laut Indonesia dalam krisis

advertisement
LAUT
Indonesia dalam Krisis
Kekayaan Laut Indonesia
Dengan 17.504 pulau, Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia1. Garis pantainya
mencapai 95.181 kilometer persegi, terpanjang
di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan
Rusia. Enam puluh lima persen dari total 467
kabupaten/kota yang ada di Indonesia berada
di pesisir2. Pada 2010 populasi penduduk
Indonesia mencapai lebih dari 237 juta orang3,
dimana lebih dari 80% hidup di kawasan
pesisir4.
Kepulauan
Indonesia
terbentang
sebagai “pusat” keanekaragaman
terumbu karang dunia7.
hayati
Selain membawa keuntungan ekonomi, ekosistem terumbu karang melindungi pantai dari
hantaman gelombang, sehingga mengurangi
abrasi dan kerusakan. Terumbu karang juga
berkontribusi kepada sektor penangkapan ikan
dengan menyediakan daerah pemijahan dan
asuhan, penyediaan makanan dan tempat
berlindung beragam jenis mahluk laut.
antara
terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875
kilometer persegi5, atau sekitar 18% dari total
kawasan terumbu karang dunia. Sebagian
besar terumbu karang ini berlokasi di bagian
timur Indonesia, di wilayah yang lazim disebut
segitiga karang (coral triangle).
Terumbu karang Indonesia di kawasan segitiga
karang adalah salah satu yang terkaya dalam
keanekaragaman hayati di dunia, rumah bagi
sekitar 590 spesies karang keras6. Terumbu di
Kepulauan Raja Ampat diakui para ilmuwan
Indonesia mempunyai sebaran ekosistem
mangrove yang luas, bahkan terbesar di dunia
(FAO, 2007). Menurut Spalding et al. pada 2010
diperkirakan luas mangrove di Indonesia
sekitar 3,189,359 hektar, hampir mencapai 60%
luas total mangrove Asia Tenggara. Jumlah ini
juga merupakan 20% dari total tutupan
mangrove yang ada di dunia. Menurut FAO, ada
48 spesies mangrove di Indonesia, membuat
Indonesia menjadi pusat penting keanekaragaman hayati mangrove dunia.
Ekosistem padang lamun Indonesia diperkirakan sebesar 30,000 km2,dimana terdapat 30 dari
60 spesies padang lamun yang ada di dunia8.
Ekosistem Laut Indonesia dalam Ancaman
Meski pemerintah telah berinisiatif untuk memimpin upaya konservasi, sebagian besar ekosistem laut Indonesia yang luas ini masih berada
dalam ancaman.
Menurut World Resources Institute, pada 2011
ada 139.000 kilometer persegi kawasan wilayah
laut yang dilindungi di Indonesia9. Pemerintah
berkomitmen meningkatkannya menjadi
200.000 kilometer persegi pada 202010. Tetapi
pengelolaan kekayaan sumberdaya hayati
pesisir dan kawasan terlindungi ini masih
menjadi tantangan berat.
Data terbaru (2012) Pusat Penelitian Oseanokarang Indonesia yang tergolong sangat baik.
Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam
kondisi baik, 37,25% dalam kondisi cukup, dan
30,45% berada dalam kondisi buruk11. Bahkan,
Burke, dkk. menyebutkan setengah abad
terakhir ini degradasi terumbu karang di
Indonesia meningkat dari 10% menjadi 50%12.
Penyebab kerusakan terumbu karang diantaranya adalah pembangunan di kawasan pesisir,
pembuangan limbah dari berbagai aktivitas di
darat maupun di laut, sedimentasi akibat
rusaknya wilayah hulu dan daerah aliran sungai,
pertambangan, penangkapan ikan merusak
yang menggunakan sianida dan alat tangkap
terlarang, pemutihan karang akibat perubahan
iklim, serta penambangan terumbu karang.
Indonesia sudah kehilangan sebagian besar
mangrovenya. Dari 1982 hingga 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari setengah hutan
mangrove, dari 4,2 juta hektar hingga 2 juta
hektar13.
Masalah yang dihadapi oleh terumbu karang
dan mangrove juga dialami ekosistem padang
lamun. Ekosistem padang lamun Indonesia
kurang dipelajari dibanding terumbu karang
dan mangrove. Tetapi berdasar berbagai
indikasi, padang lamun juga rentan terhadap
gangguan alam dan kegiatan manusia. Seperti
pengerukan terkait pembangunan real estate
pinggir laut, pelabuhan, industri, saluran
navigasi, limbah industri terutama logam berat
dan senyawa organolokrin, pembuangan
limbah organik, limbah pertanian, pencemaran
minyak, dan perusakan habitat di lokasi
pembuangan hasil pengerukan14.
Indonesia dalam Krisis
|2
Pertambangan dan Sedimentasi
Pertambangan dan sedimentasi membawa
akibat menurunnya penetrasi cahaya16.
laut di Indonesia. Contohnya, sedimentasi
perairan pantai dan terumbu karang tepi di
Kabupaten Buyat-Ratototok Sulawesi Utara,
yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing
bawah laut dari pertambangan emas industri
dan skala kecil yang menggunakan penggabungan merkuri15.
Sebuah studi di Sampela, yang berada dalam
Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Sulawesi,
mengungkap peningkatan sedimentasi dan
turunnya tingkat penetrasi cahaya telah
mengubah
tingkat
pertumbuhan
dan
morfologi karang Acropora. Komunitas karang
sangat terpengaruh oleh sedimentasi, yang
dapat menyebabkan matinya karang, penu
Ekstraksi sumberdaya tak terbarukan yang tidak
perlindungan lingkungan dan pertumbuhan
ekonomi. Industri minyak dan gas serta pertambangan meningkat dalam 10 tahun terakhir17.
Salah satu contoh paling mengerikan adalah
pembuangan tailing oleh Freeport McMoRan di
tambang emas-perak-tembaganya di Papua
Barat. Pembuangan limbah tailing mengalir ke
Sungai Otomina dan Ajkwa, menuju ke Laut
Arafura. Tambang ini memproduksi dan membuang lebih dari 200.000 ton tailing per hari,
lebih dari 80 juta ton per tahun18. Diperkirakan,
tambang ini telah memproduksi lebih dari tiga
miliar ton tailing, sebagian besar berakhir di
lautan19.
Kawasan Konservasi Perairan Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah mensahkan
Peraturan tentang Kawasan Konservasi
Perairan20(KKP). KKP adalah ekosistem laut yang
dilindungi secara hukum serta aturan lain,
dengan cara zonasi, konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan. KKP mencakup
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
Target 10 juta hektar berhasil dicapai pada
2009. Pada 2011, pemerintah Indonesia sudah
menetapkan kawasan konservasi perairan
seluas 15.413.517 hektar. Kementerian Kelautan
dan Perikanan juga berhasil menetapkan
Taman Nasional Laut Sawu seluas 3.521.130,01
hektar sebagai kawasan konservasi laut terluas
di Asia. Kendati demikian, keberhasilannya
bukti sejarah sosial dan budaya. Hukum melarang aktivitas seperti ekstraksi minyak dan gas,
penangkapan ikan serta kehidupan dan ekologi
bawah laut untuk perlindungan maksimal. KKP
juga mengakui
pentingnya melestarikan
ekosistem untuk mencegah degradasi, serta
mencegah penangkapan ikan berlebih.
beberapa daerah masih ditemui pro dan kontra
terhadap penetapan KKP, termasuk tingkat
kesadaran dan penerimaan sosial dari
masyarakat pesisir. Pengelolaan memang
masih menjadi tantangan besar bagi sebagian
besar KKP di Indonesia.
Krisis Perikanan
“Berakhirnya Perikanan” -- ini adalah pernyataan kontroversial dalam Jurnal Science terbitan
2006 karya Worm, dkk. Peneliti internasional
memperkirakan pada 2048 akan terjadi kehancuran perikanan global21. Meski penelitian ini
menuai kritik dari peneliti lainnya, ancaman
kelangkaan perikanan adalah hal yang harus
menjadi perhatian seluruh umat manusia.
Produksi tangkapan ikan laut dunia kini terkena
dampak buruk penangkapan ikan berlebih,
yang mencapai puncaknya pada 199622. Pada
2011 produksi global hanya mencapai 78,9 juta
ton, lebih rendah di bawah angka produksi
2007, 80,4 juta ton23.
Saat produksi tangkapan ikan laut dunia
sedang menurun, di Indonesia tercatat sektor
perikanan meningkat stabil sejak 1950 hingga
2010. (Gambar 1). Kementerian Kelautan dan
Perikanan menargetkan peningkatan produksi
hingga 22,39 juta ton pada 2015, untuk menjadi
produsen ikan terbesar di dunia24.
Sumberdaya laut Indonesia yang kaya serta
akses teritori air kepulauan yang mudah
menyebabkan
berkembangnya
industri
perikanan. Saat ini Indonesia merupakan
produsen perikanan terbesar ketiga dunia,
setelah China dan Peru25.
3 |
Laut Indonesia dalam Krisis
Tetapi saat produksi perikanan Indonesia
meningkat, yang juga terjadi di semua negara
di dunia, Indonesia mengalami ancaman penurunan akibat krisis ganda dari degradasi ekosistem kelautan serta penangkapan ikan berlebih.
Indonesia
tergolong
paling
beresiko
mengalami penurunan. Menurut penelitian
pada 2012, dibanding dengan 27 negara
produsen ikan lain, perikanan Indonesia paling
rentan hancur berdasarkan indikator manajemen terumbu karang, situasi perikanan dan
ketahanan pangan26.
pengolahan mengakibatkan kerusakan dan
pencemaran terhadap ekosistem pesisir dan
sumberdaya hayati di sekitarnya.
Beberapa wilayah pengelolaan perikanan di
Indonesia sudah menghadapi gejala eksploitasi
Dengan demikian, data menunjukkan produksi
tangkapan laut sudah menembus angka 82%,
melebihi pemanfaatan optimal yang disyarat
kan (maximum sustainable yield/MSY) 80%. Hal
ini diperparah dengan angka kegiatan ilegal,
tak dilaporkan dan tak diatur (Illegal, Unre
ported dan Unregulated Fishing - IUU Fishing)
yang diperkirakan mencapai 4.326 kapal baik
lokal maupun asing. Menurut sumber pemerin
tah, potensi ikan Indonesia yang dicuri sebesar
25%29, sehingga produksi menembus angka
107%.
Dalam rangka mengelola perikanan, pada 3
Agustus 2011 dikeluarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor
Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi
Sumberdaya Ikan di WPP-NRI. Keputusan ini
memperkirakan potensi ikan sebesar 6.520.100
ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada
tahun 2011 mencapai 5.345,729 ton28.
kelompok komoditas penting, seperti pelagis
besar, pelagis kecil, udang, dan ikan demersal.
Ironisnya, nelayan kecil yang merasakan
dampak dari ancaman kelangkaan perikanan
tersebut. Betapa tidak, mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk komponen BBM
(bahan bakar minyak), karena lokasi penangkamenjauh.
Kelangkaan ini juga terlihat dari makin
mengecilnya ukuran ikan, turunnya jumlah
tangkapan, dan hilangnya beberapa spesies
yang dulunya merupakan tangkapan utama,
seperti yang terjadi pada cumi-cumi di Teluk
Jukung, Lombok Timur. Lebih parah lagi,
perikanan Indonesia juga mengalami ancaman
klasik penangkapan ikan ilegal, peralatan ilegal,
dan nelayan asing dengan kapal penangkap
ikan besar.
Kelangkaan ikan membawa dampak besar bagi
nelayan kecil. Menurut UU No.45 tahun 2004,
nelayan kecil adalah yang menggunakan kapal
penangkap ikan hingga lima gross ton (GT) dan
menggantungkan penghidupan sehari-hari
kepada ikan. Pada 2011, jumlah kapal penang
kap ikan kecil berjumlah 520.472 unit atau
89,45% dari total kapal penangkap ikan di
Indonesia30. Dengan kata lain, kapal penangkap
ikan nasional didominasi oleh kapal penangkap
ikan skala kecil yang hanya mampu melakukan
aktivitas penangkapan di sekitar perairan
pantai sejauh 12 mil laut (gambar 2 dan 3).
Ancaman lainnya adalah pertambangan di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Aktivitas
pertambangan mulai dari penggalian hingga
TANGKAPAN LAUT INDONESIA
Sumber: FAO
TONS
4000000
3500000
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
1950
1953
1956
1959
1962
1965
1968
1971
1974
1977
1980
1983
1986
1989
1992
1995
1998
2001
2004
2010
2007
27
Gambar 1. Produksi tangkapan laut Indonesia terus meningkat dari 51.800 ton pada 1950 menjadi 3.342.583 ton pada 2010.
Laut Indonesia dalam Krisis
|4
Ukuran Kapal Ikan di Laut Indonesia
TONS
450000
Jumlah Nelayan Laut Indonesia
400000
Outboard & Inboard
motor
350000
350000
300000
300000
250000
250000
200000
200000
150000
150000
100000
100000
Non powered
boat
50000
50000
0
2001
2002
2003
2005
2004
2006
2007
2008
0
2009
2010
2011
Sumber: Kementerian KP
2001
2011
Sumber: Kementerian KP
Gambar 3. Jumlah nelay
ayan laut relatif stabil sejak tahun
2005 hingga 2011.
Gambar 2. Keti
K kka jumlah kkapal motor bermesin tempel (out
( board
r
motor) dan mesin dalam (inboard
r motor) meningkat,
k jumlah pera
r hu
tanpa mesin (non powe
w red
r boat) menurun.
Penangkapan ikan berlebih
Meskipun terjadi peningkatan total tangkapan
tereksploitasi penuh.
diamati. Empat dari sebelas Kawanan Pengelolaan Perikanan (KPP) telah melampaui potensi
produksi. Contohnya penangkapan udang,
hanya ada tiga WPP yang tidak menunjukan
gejala tangkap lebih. Sementara ikan demersal,
tereksploitasi penuh. Untuk tuna, secara umum
tidak ada informasi yang cukup. Untuk cumicumi, tidak ada eksploitasi berlebihan yang
diamati (Tabel 1).31
Tabel 1. Status Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
No. WPP
WPP-571
WPP-572
Wilayah
Tangkapan
Wilayah
Tangkapan Selat
Malaka
dan Laut
Andaman
Samudera
Hindia
sebelah
Barat
Sumatera
dan Selat
Sunda
WPP-573
Kedalaman
<200
200+
200+
<200
Potensi Produksi
276,000
565,200
491,700
Produksi 2011
461,800
558,600
506,900
Samudera
Hindia
sebelah
Selatan Jawa
s.d. Selatan
Nusa
Tenggara,
Laut Sawu, &
Laut Timor
bagian Barat
Untuk pelagis kecil,
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011)
WPP-711 WPP-712 WPP-713
WPP-717
WPP-718
Teluk
Cendrawasih
dan
Samudera
Pasifik
Laut
Aru,
Laut
Arafuru,
dan
Laut
Timor
bagian
Timur
200+
200+
<200
595,600
333,600
299,100
855,500
443,600
213,200
148,900
449,100
WPP-714 WPP-715
Selat
Makassar,
Teluk
Bone, Laut
Flores,
dan Laut
Bali
Teluk
Tolo dan
Laut
Banda
Teluk
Tomini,
Laut
Maluku,
Laut
Halmahera,
Laut Seram
dan Teluk
Berau
<200
<200
200+
<200
1,059,000
836,600
929,700
278,000
588,700
823,700
614,300
537,000
Selat
Karimata,
Laut
Natuna
Laut dan
Laut Cina
Selatan
Laut
Jawa
WPP-716
Sulawesi
dan
sebelah
Utara
Pulau
Halmahera
Udang
Demersal
Pelagis
Kecil
Pelagis
Besar
Cumi-cumi
Legenda:
Overfished
Fully
exploited
Moderately
exploited
Insufficient
information
5 |
Laut Indonesia dalam Krisis
Kapal Perikanan Ikan Indonesia
Menurut data Kementerian Kelautan dan
Perikanan, pada 2011 jumlah kapal ikan sebanyak 581.845 unit, dimana tiga pulau dengan
jumlah unit tertinggi adalah Sulawesi, Sumatera dan Jawa, yaitu 1.001.667 unit. Sementara
tiga besar alat tangkap mencapai 75% dari total
alat tangkap, antara lain 40% pancing, 28%
jaring insang, dan 7% pukat kantong. Alat
tangkap skala besar termasuk 32.040 pukat
kantong (purse seine), 18.451 pukat tarik dan
10.125 tali pancing tuna panjang (tuna long
line). (Gambar 4).
pada dasarnya adalah terlalu
banyak kapal yang menangkap ikan yang
terlalu sedikit. Juga mempertimbangkan tipe
alat penangkap, kawasan penangkapan dan
pelanggaran aturan-aturan perikanan. Indonesia telah menentukan estimasi potensi untuk
setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP).
Pada tahun 2011 tercatat
bahwa jumlah kapal ikan
sebanyak 581.845 unit.
Tiga besar provinsi
tertinggi jumlah unit
penangkapan ikan adalah
Sulawesi, Sumatera dan
Jawa, yaitu 1.001.667 unit.
Sementara tiga besar alat
tangkap mencapai 75%
dari total alat tangkap,
antara lain 40% pancing,
28% jaring insang, dan 7%
pukat kantong. Alat
tangkap skala besar
termasuk 32.040 purse
seines, 18.451 pukat tarik
dan 10.125 tuna long liner.
Ini menjadi referensi untuk menentukan acuan
penangkapan yang diperbolehkan.
Mayoritas alat tangkap berada di Sulawesi dan
Maluku-Papua. Jaring insang digunakan di
semua area. Meskipun alat tangkap skala besar
hanya 10%, namun keberadaannya tidak dapat
Semakin besar alat tangkap, semakin besar
volume tangkapan.
besar menjadi masalah umum di Asia Tenggara,
termasuk di Indonesia. 67% kapal pukat beroperasi di Sumatera, sementara 55% pukat
kantong di Jawa. Lebih dari setengah kapal
pukat kantong 52%-nya berada di Jawa. Tiga
besar daerah dengan alat tangkap tuna long
line adalah Jawa, Sumatra dan Papua - Maluku.
Jumlah alat tangkap merupakan indikasi
tingkat ekstraksi sumberdaya ikan (Gambar 4
dan 5).
Alat Penangkapan Ikan di Indonesia
Sumber: Kementerian KP
Lainnya: 136.967, 14%
Trawl: 18.451, 2%
Seine nets: 73.480, 7%
Purse seines: 32.040, 3%
Tuna Long Line: 10.125, 1%
Gillnets: 280.660, 28%
Hook and line: 398.752, 40%
Lift nets: 51.192, 5%
Gambar 4.
menggambarkan
k tingkat
k pemanfaatan
f
sumberda
r aya.
Gambaran Umum Alat Penangkapan Ikan per Pulau Besar
Sumber: Kementerian KP
KALIMANTAN
MALUKU-PAPUA
Trawl
Seine nets
Puse seines
Gillnets
Lift nets
SUMATERA
SULAWESI
JAVA
Gambar 5.
BALI-NUSATENGGARA
Hook and line
Tuna Long Line
Indonesia dalam Krisis
Penangkapan ikan
ilegal, tak terlaporkan dan tak diatur
(IUU Fishing)
Indonesia menghadapi masalah IUU Fishing
utama IUU Fishing di perairan Indonesia dan
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) antara
lain berasal dari Malaysia, Vietnam, China,
Myanmar, Thailand, dan Filipina.
Meski patroli rutin dilakukan Kementerian
Kelautan dan Perikanan, IUU Fishing masih
marak di Indonesia. Data kapal yang diperiksa
mencapai 4.326 unit, baik dalam maupun luar
negeri32. Dari kapal yang tertangkap itu, hanya
puluhan kapal yang berhasil masuk pengadilan. Asal pelaku pelanggaran, yaitu Indonesia
(317 orang), Malaysia (10 orang), Vietnam (407
orang), Thailand (270 orang), Filipina (266
orang), Laos (1 orang), Kamboja (1 orang),
Myanmar (56 orang), dan China (1 orang)33.
Kesimpulan
Laut Indonesia adalah pusat penting
keanekaragaman hayati laut dunia sekaligus
tempat penangkapan ikan sangat berharga
yang menyediakan makanan dan mata pencaharian untuk jutaan orang. Untuk memastikannya terus terjaga untuk generasi mendatang
adalah dengan memulihkan kondisi dan
melindungi ekosistem laut, serta pada saat
Kampanye Kelautan
Greenpeace Indonesia
Kampanye Kelautan Greenpeace di Indonesia
bertujuan
untuk
menggerakkan
dan
mendukung terwujudnya solidaritas, keadilan,
keberlanjutan dan teladan perikanan, pengelolaan jejaring kawasan konservasi laut yang
efektif. Serta memastikan berakhirnya setiap
praktek penangkapan ikan yang merusak dan
berlebihan yang mengancam keberlangsungan
mata pencaharian masyarakat lokal, kelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati laut.
|6
Secara global, Greenpeace berkampanye
melindungi lautan dengan menyerukan: 1)
reformasi perikanan dan penegakkan hukum di
setiap tingkatan pengelolaan perikanan, 2)
mengakhiri penangkapan ikan berlebihan, 3)
mengusulkan reservasi laut di perairan internasional, 4) dan melindungi spesies langka seperti
penyu, dugong, paus, hiu dan lumba-lumba.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
berperan besar dalam menyuarakan dan memberikan solusi untuk memperkuat inisiatif
regional dan global demi pengelolaan sumberdaya laut dunia yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
Indonesia memiliki posisi tawar strategis untuk
meningkatkan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan serta memimpin perubahan untuk
membangun dan memberdayakan inisiatif
regional dan global dalam menanggulangi,
memerangi dan menghilangkan IUU Fishing di
kawasan ini.
Peran proaktif Indonesia dalam mempromosikan
dan memperkuat solusi mengatasi
dan kelebihan kapasitas, penangkapan ikan
merusak, pertambangan, polusi dan dampak
perubahan iklim terhadap lautan, sangat besar
dan penting. Peran ini sejalan dengan semangat
konstitusional Indonesia yang mengambil
partisipasi aktif dalam menciptakan tatanan
dunia (dalam harmoni dan keseimbangan)
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus
mengakui kekuatan bekerja sama dengan mempromosikan visi bersama perlindungan laut.
Visi Indonesia 2025 menyatakan bahwa "Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur"
sebagaimana termaktub pada UU No 17/2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
-Nasional, harus menjadi landasan dan kesempatan untuk meningkatkan komitmen pemerintah,
serta memunculkan perhatian dan partisipasi
semua pihak untuk memulihkan kondisi laut dari
krisis yang terjadi saat ini.
Karena itu, sebagai bagian dari mewujudkan Visi
Indonesia 2025, Greenpeace bersama segenap
pemangku kepentingan mendeklarasikan “Visi
Bersama Untuk Laut Indonesia 2025.”
Ekosistem Kelautan
Terumbu
• 50.875 km (Burke dkk., 2002)
• 574 spesies terumbu karang (Veron dkk., 2009)
• 10-50% peningkatan degradasi terumbu karang
2
(Burke dkk., 2002)
• 22,05 % terlindungi (Kementerian Kehutanan)
Kondisi terumbu karang
1133 lokasi (2012)
Cukup
Sangat Baik
37%
Baik
Buruk
5%
27%
31%
Sumber: Puslit Oseanografi - LIPI
Padang lamun
• 30.000 km
• 13 spesies padang lamun (Burke, dkk., 2002)
• 17,32% terlindungi (Kementerian Kehutanan)
2
Mangrove
• 3.244.018 hektar (Bakosurtanal, 2009)
• 45 spesies (Spalding, dkk., 2010)
• 21,97% terlindungi (Kementerian Kehutanan)
Perikanan Laut
• 2.265.213 Jumlah tenaga kerja yang terkait langsung dengan
perikanan – 2.265.213
• Total 581.845 kapal tercatat pada 2011
• Tiga besar provinsi dengan jumlah kapal terbanyak adalah Sulawesi,
Sumatera and Jawa
• Ada 1.001.667 unit alat penangkap ikan.
Spesies Penting
Penyu
• 6 spesies
• 95 tempat kembang biak
• 49% tempat kembang biak
Dugong
• 28 Habitat
• 45% habitat terlindungi
(Kementerian Kehutanan)
terlindungi (Kementerian Kehutanan)
Pengaturan Wilayah Tangkap bagi Kapal Ikan
Wilayah pengelolaan perikanan Indonesia termasuk: (a) garis penangkapan ikan IA, mencakup
perairan pesisir hingga 2 mil laut diukur dari ketinggian air laut saat surut terendah, dan (a) garis
penangkapan ikan IB, mencakup perairan pesisir diluar 2 hingga 4 mil laut , (2) garis penangkapan
ikan II, mencakup perairan di luar garis I hingga 12 mil laut diukur dari ketinggian air laut saat surut
terendah, dan (3) garis penangkapan ikan III, mencakup Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan
perairan di luar garis penangkapan ikan II.
5-10 GT
No. of boats
520.472
10-30 GT
No. of boats
57.100
0 s.d. 4 Mil
4 s.d.12 Mil
> 30 GT
No. of boats
4.273
12 s.d. 200 Mil
Penetapan jalur tangkapan ini berdasarkan kedalaman, yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
perairan dangkal dibawah 200 meter meliputi WPP-NRI 571, 711, 712,713, 718, dan perairan
dalam diatas 200 meter meliputi 572, 573, 714, 715, 716, 717.
Dampak Perubahan Iklim
Kondisi pemutihan (bleaching) sangat mungkin terjadi tiap tahun di laut-laut kawasan tropis pada
masa-masa akhir 30-50 tahun mendatangi. Pemutihan terumbu terjadi ketika algae yang hidup di
jaringan terumbu terpaksa keluarii. Karang pembentuk terumbu terdesak jika terpapar peningkatan kecil (1 hingga 2oC) temperatur air dan mengalami pemutihan terumbu. Terumbu karang
sensitif kepada peningkatan suhu laut, menyebabkan pemutihan terumbu.
Menyelamatkan 10% terumbu karang di seluruh dunia membutuhkan pembatasan perubahan
iklim di bawah 1:5 oC relatif dari tingkat sebelum masa industrialiii. Pada Mei 2010, Aceh di Indonesia terkena dampak ketika suhu laut mencapai 34 derajat celsius; 4 derajat celsius lebih tinggi
dibanding rata-rata jangka panjang kawasan, yang menyebabkan terjadinya pemutihan terumbu
lebih dari 60%iv.
i
Hoegh-Guldberg. 2001. Climate change coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Greenpeace International.
ii
zooxanthellae from the reef corals Stylophora pistillata Esper and Seriatopora hystrix Dana. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 129, 279303 (1989).
Frieler K et al. 2013. Limiting global warming to 2oC is unlikely to save most coral reefs. Nature Climate Change. Vol. 3, 165-170.
iii
http://www.sciencedaily.com/releases/2010/08/100816170839.htm Accessed May 22, 2013
iv
Ancaman IUU Fishing
• Penangkapan ikan merusak
• Penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan dan tak
diatur (IUU Fishing)
• Penangkapan ikan berlebih dan melebihi kapasitas
IUU Fishing
No. of
Boats
5000
4000
3000
2000
1000
0
2005
2006
Sumber: PSDKP (2013)
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Daftar Kutipan
1
Akhmad Fauzi. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesisi, dan Gagasan. Jakarta.
Gramedia. Fisheries and Marine Policy: Synthesis of Issues and Ideas. Jakarta.
2 KKP. 2013. Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Jakarta. Marine Fisheries Statistics 2011.
3 BPS. 2012.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=1
(Accessed April 2013)
4
Burke et al. 2012. Reefs at risk, Revisited in the Coral Triangle. World Resources Institute.
5 Wilkinson, C. 2008. Status of Coral Reefs of the World: 2008. Townsville, Australia: Global Coral Reef
Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre.
6 Veron, J. E. N. 2002. “Reef Corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia, Part I:
Overview of Scleractinia.” In A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province,
Indonesia, edited by S. A. McKenna, G. R. Allen and S. Suryadi. Washington, DC: Conservation
International
7
Peterson. 2009. “Delineating the Coral Triangle.” Galaxea, Journal of Coral Reef Studies11:91–100.
8
Seagrass Committee. http://www.wwf.or.id/?15721/Saatnya-Peduli-Padang-Lamun (diakses pada
April 2013).
9 Burke et al. 2012. Reefs at risk, Revisited in the Coral Triangle. World Resources Institute.
10 Burke et al. 2012. Reefs at risk, Revisited in the Coral Triangle. World Resources Institute.
11 http://www.coremap.or.id/Kondisi-TK/ (accessed April 2013)
12 Burke, Selig and Spalding, 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute.
13 http://news.mongabay.com/2010/1201-hance_nasa_mangroves.html
14
Dietrich G Bengen, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya, Ecosystems and Marine and Coastal Resources and Their management principles,
PKSPL-IPB, Bogor
15
Blackwood, G.M. and E.N. Edinger. 2007. Mineralogy and trace element relative solubility
mining, Buyat-Ratototok district, North Sulawesi, Indonesia. In Environ Geol (2007) 52:803–818
http://www.cs.mun.ca/~eedinger/STD/Blackwood_Edinger_2007_EnvGeol.pdf Accessed May 16,
2013
16 Crabbe, M. J. and D.J. Smith. 2002. Comparison of two reef sites in the Wakatobi Marine National
Park (SE Sulawesi, Indonesia) using digital image analysis. In Coral Reefs (2002) 21: 242–244.
http://opwall.com/wp-content/uploads/crabbe-reef-comparison.pdf Accessed May 16, 2013
17
marine ecosystems: A historical perpective. In Coastal Marine Science 35(1):227-233, 2012.
http://repository.dl.itc.u-tokyo.ac.jp/dspace/bitstream/2261/51708/1/CMS350132.pdf Accessed
May 16, 2013
18 Mining, Minerals, and Sustainable Development. 2002. Mining for the Future Appendix J: Grasberg
Riverine Disposal Case Study. International Institute for Environment and Development and World
Business Council for Sustainable Development.
Working Paper No. 60. The Australian National University, Canberra.
19 Walhi – Indonesian Forum for Environment. 2006. The Environmental Impacts of Freeport-Rio
Tinto’s Copper and Gold Mining Operation in Papua. Walhi, Jakarta. 119 pp.
20 Ministry of Regulation of Marine and Fisheries No. PER.30/MEN/2010
21
Fiorenza, M., Stephen, R.P., Enric, S., Kimberley A.S., John J.S., Reg, W. 2006. Impact of Biodiversity
Loss on Ocean Ecosystem Services. Science, vol 314, pp.787-790.
22 FAO. 2010. World Review of Fisheries and Aquaculture 2010, FAO
http://www.fao.org/docrep/013/i1820e/i1820e01.pdf accessed 16 May 2013
23 FAO. 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture 2012. Roma.
Kredit
Tim Riset:
Akhmad Solihin
Ephraim Batungbacal
Arifsyah M. Nasution
Tim Penyunting:
Mark Dia
Hikmat Suriatanwijaya
Lea Guerrero
Rebecca Lagunsad
Desain Peta:
Leonard Soriano
Foto:
Paul Hilton
24
The Jakarta Post, Jakarta | Business | Thu, October 06 2011, 9:59 PM,
http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/06/govt-eyes-223925 FAO. 2010. World Review of Fisheries and Aquaculture 2010, FAO
http://www.fao.org/docrep/013/i1820e/i1820e01.pdf accessed 16 May 2013
26
Hughes, S., A. Yau, L. Max (more) , 2012: A framework to assess national level vulnerability from the
95-108, DOI: 10.1016/j.envsci.2012.07.012.
27
28
KKP. 2013. Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Marine Fisheries Statistics 2011. Jakarta
29
Kelautan dan Perikanan.
30 KKP. 2013. Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Jakarta. Marine Fisheries Statistics 2011. Jakarta.
31 Subhat Nurhakim, et al. 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan: Informasi Dasar
Pemanfaatan Berkelanjutan, Pusat Riset Perikanan Tangkap-DKP. According to the Status of Fisheries
Management Areas: Sustainable Utilization of Basic Information, Fisheries Research Center-DKP.
32
33
Greenpeace Southeast Asia (Indonesia)
Laut yang rapuh ini membutuhkan
Anda. Jadilah Suara. Jadilah Solusi.
Mari Beraksi untuk Membela Laut
Kita!
Tebet Timur Jakarta Selatan, Indonesia 12820
Tel: +62 21 83781701
Fax: +62 21 83781702
Email: [email protected]
www.greenpeace.or.id
Dicetak menggunakan 100% kertas daur ulang dan tinta soya.
Download