1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manajemen keuangan merupakan salah satu ilmu yang menyangkut
pengelolaan keuangan untuk mencapai tujuan tertentu perusahaan. Keputusan
manajemen menaikkan nilai perusahaan tergantung pada kemampuan manajer
dalam mengalokasikan dana jangka panjang dan jangka pendek. Asri (2013)
menyatakan bahwa keputusan manajemen dapat dipisahkan menjadi tiga
kelompok, yaitu: (1) keputusan penggunaan dana untuk investasi (investment
decision), (2) keputusan pemilihan sumber dana untuk membiayai investasi
tersebut (financing decisions), dan (3) keputusan pembagian laba kepada para
pemegang saham (dividend decisions atau sering juga disebut dividend policy).
Keputusan investasi adalah keputusan untuk mengalokasikan dana dalam jumlah
tertentu pada sebuah aset dengan harapan untuk mendapatkan hasil dan bersedia
menanggung sejumlah risiko tertentu pula (Asri, 2013). Menurut Modligliani dan
Miller (1958), pada kondisi pasar yang sempurna tidak ada hubungan antara
keputusan investasi dan keputusan pendanaan.
Pada umumnya keputusan
keuangan berangkat dari asumsi rasionalitas. Rasionalitas merupakan sikap
seorang yang rasional, sehingga setiap keputusan yang diambilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Dapat diartikan bahwa semua keputusan
didasarkan pada pertimbangan yang matang atas berbagai informasi.
1
Dalam pembuatan keputusan menurut literatur psikologi bahwa aspek
keperilakuan memegang peranan penting pada proses pembuatan keputusan. Akan
tetapi rasionalitas manajemen maupun investor tidak mudah untuk dipenuhi. Hal
tersebut dinamakan bias kognitif, artinya sebuah proses berfikir yang tidak
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan tidak dilengkapi oleh
alasan-alasan yang kuat (Asri, 2013). Asri (2013) menyatakan ada beberapa
variabel yang berperan dalam menimbulkan bias kognitif yang dikelompokan
menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama merupakan perilaku
penyederhanaan proses pembuatan keputusan (heuristic) yang terdiri atas:
availability, hindsight, dan representativeness. Kelompok kedua adalah bias
reaksi terhadap informasi, yang terdiri atas: overreaction, conservatism,
anchoring dan adjustment, serta confirmation bias. Kelompok ketiga yaitu berisi
bias pemahaman informasi dan penyesuaian diri, terdiri atas: excessive optimisme,
overconfidence, framing effect, disposition effect, dan mental accounting.
Dari penjelasan di atas peneliti mengangkat isu pada kelompok ketiga yaitu
secara khusus meneliti overconfidence yang terjadi pada top executive atau
manajerial dalam sebuah perusahaan. Perilaku bias yang peneliti angkat adalah
percaya diri yang belebihan (overconfidence). Weistsein (1980) menyatakan
bahwa pada umumnya setiap individu memiliki overconfidence. Managerial
overconfidence dapat mempengaruhi keputusan investasi korporasi, hal tersebut
menjadi isu dan diskusi penting dalam literatur keuangan. Keuangan keperilakuan
(financial behavioral) menjelaskan bias (penyimpangan), penyimpangan ini
disebut sebagai perilaku tidak rasional (Asri, 2013). Para penelitian sebelumnya
2
meneliti behavioral corporate finance dan manajer, menyatakan bahwa
overconfidence biasanya ada dan pada umumnya dimiliki oleh setiap orang
(Cooper et al., 1988; Landier dan Thesmar, 2009).
Antonczyk dan Astrid (2014) meneliti overconfidence dan optimisme
dengan pengukuran berdasarkan budaya nasional (national culture). Hasil
penelitiannya
menunjukkan
bahwa
negara-negara
yang
memiliki
skor
individualisme yang tinggi, memiliki rasio utang yang lebih tinggi. Artinya, ketika
manajer cenderung menunjukkan bias psikologis overconfidence dan optimisme,
perusahaan-perusahaan cenderung mempertahankan rasio utang yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitiannya Indonesia termasuk optimis atau overconfidence
dengan leverage 0,27. Managereal overconfidence memiliki prospek terlalu baik
tentang
risiko
perusahaan
dan
profitabilitas
masa
depan,
managerial
overconfidence dianggap menyebabkan distorsi dalam keputusan pembiayaan
perusahaan serta keputusan investasi mereka (Ishikawa dan Takahashi, 2010).
Pertanyaan menarik dari penelitian sebelumnya adalah apakah irasionalitas
manajerial berperan penting terhadap keputusan keuangan perusahaan. Pada saat
ini penelitian mengenai confidence atau overconfidence terhadap keputusan
semakin meningkat dan menarik untuk diteliti. Pada penelitian Heaton (2002) dan
Hackbarth (2008), mereka memprediksi bahwa distorsi keputusan pendanaan
melalui bias psikologis manajer optimis dan/atau overconfidence akan memilih
rasio leverage yang lebih tinggi untuk perusahaan-perusahaannya dibandingkan
dengan manajer rasional. Penelitian terbaru dilakukan oleh Huang et al. (2015)
yang bertujuan untuk melihat apakah CEO overconfidence terhadap jatuh tempo
3
utang perusahaan (corporate debt maturity). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara CEO overconfidence dan utang jangka pendek.
CEO overconfidence cenderung memutuskan proporsi utang pada waktu jatuh
tempo satu, dua, dan tiga tahun.
Fenomena
overconfidence
merupakan
kecenderungan
pengambilan
keputusan tanpa disadari untuk memberikan bobot penelitian yang berlebihan
pada pengetahuan dan akurasi informasi yang dimiliki serta mengabaikan
informasi publik yang tersedia (Lichtenstein dan Fischoff, 1977). Lin et al. (2005)
menunjukkan bahwa optimisme manajerial terhadap keputusan investasi lebih
tinggi dibandingkan dengan manajer non-optimis. Daniel et al. (1988), investor
yang memiliki overconfidence tinggi cenderung mengabaikan risiko tidak akan
terlalu memperhatikan informasi tersebut karena mereka memiliki keyakinan
sendiri mengenai pilihannya, sehingga informasi tersebut seharusnya tidak akan
mempengaruhi aktivitas perdagangan investor tersebut. Overconfidence dalam
proses penilaian keputusan dapat ditemukan perilaku hindsight bias. Asri (2013)
menyatakan bahwa hindsight bias merupakan pengambilan keputusan sudah
merasa tahu hasil yang akan diperoleh, sebelum sesuatu aktivitas dilaksanakan,
sehingga tidak ada keraguan yang akan dilakukannya. Hal ini bertentangan
dengan prinsip penilaian yang sering dibahas dalam Manajemen Keuangan.
Overconfidence dan bias percaya diri memainkan peran sentral dalam
keputusan berinvestasi dan proses pembuatan keputusan terhadap keuangan
perusahaan (Kahneman & Lovallo, 1993; Shefrin, 2001; Goel & Thakor, 2000;
Malmendier dan Tate, 2001; Heaton, 2002, Gervais, Heaton & Odean, 2002;
4
Hackbarth, 2008). Fenomena pendekatan tersebut disebut “behavioral corporate
finance” yaitu perilaku manajerial yang dapat mempengaruhi sensitivitas
keputusan keuangan perusahaan.
Berdasarkan literatur keuangan perusahaan menyatakan bahwa investasi
perusahaan akan peka terhadap ketersediaan arus kas internal (Fazzari, Hubbard,
dan Petersen, 1988;. Kaplan & Zingales, 1997, 2000; Harris & Raviv, 1990; Stulz,
1990; Hart & Moore, 1995 ; Zwiebel, 1996 dan Cleary, 1999). Kaplan dan
Zingales (1997) meneliti sumber korelasi
antara arus kas perusahaan dan
investasi. Hasil penelitian Kaplan dan Zingales (1997) menentang literatur
sebelumnya yang menunjukkan bahwa sensitivitas lebih tinggi ketika perusahaan
mengalami kendala keuangan. Sensitivitas yang lebih tinggi tidak dapat diartikan
bahwa perusahaan membatasi keuangan perusahaan. Sensitivitas arus kas
investasi didorong oleh kebijakan manajer memilih arus kas internal untuk
berinvestasi meskipun ketersedian dana rendah (Kaplan dan Zingales, 1997).
Ketika pembentukan keputusan terdapat kepentingan yang perlu untuk
diperhatikan dan dipuaskan. Para pemangku kepentingan saling berhubungan satu
sama lain dalam bentuk hubungan konseptual dikenal dengan hubungan keagenan.
Akan tetapi dalam prakteknya kepentingan
yang diperkuat oleh unsur-unsur
keperilakuan terjadilah moral hazard dan pertentangan kepentingan sehingga
dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik tersebut dilatarbelakangi perilaku
masing-masing pihak, dari segi pemegang saham (principal) diantaranya adalah:
confirmation bias, anchoring adjustment, dan mental accounting. Perusahaan
pemegang saham yang bertindak sebagai pemilik perusahaan memberikan
5
kekuasaan dan mendelegasikan pada manajer untuk membuat keputusan dan
menjalankan operasi perusahaan sehari-hari, dimana hal ini dapat menciptakan
konflik kepentingan yang disebut agency theory (Brigham dan Daves, 2004).
Hubungan keagenan terjadi ketika satu orang individual atau lebih yang disebut
pemilik (principal) memperkerjakan individu lain atau organisasi yang disebut
agen untuk melaksanakan pekerjaan dan kemudian mendelegasikan otoritas
pengambilan keputusan kepada agen tersebut (Brigham dan Daves, 2004).
Widiyastuti (2007), untuk meminimumkan konflik antara pengambil
keputusan dengan pemegang saham maka diperlukan suatu mekanisme
pengawasan
yang
bertujuan
menyejajarkan
pihak-pihak
yang
saling
berkepentingan. Mekanisme pengawasan tersebut akan menimbulkan biaya yang
disebut sebagai agency cost. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency
cost sebagai jumlah dari pengeluaran untuk pengawasan yang dikeluarkan oleh
principal, pengeluaran karena penjamin oleh agen, dan pengeluaran karena
residual lost. Beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost: pertama, dengan
meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajer, sehingga manajer
merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan kerugian yang
timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Kepemilikan
ini akan menyejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (Jensen
dan Meckling, 1976). Kedua, meningkatkan dividend payout ratio, sehingga tidak
tersedia cukup banyak free cash flow dan manajemen terpaksa mencari pendanaan
dari luar untuk membiayai investasinya (Crutchley dan Hansen, 1989). Ketiga,
meningkatkan pendanaan dengan utang, dimana peningkatan utang akan
6
menurunkan besarnya konflik antara pemegang saham dengan manajemen.
(Jensen et al., 1992; Jensen, 1986). Keempat, investor institusi sebagai monitoring
agents. Moh'd et al. (1998) menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang
saham dari luar yaitu institusional investor dan dispersi pemegang saham
(shareholders dispersion) dapat mengurangi agency cost. Adapun mekanisme
lain yang dapat digunakan untuk mengontrol konflik keagenan yang dapat
meminimumkan biaya keagenan yaitu: pemberian kepemilikan saham kepada
manajer (managerial ownership), kebijakan utang (leverage), dan pengawasan
yang dilakukan oleh auditor yang berkualitas (big four auditor) (Jensen dan
Meckling, 1976; Warfield et al., 1995; Gabrielsen et al., 2002; Cruthley dan
Hansen, 1989; Bathala et al., 1994; Friend dan Lang, 1988; Hirst, 1994; Becker et
al., 1998)
Malmendier dan Tate (2005) membangun ukuran terlalu managerial
overconfidence dan menemukan bahwa di perusahaan-perusahaan Amerika,
managerial
overconfidence
mempengaruhi
sensitivitas arus
kas.
Ketika
perusahaan memiliki arus kas bebas (free cash flow) tinggi pada umumnya konflik
keagenen antara pemegang saham dengan manajer akan semakin meningkat
(Jensen, 1986). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa dengan
pemisahaan antara fungsi pengambilan keputusan dengan menanggulangi risiko
menyebabkan perusahaan akan semakin besar kemungkinan terjadi konflik
keagenan. Kurnianti (2012) menyatakan bahwa sensitivitas arus kas investasi
(investment-cash flow sensitivity) merefleksikan biaya yang lebih tinggi dari
pendanaan eksternal terhadap pendanaan internal karena adanya informasi yang
7
asimetris atau masalah keagenan. Studi lain menunjukkan hubungan antara
sensitivitas arus kas dan kendala pendanaan adalah fenomena yang sensitif
terhadap bagaimana perusahaan diklasifikasikan dalam grup yang terkendala
keuangan dan yang tidak terkendala keuangan.
Penelitian
ini
mengusulkan
ukuran
optimisme
atau
managerial
overconfidence dari earning forecasts-nya seperti penelitian yang telah dilakukan
oleh Lin et al. (2005). Dalam penelitian ini peneliti akan menguji apakah ada
perbedaan dalam sensitivitas arus kas investasi (investment-cash flow sensitivity)
antara percaya diri yang berlebihan (overconfidence) top executive atau manajerial
di perusahaan bursa yang terdaftar dikuasai atau dikendalikan negara (BUMN)
dan perusahaan yang tidak dikendalikan oleh negara (swasta). Salah satu
kesulitan-kesulitan besar dalam memeriksa efek managerial overconfidence
mengenai kebijakan keuangan perusahaan adalah bagaimana mengukur bias
kognitif.
Terdapat beberapa alasan mengapa hubungan antara bias manajerial dengan
investasi sangat menarik untuk diuji. Yang pertama, walaupun penelitian yang
berhubungan dengan keputusan investasi ini sudah banyak dilakukan tetapi hasil
dari penelitian di masa lalu masih memiliki gap dalam mengklasifikasikan
managerial overconfidence. Pada penelitian ini menggolongkan overconfidence
ke dalam tiga kelompok, yaitu unoverconfidence-overconfidence (langkah 1),
overconfidence-upoverconfidence
(langkah
2),
dan
upoverconfidence-
hyperoverconfidence (langkah 3). Sehingga kita dapat melihat lebih jelas dampak
perilaku irasional khususnya overconfidence. Kedua, pengelompokan juga
8
digunakan untuk mengukur sensitifitas arus kas investasi pada variabel agency
cost (biaya keagenan) kedalam tiga kelompok yaitu high agency cost (HAC),
middle agency cost (MAC), dan low agency cost (LAC). Hal ini tentu merupakan
tambahan referensi dalam bidang keperilakuan keuangan (behavioral finance) dan
sebagai pembanding hasil studi penelitian di negara berkembang lainnya.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui pengaruh level managerial
overconfidence (percaya diri berlebih) dan level agency cost terhadap sensitivitas
arus kas investasi, dan pengaruh interaksi agency cost (biaya keagenan) dan
overconfidence terhadap sensitivitas arus kas investasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan deskripsi yang telah di uraikan pada latar belakang
masalah, maka rumusan masalah yang akan diangkat oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah managerial overconfidence berpengaruh terhadap sensitivitas
arus kas investasi?
2.
Apakah semakin tinggi level managerial overconfidence berpengaruh
terhadap sensitivitas arus kas investasi?
3.
Apakah perusahaan yang dibatasi dalam pengambilan keputusan
keuangan (perusahaan yang dimiliki pemerintah/BUMN), memiliki
sensitivitas arus kas investasi lebih besar untuk managerial
overconfidence dibandingkan dengan managerial unoverconfidence?
9
4.
Apakah semakin tinggi level agency cost berpengaruh terhadap
sensitivitas arus kas investasi?
5.
Apakah agency cost dan managerial overconfidence berpengaruh
terhadap sensitivitas arus kas investasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah:
1.
Menguji pengaruh managerial overconfidence terhadap sensitivitas
arus kas investasi.
2.
Menguji pengaruh level managerial overconfidence berpengaruh
terhadap sensitivitas arus kas investasi.
3.
Menguji seberapa besar sensitivitas arus kas investasi milik
managerial overconfidence dan managerial unoverconfidence pada
perusahaan yang dibatasi dalam pengambilan keputusan keuangan
(perusahaan milik pemerintah atau BUMN).
4.
Menguji pengaruh level agency cost terhadap sensitivitas arus kas
investasi.
5.
Menguji dampak interaksi agency cost terhadap managerial
overconfidence dan sensitivitas arus kas investasi.
10
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Memberikan sumbangan pengembangan teoritis mengenai agency
cost, overconfidence terkait keputusan investasi.
2.
Sebagai tambahan bukti penelitian empiris tentang dampak agency
cost terhadap managerial overconfidence dan sensitivitas arus kas
investasi.
11
Download