikus meningkat pada semua kelompok perlakuan, hal tersebut menggambarkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tikus tidak menyebabkan penurunan berat badan pada tikus. Hasil statistik data berat badan tikus menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada peningkatan berat badan antara semua kelompok perlakuan pada hari ke-21 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak uji tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan tikus. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 4.1.9 Pengamatan Vis ual Luka Bakar Hasil pengamatan perubahan rerata visual pada luka bakar dilakukan sejak hari pembuatan luka hingga 21 hari pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%. Hasil pengamatan perubahan rerata visual pada luka bakar dapat dilihat pada tabel 4.5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 Tabel 4.5 Pengamatan Rerata Visual Luka Bakar Perlakuan Kontrol Negatif Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Keterangan Warna Terbentuk Keropeng Keropeng Terlepas Warna Terbentuk Keropeng Keropeng Terlepas Warna Terbentuk Keropeng Keropeng Terlepas Warna Terbentuk Keropeng Keropeng Terlepas Warna Terbentuk Keropeng Keropeng Terlepas Hari Ke 10 12 14 CT CT CT 0 P 2 PC 4 PC 6 PC 8 CT - - - - √ √ √ - - - - - - P PC CT CT CT - - √ √ - - - P PC - Keterangan: 16 CT 18 CT 20 CT 21 CT √ √ √ √ √ - - - - - - CT CT CT CT CT CM TB √ √ √ √ √ √ √ - - - - - - - - - √ CT CT CT CT CT CM CM TB TB TB - √ √ √ √ √ √ √ - - - menunjukkan fase - - - - - - - - - √ √ √ poliferasi awal sedangkan P PC CT CT CT CT CT CT CM TB TB TB - - √ √ √ √ √ √ √ - - - P = Putih PC = Putih kecokelatan CT = Cokelat Tua CM = Cokelat kemerahan TB = Tidak Berwarna ( √ ) = Ada ( - ) = Tidak Ada Terbentukanya keropeng terlepasnya keropeng menunjukkan telah terbentuknya sel-sel baru - - - - - - - - - √ √ √ P PC CT CT CT CT CT CM CM CM CM TB - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - - - - - - - - - - √ pada kulit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 Perubahan warna pada hari ke 0 hingga hari ke-21 menunjukkan adanya proses penyembuhan luka. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kontrol negatif, positif, dan uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% berpengaruh terhadap penyembuhan luka bakar. Hasil pengamatan visual luka bakar menunjukkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke- 4 hingga hari ke-21 pada kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji, sedangkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke-8 hingga lebih dari hari ke-21 pada kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh dalam mempercepat waktu penyembuhan luka dibandingkan kelompok kontrol negatif. 4.1.10 Pengukuran Luas Luka dan Pe rsentase Penyembuhan Luka Baka r Data luas luka bakar yang diperoleh menggunakan software ImageJ selanjutnya dianalisis menggunakan statistik. Tabel 4.3 menggambarkan bahwa luas luka tikus mengalami penurunan pada semua kelompok perlakuan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 Tabel 4.6 Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar Perlakuan Kontrol Negatif Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Rerata Luas Luka Awal (cm2 ) Rerata Luas Luka Akhir (cm2 ) Rerata Penuruan Luas Luka Hari Ke (cm2 ) ± SD Rerata Persentase Penyembuhan Luka Hari Ke (%) 6,68 ± 0,38 1,09 ± 1,00 5,59 ± 1,22 83,33 6,03 ± 0,39 0,33 ± 0,64 5,71 ± 0,55 94,86 7,35 ± 0,47 0,21 ± 0,32 7,14 ± 0,77 96,92 7,14 ± 0,65 0,18 ± 0,25 6,95 ± 0,51 97,61 7,11 ± 0,74 0,34 ± 0,46 6,77 ± 1,12 94,71 Hasil uji statistik normalitas dan homogenitas data parameter penurunan luas luka bakar menunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal dan homogen dengan (p > 0,05). Hasil uji Paired T menunjukkan terdapat perbedaan signifikan penurunan luas luka bakar pada masingmasing kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap penurunan luas luka bakar. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rerata Persentase Penyembuhan Luka Bakar (%) 49 100 90 80 70 Kontrol Negatif 60 Kontrol Positif 50 Uji Konsentrasi 2,5% 40 Uji Konsentrasi 5% 30 Uji Konsentrasi 10% 20 10 0 Gambar 4.2 Grafik Persentase Penyembuhan Luka Bakar Analisis statistik normalitas dan homogenitas data parameter persentase penyembuhan luka menunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal dan homogen (p > 0,05) sehingga data lebih lanjut dianalisis menggunakan uji One-Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference). Didapatkan hasil uji One-Way ANOVA dengan nilai p > 0,05 yang menandakan persentase penyembuhan luka antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan. Hasil uji LSD (Least Significant Difference) menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan persentase penyembguhan luka bakar antara kelompok kontrol negatif terhadap kelompok kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pada kelompok kontrol positif tidak efektif terhadap penyembuhan luka karena menghasilkan persentase penyembuhan luka yang tidak besar perbedaannya dengan persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan signifikan persentase penyembuhan luka antara kelompok uji konsentarasi 2,5%, 5%, dan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa baik uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% memiliki potensi yang sama besarnya. Tidak terdapat perbedaan signifikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 persentase penyembuhan luka antara kelompok kontrol negatif terhadap kelompok uji konsentrasi 10%. Hal ini menunjukkan perlakuan uji konsentrasi 10% tidak berpengaruh terhadap persentase penyembuhan luka dibandingkan kontrol negatif. Terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol negatif terhadap kelompok uji konsentrasi 2,5% dan 5% (p < 0,05). Hal ini menunjukkan pemberian esktrak uji 2,5% dan 5% berpengaruh terhadap persentase penyembuhan luka dibandingkan kontrol negatif, sehingga uji konsentrasi 2,5% dan 5% adalah konsentarsi uji yang optimal yang berpengaruh terhadap persentase penyembuhan luka. 4.1.11 Pengamatan Histopatologi Pengamatan preparat histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 100x, 200x, dan 400x dapat dilihat pada gambar 4.5. Preparat histopatologi yang telah diamati selanjutnya diberikan skor sesuai dengan masing- masing parameter yang diamati berupa jumlah sel radang, jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Hasil skoring histopatologi dapat dilihat pada tabel 4.5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 Kelompok Perlakuan Perbesaran 100x Perbesaran 200x Perbesaran 400x Kontrol Negatif Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Gambar 4.3 Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hari Ke -7 (Panah merah me nunjukkan pe mbuluh darah, panah kuning menunjukkan sel radang, dan panah biru menunjukkan fibroblas) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 Tabel. 4.7 Hasil Penilaian Parameter Mikroskopis Pada Pre parat Hari Ke-7 Kelompok Perlakuan Neokapilerisasi Fibroblas Jumlah Sel Radang Kontrol Negatif 1 1 +3 Kontrol Positif 2 2 +1 Uji Konsentrasi 2,5% 2 2 +1 Uji Konsentrasi 5% 2 2 +1 Uji Konsentrasi 10% 2 2 +1 Keterangan: 1 = 1 – 2 neokapilerisasi per jaringan; sedikit fibroblas; susunan epidermis tidak utuh pada ≥ 50% jaringan; +1 = sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 – 50 sel per lapang pandang); 2 = 3 – 4 neokapilerisasi per jaringan; fibroblas tidak beraturan; poliferasi epitel sedang pada ≥ 60% jaringan; +2 = sel radang menyebar dengan kepadatan sedang ( > 50 - 100 sel per lapang pandang) 3 = 5 – 6 neokapilerisasi per jaringan; fibroblas sejajar dengan permu kaan luka; remodeling epidermis utuh dalam 80% jaringan; +3 = sel radang menyebar dengan kepadatan rapat ( > 1 – 100 sel per lapang pandang) Tabel 4.7 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan jumlah sel radang yang lebih sedikit dibandingkan kontrol negatif. Hasil skor parameter jumlah fibroblas pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan jumlah fibroblas yang lebih banyak dibandingkan kontrol negatif. Hasil skor parameter neokapilerisasi pada tabel 4.7 menunjukan bahwa perlakuan kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi) yang lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol negatif. Hal ini menujukkan bahwa pemberian ektrak etanol tumbuhan paku Nephrolpis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 4.2 Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terhadap penyembuhan luka bakar. Parameter yang diamati berupa parameter makroskopis dan mikroskopis. Parameter makroskopis yang diamati adalah perubahan rerata visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar. Parameter mikroskopis yang diamati berupa parameter penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. Penelitian dimulai dengan melakukan determinasi tumbuhan. Determinasi tumbuhan bertujuan untuk memastikan bahwa sampel tumbuhan yang digunakan pada penelitian adalah benar merupakan tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang masih segar dan dalam keadaan baik diambil bagian batang dan daunnya. Sampel segar tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dicuci dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa tanah atau pengotor yang masih menempel pada tumbuhan. Sampel segar tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dikeringkan dengan cara kering angin. Cara kering angin dipilih karena murah dan mudah dalam pengerjaannya. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah kering kemudian dihaluskan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga memudahkan penetrasi pelarut saat ekstraksi. Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah dihaluskan selanjutnya di ekstraksi dengan metode ekstraksi maserasi. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yakni dengan cara tumbuhan utuh atau serbuk kasar tumbuhan dijaga untuk tetap berkontak dengan pelarut di dalam tempat bertutup selama waktu yang ditentukan dengan frekuensi pengocokan sampai senyawa terlarut. Metode ekstraksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 maserasi dipilih karena cara pengerjaannya relatif sederhana dan peralatannya mudah digunakan. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr adalah pelarut etanol 96%. Pelarut etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi lebih efisien dalam dinding sel. Etanol lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran sel untuk mengekstraksi komponen intraselular dari tumbuhan (Tiwari, et al., 2011). Dasar dari penggunaan pelarut etanol 96% adalah kemampuannya yang dapat mengekstraksi senyawa flavonoid dan fenol. Koirewa et al (2012) dalam Nirwana et al (2015) menyebutkan bahwa etanol 96% mampu melarutkan senyawa yang bersifat polar diantaranya adalah senyawa flavonoid. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa senyawa fenol dapat diekstraksi oleh pelarut etanol 96%. Ekstrak yang didapatkan dipekatkan dengan evaporator hingga ekstrak menjadi kental. Pemekatan bertujuan untuk meningkatkan jumlah senyawa terlarut dengan menguapkan atau menghilangkan pelarut. Skrining fitokimia pada penelitian ini ditujukan untuk memastikan bahwa senyawa flavonoid dan fenol yang diperkirakan akan mempengaruhi penyembuhan luka bakar ada di dalam ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, dan hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr positif mengandung senyawa flavonoid dan fenol. Standardisasi ekstrak parameter non spesifik berupa kadar air dan kadar abu. Kadar air ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr didapatkan sebesar 1,35% sesuai dengan syarat kadar air untuk ekstrak bahan alam yaitu ≤ 10% (Depkes RI, 1994 dalam Ratnani, et al., 2015). Kadar air menentukan stabilitas ekstrak dan bentuk sediaan selanjutnya. Kadar abu ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr didapatkan sebesar 5,54% sesuai dengan syarat kadar abu untuk ekstrak bahan alam yakni tidak boleh lebih dari 10,2 % UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 (Depkes RI., 2009 dalam Ratnani, et al., 2015). Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal, serta senyawa anorganik total yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Ekstrak kental yang didapatkan selanjutnya dibuat ke dalam bentuk sediaan krim. Sediaan krim dipilih berdasarkan penelitian Rahim, et al (2011) mengenai formulasi krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang memiliki kandungan senyawa diantaranya flavonoid dan polifenol. Penelitian tersebut menyebutkan formula yang digunakan sebagai basis sediaan krim ekstrak etanol daun ubi jalar mampu me mberikan efektifitas lebih cepat dibandingkan formula lainnya. Alasan lainnya secara umum sediaan krim dipilih karena mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit, mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada luka yang basah, dan terdistribusi merata. Sediaan krim ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang telah dibuat selanjutnya dievaluasi. Evaluasi sediaan krim pada penelitian ini bertujuan untuk memastikan bahwa sediaan krim yang akan diaplikasikan pada hewan uji layak diaplikasikan. Evaluasi sediaan krim pada penelitian ini terdiri dari uji organoleptik, uji homogenitas, dan uji pH. Sediaan krim ekstrak e tanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr terdistribusi secara homogen. Uji homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui tercampurnya bahan-bahan sediaan krim (Juwita, et al., 2013). pH sediaan krim yang ideal adalah pH sediaan yang memenuhi rentang pH sediaan topikal, tidak menimbulkan iritasi kulit, optimal untuk absorbsi sediaan melalui kulit, dan mendekati pH kulit normal. Ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menurunkan pH basis krim (sediaan krim kontrol negatif), namun semua sediaan krim yang dibuat tetap masuk ke dalam rentang pH yang disyaratkan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 Hewan uji yang digunakan berjumlah 30 ekor berupa tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 110-150 gram. Tikus betina tidak digunakan untuk menghindari faktor hormonal (estrogen dan progesteron) dalam penyembuhan luka (Putri, 2013 dalam Nuha, 2015). Tikus dikelompokkan ke dalam 5 kelompok yakni kelompok kontrol negatif, kontrol positif, uji konsentrasi 2,5%, uji konsentrasi 5%, dan uji konsentrasi 10%. Tikus ditempatkan di dalam kandang beralaskan sekam dan diberikan akses makan dan minum. Tikus diaklimatisasi selama 7 hari sebelum uji dilakukan untuk memberikan waktu penyesuain kepada tikus di lingkungan baru. Induksi luka bakar dilakukan pada bagian dorsal tikus. Sebelum induksi luka bakar, tikus dianestesi menggunakan injeksi ketamin 50 mg/kg secara intramuskular. Rambut tikus dibagian dorsal digunting, kemudian dioleskan dengan krim depilatori selama 3-5 menit dan dicukur. Daerah dorsal yang telah dicukur lalu dibersihkan dengan alkohol 70%. Pembuatan luka bakar dilakukan dengan plat besi berukuran 4 x 2 cm yang sbelumnya telah dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Plat besi tersebut kemudian ditempelkan selama 10 detik pada bagian dorsal tikus sekitar 3 cm dari aricula tikus. Hari yang sama dengan hari induksi luka bakar, sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr sebanyak kurang lebih 350 mg dioleskan pada bagian dorsal tikus yang telah dinduksi luka bakar. Pemberian sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dilakukan setiap hari sebanyak 2 x sehari pada pagi dan sore hari. Tikus dipantau kesehatannya dan berat badannya. Pemberian sediaan krim ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr tidak mempengaruhi penurunan mapun peningkatan berat badan pada tikus. Pembentukan keropeng menunjukan proses penyembuhan luka memasuki fase proliferasi tahap awal (Agustina, 2011), sedangkan terlepasnya keropeng akibat dari telah terbentuknya epitel dan jaringan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 baru sehingga mendorong keropeng untuk lepas (Prisacaru, 2013). Hasil pengamatan visual luka bakar menunjukkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke- 4 hingga hari ke-21 pada seluruh kelompok uji dan kontrol positif, sedangkan rerata waktu pembentukan keropeng hingga terlepasnya keropeng terjadi pada rentang hari ke-8 hingga lebih dari hari ke-21 pada kelompok kontrol negatif. Rerata waktu terlepasnya keropeng yang menandakan telah terbentuknya jaringan baru terjadi lebih cepat pada semua kelompok uji dan kelompok kontrol positif dibandingkan rerata waktu terlepasnya keropeng pada kelompok kontrol negatif sehingga disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dapat mempercepat penyembuhan luka dibandingkan kelompok kontrol negatif. Waktu penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan kontrol negatif pada semua perlakuan uji dikarenakan adanya senyawa flavonoid dan fenol sebagai senyawa aktif yang dapat mempercepat waktu penyembuhan luka sedangkan tidak ada senyawa aktif pada sediaan kontrol negatif. Hasil pengamatan perubahan rerata visual luka bakar didukung oleh hasil histopatologi yakni parameter penurunan jumlah sel radang dan peningkatan jumlah fibroblas. Terlihat pada hasil perubahan rerata visual luka bakar waktu terbentuknya keropeng pada kontrol negatif dimulai pada hari ke-8, seperti yang diketahui bahwa waktu terbentuknya keropeng menandakan fase proliferasi awal, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada hari ke-7 (preparat histopatologi) kontrol negatif masih menunjukkan fase inflamasi, ditandai dengan jumlah sel radang yang melimpah dan fibroblas yang masih sedikit dibandingkan semua kelompok uji dan kontrol positif. Hasil perubahan rerata visual luka bakar waktu terbentuknya keropeng pada kontrol positif, dan semua kelompok uji dimulai pada hari ke-4, hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke-7 (preparat histopatologi) kontrol positif, dan semua kelompok uji telah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 melewati fase inflamasi, ditandai dengan penurunan jumlah sel radang dan peningkatan fibroblas. Hasil statistik data penurunan luas luka menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan penurunan luas luka bakar pada semua kelompok perlakuan uji sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap penurunan luas luka bakar. Hal ini dikarenakan terdapat senyawa flavonoid dan fenol yang berperan dalam penurunan luas luka pada perlakuan uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%. Hasil persentase penyembuhan luka pada semua kelompok uji lebih besar dibandingkan kelompok kontrol negatif, dan menurut hasil statistik data persentase penyembuhan luka, diantara ketiga perlakuan uji (uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%), perlakuan konsentrasi uji 2,5% dan 5% adalah konsentrasi yang menghasilkan perbedaan persentase penyembuhan yang signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif. Sedangkan pada perlakuan uji konsentrasi 10% menghasilkan perbedaan persentase penyembuhan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan perlakuan uji konsentrasi 2,5% dan 5% adalah konsentrasi yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka, dan hal ini disebabkan adanya kandungan flavonoid yang optimal pada uji konsentrasi 2,5% dan 5%. Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada parameter makroskopis yakni penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka ini sejalan dengan penelitian Wibawani, et al. (2015) yang menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun melati yang memiliki senyawa saponin, tanin, dan flavonoid mempengaruhi penyembuhan luka dengan meningkatkan kontraksi pada luka lebih optimal dibandingkan kontrol negatif. Hasil pengamatan mikroskopis penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ini menunjukan bahwa perlakuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 kontrol positif, perlakuan uji konsentrasi baik 2,5%, 5%, dan 10% menghasilkan jumlah sel radang yang lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol negatif. Hal ini dikarenakan pada semua perlakuan uji memiliki kandungan senyawa flavonoid dan fenol yang bekerja sebagai antioksidan dan antiinflamasi sehingga membantu menekan poliferasi sel radang dan mempersingkat reaksi inflamasi. Sediaan kontrol positif memiliki mekanisme aksi berikatan dengan permukaan sel bakteri dan menghambat pernapasan sel bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri, mencegah infeksi pada luka bakar. Sediaan kontrol positif silver sulfadiazine juga bekerja dengan memodulasi berbagai proses selular lainnya di daerah luka, seperti pada penelitian Katadj, et al (2015) disebutkan bahwa SSD dapat menurunkan jumlah sel radang dibandingkan kontrol. Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada parameter mikroskopis yakni penurunan jumlah sel radang didukung oleh penelitian Wibawani, et al (2015) yang menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun melati yang mengandung senyawa flavonoid dapat bekerja secara optimal untuk membatasi mediator inflamasi, menghambat COX-2, lipooksigenase, dan tirosin kinase yang menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah sel inflamasi yang bermigrasi ke daerah luka, reaksi inflamasi akan berlangsung lebih singkat. Penelitian Karimi, et al (2013) juga menyebutkan bahwa penurunan signifikan dari jumlah sel radang merupakan hasil dari kerja komponen antioksidan dan senyawa fenolik. Perlakuan pada kontrol negatif menghasilkan nilai skor parameter jumlah fibroblas yang lebih sedikit dibandingkan perlakuan pada uji konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, dan kelompok kontrol positif. Hal ini dikarenakan adanya senyawa flavonoid pada sediaan ekstrak uji konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% yang dapat menstimulasi poliferasi dan migrasi fibroblas, sehingga jumlah fibroblas pada kelompok uji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10% lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol negatif. Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada parameter mikroskopis yakni jumlah fibroblas didukung oleh penelitian Wibawani, et al (2015) yakni selain menyebutkan bahwa dengan adanya flavonoid reaksi inflamasi akan berlangsung lebih singkat, kemampuan poliferatif dari TGF-β tidak terhambat. TGF-β merupakan salah satu faktor yang menstimulasi migrasi fibroblas, sehingga jumlah fibroblas meningkat. Menurut Coelho, et al (2010) dalam Ma, et al (2015) silver sulfadiazine dapat memberikan efek positif pada proliferasi fibroblas. Hasil menunjukkan bahwa pada semua kelompok perlakuan telah menunjukkan adanya proses penyembuhan luka yang ditandai dengan neokapilerisasi (pembentukan pembuluh darah baru). Pembuluh darah baru akan membawa oksigen dan mikronutrisi untuk pertumbuhan jaringan. Hasil skoring parameter neokapilerisasi menunjukan semua kelompok perlakuan uji dan kontrol positif menghasilkan pembentukan pembuluh darah baru yang lebih banyak dibandingkan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan pemberian ekstrak etanol nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap peningkatan pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi). Hal ini dikarenakan adanya senyawa fenol yang berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi). Penelitian pengaruh tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada parameter mikroskopis yakni pembentukan pembuluh darah baru didukung oleh penelitian Karimi, et al (2013) yang menyebutkan bahwa senyawa fenol yang ada pada daun teh dapat meningkatkan faktor tumbuh endotel pembuluh yang selanjutnya akan membentuk pembuluh darah darah baru. Kiran dan Asad (2008) dalam Shenoy, et al (2012) menyebutkan bahwa proses penyembuhan luka bakar melibatkan infiltrasi sel radang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi, sintesis matriks protein ekstraselular, pembentukan kolagen, dan remodeling, dan menurut Shuid, et al (2005) dalam Shenoy, et al (2012) selama proses tersebut terjadi pelepasan enzim lisosomal dari neutrofil, radikal bebas, leukotrin, dan prostaglandin yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Senyawa aktif seperti flavonoid diketahui memiliki sifat antiinflamasi, antioksidan, dan penyembuhan luka. Peroksidasi lemak memiliki peran dalam cedera akibat luka bakar. Flavonoid diketahui dapat menurunkan peroksidasi lemak dengan memperbaiki vaskularitas dan mencegah atau memperlambat proses nekrosis sel (Nayak, et al., 2006 dalam Shenoy, et al., 2012). Setiap obat yang menghambat peroksidasi lemak dipercaya dapat meningkatkan viabilitas kolagen fibril dengan meningkatkan kekuatan serat olagen, meningkatkan sirkulasi, mencegah kerusakan sel dan mendorong sintesis DNA. Flavonoid mendorong penyembuhan luka dengan aktivitas astringen dan antimikroba yang dimiliki yang selanjutnya mendorong kontraksi luka dan mempercepat periode epitelisasi (Shenoy, et al., 2012). Flavonoid menunjukan aktivitas penyembuhan luka bakar didasarkan pada sifat antibakteri dan antioksidan. Flavonoid memiliki struktur fenolat dengan satu gugus karbonil. Flavonoid disintesis oleh tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi mikroba dan sering ditemukan efektif pada in vitro sebagai senyawa antimikroba yang dapat melawan beragam mikroorganisme (Fnimh, et al., 1996 dalam Soni, et al., 2012). Adanya senyawa flavonoid dan fenol pada ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menyebabkan ekstrak tersebut berpengaruh dalam penyembuhan luka bakar pada penelitian ini. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley didapatkan kesimpulan bahwa pemberian ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley dilihat dari parameter perubahan visual dan waktu penyembuhan luka bakar, penurunan luas luka dan persentase penyembuhan luka bakar, penurunan jumlah sel radang, peningkatan jumlah fibroblas, dan neokapilerisasi. 5. 2 Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai kemungkinan senyawa spesifik yang berperan dalam proses penyembuhan luka dari golongan senyawa metabolit sekunder 62 flavonoid dan fenol. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 DAFTAR PUSTAKA ACCP Standard for VCO, n.d. Adjepong, Mary., Pius Agbenorku., Patricia Brown., Ibok Oduro. 2015. The Effect of Dietary Intake of Antioxidant Micronutrients on Burn Wound Healing: A Study in Tertiary Health Institution in A Developing Country. Reasearch Article, Burns & Trauma, 3: 12. Afifah, Efi dan Tim Lentera. 2004. Sehat dengan Ramuan Tradisional Khasiat & Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Hal 32. Jakarta: Agro Media Pustaka. Agustin, Rini., Yulida Oktadefitri., Henny Lucida. 2013. Formulasi Krim Tabir Surya dari Kombinasi Etil p-Metoksisinamat dengan Katekin. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III. Akbari H., Fatemi MJ., Iranpour M., Khodarahmi A., Baghaee M., Pedram MS., Saleh S., Araghi S. The Healing Effect of Nettle Extract on Second Degree Burn Wounds. World J Plast Surg. 2015; 4 (1): 23 – 28. Akhoondinasab MR., Akhoondinasab M., Saberi M. Comparison of Healing Effect of Aloe Vera Extract and Silver Sulfadiazine in Burn Injuries in Experimental Rat Model. World J Plast Surg 2014; 3 (1) : 29 - 34. Anam, Syariful., et al. 2013. Standarisasi Ekstrak Etil Asetat Kayu Sanrego Lunasia amara Blanco. Online Jurnal of Natural Science, Vol.2(3): 1-8. Ashkani-Esfahani, S., MH Imanieh., M Khoshneviszadeh., A Meshksar., A Noorafshah., B Geramizadeh., S Ebrahimi., F Handjani., N Tanideh. The Healing of Arnebia Euchroma in Second Degree Burn Wounds in Rats as An Animal Model. Iranian Red Crescent Medical Journal. November, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 2012. Arini, Diah Irawati Dwi dan Julianus K inho. 2012. Keragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Cagar Alam GUnung Ambang Sulawesi Utara. Info BPK Manado Volume 2 No 1. Aryenti., Suryadi., Harijadi., Juniarti., Yuhernita. PMN Leukocytes and Fibroblasts Numbers on Wound Burn Healing on The Skin of White Rat After Administration of Ambonese Plantain Banana. Makara Journal of Science. 16/1 (2012) 15 – 20. Arun, Mittal., Sardana Satish., Pandey Anima. Herbal Boon for Wounds. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol 5, Issue 2, 2013. Balqis, Ummu., Rasmaidar., Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologis Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria Vol 8 No. 1. Cakir, Baris dan Berrak C Yegen. 2004. Systemic Responses to Burn Injury. Turk J Med Sci 34, 215-226. Chai, Tsun-Thai., Loo-Yew Yeoh., Nor Ismaliza Mohd Ismail., Hean-Chooi Ong., Fazilah Abd Manan., Fai-Chu Wong. 2015. Evaluation of Glucosidase Inhibitory and Cytotoxic Potential of Five Selected Edible and Medicinal Ferns. Tropical Journal of Pharmaceutical Research; 14 (3): 449-454. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Duarte, Carina-Magalhaes-Esteves., Maria-Rozelide-Souza Quirino., MonicaCesar Patrocinio., Ana-Lia Anbinder. 2011. Effects of Chamomilla recutita (L.) on Oral Wound Healing in Rats. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16 (6):e716-21 Erlia, Eva., Noor cahaya., Dina Rahmawanty. Pengaruh Pemberian Gel Kuersetin terhadap Jumlah Neutrofil dan Limfosit dalam Proses Penyembuhan Luka Bakar Derajat II A pada Tikus Jantan Galur Wistar. Jurnal Pharmascience. Vol 1, No. 2, Oktober 2014, hal: 38 – 45. Farahpour, Muhammad Reza dan Hosein Nejati. 2014. Effect of Topical Red Grape Seed Hydroethanol Extract on Burn Wound Healing in Rats. Int.J. ChemTech Res, 6(4), pp 2340-2346. Febriani, Diana., Dina Mulyanti., Endah Rismawati. 2015. Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona Muricata Linn). Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba. Guo, S. dan L.A. DiPietro. 2010. Factors Affecting Wound Healing. Critical Reviews in Oral Biology & Medicine, J Dent Res 89(3): 219-229. H. Al-Jawad F., Sahib A.S., Al-Kaisy A.A. 2008. Role of Antioxidants in The Treatment of Burn Lesions. Annals of Burns and Fire Disasters – Vol. XXI - n. 4. Hashemi, Seyyed Abbas., Seyyed Abdollah Madani., Saied Abediankenari. The UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 Review on Properties of Aloe vera in Healing of Cutaneous Wounds. Review Article. Hindawi Publishing Corporation. BioMed Research International. Volume 2015, Article ID 714216, 6 pages. Harun, Desi Syifa Nurmillah. 2014. Formulasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Krim Antiaging Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia magostana L.) dengan Metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picril Hydrazil). Skripsi. Hazrati, M., D. Mehrabani., A. Japoni., H. Montasery., N. Azarpira., A. R. Hamidian –shirazi., N. Tanideh. 2010. Effect of Honey on Healing Pseudomonas Aeruginosa Infeced Burn Wounds in Rat. Journal of Applied Animal Research: Iran. Hettiarhatchy, Shehan dan Peter Dziewulski. 2004. ABC of Burns Pathophysiology and Types of Burns. Clinical Reiew. BMJ Volume 328. Hossain, Mohammad Amzad., Khulood Ahmed Salim Al- Raqmi., Zawan Hamood Al-Mijizy., Afaf Mohammed Weli., Qasim Al- Riyami. 2013. Study of Total Phenol, Flavonoids Contents and Phytocehmical Screening of Various Leaves Crude Extracts of Locally Grown Thymus vulgaris. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine; 3(9): 705-710. http://cabi.org, Invasive Species Compendium, Maret 2016. http://plants.usda.gov, United State Departemen of Agriculture, Januari 2016. http://www.plantamor.com, Juni 2016 http://www.menlh.go.id/peluncuran-buku-status-kekinian-keanekaragamanhayati- indonesia/, Kementerian Lingkungan Hidup RI, Januari 2016 Izzati, Ulfa Zara., Andhi Fahrurroji., Mohammad Andrie. Efektifitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Penyembuhan Luka Bakar Salep Ekstrak Daun Senggani (Melastoma malabathricum L) pada Tikus (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Wistar. Skripsi. Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak. 2015. Komala, Ismiarni., Azrifitria., Yardi., Ofa Suzanti Betha., Finti Muliati., Maliyathun Ni’mah. 2015. Antioxidant and Antiinflamatory of The Indonesian Ferns, Nephrolepis falcata and Pyrrosia lanceolata. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 7, Issue 12. Lai, How Yee., Yau Yan Lim., Kah Hwi Kim. Potential Dermal Wound Healing Agent in Blechnum orientale Linn. BMC Complementary and Alternative Medicine 2011, 11 : 62. Ma, Ke., Mindong Du., Mingde Liao., Shihai Chen., Guoqian Yin., Qingfeng Liu., Qiang Wei., Gang Qin. Evaluation of Wound Healing Effect of Punica granatum L Peel Extract on Deep Second-Degree Burns in Rats. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. January 2015; 14 (1): 73 78. Mawarti, Herin dan Abdul Ghofar. 2014. Aktivitas Antioksidan Flavonoid terhadap Perubahan Histologi Proses Penyembuhan Luka Bakar Grade II. Jurnal Edu Health, Vol. 4 No. 1. McCulloch, Joseph M dan Luther C Kloth. 2010. Wound Healing Evidence-Based Managemen 4th Edition. hal. 362. Philadelphia: F.A Davis Company. Mely. 2015. Pengaruh Pemberian Jus Buah Alpukat terhadap Gambaran Kadar Aspartate Transminase (AST) dan Alanine Transminase (ALT) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Meloxicam Dosis Toksisk. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Skripsi. Meravanige, Girish dan Kamdood M A. 2012. Effect of Topical Tinospora Cordifolia on Healing of Burn Wounds in Wistar Rats. International Journal of Pharma and Bio Sciences; 3(3): (P) 351-358. Mock C, Peck M, Peden M, Krug E, eds. 2008. A WHO plan for burn prevention and care. Geneva : World Health Organization. MR, Sabari Selvan., Velvizhy R., Naryanasamy S., Manimekalai. K. 2014. Evaluation of Anti-Oxidant Effect of Oral β-Carotene and Topical Lycopene on Burns Wound Induced Rats. American Journal of Pharmacy and Health Research, Volume 2, Issue 9. Nasiri, Ebrahim., Seyed Jalal Hosseinimehr., Mohammad Azadbakht., Jafar Akbari., Reza Enayati- fard., Sohail Azizi. 2015. Effect of Malva sylvestris Cream on Burn Injury and Wounds in Rats. Avicenna J Phytomed; 5 (4): 341-354. Nasution, Nurhayati. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley. Skripsi. Negara, Reza Fitra Kusuma., Retty Ratnawati., Dina Dewo SLI. Efektifitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan. BIMKI. Volume 3 No 1. Januari – Juni 2015. Pham-Huy, Lien Ai., Hua He., Chuong Pham-Huy. Free Radicals, Antioxidants in Desease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol. 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 no. 2. Rahim, Farida., Mimi Aria., Nurwani Purnama Aji. 2011. Formulasi Krim Ektstrak Etanol Daun Ubi Jalar (Ipomoeae batatas L.) untuk Pengobatan Luka Bakar. Scientia Vol. 1 No. 1. RN, Leslie DeSanti BS. 2005. Pathophysiology and Current Management of Burn Injury. Clinical Management Extra, Advance in Skin & Wound Care. Rowe, Raymond C., Paul J Sheskey., Marian E Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Sixth Edition. London dan USA: Pharmaceutical Press dan American Pharmacist Association. Sedighi, Anahita., Davood Mehrabani., Reza Shirazi. 2015. Histopatological Evaluation of The Healing Effects of Human Amniotic Membrane Transplantation in Third Degree Burn Wound Injuries. Springer-Verlag: London. Sen, Chandan K., Sashwati Roy. 2008. Redox Signals in Wound Healing. National Institute of health. The Ohio University Medical Center, Columbus Ohio. Shenoy, Smita., Sukesh., Vinod MS., Shruthi., Mohan Amberkar., Arul Amuthan. Effest of ethanolic Extract of Plectranthus amboinicus Leaf on Healing of Burn Wound in Wistar Rats. International Kournal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology. Volume-3, Issue-3, July-Sept-2012. Somkuwar, Dipali. O dan Vilas A. Kamble., 2013. Phytochemical Screening of Ethanolic Extracts of Stem, Leaves, Flower and Seed Kernel of Mangifera Indica L. International Journal of Pharma and Bio Sciences; 4(2): (P) 383 389 Soni, Himesh dan Akhlesh Kumar Singhai. A Recent Update of Botanicals fro UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 Wound Healing Activity. International Journal of Pharmacy. IRJP 2013, 3 (7). Suraida., Try Susanti., Riza Amriyanto. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. Tiwari, Prashant., Bimlesh Kumar., Mandeep Kaur., Gurpreet Kaur., Harleen Kaur. 2011. Phytochemical Screening and Extraction: A Review. Internationale Pharmceutica Sciencia, Vol. 1, Issue 1. Tiwari, V.K. 2012. Burns Wound: How it Differs from Other Wounds?. Indian J Plast Surg; 45(2): 364-373. Velnar, T., Bailey T., V Smrkoli. 2009. The Wound Healing Process: an Overview of The Cellular and Molecular Mechanism. The Journal of International Medical Research; 37: 1528-1542. Verma, Deepak Kumar., MAsuram Bharat., Deepak Nayak., Tara Shanbhag., Venkatesh Shanbhag., Ravindra Singh Rajput. 2012. Areca catechu: Effect of Topical Ethanolic Extract on Burn Wound Healing in Albino Rats. Int J Pharmacol and Clin Sci; 1: 74-8. Wasiullah, Mohammed., A.Pandurangan., Aftab Ahmad., Fahad A Al- Abbasi., Munesh Mani., Prashant Chandra. In vivo Study Wound Healing Potential (Incision) of Herbal Formulation. International Journal of Allied Medical Sciences and Clinical Research (IJAMSCR). Volume 2, Issue 4, Oct-Dec2014. Wibawani, Larasati., Endang Sri Wahyuni., Yulian Wiji Utami. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Melati (Jasminum sambac L. Alt secara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 Topikal terhadap Peningkatan Kontraksi Luka Bakar Derajat II A pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur Wistar. Majalah Kesehatan FKUB. Widhiastuti, Retno., T Alief Aththorick., Wina Dyah Puspita Sari. 2006. Struktur dan Komposisi Tumbuhan Paku-pakuan di Kawasan Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo. Jurnal Biologi Sumatera, hal 38-41. Xu, Rong Xiang. 2004. Burns Regenerative Medicine and Therapy. Hal 20-21. Switzerland: Karger. Yanhendri dan Satya Wydya Yenny. 2012. Berbagai Bentuk Sediaan Topikal dalam Dermatologi. CDK-194/vol. 39 no. 6. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 Lampiran 1. Alur Penelitian Hewan uji: tikus jantan galur Sprague Dawley Tikus diaklimatisasi selama 1 minggu Hewan uji dikelompokkan secara acak berdasarkan perlakuan (terdapat 5 perlakuan masing- masing perlakuan terdiri dari 6 ekor tikus: Kelompok 1 (krim ekstrak konsentrasi 2,5%) Kelompok 2 (krim ekstrak konsentrasi 5%) Kelompok 3 (krim ekstrak konsentrasi 10%) Kelompok 4 (kontrol positif krim silver sulfadiazine 1%) Kelompok 5 (kontrol negatif basis krim ekstrak) Satu ekor tikus dari setiap kelompok perlakuan pada hari ke 7 dipilih untuk dieksisi jaringan kulitnya Dibuat preparat histopatologi Parameter Neokapilerisasi Tumbuhan paku disekitar lingkungan FKIK Determinasi Batang dan daun tumbuhan paku disortasi basah, dicuci, disortasi kering, dan diserbukkan Serbuk simplisia tumbuhan paku diekstraksi dengan maserasi menggunakan etanol 96% Maserat dievaporasi hingga didapatkan ekstrak kental Ekstrak kental Uji parameter spesifik dan nonspesifik, serta penapisan fitokimia Dibuat sediaan krim dan dievaluasi organoleptik, homogenitas, dan pH sediaan Sediaan krim Pembuatan luka bakar Pemberian sediaan krim kepada masing- masing kelompok perlakuan secara topikal selama 21 hari Pengamatan preparat histopatologi Parameter jumlah sel radang Pengamatan Makroskopis (Persentase penyembuhan luka dan periode epitelisasi) Parameter fibroblas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 Lampiran 2. Determinasi Tumbuhan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 Lampiran 3. Keterangan Kesehatan Hewan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Lampiran 4. Hasil Perhitungan Rendemen % Rendemen = × 100% Berat Ekstrak yang Diperoleh = 56,07 g Berat Serbuk Simplisia yang Diekstraksi = 554 g Lampiran 5. Hasil Perhitungan Kadar Air Kadar Air = × 100% Berat ekstrak sebelum pengeringan = 10,028 g Berat akhir ekstrak = 9,738 g Kadar Air = × 100% = 2,82 % Lampiran 6. Hasil Perhitungan Kadar Abu Kadar Abu = × 100% Berat awal ekstrak = 2,007 g Berat akhir ekstrak = 1,896 g Kadar Abu = × 100% = 5,53 % UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Hasil Penapisan Fitokimia Metode Hasil Keterangan Terbentuk warna kuning + Identifikasi Flavonoid Sejumlah ekstrak diteteskan beberapa tetes larutan NaOH Identifikasi Fenol Sejumlah ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan FeCl3 Terbentuk warna hitam kebiruan + UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian Sampel Tanaman Segar Pemilihan Sampel Tanaman Pencucian Sampel Tanaman Ekstraksi Maserasi Penyaringan Ekstrak Evaporasi Pelarut Pengeringan Sampel Tanaman Penghalusan Sampe Tanaman Uji Kadar A ir Uji Kadar Abu Krim Uji Konsentrasi 10% Krim Uji Konsentrasi 5% Krim Uji 10% Krim Uji 5% Krim Uji 2,5% Basis Krim Krim Uji Konsentrasi 2,5% Basis Krim Pembuatan Krim Evaluasi Organoleptik Sediaan Krim Evaluasi Ho mogenitas Sediaan Krim Evaluasi p H Sed iaan Krim Induksi Luka Bakar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 No Lampiran 9. Gambar Pengamatan Pe rubahan Rerata Luka bakar Pengamatan Luka Hari Ke Tikus Kelompok 0 2 4 1 Uji Konsentrasi 2,5% 2 Uji Konsentrasi 5% 3 Uji Konsentrasi 10% 4 Kontrol Positif 5 Kontrol Negatif 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 Lanjutan No Tikus Kelompok 1 Uji Konsentrasi 2,5% 2 Uji Konsentrasi 5% 3 Uji Konsentrasi 10% 4 Kontrol Positif 5 Kontrol Negatif 8 Pengamatan Luka Hari Ke 10 12 14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Lanjutan No Tikus Kelompok 1 Uji Konsentrasi 2,5% 2 Uji Konsentrasi 5% 3 Uji Konsentrasi 10% 4 Kontrol Positif 5 Kontrol Negatif 16 Pengamatan Luka Hari Ke 18 20 21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Lampiran 10. Tahapan Pengukuran Luas Luka Bakar Menggunakan Software ImageJ 2.) Buka software ImageJ, klik “File” lalu klik “Open” pada Menu Bar. 1.) Pilih foto yang akan digunakan. 4.) Klik Tool Bar “Straight ” dan buat galis lurus sepanjang 1 cm pada gambar penggaris. 3.) Klik Menu “Analyze” lalu pilih “Set Scale”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Lanjutan 6.) Ubah ukuran panjang penggaris pada kolom “Known Distance” menjadi 1, kemudian ubah satuan dalam kolom “Unit of Length” menjadi cm, lalu klik “OK”. 8.) Klik Menu “Analyze” lalu klik “Measure”. 5.) Klik Tool Bar “Freehand Selections” dan buat pola sesuai bentuk luka bakar seperti gambar di atas. 7.) Setelah keluar jendela “Results” seperti pada gambar di atas, maka akan didapat hasil pengukuran luas luka bakar pada kolom “Area”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 83 Lampiran 11. Data Luas Luka dan Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua Kelompok Tikus Kontrol Negatif Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 5% Luas Luka Awal (cm2 ) 6.36 6.76 6.90 6.25 7.15 6.39 6.06 6.00 5.40 6.34 7.01 7.35 7.81 6.77 7.83 7.96 6.19 6.90 7.39 7.26 Rerata Luas Luka Awal (cm2 ) 6,68 6,04 7.35 7,14 Luas Luka Akhir (cm2 ) 1.31 2.57 0.32 1.25 0.01 1.47 0.00 0.00 0.03 0.14 0.35 0.00 0.00 0.71 0.00 0.39 0.00 0.00 0.52 0.00 Penurunan Rerata Luas Luka Penurunan Luas (cm2 ) Luka ± SD 5.05 4.19 6.58 5.00 7.14 4.92 6.06 6.00 5.37 6.20 6.66 7.35 7.81 6.06 7.83 7.57 6.19 6.90 6.87 7.26 5,59 ± 1,22 5,71 ± 0,55 7.35 ± 0,77 6,95 ± 0,52 Persentase Rerata Penyembuhan Persentase (%) Penyembuhan 79.40 61.98 95.38 80.05 99.86 77.00 100.00 100.00 94.44 97.85 95.06 100.00 100.00 89.51 100.00 95.10 100.00 100.00 92.96 100.00 83,33 94,86 96,92 97,61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 Lanjutan Kelompok Tikus Luas Luka Awal (cm2 ) Uji Konsentrasi 10% 7.32 6.02 6.79 7.95 7.46 Rerata Luas Luka Awal (cm2 ) Luas Luka Akhir (cm2 ) Penurunan Luas Luka (cm2 ) 7,11 0.14 1.10 0.00 0.00 0.46 7.18 4.92 6.79 7.95 7.00 Rerata Penurunan Luas Luka ± SD Persentase Penyembuhan (%) Rerata Persentase Penyembuhan 6,77 ± 1,12 98.09 81.72 100.00 100.00 93.83 94,71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Luas Luka Bakar Derajat Dua 1. Uji Normalitas Data Penurunan Luas Luka Bakar Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data penurunan luas luka bakar Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar terdistribusi normal Ha = data penurunan luas luka bakar tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Penurunan_Luas Perlakuan N _Luka 25 25 3.0000 6.4340 1.44338 1.04563 Absolute .156 .116 Positive .156 .107 Negative -.156 -.116 Kolmogorov-Smirnov Z .779 .578 Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .892 Normal Parameters a Mean Std. Deviation Most Extreme Differences a. Test distribution is Normal. Keputusan: data penurunan luas luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi normal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 86 2. Uji Homogenitas Data Penurunan Luas Luka Bakar ujuan : untuk menguji homogenitas data penurunan luas luka bakar Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar terdistribusi homogen Ha = data penurunan luas luka bakar tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Test of Homogeneity of Variances Penurunan_Luas_Luka Levene Statistic 1.585 df1 df2 4 Sig. 20 .217 Keputusan: data penurunan luas luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi homogen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 3. Uji One Way ANOVA Tujuan : untuk menentukan perbedaan data penurunan luas luka bakar antara kelompok Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak ANOVA Penurunan_Luas_Luka Sum of Squares df Mean Square Between Groups 10.603 4 2.651 Within Groups 15.638 20 .782 Total 26.240 24 F 3.390 Sig. .028 Keputusan: Data penurunan luas luka bakar antara kelompok berbeda secara signifikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 4. Uji Post Hoc Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference) Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis : Ho = data penurunan luas luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Multiple Comparisons Penurunan_Luas_Luka LSD 95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) (I) Perlakuan (J) Perlakuan Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 5% .18400 .55924 .746 -.9826 1.3506 Uji Konsentrasi 10% .37400 .55924 .511 -.7926 1.5406 1.43200 * .55924 .019 .2654 2.5986 1.55000 * .55924 .012 .3834 2.7166 Uji Konsentrasi 2.5% -.18400 .55924 .746 -1.3506 .9826 Uji Konsentrasi 10% .19000 .55924 .738 -.9766 1.3566 Kontrol Positif 1.24800 * .55924 .037 .0814 2.4146 Kontrol Negatif 1.36600 * .55924 .024 .1994 2.5326 -.37400 .55924 .511 -1.5406 .7926 Uji Konsentrasi 5% -.19000 .55924 .738 -1.3566 .9766 Kontrol Positif 1.05800 .55924 .073 -.1086 2.2246 Kontrol Negatif 1.17600 * .55924 .048 .0094 2.3426 -1.43200 * .55924 .019 -2.5986 -.2654 * .55924 .037 -2.4146 -.0814 -1.05800 .55924 .073 -2.2246 .1086 .11800 .55924 .835 -1.0486 1.2846 Kontrol Positif Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Positif Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Negatif -1.24800 Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2.5% Uji Konsentrasi 5% Uji Konsentrasi 10% Kontrol Positif -1.55000 * .55924 .012 -2.7166 -.3834 -1.36600 * .55924 .024 -2.5326 -.1994 -1.17600 * .55924 .048 -2.3426 -.0094 -.11800 .55924 .835 -1.2846 1.0486 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keputusan: 1. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok seluruh kelompok uji 2. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif 3. Data penurunan luas luka bakar berbeda signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan seluruh kelompok uji 4. Data penurunan luas luka bakar tidak berbeda signifikan antara kelompok kontrol positif terhadap kelompok uji konsentrasi 2,5% dan 5% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 5. Uji Paired T Tujuan : untuk menentukan data penurunan luas luka bakar sebelum dan sesudah perlakuan dari setiap kelompok dan nilai signifikansinya Hipotesis : Ho = data penuruanan luas luka bakar tidak berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan Ha = data penurunan luas luka bakar berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak 5.1 Kelompok Kontrol Negatif Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_ Kontrol_Negatif Luas_Luka_Hari_Ke21 _Kontrol_Negatif 5.39040 Std. Deviation .96070 Std. Error Mean .42964 Lower 4.19753 Upper 6.58327 T 12.546 df Sig. (2-tailed) 4 .000 Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok kontrol negatif berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 5.2 Kelompok Kontrol Positif Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_ Kontrol_Positif Luas_Luka_Hari_Ke21 _Kontrol_Positif 5.71000 Std. Deviation .54461 Std. Error Mean .24356 Lower 5.03378 Upper t df 6.38622 23.444 Sig. (2-tailed) 4 .000 Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok kontrol positif berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan 5.3 Kelompok Uji Konsentrasi 2,5% Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_ 2.5 Luas_Luka_Hari_Ke21 _2.5 7.14280 Std. Deviation .76845 Std. Error Mean .34366 Lower 6.18865 Upper T 8.09695 20.785 df Sig. (2-tailed) 4 .000 Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok uji konsentrasi 2,5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 5.4 Kelompok Uji Konsentrasi 5% Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_ 5Luas_Luka_Hari_Ke21 _5 6.95800 Std. Deviation .51640 Std. Error Mean .23094 Lower 6.31680 Upper t df 7.59920 30.129 Sig. (2-tailed) 4 .000 Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok uji konsentrasi 5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan 5.5 Kelompok Uji Konsentrasi 10% Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 Luas_Luka_Hari_Ke0_ 10 Luas_Luka_Hari_Ke21 _10 6.76800 Std. Deviation 1.12208 Std. Error Mean .50181 Lower 5.37475 Upper t 8.16125 13.487 df Sig. (2-tailed) 4 .000 Keputusan: data penurunan luas luka bakar untuk kelompok Uji Konsentrasi 5% berbeda signifikan sebelum dan sesudah perlakuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 93 Lampiran 13. Hasil Analisis Statistik Persentase Penyembuhan Luka Bakar Derajat Dua 1. Uji Normalitas Data Persentase Penyembuhan Luka Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data persentase penyembuhan luka bakar Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi normal Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Persentase_Pen yembuhan_Luka Perlakuan N _Hari_Ke21 25 25 3.0000 93.4820 1.44338 9.89095 Absolute .156 .255 Positive .156 .255 Negative -.156 -.241 Kolmogorov-Smirnov Z .779 1.275 Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .078 Normal Parameters a Mean Std. Deviation Most Extreme Differences a. Test distribution is Normal. Keputusan: data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok terdistribusi normal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 94 2. Uji Homogenitas Data Persentase Penyembuhan Luka Tujuan : untuk menguji homogenitas data persentase penyembuhan luka bakar Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar terdistribusi homogen Ha = data persentase penyembuhan luka bakar tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Test of Homogeneity of Variances Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21 Levene Statistic 2.298 df1 df2 4 Sig. 20 .094 Keputusan: data persentase penyembuhan luka bakar seluruh kelompok uji terdistribusi homogen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 95 3. Uji One-Way ANOVA Tujuan : untuk menentukan perbedaan data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak ANOVA Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21 Sum of Squares Between Groups df Mean Square 675.352 4 168.838 Within Groups 1672.587 20 83.629 Total 2347.939 24 F 2.019 Sig. .130 Keputusan: Data persentase penyembuhan luka bakar antar kelompok tidak berbeda secara signifikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 96 4. Uji Post Hoc Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference) Tujuan : untuk menentukan data persentase penyembuhan luka bakar kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis : Ho = data persentase penyembuhan luka bakar tidak berbeda secara signifikan Ha = data persentase penyembuhan luka bakar berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Multiple Comparisons Persentase_Penyembuhan_Luka_Hari_Ke21 LSD 95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) (I) Perlakuan (J) Perlakuan Dosis 2.5% Dosis 5% -.68000 5.78375 .908 -12.7447 11.3847 Dosis 10% 2.20400 5.78375 .707 -9.8607 14.2687 Kontrol Positif Upper Bound 5.78375 .726 -10.0087 14.1207 5.78375 .029 1.5153 25.6447 Dosis 2.5% .68000 5.78375 .908 -11.3847 12.7447 Dosis 10% 2.88400 5.78375 .623 -9.1807 14.9487 Kontrol Positif 2.73600 5.78375 .641 -9.3287 14.8007 * 5.78375 .023 2.1953 26.3247 Dosis 2.5% -2.20400 5.78375 .707 -14.2687 9.8607 Dosis 5% -2.88400 5.78375 .623 -14.9487 9.1807 Kontrol Positif Kontrol Positif Lower Bound 2.05600 Kontrol Negatif Dosis 10% Sig. 13.58000 * Kontrol Negatif Dosis 5% Std. Error 14.26000 -.14800 5.78375 .980 -12.2127 11.9167 Kontrol Negatif 11.37600 5.78375 .063 -.6887 23.4407 Dosis 2.5% -2.05600 5.78375 .726 -14.1207 10.0087 Dosis 5% -2.73600 5.78375 .641 -14.8007 9.3287 .14800 5.78375 .980 -11.9167 12.2127 11.52400 5.78375 .060 -.5407 23.5887 Dosis 10% Kontrol Negatif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 97 Kontrol Negatif -13.58000 * 5.78375 .029 -25.6447 -1.5153 Dosis 5% -14.26000 * 5.78375 .023 -26.3247 -2.1953 Dosis 10% -11.37600 5.78375 .063 -23.4407 .6887 Kontrol Positif -11.52400 5.78375 .060 -23.5887 .5407 Dosis 2.5% *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keputusan: 1. Data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok negatif terhadap kelompok uji konsentrasi 2,5% dan 5% berbeda secara signifikan 2. Data persentase penyembuhan luka bakar antara semua kelompok uji tidak berbeda signifikan 3. Data persentase penyembuhan luka bakar antara kelompok kontrol positif dengan semua kelompok perlakuan tidak berbeda siginifikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 98 Lampiran 14. Hasil Analisa Statistik Berat Badan Tikus 1. Uji Normalitas Berat Badan Tikus Tujuan : untuk menguji kenormalan distribusi data Berat Badan Tikus Hipotesis : Ho = data berat badan tikus terdistribusi normal Ha = data berat badan tikus tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 H0 ditolak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Perlakuan N Hari_Ke_0 Hari_Ke_7 Hari_Ke_14 Hari_Ke_21 25 25 25 25 25 3.0000 184.5200 199.2000 218.7200 242.2000 1.44338 17.67795 15.49731 19.33805 24.12295 Absolute .156 .128 .146 .137 .130 Positive .156 .084 .085 .066 .096 Negative -.156 -.128 -.146 -.137 -.130 Kolmogorov-Smirnov Z .779 .641 .731 .686 .649 Asymp. Sig. (2-tailed) .579 .805 .659 .734 .794 Normal Parameters a Mean Std. Deviation Most Extreme Differences a. Test distribution is Normal. Keputusan: data berat badan tikus seluruh kelompok uji terdistribusi normal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 99 2. Uji Homogenitas Berat Badan Tikus Tujuan : untuk menguji homogenitas data berat badan tikus Hipotesis : Ho = data berat badan tikus terdistribusi homogen Ha = data berat badan tikus tidak terdistribusi homogen Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic Hari_Ke_21 1.652 df1 df2 4 Sig. 20 .200 Keputusan: data berat badan tikus seluruh kelompok perlakuan terdistribusi homogen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 100 3. Uji ANOVA Data Berat Badan Tikus Tujuan : untuk menentukan perbedaan data berat badan tikus antara kelompok Hipotesis : Ho = data berat badan tikus tidak berbeda secara signifikan Ha = data berat badan tikus berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak ANOVA Sum of Squares Hari_Ke_21 Between Groups df Mean Square 2238.800 4 559.700 Within Groups 11727.200 20 586.360 Total 13966.000 24 F Sig. .955 .454 Keputusan: Data berat badan tikus antara kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 101 4. Uji Post Hoc Tujuan : untuk menentukan berat badan tikus kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya Hipotesis : Ho = data berat badan tikus tidak berbeda secara signifikan Ha = data berat badan tikus berbeda secara signifikan Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi > 0,05 Ho diterima Jika nilai signifikansi < 0,05 Ho ditolak Multiple Comparisons LSD (I) Perlakuan (J) Perlakuan Hari_Ke_21 Uji Konsentrasi 2,5% Uji Konsentrasi 5% -6.80000 15.31483 .662 -38.7462 25.1462 Uji Konsentrasi 10% 20.20000 15.31483 .202 -11.7462 52.1462 Kontrol Positif 7.80000 15.31483 .616 -24.1462 39.7462 Kontrol Negatif -2.20000 15.31483 .887 -34.1462 29.7462 Uji Konsentrasi 2,5% 6.80000 15.31483 .662 -25.1462 38.7462 Uji Konsentrasi 10% 27.00000 15.31483 .093 -4.9462 58.9462 Kontrol Positif 14.60000 15.31483 .352 -17.3462 46.5462 Uji Konsentrasi 5% Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 10% Kontrol Positif Mean Difference (I-J) 95% Confidence Interval Dependent Variable Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 4.60000 15.31483 .767 -27.3462 36.5462 Uji Konsentrasi 2,5% -20.20000 15.31483 .202 -52.1462 11.7462 Uji Konsentrasi 5% -27.00000 15.31483 .093 -58.9462 4.9462 Kontrol Positif -12.40000 15.31483 .428 -44.3462 19.5462 Kontrol Negatif -22.40000 15.31483 .159 -54.3462 9.5462 Uji Konsentrasi 2,5% -7.80000 15.31483 .616 -39.7462 24.1462 Uji Konsentrasi 5% -14.60000 15.31483 .352 -46.5462 17.3462 Uji Konsentrasi 10% 12.40000 15.31483 .428 -19.5462 44.3462 -10.00000 15.31483 .521 -41.9462 21.9462 Kontrol Negatif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 102 Kontrol Negatif Uji Konsentrasi 2,5% 2.20000 15.31483 .887 -29.7462 34.1462 Uji Konsentrasi 5% -4.60000 15.31483 .767 -36.5462 27.3462 Uji Konsentrasi 10% 22.40000 15.31483 .159 -9.5462 54.3462 Kontrol Positif 10.00000 15.31483 .521 -21.9462 41.9462 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keputusan: Data berat badan tikus hari ke 21 tidak berbeda bermakna antara semua kelompok perlakuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta