Hubungan Kecerdasan Sosial dengan Perilaku Agresif pada Siswa

advertisement
BAB ll
KAJIAN TEORI
2.1 Perilaku Agresif
2.1.1 Pengertian perilaku agresif
Pengertian secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan
yang di lakukan oleh suatu organisme terhadap oranisme lain, obyek lain atau
bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,
sementara pada tingkat manusia masalah agresi sangat kompleks karena adanya
peranan perasaan dan proses-proses simbolik (Sarason,1967).
Baron dan Richardson (Krahe,2005) mengusulkan penggunaan istilah
agresi untuk mendiskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari
perilaku itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan menyakiti
orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi
permusuhan atau keinginan untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui
tindakan agresif. Sedangkan Baron (dalam koswara,1988) menyatakan bahwa
agresi adalah tingkah laku individu yang di tunjukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu:tujuan
untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang
menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku.
Istilah agresi inidapat di bedakan offensive aggression yaitu agresi yang
tidak secara langsung di sebabkan oleh perilaku orang lain. Yang di lawankan
dengan retaliatory aggresion yaitu agresi yang merupakan respon terhadap
provokasi orang lain. Berdasarkan pada niatnyaberdasarkan instrumental
aggresion yang terjadi ketika agresi adalah alat untuk mencapai tujuan
tertentu,sementara angry aggresion adalah perilaku agresi yang melibatkan
keadaan emosional seseorang yang sedang marah. Maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku agresif merupakan perilaku yang di lakukan individu untuk melukai atau
menyakiti individu lain dengan cara kekerasan secara verbal atau non verbal, dan
korban tidak menghendaki atas perilaku tersebut.
2.1.2 Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi
Faktor pengarah dan pencetus agresi menurut Dayakisni dan Hudaniah
(2009) yaitu
1. Deindividuasi
Menurut Lorenz , deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada
keleluasan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya
menjadi lebih intens, khususnya Lorenz mengamati efek dari penggunaan
teknik-teknikdan senjata modern yang membuat tindakan aggresi sebagai
tindakan non-emosionalsehingga agresi yang di lakukan menjadi lebih
intens.
2. Kekuasaan dan Kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat di
pisahkan dari salah satu aspek penunjang kekusaan itu, yakni kepatuhan
(complience). Bahkan kepatuhan itu sendiri di duga memiliki pengaruh
yang kuat tehadap kecenderungan dan intensitas agresi individu.
3. Provokasi
Sejumlah teroris percaya bahwa provokasi bisa mencetuskan agresi,
karena provokasi itu oleh pelaku aggresi dilihat sebagai ancaman yang
harus di hadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang
disyaratkan
oleh
ancaman
itu
(Moyer,1971).
Kecenderungan
menggunakan provokasi sebagai dalih untuk melakukan agresi meskipun
provokasi itu tidak bersifat mengancam. Dalam berbagai kasus, pelaku
agresi bahkan menggunakan provilkasi yang di ciptakannya sendiri
sebagai pembenar atau dalih bagi agresi yang dilakukannya.
4. Pengaruh Obat-obatan Terlarang (Drug effect)
Mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi tinggi akan memperburuk
proses kognitif terutama pada informasi yang kompleks dan menyebabkan
gangguan kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan
seseorang seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi
yang sulit. Gangguan kognitif ini khusunya mempengaruhi reaksi terhadap
isyarat-isyarat (cues) yang samar, sehingga lebih mungkin mereka akan
melakukan interpretasi yang salah tentang perilaku orang.
Berbeda dengan alkohol, marijuana biasanya mengakibatkan perasaan
senang, ephoria, dan jarang di kaitkan dengan tindakan kekerasan.
2.1.3
Faktor-faktor yang Mengurangi Hambatan untuk Berperilaku
Agresif
a. Rendahnya kesadaran diri (self-Awarennes)
Rendahnya kesadaran diri dapat mengurangi hambatan (inhibition)
untuk berperilaku agesi. Adanya anonimitas,tingginya arousal
emosional, kekaburan tanggung jawab, dan keanggotaan dalam
suatu kelompok yang kohesif dapat menyebabkan berkurangnya
kesadaran publik maupun kesadaran diri pribadi. Rendahnya
kesadaran diri publik menghasilkan perasaan tertentu sehingga
seseorang tidak lagi mempertimbangkan orang lain dan merasa
tidak perlu atau tidak memiliki kebutuhan untuk takut terhadap
kecaman atau tidak memiliki kebutuhan untuk takut terhadap
kecaman atau pembalasan dendam atas perilakunya (disinhibition).
Rendahnya kesadaran diri pribadi membimbing pada keadaan
deindividuasi (tidak merasa dirinya sebagai individu yang unik),
yang mengakibatkan perhatianya menjadi lebih rendah terhadap
pikiran,prasaan,nilai-nilai,dan standar perilaku yang di milikinya.
Karena itu, rendahnya kesadaran diri baik kesadaran diri publik
maupun kesadaran diri pribadi akan meningkatakan kesempatan
terjadinya perilaku agresi, karena kendali yang di pusatkan pada
agresi melemah.
b. Dehumanisasi
Hambatan untuk tidak menyakiti orang lain juga dapat menjadi
rendah jika seseorang mengangap atau melihat target person dari
tindakan
agresinya
itu
bukan
sebagai
manusia
(sebagai
setan,binatang) atau melakukan dehumanisasi pada korban. Adanya
dehumanisasi ini mengurangi perasaan bersalah dan kecemasan
sehingga pelaku agresi menjadi kurang peka terhadap atau tidak
empati terhadap penderitaan si korban.
c. The culture of Honor
Bermula dari penelitian Richard Nisbett & Dove Coven yang
menemukan adanya perbedaan tingkah laku agresi secara regional
anata Amerika Selatan dan Amerika utara, dimana kecenderungan
tingkat kekerasan di Amerika Latin lebih tinggi daripada Amerika
Utara. Menurut Nisbett & Cohen (dalam Gillovich, et.al., 2006),
hal ini dapat di jelakan karena adanya perbedaan kultur. Orangorang Amerika Selatan memiliki nilai kultur yang di sebut dengan
cultur of honor,yakni menekankan berlebihan atas kejantanan,
ketangguhan, dan kesediaan/kemauan serta kemampuan untuk
membalas kesalahan atau hinaan dari orang lain demi untuk
mempertahankan kehormatan. Sehingga mereka,menjadi lebih
sensitif terhadap hinaan atau ancaman yang mengarah pada
kehormatan diri, dan hal ini membangkitkan suatu kewajiban untuk
merespon dengan kekerasan untuk melindungi atau memantapkan
kembali kehormatanya.
2.1.4
Aspek-Aspek Perilaku Agresif
Buss dan Perry (1992) menyatakan bahwa ada empat aspek perilaku
agresif yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan permusuhan :
a) Agresi fisik adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang,
melukai dan melanggar hak orang yang dilakukan secra fisik.
b) Agresi verbal adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang,
melukai dan melanggar hak orang lain berupa perkataan atau
percakapan.
c) Kemarahan adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh
sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman, agresi
lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau
frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf
otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik, dan
secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang
bersifat somatic atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.
d) Permusuhan adalah kecenderungan ingin menimbulkan kerugian,
kejahatan, gangguan atau kekerasan pada orang-orang lain dan
kecenderungan melontarkan ras kemarahan pada orang lain.
2.1.5
Bentuk-Bentuk perilaku agresif
Byrne (dalam Kisworowati, 1992) , membedakan agresi menjadi dua
yaitu agresi fisik yang dilakukan dengan cara melukai atau menyakiti
badan dan agresi verbal yaitu agresi yang dilakukan dengan mengucapkan
kata-kata kotor atau kasar.
Pendapat lain kemukakan oleh Buss & Perry (dalam Ekapeni,
2001) menurut Buss ada delapan perilaku agresif yaitu:
a. Agresi fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk,
memukul, mencubit.
b. Agresi fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
menjebak untuk mencelakakan orang lain.
c. Agresi verbal aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menolak
melakukan sesuatu.
d. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalny mencaci
maki orang lain.
e. Agresi verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
menyebarkan gosip tidak baik tentang orang lain.
f. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak
mau bicara dengan orang lain.
g. Agresi verbal pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya
diam saja meskipun tidak setuju.
2.2 Kecerdasan Sosial
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Sosial menurut Goleman (2006)
kecerdasan sosialadalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam
pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang
di sekeliling atau sekitarnya. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan
menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dangan seseorang.atau sebuah
kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan
menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk “membaca” teman
bicaranya.
2.2.2
Aspek-Aspek Kecerdasan Sosial menurut Goleman (2006)
Kecerdasan sosial dapat di kategorikan menjadi dua kategori : yaitu kesadaran sosial dan social facilty.
Kesadaran sosial, yaitu kesadaran sosial atau kepekaan kita terhadap sesama. Dan social facilty, yaitu apa
yang kita lakukan dengan kesadaran itu sendiri.
1) Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial mengarah pada sebuah spectum dan yang secara tidak langsung
merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain: memahami perasaan dan pikirannya
untuk ikut terlibat dalam situasi yang sulit. Kesadaran sosial ini meliputi :
1. Primal Emphaty (Empati terpenting) perasaan terhadap seorang yang
lain,merasakan tanda isyarat emosi
2. Attunement (penyesuaian / Adaptasi) Mendengarkan dengan kemauan
penuh membiasakan diri mendengarkan seseorang
3. Empathic accurary (Empati yang tepat) Memahami pikiran gagasan,
perasaan dan kehendak orang lain.
4. Social cognition (Kesadaran sosial) Mengetahui bagaimana kehidupan
bersosialisasi terjadi
2) Kecakapan Sosial
Secara sederhana yakni merasakan perasaan orang lain, atau sekedar tahu apa yang
mereka pikirkan ataupun inginkan, tidak sama sekali menjamin sebuah
keberhasilan dalam suatu interaksi. Kecakapan sosial terbentuk dalam kesadaran
sosial untuk
memenuhi sebuah interaksi yang lancar dan efektif. Spektrum
kecakapan sosial meliputi:
1. Synchrony (Sinkroni) : Menginteraksikan dengan lancar pada level non
verbal.
2. Self Presentation (Presentasi Diri Pribadi) : Mempresentasikan diri sendiri
dengan efektif.
3. Influence ( Pengaruh) : Menghadirkan jalan keluar dari interaksi sosial.
4. Concern ( Peduli) : Peduli terhadap orang lain sesuai dengan kebutuhan
dan perilaku masing-masing individu.
Kesadaran sosial dan kecakapan sosial dua-duanya mencakup jangkauan
mulai dari dasar, kapasitas yang rendah, hingga mencakup artikulasi yang
kompleks. Oleh karena itu, sinkroni dan primal empati tergolong dalam
kapasitas rendah, sementara empati yang tepat dan pengaruh bercampur
antara tinggi dan rendah. Dan sama „lembutnya‟ dengan beberapa
keterampilan yang mungkin terlihat, terdapat jumlah yang mengejutkan
tentang ujian-ujian dan skala untuk menilainya.
2.2 Penemuan yang relevan
Wulandari (2010) melakukan penelitian dengan judul Hubungan
kecerdasan
sosial
dengan
perilaku
agresif
pada
siswa
SMK
Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta dengan hasil yang menunjukan
nilai rxy –0,421 dengan p= 0,001(p<0,01) dengan angka tersebut
membuktikan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara
kecerdasan
sosial
dengan
perilaku
agresif
pada
siswa
SMK
Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta.
2.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adanya hubungan negatif yang signifikan
antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif.
Download