Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 MEMBACA NALAR HUKUM NAHDLATUL ULAMA Mahsun Mafudz1 IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah Abstrak Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama pada tanggal 21-25 Januari 1992 M. di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka mengambil keputusan hukum. Kesadaran itu ditandai dengan munculnya keputusan tiga metode yang digunakan dalam mengambil keputusan hukum dalam forum bahsul masail. Salah satunya adalah penggunaan metode bermazhab secara manhaji. Dalam setiap Bahsul Masail (kajian hukum Islam) di lingkungan NU, yang secara operasional pelaksanaannya diselenggarakan oleh LBMNU (Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama) menggunakan pola bermazhab, yakni mengikuti salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, baik secara qauliy (tektual) maupun manhajiy (metodologis). Namun kenyataannya pendapat pengikut mazhab lebih banyak diikuti dari pada pendapat pendiri mazhab itu sendiri. Misalnya pendapat Imam Nawawi, Rafi’i, Ibnu Hajar, dan sebagainya (sebagai reperesentasi pengikut mazhab Syafi’i) lebih sering digunakan dari pada pendapat Abdullah ibn Idris al-Syafi’i sang pendiri mazhab Syafi’i. Di sini tampak inkonsistensi dalam bemazhab di kalangan nahdliyyin. Oleh karena itu kiranya masih perlu pembenahan dan penekanan pada aspek koonsistensinya dalam penggunaan prosedur penyelesaian hukum baik dengan cara qauli, ilhaqi, maupun manhaji. Kata kunci: Bahsul Masail, Mazhab, Inkonsistensi A. Latar Belakang telah menunjukkan adanya varian-varian Perkembangan pemikiran yang khas sesuai dengan semangat keislaman dalam sepanjang sejarahnya1 Menurut Nourouzzaman, sejarah adalah peristiwa masa lalu sebagai cermin masa yang 1 Penulis adalah dosen IAIN Walisongo akan datang. Lihat Nourouzzaman ash-Shiddieqiy, Jeram-jeram Semarang Jawa Tengah. Peradaban Muslim Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 12. 40 (Yogyakarta: Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 zamannya. Varian-varian itu berupa kelanjutan dari fase purifikasi yang semacam metode, visi, dan kerangkan digelorakan oleh kaum reformis. Mereka berpikir yang berbeda-beda antara satu meyakini bahwa "penutupan pintu ijtihad" pemikiran dengan pemikiran lainnya. merupakan Ajaran dan semangat Islam akan stagnasi faktor yang pemikiran menyebabkan hukum Islam di bersifat universal (melintasi batas-batas Indonesia4. Oleh karena itu umat Islam, zaman, ras, dan agama), rasional (akal bagi kaum reformis, selalu membutuhkan dan hati nurani manusia sebagai partner ijtihad dialog), necessary dan (suatu baru untuk mengakomodasi perubahan sosial.5 keniscayaan dan keharusan yang fitri), Bahkan idealnya adalah ketika tetapi respon historis manusia dimana melakukan pembacaan teks kemudian tantangan zaman yang mereka hadapi dikontekstualisasikan sangat berbeda dan bervariasi. Oleh sosial karena akan meninggalkan disiplin ilmu dengan segala menimbulkan corak dan pemahaman yang perangkat metode ilmiah yang ada pada berbeda pula.2 Dalam konteks ini, ijtihad3 wilayah empiris di masa sekarang dengan merupakan sesuatu yang tak pernah memperhatikan 'urf (adat) yang ada (adat ditutup tetapi harus selalu digelorakan. keindonesiaan misalnya). Pada kondisi "Membuka inilah dibutuhkan sebuah ”fiqih dan usul 2 itu secara pintu otomatis ijtihad" merupakan pada seharusnya fenomena tidak boleh fiqih Indonesia”.6 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 227. 4 Yudian W. Asmin, "Peran Hasbi Ash- Ijtihad menurut ulama usul fikih ialah usaha Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di seseorang yang ahli fikih (mujtahid) dengan Indonesia Abad XX", dalam Yudian W. Asmin menggunakan untuk (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia Mengenang Jasa menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta: dari dalil-dalil yang terperinci. Lihat Ahmad Abu Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari'ah IAIN Zahrah, Usūl al- Fiqh (Dar al-Tsaqafah, t.t.), hlm. Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hlm. 6. 3 seluruh kemampuannya 216. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (terj.), Saifullah 5 Ibid, hlm. 7. Ma’shum dkk., cet. Ke-8 (Jakarta: Penerbit 6 Pada tema ini ada sikap ambifalen dari kaum Pustaka Firdaus, 2003), h. 567. Juga Abdul reformis, Wahab Khallaf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh, cet. Ke-9 karena tema ”keindonesiaan” sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tema (Kairo: Dal al-Qalam, 1978), hlm. 216. ”kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah”, tetapi 41 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 Dalam ijtihad, kontek ilmu usul mengelorakan konstitusionalisme modern, hukum pidana, merupakan hukum internasional modern serta Hak fikih perangkat metodologi baku yang telah Asasi Manusia. 7 dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam ash-Shiddieqiy adalah dalam salah satu dari tokoh reformis di Indonesia menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang terlibat dalam gagasan pembaharuan yang lain dari sumber aslinya (al-Qur’an hukum Islam dengan dua tema utama dan yaitu ”Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah). metodologi dan mazhab Hasbi Tetapi fikih produksinnya tersebut mandul hanya jika tekstual dan perangkat sebagi hasil sunnah”, dan ”Keindonesiaan”. Tema yang akan menjadi difahami secara kembali pintu ijtihad yang selama ini tanpa dianggap oleh para ulama klasik sebagai atomistik pertama memperhatikan konteks historisnya. telah muncul kompetensi mereka dari kompetensi yang perkembangan dimiliki pemikiran hukum Islam yang disesuaikan 7 persoalan-persoalan dalam tema kedua Adullahi Ahmed an-Na’im, Toward an and International Law (New York: Syracusse An-Na’im ketidakmampuan fikih klasik kesulitan-kesulitan sebagai Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights kontemporer. Menurut Abdullahi Amed oleh mujtahid ”Keindonesiaan” menurut K. Drs. Yudian bahwa fikih klasik sudah tidak mampu disebabkan para Sedangkan Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran tersebut oleh pendahulunya.8 dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. menjawab dibukanya telah tertutup karena menurunnya derajad Di Indonesia pada dasawarsa terakhir merekomendasikan University Press, 1990). adanya 8 memadukan Secara internal pembaharuan hukum Islam diarahkan kepada lima hal yaitu 1)memurnikan praktik-praktik keagamaan dari pengaruh non- pola pemikiran fikih klasik dan fikih Islam 2) membuka pintu ijtihad 3) mengendorkan kontemporer dalam beberapa hal, antara fanatisme mazhab 4)memperluas bidang kajian lain yang berkaitan dengan hukum publik, hukum Islam secara akademis; dan 5) pengenalan metodologi penetapan hukum Islam melalui studi sekaligus pandangan merupakan kaum mempertahankan adat sikap kembali kepada perbandingan mazhab. Lihat Yudian Wahyudi, tradisionalis yang Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam Indonesia yang justru dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren ditolak oleh kaum reformis. Lihat Ibid, hlm. 9. Nawesea Press, 2007), hlm. 34. 42 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 Wahyudi, Ph.D, sesungguhnya merupakan Di kalangan Nahdlatul Ulama kelanjutan dari tema ”Kembali kepada al- (NU), Musyawarah Nasional (MUNAS) Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus alim ulama pada tanggal 21-25 Januari merupakan sikap kembali kepada sikap 1992 M. di Bandar Lampung adalah awal tradisional yang mempertahankan adat munculnya kesadaran tetapi ditolak oleh kaum reformis non- pentingnya pengembangan keindonesiaan. Dilihat dari semangatnya, metodologis khususnya dalam rangka kaum reformis keindonesiaan termasuk mengambil keputusan hukum. Kesadaran Hasbi, itu ditandai dengan munculnya keputusan mencita-citakan terbentuknya metode akan pemikiran sebuah bangunan hukum Islam yang tiga memiliki ciri khas keindonesiaan. Mereka mengambil keputusan hukum dalam forum berusaha membebaskan adat Indonesia bahsul masail. Salah satunya adalah dari adat Arab, karena Islam bukan berarti penggunaan metode bermazhab secara Arab.9 manhaji. B. 9 Ada dua kecenderuangan utama berciri khas Indonesia dengan Secara kemampuan, Indonesia” (Hasbi, (Hazairin, untuk “Fiqh 1940), Mazhab Nasional 1950-an), Pribumisasi Islam F. Mas’udi, 1991); menanggung dan sesuatu yang merepotkan. Secara terminologis, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum Islam (Munawwir dkk., 1988) dan Zakat sebagai (Masdar melakukan membebani (Abdurrahman Wahid, 1988), Reaktualisasi Ajaran Pajak dan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan Islam di Indonesia. Kecenderungan pertama ini konsep ijtihad kepayahan.10 Dengan kata lain bahwa terseleksi) sebagai salah satu sumber hukum munculnya etimologis mempunyai dua arti yaitu mengerahkan cara dan menjadikan adat Indonesia (tentunya setelah dengan dalam 1. Pengertian Ijtihad tema membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab ditandai digunakan Ijtihad “keindonesiaan” yaitu 1) membangun hukum Islam yang yang formal 2) keindonesiaan yang berorientasi konstitusional yang dimotori oleh tokoh-tokoh umum yang 10 Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad Al- menguasai sistem hukum Indonesia, tetapi kurang Gazāli, al-Mustasyfā min ‘ilm al-Usūl, Juz. II mendalami prinsip-prinsip “Kembali kepada al- (Beirut-Libanon: Qur’an dan Sunnah” . Ibid. hlm. 37. M/1417 H), hlm. 382. 43 Muassah al-Risālah, 1997 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 syar’i yang praktis melalui istinbāt11. Al- yang baru. Ijtihad yang kedua ini disebut Amidi mendifinisikan bahwa ijtihad adalah al-Qiyas.14 mencurahkan kemampuan secara optimal untuk mencari zanni.12 hukum Abdul mengatakan yang bersifat dapat dapat dipahami bahwa ciri khusus Khallaf hakikat ijtihad adalah sebagai berikut:15 adalah a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar Wahhab bahwa Dari beberapa definisi tersebut ijtihad mencurahkan kemampuan untuk sampai secara kepada hukum syara’ melalui dalil syara’ merasa tidak mampu lagi berbuat lebih yang rinci.13 dari itu. Muhammad al-Khudari Biek optimal sehingga b. Ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mendifinisikan ijtihad sebagai pengerahan mencapai kemampuan keilmuan yang disebut faqīh. secara optimal mujtahid untuk derajat tertentu dibidang menggali hukum syar’i dari sesuatu yang c. Produk yang diperoleh dari ijtihad oleh Syari’ (Allah dan rasul-Nya) dinilai adalah dugaan yang kuat tentang sebagai hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah dalil yaitu al-Qur’an dan assunnah. Ijtihad ada dua macam yaitu (praktis). pertama, ijtihad untuk mengambil hukum dari makna leksikal teks 2. Ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbāt. al-Qur’an maupun assunnah. Ini dilakukan jika Berdasarkan empat ciri khusus hukum telah terjangkau oleh teks. Kedua, hakikat ijtihad tersebut dipahami bahwa mengambil hukum dari nalar teks ketika ijtihad tidak boleh dilakukan sembarang ditemukan ‘illat hukum, sementara teks orang tetapi harus mempunyai kompetensi tidak secara tegas mencakup persoalan yang cukup sesuai dengan syarat-syarat 11 sebagai Muhammad ibn Ali Al-Syaukāni, Irsyād al- kesalahan Fukhūl,Juz. II (Beirut-Libanon: Dār al-Kutub al- tidak terjadi menetapkan hukum Saifuddin Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad Al-Āmidi, al-Ihkām fī usūl al-ahkām, Juz. IV 14 Muhammad al- Tārīkh al- Tasyrī’ al-Islāmi (Beirut-Libanon: Dār al-Kutub al- (Beirut: Dār al-Fikr, 1996 M/1416 H), hlm. 309. 13 dalam agar yang diakibatkan oleh sikap ceroboh, ‘Ilmiyah, 1999 M./1419 H.), hlm. 291. 12 mujtahid, Abdul Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh ‘Ilmiyyah, tt.), hlm. 74. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta: (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), hlm. 15 173. Kencana, 2009), hlm. 226. 44 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 menuruti nafsu, dan subyektifitas mujtahid ayat yang terkait dengan hukum yaitu tersebut. Secara prosedur, ijtihad tidak sekitar 500 ayat.17 boleh dilakukan tanpa melibatkan nalar Walaupun demikian sehat untuk memahami teks dengan berarti menguasai berbagai ilmu bantu yang mujtahid diperlukan mengetahui makna bahasa Arab, ilmu logika, dan sebagainya sesungguhnya memasukkan agar produk hukum yang dihasilkan dapat syarat teknis berikutnya yaitu: dibenarkan secara akademik walaupun 1)mengatahui asbāb al-nuzūl (sebab- bersifat zanni (spekulatif). sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an). 3. Syarat-syarat Mujtahid Syarat ini harus terpenuhi oleh seorang misalnya penguasaan Sekurang-kurangnya ilmu ada 8 mudah bukan menjadi karena seorang dalam syarat al-Qur’an syarat- mujtahid karena menurut al-Syatibi dalam seorang mujtahid, yakni sebagai berikut : mengatahui asbāb al-nuzūl menjadi a. Mengetahui yang keharusan bagi orang yang hendak dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam mengetaui makna-makna al-Qur’an.18 Al-Quran baik secara bahasa maupun Karena dengan mengetahui asbāb al- menurut istilah syariat. Tidak harus nuzūl menghapal di luar kepala dan juga dimaksud dalam teks. tidak harus menghapal seluruh Al- 2)mengatahui Quran. mansūkh; syarat ini penting agar tidak makna-makna Seorang mengetahui mujtahid tempat-tempat cukup dimana terjadi kitab al-Muwāfaqāt, persyaratan yang harus dipenuhi oleh bahwa dapat dipastikan makna yang al-nāsikh seorang mujtahid wa al- berijtihad ayat-ayat hukum itu berada sehingga menetapkan hukum tertentu dengan mudah menggunakan ayat yang sesungguhnya baginya menemukan pada waktu yang dibutuhkan.16 Imam alGazali menjadi mengatakan seorang bahwa untuk mujtahid tidak disyaratkan mengetahui seluruh isi alIbid. Qur’an tetapi cukup mengetahui ayat16 17 18 Abū Ishāq Al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fī ūl al-Syarī’ah, Juz. III (Beirut-Libanon: Dār al- Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad Al- Gazāli, al-Mustasyfā, hlm. 383. Ma’rifah, 1997), hlm. 311. 45 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 sudah mansukh (tidak diberlakukan ilmu al-jarh wa al-ta’dīl, dan sebagai yang lagi).19 tercakup hadīs.20 b. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’, seperti ‘ilm al-mustalah al- dalam c. Mempunyai telah pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi diuraikan pada syarat pertama. Seperti ijma’ halnya Al-Qur’an, seorang mujtahid mengetahui tidak harus menghafal Pengetahuan seluruh hadis tentang hukumnya dan tempat-tempatnya. ini diperlukan agar yang berhubungan dengan hukum, seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak tetapi menyalahi hukum yang telah disepakati cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat dijangkau bilamana para ulama. diperlukan. d. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu Termasuk dalam syarat ini adalah bantu yang berhubungan dengannya beberapa syarat kelengkapan sebagai pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat berikut: Al-Quran ‘ilm 1)menguasai dirāyah al-hadīṡ al-nāsikh wa al- sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab. 3)mengatahui asbāb wurūd al-hadīs e. Menguasai ilmu usūl al-fiqh, seperti (sebab-sebab munculnya hadis) tentang hukum dan macam-macamnya, Yusuf Qardawi mengatakan bahwa mujtahid adalah bisa mengistinbatkan hukum dari dua mansūkhdalam hadis seorang Sunnah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan (ilmu tentang seluk-beluk hadis) 2)mengetahui dan harus tentang sumber-sumber hukum atau memiliki dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah pengetahuan tentang ilmu dan dasar- dan cara mengistinbatkan hukum dari dasar pengetahuan hadis, ilmu tentang sumber-sumber perawi hadis, syarat-yarat hadis yang menguasai hal-ihwal tentang ijtihad. diterima dan yang ditolak, mengatahui Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena 19 āwi, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah Yūsuf al- al-fiqh dan merupakan pedoman yang harus dipegang dalam al-Islāmiyyah ma’a Nazarāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āsir, cet. usūl tersebut, ke-3 (Kuwait: Dār al-Qalam, 1999), hlm. 22, 24. 20 46 Ibid, hlm. 32. Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 melakukan ijtihad.21 Termasuk dalam bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam syarat Al-Quran yang kelima ini adalah dan Sunnah dapat mengetahui seluk-beluk qiyas, seperti dikembangkan seperti dalam bentuk syarat-syaratnya, qiyas, tentang ‘illat rukun-rukunnya, al-hukm dan cara istihsan mursalah.23 dan Al-Syatibi maslahah mengatakan menemukan ‘illat itu dari ayat atau bahwa hadis, dan mengetahui kemaslahatan mempunyai yang dikandung oleh suatu ayat hukum pertama, dan syarī’ah secara sempurna dan kedua, prinsip-prinsip umum syari’at Islam.22 seorang dua harus kompetensi yaitu memahami kompetensi berijtihad maqāsid melalui alilmu al- bantu yakni pengetahuan bahasa arab, syarī’ah dalam merumuskan suatu pengetahuan tentang hukum-hukum al- hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan Qur’an karena untuk memahami suatu redaksi sebagainya.24 f. Mengetahui dan tentang dalam berbagai maqāsid mujtahid penerapannya peristiwa, kepada dan assunnah, ijma’, dan g. Mempunyai pengetahuan tentang ketetapannya kehidupan manusia dan lingkungannya; kepada menurut Yusuf Qardawi syarat ini pengetahuan tentang bidang ini. Hal penting karena seorang mujtahid tidak tersebut disebabkan penunjukan suatu berijtihad pada suatu masa saja, tetapi lafal kepada maknanya mengandung pada kasus-kasus yang terjadi pada berbagai kemungkinan, dan orang-perorang, masyarakat dan pengetahuan tentang al- lingkungannya. Pengetahuan ini sangat syarī’ah bergantung untuk penting untuk dimiliki oleh seorang mana mujtahid karena semua produk hukum yang layak diangkat dan difatwakan. yang telah dihasilkan oleh para Imam Disamping itu, dengan penguasaan Mazhab tidak terlepas dari pengaruh memilih memberi maqāsid petunjuk pengertiannya yang lingkungan. Oleh karenanya seorang mujtahid 21 http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/syarat- tentang syarat-mujtahid.html. Lihat juga Yūsuf al-Qardāwi, al-Ijtihād, hlm. 48. 22 Ibid., hlm. 49. 47 harus mempunyai kehidupan 23 Ibid. 24 Ibid., hlm. 55. yang ilmu meliputi Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 kehisupan sosial, budaya, ekonomi, dan sifat-sifat-Nya, meyakini Rasul dan dan politik.25 kitab-kitabnyasecara garis besar, tidak h. Memelihara kesalehan, keadilan, dan harus secara mendalam sampai ketakwaan; seorang mujtahid harus kepada yang rumuit-rumit sebagaimana mempunyai kesalehan dalam sikap, pengetahuan yang dimiliki oleh ulama prilakunya, ahli kalam.27 SWT, bertakwa selalu kepada berhati-hati Allah untuk ‘ilm b. Mengatahui al-mantiq (ilmu menemukan kebenaran, tidak menjual logika); Sebagian ulama berpendapat agama dunia. bahwa ‘ilm al-mantiq adalah ilmu Karena orang fasik jika melakukan pokok bagi ulama usul fikih. Ulama ijtihad dimungkinkan akan bermain- yang berpendapat seperti itu antara lain main dengan agama dan cenderung adalah al-Gazali. Sedangkan mayoritas mengikuti ulam dengan kepentingan hawa nafsunya, hasilnya jauh dari kebenaran. Selain disepakati, delapan ada dua ehingga 26 seperti al-Suyuti tidak berpandangan demikian. Begitu juga syarat yang Ibn Taimiyyah, mengatakan bahwa ‘ilm syarat yang al-mantiq tidak dibutuhkan lagi oleh diperselisihkan antara ulama yaitu: orang yang cerdas dan tidak ada a. Mengetahui ‘ilm usūl al-dīn atau ilmu manfaatnya bagi orang yang tumpul kalam dan yang terkait dengan ilmu akalnya. Jadi baginya ‘ilm al-mantiq akidah; mereka yang mempersyaratkan tidak dibutuhkan lagi bagi ulama usul ini fikih.28 adalah golongan Sedangkan mayoritas mempersyaratkan menegahi dua dengan akidah ulama 4. Macam-macam Mujtahid Al-Amidi Mujtahid terbagi kepada beberapa pendapat tersebut tingkat, yaitu mujtahid mutlaq mustaqil, bahwa mujtahid mutlaq muntasib, mujtahid fī al- dipersayarat mazhab, dan mujtahid fī at-tarjīh atau yang mengetahui yang tidak ini. mengatakan pengetahuan hanyalah mu’tazilah. pokok ilmu tentang mujtahid yaitu seperti tentang tingkatan-tingkatan tersebut: mengetahui tentang wujudnya Allah Ibid., hlm. 66. 27 Ibid., hlm. 60. Ibid. 25 26 fatwa.29 28 Ibid., hlm. 63. 29 48 Ibid. 95. Berikut penjelasan Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 a. Mujtahid Mutlaq Mustaqil (independen) Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka adalah tingkat tertinggi, disebut juga bebas dalam berijtihad, tanpa terikat sebagai al-mujtahid fī al-Syar’i atau dengan gurunya tersebut. Termasuk Mujtahid Mutlaq. Untuk sampai ke dalam kelompok ini murid-murid Abu tingkat ini seseorang harus memenuhi Hanifah, seperti Muhammad, Zufar, syarat-syarat tersebut. Mereka disebut dan mujtahid berarti Malikiyah antara lain Abdurrahman bin independen, karena mereka terbebas al-Qasim, dan Asyhab, dan Asbag. dari bertaqlid kepada mujtahid lain, Dari kalangan Syafi’iyah antara lain ūl al- adalah al-Muzanni, al-Buwaiti. Dari fiqh) maupun dalam furu’ (fikih hasil kalangan Hanabilah seperti al-Khalāl ijtihad). Mereka sendiri mempunyai dan sebagainya. Mujtahid seperti ini metode istinbat, dan mereka sendirilah dinisbahkan yang menerapkan metode instinbat itu mujtahid mutlaq mustaqil karena dalam dalam melakukan ijtihad memakai metode mustaqil, yang baik dalam metode istinbat ( berijtihad untuk membentuk hukum fikih. Contohnya, para imam Abu Yusuf. Dari kepada kalangan salah seorang istinbatnya.31 mujtahid yang empat orang, yaitu Imam Imam c. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal mujtahid yang bertaklid kepada imam dan yang sederajad seperti Zaid ibn mujahid tertentu tetapi ia mengetahui Ali, Al-Sauri, al-Auza’i, Daud ibn Ali, kaidah dan dasar yang digunakan oleh dan sebagainya.30 imamnya. Mereka disebut mujtahid Abu Hanifah, b. Mujtahid Imam Mutlaq Malik, Muntasib, mujtahid yang dalam masalah fiqh, meskipun dari kemampuannya ia merumuskannya, namun yaitu karena berijtihad mengistibatkan hukum ūl al- pada permasalahan-permasalahan segi yang tidak ditemukan dalam buku-buku mampu mazhab imam mujtahid yang menjadi tetap panutannya. berpegang kepada usūl al-fiqh gurunya melakukan yakni Mujtahid Mutlaq Mustaqil seperti masalah Ibid., hlm. 95-96. 30 31 49 Ibid. Mereka ijtihad yang pada sudah tidak lagi masalahditegaskan Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 hukumnya oleh imam mazhabnya.32 dalil Mujtahid keunggulannya.34 yang termasuk dalam tingkatan ini misalnya, Abu Al-Hasan yang dipakai dan dimana 5. Identifikasi “Mujtahid” dalam NU Karkhi (260 H-340H), Abu Ja’far al– Proses beristinbat35 yang dilakukan Tahawi (230 -321 H) dan al-Hasan oleh peserta bahsul masail adalah model bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan istinbat kolektif (istinbāt jama’i). Proses hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al- ini hanya dilakukan jika masalah tidak Abhari (289 H-375 H) dari kalangan terjawab dengan metode qauli, dan ilhaqi. Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al- Instrumen Asfirayini beristinbat adalah qaidah usūliyyah dan (344 H-406 H) dari d. Mujtahid fī al-Tarjīh, yaitu mujtahid menguasi mazhabnya. pendapat Kegiatannya atau dalam lingkup empat mazhab besar yaitu Hanafi, imam Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta mazhab bukan turunannya. mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya digunakan qaidah fiqhiyyah yang digunakan dalam kalangan syafi’iyah.33 yang yang dari imam dikontraskan dengan definisi mujtahid dan terbatas macam-macam mujtahid dengan segala memperbandingkan berbagai mazhab tingkatannya, tampak jelas bahwa ulama atau yang terlibat dalam kegiatan bahsul masail mazhabnya, tetapi pendapat. kemampuan kaidah Jika proses beristinbat tersebut ia untuk mempunyai mentarjih atau setinggi-tingginya hanya mencapai memilih salah satu pendapat terkuat derajad mujtahid fi al-tarjih. Penggolongan dari ada, ini jika dilihat secara kolektif bukan secara dengan memakai metode tarjīh al- individual. Jika dilihat secara individual aqwāl yang telah dirumuskan oleh hampir bisa dipastikan sangat kecil yang pendapat-pendapat ulama-ulama Dengan mujtahid metode mengemukakan ini, dimana yang sebelumnya. ia sanggup 34 kelemahan Yūsuf al-Qardāwi, al-Ijtihād, hlm. 95. 35 Kata istinbāt biasa digunakan oleh kalangan ulama NU dari pada ijtihād, karena sikap tawādu’ Ibid. (rendah hati) yang rata-rata dimiliki oleh mereka http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/ting untuk tidak menyamai derajat para mujtahid katan-tingkatan-mujtahid.html, posted Selasa, 30 karena merasa kurang pantas untuk menyandang November 2010. gelar mujtahid yang berakar kata dari ijtihād. 32 33 50 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 memenuhi kriteria sebagai mujtahid fi al- yang boleh berseberangan dengan imam tarjih sekalipun. Hal itu dipengaruhi oleh mazhabnya. kebiasaan para ulama yang terlibat dalam mereka yang mempunyai kemampuan bahsul masail tersebut mendahulukan untuk pemahaman pendapat) qauli. tekstual dengan metode Sedangkan penggunaan metode manhaji hanya dilakukan pada Sebagaian tarjīh melakukan ulama diantara fiqh jika kecil diantara (pemilihan pendapat-pendapat terjadi pertentangan. saat Hanya ulama dengan kompetensi seperti emergensi dan dilakukan secara kolektif ini yang dapat mencapai derajad mujtahid (jama’i) setelah metode qauli dan ilhaqi yang sesungguhnya dan disebut sebagai tidak mampu menyelesaikan masalah. mujtahid fi al-tarjih. Namun pada Oleh sebab itu penulis menilai kenyataannya sulit menentukan siapa saja bahwa tingkatan mayoritas para ulama diantara ulama NU yang secara aklamasi peserta bahsul masail hanyalah nāqil al- oleh ulama yang lain telah mencapai nusūs al-fiqhiyyah (penyadur teks-teks kompetensinya pada tingkatan mujtahid fiqh). tarjih. Begitu sulit mengidentifikasi mereka Kriterianya dapat diidentifikasi melelui indikator model penjawaban dalam yang aktif mengikuti bahsul masa’il, proses diskusinya. Setiap kali dilakukan apakah mereka berkompetensi sebagai bahsul masail (khususnya dalam masalah mujtahid atau bukan. dīniyyah wāqi’iyyah) selalu saja dimulai dengan mengutarakan teks dari kitab- C. Dominasi Fikih Empat Mazhab dalam Bahsul Masāil kitab fiqh. Itulah sebabnya sebagian ulama menamakan kegiatan bahsul Dalam setiap kajian hukum Islam masaial sebagai al-musā di al-‘ibārah (lomba mencari teks). Ini operasional pelaksanaannya dilaksanakan berarti tingkat kepakaran mereka tidak oleh LBM menggunakan pola bermazhab, sampai secara yakni mengikuti salah satu dari empat terminologis, tetapi hanya boleh disebut mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, mujtahid secara etimologis. baik secara qauliy (tektual) maupun derajad Konsekuensi mujtahid logisnya lingkungan NU, yang secara manhajiy (metodologis). adalah bahwa mayoritas diantara mereka tidak Menurut mempunyai kompetensi sebagai mujtahid Kyai Hasyim Asy'ari, dengan mengikuti pola bermazhab akan 51 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 mendapatkan kebaikan dan maslahah Dalam Qānūn Asāsi (undang- (kebaikan) yang tak terhitung bagi umat undang Islam. akan barang siapa mengambil ilmu dengan dan tidak menyebut sanad (dengan kata lain secara gegabah tidak bermazhab), maka orang itu seperti kemauan subyektif pencuri.37 Oleh karenanya ilmu yang pengambilnya. Sebab ajaran Islam tidak didapat dengan cara seperti itu disebut dapat Pola menghindarkan pengambilan hanya bermazhab sikap hukum mengikuti dipahami pemindahan penggalian dan dasar) NU juga disebutkan, kecuali melalui ilmu tanpa guru yang berkonsekuensi pengambilan hukum diragukan akan kebenaran dan dengan cara tertentu yang disebut istinbāt validitasnya, sebagaimana diriwayatkan al-ahkām. dari Muhammad ibn Sīrīn sebagai berikut: Pemindahan حدثنا خملد بن حسني عن هشام عن حممد بن سريين قال ان هذا 38 (العلم دين فانظروا عمن تاءخد ۬ ون دينكم )رواه مسلم pengetahuan (transfer of knowledge) tidak akan benar dan murni kecuali mentransformasikan dengan ajaran Begitu pentingnya sanad dalam cara tradisi transfer of knowledge di kalangan secara ulama NU sesungguhnya bukan tanpa langsung dari suatu generasi ke generasi alasan. Disamping karena untuk menjaga selanjutnya secara berantai dari orang originalitas yang terpercaya kepada orang yang dan validitas pengetahuan yang di transfer kepada generasi penerus terpercaya pula.36 Dalam konteks istinbāt juga secara normatif didasarkan pada al-ahkām, mazhab-mazhab sebelumnya perkataan harus dikenali agar tidak keluar dari Abdullah ibn al-Mubarak “Isnād39 adalah sebagian dari urusan pendapat ulama sebelumnya yang dapat menyebabkan keluar dari ijma'. 37 M. Muhsin Jamil dkk., Nalar Islam Nusantara, Studi Islam Ala Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend 36 Mata rantai dalam transfer ajaran tersebut Pendis, 2007), hlm. 363. dikenal dengan sebutan sanad; sebuah istilah Lihat al-Imam Muslim, Sahīh Muslim, Juz I 38 yang diadopsi dari istilah mata rantai dalam (Semarang: Toha Putra, tt.), hlm. 9. periwayatan hadis yang dikaji dalam ilmu dirāyah 39 Isnād adalah penyandaran sebuah hadis al-hadis. Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al- kepada pengucapnya. Kadang-kadang kata Isnād Hadīś ‘Ulūmuh wa Mustalahuh, Cet. Baru (Beirut: digunakan untuk arti sanad (mata rantai) dalam Dar al-Fikr, 2006), hlm. 32. tradisi periwayatan hadis. Jadi dua kata itu bias 52 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 agama, andai tidak ada isnād, niscaya atau mayoritas), seperti yang dianjurkan orang oleh nabi Muhammad s.a.w sebagai berkata apa saja yang ia kehendaki”: golongan yang mendapat petunjuk dan حدثين حممد بن عبداهلل بن قهزاد من اهل مرو قال مسعت عبدان بن عثمان يقول مسعت عبداهلل بن املبارك يقول االسناد من الدين ولوال االسناد لقال terhindar dari kesalahan.42 Ketiga, empat mazhab tersebut dan empat imam ahli fikihnya memiliki kualifikasi keilmuan yang 40 (من شاء ماشاء )رواه مسلم istimewa masanya beberapa alasan; Pertama, empat mazhab sama, yang kompetensi telah keilmuan sempurna. Oleh sebab itu mereka disebut mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil.43 Ditilik dari aspek operasionalnya mazhab empat tersebut, misalnya mazhab Ahmad Arifi menjelaskan tiga alasan Sufyan Sauri, Daud al-Zāhiri, al-Auza'i pendapat yang syarat-syarat menjadi mujtahid secara masing-masing didapatkan dalam mazhab lainnya. Di luar sebagainya, orang sebagaimana yang disyaratkan dalam mempunyai validitas tersendiri serta tidak dan sebagai mempunyai - ahkām (metode penggalian hukum) yang hampir mendapat luas dan masyarakat intelektual pada imam besar tersebut di dasarkan pada īqat istinbā telah pengakuan secara sosial oleh masyarakat Pola bermazhab kepada empat tersebut memiliki karena mengapa penganut mazhab dalam fikih mereka (termasuk NU) memegangi pemikiran dipandang kurang valide lantaran tidak memiliki sanad41. Kedua, mengikuti salah satu dari mazhab empat berarti mengikuti al-sawād al-a’zam (golongan terbesar diartikan sama yaitu mata rantai. Lihat 42 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usūl al-Hadīś, hlm. 43 33. 40 41 Ibid., hlm. 364. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil adalah mujtahid peringkat pertama yang al-Imam Muslim, Sahīh Muslim, hlm. 9. mempunyai kompetensi untuk menggali hukum Sanad secara langsung dari al-Qur’an dan assunnah, ialah sebuah istilah dalam ilmu periwayatan hadis yang didefinisikan sebagai mata melakukan qiyās, istihsān, al- rantai yang metode menyambungkan antara seorang penggalian hukum yang dan lain yang perawi kepada perawi hadis berikutnya. Lihat dianggap tepat. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Muhammad ‘Ajjaj al- Khatib, Usūl al-Hadiś, hlm. ūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), 200. hlm. 309. 53 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 mazhab mereka. Ketiga alasan itu adalah organisasi NU. Dalam tataran perorangan sebagai berikut:44 tradisi tersebut disosialisaskan melalui a) Pemikran madzhab (terutama fikih pembelajaran di Pesantren, Madrasah dan madzhab empat: Hanafi, Maliki Syafi’i, Sekolah dan Yayasan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Hanbali) telah terkodifikasi yang bernaung bawah (terhimpun) secara sistematis sehingga Sedangkan mudah mempelajarinya. keilmuagamaan dengan pola bermazhab b) Kredibilitas imam madzhab dan yang secara di dianut organisasi, komunitas NU tradisi tersebut keandalan pemikirannya telah teruji sesungguhnya telah dikemukakan secara oleh sejarah. Hal ini terbukti diikutinya terbuka oleh warga NU sendiri sejak para imam madzhab oleh sebagian permulaan berdirinya, adalah bertumpu besar umat Islam di seluruh dunia. pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut aqīdah ahlussunnah c) Mengikuti pemikiran imam madzhab mempunyai nilai praktis dan pragmatis. wal Dengan menggunakan akronim ASWAJA).45 pemikiran mengacu dan madzhab mengikuti tidak jamā’ah perlu Selanjutnya (selanjutnya akidah penulis ASWAJA bersusah-susah untuk memulai dari tersebut diterjemahkan secara operasional awal dan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana menjawab permasalahan hukum yang terdapat pada qānūn asāsi NU agar dihadapi, mudah dipahami oleh warga NU secara dalam mencari apalagi solusi ketika masalah tersebut menghendaki segera untuk umum. Operasionalisasi pengertian diperoleh jawabannya. ASWAJA tersebut berpangkal pada tiga Bermazhab bagi komunitas NU panutan dalam tiga bidang secara kolektrif merupakan sebuah keniscayaan sebagai yaitu mengikuti paham al-Imam Abu tradisi Hasan al-Asy’ari46(Asy’ariyyah) dan al- keilmuagamaan yang selalu dipegangi baik dalam tataran orangperorang maupan dalam tataran 45 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 153. 44 Ahmad Arifi, "Pergulatan Pemikiran Fiqih 46 Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ibn Isma’il dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Paradigma atas al-Asy’ari lahir di Basrah 873 M, wafat di Bagdad Nalar Fiqh Tradisi", Disertasi, (Yagyakarta: PPs 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i UIN Yogyakarta, 2007), hlm. 156. dan salah seorang tokoh 54 terkemuka dalam Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 Imam Abu Mansur Maturidi47(Maturidiyyah) dalam al- Anas,49 Imam Abdullah Ibn Idrīs Al- bidang Syāfi’i,50 dan Imam Ahmad ibn Hanbal51) tauhid (mengesakan Allah dan mengakui dan kerasulan Muhammad s.a.w) dan akidah spiritualitas bertasawuf52, mengikuti cara yang Sedangkan bertasawuf yang telah ditetapkan dan dalam bidang hukum Islam fikih), NU dirumuskan oleh dua ulama besar di menganut bidang tasawuf. Mereka adalah Abu al- terkait dengannya. pola bermazhab yakni turunannya, bidang Qāsim fikih yang terkenal dengan sebutan al- Bagdādi53 dan Abū Hamid Muhammad ibn mażāhib al-arba’ah (mazhab empat yaitu Muhammad ibn Muhammad al- meliputi Hanifah yang terkenal dengan sebutan Imam Nu’mān Ibn Śābit,48 Imam Malik ibn Gazali.54 Pengertian seperti ini dipertegas Imam Abu 49 ibn dalam mengikuti salah satu dari empat mazhab mazhab Junaid dan Muhammad alāli Nama aslinya adalah Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir, lahir di Madinah tahun 93 H. golongan Mu’tazilah sehingga. Menurut al-Husain Ibn Muhammad 50 Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah al-Asykari, al-Juba’i berani Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Usman ibn perdebatan dengan lawan Syafi’ al-Syafi’i al-Mutallibi (keturunan dari al- kepadanya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Mutallib ibn Abdi Manaf, lahir di Guzah pada tahun Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan 150 H. mempercayakan (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 51 hlm. 65. 47 Nama aslinya adalah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal al-Zihli al-Syaibani al-Maruzi al-Bagdadi, Nama lengkapnya adalah Abu Mansur lahir tahun 163 H. dan wafat tahun 241 H. Abdurrahman Wahid, Prisma, hlm. 154. Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al- 52 Maturidi, lahir di Samarkand pada pertengahan ke- 53 Nama aslinya adalah Junaid ibn Muhammad 2 dari abad ke-9 M. dan meninggal pada tahun Abu al-Qāsim al-Khazzaz al-Bagdadi (830-910 944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan AD). paham teologinya banyak persamaannya dengan 54 Nama aslinya adalah Abu Hamid Muhammad paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. Sistem ibn pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun termasuk dalam golongan teologi ahlis sunnah dan 450H./1058M. di Thus (dekat Meshed) sebuah dikenal dengan nama al-Matūridiah. Lihat Harun kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula Nasution, Teologi Islam, hlm. 72. A1-Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. 48 Nama aslinya adalah Annu’man ibn Sabit Muhammad al-Ghazāli al-Thūsi, dia Tentang biografinya, dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqīqah Fi Nazr al-Gazāli, ibn Zauti, lahir di Kufah tahun 80 H. 55 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 al-Hāsyiah oleh sebagaimana dikutib asy-Syanwani Syekh skala massif (misalnya corpusmagnum Hasyim sebuah al-Majmu’, berjudul Asy’ari dalam Risālah Ahlussunnah Wal komentar atas kitab al-Muhażżab, terdiri Jamā’ah.55 dari empat belas jilid dengan rata-rata Berbeda dari pandangan kelompok seperti Muhammadiyah dan 400 halaman perjilidnya), melainkan juga Persis cara-cara untuk (legal menyusun maxim, pemikiran al-qawāid al- (keduanya hanya menerima skolastisisme hukum al-Asy’ari sebagai landasan “kesunnian” fiqhiyyah), mereka), NU melalui doktrin ASWAJA-nya keputusan hukum yang akan diambil jika sengaja kondisinya mengembangkan keilmuagamaan persyaratan akhir yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang karena telah membagi siklus kehidupan tadinya sudah diputuskan ternyata telah para warganya dalam sejumlah lingkaran mengalami perubahan. Di sinilah terletak kegiatan atau bidang yang baku.56 Bidang dinamika perkembangan hukum Islam baku itu adalah bidang akidah, fikih, dan melalui fikih dapat dilakukan secara baik, tasawuf sebagaimana disebutkan di atas. walaupun dalam batasan-batasan yang NU tetap masih ketat karena harus tidak boleh sesungguhnya tidak hanya terbatas pada keluar dari lingkup bermazhab.57 Dari mengikuti kenyataan tersebut sesungguhnya ada mazhab berfikih, dan dan bentuk baku Dalam paripurna tradisi menentukan realitanya pandangan besar tersebut empat imam tetapi juga inkonsistensi atau pergeseran makna pendapat ulama-ulama turunannnya yang dalam bermazhab dari yang semestinya telah mengikuti mazhab empat menuju ke mengembangkan tidak hanya literatur keputusan hukum agama dalam mazhab turunannya. Inti dari tradisi keilmuagamaan cet. III (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971). Juga Abd. yang dianut NU adalah perpaduan organis Kadri Utsrnan, Sirah Al-Gazāli ( Damaskus: Dar antara tauhid, fikih, dan tasawuf secara al-Fikr, t.t.) 55 integral, yang dalam jangka panjang dapat KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl Assunnah wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta wa menumbuhkan Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān Mafhūm as-Sunnah wa hubungan erat dan saling berkelindan al-Bid’ah (Jombang: Maktabah at-Turas al-Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418 H), hlm. 23. 56 Abdurrahman Wahid, Prisma,hlm. 153. 57 56 Ibid, hlm. 154. pandangan adanya Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari Fath al-Qarīb al-Mujīb, Fath al-Mu’īn, kehidupan. Fath al-Wahhāb, Qulyubi ibn ‘Amīrah, Yang paling disukai di Tuhfah, dan sebagainya. lingkungan NU adalah ungkapan “Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan Dalam mazhab Syafi'i misalnya, persiapan untuk kebahagiaan di akhirat, NU lebih sering menggunakan pendapat dan akan kehilangan artinya jika tidak Imam Nawawi59 atau Imam Rafi'i60 dan diperlakukan seperti itu”. Hubungan dan para ulama syafi’iyyah lainnya seperti al- keterpaduan antara dimensi duniawi yang Muzani, profan dan dimensi ukhrawi yang sakral Haitami,63 dari kehidupan ini merupakan mekanisme sebagainya dari pada pendapat Imam kejiwaan yang lazim dan berkembang di Syafi'i sendiri. Dengan kata lain, NU kalangan warga NU untuk menghadapi sebetulnya tantangan sekularisme 59 Imam Nawawi”, Posted on Juli 22, 2007, dalam www.abuzubair.wordpres.com. menggunakan para ahli 60 fikih 61 dari sumberutamanya (pendapat imam terjadi Nama aslinya adalah Abu al-Qasim Abdul Karim al-Rafi’i. "turunan" imam mazhab, tidak langsung itu Nama aslinya adalah Yahya bin Syaraf bin ibukota Suriah. Lihat Anas Burhanuddin, “Biografi mazhab yang lain bahkan sering “tidak Hal mengikuti Dimasyqi (Damascus) yang sekarang merupakan secara lebih dominan dibanding tiga mazhab). banyak dan tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah kecenderungan mengikuti mazhab Syafi'i pendapat lebih al-Anshari64 Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram Pada praktiknya NU mempunyai pegangan Zakariya Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy Abu westernisasi.58 karena ar-Ramli,62 ibn Hajar al- terang-terangan yang timbul dari proses modernisasi dan konsisten” 61 Nama aslinya adalah Iyas Ibn Muawiyah Al- Muzani (175-264 H). karena 62 Nama aslinya adalah Imam Syihabuddin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli al-Anshari. Anaknya keterbatasan refrensi di luar mazhab bernama Imam Syamsuddin Muhammad ar-Ramli Syafi’i dan kebiasaan para pengkajinya al-Anshari pengarang buku“Nihayah”. yang mayoritas di lingkungan pesantren. 63 Nama aslinya adalah Syihabuddin Ahmad Pesantren itu diasuh oleh para Kyai yang bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H. mengajarkan kitab-kitab syafi’iyyah seperti dan wafat di Mekkah tahun 974 H. 64 Nama aslinya adalah Syeikh Zakaria al- Anshari al-Khazraji. Khazraj adalah daerah asal 58 Ibid, hlm. 155. beliau. 57 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 pendapat "syafi'iyyah" (pengikut Syafi’i) aspek koonsistensinya dalam penggunaan ketimbang "Syafi'i" (imam mazhabnya). prosedur Hal itu tampak jelas terutama dalam dengan kajian-kajian wāqi’iyyah, qānūniyyah, dan manhaji. maudū’iyyah di diselenggarakan forum-forum oleh LBM penyelesaian cara qauli, hukum ilhaqi, baik maupun yang yang merupakan forum keilmuan di lingkungan NU untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam.65 Dari sini dapat disimpulkan bahwa NU tidak konsisten dalam bermazhab, Daftar Isi karena NU sesungguhnya sudah sering “meninggalkan” mazhab Imam besarnya Arifi, Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqih dan beralih kepada mazhab turunannya. dalam Nahdlatul Ulama (Analisis Oleh saatnya Paradigma atas Nalar Fiqh Tradisi, metode Disertasi, (Yagyakarta: PPs UIN karenanya didesakkan sudah penggunaan bermazhab secara manhaji agar kembali Yogyakarta, 2007), hlm. 156. kepada main stream mazhabnya. al-Qardāwi, Yūsuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islā D. Simpulan āt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’ā Pemikiran fikih Nahdlatul Ulama dalam rentang panjang sejarahnya, secara cet. teoritis tampak telah menemukan performa 1999), hlm. 22, 24. bakunya yaitu meneguhkan , ke-3 (Kuwait: Dār al-Qalam, pola bermazhab. Pola ini dipilih tidak saja Abū Hamid Muhammad ibn Muhammad karena alasan praktis metodologis tetapi Al-Gazāli, al-Mustasyfā min ‘ilm al- juga alasan normatif-teologis. Usūl, Namun dalam tataran praktis, masih Juz. II (Beirut-Libanon: Muassah al-Risālah, 1997 M/1417 perlu pembenahan dan penekanan pada H), hlm. 382. Abdurrahman Wahid, Prisma , hlm. 365. 65 58 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 Abdul, Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm. (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 74. 2008), hlm. 173. http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/ Abū Ishāq Al-Syātibi, al-Muwāfaqāt fī Usūl syarat-syarat-mujtahid.html. al-Syarī’ah, Juz. III (Beirut-Libanon: juga Yūsuf al- Dār al-Ma’rifah, 1997), hlm. 311. hlm. 48. Adullahi, Ahmed an-Na’im, Toward an Jamil, Muhsin Lihat āwi, al-Ijtihād, dkk., Nalar Studi Islam Islamic Reformation: Civil Liberties, Nusantara, Islam Ala Human Rights and International Law Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, (New York: Syracusse University dan NU (Jakarta: Dirdiktis Dirjend Press, 1990). Pendis, 2007), hlm. 363. Al-Imam, Muslim, Sahīh Muslim, Juz I Muhammad ibn Ali Al-Syaukāni, Irsyād al- (Semarang: Toha Putra, tt.), hlm. 9. Fukhūl,Juz. II (Beirut-Libanon: Dār al-Kutub Asy’ari, Hasyim, Risalah Ahl Assunnah al-‘Ilmiyah, 1999 M./1419 H.), hlm. 291. wa al-Jamā’ah: fi Hadīs al-Mauta wa Asyrāt as-Sā’ah wa Bayān Nourouzzaman, ash-Shiddieqiy, Jeram- Mafhūm as-Sunnah wa al-Bid’ah jeram Peradaban (Jombang: Maktabah at-Turas al- (Yogyakarta: Islami bi Ma’had Terbuireng, 1418 1998), hlm. 12. Pustaka Muslim Pelajar, H), hlm. 23. Saifuddin, Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme Abū al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad Al-Āmidi, al-Ihkām fī usūl al-ahkām, Juz. IV (Beirut: Dār (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 227. al-Fikr, 1996 M/1416 H), hlm. 309. Biek, Muhammad al-Khudari, Tārīkh al- Tasyrī’ al-Islāmi (Beirut-Libanon: 59 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 9 Nomor 1 Juni 2013 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 226. Yudian W., Asmin, "Peran Hasbi AshShiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Abad XX", dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi AshShiddieqy (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hlm. 6. Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 34. Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 153. 60