crowding (kesesakan) dan density (kepadatan)

advertisement
CROWDING (KESESAKAN) DAN DENSITY (KEPADATAN)
HASNIDA, S.Psi.
Fakultas Kedokteran
Program Studi Psikologi
Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN.
Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan
menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang.
Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di
dunia tidak terbatas.
Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di
dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara
(misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang
bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial
yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk
adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif
destruktif.
Berdasarkan fenomena yang muncul dari dari realitas kini dan perkiraan
berkembangnya dan timbulnya masalah di masa yang akan datang, maka dalam
perspektif psikologi lingkungan kiranya dipandang tepat untuk menjadikan
kesesakan dan kepadatan menjadi argumen bagi suatu pengkajian secara lebih dini
dan lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi persoalan-persoalan sosial yang
pasti akan timbul pada masa kini dan masa yang akan datang.
II. MENGAPA PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT.
Masalah kependudukan atau lebih tepatnya lagi masalah kepadatan penduduk
yang melanda hampir hampir semua negara di dunia dewasa ini, sebenarnya adalah
akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat
kesuburan. Umumnya di negara-negara berkembang (maju) sudah mampu
menurunkan tingkat kesuburannya, sedangkan di negara yang sedang berkembang
belum mampu menurunkan tingkat kematian dan tingkat kesuburannya.
Sekarang ini, kira-kira ¾ penduduk dunia hidup di negara-negara yang
sedang berkembang. Dibandingkan dengan mereka yang hidup di negara
berkembang (maju) tingkat kelahirannya berbeda jauh. Di negara yang sedang
berkembang angka kelahirannya mencapai 37.5 per 1000 penduduk. Seorang wanita
di negara sedang berkembang mempunyai 5-6 orang, sementara di negara maju
rata-rata jumlah anaknya hanya 2 orang.
Angka kelahiran yang tertinggi terjadi di beberapa negara Asia dan Afrika,
dimana untuk setiap pasangan suami-istri mempunyai rata-rata jumlah anak 6-8
orang. Di negara-negara ini angka kelahirannya tersebut tercatat cukup tinggi, yaitu
mencapai 45 per 1000 penduduk.
Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di
negara-negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang
diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan
penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Sejak berabad-abad lamanya kesuburan yang tinggi itu merupakan jawaban
terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup
keluarga bangsa dan agama.
2. Di negara-negara yang sedang berkembang, anak adalah kekayaan orang tua
yang paling dibanggakan karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan
2002 digitized by USU digital library
1
emosi di hari tua. Oleh karena itu, kesuburan sangat dihormati untuk
menjamin cukup anak, terutama anak laki-laki. Di negara-negara agraris,
anak laki-laki sangat diperlukan untuk membantu mengerjakan sawah ladang
atau melaksanakan upacara keagamaan tertentu pada waktu orang tuanya
meninggal. Anak juga dianggap merupakan jaminan bagi para ibu, apabila
kelak mereka diceraikan atau dimadu.
3. Di negara-negara yang sedang berkembang, perkawinan pada usia remaja
sering dilakukan, terutama bagi wanita di daerah pedesaan. Banyaknya
perkawinan muda usia tersebut antara lain disebabkan orang tua merasa
malu kalau anak gadisnya belum ada yang melamar, takut menjadi perawan
tua. Oleh karena itu, banyak orang tua yang aktif mencarikan jodoh (calon
suami) bagi anak gadisnya, meskipun anak gadisnya belum cukup umur
untuk menikah, bahkan belum menginjak usia remaja.
4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera
dikaruniai anak. Bagi mereka ini penting, sebab anak dari perkawinan
tersebut merupakan bukti kesuburan anak gadisnya atau kejantanan anak
laki-lakinya. Kebudayaan untuk menunda anak pertama pada usia yang lebih
tua belum ada, sehingga pasangan itu akan dihadapkan kepada masa subur
yang sangat panjang.
5. Menurut Masri Singarimbun (1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik
di desa maupun di kota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya
keluarga ideal. Keluarga yang ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4
orang anak, dengan 2 laki-laki dan 2 perempuan. Kalau ditakdirkan hanya
mempunyai anak laki-laki saja atau perempuan saja, maka jumlah anak
tersebut tidak lebih dari 4 – 5 anak (Sumapradja, 1981).
III. MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP.
Strategi konservasi dunia dicanangkan 6 Maret 1980. Juga di Indonesia
strategi tersebut memberikan cetak biru bagi aksi konservasi dan pemanfaatan
sumber daya alam secara berkesinambungan serta menunjuk pentingnya aksi
terpadu dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup, sumber daya alam,
dan kependudukan.
Hubungan antara masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup
memang sangat kompleks dan sangat majemuk sifatnya, karena di dalamnya
tercakup banyak sekali faktor-faktor, misalnya saja dampak teknologinya, pola
konsumsinya, dan faktor-faktor sosial, ekonomi, serta politiknya.
Adanya Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet
sekarang ini sudah memberikan gambaran adanya hubungan timbal balik yang erat
sekali antara penduduk dan lingkungan hidup ini.
Kepadatan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan pada daya
dukung alam lingkungannya. Manakala tekanan tersebut melampaui batas
kemampuan daya dukung alam lingkungan tersebut, mejadi rusak lingkungan
hidupnya.
Sebaliknya, suatu lingkungan hidup yang terpelihara kelestariannya akan
sangat menunjang bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Dengan jumlah
penduduk yang terus bertambah, sementara lahan untuk pertanian dan pemukiman
sangat terbatas, memungkinkan timbulnya “lapar tanah”. Lapar tanah untuk
pertanian sangat terasa di Jawa yang jumlah penduduknya hanya 60% dari seluruh
penduduk Indonesia. Sedangkan sawah-sawah kelas satu di pinggiran kota dan di
sepanjang jalan ekonomi menciut akibat perluasan daerah pemukiman serta
kegiatan industri.
Kaki-kaki gunung di Jawa sekarang sudah tidak luput dari jamahan tangantangan manusia. Kelaparan akan tanah ini jelas terlihat dengan merayapnya
2002 digitized by USU digital library
2
kegiatan pengolahan tanah serta pembangunan menuju puncak-puncak bukit dan
gunung.
Kesinambungan kehidupan alami sudah tidak diperhitungkan lagi. Tegakan
pepohonan yang tadinya berfungsi untuk menahan curah hujan dan mengatur aliran
air, sekarang sudah digantikan dengan tanaman ketela pohon atau jagung.
Akibatnya, di musim hujan terjadi genangan air, tetapi di musim kemarau orang sulit
mencari air.
Ahli-ahlipun mengatakan daya dukung lingkungan sudah terlampaui oleh
kepadatan penduduk. Akibatnya, keseimbangan kehidupan antara manusia dan
lingkungannya terganggu. Gangguan tersebut akan mengarah kepada keadaan yang
lebih parah dan merugikan, apabila tidak ada usaha untuk memperbaikinya.
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal itu, anatar lain
program penghijauan dan reboisasi, sementara untuk mengurangi tekanan penduduk
agar tidak melampaui daya dukung alam serta lingkungan dilakukan transmigrasi.
Namun, semua usaha ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Dari gambaran tadi, jelas nampak ada hubungan erat antara unsur manusia
dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup (Tanah Air, 1983)
IV. PERTUMBUHAN PENDUDUK MENGANCAM KESEIMBANGAN LINGKUNGAN.
Sejak masalah kependudukan dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus lebih
dari satu abad yang lalu, maka masalah itu mulai diapandang serta didekati dari
berbagai aspek dan kemudian berkembang menjadi subyek, dengan dimensi aneka
ragam. Di negara-negara berkembang hal ini berjalan cepat, karena tuntutan
pembangunan nasional telah melibatkan masalah kependudukan sebagai masalah
pokok. Berbagai aspek kehidupan mulai terganggu oleh pertambahan penduduk
yang cepat, seperti kehidupan sosial ekonomi, budaya politik, hankamnas, dan
lingkungan hidup.
Hambatan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara
berkembang umumnya karena adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif,
yang pada hakekatnya menolak perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia
termasuk dalam masyarakat heterogen yang sifatmya tradisional dan religius,
misalnya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak
adalah investasi bagi orang tuanya di masa depan.
Pola berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi
penduduk yang sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional
tumbuh subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai
keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang
padat penduduk ke Pelau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak
dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang
beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh
ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh
harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya.
Perubahan di bidang nilai-budaya memerlukan waktu yang lama dan perlu
dilaksanakan dengan seksama. Tetapi, membiarkannya sebagai proses evolusi,
berdasarkan berbagai pertimbangan akan memperlambat pencapaian tujuan. Tujuan
dalam konteks ini adalah pembangunan segala bidang bagi kesejahteraan rakyat
banyak (Tanah Air, 1983).
Di sisi lain, sebagian pengamat sosial berpendapat bahwa pelaksanaan
transmigrasi yang dilakukan selama ini terkesan hanyalah sekedar upaya membuang
orang dari kepadatan. Meski ada yang berhasil, secara umum yang ada hanyalah
kegagalan, keluhan, jeritan perasaan disingkirkan. Namun, itu dipoles atas nama
pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
2002 digitized by USU digital library
3
Di antara mereka yang ditansmigrasikan lewat program pemerintah, ternyata
tidak sedikit yang pulang kembali ke daerah asalnya. Mereka merasa tidak produktif,
tidak dimanusiakan setelah berada di daerah tujuan transmigrasi (Maryoto, 2000).
Bertolak dari pemikiran ini, pemerintah mengadakan usaha untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk dengan program Keluarga Berencana. Namun, sejauh
itu KB bukan satu-satunya cara yang sasarnnya terbatas bagi pasangan suami-istri
yang masih subur, sedang golongan muda yang belum menikah terhindar dari
usaha tersebut. Padahal pada waktu dekat, mereka akan menjadi “potential
acceptor”.
Masalah kependudukan bukan hanya karena naiknya tingkat kelahiran
(fertilitas), tetapi juga masalah kepadatan penduduk (density). Pulau Jawa dan
Madura misalnya mempunyai kepadatan tertinggi pada tahun 1971, yaitu 576 orang
per km2, sedangkan pulau lainnya di bawah 50 orang.
Pertumbuhan pendudk dipengaruhi oleh tiga komponen variable demografi
yang meliputi fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Apabila masalah kependudukan tidak
dapat dibenahi, implikasinya akan semakin kompleks. Aristoteles dalam karyanya
berjudul Politics menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penghuni pada suatu
pemukiman dengan melebihi batas tertentu akan mempengaruhi hubungan antara
penghuni tersebut. Artinya, terjadi kepincangan kehidupan sosial ekonomi, budaya,
politik, dan hankamnas, dan lingkungan hidup.
Setiap usaha pelestarian alam tak lain untuk mendukung lingkungan agar
tercapai keseimbangan manakala manusia melaksanakan kegiatannya sehari-hari.
Komponen lingkungan yang terdiri dari manusia, materi, energi, dan kreasi oleh ilmu
lingkungan diatur agar komponen serta hubungan timbal baliknya dapat
mempertahankan eksistensi manusia, menciptakan dinamika dan kesejahteraan
manusia. Pemecahan masalah lingkungan oleh ilmu lingkunganbaru dapat dikatakan
berhasil apabila pengaturannya dilaksanakan pada areal ang tetap dengan jumlah
manusia yang tetap pula.
Disini terlihat merupakan korelasi belaka dari setiap komponen lainnya,
dimana ilmu lingkungan sebagai suatu system lingkungan sebagai suatu system
pencegahan terhadap tindak lanjut manusia terhadap kerusakan lingkungan dan
sekaligus mencoba mengurangi masalah yang sudah terjadi. Bagaimana seharusnya
manusia ditempatkan sebagai faktor utama di dalam pengelolaan lingkungan, karena
manusia paling dominan dalam tingkah lakunya terhadap lingkungan sendiri.
Barangkali, konsep demografi George W. Barclay dapat memberikan gambaran yang
menarik dari penduduk, bahwa demografi mempelajari tingkah laku keseluruhan dan
bukan tingkah laku perorangan.
Darwin juga menunjukkan pembuktian pada flora dan fauna, dan Durkheim
(Antropolog) melihatnya dalam masyarakat bahwa suatu pertambahan penduduk
sementara areal tetap, maka cenderung menghasilkan perbedaan dan
pengkhususan. Dampak dari penduduk padat (density) akan menambah
kompleksitas struktur sosialnya, yang pada akhirnya akan mengganggu
keseimbangan lingkungan hidup (Tanah Air, 1983).
V.KEPADATAN DAN KESEHATAN FISIK.
Kepadatan mencakup banyak dimensi. Kepadatan tidak hanya mencakup
dimensi fisik seperti ukuran jumlah penduduk per wilayah atau jumlah orang per
rumah (kepadatan hunian dan kepadatan rumah) akan tetapi juga mengandung
aspek sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kepadatan perlu memperhatiakn
aspek lain di luar aspek fisik. Berbagai aspek tersebut terutama yang
menguntungkan kehidupan penduduk perlu dipertahankan sehingga kebiasaan dan
perilaku yang positif tetap dapat dipertahankan. Dengan demikian, identitas cultural
2002 digitized by USU digital library
4
penduduk tetap terjaga, terutama tatanan sosial seperti misalnya interaksi sesama
penduduk, kebiasaan saling mengunjungi serta saling pinjam meminjam ada pada
upaya perbaikan pemukiman.
Di tinjau dari segi penduduk, terungkap bahwa rumah padat bagi penduduk
berarti rumah yang luasnya tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, serta tidak
ada tempat bermain atau halaman. Kriteria ini sesuai dengan kriteria yang dianut
para ahli, akan tetapi ukuran lain seperti jumlah orang yang tidur dalam satu kamar,
jumlah ruangan dalam kamar, jumlah WC per orang/rumah, jumlah anak balita per
tempat tidur, dan lain-lain ukuran yang berkaitan dengan jumlah fasilitas perumahan
dengan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran kepadatan oleh penduduk.
Oleh karenanya, penyuluhan tentang hal ini perlu ditingkatkan tidak hanya oleh
Dinas Kesehatan tetapi juga Dinas Perumahan dan pihak-pihak lain yang berkaitan
dengan jumlah fasilitas perumahan dan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai
ukuran kepadatan (Surjadi et al., 1996).
Sangatlah mengherankan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang,
dampak kepadatan yang berlebihan (overcrowding) terhadap kesehatan masih
belum banyak mendapat perhatian. Oleh Karena itu, pada tahun 1992, UNCHS
(habitat) minta kepada kelompok-kelompok konsultan internasional dan para peneliti
untuk meneliti dan mengidentifikasi hubungan timbal balik yang mendasar antara
kepadatan di dalam rumah (in-house crowding) dan kesehatan di daerah
perkampungan dengan masyarakat berpenghasilan rendah.
Analisa statistik dipusatkan pada identifikasi indikator-indikator kepadatan
yang bermakna (signifikan) untuk dampak kesehatan yang buruk (poor health
outcome), misalnya diare, batuk/demam (penyakit saluran pernapasan, dan berat
badan waktu lahir.
Parameter-parameter kepadatan, jumlah orang per ruangan (persons per
room) dan jumlah anak berusia di bawah lima tahun (balita) per ruang muncul
sebagai resiko yang bermakna untuk diare dan penyakit saluran pernapasan. Jumlah
orang per ruangan akan muncul terutama sebagai faktor risiko yang bermakna
dalam analisa multivariate bila dicari faktor resiko yang paling dominan.
Indikator kepadatan di dalam rumah, luas lantai (dalam m2) per orang atau
per anak balita juga muncul sebagai faktor resiko. Terlihat bahwa lantai rumah yang
kurang dari 10m2 per orang merupakan faktor resiko yang bermakna baik untuk
diare maupun batuk/demam. Indikator kepadatan yang lain yang dianalisa adalah
jumlah orang jumlah balita per keluarga dan luas kamar tidur atau kepadatan di
dalam kamar tidur. Tidak satupun dari indikator kepadatan ini muncul sebagai faktor
resiko yang bermakna. Kurang lebih 20% dari keluarga yang diteliti bertempat
tinggal dalam satu unit rumah bersama dengan kegiatan komersial (commercial
activity). Menyiapkan makanan untuk rumah makan yang berskala kecil dan
menyablon kaos dapat merupakan faktor resiko (Cowi, 1996).
VI.KEPADATAN DAN KESEHATAN MENTAL.
Petambahan penduduk yang eksplosif dan lajunya arus urbanisasi ini jelas
merupakan beban bagi perkotaan. Salah satu masalah yang timbul adalah masalah
penyediaan pemukiman bagi penduduk, karena kebutuhan akan pemukiman sudah
merupakan kebutuhan masyarakat di samping sandang dan pangan. Pertambahan
penduduk dan keterbatasan lahan untuk pemukiman di kota menimbulkan daerah
yang semakin padat. Dalam tinjauan psikologi lingkungan, maka pemukiman
penduduk perkotaan pada umumnya mempunyai dua ciri, yaitu kepadatan (density)
dan kesesakan (crowding) yang tinggi.
Proporsi luas tanah untuk rumah tempat tinggal penduduk kota yang semakin
sempit menyebabkan kepadatan yang tinggi dan ruang untuk keperluan-keperluan
individu dan kelompok juga semakin menyempit. Menurut Holahan (1982),
2002 digitized by USU digital library
5
kepadatan (density) adalah sejumlah individu pada setiap ruang atau wilayah.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam dan kepadatan luar.
Kepadatan dalam berarti jumlah manusia dalam suatu ruangan, sedangkan
kepadatan luar berarti jumlah orang atau pemukiman di suatu wilayah. Dalam
hubungannya dengan kondisi psikologis penghunian rumah, kiranya apa yang
dikatakan oleh Holahan dan definisi kepadatan dalam dari Altman lebih bisa
diterapkan, dimana dalam setiap unit rumah dihuni oleh sejumlah orang.
Rumah merupakan lingkungan yang paling dekat dan penting bagi manusia
karena hampir setengah dari hidupnya dihabiskan di rumah (Awaldi, 1990). Parwati
(dalam Budiharjo, 1984) mengatakan bahwa fungsi rumah bagi orang hidup semakin
penting, di samping tempat berlindung, rumah juga berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai-nilai,
adat kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, juga rumah berfungsi sebagai
tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup.
Mengingat pentingnya fungsi rumah sebaiknya rumah dapat dirasakan
sebagai suatu lingkungan psikologis yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman
bagi penghuninya dan perlu dihindarkan rumah yang terlalu sempit. Penyempitan
ruang individual dalam rumah akan menimbulkan berbagai macam permasalahan
psikologis yang serius. Suasana tidak nyaman tersebut disebabkan oleh banyaknya
anggota keluarga yang menempati rumah tersebut, banyaknya orang yang berlalu
lalang di sekitar rumah, dan jarak antar rumah yang terlalu dekat, serta suara
biasing yang mengganggu terus menerus. Kondisi ini jelas akan merugikan
perkembangan psikologis anggota keluarga, terutama pada anak-anak dan remaja.
Selain masalah kepadatan, ciri kedua dari pemukiman kota adalah kesesakan.
Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap
keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena
terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila
individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan
ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu
banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak
terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)
Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi
bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga
konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information
overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam
Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga
konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan.
Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi
yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila
kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka
mulailah timbul masalah-masalah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa
menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep
ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung
wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan
saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah
timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan
bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk aktifitas
sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1)
munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres,
tekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi
2002 digitized by USU digital library
6
sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial
yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong
(prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan
suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).
Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang
berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan
stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka
akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan
kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres.
Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam
berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu
dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak
diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini
memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain
(intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada
orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan
tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama,
membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan
orang lain (Mussen et al., 1979).
Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam
mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini
seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti
kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).
Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa
sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada
stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan
dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban
indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu
kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).
VII. STRATEGI ADAPTASI DALAM SITUASI KEPADATAN SOSIAL.
Ketika manusia dihadapkan pada situasi padat, yang dapat dipersepsikan
sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia melakukan adaptasi. Hal ini
berarti ada hubungan interaksionistis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan
dapat mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi manusia
(Holahan, 1982). Oleh karena bersifat saling mempengaruhi maka terdapat proses
adaptasi dari individu dalam menanggapi tekanak-tekanan yang berasal dari
lingkungan seperti yang dinyatakan oleh Sumarwoto (1991), bahwa individu dalam
batas tertentu mempunyai kelenturan. Kelenturan ini memungkinkan individu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan adapatasi ini mempunyai
nilai untuk kelangsungan hidup.
Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi lingkungan,
yang merupakan proses tingkah laku umum yang didasarkan atas faktor-faktor
psikologis untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang
akan datang (Altman dalam Gifford, 1980). Dengan demikian, adaptasi merupakan
tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu
peristiwa di masa yang akan datang. Pengertian adaptasi sering dibaurkan dengan
pengertian penyesuaian. Adaptasi merupakan perubahan respon pada situasi,
sedangkan penyesuaian merupakan perubahan stimulus itu sendiri. Misalnya dalam
menghadapi air yang panas, penyesuaian diri dilakukan dengan memasukkan tangan
yang diselimuti kaos tangan, tetapi ketika orang melakukan adaptasi, orang berlatih
memasukkan tangan ke tempat air panas yang dimulai dari suku terrendah yang
2002 digitized by USU digital library
7
mampu memasukinya dan kemudian secara bertahap dinaikkan suhu air tersebut
(Sonnenfelt, 1966 dalam Baum et al, 1978) (Helmi, 1994)..
Tujuan adaptasi dikatakan Berry (Altman et al., 1985) untuk mengurangi
disonansi dalam suatu system, yaitu meningkatkan harmoni serangkaian variable
yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia-lingkungan, disonansi
dalam suatu system dapat diartikan ada ketidakseimbangan transaksi antara
lingkungan dan manusia. Salah satu bentuk ketidakseimbangan tersebut adalah
tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas manusia untuk mengatasinya.
Salah satu upaya mencapai keseimbangan adalah melakukan pembiasaan
terhadap stimulus yang datang secara konstan, sehingga kekuatan stimulus
melemah (Heimstra & McFarling, 1978; Bell et al., dalam Gustinawati, 1990). Inilah
yang disebut adaptasi. Orang dikatakan mampu beradaptasi secara efektif jika dalam
situasi yang menekan, terjadi keseimbangan, baik dalam aspek psikis maupun fisik.
Indikator strategi adaptasi yang efektif dalam situasi kepadatan sosial yang tinggi
dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek kesesakan (crowding), aspek kemampuan
konsentrasi, dan aspek tekanan darah (arousal). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa adaptasi dalam situasi kepadatan sosial tinggi dilakukan dengan cara
membiasakan diri dalam situasi kepadatan sosial tinggi sampai dicapai kondisi yang
seimbang, yang tercermin dari rendahnya kesesakan, kemampuan berkonsentrasi,
dan tidak terjadi arousal.
Pengertian adaptasi berbeda dengan koping. Koping tidak memperhatikan
hasil (Folkman, 1984), sedangkan adaptasi mementingkannya (Fisher et al., 1984).
Namun demikian, strategi adaptasi dilakukan atas dasar strategi koping yang dipilih.
Pemilihan strategi koping dikatakan Folkman (1984) didasarkan atas penilaian
primer dan sekunder.
Pilihan strategi koping dalam situasi kepadatan sosial tinggi bersifat
individual, juga tergantung pada faktor situasional dan faktor kondisi sosial (Fisher et
al., 1984).
Faktor situasional yang dimaksud adalah apakah individu berada dalam
situasi yang saling mengenal atau belum. Orang yang belum mengenal sebelumnya,
kemungkinan besar mengalami penyebab kesesakan.
Kondisi sosial yang dimaksudkan adalah ‘iklim’ interaksi sosial, misalnya iklim
kompetitif ataukah kooperatif. Dalam situasi kooperatif, perasaan tenggang rasa dan
kehendak memperhatikan orang lain, lebih penting, sehingga individualitas kurang
penting artinya. Dalam situasi kompetitif, individualitas dijunjung tinggi, sehingga
orientasi seseorang terhadap produktivitas kerja semata-mata bersifat individual.
Kehadiran orang lain, seringkali dianggap mengancam dirinya. Jika dikaitkan dengan
kepadatan sosial, dalam iklim kompetitif, kehadiran orang lain lebih dipersepsikan
sebagai ancaman, sehingga perasaan kesesakan/stres semakin tinggi.
Faktor kepribadian, terutama harga diri, berpengaruh besar dalam
menanggapi tekanan kepadatan sosial (Gove dalam Gove & Hughes, 1983). Harga
diri tinggi lebih mampu mempertahankan jarak lebih dekat dengan orang lain
(Brigham, 1991). Harga diri dan kesesakan berkorelasi negatif (r=0.4755;p<05) dari
studi pendahuluan yang dilakukan pada subyek mahasiswa teknik elektro UGM.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa di dalam manipulasi kepadatan
sosial tinggi, terdapat interaksi antara faktor situasional (kompetitif), faktor kondisi
sosial (situasi di antara subyek kurang saling mengenal), dan faktor kepribadian
(tingkat harga diri). Dinyatakan oleh Holahan (1982) bahwa manusia adalah agen
aktif dalam mengatasi tekanan lingkungan, sementara itu aspek penting dari
kepribadian adalah harga diri (Coopersmith dalam Hidayati, 1995). Dengan
demikian, harga diri diduga yang paling berpengaruh dalam pemilihan strategi
koping.
2002 digitized by USU digital library
8
Salah satu staregi koping adalah menyusun kembali latar fisik berdasarkan
prinsip environmental-fit model, yaitu merancang bangunan sesuai dengan tipe-tipe
interaksi sosial (Brigham, 1991). Jika interaksi sosial yang diinginkan seminimal
mungkin diijinkan, diperlukan tingkat privasi yang optimal. Caranya adalah membuat
rancangan bangunan fisik dengan mempertimbangkan ruang personal (personal
space) dari territorial (Holahan, 1982; Guilford, 1987), sehingga kontrol personal
meningkat (Humphrey Osmond dalam Gifford, 1987).
Ruang personal adalah ruang di sekitar individu yang tidak mengijinkan
individu lain memasukinya (Holahan, 1982). Biasanya, ruang tersebut digambarkan
sebagai gelembung yang tidak tampak, menyelimuti seseorang, dan dibawa kemana
saja. Sifat lainnya adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan
kondisi. Namun demikian, ruang personal dikontrol kuat oleh seseorang. Jika terjadi
pelanggaran, dianggap sebagai ancaman. Hal ini disebabkan oleh fungsi ruang
personal adalah melindungi harga diri seseorang (Dosey & Meisels dalam Gifford,
1987), sehingga menurut teori beban lingkungan, stimulasi informasi tetap dalam
kondisi optimal . Ruang personal bagi Altman (Brigham, 1991) merupakan salah satu
upaya meningkatkan privasi.
Cara memperoleh ruang personal dengan merancang bangunan fisik yang
menghambat interaksi sosial (latar sosiopetal). Latar sosiopetal terlihat pada meja
makan yang dikelilingi tempat duduk yang saling menatap, sedangkan latar
sosiofugal terlihat pada tempat duduk di ruang tunggu pelabuhan udara (Osmond
dalam Gifford, 1987).
Sementara itu, territorial dipandang Sommers sebagai tempat yang dimiliki
atau dikontrol individu atau kelompok (Fisher et al., 1984). Menurut teori beban
lingkungan, territorial berfungsi menurunkan jumlah dan kompleksitas stimulasi.
Teritorial menurut pandangan ekologis merupakan upaya mempertegas batas-batas
kepemilikan sumberdaya, batas antara pemiliki dan bukan pemilik. Teritorial
menurut teori kendala perilaku merupakan upaya meningkatkan kontrol personal
terhadap lingkungan sehingga privasi yang optimal dapat tercapai. Diperolehnya
kontrol personal merupakan dasar pengembangan identitas personal (Edney dalam
Holahan, 1982). Salah satu penelitian tentang territorial di laboratorium dilakukan
oleh Desor (Holahan, 1982). Desor menggunakan partisi, baik yang permanen
maupun bukan dalam laboratorium merupakan upaya efektif mengatasi perasaan
kesesakan.
Seperti yang telah diuraikan, bahwa pemilihan strategi koping ditentukan oleh
faktor kepribadian, yaitu tingkat harga diri, yang dimulai dari proses penilaian primer
dan sekunder. Penilaian primer subyek harga diri tinggi adalah percaya pada diri
sendiri, sehingga dalam situasi kepadatan sosial tinggi, situasi di antara subyek
kurang saling mengenal dan dalam iklim kompetitif, kehadiran orang lain tidak
dipersepsikan sebagai ancaman (penilaian sekunder). Akibatnya, strategi koping
yang dipilih didasarkan kebutuhan untuk memperoleh ruang personal, tanpa perlu
kejelasan batas-batas fisik. Persentase latar sosiofugal diperkirakan lebih banyak
dipilih subyek harga diri tinggi sebagai strategi koping. Strategi tersebut akan
dipertahankan sebagai strategi adaptasi dan merupakan strategi adaptasi yang
efektif.
Dalam situasi kepadatan sosial tinggi, di antara subyek kurang saling
mengenal dan dalam kondisi kompetitif; kehadiran orang lain dipersepsikan sebagai
ancaman bagi subyek harga diri rendah. Hal ini disebabkan, penilaian primer subyek
harga diri rendah adalah kurang percaya diri dan memandang orang lain lebih
mampu (penilaian sekunder). Strategi koping yang dipilih adalah territorial. Melalui
territorial kontrol personal dapat ditingkatkan (Sommers dalam Fisher et al., 1984),
informasi dapat diseleksi, dan kebebasan memilih perilaku dapat dilakukan. Strategi
adaptasi dan merupakan strategi adaptasi yang efektif (Helmi dan Ancok, 1995).
2002 digitized by USU digital library
9
DAFTAR PUSTAKA
Cholidah, Lilih; Ancok, Djamaludin; dan Haryanto. 1996. Psikologika Nomor 1 :
Hubungan Kepadatan Dan Kesesakan Dengan Stres Dan Intensi
Prososial Pada Remaja Di Pemukiman Padat.
Cowi. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan : Crowding and Health in LowIncome Settlements, Studi Kasus di Jakarta Mei 1993-Juni 1994.
Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Evans, Gary W.; Schoeder, Alex: dan Lepore, Stephen J. 1996. Journal Personality
and Social Psychology : The Role Of Interior Design Elements In
Human Responses To Crowding. American, American Psychological
Association.
Helmi, Avin Fadilla. 1994. Buletin Psikologi, Tahun II, Nomor 2 : Hidup Di Kota
Semakin Sulit, Bagaimana Strategi Adaptasi Dalam Situasi Kepadatan
Sosial ? Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
1995. BPPS-UGM : Strategi Adaptasi Yang Efektif Dalam
Situasi Kepadatan Sosial. Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
Maryoto, Andreas. 2000. Kesan Sekilas Transmigrasi : Hanya Membuang Orang
Dari Kepadatan. Jakarta, Lembaga Demografi FEUI.
Sumapradja, Sudraji. 1981. Kabar : Kenapa Penduduk Dunia Makin Padat.
Jakarta, PKBI.
Sulistyani, Nurul; Faturochman; dan As’ad, Mohamad. 1993. Jurnal Psikologi,
Tahun XX, Nomor 2 : Agresivitas Warga Pemukiman Padat Dan Bising
Di Kotamadya Bandung. Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
Surjadi, Charles; Soedarno, Tina R; dan Baare, Anton. 1996. Majalah Kesehatan
Perkotaan : Kepadatan Pemukiman dan Kesehatan, Studi Kualitatif.
Jakarta, Universitas Kristen Indonesia Atmajaya.
Tanah Air, No. 25, Th. III. 1983. Masalah Kependudukan Dan Lingkungan
Hidup. Yogyakarta.
Tanah Air, No. 25, Th. III.. 1983. Pertumbuhan Penduduk Mengancam
Keseimbangan Lingkungan. Yogyakarta.
2002 digitized by USU digital library
10
Download