VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN

advertisement
VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI
SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM
6.1. Pendahuluan
Asuransi indeks iklim merupakan salah satu bentuk pendanaan yang
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini asuransi indeks iklim yang
sudah dilakukan di Indonesia adalah asuransi indeks iklim untuk tanaman jagung
yang dikembangkan oleh International Finance Coorporation (IFC), salah satu
divisi di World Bank. Lokasi penelitian IFC adalah di Kecamatan Tompobulu
Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Pringgabaya
Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil studi kelayakan
menunjukkan asuransi indeks iklim untuk jagung layak dikembangkan dan
merupakan model bisnis yang mudah diidentifikasi (IFC 2009). Untuk komoditas
padi, model asuransi indeks iklim belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini memberikan pilihan baru tentang adaptasi terhadap perubahan iklim
dengan menyusun model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis
padi.
Dalam sistim asuransi indeks iklim, pembayaran akan dilakukan pada
pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa
harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan
petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim
dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah
indeks iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah
indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang
diasuransikan (Boer 2010). Selain itu menurut Manuamorn (2010) kebijakan
pembayaran indeks asuransi berbasis pada pengukuran dari kehilangan riil. Indeks
iklim adalah suatu indeks yang digunakan untuk mewakili unsur-unsur penting
iklim yang dirancang dengan tujuan kesederhanaan dan kelengkapan. Setiap
indeks biasanya mewakili status dan waktu dari faktor iklim yang diwakilinya.
Untuk menyusun indeks iklim diperlukan korelasi yang kuat antara faktor
iklim dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi. Oleh karena itu
diperlukan analisis tentang hubungan antara parameter iklim dengan produksi padi
127
yang selanjutnya dengan masukan nilai threshold produksi padi bisa ditetapkan
indeks iklim tersebut.
Dalam penelitian ini parameter iklim yang digunakan sebagai indeks
adalah curah hujan. Hal ini dikarenakan di daerah tropis, unsur cuaca utama yang
sangat berpengaruh terhadap keragaman produksi tanaman adalah curah hujan,
dan keragaman curah hujan baik menurut waktu maupun lokasi sangat besar. Oleh
karena itu studi yang berkaitan dengan masalah cuaca dan produksi tanaman
sebagian besar membahas tentang hubungan hujan atau ketersediaan air/hujan
dengan produksi tanaman.
Produksi tanaman padi diestimasi dengan model simulasi tanaman. Modelmodel simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan
cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model simulasi tanaman
dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman,
penggunaan tanah dan pengelolaan air. Untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan
teknologi budidaya serta menganalisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan
tanaman seringkali juga digunakan model simulasi tanaman. Selain itu, model
simulasi tanaman dapat digunakan untuk perluasan wilayah penanaman dan
pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi dan menduga hasil
tanaman.
Dalam penelitian ini, produksi padi diestimasi dengan model Decision
Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT). Hasil simulasi selanjutnya
akan dihubungkan dengan data curah hujan di lokasi penelitian. Berdasarkan pola
hubungan yang terbentuk dan nilai threshold produksi padi, maka dapat
ditetapkan indeks iklimnya. Nilai indeks iklim ini sangat penting untuk aplikasi
asuransi indeks iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengkaji hubungan
antara curah hujan dan produksi padi, 2) menetapkan indeks iklim berdasarkan
hubungan antara curah hujan dan produksi padi.
6.2. Metodologi
6.2.1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) data iklim/cuaca
harian, 2) data tanah, dan 3) data manajemen dan pengamatan dari hasil
128
percobaan. Data iklim/cuaca yang diperlukan antara lain : posisi geografi stasiun
iklim/hujan, radiasi matahari (MJ/m2/hari), suhu udara maksimum dan minimum
(oC) serta curah hujan (mm). Untuk mengatasi data curah hujan harian yang
kosong, dan untuk memperoleh data iklim harian, maka dilakukan pembangkitan
data dari curah hujan bulanan menggunakan model Climate Data Generator
(CLIMGEN). Data iklim harian diperoleh dari hasil pembangkitan data, karena di
Kabupaten Indramayu tidak tersedia stasiun iklim. Stasiun iklim terdekat terletak
di Pusaka Negara dan Sukamandi.
Data tanah yang diperlukan antara lain : kedalaman horison atas dan
bawah, persentase kandungan pasir, liat dan debu, bulk density, pH air, kejenuhan
aluminimum dan total nitrogen. Data tanah yang digunakan merupakan hasil
pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian, yaitu pada delapan titik
pengambilan contoh tanah yang merepresentasikan jenis tanah yang berbeda.
Untuk data manajemen dan percobaan yang digunakan dalam model DSSAT
antara lain : tanggal tanam, kerapatan tanaman, jarak baris, kedalaman perakaran,
varietas tanaman, irigasi, dan pupuk yang digunakan petani. Data ini diperlukan
untuk model validasi dan strategi evaluasi. Data-data ini diperoleh dari survey
lapang dan wawancara dengan petani.
6.2.2. Pembangkitan Data Iklim
Pembangkitan data dilakukan dengan program ClimGen. ClimGen
melakukan estimasi terhadap suhu maksimum dan minimum harian, radiasi
matahari dan curah hujan baik dari data cuaca harian jika tersedia atau dari data
bulanan. Peluang kejadian hujan digambarkan dalam bentuk fungsi penghubung
logit gj1(i). Bentuk fungsi kurva penyesuaian untuk nilai gj1(i) digunakan
persamaan regresi Fourier (Stern and Coe 1984). Untuk menghindari keterbatasan
data harian, maka digunakan data curah hujan bulanan untuk membangkitkan
parameter iklim yang lain. Epstein (1991) menggunakan regresi Fourier sehingga
bentuk persamaan pembangkitan datanya adalah :
Di mana t’=2πt/12 dan t adalah bulan.
129
Dagambarkan Prosedur yang digunakan untuk menghasilkan radiasi surya dan
suhu didasarkan pada asumsi bahwa radiasi dan suhu merupakan proses stasioner
lemah. Penyertaan hujan ini diperlukan karena keadaan unsur iklim lainnya sangat
dipengaruhi oleh ada tidaknya hujan. Pendekatan yang sama digunakan dalam
model Climgen versi 2.1 dengan memodelkan komponen error karena biasanya
terdapat masalah autokorelasi error (Boer 1999). Berdasarkan kajian dari beberapa
lokasi di Indonesia, Boer (1999) memodelkan komponen error dengan
menggunakan persamaan autokorelasi ordo-1.
Parameterisasi nilai  dan  perlu dilakukan sebelum data hujan
dibangkitkan. Nilai awal  dan  dalam penelitian ini menggunakan hasil
penelitian Boer et al. (1999) yang sudah tervalidasi. Nilai awal  dan  yang
dipilih ialah nilai yang memberikan hasil bangkitan data yang tidak berbeda
dengan data observasi. Software ClimGen dibangun dengan asumsi bahwa
distribusi hujan mengikuti sebaran Gamma.
6.2.3. Simulasi Tanaman Dengan Model DSSAT
Estimasi produksi padi dalam penelitian ini menggunakan model simulasi
tanaman Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT ver.4.5).
Dalam simulasi tanaman ini digunakan varietas IR 64. Varietas ini
merupakan salah satu varietas yang cukup banyak digunakan oleh petani di lokasi
penelitian selain Ciherang. Varietas IR 64 memiliki karakteristik fisiologis yang
hampir sama dengan Ciherang. Dominasi varietas IR64 ditingkat petani
disebabkan produksinya yang cukup tinggi. Hal ini diungkapkan juga oleh
Sudaryanto et al. (1999) diacu dalam Hafsah dan Sudaryanto (2004) yang
menyatakan bahwa varietas IR64 merupakan varietas yang secara nyata mampu
meningkatkan potensi hasil padi sawah yang diindikasikan dari dominasi varietas
IR64 di daerah-daerah sentra produksi padi. Umur tanaman padi yang digunakan
dalam simulasi ini adalah 110 hari yang terbagi dalam tiga fase tanaman, yaitu :
Fase 1 adalah fase inisiasi, yaitu mulai awal pertumbuhan sampai pembentukan
malai. Fase 2 adalah fase reproduktif, mulai pembentukan malai sampai
pembungaan. Fase 3 adalah fase pematangan, yaitu mulai dari pembungaan
130
sampai gabah matang. Diskripsi selengkapnya varieras Ciherang dan IR 64
disajikan dalam Lampiran 1. Untuk melakukan simulasi tanaman digunakan dua
skenario tanggal tanam, yaitu tanggal 1 dan 15 setiap bulan, masing-masing untuk
tipe lahan tadah hujan dan irigasi ujung.
Estimasi produksi padi selanjutnya akan dibandingkan dengan produksi
padi hasil observasi. Untuk lahan tadah hujan, pola produksi padi akan
dihubungkan dengan pola curah hujan serta kejadian El-Nino selama periode
1965-2009. Diagram alir tahapan analisis disajikan dalam Gambar 63.
Data tanah
Data Curah Hujan
harian dan bulanan
Data
tanaman
Data anomali
SST
ya
Apakah data
ch lengkap?
tidak
ClimGen
Data curah hujan
dan iklim harian
Skenario tanggal
tanam
Penyeragaman bentuk data
(*.WTH)
DSSAT
Estimasi produksi padi pada tipe lahan irigasi dan
tadah hujan
Gambar 63. Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT
131
6.2.4. Penentuan Indeks Iklim
Analisis indeks iklim dilakukan setelah diperoleh hasil analisis berupa : 1)
persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2) nilai threshold
produksi padi. Persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi
diperoleh setelah dilakukaan simulasi tanaman. Nilai threshold produksi padi
diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai R/C=1 yang telah
dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan
antara hasil padi dan curah hujan, maka nilai threshold produksi padi digunakan
sebagai input dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi
sebagai dasar penentuan indeks iklim. Perhitungan indeks iklim dilakukan untuk
stasiun hujan referensi Cikedung.
Tahapan analisis untuk menentukan indeks iklim adalah : 1) hasil simulasi
DSSAT yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya disusun menjadi suatu
persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil (yield) padi, 2)
nilai threshold produksi yang telah diperoleh dari hasil analisis usahatani
digunakan sebagai input ke dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan
hasil padi untuk menentukan trigger curah hujan, 3) dibuat persamaan yang
menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4) dihitung
nilai indeks hujan pada setiap fase tanaman padi, 5) disusun skenario klaim
asuransi berdasarkan persamaan Martirez (2009) yaitu :
Pembayaran = (Indeks hujan-curah hujan kumulatif) x unit pembayaran x total
yang diasuransikan/1000
6.3. Hasil dan Pembahasan
6.3.1.
Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan
Hasil simulasi tanaman padi pada lahan tadah hujan di lokasi penelitian
dibedakan untuk MK dan MH. Untuk MK periodenya adalah April-September,
sedangkan MH Oktober-Maret. Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan
tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara 1.1-1.4 ton/ha pada
MK dan 3.3-4 ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan
wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara 3.2-3.6
ton/ha pada MK dan 4.7-5.7 ton/ha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya
132
lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi
hampir mendekati.
Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi
pada MH pada umum menghasilkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan
hasil observasinya dibandingkan dengan musim MK (Gambar 64a-d). Simulasi
tanaman untuk lahan tadah hujan ini murni hanya mendapat input air dari curah
hujan. Kemungkinan kenyataan di lapang, pada MK petani masih bisa
mendapatkan sisa-sisa air pada MH sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan
perbedaan hasil pada MK.
Hasil perbandingan antara data produksi dari Diperta Kabupaten
Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 1992/1993 hingga MT 2000
memperlihatkan nilai R2 sebesar 0.7 untuk Cikedung, 0.1 untuk Lelea dan 0.5
untuk Kandanghaur (Gambar 65).
(a)
(c)
Gambar 64.
(b)
(d)
Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di
lahan tadah hujan
133
Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi
Dikaitkan dengan pola hujan, maka hasil simulasi tanaman ini
memperlihatkan pola yang mirip dengan curah hujan. Hal ini disebabkan pada
simulasi tanaman di lahan tadah hujan, skenario yang diterapkan adalah tanpa
irigasi, artinya input air untuk tanaman murni hanya dari curah hujan. Pada saat
curah hujan tinggi, maka tanaman akan mendapat kecukupan air sehingga
produksinya tinggi. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, maka pasokan air
untuk tanaman juga berkurang dan pada akhirnya produksi tanaman akan
menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mm/bulan
tetapi produksi meningkat kemungkinan disebabkan pengaruh penggunaan input
seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi yang cukup
baik. Hubungan antara produksi padi dengan pola curah hujan di lahan tadah
hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d.
Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian
juga memperlihatkan dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan data kejadian
El Nino dari tahun 1951-2010 (Hidayati et al. 2010), maka dari periode data yang
digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El
Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968,
1969, 1976, 1977, 2004 dan 2006. Tahun El-Nino sedang adalah : 1986, 1987,
1994 dan 2002. Tahun El-Nino kuat adalah : 1965, 1972, 1982, 1991, 1997 dan
2009. Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi
134
padi, maka terlihat bahwa pada tahun-tahun kejadian El-Nino, sebagian besar
produksi padi menurun. Sebagai contoh di Kecamatan Cikedung dan
Kandanghaur, kejadian El Nino telah memberi dampak terhadap menurunnya
produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi
(Gambar 67a-c).
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan
Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode 1965-2009
135
6.3.2. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi
Simulasi tanaman padi untuk lahan irigasi dilakukan dengan asumsi
tanaman akan tumbuh optimum apabila kebutuhan airnya tercukupi. Air akan
secara otomatis ditambahkan ketika tanaman mengalami kekurangan air. Oleh
karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah
hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan
air melalui irigasi.
Lahan irigasi di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan irigasi
ujung golongan III/IV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara 3.8-5.0
ton/ha pada MK dan 5.1-5.9 ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman
memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 ton/ha pada MK dan 4.4-5.9
ton/ha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan
observasi menunjukkan hasil yang hampir sama baik di kecamatan Cikedung,
Lelea, Kandanghaur dan Terisi (Gambar 68a-d). Untuk penentuan indeks iklim,
hasil simulasi yang digunakan adalah untuk lahan tadah hujan karena sangat
dipengaruhi oleh curah hujan.
(b)
(a)
(d)
(c)
Gambar 68.
Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di
lahan irigasi
136
6.3.3. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi
Hubungan curah hujan dan produksi padi dinyatakan melalui persamaan
polinomial antara kedua parameter tersebut. Produksi padi diperoleh dari hasil
simulai DSSAT untuk skenario tanggal tanam 1 dan 15 setiap bulan. Data
produksi padi menggunakan data simulasi karena dibutuhkan data runut waktu
yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan
datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan
produksi padi dipilih untuk musim kemarau (MK) saja. Hal ini disebabkan bahwa
pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan
tadah hujan maupun irigasi, sehingga risiko petani pada MK ini cukup besar.
Risiko kekeringan yang harus ditanggung oleh petani ini dapat diminimalkan
dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu opsinya
adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim.
Untuk keperluan pengembangan asuransi indeks iklim, maka perlu
ditentukan indeks iklim yang dalam penelitian ini parameter iklim yang diplih
adalah curah hujan, sehingga untuk selanjutnya akan digunakan istilah indeks
hujan. Hubungan curah hujan dan produksi padi serta penentuan indeks hujan
akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung..
Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan
terendah pada bulan Agustus. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada
bulan Januari. Demikian juga dengan pola hari hujan yang juga mengikuti pola
curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari
hujan terbanyak pada bulan Januari (Gambar 69a). Curah hujan maksimum pada
bulan Januari dan Februari bisa mencapai lebih dari 500 mm/bulan, tetapi di
Bulan Agustus maksimum curah hujan hanya mencapai kurang dari 100
mm/bulan (Gambar 69b).
Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola
hubungan antara kedua parameter tersebut baik pada seluruh fase maupun pada
setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada
MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan
bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu
batas tertentu setelah itu menurun. Hubungan kedua parameter tersebut juga
137
cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai R2 sekitar 0.5-0.7 (kecuali fase 2).
Apabila dibedakan untuk setiap fase tanaman, maka fase 3 memperlihatkan pola
hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 (Gambar 70).
Gambar 69.
Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum (b) di
Stasiun Cikedung
Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung.
Untuk mengetahui pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman
hasil, maka dilakukan analisis regresi terboboti antara curah hujan dan produksi
padi dan diperoleh persamaan :
Y = 0.830 X1 + 5.08 X2 + 4.09 X3 ................(1)
Di mana Y=hasil padi, X1 merupakan curah hujan pada fase 1, X2 curah
hujan pada fase 2 dan X3 curah hujan pada fase 3. Dari persamaan tersebut
138
diperoleh persentase besarnya pengaruh curah hujan terhadap keragaman hasil
adalah 34% untuk fase 1, 43% untuk fase 2 dan 23% untuk fase 3. Diperoleh dari
jumlah kuadrat sequen (Seq SS) dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase
tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap
keragaman hasil padi di Cikedung dibandingkan curah hujan pada fase 1 dan 3.
Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran 4.
6.3.4. Threshold Produksi Padi
Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi
padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan
Cikedung pada MK baik di lahan tadah hujan maupun irigasi ujung, nilai
threshold padi adalah sebesar 2711 kg/ha. Artinya jika produksi padi kurang dari
2711 kg/ha, maka secara ekonomi petani tidak untung. Sementara jika produksi
padi sama dengan 2711 kg/ha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak
rugi atau impas. Selama kurun waktu 1981-2009 (29 tahun), frekuensi munculnya
threshold produksi padi <2711 kg/ha berkisar antara 1-29 kali. Artinya apabila
saat tanam tidak ditentukan dengan tepat, maka ada kemungkinan terjadi
kekeringan hampir setiap tahun. Sebagai contoh untuk tanggal tanam 15 April –
15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila
dilakukan penanaman pada tanggal tersebut dan hanya mengandalkan curah
hujan. Pada MH frekuensi kejadian threshold lebih rendah dari 2711 pada
umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15
kali dalam kurun waktu 29 tahun.
Peluang terjadinya produksi lebih rendah dari threshold berkisar dari 0.1
hingga 1. Artinya ada periode di mana hampir setiap tahun terjadi threshold
produksi kurang dari 2711 kg/ha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama
kurun waktu 29 tahun (Gambar 71a). Pada MH pada umumnya peluang
kejadiannya kurang dari 0.5, sedangkan pada MK peluangnya meningkat hingga
1. Melihat sebaran peluang kejadian ini, maka periode kritis di lokasi Cikedung
cukup lama. Hampir di sepanjang MK peluang kejadian dibawah nilai treshold
lebih dari 50%. Dipandang dari sistim asuransi, maka kondisi ini tidak cukup
139
menguntungkan bagi pihak asuransi karena peluang kejadiannya sangat tinggi.
Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya.
Periode ulang merupakan satu dibagi nilai peluangnya. Untuk lokasi
Cikedung, periode ulang di mana produksi lebih rendah dari threshold
memperlihatkan kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Artinya ada periode di mana
setiap tahun produksinya lebih rendah dari threshold, tetapi ada pula periode di
mana hampir 10 tahun sekali baru terjadi produksi lebih rendah dari threshold.
Periode ulang 2-10 tahun pada umumnya terjadi pada MH, sedangkan pada MK
hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kg/ha
(Gambar 71b).
Gambar 71.
Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711 kg/ha
di Kecamatan Cikedung
6.3.5. Penentuan Indeks Iklim
Indeks iklim adalah sebuah jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan
data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks
iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez (Martirez, 2009). Indeks iklim
ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan,
serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk
lokasi Cikedung telah diperoleh threshold produksi padi sebesar 2711 kg/ha.
Selain itu diperlukan persamaan yang menghubungkan curah hujan dan produksi
padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi yang telah dihasilkan dari analisis
sebelumnya digunakan untuk menentukan indeks iklim. Nilai threshold sebesar
2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti
dalam Gambar 72. Dengan demikian untuk nilai y=2711 kg/ha, maka diperoleh
140
nilai x=542,2. Artinya pada saat tercapai nilai threshold produksi padi, maka
curah hujannya adalah sekitar 542,2 mm/musim tanam.
Untuk menentukan indeks hujan per fase tanaman, maka digunakan
persamaan (1) yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu :
Y = 0.830 X1 + 5.08 X2 + 4.09 X3
Selain itu diperlukan nilai rata-rata curah hujan per fasenya. Dari data Cidekung
diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya adalah 207 mm (fase 1), 154
mm (fase 2) dan 134 mm (fase 3), dengan total curah hujan 495 mm dan total
standar deviasi 612 mm/musim tanam. Indeks hujan pada setiap fase diperoleh
dengan memasukkan nilai rata-rata curah hujan per fase dibagi dengan standar
deviasinya dan dikalikan dengan triger hujan untuk satu musim tanam. Setelah
dilakukan perhitungan, maka untuk lokasi Cikedung diperoleh indeks hujan
masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan
438,5 mm untuk seluruh fase (Tabel 13).
Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung
Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung
Fase 1
Indek Iklim
(207/612)x542,2=183
Fase 2
(154/612)x542,2=136
Fase 3
(134/612)x542,2=119
Seluruh Fase
(495/612)x542,2=438,5
141
6.3.6. Desain Premi dan Klaim Asuransi
Pembayaran premi ditentukan oleh besarnya risiko. Semakin besar risiko
maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko
maka premi yang harus dibayar juga semakin rendah. Premi pada umumnya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang terlibat, pada umumnya
sebesar 10-15% dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT
Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5% untuk asuransi
gagal panen akibat serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan akibat
kekurangan air irigasi atau anomali iklim. Martirez (2009) memberikan contoh
besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana (Multi Risk Cover)
sebesar 12.27%. Untuk risiko tinggi terhadap bencana alam (Natural Disaster
Cover) premi yang harus dibayar sebesar 9.07%. Premi tersebut bisa dibagi antara
pihak yang terkait yaitu petani, lembaga pemberi pinjaman (lending institution)
serta pemerintah. Premi yang harus dibayar petani pada umunya paling rendah,
dan porsi terbesar (hampir setengahnya) adalah pemerintah. Hal ini juga terlihat
dalam proyek
percontohan asuransi
pertanian
yang dilaksanakan
oleh
Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN
asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 di Sumatera Selatan, Jawa
Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha untuk menjamin usahatani padi
dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam
proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80% dari Rp.
180000/ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria
tertentu) Rp. 6 juta/ha, atau sebesar Rp. 144 ribu, sementara petani membayar
sisanya 20%, yaitu sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012).
Dari hasil di Cikedung, antara fase 1, 2 dan 3 curah hujan yang paling
besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil adalah pada fase 2. Apabila petani
mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan
lebih tinggi dibandingkan fase 1 dan 3. Dalam membuat desain premi perlu
dipertimbangkan kesediaan membayar (WTP) oleh petani yang sudah disajikan
dalam Bab V tentang usahatani padi.
Besarnya klaim ditentukan oleh nilai premi dikalikan dengan periode
ulangnya. Peluang diperoleh dari besarnya frekuensi dibagi dengan periode
142
datanya. Dalam contoh kasus di Cikedung, periode data yang memenuhi analisis
untuk threshold adalah 1981-2009 (29 tahun). Semakin besar peluang terjadinya
nilai produksi kurang dari threshold, maka akan semakin besar nilai preminya
karena risikonya semakin tinggi. Untuk mendapatkan gambaran tentang klaim
asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim.
Dalam kasus di Cikedung, telah diperoleh nilai indeks hujan pada setiap
fase, masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2) dan 119 mm (fase
3) dan total satu periode tanam sebesar 439 mm. Untuk kumulatif curah hujan,
diperoleh nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm (fase 1), 37
mm (fase 2) dan 58 mm (fase 3). Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah
hujan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan selama masing-masing fase
tanaman. Dalam penelitian ini digunakan varietas padi IR 64 dengan umur 110
hari dengan umur setiap fasenya 45 hari (fase 1), 35 (fase 2) hari dan 30 hari (fase
3). Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun
oleh Martirez (2009), yaitu :
Pembayaran = (Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif) x unit pembayaran x
Total yang diasuransikan/1000
Untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, diasumsikan polis yang
diambil petani senilai Rp 5,000,000. Indeks hujan selama satu periode tanam
adalah 439 mm, maka nilai per mm curah hujan adalah Rp. 5,000/439 = Rp.
11.402,-. Untuk menghitung nilai per mm defisit hujan per fase tanaman
diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan (1), sebagai berikut :
Fase 1 adalah 0.34x(Rp.5000/439)=Rp.3.9 per mm curah hujan
Fase 2 adalah 0.43x(Rp.5000/439)=Rp.4.9 per mm curah hujan
Fase 3 adalah 0.23x(Rp.5000/439)=Rp. 2.6 per mm curah hujan (Tabel 14).
Jika petani mengasuransikan indeks iklim untuk satu periode tanam
tercapai kondisi di mana curah hujan kumulatif lebih rendah dari indeks hujan,
maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp.
5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan.
143
Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung
Fase
Fase 1 (Vegetatif)
Fase 2 (Pembungaan)
Fase 3 (Pengisian Biji)
Total klaim
Indeks Hujan (mm) (1) Nilai per mm defisit (Rp) Kumulatif hujan (mm) Perhitungan Keuntungan Nilai Klaim (Rp)
(2)
(3)
(4)=(1-3)*(2)
(5)=(4)*Nilai Polis
183
136
119
3.9
4.9
2.6
76
37
58
416
487
159
2.081.489
2.437.466
796,094
5.315.050
Berdasarkan Gambar 73, maka periode yang berpeluang untuk dijadikan
produk asuransi indeks iklim adalah pada tanggal tanam 15 Jan-15 Feb, serta 15
September-15 Oktober, yaitu dengan periode ulang 2-4 tahun. Periode yang
berpeluang tinggi mengalami kekeringan, yaitu pada periode April-Juni. Apabila
petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik
selama satu musim maupun per fase, maka pembayaran preminya akan lebih
mahal dibandingkan periode yang lain.
Gambar 73. Periode ulang produksi < threshold 2711 kg/ha
6.3.7. Model Asuransi Indeks Iklim
Asuransi indeks iklim adalah alat yang relatif baru yang dapat digunakan
oleh petani untuk mengelola risiko iklim. Parameter iklim yang bisa digunakan
untuk penyusunan indeks iklim cukup beragam. Menurut Manuamorn (2010),
indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan
angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter
144
iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan
parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi produksi padi.
Manuamorn (2010) juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling
sering digunakan adalah indeks hujan yang ditujukan untuk memproteksi petani
dari bencana kekeringan.
Penyusunan indeks iklim memerlukan input data yang utama yaitu data
curah hujan runut waktu dalam jangka panjang (30-40 tahun) (Mapfumo 2007).
Oleh karena itu keberadaan stasiun hujan menjadi sangat penting. Selain itu,
pengembangan model asuransi indeks iklim, perlu didukung dengan data
usahatani padi serta kesediaan membayar.
Penyusunan model asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan
mulai dari desain produk hingga perhitungan klaim. Didalam desain produk
dilakukan tahapan sebagai berikut :
1.
Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi
diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT.
2.
Menganalisis hubungan produksi padi dengan R/C untuk mendapatkan
threshold produksi padi
3.
Membuat desain indeks iklim berdasarkan hubungan curah hujan dan
produksi padi serta threshold produksi.
Penghitungan indeks iklim sebaiknya dilakukan oleh suatu tim yang
disebut “sains proker” yang bekerja memberi pemahaman baik dari sisi peserta
asuransi (dalam hal ini petani) maupun yang memberi asuransi (bank/jasa
keuangan lainnya) (Boer, 2012). Tahap selanjutnya adalah pemasaran produk
yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen dan
pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya
dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan
pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan
dilakukan pembayaran penuh. Apabila lebih rendah dari trigger akan dilakukan
pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih
besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Diagram alir model asuransi
indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74.
145
Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim (dimodifikasi dari Martirez
2009)
Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya
setiap tahun, Jadi indeks iklim yang dihasilkan juga akan diperbarui setiap
tahunnya. Hal ini dilakukan agar indeks bisa mewakili kondisi iklim dengan
masukan data terbaru (near real time).
Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti
oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun
ini dibuat untuk periode asuransi yang akan datang. Persyaratan mengikuti
asuransi indeks iklim menurut Mapfumo (2007) adalah :
1.
Tersedia jaringan stasiun cuaca.
2.
Tersedia data yang berkualitas dan dalam runut waktu yang panjang (30-40
tahun).
3.
Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu.
4.
Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca
5.
Kapasitas memegang air tanah (water holding capacity) yang relatif sama
untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu.
6.
Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani yang
berkomitmen untuk asuransi ini dan yang memiliki kemampuan teknis
mengelola proses ini.
7.
Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani
8.
Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani
9.
Penanggung atau pengambil risiko bersedia untuk menanggung risiko atau
bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko.
146
Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengikuti
program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang
diusahakan di lahan sawahnya. Petani bisa memanfaatkan kalender tanam untuk
mendapatkan informasi saat tanam yang tepat. Penentuan saat tanam yang tepat
serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola
usahataninya dengan optimal. Asuransi indeks iklim didesain untuk membantu
petani meningkatkan produktifitasnya. Pada tahun-tahun yang baik (good year),
petani diharapkan bisa meningkatkan teknologi inputnya (varietas, pupuk, obatobatan, dan lain-lain) sehingga produksinya meningkat. Sementara pada tahuntahun buruk (bad year) petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks
iklim. Dengan demikian petani diharapkan akan lebih berani dalam mengambil
risiko.
Pada intinya dalam pengembangan asuransi indeks iklim, ada tiga aspek
yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka
peluang bagi
petani
untuk
kesejahteraan. Apabila
diuntungkan
sehingga
petani sejahtera, maka hal
dapat
meningkatkan
tersebut
merupakan
keberhasilan dan prestasi bagi Kementerian Pertanian. Selain itu juga akan
mengurangi gejolak sosial.
Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, penentuan lokasi bisa dilakukan
dengan data dan informasi berdasarkan peta endemik kekeringan. Selain itu,
faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) iklim/biofisik, 2) posisi
strategis sebagai sentra produksi, dan 3) kondisi petani (Las 2012).
6.4. Simpulan
Secara
umum,
hasil
simulasi
tanaman
di
lahan
tadah
hujan
memperlihatkan rata-rata produksi padi antara 1.1-1.4 ton/ha pada MK dan 3.3-4
ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani
diperoleh rata-rata produksi berkisar antara 3.2-3.6 ton/ha pada MK dan 4.7-5.7
ton/ha pada MH.
Rata-rata produksi padi di lahan irigasi ujung berkisar antara 3,8-5,0
ton/ha pada MK dan 5.1-5.9 ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman
147
memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 ton/ha pada MK dan 4.4-5.9
ton/ha pada MH.
Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi
Cikedung ditunjukkan oleh nilai R2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase
1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7.
Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34%
(fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang
paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung.
Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha.
Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode 1981-2009 adalah 0.1
hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun.
Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase
1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk keseluruhan fase pada
MK.
Download