PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI MASYARAKAT KUDUS TERHADAP SIMBOL VISUAL PADA TRADISI BUKA LUWUR SUNAN KUDUS Disusun Oleh : MASITA ARGARINI D1211049 SKRIPSI Diajukan Guna Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 Persepsi Masyarakat Kudus Terhadap Simbol Visual Pada Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Masita Argarini Adolfo Eko Setyanto Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Masita Argarini, D1211049. Kudus Society Perception of Visual Symbol of Buka Luwur Sunan Kudus Tradition. Thesis (S-1 degree) of Communication Department, Social and Political Sciences Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta. July 2015. Buka Luwur Sunan Kudus tradition is a tradition which is regularly held by Mosque, Tower, and Grave of Sunan Kudus foundation (YM3SK) to commemorate haul of Sunan Kudus is not yet known with certainty. A series of events haul laden with prayer and ended with the distribution of alms is done in the form of “nasi jangkrik” that become a symbol of community welfare. The event of distributing “nasi jangkrik” is eagerly awaited by the public and becomes synonymous with Buka Luwur Sunan Kudus tradition, making “nasi jangkrik” as a visual symbol of tradition. The symbol is interpreted differently by the society accordance with their background and experiences. Researcher using qualitative method and collect data using indepth interview to determine perception of YM3SK and community of in Kauman village as communicator, and people who follow the tradition of Buka Luwur Sunan Kudus as communicant. Those perceptions are compared to determine differences that gave birth to miscommunication, so that developing trust in the society and raises the phenomenon of “ngalap berkah”. The result of the research reveal that the YM3SK and community in Kauman village interpret “nasi jangkrik” as alms from Sunan Kudus and the reward is addressed to him, and as medium to convey the message to care for others. On the revenue side, communicant interpretation of the message is that anything related to Sunan Kudus can bring blessing to the people are jostling to get it. Keywords : Perception, visual symbol, tradition 1 Pendahuluan Negara Indonesia adalah negara yang besar dan kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang ada di Indonesia berasal dari peninggalan para leluhur yang merupakan hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain. Tradisi merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan yang masih terus dilanjutkan oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat memelihara upacara tradisi itu untuk berbagai kepentingan. Masyarakat pendukung tradisi itu memelihara tradisi sebagai hal yang sudah biasa karena sejak lahir mereka telah mengikuti kebiasaan itu.Salah satu bentuk tradisi yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk penghormatan bagi Sunan Kudus sebagai salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan Kota Kudus. Dalam dakwahnya menyebarkan Islam, Sunan Kudus menempuh jalan damai dan sangat toleran. Cara yang ditempuh salah satunya dengan akulturasi budaya, dimana budaya lokal digabungkan dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga masyarakat dengan mudah menerima. Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus merupakan tradisi untuk memperingati haul/hari kematian Sunan Kudus yang tidak diketahui secara pasti. Tradisi ini dimulai dari tanggal 1 Muharram sampai dengan tanggal 10 Muharram. Lamanya proses upacara tradisi Buka Luwur mengisyaratkan banyaknya prosesi yang dilakukan dalam tradisi Buka Luwur. Materi untuk pelaksanaan tradisi Buka Luwur, secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan masyarakat baik berupa beras, hewan, kain mori yang digunakan, sampai tenaga untuk memasak dan membungkus nasi, semuanya dari masyarakat dan kembali ke masyarakat. Panitia tidak diperbolehkan mengajukan permohonan sumbangan material pada masyarakat dalam bentuk apapun, larangan tersebut sudah turun temurun diwariskan bahwa Buka Luwur jangan diada-adakan dan jangan diminta-mintakan, biarlah berjalan apa adanya. 2 Inti dari tradisi Buka Luwur Sunan Kudus adalah untuk mengganti luwur yang menyelubungi makam Sunan Kudus, diiringi rangkaian upacara yang terangkum dalam rangkaian haul. Pemasangan luwur baru dilakukan pada puncak acara yaitu pada tanggal 10 Muharram bersamaan dengan pembagian nasi jangkrik. Nasi jangkrik adalah nasi dengan lauk daging dibungkus daun jati, nasi inilah yang banyak diyakini masyarakat dapat membawa berkah, hingga muncul istilah ngalap berkah yang identik dengan nasi jangkrik tersebut. Hal ini sekaligus menjadikan nasi jangkrik sebagai simbol visual dari tradisi Buka Luwur itu sendiri. Masyarakat selalu menantikan pembagian nasi jangkrik yang dilaksanakan tiap tahun pada puncak acara tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Peristiwa ngalap berkah tidak lepas dari persepi masyarakat terhadap nasi jangkrik tersebut. Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan seorang individu untuk memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dimana proses tersebut mempengaruhi perilaku individu. Di dalam proses persepsi, banyak rangsangan yang sampai pada individu melalui panca indera, namun semuanya tidak dipersepikan secara acak. Individu tersebut mengenali objek-objek secara spesifik dan kejadian-kejadian tertentu yang memiliki pola tertentu. Alasannya sederhana saja, karena persepsi individu adalah suatu proses aktif yang menuntut suatu tatanan dan makna atas berbagai rangsangan yang diterima. (Mulyana, 2008:183). Perilaku berlebihan timbul di masyarakat yang menyakini berkah dari nasi jangkrik tersebut. Selain langsung dimakan beberapa menjemur nasi jangkrik sampai kering kemudian disebarkan ke sawah-sawah atau ditumbuk halus dan dicampurkan pada beras milik mereka sendiri agar ikut mendapat berkah. Masyarakat juga percaya berkah dari nasi jangkrik dapat membawa rezeki, sehingga rela mengantri lama dan berdesak-desakan untuk mendapatkan nasi jangkrik tersebut. Pihak Yayasan Masjid, Menara & Makam Sunan Kudus (YM3SK) sendiri menyelenggarakan tradisi ini untuk menghormati ajaran-ajaran dari Sunan Kudus yaitu toleransi dalam beragama. Melalui media tradisi Buka Luwur Sunan Kudus pihak YM3SK melestarikan ajaran Sunan Kudus dalam toleransi yang salah 3 satunya berupa perintah untuk tidak menyembelih sapi sebagai bentuk penghormatan bagi masyarakat Kudus. Dimana dahulu mayoritas masyarakat Kudus beragama hindu, sehingga daging yang dipergunakan untuk nasi jangkrik berupa daging kerbau dan kambing. Sampai sekarang perintah itu masih dilestarikan sebagai bentuk penghormatan pada Sunan Kudus terbukti jarang ditemuinya penjual makanan dari daging sapi di kota Kudus. Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus juga sebagai media untuk mempererat ikatan dalam masyarakat. Nasi jangkrik yang merupakan nasi berkat dari penyelenggarakan haul Sunan Kudus dimaksudkan sebagai bentuk peduli terhadap sesama dan sebagai simbol kesejahteraan karena pembagian nasi tersebut diperuntukkan untuk semua orang tidak terbatas pada muslim saja tetapi untuk semua kalangan tanpa memandang latar belakang. Terjadinya fenomena ngalap berkah menunjukkan terjadinya perbedaan persepsi dalam proses komunikasi yang ada. Persepsi antara komunikator yaitu pihak Yayasan Masjid, Menara & Makam Sunan Kudus serta masyarakat Desa Kauman dan komunikan yaitu masyarakat Kudus yang mengikuti tradisi Buka Luwur Sunan Kudus terutama pada saat pembagian nasi jangkrik pada tahun 2014. Melalui pendekatan fenomenologi penulis ingin mengetahui persepsi yang berkembang di masyarakat terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus yakni nasi jangkrik sehingga fenomena ngalap berkah selalu terjadi tiap tahun pada saat tradisi Buka Luwur Sunan Kudus diselenggarakan. Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus? 2. Bagaimana persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus? 3. Bagaimana persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus? 4 4. Bagaimana persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. 2. Persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. 3. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap simbol visual pada fenomena tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. 4. Persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap simbol visual pada fenomena tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Telaah Pustaka a. Komunikasi Pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) maupun melalui media (Mulyana, 2008:67). Sementara menurut Gerald R. Miller komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Hal senada dikemukakan oleh Carl I. Hovland bahwa komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate/komunikan) (Mulyana, 2008:68). Dalam penelitian ini proses komunikasi berlangsung antara komunikator (YM3SK) kepada komunikan (masyarakat Kudus yang mengikuti tradisi Buka Luwur Sunan Kudus) yang terjadi di Kudus secara 5 tidak langsung melalui media saluran komunikasi tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Pesan yang ada dapat berupa seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud dari komunikator (Mulyana, 2008:70). Proses pemberian makna pada pesan tersebut terjadi ketika adanya kesepahaman/kesepakatan bersama pada simbol yang dimaksud, ketidakpahaman atas pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terkadang terjadi bukan karena gagalnya proses komunikasi tetapi dikarenakan komunikan tidak dapat mengartikan pesan tersebut. Hal ini dikarenakan komunikasi dipengaruhi juga oleh faktor internal dan eksternal seperti latar belakang sosial budaya, pendidikan, lingkungan, dan lain-lain yang membentuk seorang individu dalam membentuk persepsinya. b. Persepsi Persepsi menurut Jalaluddin Rakhmat adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2001:51). Sementara menurut Dedy Mulyana persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2008:180). Beberapa ahli dalam Mulyana (2008:180-181) mengemukakan definisi persepsi sebagai berikut: menurut Brian Fellows persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi; Bagi Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita; sedangkan menurut Joseph A. Devito persepsi adalah proses yang menjadikan kita sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Persepsi berkaitan dengan kemampuan berfikir seseorang, karena persepsi merupakan cara seseorang melihat sesuatu dan mengartikannya. Persepsi adalah proses masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia, 6 hubungan ini melalui pengindraan, atensi, dan interpretasi. Menurut Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken juga Judy C. Pearson and Paul E. Nelson dalam Mulyana (2008:181-182) menyebutkan bahwa persepsi terdiri dari tiga aktivitas yaitu seleksi, organisasi, dan interpretasi. Seleksi mencakup sensasi dan atensi, sedangkan interpretasi melekat pada organisasi. Proses persepsi dapat dijabarkan sebagai berikut (Mulyana, 2008:180-) Penerimaan rangsangan, individu menerima rangsangan melalui indera. Proses menyeleksi rangsangan, banyaknya rangsangan yang diterima individu diseleksi berdasarkan ketertarikan individu terhadap rangsangan tersebut. Proses pengorganisasian, rangsangan yang ada diorganisasikan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami untuk kemudian diproses. Proses penafsiran, pada proses ini dilakukan penafsiran pada rangsangan yang telah diseleksi untuk mendapatkan arti dan informasi. Proses pengecekan, dilakukan pengecekan kebenaran informasi tersebut. Proses reaksi, proses ini mengarah pada bagaimana seseorang akan beraksi terhadap informasi yang diperolehnya. Proses pemberian arti melalui perorganisasian dan penafsiran rangsangan akan mempengaruhi perilaku individu sebagai bentuk rangsangan yang diterima dari lingkungannya. Persepsi merupakan satu rangkaian aktivitas yang intergrated maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Maka dalam persepsi walau rangsangan yang diterima sama tetapi karena pengalaman, kemampuan berfikir, dan lain-lainnya tidak sama hasil persepsi yang dihasilkan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya (Walgito, 2002:46). Faktor lain yang menurut Jalaluddin Rakhmat yang sangat mempengaruhi persepsi adalah perhatian/attention. Perhatian terjadi ketika seseorang hanya berkonsentrasi pada salah satu indera dan mengesampingkan rangsangan yang masuk melalui indera lainnya (Rakhmat, 2001:52). Apa yang diperhatikan ditentukan oleh dua faktor yaitu: pertama faktor situasional atau penarik perhatian. Rangsangan yang ada diperhatikan karena mempunyai 7 sifat-sifat yang menonjol antara lain: gerakan, intensitas rangsangan, kebaruan, dan perulangan. Kedua faktor personal. Perhatian sifatnya selektif, seseorang cenderung mendengar apa yang ingin ia dengar atau melihat apa yang ingin ia lihat. Hal ini dipengaruhi oleh faktor biologis, sosiopsikologis, sikap, kebiasaan, dan kemauan seseorang. Persepsi terhadap manusia sering disebut dengan persepsi sosial yaitu proses menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam lingkungan. Setiap individu memiliki perbedaan gambaran mengenai realitas yang ada di sekitarnya, prinsip-prinsip yang mendasari terjadinya perbedaan tersebut antara lain (Mulyana, 2008:191-211): Persepsi berdasarkan pengalaman. Persepsi manusia dan reaksi terhadap seseorang, objek, atau kejadian yang dialami didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran masa lalu mereka berkaitan dengan seseorang, objek atau kejadian yang serupa. Persepsi bersifat selektif. Manusia seringkali menerima rangsangan secara bersamaan, sehingga dibutuhkan atensi sebagai faktor utama untuk selektif dalam memilih rangsangan yang dianggap penting. Persepsi bersifat dugaan. Seringkali rangsangan yang diterima oleh indra manusia tidak sepenuhnya dapat ditafsirkan sehingga informasi yang didapat tidak lengkap. Sehingga hasil persepsi didapat dari penarikan kesimpulan secara langsung. Persepsi bersifat evaluative. Kadangkala pesan yang telah ditafsirkan dianggap sebagai kebenaran, akan tetapi terkadang timbul keraguan seberapa dekat hasil persepsi dengan realitas yang ada karena alat indera dapat menipu. Untuk itu dibutuhkan evaluasi-evaluasi untuk mencapai hasil yang benar. Persepsi bersifat kontekstual. Dalam persepsi konteks, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Karena saat melihat seseorang, objek atau suatu kejadian konteks rangsangan sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan, dan juga persepsi yang dihasilkan. Persepsi individu terhadap realitas yang ada dipengaruhi oleh faktorfaktor internal seperti agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat 8 ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa. Dengan demikan persepsi terikat oleh budaya (culture-bond) bagaimana cara memaknai pesan, objek, atau lingkungan tergantung pada sistem nilai yang dianut. Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap realitas karena tidak ada dua orang yang memiliki nilai-nilai budaya yang persis sama, maka tidak ada pernah ada dua orang yang memiliki persepsi yang persis sama pula. Perbedaan persepsi juga timbul karena proses presepsi yang dipengaruhi oleh pengalaman, motivasi, pengharapan, atensi, dan termasuk faktor psikologi individu dalam memberikan makna pada rangsangan. Sehingga semakin besar perbedaan pada aspek-aspek tersebut semakin besar perbedaaan persepsi yang dihasilkan, hal ini berlaku pula pada gambaran realitas yang dilihat disekeliling individu. Kekeliruan dan kegagalan persepsi dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu (Mulyana, 2008:230-251): Kesalahan atribusi. Atribusi adalah proses internal dalam diri seseorang untuk memahami penyebab perilaku orang lain, dengan menggunakan berbagai sumber informasi. Kesalahan atribusi terjadi ketika pesan yang dimaksud oleh perilaku pembicara salah ditafsirkan. Efek halo. Kesalahan persepsi yang disebut efek halo merujuk pada fakta bahwa kesan menyeluruh pada seseorang cenderung menimbulkan efek kuat atas penilaian dari orang lain. Kesan menyeluruh tersebut sering didapat dari kesan pertama yang biasanya pengaruhnya kuat dan sulit digoyahkan. Stereotipe. Komunikasi menjadi sulit ketika terjadi penstereotipan yaitu menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan informasi yang sedikit dan membentuk asumsi mengenai orang lain berdasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok. Stereotipe umumnya bersifat negatif karena menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu yang ada. Prasangka/prejudice. Prasangka adalah suatu kekeliruan terhadap orang yang berbeda, konsepnya hampir sama dengan stereotipe. Prasangka 9 juga merupakan suatu sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Gegar budaya. Gegar budaya terjadi ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru. Gegar budaya merupakan bentuk benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang dipelajari oleh seseorang dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Presepsi dalam proses komunikasi merupakan inti komunikasi dan memiliki peran penting agar suatu komunikasi dapat efektif. Dipilihnya atau diabaikannya sebuah pesan juga ditentukan oleh persepsi. Sehingga dalam penelitian ini persepsi memiliki peran penting, peneliti mengumpulkan data berupa persepsi didasarkan pada latar belakang pengalaman, psikologis, dan budaya dari narasumber yang berbeda-beda. Metodologi Penelitian Persepsi Masyarakat Kudus Terhadap Simbol Visual Pada Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus menggunakan paradigma penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dihasilkan berupa data kualitatif yang didapatkan melalui wawancara narasumber dan observasi. Pendekatan fenomenologi cenderung menggunakan observasi dan wawancara mendalam dalam mendapatkan data. Littlejohn dalam Pawito (2008:54) mengatakan bahwa fenomenologi sebagai suatu gerakan dalam berfikir, fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena kesadaran ingin mengetahui. Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian dipahami secara sadar (councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang aktual sebagai data tentang realitas yang dipelajari. Kata gejala (phenomenon yang bentuk jamaknya adalah phenomena) merupakan istilah fenomenologi dibentuk, diartikan sebagai suatu tampilan dari objek, 10 kejadian, atau kondisi-kondisi menurut persepsi. Fenomenologi juga berupaya untuk mengungkapkan makna dari pengalaman seseorang tentang sesuatu yang dialaminya. Makna yang dihasilkan tergantung bagaimana hubungan antara orang tersebut dengan apa yang dialaminya. Pada dasarnya fenomenologi menggali dua dimensi yaitu apa yang dialami oleh subjek (yang diteliti) dan bagaimana subjek tersebut memaknai pengalaman tersebut. (O.Hasbiansyah, 2008:166-167). Berdasarkan hal itu peneliti menyakini bahwa dalam pelaksanaan tradisi Buka Luwur Sunan Kudus yang mengandung fenomena nasi jangkrik merupakan gejala/kejadian yang dipahami oleh pengalaman masyarakat secara sadar akibat dari adanya proses komunikasi dan interpretasi pesan. Persepsi dihimpun dari masyarakat yang mengikuti tradisi Buka Luwur terutama ikut saat pembagian nasi jangkrik sebagai komunikan. Sementara untuk pembanding dikumpulkan persepi dari pihak yayasan YM3SK sebagai komunikator. Sajian dan Analisis Data Berdasarkan data-data yang telah diolah mengenai persepsi masyarakat Kudus terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus yaitu nasi jangkrik, terdapat kegagalan penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda dalam memaknai sehingga menimbulkan fenomena ngalap berkah pada nasi jangkrik. Berikut ini persepsi yang berkembang dalam masyarakat Kudus: a. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Sebagai komunikator sekaligus penyelenggara tradisi Buka Luwur Sunan Kudus bagi pihak YM3SK serta masyarakat Desa Kauman tradisi ini memiliki makna tersendiri, antara lain yaitu: 1) Sebagai bentuk penghormatan dan mengenang jasa Sunan Kudus Pihak YM3SK serta masyarakat Desa Kauman melaksanakan tradisi Buka Luwur sebagai sebagai bentuk aplikasi dari ajaran Sunan Kudus yang aktif berbuat baik untuk kemaslahatan umat, dengan tidak mementingkan diri sendiri, ikhlas dalam hal tolong-menolong, suka berderma, dan hidup 11 rukun. Salah satu bentuknya untuk semua bahan yang digunakan dalam tradisi Buka Luwur Sunan Kudus merupakan sumbangan dari masyarakat. “Ya macam-macam, karena dari panitia sendiri tidak boleh meminta sumbangan ke masyarakat jadi ya masyarakat mau nyumbang dalam bentuk apa saja ya kami terima. Ada kerbau, kambing, ayam, beras, gula, kecap, kain, dan masih banyak. Pernah ada yang ngasih pisang dan kelapa. Bahkan untuk tenaga rewang ya dari nyembelih, masak, mbungkusi, bikin luwur semuanya sukarela ga ada yang dibayar.” (Denny, wawancara pada 24 Oktober 2014, di kantor YM3SK). Pihak panitia menerima apa saja dari masyarakat yang ingin menyumbang, tidak terbatas pada kaum muslim saja, non muslim yang ingin menyumbang juga diperbolehkan. Seperti yang dituturkan oleh Nur Said (2010) bahwa tradisi Buka Luwur Sunan Kudus ternyata mampu menjadi media pembauran antara muslim sebagai representatif etnis Jawa yang mayoritas dan non-muslim, sebagai representatif etnis Cina yang minoritas. Hal ini sesuai dengan ajaran Sunan Kudus dalam toleransi beragama sehingga dapat rukun hidup secara berdampingan. 2) Tradisi Buka Luwur adalah sarana haul untuk Sunan Kudus Tradisi Buka Luwur hanyalah istilah yang pada hakekatnya adalah peringatan haul Sunan Kudus. Istilah Buka Luwur sendiri berasal dari buka yaitu membuka/mengganti, luwur yaitu kelambu/kain mori. Maksudnya adalah membuka/mengganti kelambu/kain mori dalam hal ini kain yang menyelubungi makam Sunan Kudus. Penggantian kain mori inilah yang dinamakan Buka Luwur. “Untuk memperingati wafatnya Sunan Kudus, maka dibuat acara Buka Luwur ini. Tetapi sampai sekarang hari atau tanggal wafatnya belum diketahui. Karena itu supaya masyarakat ndak beranggapan tanggal 10 Muharram itu hari wafatnya Sunan Kudus maka dikemas dalam bentuk Buka Luwur ini.” (Nur, wawancara pada 6 November 2014 di tempat kerja narasumber) Tidak digunakannya istilah haul juga karena dikhawatirkan masyarakat akan mengganggap tanggal 10 Muharram sebagai hari wafatnya Sunan 12 Kudus. Sementara istilah Muharram tetap dipakai, karena merupakan kalender Islam sementara Suro identik dengan Jawa, Muharram dalam Islam dinamakan asyuro yang mempunyai arti sepuluh, sehingga dipakailah tanggal 10 Muharram. “Buka Luwur itu sebenarnya untuk memperingati wafatnya Sunan Kudus, tapi karena memang tidak diketahui secara pasti kapan wafatnya maka dikemas dalam bentuk Buka Luwur ini, supaya masyarakat tidak salah kaprah menganggap tanggal 10 Syuro sebagai hari wafatnya Sunan Kudus.” (Denny, wawancara pada 24 Oktober 2014, di kantor YM3SK). 3) Pelaksanaan tradisi Buka Luwur sebagai suatu kewajiban Buka Luwur Sunan Kudus telah dilaksanakan turun temurun sejak dahulu dan menjadi tradisi yang terjaga sampai sekarang. Penyampaian tradisi Buka Luwur pada generasi muda dimulai ketika masih anak-anak. Mereka dibiasakan untuk mengikuti proses tradisi yang ada antara lain berziarah ke makam, pengajian, maupun ikut membantu orang tua mereka. Sehingga mereka mengetahui dan sekaligus menjadi kebiasaan yang mereka lakukan sampai dewasa. “Klo masalah penyampaian, warga sini tahu dengan sendirinya. Karena sejak kecil kayak anak laki-laki sudah sejak tanggal 1 sampai 10 Muharram sudah diajak ke makam jadi yah sedikitnya sudah tahu. Klo anak perempuan biasanya ikut ibunya rewang.” (Nur, wawancara pada 6 November 2014, di tempat kerja narasumber). Hal ini memungkinkan terjaganya pelaksanaan tradisi Buka Luwur Sunan Kudus sesuai dengan aturan seperti pihak panitia penyelenggara tidak diperbolehkan secara sengaja meminta sumbangan. Dana atau bahan yang digunakan harus diperoleh dari sumbangan sukarela dari masyarakat tanpa paksaan. “Ya memang sukarela, ga ada kok panitia minta sumbangan ke masyarakat, itu ga boleh. Sudah dari dulu ada aturannya kalau Buka Luwur itu dilakukan apa adanya, tidak diada-adakan. Ya seadanya sumbangan yang 13 ada, banyak sedikitnya itu yang dipakai.” (Denny, wawancara pada 24 Oktober 2014, di kantor YM3SK). Banyaknya jumlah sumbangan menggambarkan antusias masyarakat dalam pelaksanaan tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Sekaligus menjadikan tradisi Buka Luwur Sunan Kudus sebagai tradisi milik publik serta aktulisasi solidaritas sosial umat Islam di Kudus terwujud dengan tanpa memandang keyakinan etnis maupun latar belakang budaya. b. Persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Tradisi Buka Luwur sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu, sehingga kebanyakan dari masyarakat tidak tahu secara pasti mengenai asal mulanya tradisi dari Buka Luwur. Tradisi Buka Luwur dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai peringatan haul Sunan Kudus yang setiap tahun diadakan. Perlu diketahui bahwa acara tersebut dinamai Buka Luwur bukan haul Sunan Kudus, dikarenakan kekhawatiran akan pemikiran masyarakat bahwa hari wafatnya Sunan Kudus adalah tanggal 1 Muharram. Padahal hari wafatnya dari Sunan Kudus tidak diketahui pastinya. “Buka Luwur geh acara mengeti khoul Kanjeng Sunan Kudus. Amargi mboten ngertos tanggale Kanjeng Sunan Kudus tinggal geh tradisi niki dipun wontenake saben tanggal 1 Muharram ngantos tanggal 10 Muharram.” (Slamet, wawancara pada 3 November 2014, di area Menara Kudus). c. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus pembagian nasi jangkrik selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, sehingga menjadikan nasi jangkrik tersebut simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus. Berikut persepsi komunikator terhadap nasi jangkrik sebagai simbol visual dari tradisi tersebut: 14 1) Nasi jangkrik sebagai simbol kesejahteraan H. Em. Nadjib Hassan Ketua YM3SK mengungkapkan tradisi Buka Luwur dengan membagi-bagikan nasi jangkrik tersebut sudah berlangsung ratusan tahun silam dan disimbolkan sebagai kesejahteraan masyarakat. Simbol Nasi dalam nasi jangkrik menurutnya dimaknai sebagai pangan, dan daun jati yang digunakan sebagai pembungkus nasi, dimaknai sebagai sandang. (Budiyanto dkk, 2012:43). Simbolisasi ini merupakan kepercayaan masyarakat Kudus dan sekitarnya, yang sudah berlangsung sejak dulu. Jika nasi yang dibagikan cukup untuk dibagikan kepada masyarakat yang datang dipercaya dalam setahun kedepan masyarakat tidak akan kekurangan bahan makanan. Dan jika daun jati yang ada cukup untuk dibuat pembungkus nasi, hal itu dipercaya, dalam satu tahun ke depan, masyarakat tidak akan kekurangan sandang atau pakaian. “Tapi ya ada yang percaya kalau daun jati yang dibuat mbungkus nasi itu lebih tahun itu sandang pangan di Kudus murah sebaliknya kalau kurang berarti mahal.”(Denny, wawancara pada 24 Oktober 2014, di kantor YM3SK). 2) Pembagian nasi jangkrik sebagai sedekah Bagi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman nasi jangkrik yang dibagikan merupakan bentuk sedekah dalam rangkaian haul yang pahalanya ditunjukkan kepada Sunan Kudus karena inti dari haul adalah berdoa dan bersedekah. Falsafah pembagian nasi jangkrik menurut penjelasan H. Em. Nadjib Hassan Ketua YM3SK dalam Budiyanto dkk (2012:21) adalah untuk membangun semangat berbagi kepada sesama manusia terutama kepada masyarakat yang membutuhkan. Berkat berupa nasi jangkrik dibagikan untuk berbagai kalangan, baik muslim maupun non-muslim. “Boleh itu kan memang bancaannya Sunan Kudus, jadi semua masyarakat yang mau ya dipersilahkan untuk mengambil, baik muslim atau non muslim.” (Denny, wawancara pada 24 Oktober 2014, di kantor YM3SK). 15 Semua agama tidak hanya Islam menganjurkan umatnya untuk berbagi, bentuknya dapat berupa apa saja tidak terbatas pada materi. Dengan berbagi seseorang dapat merasakan kepuasan batin, menimbulkan rasa tenang dan senang karena merasa telah melakukan hal yang benar dengan berbagi. d. Persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Simbol visual dalam tradisi Buka Luwur Sunan Kudus berupa nasi jangkrik memunculkan banyak presepsi pada masyarakat Kudus. Mereka beranggapan bahwa nasi jangkrik yang dibagikan pada masyarakat bisa membawa keberkahan. Sebagian masyarakat Kudus menyakini bahwa Sunan Kudus walaupun sudah wafat tetap mempunyai karomah, sehingga apa-apa yang berhubungan dengan Sunan Kudus mempunyai kekuatan magis yang dapat membawa keberkahan. Berkah inilah yang memunculkan fenomena ngalap berkah pada tradisi Buka Luwur yang sangat identik ketika pembagian nasi jangkrik. Berkah yang dimaksudkan berbeda-beda tergantung dari keyakinan terhadap nasi jangkrik tersebut. 1) Nasi jangkrik dapat menyuburkan tanaman Bagi sebagian masyarakat Kudus menyakini bahwa nasi jangkrik yang dibagikan dapat menyuburkan tanaman sehingga hasil panen dapat melimpah. Nasi yang didapat kemudian dikeringkan lalu selanjutnya disebar di sawah-sawah atau kebun dengan harapan membawa berkah dengan bentuk hasil panen yang banyak. “Ingkang kalih wau ajeng kula peme, kula garingke mbak kersane awet mbak. Ajeng kulo sebar ting sabin, kersane berkah panene tahun niki kathah malih.” (Eko, wawancara 3 November 2014, di area Menara Kudus). 2) Nasi jangkrik dapat menyembuhkan penyakit Persepsi berbeda ditunjukkan oleh masyarakat Kudus yang mempercayai bahwa nasi jangkrik dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Nasi 16 jangkrik yang didapat biasanya dikeringkan lalu ditumbuk untuk kemudian diminum. “Niku lho mbak tahun wingi niku kan kulo gerah, pun berobat teng pundi-pundi telas arto kathah ananging dereng kasil, lha tanggi kulo niku nuweni kulo kalih beto sego jangkrik ingkang sampun di tumbuk ,mature kangge campuran jamu. lha kulo ombe, kok ting awak kepenak. Mila kanggene kulo sego jangkrik niku saget kangge tombo.” (Sunarti, wawancara pada 3 November 2014, di area Menara Kudus). Selain dapat menyembuhkan masyarakat menyakini bahwa dengan memakan nasi jangkrik tersebut dapat membawa berkah dalam bentuk kesehatan. Bahkan ada anggapan apabila nasi jangkrik tersebut langsung dimakan ditempat berkah yang didapat akan lebih besar. “Neg kanggone aku yo mbak, sego jangkrik mau bar entuk langsung tak pangan ning kono. Ben berkahe langsung tak rasakna, kanggo awaku ben sehat ora gampang lara, maklum mbak tukang ojek, akeh kena angin lan gampang kesel.” (Slamet, wawancara pada 3 November 2014, di area Menara Kudus). 3) Nasi jangkrik dapat memberikan rezeki Nasi jangkrik juga dimaknai bisa membawa berkah dalam bentuk pelancar rezeki. Beberapa masyarakat Kudus menyakini bahwa dengan memakan nasi jangkrik dapat membawa keberkahan berupa kelancaran dalam berdagang. “Alhamdulillah lumayan mbak rejekine, kula nyambut damel dagang teng mriki mula pikantuk rejekinipiun geh saking mriki. Nek wonten acara ngeten niki kan sing dateng ting kudus kathah mbak, dadose makam Sunan Kudus mboten nate sepi.” (Noor, wawancara pada 3 November 2014, di area Menara Kudus). Beberapa masyarakat juga memanfaatkan pembagian nasi jangkrik sebagai kesempatan untuk memperoleh rezeki yaitu dengan cara menjual nasi jangkrik yang didapat kepada orang yang menginginkannya tetapi tidak mau repot mengantri. Harga yang dipatok untuk satu bungkus nasi jangkrik sekitar 20-30 ribu rupiah. 17 “Lha iku podo wae golek berkah rejeki, sebab sego jangkrik mau iso tak dol karo wong liya payu 20000 ewu lumayan mbak. Marang wong sing kepengen sega jangkrik tapi wegah antri.” (Sakiran, wawancara pada 3 November 2014, di area Menara Kudus). Berkah rezeki juga secara tidak langsung didapatkan oleh masyarakat sekitar dari pembagian nasi jangkrik tersebut. Antara lain warung-warung yang menjual makanan, kios cinderamata, dan tukang parkir dadakan. Kesimpulan 1. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus merupakan tradisi yang turun temurun yang dilaksanakan sebagai bentuk haul Sunan Kudus. Sekaligus sebagai sarana untuk menghormati dan meneladani ajaran Sunan Kudus Istilah Buka Luwur digunakan agar masyarakat tidak salah mengira tanggal 10 Muharram sebagai tanggal wafatnya Sunan Kudus. Dalam pelaksanaan tradisi Buka Luwur masih dipertahankan aturan turun temurun yaitu untuk penyelenggaraan panitia tidak boleh meminta sumbangan. 2. Persepsi Masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Bagi masyarakat Kudus tradisi Buka Luwur Sunan Kudus adalah istilah untuk memperingati haul Sunan Kudus yang dilakukan secara turun-temurun dan masih dilestarikan sampai sekarang. Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus juga diidentikan dengan pembagian nasi jangkrik pada tanggal 10 Muharram. 3. Persepsi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Tradisi Buka Luwur Sunan Kudus merupakan bentuk haul Sunan Kudus. Subtansi dari haul adalah berdoa dan bersedekah. Bagi YM3SK serta masyarakat Desa Kauman nasi jangkrik sebagai simbol visual dalam tradisi Buka Luwur Sunan Kudus merupakan bentuk sedekah dari Sunan Kudus kepada masyarakat Kudus yang pahalanya ditunjukkan untuk Sunan Kudus. 18 Tidak ada pesan ngalap berkah bahwa nasi jangkrik dapat membawa berkah bagi siapa yang memakan atau memanfaatkannya dengan cara lain. 4. Persepsi masyarakat Kudus sebagai komunikan terhadap simbol visual pada tradisi Buka Luwur Sunan Kudus Masyarakat Kudus menganggap bahwa nasi jangkrik memiliki berkah yang didapatkan dari Sunan Kudus yang merupakan walisongo yang diyakini masih mempunyai karomah walaupun setelah wafat. Berkah menurut masyarakat antara lain dapat menyembuhkan penyakit, menyuburkan tanaman, dan dapat memberikan tambahan rezeki. Terjadinya fenomena ngalap berkah disebabkan adanya kepercayaan bahwa apa-apa yang berhubungan dengan Sunan Kudus dapat membawa berkah. Kepercayaan tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan didukung oleh pengalaman dari masyarakat yang menyakini hal tersebut. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada persepsi masyarakat Kudus maka penulis dapat memberikan saran yang mungkin dapat berguna. 1. Untuk pihak YM3SK serta masyarakat Desa Kauman sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan diperlukan adanya sosialisasi yang lebih mengena terkait dengan persepsi yang timbul pada pembagian nasi jangkrik sehingga tidak bias dari tujuan awal dilaksanakannya tradisi Buka Luwur Sunan Kudus tersebut. 2. Untuk masyarakat Kudus yang mengikuti tradisi Buka Luwur Sunan Kudus sebagai komunikan hendaknya menyadari bahwa pembagian nasi jangkrik sebagai simbol visual dalam tradisi Buka Luwur Sunan Kudus memiliki makna yang lebih mendalam serta perlu adanya kesadaran dari masyarakat Kudus dalam mengikuti tradisi Buka Luwur untuk dapat tertib, patuh terhadap aturan dan saling menghormati. 3. Untuk Pemerintah Kota Kudus pelaksanaan tradisi Buka Luwur Sunan Kudus memberikan dampak pada Kota Kudus. Sebagai bentuk mengatasi dampak yang mucul diperlukan peran dari Pemerintah Kota Kudus. Pengalihan jalan 19 untuk mengurai kemacetan, serta pengamanan untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal juga perlu dilakukan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat Kota Kudus. Daftar Pustaka Ary Budiyanto, Maesah Anggni. (2012). Buka Luwur Kanjeng Sunan Kudus; Karamah Penuh Barakah. Kudus: Yayasan Masjid Menara & Makam Sunan Kudus. Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. O.Hasbiansyah. (2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. Mediator Vol 9, No. 1, Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005. Olaolu Amodu, Lanre. (2006). Perception: A Determinant for Effective Communication. Sophia: An African Journal of Philosophy. ISSN 1119443X Vol 9, No. 1, page 148-153, Department of Mass Communication, Covenant University, Nigeria. Pawito, Ph.D. (2008). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. POPESCU, Manoela. (2012). Psychology of Communication – Between Myth and Reality. ISSN 2225-8329 Vol. 2, Special Issue 2, Dimitrie Cantemir Christian University Bucharest, Romania. Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Said, Nur. (2010). Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Brillian Media Utama. Sunyoto, Agus. (2012). Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah. Depok: Pustaka IIMaN. Sutopo, H. B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Uyovwirume OFUAFO, Philomina. (2013). Art Symbols As Means Of Communicating Religious Concepts In Urhobo Traditional Society. The Journal of International Social Research. ISSN: 1307-9581 Vol. 6, Issue 27, Department Art, University of Lagos, Nigeria. Walgito, Bimo. (2002). Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi offset. 20