UMAT ISLAM BERPELUANG PENGARUHI BUDAYA GLOBAL Munculnya budaya global dan westernisasi budaya sekarang ini sangat merugikan eksistensi budaya lokal. Padahal budaya lokal itu memiliki lapisan nilai-nilai filosofis dan sarat dengan pesan-pesan moral, mentalitas sosial dan spiritual dalam kehidupan masyarakat. Bahkan sekarang ini budaya lokal telah disisipi dengan dakwah Islam, melanjutkan para wali atau penyebar agama Islam dengan strategi menjadikan budaya lokal sebagai wadah dan Islam sebagai isi, telah berhasil melakukan Islamisasi di bumi Indonesia. Ironisnya, tidak semua pemeluk agama memahami masalah ini. Kekuatan hegemoni agama formal yang didukung oleh otoritas ortodoksi mendudukkan budaya lokal termasuk seni tradisional melawan otoritas keagamaan, sehingga agama telah menjadi buldoser kultural atas pluralitas ekspresi kebudayaan. Dalam konteks Islam Indonesia, pemahaman keagamaan yang bercorak legalformal-literal- historis telah menghancurkan sendi-sendi kekayaan kultur lokal dengan dalih menyimpang dari doktrin akidah yang murni dan utuh. Melihat fenomena tersebut, sebaiknya Ijtihad dan Jihad budaya macam apa yang harus dikakulan? Sisi mana yang harus dipilih Muhammadiyah, berpihak pada budaya global atau budaya lokal? Apakah Muhammadiyah memiliki potensi yang memadai untuk ikut bermain dalam ranah budaya global dan budaya lokal? Bagaimana formulasinya, berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM dengan DR. Irwan Abdullah Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana UGM, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia, Kepala Divisi Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dan penulis buku : The Moslem Businesmen of Jatinom: Relegious Reform and Economic Modernization in A Javanese Town. The University of Amsterdam. Hidup ditengah “badai budaya” global seperti sekarang ini apa sebaiknya yang harus dilakukan oleh umat Islam, termasuk oleh Muhammadiyah? Kita ini memang tidak bisa lepas dari budaya global, yang penting sekarang ini bagaimana memberikan bingkai budaya global itu dengan tatanan sosial yang baik. Jadi budaya global itu jangan dianggap sebagai ancaman, tetapi kita pakai sebagai fasilitas, karena budaya global itu menjadi sumber berbagai tatanan sosial dan karakter. Siapa bilang bahwa budaya global itu tidak masuk ke Cina dan Jepang. Di Jepang justru aktif mencari nara sumbernya, contoh musik klasik itu sebagai budaya global yang sangat dominant yang berasal dari Jerman, kemudian mereka mengambil musik klasik itu ke Jepang untuk dicerna dan dipelajari. Beberapa lama kemudian lahirlah komponis-komponis handal dari Jepang. Makanya sekarang kalau anda mau belajar musik klasik pergilah ke Jepang. Jadi budaya global segala arus informasi masuk, baik yang bermanfaat maupun yang merusak, masuknya internet yang mengakses situs pornografi dan dan berhala lain dengan sangat mudah itu karena kita belum memiliki bingkai untuk menyeleksi mana yang baik dan yang merusak,.Sekarang tinggal bagaimana kita merespon budaya global itu, kita seleksi , yang bermanfaat kita ambil yang merugikan kita tinggalkan. Benarkah globalisasi budaya itu westernisasi, dan budaya westernisasi budaya itu Amerikanisasi? Mengapa budaya Amerika bisa mendominasi dunia, masihkah ada peluang bagi umat Islam untuk keluar dan lolos dari dominasi budaya global Amerika? Sebenarnya Amerika itu hanya merupakan salah satu dari arus budaya global. Globalisasi itu merupakan arus dari berbagai informasi dunia yang masuk dan merupakan satu system, makanya budaya global ini jangan dipakai sebagi satu ancaman, tetapi kita jadikan fasilitas uintuk kita gunakan mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkualitas. Jadi sebenarnya globalisasi budaya itu tidak akan ada tanpa adanya budaya lokal. Kita dulu rebut-ribut tentang film barat yang menyuguhkan adegan porno bahkan maksiat, padahal sekarang ini film-film porno dan adegan erotis tidak hanya dimonopoli oleh film barat. Film-film India pun juga menampilkan kekerasan dan adegan –adegan porno, jadi globalisasi itu juga termasuk Indianisasi dan China yang juga sering menampilkan film-film silat dan romantisme yang juga diselingi dengan adegan porno. Jadi budaya global ini bukan hanya yang datang dari dunia barat, tetapi bisa datang dari belahan dunia manapun termasuk Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana kita ikut bermain di dalamnya dan bertarung dengan budaya global, kalau kita kuat dan mampu bermain tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa juga menguasai budaya global. Melihat fenomena tersebut, Ijtihad Budaya dan Jihad Budaya macam apa yang harus kita lakukan? Sebenarnya peluang umat Islam besar sekali, kita ini sebenarnya memiliki kekuatan untuk memainkan budaya Islam di tengah-tengah budaya global. Kita punya kelompok musik, kita punya film dan lain sebagainya, bahkan kita juga punya kemampuan untuk memasarkan produk-produk budaya Islam seperti songkok buatan Bantul dan sarung buatan Pekalongan .Kita kasih lebel Islam dan bisa kita jual ke berbagai negera di dunia ini dan ternyata laku keras. Jadi kita tidak boleh pasif, kita harus aktif melakukan kompetisi dengan mereka, toh budaya lokal yang Islamis itu bisa masuk dalam globalisasi karena budaya Islam itu memilki basis nilai dan basis moral yang sangat kuat. Karenanya kita ikut bermain dalam globalisasi dengan warna Islam itu sudah termasuk jihad. Di tengah “badai budaya” global ternyata yang namanya budaya lokal tidak semua mati, justru banyak yang makin tumbuh dan kuat serta mampu mentransformasikan diri. Mengapa bisa demikian? Masuknya globalisasi itu sebenarnya merupakn satu kesempatan bagi budaya lokal untuk lebih mengembangkan jati dirinya. Dan kita juga ikut menumpang pada jaringan global ini untuk mempromosikan kekayaan budaya Islam, kita kan memilki kekayaan peninggalan situs-situs budaya Islam seperti Masjid, bangunan kerajaan, dan lain-lain. Ibarat kereta lewat , kita ikut menumpang dan aktif mendistribusikan budaya Islam itu dalam perjalanan kereta. Dalam melakukan ijtihad budaya dan jihad budaya, manakah yang sebaiknya dipilih oleh Muhammadiyah, harus berpihak pada budaya global atau pada budaya lokal atau kedua-duanya dan bagaimana formulasinya? Kita hanya akan memihak pada budaya yang bisa memberikan manfaat bagi kehidupan umat islam, baik itu budaya global ataupun lokal tidak masalah yang penting bagaimana budaya itu bisa memberikan kontribusi yang positif terhadap umat Islam khususnya pada Muhammadiyah. Globalisasi itu juga bisa kita pakai sebagai fasilitas, sebagai sumber ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi untuk mengembangkan budaya lokal yang Islamis. Formulasinya adalah kita bangun basis-basis budaya yang memilki kekuatan nilai dan moral untuk mengontrol masuknya kekuatan arus budaya budaya global yang menjerumuskan dan kita ganti dengan kekuatan arus budaya Islam. Kemudian melakukan revitalisasi terhadap berbagai basis yang ada. Salah satu contoh misalnya kampung Kauman, tidak hanya di Jogja tetapi dimana-mana ada kampung Kauman, masyarakatnya mesti Islam, komunitas lingkungannyapun juga Islamis, entah itu orang asli atau pendatang asal masuk di kampung itu dicap sebagai kaum muslim dan langsung bisa beradaptasi dengan lingkungannya,.Kalau mereka tidak tahan dan tidak bisa beradaptasi, biasanya mereka akan keluar dari kampung itu. Nah sekarang apakah kita sudah siap untuk mengatur atau memiliki strategi planning untuk merevitalisasi kampung-kampung Islam seperti kauman itu dengan pembinaan, memperdalam ilmu agama dan aktivitas keagamaan lainya dari pagi, siang, hingga malam hari semua bernuansa Islam. Jadi kita sebenarnya memiliki basis untuk pembinaan umat dan pemberdayaan umat. Apakah Muhammadiyah memiliki potensi yang memadai untuk ikut bermain dalam ranah budaya global dan budaya lokal? Saya kira Muhammadiyah cukup potensial dan cukup banyak memiliki peluang untuk bisa bermain di dalamnya. Banyak sarana dan prasarana yang dimuliki Muhammadiyah untuk ikut bermain di dalamnya. Pusat-pusat kegiatan agama seperti masjid, mushola dan madrasah , sekolahan dari SD hingga Perguruan Tinggi bisa dipakai sebagai sentral aktivitas kegiatan keagamaan dan penegmbangan kebudayaan, Masjid tidak hanya sekadar untuk shalat lima waktu tetapi bisa dipakai sebagai ajang untuk berlatih, pembinaan, dan pengemangan berbagai disiplin ilmu termasuk budaya. Begitu juga madrasah, sekolahan, Perguruan Tingginya cukup potensial untuk bermain, apalagi Muhammadiyah ini sangat besar amal usahanya ada dimana-mana. Tinggal sekarang bagaimana Muhammadiyah ini bisa mengoptimalkan potensi Sumber Daya Manusia, kelompok-kelompok intelektual yang ada untuk berkiprah langsung dalam operasional dalam rangka mengembangkan budaya Islam, minimal dalam lingkungan masyarakat kita dan mewarnai budaya Islam di dunia global. Sumber: SM-06-2002