membaca nalar hukum nahdlatul ulama

advertisement
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
MEMBACA NALAR HUKUM NAHDLATUL ULAMA
Mahsun Mafudz1
IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah
Abstrak
Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama
pada tanggal 21-25 Januari 1992 M. di Bandar Lampung adalah awal munculnya
kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam
rangka mengambil keputusan hukum. Kesadaran itu ditandai dengan munculnya keputusan
tiga metode yang digunakan dalam mengambil keputusan hukum dalam forum
bahsul
masail. Salah satunya adalah penggunaan metode bermazhab secara manhaji. Dalam
setiap Bahsul Masail (kajian hukum Islam) di lingkungan NU, yang secara operasional
pelaksanaannya diselenggarakan oleh LBMNU (Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama)
menggunakan pola bermazhab, yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi,
Maliki, Syafi'i, Hanbali, baik secara qauliy (tektual) maupun manhajiy (metodologis). Namun
kenyataannya pendapat pengikut mazhab lebih banyak diikuti dari pada pendapat pendiri
mazhab itu sendiri. Misalnya pendapat Imam Nawawi, Rafi’i, Ibnu Hajar, dan sebagainya
(sebagai reperesentasi pengikut mazhab Syafi’i) lebih sering digunakan dari pada pendapat
Abdullah ibn Idris al-Syafi’i sang pendiri mazhab Syafi’i. Di sini tampak inkonsistensi dalam
bemazhab di kalangan nahdliyyin. Oleh karena itu kiranya masih perlu pembenahan dan
penekanan pada aspek koonsistensinya dalam penggunaan prosedur penyelesaian hukum
baik dengan cara qauli, ilhaqi, maupun manhaji.
Kata kunci: Bahsul Masail, Mazhab, Inkonsistensi
A.
Latar Belakang
telah menunjukkan adanya varian-varian
Perkembangan
pemikiran
yang khas sesuai dengan semangat
keislaman dalam sepanjang sejarahnya1
Menurut
Nourouzzaman,
sejarah
adalah
peristiwa masa lalu sebagai cermin masa yang
1
Penulis
adalah
dosen
IAIN
Walisongo
akan datang. Lihat Nourouzzaman ash-Shiddieqiy,
Jeram-jeram
Semarang Jawa Tengah.
Peradaban
Muslim
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 12.
40
(Yogyakarta:
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
zamannya.
Varian-varian
itu
berupa
kelanjutan
dari
fase
purifikasi
yang
semacam metode, visi, dan kerangkan
digelorakan oleh kaum reformis. Mereka
berpikir yang berbeda-beda antara satu
meyakini bahwa "penutupan pintu ijtihad"
pemikiran dengan pemikiran lainnya.
merupakan
Ajaran dan semangat Islam akan
stagnasi
faktor
yang
pemikiran
menyebabkan
hukum
Islam
di
bersifat universal (melintasi batas-batas
Indonesia4. Oleh karena itu umat Islam,
zaman, ras, dan agama), rasional (akal
bagi kaum reformis, selalu membutuhkan
dan hati nurani manusia sebagai partner
ijtihad
dialog),
necessary
dan
(suatu
baru
untuk
mengakomodasi
perubahan sosial.5
keniscayaan dan keharusan yang fitri),
Bahkan idealnya adalah ketika
tetapi respon historis manusia dimana
melakukan pembacaan teks kemudian
tantangan zaman yang mereka hadapi
dikontekstualisasikan
sangat berbeda dan bervariasi. Oleh
sosial
karena
akan
meninggalkan disiplin ilmu dengan segala
menimbulkan corak dan pemahaman yang
perangkat metode ilmiah yang ada pada
berbeda pula.2 Dalam konteks ini, ijtihad3
wilayah empiris di masa sekarang dengan
merupakan sesuatu yang tak pernah
memperhatikan 'urf (adat) yang ada (adat
ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
keindonesiaan misalnya). Pada kondisi
"Membuka
inilah dibutuhkan sebuah ”fiqih dan usul
2
itu
secara
pintu
otomatis
ijtihad"
merupakan
pada
seharusnya
fenomena
tidak
boleh
fiqih Indonesia”.6
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 227.
4
Yudian W. Asmin, "Peran Hasbi Ash-
Ijtihad menurut ulama usul fikih ialah usaha
Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di
seseorang yang ahli fikih (mujtahid) dengan
Indonesia Abad XX", dalam Yudian W. Asmin
menggunakan
untuk
(ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia Mengenang Jasa
menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis)
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta:
dari dalil-dalil yang terperinci. Lihat Ahmad Abu
Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari'ah IAIN
Zahrah, Usūl al- Fiqh (Dar al-Tsaqafah, t.t.), hlm.
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hlm. 6.
3
seluruh
kemampuannya
216. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (terj.), Saifullah
5
Ibid, hlm. 7.
Ma’shum dkk., cet. Ke-8 (Jakarta: Penerbit
6
Pada tema ini ada sikap ambifalen dari kaum
Pustaka Firdaus, 2003), h. 567. Juga Abdul
reformis,
Wahab Khallaf,
‘Ilm Usūl al-Fiqh, cet. Ke-9
karena
tema
”keindonesiaan”
sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tema
(Kairo: Dal al-Qalam, 1978), hlm. 216.
”kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah”, tetapi
41
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
Dalam
ijtihad,
kontek
ilmu
usul
mengelorakan
konstitusionalisme modern, hukum pidana,
merupakan
hukum internasional modern serta Hak
fikih
perangkat metodologi baku yang telah
Asasi Manusia. 7
dibuktikan perannya oleh para pemikir
Islam
semisal
Imam
ash-Shiddieqiy
adalah
dalam
salah satu dari tokoh reformis di Indonesia
menggali hukum Islam, dan dalam bidang
yang terlibat dalam gagasan pembaharuan
yang lain dari sumber aslinya (al-Qur’an
hukum Islam dengan dua tema utama
dan
yaitu ”Kembali kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah).
metodologi
dan
mazhab
Hasbi
Tetapi
fikih
produksinnya
tersebut
mandul
hanya
jika
tekstual
dan
perangkat
sebagi
hasil
sunnah”, dan ”Keindonesiaan”. Tema yang
akan
menjadi
difahami
secara
kembali pintu ijtihad yang selama ini
tanpa
dianggap oleh para ulama klasik sebagai
atomistik
pertama
memperhatikan konteks historisnya.
telah
muncul
kompetensi mereka dari kompetensi yang
perkembangan
dimiliki
pemikiran hukum Islam yang disesuaikan
7
persoalan-persoalan
dalam
tema
kedua
Adullahi Ahmed an-Na’im,
Toward an
and International Law (New York: Syracusse
An-Na’im ketidakmampuan fikih klasik
kesulitan-kesulitan
sebagai
Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights
kontemporer. Menurut Abdullahi Amed
oleh
mujtahid
”Keindonesiaan” menurut K. Drs. Yudian
bahwa fikih klasik sudah tidak mampu
disebabkan
para
Sedangkan
Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran
tersebut
oleh
pendahulunya.8
dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia.
menjawab
dibukanya
telah tertutup karena menurunnya derajad
Di Indonesia pada dasawarsa
terakhir
merekomendasikan
University Press, 1990).
adanya
8
memadukan
Secara internal pembaharuan hukum Islam
diarahkan kepada lima hal yaitu 1)memurnikan
praktik-praktik keagamaan dari pengaruh non-
pola pemikiran fikih klasik dan fikih
Islam 2) membuka pintu ijtihad 3) mengendorkan
kontemporer dalam beberapa hal, antara
fanatisme mazhab 4)memperluas bidang kajian
lain yang berkaitan dengan hukum publik,
hukum Islam secara akademis; dan 5) pengenalan
metodologi penetapan hukum Islam melalui studi
sekaligus
pandangan
merupakan
kaum
mempertahankan
adat
sikap
kembali
kepada
perbandingan mazhab. Lihat Yudian Wahyudi,
tradisionalis
yang
Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam
Indonesia yang
justru
dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren
ditolak oleh kaum reformis. Lihat Ibid, hlm. 9.
Nawesea Press, 2007), hlm. 34.
42
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
Wahyudi, Ph.D, sesungguhnya merupakan
Di kalangan Nahdlatul Ulama
kelanjutan dari tema ”Kembali kepada al-
(NU), Musyawarah Nasional (MUNAS)
Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus
alim ulama pada tanggal 21-25 Januari
merupakan sikap kembali kepada sikap
1992 M. di Bandar Lampung adalah awal
tradisional yang mempertahankan adat
munculnya
kesadaran
tetapi ditolak oleh kaum reformis non-
pentingnya
pengembangan
keindonesiaan. Dilihat dari semangatnya,
metodologis khususnya dalam rangka
kaum reformis keindonesiaan termasuk
mengambil keputusan hukum. Kesadaran
Hasbi,
itu ditandai dengan munculnya keputusan
mencita-citakan
terbentuknya
metode
akan
pemikiran
sebuah bangunan hukum Islam yang
tiga
memiliki ciri khas keindonesiaan. Mereka
mengambil keputusan hukum dalam forum
berusaha membebaskan adat Indonesia
bahsul masail. Salah satunya adalah
dari adat Arab, karena Islam bukan berarti
penggunaan metode bermazhab secara
Arab.9
manhaji.
B.
9
Ada dua
kecenderuangan utama
berciri
khas
Indonesia
dengan
Secara
kemampuan,
Indonesia” (Hasbi,
(Hazairin,
untuk
“Fiqh
1940), Mazhab Nasional
1950-an),
Pribumisasi
Islam
F.
Mas’udi,
1991);
menanggung
dan
sesuatu
yang
merepotkan.
Secara
terminologis, ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan untuk mendapatkan hukum
Islam (Munawwir dkk., 1988) dan Zakat sebagai
(Masdar
melakukan
membebani
(Abdurrahman Wahid, 1988), Reaktualisasi Ajaran
Pajak
dan
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan
Islam di Indonesia. Kecenderungan pertama ini
konsep
ijtihad
kepayahan.10 Dengan kata lain bahwa
terseleksi) sebagai salah satu sumber hukum
munculnya
etimologis
mempunyai dua arti yaitu mengerahkan
cara
dan menjadikan adat Indonesia (tentunya setelah
dengan
dalam
1. Pengertian Ijtihad
tema
membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab
ditandai
digunakan
Ijtihad
“keindonesiaan” yaitu 1) membangun hukum Islam
yang
yang
formal
2)
keindonesiaan yang berorientasi konstitusional
yang dimotori oleh tokoh-tokoh umum yang
10
Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-
menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang
Gazāli, al-Mustasyfā min ‘ilm al-Usūl, Juz. II
mendalami prinsip-prinsip “Kembali kepada al-
(Beirut-Libanon:
Qur’an dan Sunnah” . Ibid. hlm. 37.
M/1417 H), hlm. 382.
43
Muassah
al-Risālah,
1997
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
syar’i yang praktis melalui istinbāt11. Al-
yang baru. Ijtihad yang kedua ini disebut
Amidi mendifinisikan bahwa ijtihad adalah
al-Qiyas.14
mencurahkan kemampuan secara optimal
untuk
mencari
zanni.12
hukum
Abdul
mengatakan
yang
bersifat
dapat dapat dipahami bahwa ciri khusus
Khallaf
hakikat ijtihad adalah sebagai berikut:15
adalah
a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar
Wahhab
bahwa
Dari beberapa definisi tersebut
ijtihad
mencurahkan kemampuan untuk sampai
secara
kepada hukum syara’ melalui dalil syara’
merasa tidak mampu lagi berbuat lebih
yang rinci.13
dari itu.
Muhammad
al-Khudari
Biek
optimal
sehingga
b. Ijtihad dilakukan oleh orang yang telah
mendifinisikan ijtihad sebagai pengerahan
mencapai
kemampuan
keilmuan yang disebut faqīh.
secara
optimal
mujtahid
untuk
derajat
tertentu
dibidang
menggali hukum syar’i dari sesuatu yang
c. Produk yang diperoleh dari ijtihad
oleh Syari’ (Allah dan rasul-Nya) dinilai
adalah dugaan yang kuat tentang
sebagai
hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah
dalil
yaitu
al-Qur’an
dan
assunnah. Ijtihad ada dua macam yaitu
(praktis).
pertama, ijtihad untuk mengambil hukum
dari
makna
leksikal
teks
2. Ijtihad
ditempuh
melalui
cara-cara
istinbāt.
al-Qur’an
maupun assunnah. Ini dilakukan jika
Berdasarkan empat ciri khusus
hukum telah terjangkau oleh teks. Kedua,
hakikat ijtihad tersebut dipahami bahwa
mengambil hukum dari nalar teks ketika
ijtihad tidak boleh dilakukan sembarang
ditemukan ‘illat hukum, sementara teks
orang tetapi harus mempunyai kompetensi
tidak secara tegas mencakup persoalan
yang cukup sesuai dengan syarat-syarat
11
sebagai
Muhammad ibn Ali Al-Syaukāni, Irsyād al-
kesalahan
Fukhūl,Juz. II (Beirut-Libanon: Dār al-Kutub al-
tidak
terjadi
menetapkan
hukum
Saifuddin Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad
Al-Āmidi, al-Ihkām fī usūl al-ahkām, Juz. IV
14
Muhammad al-
Tārīkh al-
Tasyrī’ al-Islāmi (Beirut-Libanon: Dār al-Kutub al-
(Beirut: Dār al-Fikr, 1996 M/1416 H), hlm. 309.
13
dalam
agar
yang diakibatkan oleh sikap ceroboh,
‘Ilmiyah, 1999 M./1419 H.), hlm. 291.
12
mujtahid,
Abdul Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh
‘Ilmiyyah, tt.), hlm. 74.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta:
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), hlm.
15
173.
Kencana, 2009), hlm. 226.
44
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
menuruti nafsu, dan subyektifitas mujtahid
ayat yang terkait dengan hukum yaitu
tersebut. Secara prosedur, ijtihad tidak
sekitar 500 ayat.17
boleh dilakukan tanpa melibatkan nalar
Walaupun
demikian
sehat untuk memahami teks dengan
berarti
menguasai berbagai ilmu bantu yang
mujtahid
diperlukan
mengetahui
makna
bahasa Arab, ilmu logika, dan sebagainya
sesungguhnya
memasukkan
agar produk hukum yang dihasilkan dapat
syarat teknis berikutnya yaitu:
dibenarkan secara akademik walaupun
1)mengatahui asbāb al-nuzūl (sebab-
bersifat zanni (spekulatif).
sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an).
3. Syarat-syarat Mujtahid
Syarat ini harus terpenuhi oleh seorang
misalnya
penguasaan
Sekurang-kurangnya
ilmu
ada
8
mudah
bukan
menjadi
karena
seorang
dalam
syarat
al-Qur’an
syarat-
mujtahid karena menurut al-Syatibi
dalam
seorang mujtahid, yakni sebagai berikut :
mengatahui asbāb al-nuzūl menjadi
a. Mengetahui
yang
keharusan bagi orang yang hendak
dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam
mengetaui makna-makna al-Qur’an.18
Al-Quran baik secara bahasa maupun
Karena dengan mengetahui asbāb al-
menurut istilah syariat. Tidak harus
nuzūl
menghapal di luar kepala dan juga
dimaksud dalam teks.
tidak harus menghapal seluruh Al-
2)mengatahui
Quran.
mansūkh; syarat ini penting agar tidak
makna-makna
Seorang
mengetahui
mujtahid
tempat-tempat
cukup
dimana
terjadi
kitab
al-Muwāfaqāt,
persyaratan yang harus dipenuhi oleh
bahwa
dapat dipastikan makna yang
al-nāsikh
seorang
mujtahid
wa
al-
berijtihad
ayat-ayat hukum itu berada sehingga
menetapkan hukum tertentu dengan
mudah
menggunakan ayat yang sesungguhnya
baginya
menemukan
pada
waktu yang dibutuhkan.16 Imam alGazali
menjadi
mengatakan
seorang
bahwa
untuk
mujtahid
tidak
disyaratkan mengetahui seluruh isi alIbid.
Qur’an tetapi cukup mengetahui ayat16
17
18
Abū Ishāq Al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fī
ūl
al-Syarī’ah, Juz. III (Beirut-Libanon: Dār al-
Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-
Gazāli, al-Mustasyfā, hlm. 383.
Ma’rifah, 1997), hlm. 311.
45
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
sudah mansukh (tidak diberlakukan
ilmu al-jarh wa al-ta’dīl, dan sebagai yang
lagi).19
tercakup
hadīs.20
b. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum
baik secara bahasa maupun dalam
pemakaian
syara’,
seperti
‘ilm al-mustalah al-
dalam
c. Mempunyai
telah
pengetahuan
tentang
masalah-masalah yang sudah terjadi
diuraikan pada syarat pertama. Seperti
ijma’
halnya Al-Qur’an, seorang mujtahid
mengetahui
tidak harus menghafal
Pengetahuan
seluruh hadis
tentang
hukumnya
dan
tempat-tempatnya.
ini
diperlukan
agar
yang berhubungan dengan hukum,
seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak
tetapi
menyalahi hukum yang telah disepakati
cukup
adanya
pengetahuan
dimana hadis-hadis hukum yang dapat
dijangkau
bilamana
para ulama.
diperlukan.
d. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu
Termasuk dalam syarat ini adalah
bantu yang berhubungan dengannya
beberapa syarat kelengkapan sebagai
pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat
berikut:
Al-Quran
‘ilm
1)menguasai
dirāyah
al-hadīṡ
al-nāsikh
wa
al-
sumber tersebut tanpa mengetahui
seluk beluk bahasa Arab.
3)mengatahui asbāb wurūd al-hadīs
e. Menguasai ilmu usūl al-fiqh, seperti
(sebab-sebab munculnya hadis)
tentang hukum dan macam-macamnya,
Yusuf Qardawi mengatakan bahwa
mujtahid
adalah
bisa mengistinbatkan hukum dari dua
mansūkhdalam hadis
seorang
Sunnah
berbahasa Arab. Seseorang tidak akan
(ilmu tentang seluk-beluk hadis)
2)mengetahui
dan
harus
tentang sumber-sumber hukum atau
memiliki
dalil-dalilnya,
tentang
kaidah-kaidah
pengetahuan tentang ilmu dan dasar-
dan cara mengistinbatkan hukum dari
dasar pengetahuan hadis, ilmu tentang
sumber-sumber
perawi hadis, syarat-yarat hadis yang
menguasai hal-ihwal tentang ijtihad.
diterima dan yang ditolak, mengatahui
Pengetahuan tentang hal ini diperlukan
karena
19
āwi, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah
Yūsuf al-
al-fiqh
dan
merupakan
pedoman yang harus dipegang dalam
al-Islāmiyyah ma’a Nazarāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād
al-Mu’āsir, cet.
usūl
tersebut,
ke-3 (Kuwait: Dār al-Qalam,
1999), hlm. 22, 24.
20
46
Ibid, hlm. 32.
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
melakukan ijtihad.21 Termasuk dalam
bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam
syarat
Al-Quran
yang
kelima
ini
adalah
dan
Sunnah
dapat
mengetahui seluk-beluk qiyas, seperti
dikembangkan seperti dalam bentuk
syarat-syaratnya,
qiyas,
tentang
‘illat
rukun-rukunnya,
al-hukm
dan
cara
istihsan
mursalah.23
dan
Al-Syatibi
maslahah
mengatakan
menemukan ‘illat itu dari ayat atau
bahwa
hadis, dan mengetahui kemaslahatan
mempunyai
yang dikandung oleh suatu ayat hukum
pertama,
dan
syarī’ah secara sempurna dan kedua,
prinsip-prinsip
umum
syari’at
Islam.22
seorang
dua
harus
kompetensi
yaitu
memahami
kompetensi
berijtihad
maqāsid
melalui
alilmu
al-
bantu yakni pengetahuan bahasa arab,
syarī’ah dalam merumuskan suatu
pengetahuan tentang hukum-hukum al-
hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan
Qur’an
karena untuk memahami suatu redaksi
sebagainya.24
f. Mengetahui
dan
tentang
dalam
berbagai
maqāsid
mujtahid
penerapannya
peristiwa,
kepada
dan assunnah, ijma’, dan
g. Mempunyai
pengetahuan
tentang
ketetapannya
kehidupan manusia dan lingkungannya;
kepada
menurut Yusuf Qardawi syarat ini
pengetahuan tentang bidang ini. Hal
penting karena seorang mujtahid tidak
tersebut disebabkan penunjukan suatu
berijtihad pada suatu masa saja, tetapi
lafal kepada maknanya mengandung
pada kasus-kasus yang terjadi pada
berbagai
kemungkinan,
dan
orang-perorang,
masyarakat
dan
pengetahuan
tentang
al-
lingkungannya.
Pengetahuan
ini
sangat
syarī’ah
bergantung
untuk
penting untuk dimiliki oleh seorang
mana
mujtahid karena semua produk hukum
yang layak diangkat dan difatwakan.
yang telah dihasilkan oleh para Imam
Disamping itu, dengan penguasaan
Mazhab tidak terlepas dari pengaruh
memilih
memberi
maqāsid
petunjuk
pengertiannya
yang
lingkungan. Oleh karenanya seorang
mujtahid
21
http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/syarat-
tentang
syarat-mujtahid.html. Lihat juga Yūsuf al-Qardāwi,
al-Ijtihād, hlm. 48.
22
Ibid., hlm. 49.
47
harus
mempunyai
kehidupan
23
Ibid.
24
Ibid., hlm. 55.
yang
ilmu
meliputi
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
kehisupan sosial, budaya, ekonomi,
dan sifat-sifat-Nya, meyakini Rasul dan
dan politik.25
kitab-kitabnyasecara garis besar, tidak
h. Memelihara kesalehan, keadilan, dan
harus
secara
mendalam
sampai
ketakwaan; seorang mujtahid harus
kepada yang rumuit-rumit sebagaimana
mempunyai kesalehan dalam sikap,
pengetahuan yang dimiliki oleh ulama
prilakunya,
ahli kalam.27
SWT,
bertakwa
selalu
kepada
berhati-hati
Allah
untuk
‘ilm
b. Mengatahui
al-mantiq
(ilmu
menemukan kebenaran, tidak menjual
logika); Sebagian ulama berpendapat
agama
dunia.
bahwa ‘ilm al-mantiq adalah ilmu
Karena orang fasik jika melakukan
pokok bagi ulama usul fikih. Ulama
ijtihad dimungkinkan akan bermain-
yang berpendapat seperti itu antara lain
main dengan agama dan cenderung
adalah al-Gazali. Sedangkan mayoritas
mengikuti
ulam
dengan
kepentingan
hawa
nafsunya,
hasilnya jauh dari kebenaran.
Selain
disepakati,
delapan
ada
dua
ehingga
26
seperti
al-Suyuti
tidak
berpandangan demikian. Begitu juga
syarat
yang
Ibn Taimiyyah, mengatakan bahwa ‘ilm
syarat
yang
al-mantiq
tidak dibutuhkan lagi oleh
diperselisihkan antara ulama yaitu:
orang yang cerdas dan tidak ada
a. Mengetahui ‘ilm usūl al-dīn atau ilmu
manfaatnya bagi orang yang tumpul
kalam dan yang terkait dengan ilmu
akalnya. Jadi baginya ‘ilm al-mantiq
akidah; mereka yang mempersyaratkan
tidak dibutuhkan lagi bagi ulama usul
ini
fikih.28
adalah
golongan
Sedangkan
mayoritas
mempersyaratkan
menegahi
dua
dengan
akidah
ulama
4. Macam-macam Mujtahid
Al-Amidi
Mujtahid terbagi kepada beberapa
pendapat
tersebut
tingkat, yaitu mujtahid mutlaq mustaqil,
bahwa
mujtahid mutlaq muntasib, mujtahid fī al-
dipersayarat
mazhab, dan mujtahid fī at-tarjīh atau
yang
mengetahui
yang
tidak
ini.
mengatakan
pengetahuan
hanyalah
mu’tazilah.
pokok
ilmu
tentang
mujtahid
yaitu
seperti
tentang tingkatan-tingkatan tersebut:
mengetahui tentang wujudnya Allah
Ibid., hlm. 66.
27
Ibid., hlm. 60.
Ibid.
25
26
fatwa.29
28
Ibid., hlm. 63.
29
48
Ibid. 95.
Berikut
penjelasan
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
a. Mujtahid Mutlaq Mustaqil (independen)
Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka
adalah tingkat tertinggi, disebut juga
bebas dalam berijtihad, tanpa terikat
sebagai al-mujtahid fī al-Syar’i atau
dengan gurunya tersebut. Termasuk
Mujtahid Mutlaq. Untuk sampai ke
dalam kelompok ini murid-murid Abu
tingkat ini seseorang harus memenuhi
Hanifah, seperti Muhammad, Zufar,
syarat-syarat tersebut. Mereka disebut
dan
mujtahid
berarti
Malikiyah antara lain Abdurrahman bin
independen, karena mereka terbebas
al-Qasim, dan Asyhab, dan Asbag.
dari bertaqlid kepada mujtahid lain,
Dari kalangan Syafi’iyah antara lain
ūl al-
adalah al-Muzanni, al-Buwaiti. Dari
fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil
kalangan Hanabilah seperti al-Khalāl
ijtihad). Mereka sendiri mempunyai
dan sebagainya. Mujtahid seperti ini
metode istinbat, dan mereka sendirilah
dinisbahkan
yang menerapkan metode instinbat itu
mujtahid mutlaq mustaqil karena dalam
dalam
melakukan ijtihad memakai metode
mustaqil,
yang
baik dalam metode istinbat (
berijtihad
untuk
membentuk
hukum fikih. Contohnya, para imam
Abu
Yusuf.
Dari
kepada
kalangan
salah
seorang
istinbatnya.31
mujtahid yang empat orang, yaitu Imam
Imam
c. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal
mujtahid yang bertaklid kepada imam
dan yang sederajad seperti Zaid ibn
mujahid tertentu tetapi ia mengetahui
Ali, Al-Sauri, al-Auza’i, Daud ibn Ali,
kaidah dan dasar yang digunakan oleh
dan sebagainya.30
imamnya. Mereka disebut mujtahid
Abu
Hanifah,
b. Mujtahid
Imam
Mutlaq
Malik,
Muntasib,
mujtahid yang dalam masalah
fiqh,
meskipun
dari
kemampuannya
ia
merumuskannya,
namun
yaitu
karena berijtihad mengistibatkan hukum
ūl al-
pada
permasalahan-permasalahan
segi
yang tidak ditemukan dalam buku-buku
mampu
mazhab imam mujtahid yang menjadi
tetap
panutannya.
berpegang kepada usūl al-fiqh gurunya
melakukan
yakni Mujtahid Mutlaq Mustaqil seperti
masalah
Ibid., hlm. 95-96.
30
31
49
Ibid.
Mereka
ijtihad
yang
pada
sudah
tidak
lagi
masalahditegaskan
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
hukumnya oleh imam mazhabnya.32
dalil
Mujtahid
keunggulannya.34
yang
termasuk
dalam
tingkatan ini misalnya, Abu Al-Hasan
yang
dipakai
dan
dimana
5. Identifikasi “Mujtahid” dalam NU
Karkhi (260 H-340H), Abu Ja’far al–
Proses beristinbat35 yang dilakukan
Tahawi (230 -321 H) dan al-Hasan
oleh peserta bahsul masail adalah model
bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan
istinbat kolektif (istinbāt jama’i). Proses
hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-
ini hanya dilakukan jika masalah tidak
Abhari (289 H-375 H) dari kalangan
terjawab dengan metode qauli, dan ilhaqi.
Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-
Instrumen
Asfirayini
beristinbat adalah qaidah usūliyyah dan
(344
H-406
H)
dari
d. Mujtahid fī al-Tarjīh, yaitu mujtahid
menguasi
mazhabnya.
pendapat
Kegiatannya
atau
dalam
lingkup empat mazhab besar yaitu Hanafi,
imam
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta mazhab
bukan
turunannya.
mengistinbatkan hukum dari sumber
aslinya
digunakan
qaidah fiqhiyyah yang digunakan dalam
kalangan syafi’iyah.33
yang
yang
dari
imam
dikontraskan dengan definisi mujtahid dan
terbatas
macam-macam mujtahid dengan segala
memperbandingkan berbagai mazhab
tingkatannya, tampak jelas bahwa ulama
atau
yang terlibat dalam kegiatan bahsul masail
mazhabnya,
tetapi
pendapat.
kemampuan
kaidah
Jika proses beristinbat tersebut
ia
untuk
mempunyai
mentarjih
atau
setinggi-tingginya
hanya
mencapai
memilih salah satu pendapat terkuat
derajad mujtahid fi al-tarjih. Penggolongan
dari
ada,
ini jika dilihat secara kolektif bukan secara
dengan memakai metode tarjīh al-
individual. Jika dilihat secara individual
aqwāl yang telah dirumuskan oleh
hampir bisa dipastikan sangat kecil yang
pendapat-pendapat
ulama-ulama
Dengan
mujtahid
metode
mengemukakan
ini,
dimana
yang
sebelumnya.
ia
sanggup
34
kelemahan
Yūsuf al-Qardāwi, al-Ijtihād, hlm. 95.
35
Kata istinbāt biasa digunakan oleh kalangan
ulama NU dari pada ijtihād, karena sikap tawādu’
Ibid.
(rendah hati) yang rata-rata dimiliki oleh mereka
http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/ting
untuk tidak menyamai derajat para mujtahid
katan-tingkatan-mujtahid.html, posted Selasa, 30
karena merasa kurang pantas untuk menyandang
November 2010.
gelar mujtahid yang berakar kata dari ijtihād.
32
33
50
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
memenuhi kriteria sebagai mujtahid fi al-
yang boleh berseberangan dengan imam
tarjih sekalipun. Hal itu dipengaruhi oleh
mazhabnya.
kebiasaan para ulama yang terlibat dalam
mereka yang mempunyai kemampuan
bahsul masail tersebut mendahulukan
untuk
pemahaman
pendapat)
qauli.
tekstual
dengan
metode
Sedangkan penggunaan metode
manhaji
hanya
dilakukan
pada
Sebagaian
tarjīh
melakukan
ulama
diantara
fiqh
jika
kecil
diantara
(pemilihan
pendapat-pendapat
terjadi
pertentangan.
saat
Hanya ulama dengan kompetensi seperti
emergensi dan dilakukan secara kolektif
ini yang dapat mencapai derajad mujtahid
(jama’i) setelah metode qauli dan ilhaqi
yang sesungguhnya dan disebut sebagai
tidak mampu menyelesaikan masalah.
mujtahid
fi
al-tarjih.
Namun
pada
Oleh sebab itu penulis menilai
kenyataannya sulit menentukan siapa saja
bahwa tingkatan mayoritas para ulama
diantara ulama NU yang secara aklamasi
peserta bahsul masail hanyalah nāqil al-
oleh ulama yang lain telah mencapai
nusūs al-fiqhiyyah (penyadur teks-teks
kompetensinya pada tingkatan mujtahid
fiqh).
tarjih. Begitu sulit mengidentifikasi mereka
Kriterianya
dapat
diidentifikasi
melelui indikator model penjawaban dalam
yang
aktif
mengikuti
bahsul
masa’il,
proses diskusinya. Setiap kali dilakukan
apakah mereka berkompetensi sebagai
bahsul masail (khususnya dalam masalah
mujtahid atau bukan.
dīniyyah wāqi’iyyah) selalu saja dimulai
dengan mengutarakan teks dari kitab-
C. Dominasi Fikih Empat Mazhab dalam
Bahsul Masāil
kitab fiqh. Itulah sebabnya sebagian
ulama
menamakan
kegiatan
bahsul
Dalam setiap kajian hukum Islam
masaial sebagai al-musā
di
al-‘ibārah (lomba mencari teks). Ini
operasional pelaksanaannya dilaksanakan
berarti tingkat kepakaran mereka tidak
oleh LBM menggunakan pola bermazhab,
sampai
secara
yakni mengikuti salah satu dari empat
terminologis, tetapi hanya boleh disebut
mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali,
mujtahid secara etimologis.
baik secara qauliy (tektual) maupun
derajad
Konsekuensi
mujtahid
logisnya
lingkungan
NU,
yang
secara
manhajiy (metodologis).
adalah
bahwa mayoritas diantara mereka tidak
Menurut
mempunyai kompetensi sebagai mujtahid
Kyai
Hasyim
Asy'ari,
dengan mengikuti pola bermazhab akan
51
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
mendapatkan kebaikan dan maslahah
Dalam
Qānūn Asāsi (undang-
(kebaikan) yang tak terhitung bagi umat
undang
Islam.
akan
barang siapa mengambil ilmu dengan
dan
tidak menyebut sanad (dengan kata lain
secara
gegabah
tidak bermazhab), maka orang itu seperti
kemauan
subyektif
pencuri.37 Oleh karenanya ilmu yang
pengambilnya. Sebab ajaran Islam tidak
didapat dengan cara seperti itu disebut
dapat
Pola
menghindarkan
pengambilan
hanya
bermazhab
sikap
hukum
mengikuti
dipahami
pemindahan
penggalian
dan
dasar)
NU
juga
disebutkan,
kecuali
melalui
ilmu tanpa guru yang berkonsekuensi
pengambilan
hukum
diragukan
akan
kebenaran
dan
dengan cara tertentu yang disebut istinbāt
validitasnya, sebagaimana diriwayatkan
al-ahkām.
dari Muhammad ibn Sīrīn sebagai berikut:
Pemindahan
‫حدثنا خملد بن حسني عن هشام عن حممد بن سريين قال ان هذا‬
38
(‫العلم دين فانظروا عمن تاءخد ۬ ون دينكم )رواه مسلم‬
pengetahuan
(transfer of knowledge) tidak akan benar
dan
murni
kecuali
mentransformasikan
dengan
ajaran
Begitu pentingnya sanad dalam
cara
tradisi transfer of knowledge di kalangan
secara
ulama NU sesungguhnya bukan tanpa
langsung dari suatu generasi ke generasi
alasan. Disamping karena untuk menjaga
selanjutnya secara berantai dari orang
originalitas
yang terpercaya kepada orang yang
dan
validitas
pengetahuan
yang di transfer kepada generasi penerus
terpercaya pula.36 Dalam konteks istinbāt
juga secara normatif didasarkan pada
al-ahkām, mazhab-mazhab sebelumnya
perkataan
harus dikenali agar tidak keluar dari
Abdullah
ibn
al-Mubarak
“Isnād39 adalah sebagian dari urusan
pendapat ulama sebelumnya yang dapat
menyebabkan keluar dari ijma'.
37
M.
Muhsin
Jamil
dkk.,
Nalar
Islam
Nusantara, Studi Islam Ala Muhammadiyah, Al
Irsyad, Persis, dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend
36
Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut
Pendis, 2007), hlm. 363.
dikenal dengan sebutan sanad; sebuah istilah
Lihat al-Imam Muslim, Sahīh Muslim, Juz I
38
yang diadopsi dari istilah mata rantai dalam
(Semarang: Toha Putra, tt.), hlm. 9.
periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah
39
Isnād adalah penyandaran sebuah hadis
al-hadis. Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-
kepada pengucapnya. Kadang-kadang kata Isnād
Hadīś ‘Ulūmuh wa Mustalahuh, Cet. Baru (Beirut:
digunakan untuk arti sanad (mata rantai) dalam
Dar al-Fikr, 2006), hlm. 32.
tradisi periwayatan hadis. Jadi dua kata itu bias
52
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
agama, andai tidak ada isnād, niscaya
atau mayoritas), seperti yang dianjurkan
orang
oleh nabi Muhammad s.a.w sebagai
berkata
apa
saja
yang
ia
kehendaki”:
golongan yang mendapat petunjuk dan
‫حدثين حممد بن عبداهلل بن قهزاد من اهل مرو قال‬
‫مسعت عبدان بن عثمان يقول مسعت عبداهلل‬
‫بن املبارك يقول االسناد من الدين ولوال االسناد لقال‬
terhindar dari kesalahan.42 Ketiga, empat
mazhab tersebut dan empat imam ahli
fikihnya memiliki kualifikasi keilmuan yang
40
(‫من شاء ماشاء )رواه مسلم‬
istimewa
masanya
beberapa alasan; Pertama, empat mazhab
sama,
yang
kompetensi
telah
keilmuan
sempurna. Oleh sebab itu mereka disebut
mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil.43
Ditilik dari aspek operasionalnya
mazhab empat tersebut, misalnya mazhab
Ahmad Arifi menjelaskan tiga alasan
Sufyan Sauri, Daud al-Zāhiri, al-Auza'i
pendapat
yang
syarat-syarat menjadi mujtahid secara
masing-masing
didapatkan dalam mazhab lainnya. Di luar
sebagainya,
orang
sebagaimana yang disyaratkan dalam
mempunyai validitas tersendiri serta tidak
dan
sebagai
mempunyai
-
ahkām (metode penggalian hukum) yang
hampir
mendapat
luas dan masyarakat intelektual pada
imam besar tersebut di dasarkan pada
īqat istinbā
telah
pengakuan secara sosial oleh masyarakat
Pola bermazhab kepada empat
tersebut memiliki
karena
mengapa penganut mazhab dalam fikih
mereka
(termasuk NU) memegangi pemikiran
dipandang kurang valide lantaran tidak
memiliki sanad41. Kedua, mengikuti salah
satu dari mazhab empat berarti mengikuti
al-sawād al-a’zam (golongan terbesar
diartikan
sama
yaitu
mata
rantai.
Lihat
42
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-Hadīś, hlm.
43
33.
40
41
Ibid., hlm. 364.
Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil
adalah
mujtahid
peringkat
pertama
yang
al-Imam Muslim, Sahīh Muslim, hlm. 9.
mempunyai kompetensi untuk menggali hukum
Sanad
secara langsung dari al-Qur’an dan assunnah,
ialah sebuah istilah dalam ilmu
periwayatan hadis yang didefinisikan sebagai mata
melakukan qiyās, istihsān, al-
rantai yang
metode
menyambungkan antara seorang
penggalian
hukum
yang
dan
lain
yang
perawi kepada perawi hadis berikutnya. Lihat
dianggap tepat. Lihat Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad ‘Ajjaj al- Khatib, Usūl al-Hadiś, hlm.
ūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985),
200.
hlm. 309.
53
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
mazhab mereka. Ketiga alasan itu adalah
organisasi NU. Dalam tataran perorangan
sebagai berikut:44
tradisi tersebut disosialisaskan melalui
a) Pemikran
madzhab
(terutama
fikih
pembelajaran di Pesantren, Madrasah dan
madzhab empat: Hanafi, Maliki Syafi’i,
Sekolah
dan
Yayasan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
Hanbali)
telah
terkodifikasi
yang
bernaung
bawah
(terhimpun) secara sistematis sehingga
Sedangkan
mudah mempelajarinya.
keilmuagamaan dengan pola bermazhab
b) Kredibilitas
imam
madzhab
dan
yang
secara
di
dianut
organisasi,
komunitas
NU
tradisi
tersebut
keandalan pemikirannya telah teruji
sesungguhnya telah dikemukakan secara
oleh sejarah. Hal ini terbukti diikutinya
terbuka oleh warga NU sendiri sejak
para imam madzhab oleh sebagian
permulaan berdirinya, adalah bertumpu
besar umat Islam di seluruh dunia.
pada pengertian tersendiri tentang apa
yang oleh NU disebut aqīdah ahlussunnah
c) Mengikuti pemikiran imam madzhab
mempunyai nilai praktis dan pragmatis.
wal
Dengan
menggunakan akronim ASWAJA).45
pemikiran
mengacu
dan
madzhab
mengikuti
tidak
jamā’ah
perlu
Selanjutnya
(selanjutnya
akidah
penulis
ASWAJA
bersusah-susah untuk memulai dari
tersebut diterjemahkan secara operasional
awal
dan
oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana
menjawab permasalahan hukum yang
terdapat pada qānūn asāsi NU agar
dihadapi,
mudah dipahami oleh warga NU secara
dalam
mencari
apalagi
solusi
ketika
masalah
tersebut menghendaki segera untuk
umum.
Operasionalisasi
pengertian
diperoleh jawabannya.
ASWAJA tersebut berpangkal pada tiga
Bermazhab bagi komunitas NU
panutan dalam tiga bidang secara kolektrif
merupakan sebuah keniscayaan sebagai
yaitu mengikuti paham al-Imam Abu
tradisi
Hasan al-Asy’ari46(Asy’ariyyah) dan al-
keilmuagamaan
yang
selalu
dipegangi baik dalam tataran orangperorang
maupan
dalam
tataran
45
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus
Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 153.
44
Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih
46
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il
dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Paradigma atas
al-Asy’ari lahir di Basrah 873 M, wafat di Bagdad
Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi, (Yagyakarta: PPs
935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i
UIN Yogyakarta, 2007), hlm. 156.
dan salah seorang tokoh
54
terkemuka dalam
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
Imam
Abu
Mansur
Maturidi47(Maturidiyyah)
dalam
al-
Anas,49 Imam Abdullah Ibn Idrīs Al-
bidang
Syāfi’i,50 dan Imam Ahmad ibn Hanbal51)
tauhid (mengesakan Allah dan mengakui
dan
kerasulan Muhammad s.a.w) dan akidah
spiritualitas bertasawuf52, mengikuti cara
yang
Sedangkan
bertasawuf yang telah ditetapkan dan
dalam bidang hukum Islam fikih), NU
dirumuskan oleh dua ulama besar di
menganut
bidang tasawuf. Mereka adalah Abu al-
terkait
dengannya.
pola
bermazhab
yakni
turunannya,
bidang
Qāsim
fikih yang terkenal dengan sebutan al-
Bagdādi53 dan Abū Hamid Muhammad ibn
mażāhib al-arba’ah (mazhab empat yaitu
Muhammad ibn Muhammad al-
meliputi
Hanifah
yang terkenal dengan sebutan Imam
Nu’mān Ibn Śābit,48 Imam Malik ibn
Gazali.54 Pengertian seperti ini dipertegas
Imam
Abu
49
ibn
dalam
mengikuti salah satu dari empat mazhab
mazhab
Junaid
dan
Muhammad
alāli
Nama aslinya adalah Malik ibn Anas ibn Abi
‘Amir, lahir di Madinah tahun 93 H.
golongan Mu’tazilah sehingga. Menurut al-Husain
Ibn
Muhammad
50
Nama
aslinya
adalah
Abu
‘Abdillah
al-Asykari,
al-Juba’i
berani
Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Usman ibn
perdebatan
dengan
lawan
Syafi’ al-Syafi’i al-Mutallibi (keturunan dari al-
kepadanya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam:
Mutallib ibn Abdi Manaf, lahir di Guzah pada tahun
Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan
150 H.
mempercayakan
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986),
51
hlm. 65.
47
Nama aslinya adalah Ahmad ibn Hanbal ibn
Hilal al-Zihli al-Syaibani al-Maruzi al-Bagdadi,
Nama lengkapnya adalah Abu Mansur
lahir tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H.
Abdurrahman Wahid, Prisma, hlm. 154.
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-
52
Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke-
53
Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad
2 dari abad ke-9 M. dan meninggal pada tahun
Abu al-Qāsim al-Khazzaz al-Bagdadi (830-910
944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan
AD).
paham teologinya banyak persamaannya dengan
54
Nama aslinya adalah Abu Hamid Muhammad
paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem
ibn
pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun
termasuk dalam golongan teologi ahlis sunnah dan
450H./1058M. di Thus (dekat Meshed) sebuah
dikenal dengan nama al-Matūridiah. Lihat Harun
kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula
Nasution, Teologi Islam, hlm. 72.
A1-Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M.
48
Nama aslinya adalah Annu’man ibn Sabit
Muhammad
al-Ghazāli
al-Thūsi,
dia
Tentang biografinya, dapat dilihat antara lain:
Sulaiman Dunya, Al-Haqīqah Fi Nazr al-Gazāli,
ibn Zauti, lahir di Kufah tahun 80 H.
55
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
al-Hāsyiah
oleh
sebagaimana
dikutib
asy-Syanwani
Syekh
skala
massif
(misalnya
corpusmagnum
Hasyim
sebuah
al-Majmu’,
berjudul
Asy’ari dalam Risālah Ahlussunnah Wal
komentar atas kitab al-Muhażżab, terdiri
Jamā’ah.55
dari empat belas jilid dengan rata-rata
Berbeda dari pandangan kelompok
seperti
Muhammadiyah
dan
400 halaman perjilidnya), melainkan juga
Persis
cara-cara
untuk
(legal
menyusun
maxim,
pemikiran
al-qawāid
al-
(keduanya hanya menerima skolastisisme
hukum
al-Asy’ari sebagai landasan “kesunnian”
fiqhiyyah),
mereka), NU melalui doktrin ASWAJA-nya
keputusan hukum yang akan diambil jika
sengaja
kondisinya
mengembangkan
keilmuagamaan
persyaratan
akhir
yang
melatarbelakangi sesuatu masalah yang
karena telah membagi siklus kehidupan
tadinya sudah diputuskan ternyata telah
para warganya dalam sejumlah lingkaran
mengalami perubahan. Di sinilah terletak
kegiatan atau bidang yang baku.56 Bidang
dinamika perkembangan hukum Islam
baku itu adalah bidang akidah, fikih, dan
melalui fikih dapat dilakukan secara baik,
tasawuf sebagaimana disebutkan di atas.
walaupun dalam batasan-batasan yang
NU
tetap masih ketat karena harus tidak boleh
sesungguhnya tidak hanya terbatas pada
keluar dari lingkup bermazhab.57 Dari
mengikuti
kenyataan tersebut sesungguhnya ada
mazhab
berfikih,
dan
dan
bentuk
baku
Dalam
paripurna
tradisi
menentukan
realitanya
pandangan
besar
tersebut
empat
imam
tetapi
juga
inkonsistensi
atau
pergeseran
makna
pendapat ulama-ulama turunannnya yang
dalam bermazhab dari yang semestinya
telah
mengikuti mazhab empat menuju ke
mengembangkan
tidak
hanya
literatur keputusan hukum agama dalam
mazhab turunannya.
Inti dari tradisi keilmuagamaan
cet. III (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971). Juga Abd.
yang dianut NU adalah perpaduan organis
Kadri Utsrnan, Sirah Al-Gazāli ( Damaskus: Dar
antara tauhid, fikih, dan tasawuf secara
al-Fikr, t.t.)
55
integral, yang dalam jangka panjang dapat
KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl
Assunnah wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta wa
menumbuhkan
Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān Mafhūm as-Sunnah wa
hubungan erat dan saling berkelindan
al-Bid’ah (Jombang: Maktabah at-Turas al-Islami
bi Ma’had Terbuireng, 1418 H), hlm. 23.
56
Abdurrahman Wahid, Prisma,hlm. 153.
57
56
Ibid, hlm. 154.
pandangan
adanya
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari
Fath al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn,
kehidupan.
Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn ‘Amīrah,
Yang
paling
disukai
di
Tuhfah, dan sebagainya.
lingkungan NU adalah ungkapan “Hidup
dunia sangatlah penting kalau dijadikan
Dalam mazhab Syafi'i misalnya,
persiapan untuk kebahagiaan di akhirat,
NU lebih sering menggunakan pendapat
dan akan kehilangan artinya jika tidak
Imam Nawawi59 atau Imam Rafi'i60 dan
diperlakukan seperti itu”. Hubungan dan
para ulama syafi’iyyah lainnya seperti al-
keterpaduan antara dimensi duniawi yang
Muzani,
profan dan dimensi ukhrawi yang sakral
Haitami,63
dari kehidupan ini merupakan mekanisme
sebagainya dari pada pendapat Imam
kejiwaan yang lazim dan berkembang di
Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU
kalangan warga NU untuk menghadapi
sebetulnya
tantangan
sekularisme
59
Imam Nawawi”, Posted on Juli 22, 2007, dalam
www.abuzubair.wordpres.com.
menggunakan
para
ahli
60
fikih
61
dari sumberutamanya (pendapat imam
terjadi
Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Abdul
Karim al-Rafi’i.
"turunan" imam mazhab, tidak langsung
itu
Nama aslinya adalah Yahya bin Syaraf bin
ibukota Suriah. Lihat Anas Burhanuddin, “Biografi
mazhab yang lain bahkan sering “tidak
Hal
mengikuti
Dimasyqi (Damascus) yang sekarang merupakan
secara lebih dominan dibanding tiga
mazhab).
banyak
dan
tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah
kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i
pendapat
lebih
al-Anshari64
Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram
Pada praktiknya NU mempunyai
pegangan
Zakariya
Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy Abu
westernisasi.58
karena
ar-Ramli,62 ibn Hajar al-
terang-terangan
yang timbul dari proses modernisasi dan
konsisten”
61
Nama aslinya adalah Iyas Ibn Muawiyah Al-
Muzani (175-264 H).
karena
62
Nama aslinya adalah Imam Syihabuddin
Ahmad bin Hamzah ar-Ramli al-Anshari. Anaknya
keterbatasan refrensi di luar mazhab
bernama Imam Syamsuddin Muhammad ar-Ramli
Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya
al-Anshari pengarang buku“Nihayah”.
yang mayoritas di lingkungan pesantren.
63
Nama aslinya adalah Syihabuddin Ahmad
Pesantren itu diasuh oleh para Kyai yang
bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H.
mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah seperti
dan wafat di Mekkah tahun 974 H.
64
Nama aslinya adalah
Syeikh Zakaria al-
Anshari al-Khazraji. Khazraj adalah daerah asal
58
Ibid, hlm. 155.
beliau.
57
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
pendapat "syafi'iyyah" (pengikut Syafi’i)
aspek koonsistensinya dalam penggunaan
ketimbang "Syafi'i" (imam mazhabnya).
prosedur
Hal itu tampak jelas terutama dalam
dengan
kajian-kajian wāqi’iyyah, qānūniyyah, dan
manhaji.
maudū’iyyah
di
diselenggarakan
forum-forum
oleh
LBM
penyelesaian
cara
qauli,
hukum
ilhaqi,
baik
maupun
yang
yang
merupakan forum keilmuan di lingkungan
NU untuk membahas persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan hukum Islam.65
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
NU tidak konsisten dalam bermazhab,
Daftar Isi
karena NU sesungguhnya sudah sering
“meninggalkan” mazhab Imam besarnya
Arifi, Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqih
dan beralih kepada mazhab turunannya.
dalam Nahdlatul Ulama (Analisis
Oleh
saatnya
Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi,
metode
Disertasi, (Yagyakarta: PPs UIN
karenanya
didesakkan
sudah
penggunaan
bermazhab secara manhaji agar kembali
Yogyakarta, 2007), hlm. 156.
kepada main stream mazhabnya.
al-Qardāwi, Yūsuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah
al-Islā
D. Simpulan
āt
Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’ā
Pemikiran fikih Nahdlatul Ulama
dalam rentang panjang sejarahnya, secara
cet.
teoritis tampak telah menemukan performa
1999), hlm. 22, 24.
bakunya
yaitu
meneguhkan
,
ke-3 (Kuwait: Dār al-Qalam,
pola
bermazhab. Pola ini dipilih tidak saja
Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad
karena alasan praktis metodologis tetapi
Al-Gazāli, al-Mustasyfā min ‘ilm al-
juga alasan normatif-teologis.
Usūl,
Namun dalam tataran praktis, masih
Juz.
II
(Beirut-Libanon:
Muassah al-Risālah, 1997 M/1417
perlu pembenahan dan penekanan pada
H), hlm. 382.
Abdurrahman Wahid, Prisma , hlm. 365.
65
58
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
Abdul, Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm.
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
74.
2008), hlm. 173.
http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/
Abū Ishāq Al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fī Usūl
syarat-syarat-mujtahid.html.
al-Syarī’ah, Juz. III (Beirut-Libanon:
juga Yūsuf al-
Dār al-Ma’rifah, 1997), hlm. 311.
hlm. 48.
Adullahi, Ahmed an-Na’im,
Toward an
Jamil,
Muhsin
Lihat
āwi, al-Ijtihād,
dkk.,
Nalar
Studi
Islam
Islamic Reformation: Civil Liberties,
Nusantara,
Islam
Ala
Human Rights and International Law
Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis,
(New York: Syracusse University
dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend
Press, 1990).
Pendis, 2007), hlm. 363.
Al-Imam, Muslim, Sahīh Muslim, Juz I
Muhammad ibn Ali Al-Syaukāni, Irsyād al-
(Semarang: Toha Putra, tt.), hlm. 9.
Fukhūl,Juz. II (Beirut-Libanon: Dār
al-Kutub
Asy’ari, Hasyim, Risalah Ahl Assunnah
al-‘Ilmiyah,
1999
M./1419 H.), hlm. 291.
wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta
wa Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān
Nourouzzaman, ash-Shiddieqiy, Jeram-
Mafhūm as-Sunnah wa al-Bid’ah
jeram
Peradaban
(Jombang: Maktabah at-Turas al-
(Yogyakarta:
Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418
1998), hlm. 12.
Pustaka
Muslim
Pelajar,
H), hlm. 23.
Saifuddin,
Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme
Abū
al-Hasan
‘Ali
ibn
Muhammad Al-Āmidi, al-Ihkām fī
usūl al-ahkām, Juz. IV (Beirut: Dār
(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 227.
al-Fikr, 1996 M/1416 H), hlm.
309.
Biek, Muhammad al-Khudari, Tārīkh al-
Tasyrī’ al-Islāmi (Beirut-Libanon:
59
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
226.
Yudian W., Asmin, "Peran Hasbi AshShiddieqy
dalam
Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia Abad
XX", dalam Yudian W. Asmin (ed.),
Ke Arah Fiqh Indonesia Mengenang
Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi AshShiddieqy (Yogyakarta: Forum Studi
Hukum Islam Fakultas Syari'ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994),
hlm. 6.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih Versus
Hermeneutika Membaca Islam dari
Kanada dan Amerika (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2007),
hlm. 34.
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran
Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000),
hlm. 153.
60
Download