BAB II KENAIKAN PERMUKAAN AIR LAUT DAN IMPLIKASINYA

advertisement
BAB II
KENAIKAN PERMUKAAN AIR LAUT DAN IMPLIKASINYA BAGI
KIRIBATI
II.1.
Kenaikan Permukaan Air Laut (Sea Level Rise)
Isu lingkungan bukanlah sebuah isu baru dalam kajian Hubungan
Internasional kontemporer. Pasca konferensi The United Nation Conference on the
Human Environment di Stockholm tahun 1972, isu lingkungan menjadi salah satu isu
penting bagi negara-negara di dunia. Pembahasan isu lingkungan kemudian ditandai
dengan terbentuknya The United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Tahun 1997
sebuah pertemuan tingkat tinggi membahas isu lingkungan di Tokyo dan
menghasilkan Protokol Kyoto yang mengikat negara-negara yang meratifikasi untuk
mengurangi dan menjaga emisi gas karbon di masing-masing negara. Salah satu isu
lingkungan yang menjadi topik penting ialah kenaikan permukaan air laut (sea level
rise). Kenaikan permukaan air laut telah dibahas dalam Intergovermental Panel on
Climate Change 1990 (IPCC) Report Working Group II sebagai:
Global warming as a result of increased concentrations of
Green House Gasses is likely to cause an acceleration of the
slow sea-level rise already in progress. This expected
acceleration will be the consequence of thermal expansion of
oceanic surface layers and melting of glaciers and polar
icecaps.
20
21
Definisi diatas menyatakan bahwa pemanasan global yang berasal dari
meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan percepatan kenaikan
permukaan air laut. Selain itu percepatan pemuaian dari permukaan lapisan lautan
dan pencairan glasier serta es yang berada di kutub telah memicu percepatan
kenaikan permukaan air laut (Organization W. M., 2013). Hasil penelitian ilmuan
yang tergabung dalam IPCC telah menunjukkan bahwa suhu planet Bumi telah
meningkat sebesar 0.6o celcius. Peningkatan sebesar ini mungkin terlihat tidak begitu
signifikan jika dibandingkan dengan peningkatan suhu cuaca harian yang tidak
banyak memberikan pengaruh terhadap bumi (IPCC, 1990). Namun peningkatan
suhu sebesar 0.6
telah memicu pencairan es di permukaan bumi dan air dari
hasil pencairan telah memicu naiknya permukaan air laut. Kenaikan permukaan
memberikan dampak buruk terutama terhadap negara-negara kecil yang terdiri dari
kepulauan berdataran rendah seperti di Samudera Pasifik.
Para peneliti mengukur kecepatan kenaikan permukaan air laut sebesar 3.2
milimeter pertahun, dan angka tersebut meningkat dua kali lipat dari hasil penelitian
satu abad yang lalu, yang mana kenaikannya hanya sebesar 1.6 milimeter. Dampak
kenaikan permukaan air laut ini telah menyebabkan tinggi air laut 20 cm lebih tinggi
dari satu dekade yang lalu. Tinggi permukaan air laut akan terus meningkat selama
abad ke 21, bahkan diproyeksikan akan meningkat hingga 25-58 cm (Mansbach,
2012). Kenaikan permukaan air laut yang bertambah ini mungkin terlihat kecil,
namun kenaikan ini dapat menyebabkan kerusakan bagi ekosistem dan wilayah yang
22
terletak didekat pesisir pantai. Sebagin besar negara-negara di dunia rentan terhadap
kenaikan permukaan air laut karena kurang dari 30 negara tidak memiliki laut atau
tidak berbatasan dengan
laut (IPCC, 2013). Jika permukaan air laut meningkat
sekitar 1.5 meter maka lebih dari 50 juta orang diprediksi terpaksa harus mengungsi.
Prdiksi tersebut menjadi ancaram terutama bagi seluruh penduduk Kiribati (O’Brien,
2013).
Kerusakan akibat kenaikan air laut sudah sangat dirasakan oleh penduduk
Kiribati yang sebagian besar tinggal didaerah pesisir. Sebagian besar pusat aktifitas
Kiribati berada di daerah pesisir terutama bagi pulau-pulau berdataran rendah.
Kenaikan permukaan air laut menimbulkan kerusakan terhadap infrastruktur serta
lahan pertanian masyarakat yang terdapat di daerah pesisir. Kerusakan ini memicu
timbulnya perpindahan penduduk untuk mencari tempat yang lebih memadai dan
aman dari ancaman kerusakan lingkungan yang lebih parah. Selain itu kenaikan
permukaan air laut juga memicu penurunan kualitas air tanah, karena pada saat timbul
erosi dan banjir air laut masuk ke tanah dan mencemari cadangan air tanah yang
sangat penting bagi penduduk Kiribati. Kenaikan permukaan air laut ini juga telah
merusak ekosistem di pesisir dan ekosistem terumbu karang di Kiribati (Environment
and Conservation Division Ministry of Environment, 2007).
II.2
Dampak Sea Level Rise di Kiribati
Republik Kiribati merupakan sebuah negara kepulauan di Pasifik Selatan.
Luas wilayah Kiribati keseluruhan mencapai 5 juta km2 dengan luas wilayah daratan
23
hanya 800 km2 (Thavat, 2014). Oleh karena itu Kiribati memiliki wilayah laut yang
sangat luas. Kiribati memiliki oleh Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 3.5 Juta km2
(Bank A. D., 2009). Kiribati terdiri dari 33 pulau berdataran rendah atau yang biasa
disebut dengan atol, yang mana 21 pulaunya berpenghuni, sementara 12 sisanya tidak
berpenghuni karena terbatasnya ketersediaan air bersih. Pulau-pulau di Kiribati
merupakan pulau yang relatif kecil, sebagian besar pulau di Kiribati luasnya tidak
lebih dari dua kilometer. Titik tertinggi datarannya hanya 3-4 meter diatas permukaan
laut (Organization W. H., 2012). Sebagian besar wilayah Kiribati merupakan daerah
pesisir berdataran rendah. Seluruh pulau di Kiribati terbagi menjadi tiga kelompok
kepulauan yaitu: Gilberts, Line dan Phoenix (Kiribati, 2007).
Jumlah penduduk Kiribati pada tahun 2012 berjumlah 103.038 jiwa dengan
tingkat pertumbuhan 1.7% per tahun. Setengah dari populasi Kiribati tinggal di
Ibukota Kiribati, Tarawa (Affairs, 2012). Meskipun wilayah Kiribati terdiri dari
kepulauan yang tersebar letaknya, sekitar 40.311 orang
penduduk Kiribati atau
sekitar 43.6 persen tinggal di Kota Tarawa Selatan di tahun 2005. Data tersebut
menunjukkan populasi di Tarawa Selatan sangat padat, bahkan mengalami kelebihan
populasi. Sementara 46.8 persen penduduk Kiribati lainnya tinggal di luar Kepulauan
Gilberts (Bank, 2009). Pembangunan yang lambat di luar pulau Tarawa menyebabkan
banyak penduduk pindah ke Tarawa untuk memperoleh fasilitas kesehatan,
pendidikan dan pekerjaan (O’Brien, 2013).
Kiribati memiliki jumlah populasi penduduk usia muda yang sangat tinggi,
yaitu sekitar 53.5 persen dari seluruh penduduk Kiribati rata-rata berusia 23-24 tahun.
24
Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan
pekerjaan memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kirbati dalam
pembangunan ekonominya. Setiap tahun penduduk Kiribati yang mencari pekerjaan
sebanyak 2.000 orang, namun hanya sekitar 500 orang dari jumlah ini yang
memperoleh pekerjaan (Kidd, 2012). Sebagian besar penduduk di Tarawa merupakan
penduduk usia kerja, namun ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas. Asian
Development Bank (2009) menyebutkan bahwa dari 40.000 orang pencari kerja
hanya 30% yang memperoleh pekerjaan. Sementara penduduk yang tidak bekerja
bergantung kepada keluarga mereka yang memiliki pekerjaan atau remitansi dari
keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Terbatasnya ketersediaan lapangan
pekerjaan dalam negeri menyebabkan bekerja diluar negeri menjadi pilihan bagi
sebagian besar penduduk Kiribati.
Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2009, Gross
Domestic Product (GDP) Kiribati sebesar USD 60 juta pada tahun 2006, ini
menjadikan GDP Kiribati sebagai yang terendah di wilayah Pasifik. Sumber
pendapatan Kiribati berasal dari remitansi yang dikirim oleh Warga Negara Kiribati
yang bekerja di luar negeri. Sumber pendapatan lainnya berasal dari pembayaran
lisensi penangkapan ikan, ekspor produk laut dan kopra dan National Trust Fund
yang diakumulasi dalam investasi selama bertahun-tahun. ZEE Kiribati yang luas
menjadi sumber pendapatan yang sangat penting bagi Kiribati karena pemerintah
dapat menjual lisensi penangkapan ikan bagi kapal asing. Selain itu bantuan luar
25
negeri juga memberi sumbangan yang cukup besar bagi pendapatan Kiribati (Chung,
2005).
Sebanyak 66 persen penduduk Kiribati merupakan penduduk yang tidak
mampu dan rentan terhadap kemiskinan menurut survei yang dilakukan oleh The
2007 Household Income and Expenditure Survey (Tokamauea, 2014). Meskipun
standar hidup di Kiribati terus meningkat, namun indikator sosial menunjukkan
bahwa Kiribati masih tergolong miskin berdasarkan standar di wilayah Pasifik
(Kiribati, 2010). Tingkat kemiskinan penduduk di Tarawa lebih tinggi dari rata–rata
nasional di Kiribati. Sebanyak 24 persen penduduk di Tarawa tergolong penduduk
miskin (Tokamauea, 2014). Menurut ADB (2007) hal ini disebabkan oleh kebutuhan
akan uang yang lebih tinggi di Tarawa daripada daerah di Kiribati. Survei yang
dilakukan pada tahun 2001 memperlihatkan sebanyak 52 persen rumah tangga di
Kiribati tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari
(Tokamauea, 2014). Tingginya tingkat kemiskinaan penduduk di Kiribati berkaitan
erat dengan perekonomian Kiribati yang terbatas karena rendahnya sumber daya yang
dimiliki Kiribati.
Rendahnya tingkat keterampilan penduduk Kiribati juga menjadi alasan lain
perkembangan ekonomi di Kiribati yang rendah. ADB (2007) berpendapat bahwa
kurangnya keterampilan telah membatasi penduduk Kiribati dalam memperoleh
pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri. Jika dibandingkan dengan negara
Pasifik lainnya, kemampuan Bahasa Inggris penduduk Kiribati berada paling bawah.
Hanya 12–14 persen siswa Kiribati yang lulus tes kemampuan bahasa Inggris di
26
University of South Pacific, sedangkan negara-negara di Pasifik lainnya, siswa yang
lulus tes Bahasa Inggris rata–rata berkisar antara 52 hingga 54 persen dari seluruh
peserta yang ikut (Kidd, 2012). Beberapa alasan mengapa tingkat keterampilan dan
kemampuan siswa di Kiribati rendah diantaranya ialah banyak siswa yang putus
sekolah saat masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama, kualitas
guru–guru yang kurang memadai (Chung, 2005), fasilitas sekolah yang banyak rusak
dan perlu diperbaiki, dan persebaran fasillitas pendidikan di Kiribati yang kurang
merata sehingga menyebabkan banyak penduduk di luar Tarawa kesulitan untuk
memperoleh layanan pendidikan. Layanan pendidikan dasar dan menengah tersebar
di ketiga kelompok kepulauan Gilbert, Line dan Phoenix, namun untuk pendidikan
yang lebih tinggi serta pusat pelatihan keterampilan hanya terdapat di Tarawa
(O’Brien, 2013).
Pulau Tarawa merupakan pusat pemerintahan, serta pusat kegiatan
perekonomian Kiribati. Bandara internasional dan pelabuhan untuk masuk ke Kiribati
berada di pulau ini. Ibu kota negara, Bairiki juga berada di Pulau Tarawa Hal ini
menyebabkan banyak penduduk Kiribati dari luar pulau Tarawa untuk pindah ke
Tarawa. Arus urbanisasi tersebut menyebabkan kepadatan penduduk sehingga
memicu munculnya berbagai masalah sosial (O’Brien, 2013). Terdapat perbedaan
yang signifikan diantara penduduk yang tinggal di Tarawa dan diluar Tarawa.
Penduduk yang tinggal di Tarawa lebih banyak yang bekerja di sektor publik,
sementara penduduk yang tinggal di luar Tarawa lebih banyak bekerja di sektor
pertanian.
Sektor
pertanian
di
Tarawa
tidak
begitu
berkembang
karena
27
ketidaktersediaan lahan pertanian yang mana sebagian besar lahan lebih banyak
digunakan sebagai pemukiman penduduk karena padatnya populasi di Tarawa.
Perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut memberikan efek yang berbeda–
beda pada setiap negara di permukaan bumi. Bagi negara kepulauan berdataran
rendah terutama Kiribati kenaikan permukaan air laut telah memberikan efek yang
sangat luas bagi penduduk Kiribati.
II.2.1 Dampak Sosial
Sebagian besar mata pencaharian penduduk di luar pulau Tarawa bergantung
terhadap alam. Penduduk menggantungkan hidup dari hasil laut, perkebunan kelapa,
pandan, talas, sukun dan pisang (Kiribati, 2007). Kerusakan lingkungan yang dipicu
oleh kenaikan air laut telah mengakibatkan penurunan produktifitas lahan pertanian
Kiribati sehingga mengancam ketersediaan kebutuhan hidup penduduk, kenaikan
permukaan air laut selain berakibat buruk bagi lingkungan di Kiribati juga
memberikan efek buruk terhadap penduduk. Kenaikan permukaan air laut telah
menimbulkan efek yang jauh lebih buruk terhadap Kiribati, daripada efek yang
ditimbulkan terhadap negara lain di dunia.
The Commonwealth Vulnerability Index (2000) melaksanakan pengujian
kerentanan negara berkembang terhadap gangguan ekonomi dan lingkungan,
menempatkan Kiribati sebagai salah satu dari lima negara yang paling rentan di dunia
(Atkins, 2000). World Bank juga telah menempatkan Kiribati sebagai negara yang
paling rentan terhadap efek perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut (Bank,
28
2000). Dataran di Kiribati yang rendah membuat negara ini sangat rentan terhadap
banjir di daerah pesisir, gelombang badai dan kekeringan. Jika langkah adaptasi yang
tepat tidak segera diambil maka pulau-pulau Kiribati akan segera tenggelam. The
Australia National Tidal Centre melaporkan bahwa rata–rata ketinggian air laut di
Kiribati telah meningkat sebanyak 3.7 milimeter setiap tahunnya sejak tahun 1992
(Kiribati, 2014). Kenaikan permukaan air laut memicu timbulnya berbagai peristiwa
cuaca ekstrem di Kiribati.
Kenaikan permukaan air laut mempengaruhi kesehatan masyarakat Kiribati.
Masyarakat yang tinggal di ibukota Tarawa lebih banyak mengalami masalah
kesehatan seperti malaria, diare, dan gangguan kesehatan lainnya. Banjir dan badai
yang menghantam Kiribati juga merusak sistem sanitasi pembuangan limbah, limbah
yang mencemari air dan tanah, menjadi pemicu munculnya berbagai macam penyakit
(Kiribati G. o., 2014). Setiap ombak tinggi menyebabkan genangan air masuk dan
membanjiri daratan Kiribati. Efek psikologis dari stress akibat bencana yang terjadi
mempengaruhi kesehatan mental dan fisik penduduk Kiribati, terutama bagi
penduduk dari status sosial ekonomi rendah (Swim, 2010).
Banyak penduduk Kiribati melakukan migrasi baik ke wilayah pulau bagian
dalam maupun pindah ke pulau lain. Penduduk Kiribati yang melakukan migrasi
perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan komunitas baru dimana mereka
pindah dan mencari sumber penghasilan baru. Masyarakat asli ditempat yang baru
beserta sistem didalamnya harus mampu untuk menyerap pertambahan penduduk
pendatang dari Kiribati (Keener, 2012). Jika adaptasi tidak berjalan dengan baik
29
diantara penduduk pendatang serta penduduk asli tepat mereka bermigrasi dapat
menjadi pemicu timbulnya konflik diantara penduduk. Kehidupan penduduk
tradisional Kiribati juga mengalami perubahan drastis pada budaya serta adat
istiadatnya karena banyak penduduk yang meninggalkan pulau tempat asal mereka
(Henry, 2008).
II.2.2 Dampak Terhadap Lingkungan
Pulau-pulau di Kiribati yang kecil membuat hampir seluruh daratan Kiribati
merupakan daerah pesisir. Kenaikan permukaan air laut telah memicu erosi yang
mengikis bukan hanya pantai di pesisir pulau–pulau Kiribati akan tetapi juga erosi
terhadap tanah. Erosi dan banjir meyebabkan banyak penduduk pindah dari rumah
tradisional yang telah mereka tempati sejak lama (Kiribati, 2014). Pulau–pulau di
Kiribati yang kecil menyebabkan tidak ada tempat yang benar–benar aman untuk
mengungsi dalam waktu yang lama. Selain rumah, penduduk Kiribati juga kehilangan
tanaman pangan yang sangat berharga karena tanah mengandung banyak kadar garam
akibat banjir, air laut menyebabkan tanaman tersebut mati (Kiribati, 2014).
Letak geografis Kiribati yang tersebar di garis ekuator menyebabkan Kiribati
jarang mengalami topan dan badai (Thomas, 2003). Namun pemanasan global telah
meningkatkan suhu udara dan lautan. Kenaikan suhu udara dan laut ini menyebabkan
frekuensi kemunculan topan dan badai di Kiribati meningkat (Lewis, 2009).
Pemerintah Kiribati telah mengobservasi bahwa gelombang badai terjadi jauh lebih
sering daripada sebelumnya. Frekuensi kemunculan topan dan angin puyuh di sekitar
30
area lautan Kiribati semakin bertambah serta memicu terjadinya ombak tinggi di
Kiribati. Pemerintah Kiribati membangun dinding pemecah ombak di pesisir pantai .
untuk mengatasi fenomena ombak tinggi. Dinding laut, yang dibangun untuk
memecah ombak tinggi tidak mampu menahan kuatnya terjangan ombak dan rusak
dalam jangka waktu yang cukup singkat. Air laut masuk ke tengah pulau yang terjadi
secara berkala dan menyebabkan banjir yang masuk hingga jauh ke daratan, karena
dataran Kiribati yang sangat datar dan merusak perkebunan dan pemukiman
penduduk. Serta mengancam keberadaan spesies endemik pulau, koloni burung laut,
sarang penyu laut di banyak pulau–pulau kecil Kiribati. Sebagai contoh, saat dua
gelombang pasang yang terjadi di Tarawa pada tahun 2004 dan 2005 tinggi
ombaknya mencapai 2.87 meter menghancurkan desa yang terdapat di pesisir pantai,
menyapu bersih tanah pertanian ke laut dan mengkontaminasi sumber air bersih, serta
menghancurkan infrastruktur di dekat pesisir (Choi, 2012).
Keadaan geografis Kiribati yang terdiri dari pulau-pulau kecil menjadikan
sumber air bersih di Kiribati sangat terbatas. Sumber air bersih Kiribat berasal dari air
bawah tanah yang jumlahnya sangat bergantung dari curah hujan yang jatuh di
Kiribati. Sejalan dengan penurunan curah hujan, maka cadangan air bersih akan
menjadi semakin sedikit di Kiribati. Ketahanan pangan sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan air, jika kekeringan berkepanjangan selama musim panas terus terjadi,
hal ini akan mengancam produktivitas pertanian penduduk terutama kelapa yang
merupakan komoditi utama penghasilan sebagian besar petani di Kiribati, (Kiribati,
2012). Kenaikan permukaan air laut juga berkontribusi terhadap penurunan cadangan
31
air bersih di Kiribati. Batu karang yang mengalami pemutihan akibat kenaikan
permukaan air laut menjadi keropos, air laut dengan mudah dapat masuk ke batu
karang ini dan menembus sumur cadangan air tanah dan mencemari air bersih di
Kiribati. Ukuran pulau yang semakin kecil akibat kenaikan permukaan air laut juga
menyusutkan ukuran lensa tempat cadangan air tanah Kiribati (Kiribati, 2014). Saat
cadangan air bersih di Kiribati menurun dan menjadi semakin langka, penduduk
Kiribati perlu pindah dari rumah mereka ke tempat yang memiliki cadangan air yang
cukup untuk kebutuhan penduduk.
II.2.3 Dampak Terhadap Perekonomian Kiribati
Efek kenaikan permukaan air laut memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
perekonomian Kiribati. Mengingat pendapatan Kiribati bergantung terhadap
sumberdaya alam yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut.
Perubahan ekosistem lautan akibat pemanasan global menyebabkan perputaran angin
skala besar dilaut, perpindahan panas lautan dan perubahan kandungan air laut yang
berpengaruh terhadap persebaran plankton di laut. Hal ini mengubah seluruh sistem
rantai makanan kehidupan di laut (Keener, 2012). Perubahan rantai makanan
menyebabkan perpindahan serta penurunan spesies makhluk hidup di laut
(Frederiksen, 2004). Sektor perikanan menurun, diakibatkan oleh pemutihan dan
kematian karang tempat ikan hidup. Ini mempengaruhi hasil produk laut Kiribati
dilihat dari penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan yang kehidupannya
bergantung dari ketersediaan ikan di lautan Kiribati.
32
Efek kenaikan permukaan air laut ini juga mempengaruhi hasil produksi
pertanian Kiribati. Penurunan hasil pertanian sudah dipastikan terjadi akibat banjir
dan kekeringan yang melanda Kiribati (Kiribati, 2014). Kiribati sebagai negara
penghasil kopra mengalami penurunan hasil panen kopra, karena tanaman kopra
sangat sensitif terhadap perubahan iklim terutama kenaikan permukaan air laut. Saat
ombak pasang naik ke daratan Kiribati, air laut masuk kedalam tanah dan merusak
kesuburan tanah yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan kopra (Environment
and Conservation Division Ministry of Environment, 2007). Selain kopra, tanamantanaman lain yang merupakan sumber pangan sehari-hari penduduk Kiribati seperti
pisang, talas, papaya juga mengalami penurunan produksi. Hal ini mengancam
ketahanan pangan penduduk Kiribati, sehingga sebagian penduduk Kiribati kini mulai
bergantung terhadap bahan kebutuhan pokok yang diimpor dari luar Kiribati. Namun
impor makanan dari luar negeri juga terancam, karena letak bandara serta jalan raya
yang hampir semua berada di pesisir dan sangat rentan terhadap banjir, kenaikan
permukaan air laut dan topan (Keener, 2012).
Perubahan iklim selain membebani ekonomi Kiribati juga mempengaruhi
infrastruktur penting Kiribati. Ombak tinggi menghancurkan jalan penghubung
antarpulau serta infrastruktur penting lainnya yang terletak di daerah pesisir pantai
seperti; rumah sakit, sekolah, dinding laut. Kerusakan ini menambah beban anggaran
pemerintah Kiribati untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Keadaan tersebut
semakin menyulitkan penduduk Kiribati sehingga banyak dari mereka yang tinggal di
pesisir pantai pindah ke bagian dalam pulau. Perpindahan ini menimbulkan kerugian
33
ekonomi karena penduduk yang pindah harus meninggalkan rumah, pekerjaan dan
lahan pertaniannya. Penduduk juga harus membangun kehidupannya dari awal, mulai
dari mencari pekerjaan baru dan membangun tempat tinggal.
II.3
Kebijakan Pemerintah Kiribati Menghadapi Kenaikan Permukaan Air
Laut
Berbagai dampak yang muncul diatas menyebabkan pemerintah Kiribati
kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut.
Anote Tong, sejak pertama kali menjabat sebagai presiden pada tahun 2003, terus
memperingatkan dunia internasional terhadap efek buruk kenaikan permukaan air laut
bagi Kiribati (Choi, 2012). Anote Tong meminta negara-negara maju untuk
membantu program pemerintah Kiribati dalam penangan efek buruk serta adaptasi
Kiribati tehadap kenaikan permukaan air laut. World Bank, the Global Environment
Facility (GEF), AusAID, New Zealand Assistant for International Development
(NZAID), dan United Nations Development Program (UNDP) kemudian membantu
pemerintah Kiribati dalam program adaptasi kenaikan permukaan air laut melalui
Kiribati Adaptation Program (KAP) (Kiribati, 2014). KAP dikembangkan untuk
mengurangi dampak lingkungan, sosial, politik dan ekonomi dari perubahan iklim di
Kiribati dan dirancang untuk selesai dalam tiga tahapan. KAP terfokus pada rencana
kebijakan dan adaptasi jangka panjang (Kiribati, 2011).
Pemerintah Kiribati (2014) menjelaskan ketiga tahapan tersebut sebagai
berikut:
34
1.
Fase pertama merupakan fase persiapan KAP berjalan pada tahun 2003
sampai dengan tahun 2005. KAP fase ini merupakan tahapan proses
adaptasi mulai dimasukkan dalam perencanaan ekonomi nasional Kiribati,
mengindentifikasi program prioritas yang akan digunakan dalam fase
kedua, melaksanakan konsultasi nasional untuk persiapan National
Adaptation Program of Action (NAPA) 2007. Pelaksanaan program ini
dilakukan dengan mengidentifikasi kunci perubahan akibat perubahan
iklim yang terjadi selama kurun waktu 20–40 tahun belakangan di masing–
masing pulau yang berpenghuni di Kiribati.
2.
Fase kedua merupakan fase pelaksanaan program percontohan yang
berlangsung dari tahun 2006–2011. Fase ini mengembangkan langkah
adaptasi yang dirancang untuk menguragi kerentanan daerah pesisir
termasuk aset publik yang berharga, dan ekosistem, pembangunan dan
manajemen sumber air bersih, menyediakan bantuan teknis untuk
membangun kapasitas masyarakat.
3.
Sementara fase ketiga merupakan perluasan program adaptasi yang
berjalan dari tahun 2012–2016. KAP fase III bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan Kiribati untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat,
memperkuat ketahanan kawasan pesisir dari efek buruk perubahan iklim
dan kenaikan permukaan air laut, meningkatkan manajemen dalam
penggunaan air bersih, perlidungan area pesisir melalui pembuatan dinding
laut dan penanaman mangrove, serta mendukung dan membantu
35
pemerintah dalam mengatur, mengawasi dan mengevaluasi program KAP.
Selain itu, KAP dalam fase ketiganya ini membantu mengembangkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi efek buruk perubahan iklim dan
kenaikan permukaan air laut berserta dengan bencana yang ditimbulkan.
Meskipun telah melaksanakan program Kiribati Climate Change Adaptation
Program, Kiribati akan terus terancam jika laju kenaikan permukaan air laut tidak
dihentikan. Sehingga kemungkinan relokasi masyarakat Kiribati secara permanen
tidak dapat dihindari. Pemerintah Kiribati menyadari bahwa semua program yang
dibuat pemerintah Kiribati tidak dapat menghentikan pemanasan global dan laju
kenaikan permukaan air laut. Maka dari, itu pemerintah Kiribati dalam berbagi
pertemuan internasional yang membahas mengenai pemanasan global dan perubahan
iklim meminta agar negara–negara di dunia bertindak cepat dalam mengatasi
perubahan iklim, walaupun tidak banyak negara yang menghiraukan ini (Maclellan,
2012). Kiribati, sebuah negara kecil yang paling sedikit menyumbangkan gas emisi
karbon penyebab pemanasan global, namun Kiribati yang paling besar terkena
dampaknya. Sedikitnya posisi tawar yang dimiliki Kiribati di forum internasional
dalam pembahasan perubahan iklim dan pemanasan global membuat pemerintah
Kiribati mulai memikirkan kebijakan yang diambil selanjutnya untuk melindungi
keberlangsungan hidup jangka panjang penduduknya. Relokasi penduduk ke negara
lain merupakan pilihan terkahir yang dapat dilakukan saat Kiribati tidak lagi dapat
ditempati.
36
II.4
Proyeksi Migrasi Penduduk Kiribati
Kenaikan permukaan air laut, selain memberikan dampak sebagaimana
tercantum di atas, telah diprediksi akan menyebabkan Kiribati tidak dapat ditempati
dalam 30 tahun mendatang yaitu sekitar 2045. Maka sebelum tahun 2045 Kiribati
sudah harus memindahkan seluruh penduduknya ke negara lain. Penduduk Kiribati
sendiri pada tahun 2012 berjumlah 103.038 orang, dengan pertumbuhan penduduk
Kiribati saat ini pada tahun 2045 penduduk Kiribati diprediksi akan mencapai angka
151.000. Maka sebelum tahun 2045 Kiribati harus memindahkan penduduknya
kurang lebih sebanyak 151.000 orang. Secretariat of the Pacific Community (SPC)
membuat proyeksi migrasi penduduk Kiribati menggunakan beberapa skenario
migrasi. Proyeksi ini memperlihatkan dampak migrasi dalam jumlah tertentu terhadap
perubahan jumlah populasi penduduk Kiribati. SPC sendiri merupakan sebuah
organisasi antarpemerintah negara-negara Pasifik yang bertujuan untuk melayani,
menyediakan dukungan teknis, saran, data statistik dan informasi bagi pemerintah
negara anggotanya (SPC, 2015).
SPC membuat tiga skenario migrasi penduduk Kiribati serta perubahan yang
ditimbulkan oleh migrasi ini terhadap populasi Kibati dari tahun 2005 hingga tahun
2030, dimana pada tahun 2030 penduduk Kiribati diperkirakan mencapai angka
131.000 orang (Database, 2011). Tiga skenario migrasi ini adalah pertama skenario
bertahap atau gradual, kedua skenario significant dan ketiga skenario rapid. Angka
migrasi penduduk Kiribati keluar yang digunakan pada tahun awal di ketiga skenario
ini adalah 100 orang penduduk yang diasumsikan migrasi keluar, sedangkan untuk
37
tahun selanjutnya jumlahnya ditambahkan sesuai dengan masing-masing skenario.
Ketiga Skenario ini ditunjukkan oleh tabel II.1 berikut:
Tabel II.1 Skenario Migrasi Kiribati Tahun 2005-2030
Periode
Migrasi keluar setiap tahun
Gradual
Significant
Rapid
2005-2009
-100
-100
-100
2010-2014
-200
-400
-500
2015-2019
-300
-500
-1.000
2020-2024
-400
-800
-2.000
2025-2029
-500
-1.000
-3.000
2030
-600
-1.500
-5.000
Sumber : International Migration and Climate Change: A Post-Conpenhagen
Perspective on Options for Kiribati and Tuvalu 2010
Terdapat tiga skenario dengan angka migrasi yang berbeda untuk melihat
bagaiman efek yang ditimbulkan dari migrasi terhadap perubahan jumlah penduduk
Kiribati dalam berbagai skenario migrasi, seperti skenario migrasi yang dilakukan
secara bertahap dan yang secara cepat. Setelah lima tahun angka migrasi keluar
Kiribati ditingkatkan dari 100 menjadi 200, 400 dan 500 sesuai dengan tipe skenario.
Pada tiap skenario migrasi ini menimbulkan perubahan terhadap jumlah populasi
Kiribati. Perubahan populasi Kiribati dari tahun 2010 hingga tahun 2030 akibat tiga
skenario migrasi yang dibuat SPC dapat dilihat pada tabel II.2
38
Tabel II.2 Skenario Perubahan Populasi Kiribati
Skenario Migrasi
Populasi dan
periode
Gradual
Signifcant
Rapid
Total Populasi
2010
100.000
99.350
99.030
2020
116.630
112.730
105.140
2030
129.130
117.630
82.210
Perbedaan perubahan populasi akibat migrasi
2010-2020
-4.060
-7.310
-14.580
2020-2030
-6.930
-14.530
-42.360
2010-2030
-10.990
-21.840
-56.940
Sumber : International Migration and Climate Change: A Post-Conpenhagen
Perspective on Options for Kiribati and Tuvalu 2010. Diolah oleh Penulis
Skenario gradual dari tahun 2010 hingga tahun 2030 telah menurunkan
populasi Kiribati hampir mencapai angka 11.000 orang. Skenario significant
penduduk yang berkurang akibat dari migrasi diperkirakan hampir mencapai angka
22.000 orang. Sementara pada skenario rapid migrasi, sebanyak hampir 57.000 orang
berkurang. Jumlah penduduk dalam populasi ini juga memperhitungkan angka
pertumbuhan penduduk setiap tahun. Pada tahun 2030 jumlah penduduk Kiribati
masih meningkat dibawah skenario gradual dan significant. Namun pada skenario
rapid populasi penduduk kiribati mengalami penurunan yang terjadi pada tahun 2020
hingga ke 2030.
Saat penduduk Kiribati terus menghadapi kerusakan lingkungan yang
semakin menyulitkan mereka untuk bertahan hidup, dan pulau-pulau di Kiribati
39
terkena dampak buruk kenaikan permukaan air laut. Maka jumlah migrasi penduduk
Kiribati harus ditingkatkan melebihi jumlah dalam skenario rapid migrasi dari tabel
proyeksi yang dibuat oleh SPC. Jumlah penduduk Kiribati yang bermigrasi setiap
tahun untuk dapat memindahkan seluruh penduduknya sebelum tahun 2045 akan
berdampak bagi negara penerima migrasi. Tujuan utama kebanyakan penduduk
Kiribati untuk migrasi adalah Australia. Jumlah migrasi menuju Australia pada tahun
2030 diprediksikan pada tingkat terendah mencapai 70.000 orang sedangkan pada
tingkat tertinggi mencapai 110.000 orang (Citizenship, 2014). Sehingga pada tingkat
paling rendah, migrasi Penduduk Kiribati sebanyak 5.000 orang ke Australia setara
dengan 7.14% total populasi migrasi yang menuju Australia pada tahun 2030.
Sedangkan pada tingkat tertinggi penerimaan migrasi ke Australia, 5.000 penduduk
Kiribati yang migrasi Australia setara dengan 4.5% dari jumlah total migrasi yang
menuju Australia.
Jumlah migrasi sebanyak 5.000 per tahun dari Kiribati terhitung cukup sedikit
dari total proyeksi penerimaan migrasi Australia, namun untuk masuk dan tinggal di
Australia dibutuhkan persyaratan cukup ketat yang harus dipenuhi oleh penduduk
Kiribaiti. Persyaratan ini dibuat demi menjamin keberadaan para pendatang dari luar
Australia untuk dapat hidup mandiri di Australia dan tidak menjadi beban pemerintah
Australia. Persyaratan yang dibutuhkan salah satunya adalah memilki keahlian dalam
bidang tertentu untuk dapat diterima bekerja di Australia. Kemampuan bahasa inggris
yang memadai dan memenuhi persyaratan yang diberlakukan oleh Departemen
Keimigrasian Australia. Migrasi penduduk Kiribati perlu dilakukan dalam skenario
40
rapid dari skenario migrasi yang SPC buat. Pemerintah Kiribati kemudian
membentuk kebijakan Migration with Dignity untuk persiapan kemungkinan migrasi
penduduk Kiribati.
II.5
Kebijakan Migration With Dignity Pemerintah Kiribati
Kiribati berada di urutan kedelapan dari sepuluh negara di Asia Pasifik
dengan penduduk yang paling rentan terhadap kenaikan air laut. Relokasi seluruh
penduduk Kiribati akan diperlukan jika tinggi permukaana air laut naik lebih dari satu
meter, karena pada level setinggi ini air laut diprediksi menenggelamkan sebagian
pulau-pulau Kiribati (Edes, 2012). Kiribati diprediksi akan tenggelam dalam 60 tahun
dari sekarang akibat kenaikan permukaan air laut. Namun sebelum itu terjadi, Kiribati
tetap tidak dapat dihuni karena keterbatasan pendukung kehidupan didalamnnya
seperti ketersediaan air bersih dan tanaman sumber pangan. Relokasi dalam jangka
disini bukanlah memindahkan penduduk dari tempat tinggal asalnya ke daerah yang
lebih aman dari efek kenaikan permukaan air laut ke tempat asalnya hingga waktu
tertentu. Melainkan memindahkan penduduk Kiribati ke negara lain untuk tinggal dan
menetap di luar negeri secara permanen.
Program untuk memindahkan penduduk Kiribati ke negara lain sangat sulit
dilakukan karena perekonomian Kiribati masih sangat bergantung kepada bantuan
asing, Kiribati tidak mungkin untuk membiayai migrasi seluruh penduduknya.
Demikian pula bagi penduduk Kiribati, mustahil untuk membiayai migrasi mereka
secara mandiri. Selain hambatan biaya, kualitas sumber daya manusia Kiribati yang
41
masih rendah juga merupakan halangan bagi penduduk untuk migrasi. Selain itu
akan sulit untuk menemukan negara yang bersedia menerima pendatang yang
berpotensi menambah beban negara.
Pemerintah Kiribati kemudian membentuk program yang mampu untuk
meningkatkan kualitas penduduk Kiribati agar memenuhi kualifikasi pasar tenaga
kerja internasional, sehingga penduduk Kiribati memiliki pilihan untuk migrasi
kemanapun mereka inginkan tanpa menjadi beban bagi negara penerima. Kebijakan
Migration with Dignity bertujuan untuk mempersiapkan migrasi penduduk Kiribati
dengan cara meningkatkan keterampilan penduduk Kiribati melalui pelatihan,
keterampilan dan pendidikan. Implemetasi kebijakan Migration with dignity terdiri
dari program peningkatan sistem pendidikan dasar dan menengah serta memperbaiki
fasilitas sekolah, peningkatan kemampuan guru Bahasa Inggris melalui pelatihan,
perluasan dan peningkatan standar pendidikan dan pelatihan keterampilan sektor
formal maupun informal, seperti bantuan dan dukungan untuk institusi pelatihan
keterampilan pelaut yang nantinya bekerja di kapal pelayaran sebagai kru kapal.
Kebijakan Migration with Dignity memiliki dua komponen, pertama adalah
penciptaan peluang yang memungkinkan bagi penduduk Kiribati yang ingin migrasi
saat ini dan di tahun mendatang. Penduduk yang migrasi dalam waktu dekat
diharapkan dapat membangun komunitas penduduk Kiribati diluar negeri. Mereka
nantinya diharapkan dapat membantu menyerap dan mendukung penduduk Kiribati
yang migrasi dalam jumlah yang lebih besar dimasa depan. Kedua, peningkatan
kualifikasi keterampilan dan kemampuan penduduk Kiribati agar sesuai dengan
42
kualifikasi yang diakui di negara-negara maju seperti Australia dan Selandia Baru.
Penduduk Kiribati yang memiliki keterampilan dan pendidikan akan menempatkan
mereka sebagai pendatang yang lebih berkualitas karena tenaga mereka dapat
memenuhi permintaan pasar tenaga kerja di negara penerima.
Fokus utama elemen kebijakan ini meningkatkan keterampilan penduduk
Kiribati dalam semua tingkat kualifikasi, yang difokuskan pada tingkat kejuruan dan
teknis. Program lainnya ialah meningkatkan sistem pendidikan dasar dan menengah,
serta memperkuat institusi pusat-pusat pelatihan yang ada di Kiribati. Peningkatan
keterampilan kerja dan kualifikasi bagi penduduk Kiribati dilaksanakan melalui
berbagai program pelatihan. Pemerintah Kiribati meminta bantuan internasional
terkait dengan pelaksanaan program-program kebijakan Migration with Dignity.
Bantuan untuk program ini diperoleh dari bantuan-bantun asing yang diberikan
negara pendonor melalui agen pembangunan internasional, atau melalui pemberian
bantuan secara langsung dari negara pendonor ke Pemerintah Kiribati.
Selain bantuan berupa dana dan bantuan teknis untuk memperkuat isntitusi
serta sistem pendidikan di Kiribati, negara pendonor seperti Australia dan Selandia
Baru juga membantu untuk memberikan akses penduduk Kiribati untuk bekerja di
negara mereka melalui kebijakan Seasonal Employment Programmes. Penduduk
Kiribati dan beberapa negara Pasifik lainnya dapat bekerja di Australia dan Selandia
Baru sebagai tenaga di sektor pertanian dan pariwisata dengan memberikan ijin
kepada pengusaha di kedua sektor ini merekrut tenaga dari negara–negara yang
diperbolehkan pemerintah untuk bekerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
43
Pada kebijakan Seasonal Employment Programmes penduduk Kiribati tidak
bekerja secara permanen di Australia maupun Selandia Baru, melainkan mereka harus
kembali ke Kiribati jika masa kontrak atau visa kerja mereka telah habis. Selandia
Baru juga memberikan akses kepada penduduk kiribati dan beberapa negara Pasifik
lainnya sebanyak 75 orang setiap tahun untuk memperoleh status permanent resident
di Selandia Baru. Penduduk Kiribati harus mengajukan aplikasi dan memenuhi
berbagai persyaratan rumit seperti telah memiliki pekerjaan tetap di Selandia Baru
untuk memperoleh status permanent resident (New Zealand Foreign Relations,
2013).
Akan tetapi, Seasonal Employment Programmes tidak bersifat permanen.
Penduduk Kiribati yang bekerja di kapal pelayaran sebagai kru kapal, serta sebagai
tenaga kerja di sektor pertanian Australia dan Selandia Baru hanya bekerja sementara,
setelah kontrak kerja berakhir, penduduk harus kembali ke Kiribati. Kiribati dalam
mendukung kebijakan Migraton with Dignity juga mendapatkan bantuan dari
Australia berupa program bantuan beasiswa dalam Kiribati Australia Nursing
Initiative (KANI). Program tersebut adalah beasiswa untuk belajar keperawatan di
Australia serta program peningkatan kualitas serta kuantitas pendidikan keperawatan
di Kiribati. Program bantuan KANI adalah satu-satunya program Australia kepada
Kiribati. Pembahasan program KANI dalam membantu kebijakan Migration with
Dignity serta implementasinya dibahas dalam bab selanjutnya.
Download