Self-Efficacy - ePrints Sriwijaya University

advertisement
Membangun Kepercayaan Diri (Self-Efficacy) Siswa Melalui
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Pidato Ilmiah pada Pelantikan Sarjana Baru FKIP
21 Maret 2011
Oleh
Somakim
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
Membangun Kepercayaan Diri (Self-Efficacy) Siswa Melalui Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia
Somakim
Yang saya hormati
Rektor Universitas Sriwijaya,
Dekan FKIP Universitas Sriwijaya,
Para Pembantu Dekan FKIP Unsri,
Ketua, Sekretaris, dan para anggota Senat FKIP Unsri,
Para Ketua dan Sekretaris Jurusan, Ketua Program Studi, para dosen dan karyawan di
lingkungan FKIP Unsri, serta alumni dan orang tua yang berbahagia.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME atas karunia berupa nikmat
kesehatan, kesempatan dan kebahagiaan sehingga kita dapat berkumpul untuk menghadiri
pelantikan sarjana pendikan baru FKIP Universitas Sriwijaya pada hari ini.
Terima kasih saya sampaikan kepada Dekan FKIP yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk berdiri di mimbar yang terhormat ini, guna menyampaikan Pidato Ilmih
pada pelantikan sarjana baru FKIP Unsri. Dalam kesempatan ini perkenankan saya
menyampaikan pidato dengan judul:
“Membangun Kepercayaan Diri (Self-Efficacy) Siswa Melalui Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia”
Hadiran yang saya muliakan,
Kepercayaan diri (Self-Efficacy) seseorang sangatlah perlu untuk dikembangkan. Hal ini
disebabkan melalui kepercayaan diri yang kuat, seorang manusia akan mempunyai
kemampuan yang kuat untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Apabila
kepercayaan diri atau Self-Efficacy bangsa kuat tentunya bangsa dan negara tersebut akan
maju dalam pembangunan dan kesejahteraan seluruh bangsanya. Oleh karena itu,
dirasakan sangat perlu untuk mengembangkan kepercayaan diri dimulai sejak anak di
bangku sekolah.
Hadirin yang saya muliakan,
Kepercayaan dan kemampuan diri bangsa Indonesia saat cukup memprihatin,
contohnya masyarakat lebih bangga menggunakan produk luar negeri dibandingkan
dengan produk dalam negeri, sampai-sampai wasit sepakbola pun menggunakan wasit
asing. Kepercayaan dan kemampuan diri bangsa yang lemah dapat menimbulkan integritas
bangsa yang lemah juga. Hal ini dapat dilihat saat ini banyak kasus korupsi, mafia hukum
dan mafia pajak, ketidakjujuran ujian nasional di sekolah sampai kenakalan remaja. Hal
ini menunjukkan bahwa kepercayaan dan kemampuan diri kita masih belum kuat dan
perlu pembinaan.
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk
mengembangkan penilaian positif
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut
mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya
diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan
individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya
bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan
yang realistik terhadap diri sendiri.
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang
proporsional, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Percaya akan
kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan,
atau pun rasa hormat orang lain. (2) Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis
demi diterima oleh orang lain atau kelompok. (3) Berani menerima dan menghadapi
penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri. (4) Punya pengendalian diri yang baik
(tidak moody dan emosinya stabil). (5) Memiliki internal locus of control (memandang
keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah
pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain). (6)
Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar
dirinya. (7) Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan
itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi
(http://percayadiri.asmakmalaikat.com,2010).
Hadirin yang saya muliakan,
Ciri-ciri kepercayaan diri tersebut dapat ditumbuhkembangkan melalui belajar
matematika. Dalam menyelesaikan masalah/soal matematika selalu terdapat soal mudah,
sedang dan sulit. Proses menyelesaikan soal matematika tersebut, secara tidak langsung
membentuk siswa untuk berani dan tidak menyerah sampai dapat menyelesaikan soal
matematika. Salah satu yang terkait dengan pengembang kepercaya diri adalah SelfEfficacy atau kemampuan diri untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan. Dari berbagai
pendapat para ahli, Self-Efficacy pada prakteknya sinonim dengan “kepercayaan diri” atau
”keyakinan diri”. Bandura (dalam Feist, 2008:415) mendefinisikan Self-Efficacy sebagai
keyakinan manusia kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian
terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Manusia yang
percaya dapat melakukan sesuatu, memiliki potensi untuk mengubah kejadian-kejadian di
lingkungannya. Perlu diketahui bahwa Self-Efficacy merupakan salah satu komponen dari
self-regulated (kemandirian).
Dalam bukunya “Self-Efficacy: The Exercise of Control”, Bandura (1998)
menjelaskan bahwa Self-Efficacy seseorang akan mempengaruhi tindakan, upaya,
ketekunan, fleksibilitas dalam perbedaan, dan realisasi dari tujuan, dari individu ini,
sehingga Self-Efficacy yang terkait dengan kemampuan seseorang seringkali menentukan
outcome sebelum tindakan terjadi. Menurut Bandura, Self-Efficacy yang merupakan
konstruksi sentral dalam teori kognitif sosial, yang dimiliki seseorang, akan: (1)
Mempengaruhi pengambilan keputusannya, dan mempengaruhi tindakan yang akan
dilakukannya. Seseorang cenderung akan menjalankan sesuatu apabila ia merasa
kompeten dan percaya diri, dan akan menghindarinya apabila tidak. (2) Membantu
seberapa jauh upaya ia bertindak dalam suatu aktivitas, berapa lama ia bertahan apabila
mendapat masalah, dan seberapa fleksibel dalam suatu situasi yang kurang
menguntungkan baginya. Makin besar Self-Efficacy seseorang, makin besar upaya,
ketekunan, dan fleksibilitasnya. (3) Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosionalnya.
Seseorang dengan Self-Efficacy yang rendah mudah menyerah dalam menghadapi
masalah, cenderung menjadi stres, depresi, dan mempunyai suatu visi yang sempit tentang
apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu. Sementara itu, Self-Efficacy yang
tinggi, akan membantu seseorang dalam menciptakan suatu perasaan tenang dalam
menghadapi masalah atau aktivitas yang sukar.
Persepsi Self-Efficacy dapat dibentuk dengan menginterpretasi informasi dari
empat sumber (Bandura, dikutip Nicolaidou, 2002, Hall, 2002):
1. Pengalaman otentik (authentic mastery experiences), yang merupakan sumber
yang paling berpengaruh, karena kegagalan/keberhasilan pengalaman yang lalu
akan menurunkan/meningkatkan Self-Efficacy seseorang untuk pengalaman yang
serupa kelak. Khususnya kegagalan yang terjadi pada awal tindakan tidak dapat
dikaitkan dengan kurangnya upaya atau pengaruh lingkungan eksternal.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experience), yang dengan memperhatikan
keberhasilan/kegagalan orang lain, seseorang dapat mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk membuat pertimbangan tentang kemampuan dirinya sendiri.
Model pengalaman orang lain ini sangat berpengaruh apabila ia mendapat situasi
yang serupa dan miskin pengalaman dalam pengalaman tersebut.
3. Pendekatan sosial atau verbal, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meyakini
seseorang bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu. Perlu
diperhatikan, bahwa pernyataan negatif tentang kompetensi seseorang dalam area
tertentu sangat berakibat buruk terhadap mereka yang sudah kehilangan
kepercayaan diri, misalnya pernyataan bahwa kaum perempuan tidak sesuai untuk
belajar matematika, akan mengakibatkan kaum perempuan akan percaya bahwa
mereka tidak kompeten dalam matematika.
4. Indeks psikologis, di mana status fisik dan emosi akan mempengaruhi kemampuan
seseorang. Emosi yang tinggi, seperti kecemasan akan matematika akan merubah
kepercayaan diri seseorang tentang kemampuannya.
Seseorang dalam keadaan stress, depresi, atau tegang dapat menjadi indikator
kecenderungan akan terjadinya kegagalan. Self-Efficacy berbeda dari komponenkomponen motivasi yang terkait, seperti ekspektasi hasil, konsep diri, harga diri atau pusat
kontrol, yang lebih umum dari komponen-komponen deskriptif diri bahwa menyertakan
banyak wujud dari pengetahuan dan diri sendiri yang diri sendiri mengevaluasi perasaan
(Pajares, 1996).
Hubungan antar kecakapan, motivasi dan prestasi akademis di matematika
mempunyai secara luas dipelajari. Itu ditemukan bahwa kepercayaan-kepercayaan SelfEfficacy muncul untuk menjadi faktor berpengaruh dalam prestasi di bidang pendidikan
dan pilihan karier, dibandingkan variabel-variabel yang lain seperti ketertarikan,
pengalaman matematika, persepsi-persepsi kepercayaan-kepercayaan Matematika dan
aturan diri (Zimmermann, 2000). Itu adalah juga ditemukan bahwa pengaruh dari SelfEfficacy di kinerja Matematika adalah sekuat pengaruh dari kemampuan mental umum
(Hacket & Betz, 1989, dikutip Nicolaidou, 2003), dan bahwa suatu hubungan yang negatif
antara Self-Efficacy di dalam memecahkan masalah dan ketertarikan terjadi (Pajares,
1995). Dari pengaruh-pengaruh ini, Self-Efficacy berperan dalam tingkatan pencapaian
yang akan diperoleh, sehingga Bandura (Pajares, 2002) berpendapat bahwa Self-Efficacy
menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, apakah berpikir secara produktif,
secara pesimis atau optimis, bagaimana mereka memotivasi diri, kerawanan akan stres dan
depresi, dan keputusan yang dipilih. Self-Efficacy juga merupakan faktor yang kritis dari
kemandirian belajar (self-regulated learning).
Dari uraian mengenai Self-Efficacy tersebut, maka dapat digambarkan bahwa SelfEfficacy itu merupakan bentuk kepercayaan diri seseorang. Mempunyai kepercayaan diri
yang kuat akan membuat seseorang mempunyai motivasi, keberanian, ketekunan dalam
melaksanakan tugas yang diberikannya. Self-Efficacy seseorang dapat diperoleh melalui
pengalaman langsung, melihat pengalaman orang lain, aspek emosional dan psikologis.
Tinggi-rendahnya Self-Efficacy berkombinasi dengan lingkungan yang responsif
dan tidak responsif untuk menghasilkan empat variabel yang paling bisa diprediksi, yaitu
sebagai berikut: (a) Bila Self-Efficacy tinggi dan lingkungan responsif, hasil yang paling
bisa diperkirakan adalah kesuksesan , (b) Bila Self-Efficacy rendah dan lingkungan
renponsif, manusia dapat menjadi depresi saat mereka mengamati orang lain berhasil
menyelesaikan tugas-tugas yang menurut mereka sulit, (c) Bila Self-Efficacy tinggi
bertemu dengan situasi lingkungan yang tidak responsif, manusia biasanya akan berusaha
keras mengubah lingkungan, misalnya melakukan protes, aktivisme sosial, (d) Bila SelfEfficacy rendah berkombinasi dengan lingkungan yang tidak responsif, manusia akan
melakukan apati, mudah menyerah, merasa tidak berdaya (Bandura, dalam Feist,
2008:415-416).
Hadirin yang saya hormati,
Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika
Pada hakikatnya matematika bersifat abstrak. Oleh karena itu, pelajaran
matematika dirasakan momok dan sulit bagi sebagian besar siswa. Untuk membangkitkan
minat dan rasa senang siswa terhadap pelajaran matematika, tentu diperlukan
menanamkan rasa percaya diri yang kuat dalam mempelajari atau dalam mengerjakan
soal/masalah matematika.
Self-Efficacy matematika diartikan sebagai kepercayaan diri siswa terhadap
kemampuan merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematika, cara
belajar/bekerja dalam memahami konsep dan menyelesaikan tugas, dan kemampuan
berkomunikasi matematika dengan teman sebaya dan pengajar selama pembelajaran.
Untuk mengembangkan kemampuan tersebut, guru haruslah melatihkan kepada siswa
bahwa dalam menyelesaikan soal/masalah matematika perlu adaanya menguji
jawabannya, perlu diberikan berbagai cara atau strategi dalam menyelesaikan soal
matematika.
Seseorang yang mempunyai Self-Efficacy tinggi, tentu memiliki rasa percaya diri
yang tinggi sekaligus mengenal dirinya dengan baik. Percaya diri dan kenal diri sangat
erat kaitan dalam belajar matematika. Seorang siswa dapat menyelesaikan soal matematika
dengan benar tentu siswa tersebut percaya diri akan dapat menyelesaikan soal matematika
tersebut. Untuk dapat percaya diri dalam menyelesaikan soal matematika, maka siswa
akan terlebih dulu mengenal karakteristik soal tersebut.
Agar dapat mengembangkan Self-Efficacy matematika, pembelajaran matematika
dapat dilakukan melalui metode atau pendekatan yang dapat melatih kemandirian belajar.
Dengan kemandirian belajar dapat mengembangkan rasa kepercayaan diri dalam
mengerjakan soal maupun dalam mengikuti pelajaran matematika. Peran guru sangat
penting dalam memunculkan Self-Efficacy matematika siswa, terutama dalam merancang
pembelajaran sedemikian rupa sehingga sumber-sumber Self-Efficacy siswa bisa muncul.
Pengalaman otentik (authentic mastery experiences) dan pengalaman orang lain (vicarious
experience) dapat uncul apabila siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan
hasil kerjanya di depan kelas. Oleh karena itu, guru perlu mempersiapkan strategi
pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa untuk tampil di depan kelas untuk
menyampaikan pendapat dan gagasannya. Kalau siswa berani menyampaikan pendapatnya
di depan kelas, tentu siswa tersebut akan mempunyai Self-Efficacy dan kepercayaan diri.
Self-Efficacy yang dimiliki siswa yang maju ke depan kelas tersebut akan mempengaruhi
siswa yang lain yang di kelas. Dengan kata lain siswa yang mengikuti presentasi akan
mengembangkan Self-Efficacynya. Pada sisi lain, sumber Self-Efficacy yang ketiga dan
keempat, yaitu pendekatan sosial atau verbal dan indeks psikologis dapat dimunculkan
melalui kerja sama dalam kelompok dan memberikan penghargaan atau penguatan kepada
siswa.
Seseorang mempunyai Self-Efficacy tinggi, tentu memiliki rasa percaya diri yang
tinggi sekaligus mengenal dirinya dengan baik. Percaya diri dan kenal diri sangat erat
kaitan dalam belajar matematika. Seorang siswa dapat menyelesaikan soal matematika
dengan benar tentu siswa tersebut percaya diri akan dapat menyelesaikan soal matematika
tersebut. Dia akan selalu optimis dan merasa bisa atau mampu dalam menyelesaikan soal
tersebut. Perasaan rasa mampu tersebut menunjukkan bahwa siswa mempunyai SelfEfficacy. Siswa yang mempunyai Self-Efficacy akan mempunyai kemandirian, kerja keras
dan selalu berusaha untuk tidak mudah menyerah untuk menyesaikan sustu soal
matematika.
Untuk mengetahui seberapa Self-Efficacy siswa dalam menyelesaikan soal
matematika, berikut ini diberikan contoh.
Guru memberikan soal : ”Tentukan penyelesaian dari sistem persamaan linear
berikut:
2x + 3y = 7 dan 3x + 5y = 11
Setelah diberikan waktu untuk mengerjakan soal tersebut, misalkan ada tiga siswa yang
menyelesaikannya masing-masing sebagai berikut.
Siswa-1: setelah menyelesaikan soal itu dan diyakini benar, maka siswa1 langsung
kumpul.
Siswa-2: setelah selesai mengerjakan soal, kemudian dia memeriksa jawabannya
agar diyakini betul, baru mengumpulkan pekerjaannya.
Siswa-3: mengerjakan soal tersebut dengan menggunakan dua cara penyelesaian
dan kedua jawaban itu betul. Di samping itu, dia juga memeriksa kembali kebenaran
jawabannya, setelah itu baru dikumpulkannya.
Dari ketiga jawaban siswa itu, kita dapat mengatakan bahwa siswa-3 mempunyai
Self-Efficacy yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan kepercayaan diri akan benar atas
jawaban soal matematika tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan menyelesaikan jawaban
dengan dua metode/cara, serta memeriksa ulang jawabannya. Begitu juga Self-Efficacy
siswa-2 lebih baik dibandingkan dengan siswa-1.
Apabila seorang siswa dalam menyelesaikan soal matematika dengan berbagai
cara/strategi dan selalu menginginkan tantangan dengan soal lain yang sulit hal ini
menunjukkan Self-Efficacy nya tinggi. Karena seorang yang memiliki Self-Efficacy itu
menandakan seseorang akan belajar terus walaupun dia sudah lulus.
Hadirin yang saya muliakan,
Agar pembentukan kepercayaan diri dan Self-Efficacy melalui pelajaran matematika
diperlukan suatu pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan pembelajaran yang
diharapkan mampu untuk itu adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
PMRI merupakan adopsi dari Realistic Mathematics Education (RME). RME pertama kali
dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda, berdasarkan pandangan
Freudenthal. Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi
kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan
bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata.
Proses pengembangan konsep dan ide-ide matematika yang dimulai dari dunia nyata
oleh De Lange (1996) disebut matematisasi. Dalam RME, matematika dipandang sebagai
aktivitas insani (human activity), sehingga kegiatan pembelajaran dilakukan dengan
menggunakan konteks riil dan menghargai gagasan-gagasan siswa dalam mengerjakan
masalah-masalah matematika. Berdasarkan pandangan matematika sebagai aktivitas
manusia, dikembangkan tiga prinsip dasar RME, yaitu: (a) guided reinvention and
progressive mathematization (penemuan terbimbing dan bermatematika secara progressif;
(b) didactical phenomenology (penomena pembelajaran); dan (c) self-developed models
(pengembangan model mandiri) (gravemeijer, 1994).
PMRI sejalan dengan Kurikulum Matematika Pendidikan Dasar dan Menengah
2006/KTSP. Dalam kurikulum itu disebutkan bahwa pelajaran matematika haruslah di
mulai dengan masalah yang kontekstual. Melalui PMRI, pelajaran matematika menjadi
disenangi oleh siswa dan menimbulkan rasa tersenang terhadap pelajaran matematika.
Pelajaran matematika yang tidak mengaitkan dengan masalah nyata, kemungkinan dapat
menimbulkan salah tafsir terhadap aplikasi matematika di kemudian hari. Misalnya dalam
menanamkan konsep pembulatan bilangan 5,1 dibulatkan menjadi 5. Konsep ini
dikemudian hari dapat digunakan untuk kepentingan korupsi, misal 5,1 milyar rupiah
dibulatkan menjadi 5 milyar rupiah. Oleh karena itu, PMRI perlu dikembangkan mulai
dari pelajaran matematika di sekolah dasar, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir
menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memperhatikan empat sumber Self-Efficacy dan tiga prinsip serta lima
karakteristik PMRI, sangat dimungkinkan bahwa pelajaran matematika melalui
pendekatan PMRI dapat membangun Self-Efficacy siswa. Hal itu dapat dilihat dari strategi
belajar mengajar PMRI. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah guru dalam
pelaksanaan pembelajaran haruslah mempersiapkan HLT (Hypothetical Learning
Trajectori) (Gravemeijer, 2000).
Dalam proses pembelajaran seorang guru harus
mempersiapkan tujuan pembelajaran, konteks dan model dan aktivitas siswa dalam
belajar. Dari HLT tersebut setiap siswa atau kelompok siswa akan mengembangkan
sendiri aktivitas dan model of (bentuk informal) sampai menghasilkan model for (bentuk
formal). Selama kegiatan pembelajaran guru akan berfungsi sebagai fasilitator dan
moderator.
Pada karakteristik pertama dan kedua, guru berfungsi sebagai fasilitator yaitu
mempersiapkan kontekstual suatu materi matematika dan contoh model of serta lembar
kerja siswa. Selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk menjelaskan pikiran dan
pengertian atas hasil karyanya. Setiap bentuk atau hasil karya atau produk siswa, guru
harus memberikan penguatan berupa verbal atau non verbal. Guru memberikan penguatan
kepada siswa inilah wujud dari munculnya Self-Efficacy siswa. Dengan terbentuk
kepribadian yang mempunyai kepercayaan diri yang kuat diharapkan kelak anak didik kita
dapat mempunyai integritas dan karakter bangsa yang dapat membangun bangsa Indonesia
yang lebih maju dan mandiri.
Demikianlah yang dapat saya sampai, atas segala perhatiannya saya ucapkan banyak
terima kasih.
Daftar Pustaka
Bandura, Albert. (1998). Self-Efficacy : The Exercise of Control.
Tersedia : http:/www.amazon.com/Self-Efficacy/Exercise.AB/fdf.
Diakses 2 January 2008.
Depdiknas (2006). Kurikulum 2006 Standar Isi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta:
Depdiknas.
Dorman, Jeffrey, P. (2000). A Cross National Investigation of Students’ Perception of
Mathematics Classroom Environment and Academic Efficacy in Secondary School.
Tersedia : http:/www.cimt.plymount.ac.uk/journal/dorman/pdf.
Diakses 12 Desember 2007.
Dewanto, Stanley P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis
Mahasiswa melalui Belajar Berbasis-Masalah. Desertasi Doktor pada PPS UPI:
Tidak Diterbitkan.
Feijs, Els. (2000). Conctructing a Learning Environment that Promotes Reinvention.
Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th International Congress on
Mathematics Education (ICME9) in Japan, July 2000.
Feist, Jess and Gregory J. Feist. (2008). Theories of Personality. Edisi Keenam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gravemeijer, Koeno. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CDb Press. The Netherlands.
Gravemeijer, Koeno. (2000). Developmental Research: Fostering a Dialectic Relation
between Theory and Practice. Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th
International Congress on Mathematics Education (ICME9) in Japan, July 2000.
Hall, Michael and Michael Ponton. (2002). A Comparative Analysis of Mathematics SelfEfficacy of Developmental and Non-Developmental Freshman Mathematics
Students. Meeting of Louisiana/Mississippi Section of the Mathematics Association
of America.
Kiamanesh, Ali Reza, Elaheh Hejazi and Zahra Nasr Esfahani. (2004). The Role of Math
Self-Efficacy, Math Self-Concept, Perceived Usefulness if Mathematics and Math
Anxiety in Math Achievement.[Online]
http:/www.self.uws.edu.au/conference/2004_kabiri_kiamanesh.pdf.
Diakses 9 Nopember 2007.
Lange, Jan de. (2000). Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th International
Congress on Mathematics Education (ICME9) in Japan, July 2000.
Nicolaidou, Maria and George Phillippou. (2003). Attitudes Towards Mathematics, SelfEfficacy and Achievement in Problem-Solving. European Research in Mathematics
Education. [Online]
http:/www.dm.unipi.it/didattica/cerme3/proceedings/Group/TG2_nicolaidou_cerme3
.pdf (Diakses 2 Nopember 2007).
Opachich, Goran and Djordje Kadijevich. (2000). Mathematics Self-Concept: An
Operationalization and its Empirical Validity. [Online]
http:/www mi.sanu/~djkadij/rad_ok.htm (Diakses 2 Nopember 2007).
Pajares, F., dan Miller, M.D. (1995). Mathematics Self-Efficacy and Mathematics
Outcomes: The Need for Specificity of Assessment. Journal Psychology,86.
Pajares, F. (2002). Self-Efficacy Beliefs and Mathematical Problem-Solving of Gifted
Students. [online] http:/www.des.emory.edu/mfp/Pajares1996cel.pdf.
Diakses 23 Nopember 2007.
Schunk, D. H., & Zimmerman, B. J. (1998). Self-Regulated Learning: From Teaching to
Self-Reflective Practice. New York: Guilford Press.
Somakim. (2010) Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematis
Siswa SMP dengan Penggunaan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi. UPI.
Soedjadi, R. (2004). PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin
PMRI. Edisi III, Jan 2004. Bandung: KPPMT ITB.
Treffers, A. (1991). Realistic Mathematics Education in the Netherlands 1980-1990. In L.
Streefland (Ed.). Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: CD-B
Press, Freudenthal Institute.
Uzel Devrim dan Seving Mert Uyangor.2005.
Attitudes of
Class Students
Toward Mathematics in Realistic Matematics Education.Jurnal International
Mathematical Forum. [Tersedia] : http//www.m-hikari.com/imf-password/37-402006/ uzelIMF37-40-2006-pdf. [26 Oktober 2008]
Zulkardi (2000). RME suatu Inovasi dalam Pendidikan Matematika di Indonesia. Makalah
disampaikan pada KNM ke-10 di ITB: Tidak diterbitkan.
http://percayadiri.asmakmalaikat.com/ diakses :12 MEI 2010
RIWAYAT HIDUP
Somakim, lahir di Palembang, 6 April 1963, anak keempat dari lima
bersaudara. Ayah bernama Somad/So Tje Djian ( Alm) dan Ibu
Rohmiyati (Oh Giok Hue). Menikah dengan Nyimas Heni, S.Pd.
pada tanggal 4 Juli 1993 dan telah dikaruniai dua putra, yaitu Randy
Pascadinata (16 tahun) dan Alvin Prajnadinata (13 tahun).
Semua jenjang pendidikan dia dari SD sampai Srata-1 diselesaikan
di kota Pempek. SDN 124 (1979), SMP St Louis (1982), SMA
Xaverius 2 (1985), dan S1 Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sriwijaya (1990).
Selama belajar di perguruan tinggi dia mendapat beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas).
Tahun 1993 dia mendapat kesempatan pendalaman materi mata kuliah Analisis Kompleks
dan Kalkulus di ITB selama satu semester. Tahun 1994 mendapat kesempatan beasiswa S2 dari Dirjen Dikti ke IKIP Surabaya/Unesa untuk mengambil Pendidikan Matematika.
Pada tahun 2007 dia mendapat kesempatan S-3 dengan beasiswa BPPS di Universitas
Pendidikan Indonesia pada Program Studi Pendidikan Matematika.
Karier dalam dunia pendidikan telah dimulai tahun 1990-1991, ketika menjadi guru
matematika di SMA Xaverius 2 Palembang. Kemudian, mulai tahun 1991 diangkat
menjadi dosen tetap (PNS) di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas
Sriwijaya. Sekembalinya dari S2 tahun 1998 Dia dipercaya menjadi Sekretaris UPSIP
(Unit Pengembangan Sistem Informasi Fakultas) FKIP Unsri (1998 – 2002). Kemudian
pada tahun 2002 – 2006 dipercaya menjadi Koordinator PPL. Saat ini dipercaya sebagai
Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Unsri dan Ketua Redak
Penyunting Majalah Ilmiah Forum Pendidikan MIPA FKIP Unsri. Karier di luar
Universitas Sriwijaya antara lain sebagai Sekretaris Umum Pengda Percasi Sumatera
Selatan (2004 – 2008), Tutor di UT UPBJJ Palembang (2000-Sekarang), dan Reviewer
Hibah Pembelajaran dan Penelitian di Universitas Sriwijaya (2006-2007).
Karya ilmiah yang pernah ditulis selama pendidikan doktor, antara lain: (1)
Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Lanjut Melalui Pembelajaran Matematika
Realistik (Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di
Universitas Negeri Jogyakarta pada tanggal 24 Nopember 2007); (2) Pembelajaran
Matematika dengan Melibatkan Manajemen Otak (Makalah Dipresentasikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Matematika di UNY tanggal 28 Nopember 2008); (3) Keterkaitan
Prinsip dan Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik dengan Self-Efficacy (Makalah
diseminarkan pada Konperensi Matematika Nasional di Palembang pada tanggal 14-17
Juli 2008); (4) Peran Konteks dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematik Siswa
(Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika di UNY tanggal 6 Desember 2009); (5) Mengembangkan Self-Efficacy Siswa
melalui Pembelajaran Matematika (Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan
pada tanggal 14 Mei 2009 di FKIP Unsri); (6) Mengoptimalkan Fungsi Otak Siswa
melalui Pembelajaran Matematika Realistik (Makalah disajikan pada Seminar KNMP ke3 di UNIMED Medan 23-25 Juli 2009). Hibah penelitian yang pernah diperoleh penulis
adalah Hibah Penelitian Doktor Dirjen Dikti tahun 2009, berjudul Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah
Pertama dengan penggunakan Pendekatan Matematika Relistik.
Alamat email : [email protected]
Hp : 08127830500
Download