bab ii pendekatan konseptual

advertisement
BAB II
PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengembangan Masyarakat
2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat
Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua
konsep yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan
merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu
ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara masyarakat dapat
diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998: 162 dalam Suharto, 2005):
pertama, masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama” yakni sebuah wilayah
geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah
perkotaan atau kampung di wilayah desa. Kedua, masyarakat sebagai
“kepentingan bersama” yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan
identitas.
Menurut
Johnson
(1984)
dalam
Suharto
(2005),
pengembangan
masyarakat merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang
bersifat makro. Secara singkat, pengembangan masyarakat memiliki tempat
khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat
dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial
(Mayo, 1998 dalam Suharto, 2005). Dalam diskursus akademis pekerjaan sosial,
pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai Community Organization atau
Community Development (Gilbert dan Specht, 1981 dalam Suharto, 2005) atau
bimbingan sosial masyarakat (Soetarso, 1991 dalam Suharto, 2005). Di Australia,
Inggris dan beberapa negara Eropa, pengembangan masyarakat disebut sebagai
pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social
treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community
care) (Twelvetrees, 1993: Payne, 1986 dalam Suharto, 2005). Pengembangan
Masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya
7
terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993 dalam
Suharto 2005).
2.1.1.2 Model Pengembangan Masyarakat
Jack Rothman dalam klasiknya yang terkenal, Three Models of
Community
Organization
Practice
(1968)
dalam
Suharto
(2005),
mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang
Pengembangan Masyarakat: (1) pengembangan Masyarakat lokal (locality
development), (2) perencanaan sosial, dan (3) aksi sosial. Paradigma ini
merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan
konseptualisasi.
Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk
menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi
aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang
bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang
unik dan memiliki potensi. Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya
merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi
oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang
diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan
proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product
goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan
dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan
kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,
komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari
proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up. Model
pengembangan masyarakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
8
Tabel 1. Tiga Model Pengembangan Masyarakat
Parameter
Orientasi tujuan
Asumsi mengenai
struktur masyarakat
dan kondisi masalah
Asumsi mengenai
kepentingan
masyarakat
Konsepsi mengenai
kepentingan umum
Orientasi terhadap
struktur kekuasaan
Sistem klien atau
sistem perubahan
Konsepsi mengenai
klien atau penerima
pelayanan
Peranan masyarakat
Peranan pekerja social
Media perubahan
Strategi perubahan
Teknik perubahan
Pengembangan
Masyarakat Lokal
Kemandirian,
integrasi dan
kemampuan
masyarakat (tujuan
proses)
Keseimbangan,
kurang kemampuan
dalam relasi dan
pemecahan masalah
Kepentingan umum
atau perbedaanperbedaan yang dapat
diselaraskan
Rationalist-unitary
Struktur kekuasaan
sebagai kolaborator,
perwakilan
Masyarakat secara
keseluruhan
Warga masyarakat
atau negara
Partisipan dalam
proses pemecahan
masalah
Pemungkin,
koordinator,
pembimbing
Mobilisasi kelompokkelompok kecil
Pelibatan masyarakat
dalam pemecahan
masalah
konsensus dan diskusi
kelompok, partisipasi,
brain storming, role
playing, bimbingan
dan penyuluhan
Perencanaan Sosial
Aksi Sosial
Pemecahan masalah
social yang ada di
masyarakat (tujuan
tugas/hasil)
Perubahan struktur kekuasaan
proses, lembaga dan sumber
(tujuan proses &tugas)
Masalah sosial nyata:
kemiskinan,
pengangguran,
kenakalan remaja
Kepentingan yang
dapat diselaraskan
atau konflik
kepentingan
Idealist-unitary
Ketidakadilan, kesengsaraan,
ketidakmerataan,
ketidaksetaraan
Konflik kepentingan yang
tidak dapat diselaraskan:
ketiadaan sumber
Realist-individualist
Struktur kekuasaan
sebagai pekerja dan
sponsor
Seluruh atau
sekelompok
masyarakat termasuk
masyarakat fungsional
Konsumen
Struktur kekuasaan sebagai
sasaran aksi, dominasi elit
kekuasaan harus dihilangkan
Sebagian atau sekelompok
anggota masyarakat tertentu
Konsumen atau
penerima pelayanan
Pelaku, elemen, anggota
Peneliti, analis,
fasilitator,
pelaksanaan program
Mobilisasi organisasi
formal
Penentuan masalah
dan keputusan melalui
tindakan rasional para
ahli
Advokasi, andragogy,
perumusan kebijakan,
perencanaan program
Aktivis, advokasi: agitator,
broker, negotiator
Korban
Mobilisasi organisasi massa
dan politik
Katalis dan pengorganisasi
masyarakat untuk mengubah
struktur kekuasaan
Konflik atau unjuk rasa,
konfrontasi atau tindakan
langsung, mobilisasi massa,
analisis kekuasaan, mediasi,
agitasi, negosiasi, pembelaan
2.1.1.3 Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu
perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas: (1) komunitas dilibatkan
dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensirnegikan strategi
9
komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi
warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta
intensif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah prilaku
profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga
komunitas (Ife, 1995 dalam Nasdian, 2006).
Ife (1995) dalam Nasdian (2006) memaparkan 26 prinsip pengembangan
masyarakat (community development) seperti berikut:
a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah
ekologi yaitu:
1) Holistik. Dimana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang
berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada
kehidupan dan alam atau lingkungan.
2) Keberlanjutan. Program pengembangan masyarakat berada dalam
kerangka
sustainability
yang
berupaya
untuk
mengurangi
ketergantungan kepada sumber daya yang tidak tergantikan dan
menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan
politik
yang
berkelanjutan
di
tingkat
lokal.
Prinsip
ini
membutuhkan penggunaaan secara minimal dari sumberdaya yang
tidak dapat diperbarui. Hal ini berimplikasi pada masyarakat
setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi,
transportasi, dan lain-lain.
3) Keanekaragaman. Merupakan salah satu aspek penting prinsip
ekologis, dimana di alam keanekaragaman akan menjadi siklus
kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini
menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai permasalahan yang
ada, desentralisasi, jejaring, dan komunikasi yang setara, serta
teknologi yang mudah untuk diterapkan pad tingkat yang lebih
rendah.
4) Pembangunan bersifat Organik. Penerapan pembangunan yang
bersifat organik melalui suatu pengertian bahwa terdapat
hubungan
yang
kompleks
antara
warga
komunitas
dan
10
lingkungannya. Komunitas lebih organik ketimbang mekanik
karena cara kerja komunitas tidak mengikuti hukum sebab-akibat.
5) Keseimbangan. Di alam keseimbangan dinamis akan menjaga
keseimbangan alam secara keseluruhan. Dimana merubah
keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam
sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan
resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan
masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan
antara
kepentingan
global
dan
lokal,
keadilan
gender,
responsibilitas, dan keadilan dalam hukum.
b. Prinsip keadilan sosial
6) Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural. Prinsip ini mengakar
pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat.
Seorang community workers harus dapat menyadari adanya cara
dimana tekanan pada suatu kelas, gender, dan suku bangsa
berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih
kritis tehadap latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin,
sikap berdasarkan kelas warga komunitas, dan partisipasi warga
komunitas pada struktur penindasan tersebut.
7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan. Wacana
kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam
community
development.
Worker
perlu
untuk
memiliki
kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan
dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif
mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus
juga memarginalkan dan menitikberdayakan sebagian orang yang
lainnya.
8) Pemberdayaan.
Makna
pemberdayaan
adalah
“membantu”
komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan
pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat
berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas.
11
9) Mendefinisikan kebutuhan. Prinsip ini sangat penting dalam
menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada
dua hal dalam penentuan kebutuhan: (1) pembangunan masyarakat
dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2)
memperhatikan
preseden
memperhatikan prinsip
yang
keadilan
ditimbulkannya
sosial
dan
dan
keseimbangan
ekologis.
10) Hak Asasi Manusia. Program pengembangan masyarakat harus
mengacu kepada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang
meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk
ikut serta dalam kehidupan kultural, hak untuk memperoleh
perlindungan keluarga, dan hak untuk “self determination”.
c. Menghargai nilai-nilai lokal
11) Pengetahuan lokal. Prinsip ini mendasarkan pada pentingnya
untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan
masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah
mampu
mengidentifikasi
dan
melakukan
validasi
tentang
pengetahuan tersebut.
12) Budaya lokal. Globalisasi budaya telah mengambil identitas
budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat
menunjukan kemampuannya dalam mendukung pembangunan
masyarakat, ini mengingat bahwa budaya lokal tidaklah statis
namun dinamis. Bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi
manusia, inklusif berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh
masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
13) Sumber daya lokal. Pemanfaatan sumber daya lokal lebih baik
daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar.
Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan,
teknis, sumber daya alam akan dapat mendorong bermacammacam cara dalam pembangunan masyarakat.
14) Keterampilan lokal. Dalam pembangunan masyarakat “pihak luar”
harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan.
12
Memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan
masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan
masyarakat harus berjalan dua arah antara luar dan masyarakat.
15) Menghargai proses lokal. Pemaksaan solusi spesifik, struktur atau
proses dari luar komunitas jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah
satu rasionalitas dari community development bahwa segala
sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar
komunitas. Oleh karena itu pendekatan community development
tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya
dalam komunitas dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik
dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi, dan
lingkungan.
d. Proses
16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi
isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis
cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk
memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun
pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil
pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses
pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil
merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan
etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.
17) Keterpaduan Proses. Proses bekerja dikomunitas dan perlu “dekat”
dengan penelitian dan pengkajian agar proses integrasi dapat
dipertahankan.
18) Peningkatan kesadaran. Prinsip ini membantu anggota masyarakat
dalam melakukan pencarian pontensi dalam kehidupan ,
menghubungkan
dengan
struktur
yang
ada,
mendiskursus
kekuatan, dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu
menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangun
hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi
tekanan dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini
13
merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga
pembangunan masyarakat.
19) Partisipasi. Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus
menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua
orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada
proses dan kegiatan masyarakat.
20) Konsensus dan kerjasama. Penerapannya adalah agar orang-orang
yang terlibat dalam proses mencari penyelesaian terhadap suatu
masalah dan betul-betul menyadari bahwa keputusan yang diambil
adalah yang baik. Pendekatan konsensus bekerja dengan
persetujuan. Tujuannya menghasilkan solusi yang menjadi milik
bersama.
Pendekatan
pengembangan
komunitas
berusaha
membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan
cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk memberi
imbalan pada prilaku kerjasama. Dengan berkoperasi akan mampu
“sharing” perasaan dan permasalahan yang dihadapi sehingga
dalam jangka panjang akan mampu memecahkan segala persoalan
yang dihadapi bersama dalam komunitas.
21) Pembangunan Terpadu. Proses pengembangan masyarakat tidak
berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses
pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan, lingkungan, dan personal. Keenam aspek tersebut
penting dan saling terkait satu sama lain. Program pengembangan
masyarakat yang hanya menekankan satu aspek saja akan
menghasilkan ketidakseimbangan dalam pembangunan.
22) Tanpa Kekerasan. Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk
melawan berbagai bentuk kekerasan atau paksaan yang nyata,
seperti: militerisme, paksaan fisik dalam bentuk-bentuk seperti
hukuman fisik, hukuman mati, kebrutalan polisi, dan lain-lain.
Pengembangan
masyarakat
dilaksanakan
tanpa
kekerasan
struktural, yakni dengan cara tanpa mengubah lembaga yang ada
dan struktur sosial masyarakat.
14
23) Inklusif. Penerapan prinsip ini menekankan agar community
workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut
berlawanan pandangan. Meskipun tidak setuju dengan gagasan,
nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan
berupaya merangkulnya daripada mengasingkan mereka.
24) Membangun Komunitas. Prinisip ini mencari cara dimana setiap
orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh
yang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat
mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas,
mengajak
kebersamaan,
menterjemahkan
melalui
dialog,
pemahaman, dan tindakan sosial.
e. Prinsip global dan lokal
25) Hubungan antara global dan lokal. Saat ini seluruh dunia tidak
bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa
lagi hidup,
namun
juga
lokalitas
menjadi
fokus
dalam
pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh
komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan
isu-isu
yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap
community worker harus bisa memahami kondisi global dengan
baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana
keduanya berinteraksi di tingkat komunitas.
26) Praktik
anti
penjajah.
Penjajahan
(kolonialisme)
dapat
mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan
dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena
hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa
community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu
yang ditawarkan dan dengan menghargai suatu latar belakang
kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini
akan mengabadikan dominansi penjajah.
15
2.1.1.4 Peran Serta Masyarakat
Pada prakteknya terdapat berbagai jenjang peran serta masyarakat, dimana
jenjang ini ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat dapat melakukan kontrol
terhadap seluruh proses penataan ruang. Peran serta masyarakat tertinggi adalah
peran serta yang yang benar-benar memberikan otoritas pada komunitas atau
masyarakat. sebagaimana dikatakan Arstein (1969) terdapat ladder of citizen
participation atau tangga partisipasi masyarakat. hal ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tangga Partisipasi Masyarakat
no
1
2
Tangga/
Tingkatan
Partisipasi
Manipulasi
Terapi
3
pemberitahuan
4
Konsultasi
5
Penentraman
6
7
Kemitraan
Pendelegasian
kekuasaan
8
Kontrol
masyarakat
Hakekat Kesertaan
Permainan oleh pihak tertentu
Sekedar agar masyarakat tidak
marah atau mengobati
Sekedar pemberitahuan searah
atau sosialisasi
Masyarakat didengar, tetapi
tidak selalu dipakai sarannya
Saran masyarakat diterima
namun
tidak
selalu
dilaksanakan
Timbal balik dinegosiasikan
Masyarakat diberi kekuasaan
(sebagian
atau
seluruh
program)
Sepenuhnya dikuasai oleh
masyarakat
Tingkatan
Pembagian
Kekuasaan
Tak ada partisipasi
Sekedar
justifikasi
agar
masyarakat
mengiyakan
Tingkatan kekuasaan
ada di masyarakat
Sumber:Arstein (1969) dalam Setiawan (2003)2
Pada tabel tersebut menjelaskan bahwa berbagai tingkatan kesertaan dapat
diidentifikasikan mulai dari tanpa partisipasi sampai pelimpahan kekuasaan.
Pengelola tradisional selalu enggan untuk melewati tingkat tanpa partisipasi dan
tokenism dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis. Sebaliknya,
masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi
yang lebih bermanfaat, termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa kali selama proses
analisa dan perencanaan. Smith (1982) dalam Setiawan (2003) menyarankan
bahwa perencanaan dapat dilakukan dalam tiga tahap yakni pertama, normatif.
2
Setiawan.2003.www.psppr-ugm.net/jurnalpdf/Bobi.pdf (diakses 3 maret 2010)
16
Dimana keputusan diambil untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan.
Kedua, strategik. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan sesuai yang dapat
dilakukan. Ketiga, operasional. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan apa
yang dilakukan. Menurut Smith banyak program partisipasi masyarakat dilakukan
pada tahap operasional. Walaupun demikian Smith dan ahli lainnya seperti Korten
(1983), Howell (1987) atau Pinkerton (1989) dalam Setiawan (2003)
menyarankan bahwa kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses
perencanaan, sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses
pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting.
2.1.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
2.1.2.1 Definisi dan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR
Kedermawanan perusahaan menurut Saidi (2003) sesungguhnya adalah
kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab ini merupakan salah
satu dari empat bentuk tanggung jawab yang dimilikinya, tiga lainnya adalah
tanggung jawab perusahaan secara ekonomi untuk menghasilkan laba, tanggung
jawab dalam menaati hukum dan tanggung jawab etis.
Menurut pandangan konsep modern, perusahaan tidak dapat dipisahkan
dari para individu yang terlibat di dalamnya dan stakeholder di luar perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan bertanggung jawab secara internal bagi kelangsungan
usahanya serta memiliki tanggung jawab sosial pada publik. Menurut pandangan
ini, masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimilikinya dan
direproduksinya. Para profesional yang bekerja memiliki tanggung jawab ganda,
kepada pemilik dan kepada publik. Konsep ini dikenal dengan non-fiduciary
responsibility.
Pada filantropi, seseorang atau suatu pihak tidak sekedar memberi untuk
memuaskan keinginan atau kebutuhan mereka. Tetapi yang penting pemberian
tersebut harus mempedulikan siapa, untuk apa, dan apa dampaknya agar benarbenar membawa manfaat bagi yang menerima. Pada konteks perusahaan, Steiner
(1994) dalam Nursahid (2006) memberikan definisi tentang filantropi yakni
pemberian sejumlah uang, waktu, produk atau jasa untuk membantu kebutuhan
17
atau untuk mendukung bekerjanya lembaga-lembaga menuju kesejahteraan
manusia yang lebih baik.
Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sesuai
dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Kini
dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuntungan perusahaan
semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek
lingkungan biasa disebut (triple bottom line). Sinergi tiga elemen ini merupakan
kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.
Berdasar pada Trinidad and Tobaco Bureau of Standards (TTBS),
Corporate Social Responsibility (CSR) diartikan sebagai komitmen usaha untuk
bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan
keluarganya, komuniti lokal, dan masyarakat secara lebih luas (Sankat Clement K,
2002 dalam Zainal, 2006). Sedangkan The World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen
bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja
dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitikomuniti
setempat
dan
masyarakat
secara
keseluruhan,
dalam
rangka
meningkatkan kualitas hidup (fox, et al, 2002 dalam Zainal, 2006). Terkait dengan
definisi tersebut, beberapa hal yang dapat digaris bawahi yakni pertama, bahwa
CSR merupakan komitmen dari bisnis atau usaha. Kedua, CSR berkontribusi
terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas kehidupan masyarakat. Artinya bahwa
model CSR hendaknya untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana tanggung
jawab sosial perusahaan bukan hanya sebatas pada kedermawanan dari
perusahaan, namun menyangkut pada pengelolaan CSR sehingga dapat
memberikan dampak positif pada kualitas kehidupan komuniti lokal dan
masyarakat serta kapasitas ekonomi. Perihal ketiga yakni karyawan dan
keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas dan keseluruhan
merupakan dimensi-dimensi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CSR.3
3
Rabin Ibnu Zainal.2006.Best Practices: Corporate Social Responsibility (CSR) “Sebuah pengalaman
membangun multistakeholder engagement bagi penerapan CSR di kabupaten Muba, Sumatera Selatan”.
18
Hess dan Siciliano juga memberikan penjelasan mengenai CSR dengan
membedakannya melalui dua pendekatan yakni Classical Economy Approach dan
Activist Approach (Hess dan Sicilliano, 1996:53-55 dalam Soemanto, 2007).
Pendekatan The Classical Economy Approach melihat bahwa CSR dilakukan
dengan mematuhi peraturan dan kode etik yang berlaku dalam masyarakat, yaitu
tidak menyebabkan kerugian konsumen, pekerja, atau lingkungan sekitar, dengan
tetap mengupayakan keuntungan perusahaan. Pendekatan kedua yakni Activist
Approach melihat perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada
pemilik perusahaan, tetapi kepada semua pihak yang memiliki kepentingan atas
perusahaan4.
Sementara itu, Mark Goyder (Iriantara, 2004:77 dalam Rahman, 2009)
membagi bentuk CSR menjadi dua:
a) Membentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan
nilai yang menjadi acuan dari CSR. Pembagian ini merupakan tindakan
terhadap luar korporat, atau kaitannya dengan lingkungan di luar korporat
seperti komunitas dan lingkungan alam. Bagaimana sebuah korporat
menerapkan
dan
atau
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan komunitas
sekitarnya.
b) Mengarah ke tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai
untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai
dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Intrepetasi yang
benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai
dalam seluruh hubungan yang dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan
berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan.
Menurut Rahman (2009) Bentuk program CSR memiliki dua orientasi.
Pertama, internal yakni CSR yang berbentuk tindakan atas program yang
diberikan terhadap komunitas. Kedua, eksternal yakni CSR yang mengarah pada
tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau
Palembang:Badan penerbit Fakultas Ekonomi Unsri di dukung oleh partenership for Governance Reform in
Indonesia, Uni Eropa, dan P3EM FE Unsri.
4
Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan
masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk
19
mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai keadaan sosial terhadap komunitas
sekitarnya.
Menurut Wibisono (2007) istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh
John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the
Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan
konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity (profit),
environmental quality (planet) dan social justice (people).
1. Profit (keuntungan)
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap
kegiatan usaha. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan
pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup
perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak
profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan
efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif
yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.
2. People (masyarakat pemangku)
Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder penting bagi
perusahaan, karena dukungan mereka, terutama masyarakat sekitar, sangat
diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan
perusahaan. Maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat
lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan
manfaat sebesarnya kepada masyarakat.
3. Planet (lingkungan)
Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah lingkungan. Jika
perusahaan ingin eksis dan akseptable maka harus disertakan pula
tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan sesuatu yang terkait
dengan seluruh bidang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan adalah
hubungan sebab akibat. Dimana jika manusia merawat lingkungan, maka
lingkungan akan memberikan yang terbaik, begitu pula sebaliknya.
Lingkup penerapan CSR secara gagasan Prince of Wales International
Business Forum dalam Wibisono (2007) mengusung lima pilar yakni:
1. Building human capital
20
Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang
andal, di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan
masyarakat.
2. Strengtening economies
Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar
terjadi pemerataan kesejahteraan.
3. Assesing social chesion
Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak
menimbulkan konflik.
4. Encourging good governance
Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate
Governance (GCG).
5. Protecting the environment
Mengharuskan perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya
Dalam prakteknya di lapangan, menurut Rahman (2009) suatu kegiatan
disebut CSR ketika memiliki sejumlah unsur berikut:
1. Continuity dan sustainability atau berkesinambungan dan berkelanjutan
merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar trend
ataupun insidental, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan
pada long term perspective bukan instant, happening atau pun booming.
CSR adalah suatu mekanisme kegiatan yang terencanakan, sistematis, dan
dapat dievaluasi.
2. Community empowerment atau pemberdayaan komunitas. Membedakan
CSR dengan kegiatan yang bersifat charity atau pun philantrophy semata.
Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas, tetapi
tidak menjadikannya mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah
program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas,
dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir.
3. Two ways. Artinya program CSR bersifat dua arah. Korporat bukan lagi
berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu
mendengarkan aspirasi dari komunitas. Ini dapat dilakukan dengan need
21
assessment, yaitu sebuah survei untuk mengetahui needs, desire, interest
dan wants dari komunitas.
Menurut Iriantara (2004) dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait
dengan CSR:
1. Kapital reputasi
Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan
pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk
meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga
kepercayaan stakeholder.
2. Ekososial
Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai
strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat.
3. Hak-hak pihak lain
Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya
dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat
dan bisnisnya.
2.1.2.2 Motivasi dan Bentuk Penyaluran Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan/CSR
Kedermawanan sosial perusahaan juga berhubungan dengan beberapa
hal, antara lain adalah motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan
kedermawanan sosial, cara pengambilan keputusan dan nilai-nilai yang akan
dicapai dalam memberikan sumbangan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang
penting untuk diketahui dalam rangka menggali potensi dana lokal, karena selama
ini ada kecendrungan dana lokal lewat sumbangan sosial perusahaan tersalurkan
dalam area yang sangat variatif sesuai dengan keinginan perusahaan
penyumbang5.
Menurut Onny S Prijono (1994) dalam Saidi (2003) dicatat bahwa
sumbangan perusahaan pada dasarnya berbasis pada pemberian individu dan
cukup sulit membedakan seorang pemilik atau ekskutif puncak dengan perusahaan
yang diwakilinya. Sifatnya yang cenderung individual, motif sumbangan sosial
5
Zaim Saidi dkk.2003.Sumbangan Sosial Perusahaan “Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia Survei 226
Perusahaan di 10 Kota. Jakarta Selatan: Piramedia
22
yang diberikan perusahaan juga berorientasi pada sesuatu yang bersifat
transendental. Sehingga dana yang tersalur dari perusahaan lebih mengarah pada
kegiatan yang bersifat transeden seperti panti asuhan, panti jompo, tempat ibadah,
dan bencana alam.
Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) terdapat sejumlah alasan
mengapa perusahaan memiliki program-program filantropi atau kedermawanan
sosial yaitu pertama, untuk mempraktikan konsep “good corporate citizenship”.
Kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ketiga, untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Kedermawanan sosial
biasanya di dasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau
membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi dan pada saat yang
bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain.
Studi PIRAC menggambarkan pola-pola kedermawan perusahaan.
Dilihat dari sifat dan bentuknya, sebagian besar sumbangan yang diberikan
perusahaan yang bersifat insidentil dan dalam bentuk natura (in-kind). Sumbangan
natura diberikan antara lain dalam bentuk: produk perusahaan, jasa profesional,
pemakaian sarana perusahaan, peralatan bekas pakai, keterlibatan perusahaan
dalam kepengurusan lembaga sosial, dorongan agar staf perusahaan menjadi
volunteer, kampanye penggalangan dana di lingkungan perusahaan, dan beriklan
di penerbitan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Sementara sumbangan
secara tunai diberikan dalam bentuk: hibah, joint promotion, iuran anggota,
special event, payroll giving, dan zakat perusahaan.
Sejumlah model penyaluran sumbangan juga teridentifikasi dalam studi
Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Ada empat model
penyaluran sumbangan, yakni: pertama, perusahaan menjalankan kedermawanan
secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial tanpa perantara.
Kedua, sumbangan diberikan melalui organisasi atau yayasan sosial yang
didirikan oleh perusahaan atau grupnya. Ketiga, perusahaan bermitra dengan
pihak lain seperti LSM, instansi pemerintah, universitas dan media massa.
Keempat, perusahaan ikut mendirikan atau mendukung suatu lembaga sosial yang
didirikan untuk tujuan tertentu.
23
Pada metode penyalurannya ini, ada beberapa pola kerjasama yang bisa
diterapkan perusahaan dalam bermitra dengan organisasi lain dalam menyalurkan
sumbangan. Pola pertama, perusahaan menanggung seluruh biaya yang
diperlukan, baik dana untuk disumbangkan, maupun biaya operasional untuk
menyalurkannya. Pola kedua, perusahaan hanya menyediakan dana untuk
disumbangkan, sedangkan organisasi yang menjadi mitra perusahaan hanya
menanggung biaya operasional untuk menyalurkan dana tersebut. Pola lainnya
yakni modifikasi dari pola yang terakhir disebutkan tadi yaitu selain menyediakan
dana, perusahaan juga membantu membiayai sebagian biaya operasional sehingga
beban organisasi mitra menjadi lebih ringan.
Sedangkan
untuk
besaran
sumbangan,
menyumbang
(filantropi)
merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Kenyataan ini secara kasat mata dapat diindikasikan dengan berbagai
liputan di media massa yang memberitakan kegiatan sosial yang diselenggarakan
oleh berbagai perusahaan.
Menurut
Zaim
Saidi
(2003)
dalam
Nursahid
(2006),
tipologi
kedermawanan sosial perusahaan di bagi ke dalam lima kategori: charity (amal),
image building (promosi), facility (insentif pajak), security prosperity (ketahanan
hidup atau peningkatan kesejahteraan) dan money laundering (manipulasi).
Memahami beragam motivasi kedermawanan ini penting dari prospektif etis, agar
tujuan normatif kedermawanan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat
tidak terdiskusi dan dimanipulasi oleh kepentingan yang tidak sehat.
Menurut Blakemore (1998) dalam Nursahid (2006), kebijakan sosial
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia kendati tujuan ini sulit dan
mungkin sering kali gagal dilakukan. Blakemore juga mengemukakan prinsipprinsip kebijakan sosial dalam pendekatan kesejahteraan sosial dimana kebijakan
ini harus didasarkan pada prinsip: kesetaraan (equality), kebutuhan (need) dan
kebebasan (freedom). Adapun makna yang saling terkait dari prinsip-prinsip
tersebut: pertama, sebuah prinsip mungkin mempunyai makna etis atau moral.
Prinsip ini akan memperlihatkan mengenai “benar” dan “salah” terkait dengan
standar moral tertentu. Oleh karena itu kebijakan sosial harus merefleksikan
norma dan nilai masyarakat. Kedua, prinsip dilihat sebagai sebuah aturan dimana
24
dalam pengertian ini masing-masing sistem mengembangkan mekanisme
birokrasi yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan.
Transformasi menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik
kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi
perusahaan (menurut hasil survei PIRAC) merupakan donasi yang berbentuk
hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah
sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan
sosial, pendidikan, sedekah atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan
masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan
hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu organisasi nirlaba
yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi
pemberi bantuan. Tranformasi terhadap orientasi ini perlu dilakukan karena hibah
sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukan guna pemenuhan keperluan
sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu perlu di dorong kegiatan
kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju kepada pengembangan
dan akhirnya pemberdayaan, sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 3. Karakterisasi Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan
Tahapan
Motivasi
Charity
Agama, tradisi,
adat
Misi
Mengatasi
masalah sesaat
Jangka pendek,
menyelesaikan
masalah sesaat
Pengorganisasian Kepanitian
Pengelolaan
Penerima
manfaat
Kontribusi
Orang miskin
Inspirasi
Kewajiban
Hibah social
Philanthropy
Norma etika, hukum
universal, redistribusi
kekayaan
Mencari dan mengatasi
masalah
Terencana, terorganisir,
terprogram
Corporate Citizenship
Pencerahan diri dan
rekonsiliasi dengan
ketertiban sosial
Memberikan
kontribusi kepada
masyarakat
Terinternalisasi dalam
kebijakan perusahaan
Yayasan/dana abadi,
profesionalisasi
Keterlibatan baik dana
maupun sumber daya
lain
Masyarakat luas
Masyarakat luas dan
perusahaan
Hibah pembangunan
Hibah (sosial maupun
pembangunan) dan
keterlibatan sosial
Kepentingan bersama
Sumber: Zaim Saidi, “Pengembangan Kedermawanan Perusahaan, 2004, hal 57 dalam Fajar Nursahid
25
2.1.2.3 Pihak-Pihak Terkait dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR
Pada implementasi tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR,
beberapa stakeholder terkait yakni pertama adalah pemerintah. Pemerintah dapat
melakukan peran dalam empat ranah yakni menyediakan data dan informasi,
memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan
menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Kedua yakni sektor privat. Perusahaan
dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara
matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, menyosialisasikan, dan
membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah dan
masyarakat. ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 6.
Perlu disepakati bahwa perusahaan atau korporat merupakan bagian dari
suatu sistem komunitas. Secara internal, perusahaan perlu mempertahankan
keberlanjutan dan eksistensi usahanya. Sedangkan di pihak lain, stakeholder
lainnya pun membutuhkan perusahaan untuk dapat berkembang, untuk itu
korporate atau perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dikarenakan perusahaan juga
merupakan bagian dari suatu sistem komunitas.
Menurut Wibisono (2007) Stakeholders yang jamak diterjemahkan
dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan,
baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas
perusahaan dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan/atau
dipengaruhi oleh perusahaan. Rhenald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007)
membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:
1. Stakeholders internal dan stakeholders eksternal
Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam
lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer, dan pemegang
saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah
stakeholders yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi
seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, penyalur
atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah,
6
Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan
masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk
26
pers, kelompok sosial masyarakat, pemerintah, pers, kelompok sosial
responsible investor, licensing partner dan lain-lain.
2. Stakeholders primer, stakeholders sekunders dan stakeholders
marjinal.
Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan.
Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholders yang paling
penting disebut stakeholders primer, stakeholders yang kurang
penting disebut stakeholders sekunder dan yang bisa diabaikan
disebut stakeholders marjinal.
3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.
Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholders tradisional,
karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan
stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan
datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi
seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.
4. Proponents, opponents dan uncommitted
Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi
(proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak
peduli atau abai (uncommitted).
5. Silent majority dan vocal minority
Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau
mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan
atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang
menyatakan secara silent (pasif).
Dwight W Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyebutkan
bahwa salah satu peluang terbaik dari isu CSR dalam kaitannya dengan peran
serikat pekerja adalah makna dari CSR sebagai tindakan sukarela untuk mematuhi
dan melampaui seluruh regulasi. Adopsi penuh konvensi ILO, deklarasi HAM,
dan deklarasi PBB dalam konferensi Rio kembali dalam persepektif CSR sudah
bukan sebagai pilihan anjuran melainkan menjadi kewajiban. Isu mengenai
perlakuan yang setara, jaminan keamanan setiap pekerja, kebebasan berserikat,
memberikan rasa hormat dengan sepenuh hati atas hak-hak politik dan hak-hak
27
sipil, pemberian kompensasi dan standar kehidupan bagi pekerja dan keluarga
secara wajar, memberikan proteksi penuh atas kesepakatan kolektif, dan
seterusnya sudah bukan lagi sebagai isu, wacana atau cita-cita. Selanjutnya,
Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyatakan jika kesadaran akan hal
di atas sudah menjadi bagian etis dan praktis pelaku bisnis, maka serikat pekerja
atau bahkan individu pekerja bisa secara sukarela menyatakan dan mengusulkan
ide mengenai apa dan bagaimana sebaiknya CSR perusahaan. Selain sebagai
partisipati pro aktif, serikat pekerja juga bisa berperan sebagai kelompok kontrol
untuk memverifikasi laporan keberlanjutan perusahaan untuk kemudian
memberikan masukan untuk perbaikan kinerja CSR perusahaan. Menurut Luke
Wilde (2003) dalam Taufik Rahman (2009) praktik bisnis di sebuah perusahaan
hendaknya menunjukan kinerja-kinerja sebagai berikut:
1. Menghormati para pekerjanya sebagai bagian terpenting dari praktik
bisnis, terus mempromosikan, melindungi, menjamin keamanan, dan
menjamin perlindungan atas hak-hak para pekerja.
2. Perusahaan menjamin bahwa proses produksi mereka tidak melanggar
HAM dan tidak digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan
HAM.
3. Perusahaan harus meneguhkan pandangan positif bahwa mereka memiliki
kewajiban kepada seluruh pemangku kepentingan untuk meminimumkan
dampak negatif sosial, ekonomi, dan lingkungan dari eksistensi dan
operasinya.
4. Perusahaan harus benar-benar merasa kewajiban untuk mendatangkan
dampak positif bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan kepada
seluruh pemangku kepentingan (internal dan eksternal).
2.1.2.4 Cara Pandang dan Implementasi CSR7
Cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan
CSR bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. 1) Sekedar basa-basi dan
keterpaksaan. Artinya CSR hanya dipraktikan lebih karena faktor eksternal
(eksternal driven). 2) Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance).
7
Yusuf Wibisono.2007.Membedah Konsep CSR dan Aplikasi CSR. Gresik:Fascho Publishing.
28
CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang
memaksakannya. 3) Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias
compliance plus. CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang
tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkahlangkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh
aturan ataupun tekanan dari masyarakat.
Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya: 1) Terkait dengan komimen pemimpin perusahaan yang dituangkan
berupa kebijakan perusahaan terkait CSR. 2) Menyangkut ukuran dan kematangan
perusahaan. Perusahaan yang besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberi
kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. 3) Regulasi dan sistem
perpajakan yang diatur pemerintah.
Perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan
pertahapan implementasi CSR sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan
Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR
Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan
langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti
penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat dilakukan melalui
seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR assesment merupakan upaya untuk
memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang
perlu mendapatkan prioritas perhatian serta langkah-langkah yang tepat
untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR
secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, dilakukan melalui
bencmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli
independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu
memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh
elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu,
efektif dan efisien.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti
pengorganisasian sumber daya, penyusunan untuk menempatkan orang
29
sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan,
pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat
pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama
yaitu sosialisasi, pelaksanaan, dan internalisasi.
3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk
mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu
perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian
perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan
perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi.
4. Tahap Pelaporan
Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk
keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Implementasi program CSR dapat dikelola berdasarkan pola sebagai
berikut: 1) Program sentralisasi. Perusahaan sebagai pelaksana atau penyelenggara
utama kegiatan. Begitupun tempat, kegiatan berlangsung di areal perusahaan.
Pada prakteknya, pelaksanan kegiatan bisa bekerja sama dengan pihak lain
misalnya event organizer atau institusi lainnya sejauh memiliki kesamaan visi dan
tujuan. 2) Program desentralisasi. Kegiatan dilaksanakan diluar area perusahaan.
Perusahaan berperan sebagai pendukung kegiatan tersebut baik dalam bentuk
bantuan dana, material, maupun sponsorship. 3) Program Kombinasi. Pola ini
dapat terutama untuk program-program pemberdayaan masyarakat, dimana
inisiatif, pendanaan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan secara partisipatoris
dengan beneficiaries.
Mekanisme perencanaan implementasi program atau kegiatan CSR dapat
dilakukan sebagai berikut, yaitu: 1) Bottom Up Process, program berdasar pada
permintaan beneficiaries yang kemudian dilakukan evaluasi oleh perusahaan. 2)
Top Down Process, program berdasar pada survei atau pemeriksaan seksama oleh
perusahaan yang disepakati oleh beneficiaries. 3) Partisipatif, program dirancang
bersama antara perusahaan dan beneficiaries.
30
2.1.2.5 Hubungan Pengembangan Masyarakat dengan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan/CSR
Praktik dunia usaha di masa lampau yang cenderung berdampak negatif,
membuat wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal
dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi kebutuhan untuk
mengubah citra dunia usaha yang ramah lingkungan. Menurut Edward Freeman
(1984) dalam Ambadar (2008), pada bukunya A Stakeholder Approach di era
terakhir ini pemahaman manajemen strategis berkembang, tidak hanya sekadar
menguasai pasar (pelanggan) saja, tetapi juga menguasai stakeholder (pemangku
kepentingan) yang menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Namun konsep
pemangku kepentingan itu sendiri telah mengalami banyak perubahan yang
mencolok. Jikalau dulu yang dianggap sebagai stakeholder adalah investor, dewan
direksi, manajemen, pelanggan, pemasok dan pemerintah, kini telah berkembang
menjadi lebih luas menyangkut karyawan, serikat kerja, masyarakat umum, dan
kelompok peminat khusus8.
Andrew Weiss dalam Ambadar (2008) mengungkapkan tentang
keretakan pada dasar teori stakeholder yang berubah tersebut. Namun, Chris
Laszlo, penulis The Sustainable Company (2003), dan Robert Philips, penulis
Theory and Organization Ethics (2003) dalam Ambadar (2008) menjawab kritik
Weiss tersebut sebagai akibat dari pergeseran paradigma perusahaan yang
berimpit dengan keinginan untuk mencegah terjadinya bencana sosial dan
lingkungan. Sebagai perusahaan, mereka menyadari adalah bagian dari
lingkungannya yang perlu dirawat dengan baik untuk bisa hidup bersama secara
berkelanjutan.
Masyarakat menghendaki standar bisnis yang lebih tinggi daripada eraera sebelumnya, yaitu perusahaan harus dapat melampaui “berhasil dengan baik”
dengan cara mendapatkan laba, dan “melakukannya dengan baik” dengan cara
berbuat sesuai dengan tanggung jawab sosial mereka. Tanggung jawab sosial
adalah kepedulian para manajer suatu perusahaan berkenaan dengan konsekuensi
8
Jackie Ambadar .2008.CSR dalam Praktik di Indonesia.Jakarta: PT Elex Media Komputindo
31
sosial, lingkungan, politik, manusia, dan keuangan, atas tindakan-tindakan yang
mereka ambil.
Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan
kepada masyarakat di sekitarnya yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan
atau CSR. CSR merupakan salah satu upaya untuk menciptakan keberlangsungan
usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak
keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple
bottom line).
Konsep CSR sebetulnya bukan merupakan konsep baru dalam dunia
bisnis, di tingkat internasional Philip Kotler (2005) dalam Ambadar (2008) telah
mengungkapkan bahwa CSR hendaknya bukan merupakan aktivitas yang hanya
merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada lingkungan sosialnya,
namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas perusahaan terhadap
lingkungan sosialnya sehingga CSR merupakan denyut nadi perusahaan. Dengan
demikian, CSR adalah sebuah konsep manajemen yang menggunakan pendekatan
“triple bottom line” yaitu keseimbangan antara mencetak keuntungan, harus
seiring dan berjalan selaras dengan fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan
lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang sustainable.
Community
Development
(Comdev)
diyakini
merupakan
sebuah
aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas
charity ataupun 7 (tujuh) dimensi CSR lainnya, antara lain community relation.
Hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan comdev, terdapat kolaborasi
kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi,
produktivitas dan keberlanjutan. Dalam aktualisasi Good Corporate Citizenship,
maka kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat charity
menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemadirian
masyarakat, yakni program pemberdayaan.
Terdapat hal penting yang membedakan antara aktivitas charity dengan
philantropy antara lain bahwa dalam aktivitas philantrophy aktivitas lebih di
dorong oleh norma dan etika hukum, bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban,
32
selain itu inspirasi aktivitas adalah untuk memenuhi kepentingan semua pihak
baik perusahaan maupun komunitas. Dengan demikian tampak bahwa Comdev
merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR. Pemberdayaan masyarakat (comdev)
intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha
mengontrol kehidupan mereka sendiri, dan mengusahakan untuk membentuk
masa depan sesuai keinginan mereka (Shardlow, 1998 dalam Ambadar, 2008).
Comdev memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat
yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, dengan mengidentifikasi
kebutuhan bersama dan kemudian melalukan kegiatan bersama untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Comdev sering kali diimplementasikan dalam bentuk (a)
proyek-proyek
pembangunan
yang
memungkinkan
anggota
masyarakat
memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b)
kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.
Prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang dalam pengembangan masyarakat
(berdasarkan acuan dari ICSD, 2004 dalam Ambadar, 2008) antara lain:
1. Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas
yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan, dan memobilisasi
individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong diri sendiri,
memecahkan masalah, integrasi sosial, dan atau tindakan sosial.
2. Pada tingkat masyarakat yang paling bawah, partisipasi harus
ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dari partisipasi dalam
kaitannya dengan sifat apatis, frustasi, dan perasaan-perasaan yang sering
muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural.
3. Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, Comdev harus
mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok
relevan dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan
merencanakan serta melaksanakan pelatihan tentang tindakan, dalam hal
ini
tujuannya
adalah
mengarah
pada
kepercayaan
diri
dalam
kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi
ketergantungan pada negara, lembaga, dan intervensi profesional.
33
4. Sumber daya-sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial)
dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk
kerjasama
dengan
pemerintah,
lembaga-lembaga,
dan
kelompok
profesional) harus dimobilisasi dan kemungkinan untuk diseimbangkan
dalam bentuk kesinambungan dalam pembangunan.
5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe
hubungan: (1) hubungan sosial, di dalam keberadaan kelompok dipisahkan
melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi,
suku bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal, atau
karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau
membuka konflik, (2) hubungan struktural, diantara pranata-pranata
tersebut, seperti sektor-sektor publik, organisasi sektor pribadi, organisasi
nirlaba atau charity, dan organisasi kemasyarakatan serta asosiasi yang
memiliki perhatian terhadap kesejahteraan sosial pada tingkat komunitas.
Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara
kelompok-kelompok marginal dengan mengaitkannya dengan kekuatan
perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari
kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik.
Undang-undang perseroan terbatas mewajibkan perusahaan yang
berbasis sumberdaya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial
perusahaan dan lingkungan. Tanggung jawab sosial yang populer dengan sebutan
CSR telah mengalami perkembangan yang pesat, dengan definisi yang makin
luas, jauh lebih luas daripada, misalnya yang di definisikan Maignan dan Ferrell “
A business acts ini socially responsible manner when its decision and account for
and balance diverse stakeholder interest”. Tanggung jawab sosial ini diarahkan
baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam,
tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk
profitabilitas dan pertumbuhan.
Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan
dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja,
meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara
lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.
34
Arti CSR yang dikatakan Elkington mencakup tiga P (People, Planet,
Profit). Jika dibandingkan dengan kata-kata ayat 1 pasal 74 UU PT yang berbunyi
“persereoan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan” tentu amat sulit untuk disandingkan. Jika memakai definisi di atas,
CSR bukan hanya kewajiban perusahaan yang berbasis sumberdaya alam belaka,
tetapi semua perusahaan. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada
community development yang tersirat dari judulnya “tanggung jawab sosial dan
lingkungan” dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis sumber daya alam.
Dalam program community development telah terjadi pergeseran paradigma dalam
pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan
amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan eksternally driven
menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi
etika dan internally driven.
Program CSR yang berkelanjutan dapat membantu menciptakan
kehidupan dimasyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan
tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus
membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya tercipta
kemandirian. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore
dalam Chairil, N Siregar (2007) menyatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat
stratifikasi sosial dimana stratifikasi sosial itu dibutuhkan masyarakat demi
kelangsungan hidup yang membutuhkan berbagai pekerjaan. Tanpa adanya
stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan
sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Agar
masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada
pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan. Kondisi ini
dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat membangun
tingkat kepercayaan dalam diri masyarkat, untuk itu di dukung oleh program CSR
yang berkelanjutan9.
9
Chairil N. Siregar.Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social
Responsibility pada Masyarakat Indonesia.jurnal sosioteknologi edisi 12 tahun 6 desember 2007
35
2.2 Kerangka Pemikiran
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970,
yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Dengan demikian apabila
perusahaan melakukan program CSR yang berkelanjutan, maka perusahaan akan
berjalan dengan baik.
Prinsip Pengembangan Masyarakat
Kebijakan CSR PT Holcim Indonesia Tbk
Prinsip CSR:
a.Profit
b.People
c.planet
Pola Pelaksanaan CSR
Motivasi
Pelaksanaan
CSR
Stakeholder
Perusahaan
Pandangan
perusahaan
terhadap CSR:
Mekanisme
Pelaksanaan
Program CSR
Dampak bagi
masyarakat/komunitas
Model
Penyaluran
Partisipasi
masyarakat
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Analisis Pola Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dalam Upaya Pengembangan Masyarakat
Keterangan pada bagan alir:
= ada hubungan
= saling berhubungan
Tingkat
lapisan
masyarakat:
a.atas
b.menengah
c.bawah
36
2.3 Hipotesis Pengarah
Kebijakan
dan
prinsip
CSR
dalam
upaya
pengembangan
masyarakat
mempengaruhi pola pelaksanaan CSR yang meliputi motivasi, pandangan
perusahaan, stakeholder, mekanisme pelaksanaan, dan model penyaluran.
2.4 Hipotesis Uji
Ada hubungan antara perbedaan lapisan masyarakat berdasarkan ekonomi dengan
tingkat partisipasi masyarakat dalam program CSR dan dampak yang diterimanya.
2.5 Definisi Konseptual
Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Prinsip pengembangan masyarakat adalah konsep dasar mengenai
perencanaan,
proses,
dan
hasil
yang
dilakukan
dalam
upaya
memberdayakan masyarakat agar terjadi peningkatan kemandirian dan
yang kesejahteraan yang berkelanjutan.
2. Kebijakan CSR perusahaan adalah pedoman dasar perusahaan (visi, misi,
dan peraturan) yang berupa dokumen tertulis yang menjadi landasan atau
acuan dalam pelaksanaan program CSR.
3. Profit menggambarkan kondisi ekonomi perusahaan, dimana perusahaan
memiliki komitmen sumberdaya finansial untuk mempertahankan
keberlanjutan operasional perusahaan.
4. People menggambarkan kondisi sosial (masyarakat), dimana perusahaan
memiliki komitmen untuk turut serta memperhatikan internal dan
eksternal stakeholders yang ada di sekitar perusahaan.
5. Planet menggambarkan kondisi lingkungan, dimana perusahaan memiliki
komitmen untuk turut memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan
meminimilkan atau mengelola dampak negatif yang ditimbulkan dari
usaha yang dilakukan.
37
6. Pola pelaksanaan CSR adalah bentuk pelaksanaan CSR yang dilakukan
oleh suatu perusahaan dilihat berdasar motivasi, cara pandang perusahaan
terhadap CSR, stakeholders, mekanisme dan tipe penyaluran CSR.
7. Motivasi CSR adalah alasan atau suatu hal yang mendasari pihak
peusahaan melakukan suatu program atau kegiatan CSR. Motivasi dalam
pelaksanaan suatu program tersebut antara lain: charity, dimana
berdasarkan pada agama, tradisi dan adat budaya masyarakat setempat
yang bersifat jangka pendek, selain ada juga motivasi philantrophy yang
melihat dari norma etika dan hukum yang berlaku di Indonesia (universal)
dilakukan secara terencana dan terorganisir, dan motivasi corporate
citizenship yang bertujuan untuk merekonsiliasi dengan ketertiban sosial
antara perusahaan dan pihak masyarakat degnan memberi kontribusi
kepada masyarakat yang terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan.
8. Pandangan perusahaan terhadap CSR adalah suatu cara melihat,
mendefinisikan,
dan
mengembangkan
konsep
CSR
pada
proses
kelompok
yang
dapat
pelaksanaannya.
9. Stakeholders
adalah
individu
maupun
mempengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuan
10. Mekanisme Pelaksanaan Program CSR adalah cara kerja dalam
pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Cara kerja ini
dapat dibentuk dari perusahaan (Top down), dari inisiatif masyarakat
(bottom up) atau secara partisipatif.
11. Model Penyaluran CSR adalah tipe penyaluran dalam pelaksanaan
program CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Tipe penyaluran
CSR ini dapat berbentuk langsung melaksanakan sendiri atau terlibat
langsung (inisiatif dari perusahaan), membuat yayasan, bermitra, atau
melakukan konsensus.
38
2.6 Definisi Operasional
1. Lapisan masyarakat adalah tingkat perbedaan ekonomi yang ada di dalam
masyarakat berdasarkan kepada pendapatan.
2. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah
diikuti oleh responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal
terakhir dengan enam kategori yakni SD, SLTP, SMA, S1, S2, dan lainnya.
3. Tingkat pendapatan adalah rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh
warga tiap bulan. Tingkat pendapatan diukur berdasarkan batas UMR kota
Bogor tahun 2010 adalah Rp 873.231 dan dikategorikan:
Rendah
: < Rp.873.231
Sedang
: Rp. 873.231 s/d 1.300.000
Tinggi
: > Rp. 1.300.000
4. Tingkat
partisipasi
masyarakat
adalah
beragam
tingkatan
yang
menggambarkan mengenai tipe partipasi masyarakat terhadap suatu
program atau kegiatan. Tipe ini terdiri atas delapan tingkat yaitu tipe
manipulatif, tipe terapi, tipe pemberitahuan, tipe konsultasi, tipe
penentraman, tipe kemitraan, tipe pendelegasian kekuasaan dan tipe kontrol
masyarakat.
Tingkat partisipasi rendah, yaitu skor 1-3
Tingkat partisipasi sedang, yaitu skor 4-6
Tingkat partisipasi tinggi, yaitu skor 7-9
5. Dampak bagi masyarakat merupakan perubahan yang dirasakan masyarakat
setelah menerima program atau suatu kegiatan dalam upaya pengembangan
masyarakat. dampak ini terdiri dari dampak sosial dan dampak ekonomi.
6. Dampak sosial adalah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat setelah
menerima program atau kegiatan pada variabel kepercayaan warga
terhadap perusahaan, kerja sama masyarakat, solidaritas warga, akses
terhadap pendidikan, kesempatan warga dalam mengambil keputusan.
Dampak sosial rendah, yaitu skor 5-8
Dampak sosial sedang, yaitu skor 9-11
Dampak sosial tinggi, yaitu skor 12-15
39
7. Dampak ekonomi adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah
menerima program CSR pada variabel kesempatan kerja, kesempatan
berusaha, pendapatan, akses lembaga keuangan, dan kesejahteraan warga.
Dampak ekonomi rendah, yaitu skor 5-8
Dampak ekonomi sedang, yaitu skor 9-11
Dampak ekonomi tinggi, yaitu skor 12-15
Download