Politik Identitas dalam Hubungan Internasional: Bias Konstruksi Barat terhadap Ancaman Uji Coba Rudal Korea Utara dan India Mohamad Rosyidin6 Abstract North Korea missile launch test had triggered widely international response particularly from the West. They sharply condemned North Korea that it destabilizes international security. Soon after that, India successfully launched ICBM which can load nuclear warhead. Contrast to North Korea, Western powers were silence over what had been done by India. This anomaly cannot be explained by realist that emphasize merely on material power. For realist, threat emerges from material capabilities. If realist were true, then Western power should have condemned both North Korean and India concerning missile launch test. Yet, the fact was not in accord with realist premise. This research seeks to explain the anomaly based on constructivist approach in International Relations. According to constructivist, threat derives from ideational structure rather than material capabilities. The central thesis of this research is that the contrast of Western powers response toward North Korea and India missile test is due to identity of both states perceived by the US. While North Korea is perceived as an ‘enemy’ because of its evil ideology, India is perceived as a ‘friend’ because of it shared democracy. Different conception of the identity lead to different conception of state interest and in turn lead to different act or policy. Keywords: nuclear, proliferation, identity, ideology, democracy Pendahuluan Pada tanggal 13 April 2012 lalu Korea Utara (Korut) gagal menguji coba peluru kendali yang diberi nama Unha-3 (Galaksi-3) tiga menit setelah meluncur. Oleh pengamat Barat, peluru kendali itu diklaim mampu membopong hulu ledak nuklir. Padahal, pihak Korut menyatakan bahwa itu bukan peluru kendali melainkan roket yang membawa satelit. Tindakan Korut itu memicu kecaman keras dari negara-negara di dunia bahwa uji coba itu mengganggu stabilitas keamanan internasional. Amerika Serikat (AS) mengatakan, “Meskipun upaya peluncuran rudal itu tidak berhasil, tindakan provokatif Korut itu mengancam keamanan regional, melanggar hukum internasional, dan bertentangan dengan komitmen mereka saat ini” (BBC, 2012). Sebagai respon, AS segera Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Diponegoro 145 menghentikan bantuan pangan ke Korut dan DK PBB mengancam menjatuhkan sanksi. Negara-negara lain seperti Inggris, Jepang, dan Rusia juga mengecam tindakan Korut itu yang dianggap melanggar resolusi DK PBB. Alhasil, Korut benar-benar terpojok oleh kecaman dunia internasional. Lima hari kemudian, India sukses menguji coba peluru kendali antar benua (ICBM) Agni-V yang mampu memboyong hulu ledak nuklir seberat satu ton. Peluru kendali berdaya jangkau 5000 kilometer itu diklaim mampu mencapai sasaran strategis China atau Eropa. Perdana Menteri India Manmohan Singh menyatakan, “Keberhasilan uji peluncuran Agni V adalah tonggak sejarah baru dalam perjuangan kita menambah kredibilitas keamanan dan kesiagaan kita, dan untuk terus menjelajahi batas terdepan ilmu pengetahuan” (Kompas, 2012). Reaksi dunia internasional sangat kontras dengan Korut. Sekretaris jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen menyatakan bahwa NATO tidak menganggap India sebagai ancaman bagi keamanan dunia (Vivanews, 2012). Sikap AS juga relatif ‘ramah’ terhadap India dengan alasan India merupakan negara yang memiliki rekam jejak non-proliferasi yang solid dan terlibat aktif di komunitas internasional dalam membahas non-proliferasi. Keberhasilan uji coba itu membuat India menempati posisi eksklusif negara-negara pemilik senjata nuklir di dunia. Bagaimana menjelaskan kontras sikap dunia internasional, terutama Barat terhadap uji coba peluru kendali yang dilakukan dua negara Asia tersebut? Belum ada satu pun analisis yang menjawab anomali itu. Jika mengikuti pandangan realisme dalam tradisi teoritis Ilmu Hubungan Internasional, anomali kasus Korut dan India itu akan menggugurkan proposisi bahwa kapabilitas material menentukan tindakan negara (Waltz, 1979; Mearsheimer, 1995). Para penganut realis percaya bahwa, “...perilaku negara terutama dibentuk oleh struktur material dari sistem internasional. Distribusi kapabilitas material antar negara merupakan faktor kunci untuk memahami politik dunia” (Mearsheimer, 1995: 91). Logika kaum realis ini tidak dapat dipakai untuk menjelaskan kenyataan di atas. Jika tesis realis benar, seharusnya reaksi negara-negara sama baik terhadap Korut maupun India karena kedua negara secara obyektif melakukan uji coba peluncuran peluru kendali. Logika ancaman seharusnya juga muncul dari realitas 146 obyektif itu. Namun kenyataannya, Barat sangat khawatir terhadap uji coba yang dilakukan Korut meskipun uji coba itu gagal sedangkan Barat tidak merasa waswas sama sekali terhadap uji coba yang dilakukan India meskipun uji coba itu sukses. Kontras sikap Barat dalam menanggapi uji coba peluru kendali Korut dan India adalah deviant case yang tidak sejalan dengan premis realis. Artikel ini akan menjelaskan anomali tersebut menggunakan konsep identitas dalam konstruktivisme. Menurut konstruktivis, perilaku negara didorong intersubyektivitas atau penafsiran satu sama lain aktor satu terhadap aktor lainnya. Penafsiran itu melahirkan identitas yang membentuk persepsi mereka. Bagaimana negara mempersepsi negara lain dan dirinya sendiri memunculkan gambaran realitas hubungan internasional yang tidak seragam, melainkan bervariasi. Tesis dasar tulisan ini adalah perbedaan sikap Barat terhadap uji coba peluru kendali antara Korut dan India disebabkan oleh intersubyektivitas antara Barat dan kedua negara yang melahirkan identitas yang berbeda. Barat memandang Korut sebagai ‘musuh’ sedangkan India dipersepsi sebagai ‘teman’. Perbedaan identitas ini membentuk pemaknaan yang berbeda terhadap uji coba nuklir yang dilakukan oleh kedua negara. Alhasil, uji coba peluru kendali yang dilakukan oleh Korut dipersepsi sebagai ancaman, sedangkan apa yang dilakukan India tidak dipersepsi sebagai ancaman. Artikel ini akan mengikuti sistematika sebagai berikut. Bagian pertama akan mendiskusikan konsep identitas dalam hubungan internasional. Identitas merupakan salah satu konsep kunci konstruktivis untuk menjelaskan politik dunia. Identitas negara bermacam-macam tergantung konteksnya. Bagian kedua akan membahas bagaimana identitas menjelaskan kasus uji coba peluru kendali Korut dan India. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana identitas berperan penting dalam memberi pemaknaan terhadap uji coba tersebut. Identitas muncul dari proses interaksi timbal-balik antar aktor internasional. Bagian ketiga adalah kesimpulan, keterbatasan hasil penelitian, dan saran penelitian lebih lanjut. Identitas dalam Hubungan Internasional Konstruktivisme adalah cara pandang yang memusatkan perhatian pada kesadaran manusia serta peranannya dalam hubungan internasional (Ruggie, 147 1998: 856). Asumsi dasar konstruktivisme adalah bahwa dimensi gagasan lebih penting ketimbang dimensi material, dan bahwa identitas dan kepentingan ditentukan oleh gagasan tersebut ketimbang seperti apa adanya (Wendt, 1999: 1). Alasan kenapa dimensi gagasan yang tidak tampak ini sangat penting karena “[S]umberdaya material hanya bermakna bagi tindakan manusia sejauh melalui struktur pemahaman bersama dimana mereka berada” (Wendt, 1995: 73). Dengan demikian, logika berpikir konstruktivis sangat berbeda dengan realis. Jika realis menekankan pada dimensi material berupa distribusi kapabilitas antar negara, konstruktivis menekankan pada dimensi tidak tampak berupa distribusi pengetahuan atau intersubyektivitas (shared understanding) antar negara. Salah satu konsep kunci konstruktivis untuk memahami fenomena hubungan internasional adalah identitas. Konsep identitas sebenarnya dipinjam dari sosiologi dan psikologi sosial. Berdasarkan kedua disiplin itu, identitas bisa dipahami melalui dua pemaknaan. Pertama, identitas sebagai kategori ‘sosial’ yaitu atribut atau karakteristik yang membedakannya dengan yang lain. Konsepsi ini mengimplikasikan identitas sebagai sesuatu yang terkonstruk dalam proses interaksi dengan pihak lain (significant other). Jadi dibutuhkan intersubyektivitas untuk memberi makna siapa ‘aku/kami’ dan siapa ‘kamu/mereka’. Bagaimana kelompok atau individu-individu di luar aktor berpengaruh terhadap bagaimana cara aktor memandang dirinya dan di luar dirinya tidak bisa dimengerti tanpa memahami konteks sosial yang lebih luas dimana aktor yang bersangkutan berada (Ellemers, 2002: 164-165). Identitas kategori ini relatif plastis atau mudah berubah tergantung proses pemaknaan dalam sebuah proses interaksi. Contohnya identitas sebagai negara ‘demokratis’, ‘pembela HAM’, ‘stabilisator’, dan lainlain. Untuk mendefinsikan diri sebagai negara ‘pembela HAM’, Amerika memerlukan eksistensi negara ‘pelanggar HAM’. Kedua, identitas sebagai kategori ‘personal’ yaitu atribut atau karakteristik yang melekat dalam diri aktor yang keberadaannya muncul tanpa perlu proses pembedaan dengan yang lain. Definisi kedua ini mengandaikan identitas sebagai sesuatu yang disadari sendiri (self-awareness) oleh aktor bersangkutan tanpa perlu intersubyektivitas. Identitas personal memandang aktor sebagai pribadi yang unik yang membedakannya dengan pribadi lain. Aktor 148 melakukan tindakan atas dasar kehendak dan tujuannya sendiri tanpa melihat posisi atau kedudukannya dalam konteks sosial (Stets & Burke, 2000: 228). Identitas kategori ini relatif stabil karena atribut yang dimiliki melekat sejak awal. Contohnya adalah identitas etnis, agama, budaya, dan sebagainya. Untuk mendefinisikan dirinya sebagai ‘negara muslim’ Indonesia tidak perlu membedakan dirinya dengan negara yang ‘bukan muslim’ karena secara intrinsik Indonesia memang penduduknya mayoritas beragama Islam. Meskipun berbeda secara konseptual, kedua konsep pada intinya sama bahwa identitas adalah atribut atau karakteristik yang melekat pada diri aktor yang berfungsi untuk membedakan atau mengidentifikasi diri dengan pihak lain (Mead, 1934: 173-178; Layder, 2004; Fearon, 1999). Bagi konstruktivis, identitas didefinisikan sebagai, “[A]tribut aktor internasional yang bertujuan yang memberikan motivasi dan mendorong tindakannya” (Wendt, 1999: 224). Bagaimana aktor internasional memandang dirinya vis a vis persepsi aktor lain akan menjadi determinan utama tindakan aktor tersebut. Dengan kata lain, negara mempersepsi negara lain berdasarkan identitas yang mereka sematkan padanya, sementara pada saat yang sama mereproduksi identitasnya sendiri (Hopf, 1998: 175). Misalnya, AS lebih waspada kepada Kuba daripada kepada Kanada. Padahal Kanada secara geografis lebih besar dan secara ekonomi lebih kuat daripada Kuba. Kewaspadaan AS itu lebih didasari oleh perbedaan identitas karena AS adalah ‘negara demokrasi’ sama seperti Kanada, sementara Kuba adalah ‘negara sosialis’. Perbedaan pemahaman diri ini mengakibatkan perbedaan pemaknaan dalam konteks interaksi; Kuba dipersepsi sebagai ‘musuh’ sedangkan Kanada sebagai ‘teman’. Identitas ini menjadi dasar dari kepentingan negara bersangkutan. Dengan kata lain, pemaknaan tentang ‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’ akan menentukan konsepsi tentang apa tujuan yang hendak dicapai. Kepentingan ini pada gilirannya akan menentukan tindakan apa yang akan diambil negara tersebut. Dengan demikian, identitas diperlakukan sebagai variabel independen yang menjelaskan perilaku negara. Konstruktivis juga menganggap identitas adalah entitas yang dapat berubah. Praktik berupa tindakan negara tidak hanya dibentuk oleh identitas, tetapi juga membentuk identitas itu sendiri. Sifat hubungan antara identitas dan 149 praktik adalah saling membentuk (mutually constituted). Dalam salah satu referensi penting konstruktivisme, Peter Berger dan Thomas Luckmann (1966: 192) mengatakan bahwa: Identitas merupakan elemen realitas subyektif, dan seperti halnya semua realitas subyektif ia berada dalam hubungan dialektis dengan masyarakat. Identitas terbentuk melalui proses sosial. Begitu terbentuk, identitas dipertahankan, dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui hubungan sosial. Proses sosial yang membentuk dan mempertahakan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas yang terbentuk oleh gabungan antara individu, kesadaran, dan struktur sosial merespon struktur sosial itu, mempertahankannya, memodifikasinya, atau bahkan merubahnya. Ambil contoh misalnya AS yang berperang di Libya karena ia memahami dirinya sebagai ‘negara pejuang HAM’ sementara memandang Libya sebagai ‘negara pelanggar HAM’. Identitas AS itu lantas melandasi kepentingan untuk ‘menyelamatkan nyawa warga sipil Libya’. Kebijakan atau tindakan AS kemudian adalah ‘menginvasi Libya’. Dengan cara menginvasi itulah AS mempertahankan identitasnya. Gambar 1. Logika berpikir konstruktivisme identitas tindakan kepentingan Sama seperti individu yang memiliki bermacam-macam identitas, negara juga memiliki beragam identitas tergantung konteks sosialnya. Alexander Wendt (1999: 224-231) membagi identitas menjadi empat jenis yaitu identitas personal (corporate identity), identitas golongan (type identity), identitas peran (role identity), dan identitas kolektif (collective identity). Identitas personal terdiri dari 150 komponen yang menyusun sebuah entitas (negara) seperti wilayah, konsep kedaulatan, pengakuan, dan tujuan nasional. Identitas golongan merupakan kategorisasi yang membuat negara satu dengan negara lain memiliki karakteristik yang sama atau minimal serupa misalnya dalam hal nilai yang dianut (ideologi dan sistem politik), budaya, sikap dan perilaku, persepsi, pengalaman sejarah, dan sebagainya (Wendt, 1999: 225). Identitas peran merujuk pada posisi aktor negara dalam lingkungan internasional dan kaitannya dengan negara lain. Jadi identitas jenis ini tercipta karena keberadaan significant other yang bisa jadi menduduki peran berbeda atau berlawanan (counter identities). Identitas kolektif adalah identifikasi positif bahwa antar negara tidak ada permusuhan kecuali persahabatan (logika pertemanan). Jadi dalam identitas kolektif pola interaksi antar negara tidak lagi dimotivasi oleh logika menolong diri sendiri atau egoisme (self help) tetapi logika demi kepentingan bersama atau altruisme (one for all, all for one). Dalam konteks uji coba peluru kendali Korut dan India, konsep sentral identitas bisa diaplikasikan untuk memahami sikap negara-negara Barat terhadap kedua negara itu. Tipologi identitas Alexander Wendt yang sesuai untuk menjelaskan hal itu adalah identitas golongan (type identity). Persepsi ancaman yang muncul sebenarnya bukan bersumber semata-mata dari realitas obyektif berupa peristiwa uji coba peluncuran peluru kendali an sich. Kenapa uji coba Korut dipersepsi sebagai ancaman lebih dikarenakan Barat memandang identitas Korut berbeda dari Barat; Korut diperintah oleh rezim komunis otoriter sedangkan Barat adalah rezim demokratis. Sementara Barat mengidentifikasi India sebagai negara demokratis yang berbagi kesamaan identitas dengan Barat. Alhasil, karena perbedaan identitas itu Korut dipersepsi Barat sebagai ‘musuh’ sementara India sebagai ‘teman’. Identifikasi inilah yang menjadi dasar yang menentukan kontras sikap Barat terhadap kedua negara. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, penelitian ini mengajukan jawaban sementara bahwa faktor yang menyebabkan perbedaan sikap Barat terhadap Korut dan India adalah konsepsi identitas antara Barat dan Korut serta antara Barat dan India. Karena identitas Korut sebagai negara otoriter berhaluan komunis yang berbeda dengan Barat yang demokratis, maka Korut dipandang sebagai musuh. Karena identitas India sebagai negara demokrasi yang sehaluan 151 dengan Barat, maka India dipandang sebagai teman. Jadi semakin serupa identitas antar negara, semakin tidak bermusuhan negara itu. Sebaliknya semakin berbeda identitas antar negara, semakin besar kecenderungan untuk bermusuhan. Identitas dan Konsep Ancaman Bagian ini menelaah konstruksi identitas antara Barat (dalam hal ini adalah AS) dan kedua negara (Korut dan India). Fokus pembahasan adalah bagaimana persepsi AS terhadap kedua negara dan sebaliknya. Derajat persepsi suatu negara dapat dilihat dari pandangan atau opini elit pemerintah yang mewakili negara atau bisa juga persepsi warga masyarakat terhadap pemerintah negara tertentu. Bagian ini menunjukkan bagaimana sebuah identitas terkonstruk secara sosial. Bagi konstruktivis, identitas bukan sesuatu yang bersifat given dan statis. Identitas adalah atribut sosial yang sengaja diciptakan dalam proses interaksi dan bisa berubah ketika persepsi berubah. Proses saling mempersepsi antara AS-KorutIndia mencerminkan proses saling melabeli (labelling) yang mendefinisikan ‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’. Proses pendefinisian ini pada gilirannya menentukan struktur hubungan apakah ‘konfliktual’ (enmity) atau ‘persahabatan’ (amity). Konstruksi Identitas antara Amerika Serikat-Korea Utara Sejak Perang Dingin, hubungan antara AS dan Korut dikategorikan sebagai hubungan permusuhan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pecahnya Korea menjadi dua pasca berakhirnya Perang Dunia II menjadi Korea Selatan (Korsel) yang berhaluan liberal-kapitalis bersekutu dengan AS dan Korut yang berhaluan komunis-sosialis bersekutu dengan Uni Soviet. Konflik ideologis antara AS dan Uni Soviet selama Perang Dingin merembet sampai ke kawasan-kawasan lain di dunia yang menciptakan ‘proxy war’, tak terkecuali di Semenanjung Korea. Perang Korea tahun 1950 sebenarnya adalah perang antara AS dan Uni Soviet. Setelah perang itu, pemerintah AS dan kalangan militer mulai mengidentifikasi Korut sebagai ‘musuh’ (Chung, 2005). Meskipun Perang Dingin telah berakhir, bukan berarti permusuhan turut berakhir. Korut tetap dipandang AS sebagai musuh yang berbahaya bagi 152 keamanan nasionalnya dan juga bagi keamanan internasional. Pada tahun 2002, Presiden AS George Bush memasukkan Korut ke dalam daftar negara ‘poros setan’ (axis of evil) bersama dengan Iran dan Irak. Merujuk pada ketiga negara itu, Bush (2002) menyatakan: Negara-negara semacam ini, dan sekutu-sekutu teroris mereka, membentuk poros setan, mempersenjatai diri untuk mengancam perdamaian dunia. Dengan memiliki senjata pemusnah massal, rezimrezim ini memperlihatkan ancaman yang mengerikan. Mereka bisa menyediakan senjata-senjata ini untuk para teroris, sebagai sarana untuk melampiaskan permusuhannya. Mereka bisa menyerang sekutusekutu kita atau berupaya memaksa kita. Dalam hal ini, membiarkan itu terjadi adalah sangat berbahaya. Nuansa permusuhan dengan Korut juga tercermin dari pernyataan Condoleezza Rice (2000: 60) yang menyamakan rezim Kim Jong II dengan rezim komunis Jerman Timur sebagai rezim setan yang tidak bisa diketahui secara pasti motivasinya dan berada di luar sistem internasional. Permusuhan antara AS dan Korut kian meruncing ketika Korut secara sepihak menyatakan keluar dari Traktat Non Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 2003. Semenjak keluar dari kerangka legal itu, Korut semakin leluasa melakukan uji coba nuklir sehingga sering menuai kecaman keras dari komunitas internasional. AS pun kerap menjatuhkan sanksi ekonomi untuk menekan Korut namun tanpa hasil. Ketika Barack Obama menjadi presiden AS, persepsi AS terhadap Korut tak mengalami perubahan. Sama seperti Bush, Iran dan Korut adalah dua negara yang dipandang Obama berbahaya. Ketika kampanye untuk pemilihan presiden 2008, Obama (2007: 9) mengatakan, Akhirnya, kita harus membangun koalisi internasional yang kokoh untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir dan mengeliminasi program nuklir Korea Utara. Iran dan Korea Utara bisa memicu perlombaan senjata di kawasan, menyalakan sumbu nuklir di kawasan Timur Tengah dan Asia Timur. Perubahan hanya tampak pada pendekatan yang dipakai Obama untuk mengajak Korut kembali ke meja perundingan. Forum multilateral Six Party Talk dihidupkan kembali meskipun jarang mencapai kata sepakat. AS memberikan 153 bantuan pangan kepada Korut agar negara itu mau menghentikan tindakan provokatif yang mengancam stabilitas keamanan internasional. Akan tetapi dalam politik luar negeri AS, Korut tetap belum digeser posisinya dari negara ‘musuh’ ke negara ‘sekutu’ dan agaknya nyaris mustahil melakukannya. Ketika berkunjung ke China dalam rangka memperkuat hubungan diplomatik antara ASChina, Menteri Pertahanan AS Robert Gates menyatakan, “dengan diteruskannya pengembangan senjata nuklir dan misil antar benua, Korea Utara merupakan ancaman langsung terhadap Amerika Serikat” (The Guardian, 2011). Pengganti Gates, Leon Panetta juga berpendapat sama dengan mengatakan, “Korea Utara terus bertindak provokatif yang mengancam keamanan negara kita dan, tentu saja Korea Selatan dan kawasan” (Departemen Pertahanan AS, 2012). Dalam benak petinggi AS, Korut tetap menjadi negara di Asia Timur yang patut diwaspadai. Persepsi elit pemerintah AS diperkuat oleh persepsi masyarakatnya. Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, ditemukan bahwa Korut merupakan negara yang diidentifikasi sebagai musuh nomor dua setelah Iran. Sedangkan negara yang diidentifikasi sebagai sekutu nomor satu adalah Kanada. Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa Israel hanya menempati urutan ke delapan. Hasil jajak pendapat itu mencerminkan pandangan publik AS terhadap Korut yang masih dianggap sebagai ancaman. Masyarakat AS menilai Korut merupakan negara yang tidak populis, sangat tidak bisa dipercaya, dan ancaman nyata bagi keamanan nasional AS. Hasil jajak pendapat itu menunjukkan delapan dari sepuluh warga AS menilai Korut sebagai ‘ancaman utama’ (Washington Post, 2012). 154 Gambar 2. Daftar negara ‘kawan’ dan negara ‘musuh’ menurut opini publik Amerika Sumber: Gallup, 2012 Subyektivitas AS yang memandang Korut sebagai ‘musuh’ ditanggapi oleh Korut dengan cara yang sama. Persepsi negatif Korut terhadap AS perlu ditempatkan dalam konteks sejarah. Penempatan tentara AS di Korsel sejak era Perang Dingin dipandang sebagai agresivitas AS yang mengancam eksistensi Korut. Identitas nasional ‘Juche’ (secara harfiah berarti berdiri di atas kaki sendiri) mengimplikasikan penolakan terhadap segala tuntutan dari negara lain. Untuk menopang kedaulatannya, Korut merasa perlu memiliki senjata nuklir yang bisa dipakai untuk strategi penangkalan. Ketika AS semakin erat dengan Korsel, Korut semakin memperkeras upayanya untuk memiliki senjata nuklir. Kim Jong II memelihara balance of terror dengan mengadopsi Sôn’gunjôngch’aek (military first policy) untuk mengirim isyarat kepada AS bahwa Korut tidak bisa didikte (Suh, 2005). 155 Pasca kematian Kim Jong II, persepsi negatif Korut terhadap AS ditunjukkan dengan pernyataan resmi pemerintahan rezim Kim Jong Un (anak dari Kim Jong II) yang menegaskan bahwa sikap permusuhan AS terhadap program nuklir Korut telah membuat solusi damai jauh dari harapan. Pernyataan resmi Korut itu juga menggarisbawahi poin penting bahwa, “sejak awal AS telah mendefinisikan Korut sebagai musuh dan enggan mengakui kedaulatannya” (Snyder, 2012). Pihak Korut sendiri sebenarnya berkeinginan untuk memperbaiki hubungan diplomatik dengan AS asalkan AS mau melakukan perubahan fundamental terkait kebijakannya terhadap Korut. Dengan kata lain, Korut akan terbuka untuk semua negara yang menunjukkan sikap persahabatan kepada Korut. Tentu saja, negara lain harus menghormati kebijakan Korut mengenai program nuklirnya. Konstruksi identitas antara AS-Korut merupakan produk interaksi kedua negara dalam hubungan internasional baik melalui pernyataan resmi pemerintah maupun persepsi publik. AS menilai Korut adalah dipimpin oleh rezim yang ‘buruk’ dengan kebijakan-kebijakan yang ‘tidak waras’ (Smith, 2000). Rezim Korut juga dinilai rapuh yang jika terjadi krisis politik bisa berbahaya karena bisa memicu provokasi militer (Green, 1997). Dicap buruk karena dianggap keluar dari komunitas internasional sehingga dijuluki pemerintah ‘setan’. Secara internal Korut melakukan kebijakan yang melenceng dari norma internasional seperti melakukan pelanggaran HAM. Secara eksternal Korut bertindak agresif terhadap negara-negara tetangganya dan terus memperkuat militernya. Dicap tidak waras karena Korut tak pernah mau mematuhi norma internasional. Irasionalitas Korut membuat perundingan damai selalu menemui jalan buntu karena perilakunya tidak dapat diprediksi. Pada saat yang sama, Korut menilai AS sebagai negara yang selalu ingin menang sendiri dan tidak mau menghormati kedaulatan negara lain. Bagi Korut, permusuhannya dengan AS bukan kemauannya sendiri melainkan sebagai respon sikap AS yang memang enggan bersahabat dengan negara seperti dirinya. Pola hubungan konfliktual antara AS dan Korut mendorong kepentingan AS untuk membendung ancaman Korut. Bagi AS dan negara-negara Barat sekutunya, Korut adalah ‘major destabilizing factor’ di kawasan Asia Timur yang 156 dapat mengacaukan struktur perimbangan kekuatan di kawasan itu. Kepentingan AS terkait Korut sangat jelas yakni menanggulangi ancaman dari rezim-rezim jahat dan kekuatan-kekuatan berbahaya, yang ditimbulkan oleh pengembangan senjata pemusnah massal (Rice, 2000: 47). Meskipun tidak secara eksplisit menyebut Korut, pernyataan tersebut diarahkan kepada negara-negara pemilik senjata nuklir yang tidak sejalan dengan kepentingan AS, salah satunya tentu saja adalah Korut. Bahkan Barack Obama (2007: 8) menegaskan komitmennya untuk melawan negara bersenjata nuklir yang berpotensi mengancam sebagai bagian dari upaya memperbarui kepemimpinan global AS. Motivasi AS membendung ancaman Korut merupakan kepentingan strategis AS tidak hanya di kawasan Asia Timur, melainkan Asia Pasifik secara keseluruhan. Kepentingan strategis itu adalah menjaga perdamaian dan keamanan Asia Pasifik karena hal itu akan menunjang kepentingan-kepentingan AS dan sekutu-sekutunya di kawasan (Campbell, 2011). Dengan logika hubungan seperti itu, sangat masuk akal apabila AS menerapkan kebijakan konfrontasional terhadap Korut menyangkut uji coba senjata nuklirnya. Kecaman dan sanksi ekonomi mencerminkan tindakan AS untuk menjamin kepentingannya di kawasan dari ancaman Korut. Konstruksi Identitas antara Amerika Serikat-India Kontras dengan Korut, India dipersepsi AS sebagai ‘sekutu alami’ (Twinning & Fontaine, 2011). Ketika bertemu dengan Perdana Menteri India Manmohan Singh, Barack Obama mengatakan bahwa hubungan AS-India merupakan kemitraan penting pada abad 21. Pandangan itu sama seperti pandangan Bush yang menyatakan bahwa sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, India merupakan pemain kunci di Asia. Duta Besar India untuk AS Nirupama Rao juga mengafirmasi hubungan strategis India-AS sebagai kemitraan yang berlandaskan kesamaan nilai dan kepentingan. “Hubungan antara India dan Amerika Serikat tercipta oleh kesamaan nilai dan kepentingan yang diperlukan untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat kita” (India Today, 2012). Kesamaan nilai dan kepentingan antara India dan AS itu mendasari hubungan bilateral yang relatif bersahabat (amity). 157 Identifikasi positif AS terhadap India membuat keduanya berada dalam satu barisan dalam menghadapi tantangan global. Henry Kissinger (dalam Blackwill, 2004) pernah mengatakan bahwa, “Hubungan kooperatif antara IndiaAmerika Serikat sangat penting karena tujuan geopolitis India yang mereka perjuangkan secara sungguh-sungguh sejalan dengan tujuan kita.” Dalam isu terorisme misalnya, India pernah mengalami ancaman dari kaum militan di Mumbai. Dalam kasus sengketa Kashmir, India juga menjadi target kelompok jihad Islam. Pengalaman itu membuat India bersama-sama AS dalam kampanye perang melawan terorisme global. Dalam hal energi nuklir, AS dan India telah menyepakati kerjasama nuklir untuk tujuan damai berdasarkan Undang-Undang Energi Nuklir AS (Hussain, 2011). Dalam menyikapi kebangkitan China, India adalah salah satu negara yang cukup waspada terhadap modernisasi militer China, suatu ancaman yang juga dirasakan oleh AS. Di samping isu keamanan, India merupakan salah satu mitra dagang terbesar AS. Pada tahun 2004, nilai ekspor AS ke India mencapai 25%. India adalah lokasi investasi asing terbesar bagi AS. Lebih dari separuh perusahaan AS yang kebanyakan adalah perusahaan teknologi informasi bertempat di India. Dengan berbagi kepentingan tersebut, sangat masuk akal apabila India dan AS terlibat dalam hubungan yang sangat strategis. Identitas paling penting yang menjadikan AS dan India menjalin kemitraan strategis adalah demokrasi. India dan AS sama-sama negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip penegakan HAM dan kebebasan dalam wadah demokrasi. Barack Obama menegaskan keduanya mengakui, “Demokrasi, pluralisme, toleransi, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia” (Kantor Kepresidenan AS, 2009). Kedua negara sepakat untuk mengeliminasi setiap ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi. Dalam pidatonya di Universitas Yale, Nirupama Rao (Kedutaan Besar India, 2011) mengatakan: Perluasan kerjasama antara India dan Amerika Serikat sangat kuat berakar dari kesamaan kita terhadap demokrasi, kebebasan individu dan penegakan hukum, interaksi antar manusia serta jaringan bisnis dalam berbagai bidang, serta kemampuan kita bekerjasama dalam memerangi terorisme untuk menjamin stabilitas ekonomi global. 158 Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton (2012) juga menyebut bahwa demokrasi merupakan salah satu pilar penting yang menyangga hubungan antara AS dan India. Dalam pidato dalam rangka US-India Strategic Dialog, ia menyatakan bahwa pondasi utama hubungan India dan AS adalah kesamaan dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi, kepentingan ekonomi, dan tujuan diplomatik yang semuanya itu mendorong rasa saling pengertian dan percaya satu sama lain. Kesimpulannya adalah, India dan AS adalah mitra alami karena kesamaan nilai dan kepentingan yang mereka bawa. Demokrasi, kebebasan individu, penegakan hukum, kebebasan berekspresi dan beragama, masyarakat yang plural, perlindungan terhadap minoritas, dan lain-lain merupakan nilai yang mereka anut. Dari sekian banyak nilai itu, demokrasi adalah tali pengikat yang paling kuat. Demokrasi lah yang membuat India menjadi teman AS sebagaimana dikatakan Bush, “Bangsa yang mengikuti jalan demokrasi dan berperilaku secara bertanggung jawab akan berteman dengan Amerika Serikat” (Kantor Kepresidenan AS, 2008). Menurut pengamat dari India, kesamaan identitas dipadu dengan kesamaan kepentingan antara kedua negara menciptakan hubungan internasional yang penuh dengan rasa saling pengertian dan kepercayaan yang berlangsung lama (Shrivastav, 2010). Pola interaksi antara AS dan India yang sangat bersahabat melahirkan kepentingan bersama yang relatif kooperatif dibandingkan dengan negara lain di kawasan. Sebagai negara yang sama-sama menganut sistem demokrasi dan menghormati HAM, AS dan India berkomitmen terhadap dunia yang demokratis, aman, dan terbuka (Rice, 2008: 5-6). India adalah mitra strategis yang sangat penting bagi kepentingan AS dalam membantu mewujudkan agenda-agenda politik internasionalnya. Oleh sebab itu, dukungan AS kepada India dipandang sebagai elemen vital untuk menunjang peran India sebagai pemimpin regional yang bertugas mempertahankan stabilitas di kawasan (Departemen Luar Negeri AS, 2012). Kepentingan strategis AS tidak hanya menyangkut masalah keamanan saja. Persahabatan dengan India konsisten dengan kepentingan AS untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di Asia; memperkuat sistem perdagangan global yang terbuka; melindungi akses global melalui laut, udara, 159 darat, dan dunia maya; memerangi terorisme dan ekstrimisme; menjamin akses terhadap energi; memperkuat rezim non-proliferasi nuklir; menyebarluaskan demokrasi dan HAM; dan menjaga stabilitas keamanan dan kemakmuran di kawasan Asia Selatan (Armitage, Burns, & Fontaine, 2010: 4). Konsekuensi dari hubungan persahabatan antara AS dan India membuahkan kepentingan yang sejalan dengan kepentingan nasional AS. Oleh sebab itu, AS tidak mengecam uji coba rudal nuklir yang dilakukan India. Respon diam atau tidak mengecam dimaknai sebagai sikap permisif AS dan negara-negara Barat kepada India karena apa yang dilakukan oleh India masih selaras dengan kepentingan mereka. Jadi ada korelasi positif antara kepentingan strategis AS terhadap India dan tindakan membiarkan India melakukan uji coba senjata itu. Kesimpulan Perbedaan sikap AS yang sangat menyolok dalam merespon uji coba peluru kendali Korut dan India mengindikasikan perbedaan identitas antara AS dan kedua negara. AS memandang Korut sebagai negara otoriter yang tidak mau mematuhi norma internasional dan sering mengganggu stabilitas keamanan internasional. Oleh karena itu Korut dipersepsi AS sebagai ‘musuh’. Sebaliknya, AS dan India merupakan negara demokratis terbesar di dunia yang menjunjung tinggi nilai-nilai bersama dan kepentingan yang sama. Oleh sebab itu, India dipersepsi AS sebagai ‘teman’. Perbedaan identitas ini pada gilirannya melahirkan perbedaan kepentingan; kepentingan AS terhadap Korut adalah jangan sampai ia memiliki senjata nuklir sedangkan kepentingan AS terhadap India adalah senjata nuklir dianggap penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Perbedaan kepentingan ini selanjutnya melahirkan perbedaan sikap atau tindakan; AS menghentikan bantuan pangan kepada Korut sedangkan pada saat yang sama tidak melakukan apa-apa kepada India. Dengan demikian, ancaman tidak muncul dari senjata nuklir itu sendiri melainkan dari perbedaan konsepsi tentang identitas. Kelemahan utama penelitian ini adalah sulitnya menemukan intersubyektivitas antara AS dan Korut semenjak Korut adalah negara yang sangat tertutup dalam hal informasi. Data dan informasi yang diperoleh kebanyakan berasal dari ahli Korea di Barat sehingga rentan terjadi bias informasi. Penelitian 160 lebih lanjut mengenai topik yang sama hendaknya hirau dengan masalah ini. Di samping itu, penelitian lebih lanjut bisa mengkritisi apakah demokrasi menjadi satu-satunya ‘lem perekat’ identitas kolektif antar negara? Apakah dua negara yang berbeda budaya seperti AS (WASP: White, Anglo Saxon, Protestant) dan India (Hindu) atau Arab Saudi (Islam) berpengaruh terhadap konstruksi identitas tersebut? Bagaimana relevansi faktor budaya ini terhadap tesis ‘benturan antar peradaban’? Semenjak konstruktivis menaruh perhatian pada konsep gagasan, faktor budaya dalam banyak kasus justru kontradiktif dengan kesamaan ideologi politik. DAFTAR PUSTAKA Buku Armitage, Richard, Nicholas Burns, and Richard Fontaine. 2010. “Natural Allies: A Blueprint for the Future of U.S.-India Relations,” Center for A New American Security (October), pp. 3-12. Berger, Peter and Thomas Luckmann, 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. London: Penguin. Layder, Derek. 2004. Social and Personal Identity: Understanding Yourself. London: SAGE Publication. Mead, George. 1934. Mind, Self, and Society: From The Standpoint of A Social Behaviorist. Chicago: University of Chicago Press. Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley. Wendt, Alexander. 1999. Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge Universiy Press. Jurnal Ellemers, Naomi, Russell Spears, and Bertjan Doosje. 2002. “Self and Social Identity,” Annual Review of Psychology, Vol. 53, pp. 161-186. Green, Michael. 1997. “North Korean Regime Crisis: US Perspectives and Responses,” The Korean Journal of Defense Analysis, Vol. 9, No. 2, pp. 7-25. Hopf, Ted. 1998. “The Promise of Constructivism in International Relations Theory,” International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer), pp. 171-200. pp. 82-93. Mearsheimer, John. 1995. “A Realist Reply,” International Security, Vol. 20, No. 1 (Summer 1995), 161 Mearsheimer, John. 1995. “The False Promise of International Institutions,” International Security, Vol. 19, No. 3 (Winter), pp. 5-49. Obama, Barack. 2007. “Renewing American Leadership,” Foreign Affairs, Vol. 86, No. 4 (Jul. - Aug.,), pp. 2-16. Rice, Condoleezza. 2000. “Promoting the National Interest,” Foreign Affairs, Vol. 79, No. 1 (Jan. - Feb.,), pp. 45-62. Rice, Condoleezza. 2008. Rethinking the National Interest: American Realism for a New World, Foreign Affairs, Vol. 87, No. 4 (Jul. - Aug.,), pp. 2-14. Ruggie, John. 1998. “What Makes the World Hang Together? Neo-utilitarianism and the Social Constructivist Challenge”, International Organization, Vol. 52, No. 4 (Autumn), pp. 855-885. Smith, Hazel. 2000. “Bad, Mad, Sad or Rational Actor? Why the 'Securitization' Paradigm Makes for Poor Policy Analysis of North Korea,” International Affairs, Vol. 76, No. 3 (Jul.,), pp. 593-617. Stets, Jan and Peter Burke. 2000. “Identity Theory and Social Identity Theory,” Social Psychology Quarterly, Vol. 63, No. 3, pp. 224-237. Twining, Daniel and Richard Fontaine. 2011. “The Ties that Bind? U.S.-Indian Valuesbased Cooperation,” The Washington Quarterly , Vol. 34, No. 2 (Spring), pp. 193205. Wendt, Alexander. 1994. “Collective Identity Formation and The International State,” American Political Science Review, Vol. 88, No. 2 (June), pp. 384-396. Wendt, Alexander. 1995. “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 20, No. 1 (Summer), pp. 71-81. Website BBC. 2012. North Korea rocket launch fails, http://www.bbc.co.uk/news/world-asia17698438 diakses tanggal 8 Mei 2013. Blackwill, Robert. 2004. Why is India America's Natural Ally?, <http://nationalinterest.org/article/why-is-india-americas-natural-ally-2764> diakses tanggal 3 Januari 2013. Bush, George. 2002. The President's State of the Union Address, <http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2002/01/20020129-11.html> diakses tanggal 7 Mei 2013. Campbell, Kurt. 2011. U.S. Policy Toward North Korea, <http://www.uspolicy.be/headline/assistant-secretary-campbell-us-policy-towardnorth-korea> diakses tanggal 2 Januari 2013. Chung, Young Wook. 2005. The Emergence of ‘North Korea’ in a Cold War United States, <http://www.einaudi.cornell.edu/node/7913> diakses tanggal 2 Januari 2013. Clinton, Hillary. 2012. Remarks at the U.S.-India <http://www.state.gov/secretary/rm/2012/06/192242.htm> Januari 2013. Strategic Dialogue, diakses tanggal 3 Departemen Luar Negeri AS. 2012. U.S. Relations With India, <http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3454.htm> diakses tanggal 3 Januari 2013. 162 Departemen Pertahanan AS. 2012. Defense Leaders: North Korea Remains Threat to Peace, <http://www.defense.gov/News/NewsArticle.aspx?ID=118325> diakses tanggal 2 Januari 2013. Fearon, James. 1999. What is Identity (as We Now The Word?), <www.stanford.edu/~jfearon/papers/iden1v2.pdf>, diakses tanggal 16 Januari 2013. Hussain, Mohammad Samir. 2011. The U.S. Nuclear Policy Shift towards India, <http://www.foreignpolicyjournal.com/2011/10/26/the-u-s-nuclear-policy-shifttowards-india/> diakses tanggal 3 Januari 2013. India Today. 2012. “India, US on same side on freedom, development: Nirupama Rao,” <http://indiatoday.intoday.in/story/india-us-freedom-development-indianambassador-nirupama-rao/1/170313.html> diakses tanggal 3 Januari 2013. Kantor Kepresidenan AS. 2008. The United States-India Nuclear Cooperation Approval and Nonproliferation Enhancement Act, < http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2008/10/20081008-4.html> diakses tanggal 8 Mei 2013. Kantor Kepresidenan AS. 2009. Joint Statement between Prime Minister Dr. Singh and President Obama, <http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/joint-statementbetween-prime-minister-dr-singh-and-president-obama> diakses tanggal 3 Januari 2013. Kedutaan Besar India. 2011. Ambassador’s Address at the Yale University on "Future Direction in India-US relations", <http://www.indianembassy.org/includes/page.php?id=1799>, diakses tanggal 3 Januari 2013. Kompas. 2012. Uji Coba Agni V Ambisi Global India, <http://internasional.kompas.com/read/2012/04/20/02123840/Uji.Coba.Agni.V.Am bisi.Global.India> diakses tanggal 3 Januari 2013. Saad, Lydia. 2012. Americans Give Record-High Ratings to Several U.S. Allies, <http://www.gallup.com/poll/152735/Americans-Give-Record-High-RatingsSeveral-Allies.aspx#2> diakses tanggal 2 Januari 2013. Shrivastav, Sanjeev Kumar. 2010. Inherent values and substance bind India and the United States, <http://www.idsa.in/idsacomments/InherentvaluesandsubstancebindIndiaandtheUn itedStates_skshrivastava_240810> diakses tanggal 3 Januari 2013. Snyder, Scott. 2012. Redefining 'Friendly': What North Korea Wants From the U.S. <http://www.theatlantic.com/international/archive/2012/09/redefining-friendlywhat-north-korea-wants-from-the-us/262113/> diakses tanggal 3 Januari 2013. Suh, Jae-Jung. 2005. ’North Korea’ in A Post Cold War United States, <http://www.einaudi.cornell.edu/node/7916> diakses tanggal 3 Januari 2013. The Guardian. 2011. North Korea is direct threat to US, says defence secretary Robert Gates, <http://www.guardian.co.uk/world/2011/jan/11/north-korea-america-robertgates> diakses tanggal 2 Januari 2013. The Washington Post. 2012. North Korea widely disliked and distrusted in U.S. <http://www.washingtonpost.com/blogs/behind-the-numbers/post/north-koreawidely-disliked-and-distrusted-in-us/2012/02/01/gIQAdqLziR_blog.html> diakses tanggal 2 Januari 2013. 163 Viva News. 2012. India Uji Coba Rudal Balistik Antar Benua, <http://dunia.news.viva.co.id/news/read/305724-india-uji-coba-rudal-balistikantar-benua> diakses tanggal 2 Januari 2013. 164