BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengembangan Masyarakat 2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998: 162 dalam Suharto, 2005): pertama, masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama” yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau kampung di wilayah desa. Kedua, masyarakat sebagai “kepentingan bersama” yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Menurut Johnson (1984) dalam Suharto (2005), pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro. Secara singkat, pengembangan masyarakat memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998 dalam Suharto, 2005). Dalam diskursus akademis pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai Community Organization atau Community Development (Gilbert dan Specht, 1981 dalam Suharto, 2005) atau bimbingan sosial masyarakat (Soetarso, 1991 dalam Suharto, 2005). Di Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa, pengembangan masyarakat disebut sebagai pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community care) (Twelvetrees, 1993: Payne, 1986 dalam Suharto, 2005). Pengembangan Masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya 7 terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993 dalam Suharto 2005). 2.1.1.2 Model Pengembangan Masyarakat Jack Rothman dalam klasiknya yang terkenal, Three Models of Community Organization Practice (1968) dalam Suharto (2005), mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang Pengembangan Masyarakat: (1) pengembangan Masyarakat lokal (locality development), (2) perencanaan sosial, dan (3) aksi sosial. Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi. Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi. Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up. Model pengembangan masyarakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 8 Tabel 1. Tiga Model Pengembangan Masyarakat Parameter Orientasi tujuan Asumsi mengenai struktur masyarakat dan kondisi masalah Asumsi mengenai kepentingan masyarakat Konsepsi mengenai kepentingan umum Orientasi terhadap struktur kekuasaan Sistem klien atau sistem perubahan Konsepsi mengenai klien atau penerima pelayanan Peranan masyarakat Peranan pekerja social Media perubahan Strategi perubahan Teknik perubahan Pengembangan Masyarakat Lokal Kemandirian, integrasi dan kemampuan masyarakat (tujuan proses) Keseimbangan, kurang kemampuan dalam relasi dan pemecahan masalah Kepentingan umum atau perbedaanperbedaan yang dapat diselaraskan Rationalist-unitary Struktur kekuasaan sebagai kolaborator, perwakilan Masyarakat secara keseluruhan Warga masyarakat atau negara Partisipan dalam proses pemecahan masalah Pemungkin, koordinator, pembimbing Mobilisasi kelompokkelompok kecil Pelibatan masyarakat dalam pemecahan masalah konsensus dan diskusi kelompok, partisipasi, brain storming, role playing, bimbingan dan penyuluhan Perencanaan Sosial Aksi Sosial Pemecahan masalah social yang ada di masyarakat (tujuan tugas/hasil) Perubahan struktur kekuasaan proses, lembaga dan sumber (tujuan proses &tugas) Masalah sosial nyata: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja Kepentingan yang dapat diselaraskan atau konflik kepentingan Idealist-unitary Ketidakadilan, kesengsaraan, ketidakmerataan, ketidaksetaraan Konflik kepentingan yang tidak dapat diselaraskan: ketiadaan sumber Realist-individualist Struktur kekuasaan sebagai pekerja dan sponsor Seluruh atau sekelompok masyarakat termasuk masyarakat fungsional Konsumen Struktur kekuasaan sebagai sasaran aksi, dominasi elit kekuasaan harus dihilangkan Sebagian atau sekelompok anggota masyarakat tertentu Konsumen atau penerima pelayanan Pelaku, elemen, anggota Peneliti, analis, fasilitator, pelaksanaan program Mobilisasi organisasi formal Penentuan masalah dan keputusan melalui tindakan rasional para ahli Advokasi, andragogy, perumusan kebijakan, perencanaan program Aktivis, advokasi: agitator, broker, negotiator Korban Mobilisasi organisasi massa dan politik Katalis dan pengorganisasi masyarakat untuk mengubah struktur kekuasaan Konflik atau unjuk rasa, konfrontasi atau tindakan langsung, mobilisasi massa, analisis kekuasaan, mediasi, agitasi, negosiasi, pembelaan 2.1.1.3 Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensirnegikan strategi 9 komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta intensif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah prilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife, 1995 dalam Nasdian, 2006). Ife (1995) dalam Nasdian (2006) memaparkan 26 prinsip pengembangan masyarakat (community development) seperti berikut: a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi yaitu: 1) Holistik. Dimana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan. 2) Keberlanjutan. Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka sustainability yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumber daya yang tidak tergantikan dan menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan di tingkat lokal. Prinsip ini membutuhkan penggunaaan secara minimal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbarui. Hal ini berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi, transportasi, dan lain-lain. 3) Keanekaragaman. Merupakan salah satu aspek penting prinsip ekologis, dimana di alam keanekaragaman akan menjadi siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring, dan komunikasi yang setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pad tingkat yang lebih rendah. 4) Pembangunan bersifat Organik. Penerapan pembangunan yang bersifat organik melalui suatu pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga komunitas dan 10 lingkungannya. Komunitas lebih organik ketimbang mekanik karena cara kerja komunitas tidak mengikuti hukum sebab-akibat. 5) Keseimbangan. Di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseimbangan alam secara keseluruhan. Dimana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum. b. Prinsip keadilan sosial 6) Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural. Prinsip ini mengakar pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat. Seorang community workers harus dapat menyadari adanya cara dimana tekanan pada suatu kelas, gender, dan suku bangsa berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih kritis tehadap latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin, sikap berdasarkan kelas warga komunitas, dan partisipasi warga komunitas pada struktur penindasan tersebut. 7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan. Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan menitikberdayakan sebagian orang yang lainnya. 8) Pemberdayaan. Makna pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas. 11 9) Mendefinisikan kebutuhan. Prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan: (1) pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden memperhatikan prinsip yang keadilan ditimbulkannya sosial dan dan keseimbangan ekologis. 10) Hak Asasi Manusia. Program pengembangan masyarakat harus mengacu kepada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk ikut serta dalam kehidupan kultural, hak untuk memperoleh perlindungan keluarga, dan hak untuk “self determination”. c. Menghargai nilai-nilai lokal 11) Pengetahuan lokal. Prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut. 12) Budaya lokal. Globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat bahwa budaya lokal tidaklah statis namun dinamis. Bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. 13) Sumber daya lokal. Pemanfaatan sumber daya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumber daya alam akan dapat mendorong bermacammacam cara dalam pembangunan masyarakat. 14) Keterampilan lokal. Dalam pembangunan masyarakat “pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan. 12 Memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat harus berjalan dua arah antara luar dan masyarakat. 15) Menghargai proses lokal. Pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi, dan lingkungan. d. Proses 16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian. 17) Keterpaduan Proses. Proses bekerja dikomunitas dan perlu “dekat” dengan penelitian dan pengkajian agar proses integrasi dapat dipertahankan. 18) Peningkatan kesadaran. Prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian pontensi dalam kehidupan , menghubungkan dengan struktur yang ada, mendiskursus kekuatan, dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangun hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi tekanan dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini 13 merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat. 19) Partisipasi. Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. 20) Konsensus dan kerjasama. Penerapannya adalah agar orang-orang yang terlibat dalam proses mencari penyelesaian terhadap suatu masalah dan betul-betul menyadari bahwa keputusan yang diambil adalah yang baik. Pendekatan konsensus bekerja dengan persetujuan. Tujuannya menghasilkan solusi yang menjadi milik bersama. Pendekatan pengembangan komunitas berusaha membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk memberi imbalan pada prilaku kerjasama. Dengan berkoperasi akan mampu “sharing” perasaan dan permasalahan yang dihadapi sehingga dalam jangka panjang akan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi bersama dalam komunitas. 21) Pembangunan Terpadu. Proses pengembangan masyarakat tidak berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, lingkungan, dan personal. Keenam aspek tersebut penting dan saling terkait satu sama lain. Program pengembangan masyarakat yang hanya menekankan satu aspek saja akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam pembangunan. 22) Tanpa Kekerasan. Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk melawan berbagai bentuk kekerasan atau paksaan yang nyata, seperti: militerisme, paksaan fisik dalam bentuk-bentuk seperti hukuman fisik, hukuman mati, kebrutalan polisi, dan lain-lain. Pengembangan masyarakat dilaksanakan tanpa kekerasan struktural, yakni dengan cara tanpa mengubah lembaga yang ada dan struktur sosial masyarakat. 14 23) Inklusif. Penerapan prinsip ini menekankan agar community workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut berlawanan pandangan. Meskipun tidak setuju dengan gagasan, nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan berupaya merangkulnya daripada mengasingkan mereka. 24) Membangun Komunitas. Prinisip ini mencari cara dimana setiap orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh yang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas, mengajak kebersamaan, menterjemahkan melalui dialog, pemahaman, dan tindakan sosial. e. Prinsip global dan lokal 25) Hubungan antara global dan lokal. Saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi di tingkat komunitas. 26) Praktik anti penjajah. Penjajahan (kolonialisme) dapat mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu yang ditawarkan dan dengan menghargai suatu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah. 15 2.1.1.4 Peran Serta Masyarakat Pada prakteknya terdapat berbagai jenjang peran serta masyarakat, dimana jenjang ini ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap seluruh proses penataan ruang. Peran serta masyarakat tertinggi adalah peran serta yang yang benar-benar memberikan otoritas pada komunitas atau masyarakat. sebagaimana dikatakan Arstein (1969) terdapat ladder of citizen participation atau tangga partisipasi masyarakat. hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Tangga Partisipasi Masyarakat no 1 2 Tangga/ Tingkatan Partisipasi Manipulasi Terapi 3 pemberitahuan 4 Konsultasi 5 Penentraman 6 7 Kemitraan Pendelegasian kekuasaan 8 Kontrol masyarakat Hakekat Kesertaan Permainan oleh pihak tertentu Sekedar agar masyarakat tidak marah atau mengobati Sekedar pemberitahuan searah atau sosialisasi Masyarakat didengar, tetapi tidak selalu dipakai sarannya Saran masyarakat diterima namun tidak selalu dilaksanakan Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat Tingkatan Pembagian Kekuasaan Tak ada partisipasi Sekedar justifikasi agar masyarakat mengiyakan Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat Sumber:Arstein (1969) dalam Setiawan (2003)2 Pada tabel tersebut menjelaskan bahwa berbagai tingkatan kesertaan dapat diidentifikasikan mulai dari tanpa partisipasi sampai pelimpahan kekuasaan. Pengelola tradisional selalu enggan untuk melewati tingkat tanpa partisipasi dan tokenism dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis. Sebaliknya, masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang lebih bermanfaat, termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan. Peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa kali selama proses analisa dan perencanaan. Smith (1982) dalam Setiawan (2003) menyarankan bahwa perencanaan dapat dilakukan dalam tiga tahap yakni pertama, normatif. 2 Setiawan.2003.www.psppr-ugm.net/jurnalpdf/Bobi.pdf (diakses 3 maret 2010) 16 Dimana keputusan diambil untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Kedua, strategik. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan sesuai yang dapat dilakukan. Ketiga, operasional. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan apa yang dilakukan. Menurut Smith banyak program partisipasi masyarakat dilakukan pada tahap operasional. Walaupun demikian Smith dan ahli lainnya seperti Korten (1983), Howell (1987) atau Pinkerton (1989) dalam Setiawan (2003) menyarankan bahwa kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses perencanaan, sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting. 2.1.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 2.1.2.1 Definisi dan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR Kedermawanan perusahaan menurut Saidi (2003) sesungguhnya adalah kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab ini merupakan salah satu dari empat bentuk tanggung jawab yang dimilikinya, tiga lainnya adalah tanggung jawab perusahaan secara ekonomi untuk menghasilkan laba, tanggung jawab dalam menaati hukum dan tanggung jawab etis. Menurut pandangan konsep modern, perusahaan tidak dapat dipisahkan dari para individu yang terlibat di dalamnya dan stakeholder di luar perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan bertanggung jawab secara internal bagi kelangsungan usahanya serta memiliki tanggung jawab sosial pada publik. Menurut pandangan ini, masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimilikinya dan direproduksinya. Para profesional yang bekerja memiliki tanggung jawab ganda, kepada pemilik dan kepada publik. Konsep ini dikenal dengan non-fiduciary responsibility. Pada filantropi, seseorang atau suatu pihak tidak sekedar memberi untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan mereka. Tetapi yang penting pemberian tersebut harus mempedulikan siapa, untuk apa, dan apa dampaknya agar benarbenar membawa manfaat bagi yang menerima. Pada konteks perusahaan, Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) memberikan definisi tentang filantropi yakni pemberian sejumlah uang, waktu, produk atau jasa untuk membantu kebutuhan 17 atau untuk mendukung bekerjanya lembaga-lembaga menuju kesejahteraan manusia yang lebih baik. Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuntungan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut (triple bottom line). Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan. Berdasar pada Trinidad and Tobaco Bureau of Standards (TTBS), Corporate Social Responsibility (CSR) diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal, dan masyarakat secara lebih luas (Sankat Clement K, 2002 dalam Zainal, 2006). Sedangkan The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitikomuniti setempat dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup (fox, et al, 2002 dalam Zainal, 2006). Terkait dengan definisi tersebut, beberapa hal yang dapat digaris bawahi yakni pertama, bahwa CSR merupakan komitmen dari bisnis atau usaha. Kedua, CSR berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas kehidupan masyarakat. Artinya bahwa model CSR hendaknya untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana tanggung jawab sosial perusahaan bukan hanya sebatas pada kedermawanan dari perusahaan, namun menyangkut pada pengelolaan CSR sehingga dapat memberikan dampak positif pada kualitas kehidupan komuniti lokal dan masyarakat serta kapasitas ekonomi. Perihal ketiga yakni karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas dan keseluruhan merupakan dimensi-dimensi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CSR.3 3 Rabin Ibnu Zainal.2006.Best Practices: Corporate Social Responsibility (CSR) “Sebuah pengalaman membangun multistakeholder engagement bagi penerapan CSR di kabupaten Muba, Sumatera Selatan”. 18 Hess dan Siciliano juga memberikan penjelasan mengenai CSR dengan membedakannya melalui dua pendekatan yakni Classical Economy Approach dan Activist Approach (Hess dan Sicilliano, 1996:53-55 dalam Soemanto, 2007). Pendekatan The Classical Economy Approach melihat bahwa CSR dilakukan dengan mematuhi peraturan dan kode etik yang berlaku dalam masyarakat, yaitu tidak menyebabkan kerugian konsumen, pekerja, atau lingkungan sekitar, dengan tetap mengupayakan keuntungan perusahaan. Pendekatan kedua yakni Activist Approach melihat perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada pemilik perusahaan, tetapi kepada semua pihak yang memiliki kepentingan atas perusahaan4. Sementara itu, Mark Goyder (Iriantara, 2004:77 dalam Rahman, 2009) membagi bentuk CSR menjadi dua: a) Membentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari CSR. Pembagian ini merupakan tindakan terhadap luar korporat, atau kaitannya dengan lingkungan di luar korporat seperti komunitas dan lingkungan alam. Bagaimana sebuah korporat menerapkan dan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas sekitarnya. b) Mengarah ke tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Intrepetasi yang benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan. Menurut Rahman (2009) Bentuk program CSR memiliki dua orientasi. Pertama, internal yakni CSR yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas. Kedua, eksternal yakni CSR yang mengarah pada tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau Palembang:Badan penerbit Fakultas Ekonomi Unsri di dukung oleh partenership for Governance Reform in Indonesia, Uni Eropa, dan P3EM FE Unsri. 4 Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk 19 mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Menurut Wibisono (2007) istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity (profit), environmental quality (planet) dan social justice (people). 1. Profit (keuntungan) Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. 2. People (masyarakat pemangku) Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan mereka, terutama masyarakat sekitar, sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesarnya kepada masyarakat. 3. Planet (lingkungan) Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah lingkungan. Jika perusahaan ingin eksis dan akseptable maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat. Dimana jika manusia merawat lingkungan, maka lingkungan akan memberikan yang terbaik, begitu pula sebaliknya. Lingkup penerapan CSR secara gagasan Prince of Wales International Business Forum dalam Wibisono (2007) mengusung lima pilar yakni: 1. Building human capital 20 Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang andal, di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat. 2. Strengtening economies Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar terjadi pemerataan kesejahteraan. 3. Assesing social chesion Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan konflik. 4. Encourging good governance Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governance (GCG). 5. Protecting the environment Mengharuskan perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya Dalam prakteknya di lapangan, menurut Rahman (2009) suatu kegiatan disebut CSR ketika memiliki sejumlah unsur berikut: 1. Continuity dan sustainability atau berkesinambungan dan berkelanjutan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar trend ataupun insidental, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan pada long term perspective bukan instant, happening atau pun booming. CSR adalah suatu mekanisme kegiatan yang terencanakan, sistematis, dan dapat dievaluasi. 2. Community empowerment atau pemberdayaan komunitas. Membedakan CSR dengan kegiatan yang bersifat charity atau pun philantrophy semata. Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas, tetapi tidak menjadikannya mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas, dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir. 3. Two ways. Artinya program CSR bersifat dua arah. Korporat bukan lagi berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu mendengarkan aspirasi dari komunitas. Ini dapat dilakukan dengan need 21 assessment, yaitu sebuah survei untuk mengetahui needs, desire, interest dan wants dari komunitas. Menurut Iriantara (2004) dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait dengan CSR: 1. Kapital reputasi Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga kepercayaan stakeholder. 2. Ekososial Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat. 3. Hak-hak pihak lain Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat dan bisnisnya. 2.1.2.2 Motivasi dan Bentuk Penyaluran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR Kedermawanan sosial perusahaan juga berhubungan dengan beberapa hal, antara lain adalah motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan kedermawanan sosial, cara pengambilan keputusan dan nilai-nilai yang akan dicapai dalam memberikan sumbangan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang penting untuk diketahui dalam rangka menggali potensi dana lokal, karena selama ini ada kecendrungan dana lokal lewat sumbangan sosial perusahaan tersalurkan dalam area yang sangat variatif sesuai dengan keinginan perusahaan penyumbang5. Menurut Onny S Prijono (1994) dalam Saidi (2003) dicatat bahwa sumbangan perusahaan pada dasarnya berbasis pada pemberian individu dan cukup sulit membedakan seorang pemilik atau ekskutif puncak dengan perusahaan yang diwakilinya. Sifatnya yang cenderung individual, motif sumbangan sosial 5 Zaim Saidi dkk.2003.Sumbangan Sosial Perusahaan “Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia Survei 226 Perusahaan di 10 Kota. Jakarta Selatan: Piramedia 22 yang diberikan perusahaan juga berorientasi pada sesuatu yang bersifat transendental. Sehingga dana yang tersalur dari perusahaan lebih mengarah pada kegiatan yang bersifat transeden seperti panti asuhan, panti jompo, tempat ibadah, dan bencana alam. Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) terdapat sejumlah alasan mengapa perusahaan memiliki program-program filantropi atau kedermawanan sosial yaitu pertama, untuk mempraktikan konsep “good corporate citizenship”. Kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ketiga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Kedermawanan sosial biasanya di dasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi dan pada saat yang bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain. Studi PIRAC menggambarkan pola-pola kedermawan perusahaan. Dilihat dari sifat dan bentuknya, sebagian besar sumbangan yang diberikan perusahaan yang bersifat insidentil dan dalam bentuk natura (in-kind). Sumbangan natura diberikan antara lain dalam bentuk: produk perusahaan, jasa profesional, pemakaian sarana perusahaan, peralatan bekas pakai, keterlibatan perusahaan dalam kepengurusan lembaga sosial, dorongan agar staf perusahaan menjadi volunteer, kampanye penggalangan dana di lingkungan perusahaan, dan beriklan di penerbitan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Sementara sumbangan secara tunai diberikan dalam bentuk: hibah, joint promotion, iuran anggota, special event, payroll giving, dan zakat perusahaan. Sejumlah model penyaluran sumbangan juga teridentifikasi dalam studi Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Ada empat model penyaluran sumbangan, yakni: pertama, perusahaan menjalankan kedermawanan secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial tanpa perantara. Kedua, sumbangan diberikan melalui organisasi atau yayasan sosial yang didirikan oleh perusahaan atau grupnya. Ketiga, perusahaan bermitra dengan pihak lain seperti LSM, instansi pemerintah, universitas dan media massa. Keempat, perusahaan ikut mendirikan atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan tertentu. 23 Pada metode penyalurannya ini, ada beberapa pola kerjasama yang bisa diterapkan perusahaan dalam bermitra dengan organisasi lain dalam menyalurkan sumbangan. Pola pertama, perusahaan menanggung seluruh biaya yang diperlukan, baik dana untuk disumbangkan, maupun biaya operasional untuk menyalurkannya. Pola kedua, perusahaan hanya menyediakan dana untuk disumbangkan, sedangkan organisasi yang menjadi mitra perusahaan hanya menanggung biaya operasional untuk menyalurkan dana tersebut. Pola lainnya yakni modifikasi dari pola yang terakhir disebutkan tadi yaitu selain menyediakan dana, perusahaan juga membantu membiayai sebagian biaya operasional sehingga beban organisasi mitra menjadi lebih ringan. Sedangkan untuk besaran sumbangan, menyumbang (filantropi) merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kenyataan ini secara kasat mata dapat diindikasikan dengan berbagai liputan di media massa yang memberitakan kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh berbagai perusahaan. Menurut Zaim Saidi (2003) dalam Nursahid (2006), tipologi kedermawanan sosial perusahaan di bagi ke dalam lima kategori: charity (amal), image building (promosi), facility (insentif pajak), security prosperity (ketahanan hidup atau peningkatan kesejahteraan) dan money laundering (manipulasi). Memahami beragam motivasi kedermawanan ini penting dari prospektif etis, agar tujuan normatif kedermawanan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat tidak terdiskusi dan dimanipulasi oleh kepentingan yang tidak sehat. Menurut Blakemore (1998) dalam Nursahid (2006), kebijakan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia kendati tujuan ini sulit dan mungkin sering kali gagal dilakukan. Blakemore juga mengemukakan prinsipprinsip kebijakan sosial dalam pendekatan kesejahteraan sosial dimana kebijakan ini harus didasarkan pada prinsip: kesetaraan (equality), kebutuhan (need) dan kebebasan (freedom). Adapun makna yang saling terkait dari prinsip-prinsip tersebut: pertama, sebuah prinsip mungkin mempunyai makna etis atau moral. Prinsip ini akan memperlihatkan mengenai “benar” dan “salah” terkait dengan standar moral tertentu. Oleh karena itu kebijakan sosial harus merefleksikan norma dan nilai masyarakat. Kedua, prinsip dilihat sebagai sebuah aturan dimana 24 dalam pengertian ini masing-masing sistem mengembangkan mekanisme birokrasi yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan. Transformasi menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi perusahaan (menurut hasil survei PIRAC) merupakan donasi yang berbentuk hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, sedekah atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu organisasi nirlaba yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi pemberi bantuan. Tranformasi terhadap orientasi ini perlu dilakukan karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukan guna pemenuhan keperluan sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu perlu di dorong kegiatan kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju kepada pengembangan dan akhirnya pemberdayaan, sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 3. Karakterisasi Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan Tahapan Motivasi Charity Agama, tradisi, adat Misi Mengatasi masalah sesaat Jangka pendek, menyelesaikan masalah sesaat Pengorganisasian Kepanitian Pengelolaan Penerima manfaat Kontribusi Orang miskin Inspirasi Kewajiban Hibah social Philanthropy Norma etika, hukum universal, redistribusi kekayaan Mencari dan mengatasi masalah Terencana, terorganisir, terprogram Corporate Citizenship Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial Memberikan kontribusi kepada masyarakat Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan Yayasan/dana abadi, profesionalisasi Keterlibatan baik dana maupun sumber daya lain Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan Hibah pembangunan Hibah (sosial maupun pembangunan) dan keterlibatan sosial Kepentingan bersama Sumber: Zaim Saidi, “Pengembangan Kedermawanan Perusahaan, 2004, hal 57 dalam Fajar Nursahid 25 2.1.2.3 Pihak-Pihak Terkait dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR Pada implementasi tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, beberapa stakeholder terkait yakni pertama adalah pemerintah. Pemerintah dapat melakukan peran dalam empat ranah yakni menyediakan data dan informasi, memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Kedua yakni sektor privat. Perusahaan dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, menyosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah dan masyarakat. ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 6. Perlu disepakati bahwa perusahaan atau korporat merupakan bagian dari suatu sistem komunitas. Secara internal, perusahaan perlu mempertahankan keberlanjutan dan eksistensi usahanya. Sedangkan di pihak lain, stakeholder lainnya pun membutuhkan perusahaan untuk dapat berkembang, untuk itu korporate atau perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dikarenakan perusahaan juga merupakan bagian dari suatu sistem komunitas. Menurut Wibisono (2007) Stakeholders yang jamak diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Rhenald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007) membagi stakeholders menjadi sebagai berikut: 1. Stakeholders internal dan stakeholders eksternal Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer, dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, 6 Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk 26 pers, kelompok sosial masyarakat, pemerintah, pers, kelompok sosial responsible investor, licensing partner dan lain-lain. 2. Stakeholders primer, stakeholders sekunders dan stakeholders marjinal. Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut stakeholders primer, stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders sekunder dan yang bisa diabaikan disebut stakeholders marjinal. 3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial. 4. Proponents, opponents dan uncommitted Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak peduli atau abai (uncommitted). 5. Silent majority dan vocal minority Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang menyatakan secara silent (pasif). Dwight W Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyebutkan bahwa salah satu peluang terbaik dari isu CSR dalam kaitannya dengan peran serikat pekerja adalah makna dari CSR sebagai tindakan sukarela untuk mematuhi dan melampaui seluruh regulasi. Adopsi penuh konvensi ILO, deklarasi HAM, dan deklarasi PBB dalam konferensi Rio kembali dalam persepektif CSR sudah bukan sebagai pilihan anjuran melainkan menjadi kewajiban. Isu mengenai perlakuan yang setara, jaminan keamanan setiap pekerja, kebebasan berserikat, memberikan rasa hormat dengan sepenuh hati atas hak-hak politik dan hak-hak 27 sipil, pemberian kompensasi dan standar kehidupan bagi pekerja dan keluarga secara wajar, memberikan proteksi penuh atas kesepakatan kolektif, dan seterusnya sudah bukan lagi sebagai isu, wacana atau cita-cita. Selanjutnya, Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyatakan jika kesadaran akan hal di atas sudah menjadi bagian etis dan praktis pelaku bisnis, maka serikat pekerja atau bahkan individu pekerja bisa secara sukarela menyatakan dan mengusulkan ide mengenai apa dan bagaimana sebaiknya CSR perusahaan. Selain sebagai partisipati pro aktif, serikat pekerja juga bisa berperan sebagai kelompok kontrol untuk memverifikasi laporan keberlanjutan perusahaan untuk kemudian memberikan masukan untuk perbaikan kinerja CSR perusahaan. Menurut Luke Wilde (2003) dalam Taufik Rahman (2009) praktik bisnis di sebuah perusahaan hendaknya menunjukan kinerja-kinerja sebagai berikut: 1. Menghormati para pekerjanya sebagai bagian terpenting dari praktik bisnis, terus mempromosikan, melindungi, menjamin keamanan, dan menjamin perlindungan atas hak-hak para pekerja. 2. Perusahaan menjamin bahwa proses produksi mereka tidak melanggar HAM dan tidak digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan HAM. 3. Perusahaan harus meneguhkan pandangan positif bahwa mereka memiliki kewajiban kepada seluruh pemangku kepentingan untuk meminimumkan dampak negatif sosial, ekonomi, dan lingkungan dari eksistensi dan operasinya. 4. Perusahaan harus benar-benar merasa kewajiban untuk mendatangkan dampak positif bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan kepada seluruh pemangku kepentingan (internal dan eksternal). 2.1.2.4 Cara Pandang dan Implementasi CSR7 Cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan CSR bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. 1) Sekedar basa-basi dan keterpaksaan. Artinya CSR hanya dipraktikan lebih karena faktor eksternal (eksternal driven). 2) Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). 7 Yusuf Wibisono.2007.Membedah Konsep CSR dan Aplikasi CSR. Gresik:Fascho Publishing. 28 CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksakannya. 3) Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias compliance plus. CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkahlangkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan ataupun tekanan dari masyarakat. Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) Terkait dengan komimen pemimpin perusahaan yang dituangkan berupa kebijakan perusahaan terkait CSR. 2) Menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan yang besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberi kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. 3) Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan pertahapan implementasi CSR sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian serta langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, dilakukan melalui bencmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumber daya, penyusunan untuk menempatkan orang 29 sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan, pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama yaitu sosialisasi, pelaksanaan, dan internalisasi. 3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi. 4. Tahap Pelaporan Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Implementasi program CSR dapat dikelola berdasarkan pola sebagai berikut: 1) Program sentralisasi. Perusahaan sebagai pelaksana atau penyelenggara utama kegiatan. Begitupun tempat, kegiatan berlangsung di areal perusahaan. Pada prakteknya, pelaksanan kegiatan bisa bekerja sama dengan pihak lain misalnya event organizer atau institusi lainnya sejauh memiliki kesamaan visi dan tujuan. 2) Program desentralisasi. Kegiatan dilaksanakan diluar area perusahaan. Perusahaan berperan sebagai pendukung kegiatan tersebut baik dalam bentuk bantuan dana, material, maupun sponsorship. 3) Program Kombinasi. Pola ini dapat terutama untuk program-program pemberdayaan masyarakat, dimana inisiatif, pendanaan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan secara partisipatoris dengan beneficiaries. Mekanisme perencanaan implementasi program atau kegiatan CSR dapat dilakukan sebagai berikut, yaitu: 1) Bottom Up Process, program berdasar pada permintaan beneficiaries yang kemudian dilakukan evaluasi oleh perusahaan. 2) Top Down Process, program berdasar pada survei atau pemeriksaan seksama oleh perusahaan yang disepakati oleh beneficiaries. 3) Partisipatif, program dirancang bersama antara perusahaan dan beneficiaries. 30 2.1.2.5 Hubungan Pengembangan Masyarakat dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR Praktik dunia usaha di masa lampau yang cenderung berdampak negatif, membuat wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi kebutuhan untuk mengubah citra dunia usaha yang ramah lingkungan. Menurut Edward Freeman (1984) dalam Ambadar (2008), pada bukunya A Stakeholder Approach di era terakhir ini pemahaman manajemen strategis berkembang, tidak hanya sekadar menguasai pasar (pelanggan) saja, tetapi juga menguasai stakeholder (pemangku kepentingan) yang menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Namun konsep pemangku kepentingan itu sendiri telah mengalami banyak perubahan yang mencolok. Jikalau dulu yang dianggap sebagai stakeholder adalah investor, dewan direksi, manajemen, pelanggan, pemasok dan pemerintah, kini telah berkembang menjadi lebih luas menyangkut karyawan, serikat kerja, masyarakat umum, dan kelompok peminat khusus8. Andrew Weiss dalam Ambadar (2008) mengungkapkan tentang keretakan pada dasar teori stakeholder yang berubah tersebut. Namun, Chris Laszlo, penulis The Sustainable Company (2003), dan Robert Philips, penulis Theory and Organization Ethics (2003) dalam Ambadar (2008) menjawab kritik Weiss tersebut sebagai akibat dari pergeseran paradigma perusahaan yang berimpit dengan keinginan untuk mencegah terjadinya bencana sosial dan lingkungan. Sebagai perusahaan, mereka menyadari adalah bagian dari lingkungannya yang perlu dirawat dengan baik untuk bisa hidup bersama secara berkelanjutan. Masyarakat menghendaki standar bisnis yang lebih tinggi daripada eraera sebelumnya, yaitu perusahaan harus dapat melampaui “berhasil dengan baik” dengan cara mendapatkan laba, dan “melakukannya dengan baik” dengan cara berbuat sesuai dengan tanggung jawab sosial mereka. Tanggung jawab sosial adalah kepedulian para manajer suatu perusahaan berkenaan dengan konsekuensi 8 Jackie Ambadar .2008.CSR dalam Praktik di Indonesia.Jakarta: PT Elex Media Komputindo 31 sosial, lingkungan, politik, manusia, dan keuangan, atas tindakan-tindakan yang mereka ambil. Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat di sekitarnya yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. CSR merupakan salah satu upaya untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line). Konsep CSR sebetulnya bukan merupakan konsep baru dalam dunia bisnis, di tingkat internasional Philip Kotler (2005) dalam Ambadar (2008) telah mengungkapkan bahwa CSR hendaknya bukan merupakan aktivitas yang hanya merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada lingkungan sosialnya, namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas perusahaan terhadap lingkungan sosialnya sehingga CSR merupakan denyut nadi perusahaan. Dengan demikian, CSR adalah sebuah konsep manajemen yang menggunakan pendekatan “triple bottom line” yaitu keseimbangan antara mencetak keuntungan, harus seiring dan berjalan selaras dengan fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang sustainable. Community Development (Comdev) diyakini merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas charity ataupun 7 (tujuh) dimensi CSR lainnya, antara lain community relation. Hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan comdev, terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan. Dalam aktualisasi Good Corporate Citizenship, maka kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemadirian masyarakat, yakni program pemberdayaan. Terdapat hal penting yang membedakan antara aktivitas charity dengan philantropy antara lain bahwa dalam aktivitas philantrophy aktivitas lebih di dorong oleh norma dan etika hukum, bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban, 32 selain itu inspirasi aktivitas adalah untuk memenuhi kepentingan semua pihak baik perusahaan maupun komunitas. Dengan demikian tampak bahwa Comdev merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR. Pemberdayaan masyarakat (comdev) intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri, dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka (Shardlow, 1998 dalam Ambadar, 2008). Comdev memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, dengan mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melalukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Comdev sering kali diimplementasikan dalam bentuk (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab. Prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang dalam pengembangan masyarakat (berdasarkan acuan dari ICSD, 2004 dalam Ambadar, 2008) antara lain: 1. Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan, dan memobilisasi individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong diri sendiri, memecahkan masalah, integrasi sosial, dan atau tindakan sosial. 2. Pada tingkat masyarakat yang paling bawah, partisipasi harus ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dari partisipasi dalam kaitannya dengan sifat apatis, frustasi, dan perasaan-perasaan yang sering muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural. 3. Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, Comdev harus mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok relevan dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan merencanakan serta melaksanakan pelatihan tentang tindakan, dalam hal ini tujuannya adalah mengarah pada kepercayaan diri dalam kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi ketergantungan pada negara, lembaga, dan intervensi profesional. 33 4. Sumber daya-sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial) dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah, lembaga-lembaga, dan kelompok profesional) harus dimobilisasi dan kemungkinan untuk diseimbangkan dalam bentuk kesinambungan dalam pembangunan. 5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe hubungan: (1) hubungan sosial, di dalam keberadaan kelompok dipisahkan melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi, suku bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal, atau karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau membuka konflik, (2) hubungan struktural, diantara pranata-pranata tersebut, seperti sektor-sektor publik, organisasi sektor pribadi, organisasi nirlaba atau charity, dan organisasi kemasyarakatan serta asosiasi yang memiliki perhatian terhadap kesejahteraan sosial pada tingkat komunitas. Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara kelompok-kelompok marginal dengan mengaitkannya dengan kekuatan perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik. Undang-undang perseroan terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumberdaya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Tanggung jawab sosial yang populer dengan sebutan CSR telah mengalami perkembangan yang pesat, dengan definisi yang makin luas, jauh lebih luas daripada, misalnya yang di definisikan Maignan dan Ferrell “ A business acts ini socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stakeholder interest”. Tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. 34 Arti CSR yang dikatakan Elkington mencakup tiga P (People, Planet, Profit). Jika dibandingkan dengan kata-kata ayat 1 pasal 74 UU PT yang berbunyi “persereoan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan” tentu amat sulit untuk disandingkan. Jika memakai definisi di atas, CSR bukan hanya kewajiban perusahaan yang berbasis sumberdaya alam belaka, tetapi semua perusahaan. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada community development yang tersirat dari judulnya “tanggung jawab sosial dan lingkungan” dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis sumber daya alam. Dalam program community development telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan eksternally driven menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi etika dan internally driven. Program CSR yang berkelanjutan dapat membantu menciptakan kehidupan dimasyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya tercipta kemandirian. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore dalam Chairil, N Siregar (2007) menyatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat stratifikasi sosial dimana stratifikasi sosial itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang membutuhkan berbagai pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Agar masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan. Kondisi ini dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat membangun tingkat kepercayaan dalam diri masyarkat, untuk itu di dukung oleh program CSR yang berkelanjutan9. 9 Chairil N. Siregar.Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility pada Masyarakat Indonesia.jurnal sosioteknologi edisi 12 tahun 6 desember 2007 35 2.2 Kerangka Pemikiran Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program CSR yang berkelanjutan, maka perusahaan akan berjalan dengan baik. Prinsip Pengembangan Masyarakat Kebijakan CSR PT Holcim Indonesia Tbk Prinsip CSR: a.Profit b.People c.planet Pola Pelaksanaan CSR Motivasi Pelaksanaan CSR Stakeholder Perusahaan Pandangan perusahaan terhadap CSR: Mekanisme Pelaksanaan Program CSR Dampak bagi masyarakat/komunitas Model Penyaluran Partisipasi masyarakat Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Analisis Pola Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Upaya Pengembangan Masyarakat Keterangan pada bagan alir: = ada hubungan = saling berhubungan Tingkat lapisan masyarakat: a.atas b.menengah c.bawah 36 2.3 Hipotesis Pengarah Kebijakan dan prinsip CSR dalam upaya pengembangan masyarakat mempengaruhi pola pelaksanaan CSR yang meliputi motivasi, pandangan perusahaan, stakeholder, mekanisme pelaksanaan, dan model penyaluran. 2.4 Hipotesis Uji Ada hubungan antara perbedaan lapisan masyarakat berdasarkan ekonomi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam program CSR dan dampak yang diterimanya. 2.5 Definisi Konseptual Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Prinsip pengembangan masyarakat adalah konsep dasar mengenai perencanaan, proses, dan hasil yang dilakukan dalam upaya memberdayakan masyarakat agar terjadi peningkatan kemandirian dan yang kesejahteraan yang berkelanjutan. 2. Kebijakan CSR perusahaan adalah pedoman dasar perusahaan (visi, misi, dan peraturan) yang berupa dokumen tertulis yang menjadi landasan atau acuan dalam pelaksanaan program CSR. 3. Profit menggambarkan kondisi ekonomi perusahaan, dimana perusahaan memiliki komitmen sumberdaya finansial untuk mempertahankan keberlanjutan operasional perusahaan. 4. People menggambarkan kondisi sosial (masyarakat), dimana perusahaan memiliki komitmen untuk turut serta memperhatikan internal dan eksternal stakeholders yang ada di sekitar perusahaan. 5. Planet menggambarkan kondisi lingkungan, dimana perusahaan memiliki komitmen untuk turut memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan meminimilkan atau mengelola dampak negatif yang ditimbulkan dari usaha yang dilakukan. 37 6. Pola pelaksanaan CSR adalah bentuk pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan dilihat berdasar motivasi, cara pandang perusahaan terhadap CSR, stakeholders, mekanisme dan tipe penyaluran CSR. 7. Motivasi CSR adalah alasan atau suatu hal yang mendasari pihak peusahaan melakukan suatu program atau kegiatan CSR. Motivasi dalam pelaksanaan suatu program tersebut antara lain: charity, dimana berdasarkan pada agama, tradisi dan adat budaya masyarakat setempat yang bersifat jangka pendek, selain ada juga motivasi philantrophy yang melihat dari norma etika dan hukum yang berlaku di Indonesia (universal) dilakukan secara terencana dan terorganisir, dan motivasi corporate citizenship yang bertujuan untuk merekonsiliasi dengan ketertiban sosial antara perusahaan dan pihak masyarakat degnan memberi kontribusi kepada masyarakat yang terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan. 8. Pandangan perusahaan terhadap CSR adalah suatu cara melihat, mendefinisikan, dan mengembangkan konsep CSR pada proses kelompok yang dapat pelaksanaannya. 9. Stakeholders adalah individu maupun mempengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuan 10. Mekanisme Pelaksanaan Program CSR adalah cara kerja dalam pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Cara kerja ini dapat dibentuk dari perusahaan (Top down), dari inisiatif masyarakat (bottom up) atau secara partisipatif. 11. Model Penyaluran CSR adalah tipe penyaluran dalam pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Tipe penyaluran CSR ini dapat berbentuk langsung melaksanakan sendiri atau terlibat langsung (inisiatif dari perusahaan), membuat yayasan, bermitra, atau melakukan konsensus. 38 2.6 Definisi Operasional 1. Lapisan masyarakat adalah tingkat perbedaan ekonomi yang ada di dalam masyarakat berdasarkan kepada pendapatan. 2. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti oleh responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir dengan enam kategori yakni SD, SLTP, SMA, S1, S2, dan lainnya. 3. Tingkat pendapatan adalah rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh warga tiap bulan. Tingkat pendapatan diukur berdasarkan batas UMR kota Bogor tahun 2010 adalah Rp 873.231 dan dikategorikan: Rendah : < Rp.873.231 Sedang : Rp. 873.231 s/d 1.300.000 Tinggi : > Rp. 1.300.000 4. Tingkat partisipasi masyarakat adalah beragam tingkatan yang menggambarkan mengenai tipe partipasi masyarakat terhadap suatu program atau kegiatan. Tipe ini terdiri atas delapan tingkat yaitu tipe manipulatif, tipe terapi, tipe pemberitahuan, tipe konsultasi, tipe penentraman, tipe kemitraan, tipe pendelegasian kekuasaan dan tipe kontrol masyarakat. Tingkat partisipasi rendah, yaitu skor 1-3 Tingkat partisipasi sedang, yaitu skor 4-6 Tingkat partisipasi tinggi, yaitu skor 7-9 5. Dampak bagi masyarakat merupakan perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program atau suatu kegiatan dalam upaya pengembangan masyarakat. dampak ini terdiri dari dampak sosial dan dampak ekonomi. 6. Dampak sosial adalah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat setelah menerima program atau kegiatan pada variabel kepercayaan warga terhadap perusahaan, kerja sama masyarakat, solidaritas warga, akses terhadap pendidikan, kesempatan warga dalam mengambil keputusan. Dampak sosial rendah, yaitu skor 5-8 Dampak sosial sedang, yaitu skor 9-11 Dampak sosial tinggi, yaitu skor 12-15 39 7. Dampak ekonomi adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program CSR pada variabel kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pendapatan, akses lembaga keuangan, dan kesejahteraan warga. Dampak ekonomi rendah, yaitu skor 5-8 Dampak ekonomi sedang, yaitu skor 9-11 Dampak ekonomi tinggi, yaitu skor 12-15