BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pasar modal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen
keuangan jangka panjang yang bisa diperjual belikan baik dalam bentuk utang
ataupun modal sendiri. Menurut Hismendi, dkk (2013) pasar modal merupakan
salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat menghasilkan tingkat keuntungan
optimal bagi investor. Surat berharga yang sering diperjual belikan pada pasar
modal adalah saham. Saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan dimana
pemiliknya disebut sebagai pemegang saham (Samsul, 2006: 45).
Saham di Bursa Efek Indonesia di semua sektor tidak selamanya tingkat
harganya sama. Setiap periode waktu harga saham mengalami kenaikan maupun
penurunan (fluktuasi) tergantung dengan kekuatan permintaan dan penawaran di
pasar modal. Fluktuasi harga saham di bursa akan menjadi pertimbangan sejumlah
investor untuk berinvestasi. Mu Shun Wang (2006) mengatakan bahwa
kepercayaan investor dapat mempengaruhi momentum pasar. Peningkatan
ketidakpastian yang dihadapi oleh investor dapat mengurangi konsumsi barang
tahan lama, yang dapat mempengaruhi pasar saham dan pada gilirannya
mempengaruhi masa depan aspirasi konsumsi investor.
Globalisasi pada era saat ini menyebabkan sebagian besar negara menaruh
harapan besar pada pasar modal. Pasar modal dianggap memiliki peran penting
dan strategis bagi ketahanan ekonomi suatu negara. Pada saat ini, pasar modal di
Indonesia masih dalam kondisi berkembang dan sangat rentan terhadap kondisi
makroekonomi secara umum (Novianto, 2011).
Krisis moneter tahun 1997/1998 mengakibatkan perekonomian Indonesia
mengalami penurunan yang drastis. Melemahnya nilai rupiah sehingga mata uang
rupiah mengalami penurunan nilai mengakibatkan terjadinya inflasi. Kondisi ini
mengakibatkan semua bidang ekonomi terkena imbasnya. (Anton dkk, 2011).
Setiap investor di pasar modal, membutuhkan informasi yang relevan
dengan perkembangan transaksi di bursa. Hal ini akan menjadi pertimbangan
dalam pengambilan keputusan investasi di pasar modal (Hismedi dkk, 2013).
Setelah krisis 1997/1998, para investor berpikiran untuk berpindah investasi yang
selama ini hanya menitik beratkan pada bunga deposito. Pasar modal di Indonesia
yang biasa disebut dengan Bursa Efek Indonesia dilihat investor sebagai peluang
investasi lain yang memiliki return lebih baik dari deposito (Anton dkk, 2011).
Investasi merupakan kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh pelaku
ekonomi dengan memberikan komitmen terhadap sejumlah dana untuk diarahkan
kepada beberapa asset dimana asset tersebut dimaksudkan untuk ditahan selama
beberapa waktu dimasa yang akan datang (Novitasari, 2013). Besar kecilnya
resiko di pasar modal mempengaruhi investor untuk menanamkan modalnya.
Resiko tersebut biasanya dipengaruhi oleh kondisi negara khususnya di bidang
ekonomi, sosial dan politik. Keadaan ini juga mempengaruhi naik turunnya harga
saham. Maka dari itu, kondisi di BEI dapat direfleksikan atau dicerminkan dengan
kenaikan dan penurunan dari IHSG (Anton dkk, 2011).
Pergerakan indeks saham sangat sensitif terhadap perubahan fundamental
dari ekonomi dan perubahan harapan tentang prospek masa depan. Harapan
dipengaruhi oleh perubahan fundamental baik dari ekonomi makro maupun
ekonomi mikro. Hal tersebut dapat dibentuk baik secara rasional atau adaptif pada
ekonomi yang fundamental. Hal ini diasumsikan bahwa ekonomi domestic akan
menentukan peran dalam kinerja pasar saham. Namun, dalam ekonomi yang
terintegrasi secara global, variabel ekonomi dalam negeri juga berubah karena
subjek untuk kebijakan yang ditempuh dan diharapkan akan diadopsi oleh negaranegara lain atau peristiwa yang mengglobal (Sharma dan Mahendru, 2009).
Banyak teori dan penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Seperti faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal) dan faktor yang
berasal dari dalam negeri (internal). Faktor yang berasal dari luar negeri tersebut
bisa datang dari indeks bursa asing negara lain (Dow Jones, Hang Seng, Nikkei,
dll), tren perubahan harga minyak dunia, tren harga emas dunia, sentimen pasar
luar negeri, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari dalam negeri
bisa datang dari nilai tukar atau kurs di suatu negara terhadap negara lain, tingkat
suku bunga dan inflasi yang terjadi di negara tersebut, kondisi sosial dan politik
suatu negara, jumlah uang beredar dan lain sebagainya. Pada umumnya bursa
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja bursa efek lainnya adalah bursa
efek yang tergolong maju seperti bursa Amerika, Jepang, Inggris, dan sebagainya.
Selain itu bursa efek yang berada dalam satu kawasan juga dapat mempengaruhi
karena letak geografisnya yang saling berdekatan seperti, Indeks STI di
Singapura, Nikkei di Jepang, Hang Seng di Hong Kong, Kospi di Korea Selatan,
KLSE di Malaysia, dan lain sebagainya.
Beberapa faktor makro yang memengaruhi aktifitas investasi saham di
Bursa Efek Indonesia adalah inflasi, jumlah uang beredar, nilai kurs dollar dan
gross domestic product. Inflasi yang tinggi berdampak pada daya beli masyarakat
yang menurun dan harga faktor produksi meningkat. Fenomena ini memengaruhi
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di BEI.
Gambar 1.1
Grafik Perkembangan Tingkat Inflasi
Periode Januari 2005 – Desember 2014
Sumber : www.bi.go.id
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi
dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Tingkat inflasi Indonesia
mencapai rata-rata 8,5% per tahunnya, sementara dalam periode yang sama
negara-negara berkembang lain inflasinya hanya mencapai 3% sampai 5% per
tahun dalam periode 2005-2013. Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan
dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. Hal ini mengakibatkan
tekanan besar pada defisit anggaran tahunan pemerintah dan membatasi
pengeluaran publik dalam hal-hal produktif jangka panjang (indonesiainvestment.com).
Salah satu ciri khas Indonesia adalah sebagian besar penduduknya berada
sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif
kecil terjadi, mereka akan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Pada saat
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mengurangi
subsidi BBM secara besar-besaran di akhir tahun 2005, yang disebabkan
meningkatnya harga minyak dunia yang cukup tinggi, menyebabkan inflasi
Indonesia berubah menjadi dua digit antara 14 sampai 19 persen sampai bulan
oktober 2006. Melonjaknya harga minyak dunia dan kebijakan pemerintah
mengurangi tidaknya subsidi menjadi outlook inflasi di Indonesia (indonesiainvestment.com).
Selama beberapa dekade terakhir, valuasi ekuitas, yang diukur dengan rasio
harga-laba, telah dipamerkan dan berhubungan negatif dan signifikan dengan
ukuran inflasi. Seperti perubahan 12 bulan di CPI. Keteraturan ini dipertahankan
ketika inflasi diganti dengan langkah-langkah yang berbasis survei. Setidaknya ini
terjadi selama nenerapa decade terakhir ketika tindakan tersebut tersedia (Steven,
1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Thobarry (2009) tentang pengaruh inflasi
terhadap Indeks Harga Saham Sektor Properti di Bursa Efek Indonesia
menunjukkan hasil bahwa inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Indeks Harga Saham Properti. Adanya pengaruh inflasi terhadap Indeks Harga
Saham Properti menandakan inflasi sangat terkait dengan penurunan kemampuan
daya beli, baik individu maupun perusahaan.
Hasil yang sama diperoleh oleh Novitasari (2013) yang meneliti pengaruh
inflasi terhadap IHSG. Hasil penelitiannya mampu membuktikan adanya pengaruh
secara negatif
antara tingkat inflasi dengan IHSG. Kenaikan tingkat inflasi
dikatakan mengakibatkan penurunan IHSG. Kenaikan inflasi menjadi sinyal
negatif untuk para investor melakukan investasi di pasar modal dan cenderung
melepaskan saham untuk beralih pada investasi bentuk lain.
Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lena Shiblee
(2009) yang berjudul The Impact of Inflation, GDP, Unemployment, and Money
Supply on Stock Prices memberikan hasil bahwa Inflasi berpengaruh negative
terhadap harga saham. Adanyanya pengaruh negatif berarti inflasi yang meningkat
menyebabkan harga saham bulanan akan menurun.
Penelitian yang dilakukan oleh Donna (2009) yg mengukur pengaruh inflasi
terhadap harga saham pada sektor perbankan di BEI menemukan hasil bahwa
tidak ada pengaruh yang signifikan antara inflasi terhadap Harga saham secara
parsial. Tidak adanya pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bawha besar
kecilnya inflasi pada masa penelitian, tidak berdampak besar pada naik turunnya
harga saham.
Hasil serupa ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hismendi,
dkk (2013). Penelitian yang menganalisis pengaruh variabel inflasi terhadap
pergerakan IHSG menunjukkan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan
terhadap pergerakan IHSG. Penelitian yang dilakukan oleh Renny Wijaya (2013)
yang meneliti pengaruh fundamental ekonomi makro terhadap IHSG periode
2002-2011 menemukan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan
terhadap IHSG. Tidak berpengauhnya inflasi terhadap IHSG menunjukkan bahwa
penurunan inflasi akan menaikan harga saham.
Jumlah uang beredar merupakan salah satu faktor makro dari variabel
ekonomi
yang mempengaruhi harga saham. Jumlah uang beredar akan
mempengaruhi suku bunga yang merupakan salah satu alternatif bagi investor
untuk menanamkan modalnya. Semakin tinggi jumlah uang beredar di
masyarakat, maka pengaruhnya akan semakin tinggi pula suku bunga deposito
yang ditawarkan. Secara langsung akan mempengaruhi investor untuk
mendepositokan modalnya ketimbang untuk menanamkan modalnya dalam
bentuk investasi saham. Hal ini mengakibatkan penurunan investasi di pasar
modal, dan melemahnya indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia.
Tabel 1.1
Perkembangan Jumlah Uang Beredar
Periode 2005-2014
TAHUN
JUB (M2)
2005
1,094,443.12
2006
1,263,644.41
2007
1,465,047.99
2008
1,704,821.86
2009
1,975,682.73
2010
2,216,640.57
2011
2,571,164.25
2012
3,043,937.08
2013
3,465,391.64
2014
3,867,679.49
Sumber : www.bi.go.id
Berdasarkan tabel 1.1 Jumlah Uang Beredar mengalami peningkatan jumlah
dari tahun 2005 sampai tahun 2014, dengan pertumbuhan yang berfluktuasi.
Penguatan nilai tukar rupiah dan terkendalinya pertumbuhan uang primer,
membantu pengendalian kenaikan harga rata-rata barang dan jasa. Selain itu,
ketika tingkat harga tinggi dimana harga barang-barang secara umum meningkat,
maka masyarakat membutuhkan lebih banyak uang di tangan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan peningkatan jumlah
uang yang beredar di masyarakat (Arif, 2014). Tingkat suku bunga adalah variabel
yang berhubungan dengan naik turunnya jumlah uang beredar. Kondisi tingkat
suku bunga yang tinggi, akan mempengaruhi konsumsi masyarakat. Tingginya
tingkat suku bunga, diharapkan bahwa konsumsi masyarakat akan berkurang dan
menyimpan uangnya di bank. Dengan berkurangnya konsumsi dan naiknya
jumlah simpanan masyarakat di bank, akan mengurangi jumlah uang yang beredar
di masyarakat dan kenaikan harga atau inflasi bisa teratasi.
Menurut salah satu pandangan mekanisme tansmisi moneter, otoritas
moneter mengontrol tingkat bunga jangka pendek kuantitas nominal uang yang
berevolusi secara endogen dan pasif sesuai dengan permintaan tersebut. Berbeda
dengan pandangan uang pasif, yang berusaha untuk menghilangkan kelebihan
saldo yang dianggap memiliki peran penting dalam transmisi kebijakan moneter
(Kasumovich, 1996).
Menurut Khalid (2009) penyediaan likuiditas dan rebalancing portofolio
bank menyebabkan kembalinya efek uang beredar pada saham bank. Pinjaman
akan mempengaruhi depositodan pada gilirannya akan mempengaruhi pasokan
uang, demikian pula dengan harga saham. Bank tidak hanya pemancar kebijakan
moneter, tetapi bank juga berperan dalam pengembangan pertumbuhan uang
melalui penciptaan pinjaman.
Perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia (M2) juga menunjukan
angka yang semakin meningkat setiap tahunnya. Banyak faktor yang mendorong
meningkat-nya jumlah uang yang beredar di Indonesia. Dari tahun 2007
menunjukan jumlah uang beredar di Indonesia mencapai angka 1,465,047.99
triliun rupiah. Hingga tahun 2013 jumlah uang yang beredar di Indonesia
mencapai 3,465,391.64 triliun rupiah.
Beberapa penelitian menggunakan variabel ini menemukan hasil yang
berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Novianto (2011) yang mengukur
pengaruh jumlah uang beredar terhadap IHSG menghasilkan bahwa jumlah uang
beredar (M2) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG. Sementara
hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Kurniadi (2013) yang meneliti
pengaruh jumlah uang beredar terhadap nilai harga saham sektor properti di BEI.
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa jumlah uang beredar tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan nilai harga saham sektor properti di BEI. Hal ini
cenderung dikarenakan JUB mengalami peningkatan yang lebih banyak
didominasi oleh tingginya beban biaya bunga simpanan yang dikapitalisasi dan
ekspansi pada beberapa komponen tagihan bersih kepada pemerintah.
Penelitian yang berjudul Pengaruh Fundamental Ekonomi Makro Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan Pada Bursa Efek Indonesia Periode 2002/2011
oleh Renny Wijaya (2013) menunjukkan hasil bahwa Jumlah Uang Beredar (M2)
tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Menurut Ozbay (2009), kelebihan
jumlah uang beredar dapat mengakibatkan inflasi yang lebih tinggi. Pengendalian
jumlah uang beredar oleh pemerintah telah dicerminkan dalam variabel suku
bunga. Humped dan Macmillan (2007) menyatakan berbagai pengaruh yang
dimiliki jumlah uang beredar dapat membatalkan satu sama lain.
Variabel lainnya yang dapat mempengaruhi transaksi dan harga saham di
BEI adalah nilai tukar kurs dollar (USD/IDR). Jika nilai kurs dollar melemah
terhadap rupiah dan dapat diprediksi akan menguat di periode akan datang, maka
investor cenderung untuk menginvestasikan modalnya dalam bentuk dollar
dengan harapan ketika rupiah mengalami apresiasi terhadap dollar, investor akan
kembali menjualnya dalam bentuk rupiah. Disamping untuk menjadi alternatif
investasi, pergerakan nilai kurs ini akan berdampak pada perdagangan ekspor
impor. Kondisi semacam ini akan berpengaruh pada aktivitas pasar modal dan
berakibat pada pergerakan indeks harga saham gabungan di BEI.
Gambar 1.2
Grafik Perkembangan Kurs Transaksi – USD
Periode Januari 2005 – Desember 2014
Symber : www.bi.go.id
Gambar 1.2 menunjukkan perkembangan kurs transaksi USD. Sampai
pertengahan September 2008 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
relatif stabil. Mata Uang Rupiah melemah 1.123 point berada di posisi Rp
11.711,- per USD pada bulan Nopember 2008. Kondisi seperti ini adalah kondisi
depresiasi yang sangat tajam yang dialami mata uang rupiah karena sebelumnya
pada bulan Oktober posisi rupiah berada pada Rp 10.048,- per USD.
Witjaksono (2010), meneliti pengaruh kurs rupiah terhadap IHSG dengan
rentang waktu penelitian dari tahun 2000 sampai tahun 2009. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kurs rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG. Hasil ini
menunjukkan bahwa ketika nilai kurs rupiah terdepresiasi, maka IHSG melemah.
Bagi investor sendiri, pelemahan nilai kurs rupiah menunjukkan situasi
fundamental perekonomian Indonesia dalam kondisi suram. Ketika prospek
perekonomian suram, maka investor cenderung melepaskan saham-saham yang
dimilikinya untuk menghindari resiko. Aksi jual saham ini tentunya akan
mendorong pelemahan IHSG. Selama periode pengamatan sendiri, diperoleh hasil
bahwa nilai kurs rupiah dipertahankan oleh Bank Indonesia dalam kisaran Rp
8.500,00 – Rp 10.000,00 per dollar Amerika Serikat. Nilai Kurs Rupiah yang
relatif stabil ini menunjukkan bahwa prospek perekonomian Indonesia cukup
baik. Hal ini tercermin dari kenaikan IHSG selama periode pengamatan.
Penelitian tentang pengaruh nilai kurs dollar US terhadap IHSG yang
dilakukan oleh Anton dan Hermawan (2011), menunjukkan hasil yang sama,
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara nilai kurs dollar US terhadap
IHSG.
Hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Heru
(2008), meneliti pengaruh kurs terhadap Indeks LQ45 menunjukkan hasil bahwa
variabel perubahan kurs mata uang $ berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap Indeks LQ45. Artinya semakin besar variabel perubahan kurs mata uang
$, semakin menambah baik kinerja saham LQ45. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Krisna, dkk (2013), yang meneliti pengaruh nilai
tukar rupiah pada IHSG. Nilai tukar rupiah menunjukkan hasil pengaruh yang
positif dan signifikan pada IHSG. Pengaruh positif ini berarti bahwa nilai tukar
rupiah dan IHSG berbanding lurus. Jika nilai tukar rupiah semakin kuat
mengakibatkan IHSG semakin baik. Begitu pula sebaliknya jika nilai tukar rupiah
semakin lemah maka IHSG akan semakin buruk.
Pengaruh positif dan signifikan juga ditunjukkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Thobarry (2009). Adanya pengaruh nilai tukar dollar terhadap
rupiah menandakan bahwa menguatnya nilai tukar mata uang dollar terhadap
rupiah dapat berakibat pada peningkatan nilai indeks saham properti.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar, pengaruh perkembangan
ekonomi tercermin dalam perkembangan Gross Domestic Product (GDP).
Menurut Sukirno (2004: 34) Gross Domestic Product adalah nilai barang dan jasa
dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga
negara-negara tersebut dan negara asing. Pertumbuhan GDB merupakan variabel
yang paling penting dalam analisis pertumbuhan ekonomi karena menjadi ukuran
kesejahteraan sosial (Patatoukas, 2014). Dalam kasusnya, semakin tinggi GDP
suatu indeks saham, maka akan menarik investor untuk menanamkan modalnya
dalam saham tersebut. Pertumbuhan GDP ditampilkan pada tabel 1.2 dan tabel 1.3
dibawah ini.
Tabel 1.2
Tabel Penggabungan Pertumbuhan GDP Indonesia
Average Annual
GDP Growth (%)
1998 – 1999
- 6.65
2000 – 2004
4.60
2005 – 2009
5.64
2010 – 2013
6.25
Sumber : Wolrd Bank and International Monetary Fund (IMF)
Pada rentang waktu antara tahun 1965 sampai tahun 1997, perekonomian
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata mendekati 7% per tahunnya. krisis
keuangan tahun 1997/1998, dan krisis keuangan global tahun 2008 dan 2012,
mengakibatkan penurunan PDB dari 13,6% pada tahun 1998, dan pertumbuhan
yang terbatas sekitar 0,03 pada tahun 1999. Pada tahun 2000-2004, pemulihan
ekonomi Indonesia dilangsungkan dengan menggabungkan pertumbuhan GDP
rata-rata 4,6% per tahunnya. Namun pada tahun 2009 ditengah gejolak krisis
keuangan yang diawali di Amerika Serikat, pertumbuhan GDP Indonesia masih
mengagumkan dengan 4,6%.
Tabel 1.3
Tabel Pertumbuhan GDP Indonesia
Periode 2006-2013
GDP (In
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
285,9
364,6
432,1
510,2
539,4
706,6
850,0
5,5
6,3
6,1
4,6
6,1
6,5
6,2
1,643
1,923
2,244
2,345
3,010
3,540
3,592
2013
billion
USD)
GDP
5,9
(annual
percent
change)
GDP per
Capita
(in USD)
Sumber : Wolrd Bank and International Monetary Fund (IMF)
Tabel 1.3 menunjukkan penurunan ekonomi global yang menjadi dampak
krisis keuangan tahun 2008 berdampak buruk pada laju PDB Indonesia yang
mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan GDP Indonesia tahun 2009 turun menjaadi 4,6%.
Meskipun penurunan yang dialami terlalu tajam, pasar saham yang jatuh,
depresiasi yang tinggi dan inflasi yang tinggi, Indonesia masih mampu tumbuh
secara signifikan di tahun berikutnya. Kondisi ini telah menunjukkan bahwa
fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek
beruntun krisis keuangan global.
Beberapa penelitian terkait dengan variabel GDP dilakukan oleh beberapa
peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Hismendi, dkk (2013), menganalisis
pengaruh GDP terhadap pergerakan IHSG di BEI memberikan hasil bahwa
pertumbuhan GDP berpengaruh positif dan signifikan terhadap pergerakan IHSG.
Pertumbuhan GDP mengindikasikan pertumbuhan ekonomi, apabila pertumbuhan
ekonomi membaik, maka daya beli masyarakat akan meningkat dan memberikan
kesempatan bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualan. Peristiwa ini tentu
berpengaruh positif terhadap keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan.
Penelitian tentang analisis pengaruh Produk Domestik Bruto terhadap IHSG
di Indonesia Tahun 2001-2011 oleh Amansyah (2014) menunjukkan hasil yang
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hismedi, dkk. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan antara PDB dalam
memprediksi IHSG. Adanya pengaruh PDB terhadap IHSG menandakan bahwa
meningkatnya pertumbuhan PDB dapat berakibat pada menguatnya nilai IHSG.
Hasil berbeda ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kewal
(2012). Dalam penelitiannya yang menguji pengaruh Pertumbuhan PDB terhadap
IHSG menunjukkan hasil bahwa Pertumbuhan PDB tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap IHSG. Peningkatan PDB dalam suatu negara
mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di negara
tersebut. Adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mendorong
masyarakat untuk melakukan konsumsi terhadap barang dan jasa sehingga
memperluas perkembangan investasi di sektor riil. Peningkatan PDB belum tentu
meningkatkan pendapatan per kapita setiap individu sehingga pola investasi di
pasar modal tidak terpengaruh oleh adanya peningkatan PDB.
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini antara lain
penelitian yang dilakukan olehThobarry (2009) mengenai Analisis Nilai Tukar,
Suku Bunga, Laju Inflasi, dan Pertumbuhan GDP Terhadap Indeks Harga Saham
Sektor Properti (Kajian Empiris Pada BEI Periode Pengamatan Tahun 20002008) menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel independent
berpengaruh terhadap indeks harga saham sektor property, sedangkan secara
parsial nilai tukar dollar berpengaruh positif terhadap indeks harga saham sektor
properti, sedangkan inflasi berpengaruh negatif terhaadap indeks harga saham
sektor property.
Penelitian yang dilakukan oleh Hismedi, dkk (2013) mengenai Pengaruh
Nilai Tukar, Suku Bunga SBI, Inflasi dan Pertumbuhan GDP terhadap
Pergerakan IHSG menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Thobarry
(2009) dimana variabel independent secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap IHSG. Namun secara parsial nilai tukar, suku bunga SBI dan
pertumbuhan GDP berpengaruh signifikan terhadap pergerakan IHSG, sedangkan
inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap terhadap pergerakan IHSG.
Hasil yang berbeda ditunjukkan dari hasil penelitian lainnya. Penelitian
yang dilakukan Octafia mengenai Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Nilai Tukar
dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Indeks Harga Saham Sektor Property dan
Real EstateDengan Pendekatan Error Correction Model menunjukkan bahwa
terdapat hubungan jangkapanjang atau ekulibrium diantara tingkat suku bunga
SBI, nilai tukar, jumlah uang beredar dan indeks hargasaham sektor property dan
real estate. Dalam jangka pendek, tingkat suku bunga SBI dan nilai
tukarberpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham sektor
property dan rela estate dan jumlahuang beredar berpengaruh positif dan tidak
signifikan terhadap indeks harga saham sektor property dan realestate. Dalam
jangka panjang, tingkat suku bunga SBI dan jumlah uang beredar berpengaruh
positif dansignifikan terhadap indeks harga saham sektor propety dan real estate,
sedangkan nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks harga
saham sektor property dan real estate.
Penelitian yang dilakukan oleh Kewal (2012) yang meneliti Pengaruh
Inflasi, Suku Bunga, Kurs dan Pertumbuhan PDB Terhadap IHSG menunjukkan
hasil bahwa hanya kurs yang berpengaruh secara signifikan terhadap IHSG,
sedangkan tingkat inflasi, suku bunga SBI dan pertumbuhan PDB tidak
berpengaruh terhadap IHSG.
Berdasarkan research gap dari beberapa penelitian terdahulu yang
memberikan hasil yang berbeda, mendasari penulis untuk melakukan penelitian
dengan variabel independent yang sama, namun menggunakan variabel dependent
yang berbeda dengan judul “Pengaruh Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Nilai Kurs
Dollar dan Pertumbuhan GDP Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di
BEI”. Penelitian ini diharapkan memperoleh hasil atas variabel yang diteliti
apakah sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1) Apakah inflasi berpengaruh signifikan terhadap IHSG ?
2) Apakah Jumlah Uang Beredar berpengaruh signifikan terhadap IHSG ?
3) Apakah Nilai Kurs Dollar berpengaruh signifikan terhadap IHSG ?
4) Apakah Pertumbuhan GDP berpengaruh signifikan terhadap IHSG ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan diadakannya penelitian
ini adalah :
1) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh inflasi terhadap IHSG.
2) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Jumlah Uang Beredar terhadap
IHSG.
3) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Nilai Kurs Dollar terhadap IHSG.
4) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Pertumbuhan GDP terhadap IHSG.
1.4 Kegunaan Penelitian
Dari Uraian diatas adapun beberapa kegunaan dari penelitian ini yaitu:
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman, gambaran, dan
wawasan mengenai pengaruh inflasi, jumlah uang beredar, nilai kurs dollar, dan
pertumbuhan GDP terhadap IHSG di BEI. Disamping itu, diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam memperkuat bukti empiris dan dijadikan
perbandingan, pengembangan, dan penyempurnaan dari penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya.
2)
Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang baik bagi para
investor untuk mengambil sebuah keputusan agar dapat mengurangi resiko-resiko
yang disebabkan oleh inflasi, jumlah uang beredar, nilai tukar kurs, dan
pertumbuhan GDP. Selain itu penelitian ini juga diharapkan sebagai bahan
pertimbangan bagi investor memberikan informasi pergerakan IHSG di BEI.
1.5 Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi disusun berdasarkan urutan beberapa bab secara
sistematis sehingga antara bab yang lain mempunyai hubungan yang erat. Adapun
sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I
: Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah
penelitian yang terdiri dari hal-hal apa saja yang mendasari
dilakukannya penelitian, serta menguraikan rumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II
: Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
Dalam bab ini diuraikan mengenai landasan teori dan konsep yang
berkaitan dengan saham, teori investasi, teori inflasi, jumlah uang
beredar, teori tentang kurs, gross domestic product, IHSG,
hipotesis penelitian, serta model penelitian.
Bab III
: Metode Penelitian
Dalam bab ini diuraikan mengenai metode penelitian yang meliputi
desain penelitian, lokasi atau ruang lingkup wilayah penelitian,
obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional
variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode
penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis
data yang digunakan.
Bab IV
: Data dan Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran umum Bursa Efek
Indonesia dan perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian,
deskripsi data hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V
: Simpulan dan Saran
Dalam bab ini diuraikan mengenai tentang simpulan dan saran
yang diperoleh dari hasil analisis penelitian yang telah dibahas
pada bab sebelumnya, keterbatasan penelitian, serta saran-saran
yang dapat digunakan oleh emiten dan investor.
Download