BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Rajungan
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) yang dikutip
oleh Hermanto (2004) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucelomata
Section : Prostomia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Brachyura
Sub Seksi : Brachyrhyncha
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portuninae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan famili Portunidae dari seksi
Brachyura. Hewan ini memiliki sapit yang memanjang, kokoh dan berduri. Pada
hewan ini terdapat perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan
jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, sapitnya pun lebih panjang dari
yang betina. Rajungan jantan memiliki warna kebiru-biruan dengan bercak-bercak
putih terang, sedangkan pada rajungan betina memiliki warna dasar kehijauhijauan dan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas
pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa (Nontji, 2007).
4
Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri
yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan
terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit (cheliped),
sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki
renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki
renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan
memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan.
Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air
sehingga tergolong kedalam Swimming Crab (Portunidae) (Rangka, 2007).
Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa rajungan mempunyai
karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk
segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka (anterolateral)
karapas terdapat 9 (sembilan) buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih
besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang
terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar.
Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri anterolateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral memiliki
ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk
segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk
segitiga yang lebih lebar dan membulat (Schmitt, 1973).
Juwana dan Romimohtarto (2000) yang dikutip oleh Ramdani (2007)
mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang
memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai
umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100
gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam
mempunyai kisaran lebar karapas 12-15 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.
5
Tampak Dorsal
Abdomen jantan
Abdomen betina
Sumber : www.sea-ex.com/fishphotos/crab.htm
Gambar 1 Morfologi dan anatomi rajungan.
Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit (molting). Kulit
kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus
tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit
sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit
memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat
membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada
6
rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesama
jenisnya. Kanibalisme pada rajungan merupakan hal yang sering terjadi terutama
dalam ruangan yang terbatas, baik pada rajungan dewasa maupun dalam tahap
larva (Nontji, 2007).
Menurut Warner (1977) yang dikutip oleh Hermanto (2004) tahap-tahap
molting adalah sebagai berikut:
1) Tahap awal molting
-
Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup
mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs
air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;
-
Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot
tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80%, endokutikel mengeras,
mineralisasi dimulai.
2) Tahap baru saja molting
-
Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah;
-
Bagian eksoskeleton menjadi kaku
3) Tahap intermolting
-
Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus
dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan
jaringan;
-
Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan
lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut;
-
Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap
berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna
sampai akhir tahap ini;
-
Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari
pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus
kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis.
Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang
berbalik. Kandungan air 60%.
7
-
Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel
pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan
tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna.
4) Tahap premolting
-
Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru.
Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian
ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan
diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam
jaringan epidermis;
5) Tahap ecdysis
-
Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air.
Menurut Thompson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004) rajungan
besar biasanya tidak menanggalkan karapasnya untuk jangka waktu yang lama.
Rajungan seperti ini memiliki warna yang memudar dan karapasnya sering
ditempeli oleh remis/teritip atau sulur rumput laut. Rajungan dapat berjalan sangat
baik pada dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab, dan jjuga
perenang yang baik.
Menurut Moosa (1996) yang dikutip oleh Nontji (2007) di Indo-pasifik
Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku Portunidae. Di Indonesia
terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau
Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis tersebut, hanya beberapa
jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa dimakan. Kepiting yang
biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran agak besar. Jenis
kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena
tidak memiliki daging yang berarti.
Menurut Hermanto (2004) jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab)
ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portunidae atau
prodopthalnae. Adapun jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan tetapi
berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Hal ini menyebabkan
jenis kepiting tersebut tidak umum untuk dimakan.
8
Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar indonesia ada empat spesies
yaitu
:
rajungan
(portunus
pelagicus),
rajungan
bintang
(Portunus
sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil), dan rajungan karang
(Charybdis feriatus). Menurut Nontji (2007) rajungan bintang mudah dikenali
dengan adanya tiga bintik berwarna merah coklat dipunggungnya. Rajungan jenis
ini memiliki ukuran lebih kecil dari P. pelagicus, hidup di laut terbuka mulai dari
tepi pantai hingga kedalaman lebih dari 30 m. Rajungan karang mempunyai warna
yang khas, coklat kemerah-merahan dan di punggungnya terdapat gambaran pucat
menyerupai salib. Rajungan angin mempunyai ukuran yang lebih kecil lagi, jenis
rajungan ini hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Ciri yang menonjol
pada rajungan jenis ini adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat
panjang dan bisa direbahkan. Adapun keempat jenis rajungan tersebut dapat
dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.
(a)
sumber : www.dpi.nsw.gov.au/fisheries/crab
(c)
sumber : www.seafood.nmmba.gov.tw
(b)
sumber : www.hk-fish.net/eng/database/crabs
(d)
sumber : www.cookislands.bishopmuseum.org
Gambar 2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia: (a) Portunus
pelagicus; (b) Portunus sanguinolentus; (c) Charibydis feriatus;
(d)
Podopthalmus vigil.
9
2.1.2 Habitat
Rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan
dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Hewan ini hidup dengan
membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, atau
kadang-kadang dijumpai berenang-renang di permukaan (Oemarjati dan
Wardhana, 1990). Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut hingga kedalaman
lebih dari 65 m, tetapi sesekali ia juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut
(Nontji, 2007).
Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Saedi (1997) rajungan dapat
merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal (pasang surut) sampai pada
lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir
dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan
penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari
makan (feeding place) dan pergi ke laut untuk memijah.
Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk
tumbuh di air asin. Hutan bakau dapat terbentuk dengan sendirinya apabila
kondisi fisik lingkungan memilki arus yang kecil sehingga endapan partikel yang
halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada
umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar
garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut (Nyabakken,
1993).
Menurut Nyabakken (1993) hutan bakau dihuni oleh berbagai jenis makhluk
hidup. Sementara di bagian atasnya hidup beberapa organisme terestrial, terdapat
hewan-hewan laut yang tinggal di bawahnya. Kelompok hewan laut dominan
yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis
ikan-ikan tertentu. Dengan banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan
bakau, menjadikannya sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan
rajungan.
10
2.1.3
Daur hidup
Menurut Nontji (2007) seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi
larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yg baru menetas
sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas mengalami
beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki bentuk yang sama
dengan rajungan dewasa.
Larva rajungan yang baru menetas (zoea) memiliki bentuk yang lebih mirip
udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang,
matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini
terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk
yang berbeda. Ciri-ciri tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV
Zoea I
Umur (hari)
Panjang karapas (cm)
Ruas abdomen (ruas)
Seta pada telson
2
0.3-0.5
5
6s*
Zoea II
2
0.5-0.7
5
6s+2h*
Zoea
Zoea
III
IV
2-3
6
0.7-0.8 0.8-0.9
6
6
6s+2h * 6s+2h *
Seta pada masing-masing ujung
4
6-8
10
pelopod maksiliped
Sumber : Panggabean dan Aswandy (1982) dikutip oleh Saedi (1997)
12-14
Keterangan : s adalah serrate seta; h adalah simple seta
Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai
mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar,
kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada
tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan
muda (Nontji, 2007). Tahapan perkembangan larva rajungan dapat dilihat pada
Gambar 3.
11
(a)
(b)
(c)
Digambar ulang oleh Caesario (2010)
Keterangan :
(a) Larva rajungan pada tahap zoea; (b) Larva rajungan pada tahap megalopa;
(c) Juvenile (rajungan muda).
Gambar 3 Perkembangan larva rajungan.
Nontji (2005) mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton,
berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup
di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto (2000) dikutip oleh
Ramdani (2007) menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang
sangat kecil sekali dan berenang-renang lemah dalam air laut sebagai plankton.
Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton (Oemarjati
dan Wardhana, 1990). Daur hidup rajungan secara keseluruhan dapat dilihat pada
Gambar 4.
12
Digambar ulang oleh Caesario (2010)
Gambar 4 Siklus hidup rajungan.
2.1.4 Reproduksi
Rajungan muda mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37
mm. Dengan demikian rajungan dapat melakukan proses reproduksi ketika
mencapai ukuran tersebut (Rousefell, 1975 in Darya, 2002). Pada rajungan betina
terdapat tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Tahap
perkembangan gonad ini disebut sebagai Tingkat Kematangan Gonad (TKG).
Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan secara
morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi
gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari anatomi perkembangan
gonadnya (Effendie, 1997 dikutip oleh Hermanto, 2004).
13
Pada kepiting, telur dalam tubuh betina yang sudah matang akan turun ke
oviduct dan dibuahi sperma, kemudian dipijahkan dan akan melekat pada rambutrambut pleopod. Jumlah telur yang dikeluarkan di alam berkisar antara 1-8 juta
butir tergantung ukuran induk kepiting, namun hanya sepertiganya yang
menempel pada rambut-rambut pleopod (Fielder dan Heasman, 1982; Rukmana,
1992 dalam Hermanto, 2004).
Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap
memijah. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari
sebelum dibuahi. Beberapa ratus telur disematkan di bagian bawah tubuh betina
yaitu pada bagian perut dengan maksud untuk melindunginya. Perlindungan
dilakukan induk betina (maternal care) dengan cara selalu membersihkan telur
yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Pemijahan dapat
terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari
perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada
perairan dengan suhu 24 ˚C (West Australia goverment, 1997; Darya, 2002 dalam
Hermanto, 2004).
2.1.5
Makanan
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah hewan karnifor yang mencari makan
di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata yang
berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat tergantung
pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan utama untuk
rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan gastropoda,
sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah hewan-hewan dari
kelas bivalvia dan ophiuridea (Williams, 1982). Patel et al. (1979) yang dikutip
oleh Williams (1982) menguji isi perut dari beberapa ratus rajungan (Portunus
pelagicus) yang tertangkap di Sikka , India. Adapun hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa isi perut rajungan (Portunus pelagicus) sebagian
besar terdiri dari potongan kepiting, cangkang gastropoda dan bivalvia, dan
seringkali ditemukan ikan yang merupakan jenis makanan utama.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang
dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan
14
sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa
makanan utama rajungan (Portunus pelagicus) terdiri dari Moluska (51.3%),
Krustasea (24.1%), tulang ikan (18%) dan bahan makanan yang tidak dapat
diidentifikasi (6.6%). Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya
Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke
dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp.
(Chande and Mgaya, 2004).
Menurut Prasad and Tampi (1953) yang dikutip oleh Williams (1982)
rajungan adalah hewan pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Selain itu Williams
(1982) menambahkan bahwa rajungan merupakan hewan yang hampir
sepenuhnya bersifat karnifora. Adapun material makanan berupa tanaman sangat
jarang ditemukan sebagai makanan dan mungkin dicerna secara tidak sengaja
pada saat mangsa diperoleh diantara alga atau rumput laut.
2.1.6
Tingkah laku
Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju
pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan
tumbuhan air. Menurut Thomson (1974) yang dikutip oleh Hermanto (2004)
rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir
dalam sekejap untuk menghindari musuh-musuhnya.
Daerah estuari merupakan tempat berkembang biak atau memijah rajungan.
Kemudian rajungan betina akan membawa telurnya ke daerah pesisir pantai
daerah teluk. Rajungan tumbuh dengan berganti karapas secara berkala (molting)
seperti udang-udangan lainnya. Rajungan betina kadang-kadang kawin pada saat
karapasnya masih lunak setelah berganti kulit ( Thompson, 1974 dikutip oleh
Hermanto, 2004 ).
Archdale, et al (2003) menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi
terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di dasar perairan. Kepiting akan datang
dan mendekati bubu secara perlahan dengan membentuk pola zig zag. Kemudian
kepiting akan melakukan kontak secara langsung terdahap bubu, menunjukkan
tanda-tanda sedang mencari makan. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi
15
keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan
membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting
akan bergerak perlahan ke kanan dan kiri menyusuri bagian bubu untuk mencari
jalan menuju kedalam bubu untuk dapat meraih umpan. Dengan cara ini kepiting
akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Kepiting yang
berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya.
Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu.
Dalam penelitiannya untuk menentukan efektifitas penangkapan, Archdale,
et al (2003) menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku kepiting terhadap
dua jenis bubu yang diberi umpan. Adapun bubu yang digunakan dalam
penelitiannya adalah bubu berbentuk kotak dengan dua celah pada bagian
ujungnya. Adapun bubu lainnya berbentuk kubah dengan pintu masuk berbentuk
corong yang terbuka.
Selanjutnya Archdale, et al (2003) menyimpulkan bahwa pada bubu
berbentuk kotak, kepiting akan melakukan beberapa usaha sampai akhirnya
berhasil masuk kedalam bubu atau menyerah untuk memasuki bubu. Hal ini
dikarenakan pintu masuk bubu yang berbentuk celah serta material jaring yang
mencegah kepiting untuk masuk karena mengakibatkan duri-duri mereka terjerat
pada jaring sehingga kepiting harus berusaha keras untuk mendorong tubuhnya
masuk kedalam bubu. Sedangkan pada bubu berbentuk kubah, kepiting dapat
masuk dengan mudah dengan cara merayap menyamping. Tingkah laku kepiting
terhadap dua jenis alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 5 dan
Gambar 6.
16
Sumber : Archdale et al (2003)
Keterangan :
a. Mendekat perlahan
b. Kontak dengan jaring atau frame
c. Berusaha menjangkau umpan melalui
jaring dan pergerakan lateral
d. Menemukan pintu masuk
e.
f.
g.
z.
Memasuki bubu
Memakan umpan
Istirahat dan berdiam di sudut
Tidak berhasil memasuki bubu
Gambar 5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak.
17
Sumber : Archdale et al (2003)
Keterangan :
a. Mendekat perlahan
b. Kontak dengan jaring atau frame
c. Berusaha menjangkau umpan melalui
jaring dan pergerakan lateral
d.
e.
f.
g.
Menemukan pintu masuk
Memasuki bubu
Memakan umpan
Istirahat dan berdiam di sudut
Gambar 6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah.
2.2
Bubu
2.2.1
Deskripsi Bubu
Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap dimana ikan atau target lainnya
dapat memasuki ruangan penangkapan namun sulit untuk keluar, khususnya
ketika jalan keluar dilengkapi dengan alat pencegah hasil tangkapan untuk
meloloskan diri (non-return device) (Brandt, 1984). Selanjutnya Brandt (1984)
membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap
18
dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap dibuat lebih tinggi dari permukaan
air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan cara melompati pagar tersebut.
Berbeda dengan perangkap, bubu merupakan alat tangkap tiga dimensi yang
memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan pengecualian, satu atau lebih
pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan lolos (non-return device).
Perangkap terbuat dari pagar-pagar dimana terdapat satu atau lebih ruangan
penangkapan yang terhubung satu dengan yang lain, dan pada tiap ruangan
penangkapan tersebut memiliki pintu masuk yang berbentuk corong. Semua jenis
bubu merupakan alat tangkap yang dapat dibawa dan dipindah-pindahkan,
sedangkan perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan
karena konstruksi dan ukurannya yang besar.
Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal,
sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas
pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003).
Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak
digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan
skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir
seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk
skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya.
Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat
tangkap lain . Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda
(2003) adalah:
1) Pembuatan alatnya mudah;
2) Pengoperasiannya mudah;
3) Memiliki tingkat kesegaran hasil tangakapan yang tinggi;
4) Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan
5) Bisa dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa
dioperasikan.
Menurut Martasuganda (2003), secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian
rangka, badan, dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk
mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan
umpan. Bubu memiliki beberapa bagian secara umum. Alat tangkap ini umumnya
19
terdiri atas kerangka (frame), dinding (wall), mulut (funnel), pintu (hatch), dan
tempat umpan (bait case) (Subani dan Barus, 1989).
2.2.2
Klasifikasi alat tangkap bubu
Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap
(traps). Subani dan Barus (1989) junga mengelompokkan bubu kedalam kategori
perangkap. Pengelompokan bubu kedalam golongan perangkap dikarenakan alat
tangkap ini berusaha untuk memerangkap ikan-ikan yang masuk kedalamnya.
Secara umum Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua klasifikasi
berdasarkan lokasi pemasangannya yaitu :
1) Bubu laut dangkal (Inshore potting)
Alat tangkap bubu ini dioperasikan dengan menggunakan kapal yang
berukuran kecil. Bubu ini dioperasikan hingga kedalaman 50 depa (75 meter).
2) Bubu laut dalam (Offshore potting)
Alat tangkap bubu ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman
300 depa (450 m). Pengoperasian alat tangkap ini melibatkan peralatan dan kapal
yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selain
itu, ukuran bubu yang dioperasikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan
bubu laut dangkal.
Selanjutnya Sainsbury (1996) membagi bubu kedalam dua kategori
berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai.
1) Sistem tunggal
Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem tunggal, bubu
dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini biasanya
dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh
antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi dengan pemberat
agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah posisi. Untuk dapat
mengetahui posisi pemasangan bubu ini, dipasang pelampung tanda untuk
memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal
dapat dilihat pada Gambar 7.
20
Sumber : Sainsbury (1996)
Gambar 7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.
2) Sistem rawai
Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah
banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya.
Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam. Bubu yang
dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait (snap) antara
tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada
kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat.
Pemasangan bubu dengan system rawai dapat dilihat pada Gambar 8
21
Sumber : Sainsbury (1996)
Gambar 8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai.
Subani dan Barus (1989), membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan
cara pengoperasiannya yaitu: bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating
fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot).
1) Bubu Dasar (Ground Fishpot)
Bubu dasar adalah bubu dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian bubu
jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula dioperasikan secara rawai.
Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karangkarang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga
hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. Sasaran
tangkapan bubu ini adalah jenis ikan demersal.
2) Bubu Apung (Floating Fishpot)
Bubu apung adalah bubu yang dioperasikan dengan cara diapungkan di
permukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari bambu dan dilengkapi
dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang
berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini menangkap jenis ikan pelagis.
22
3) Bubu Hanyut
Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari
kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini
kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari
beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di
Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja
atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu
karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang (flying fish).
2.2.3 Konstruksi bubu
Menurut Subani dan Barus (1989) bubu secara umum terdiri atas kerangka
(frame), dinding (wall), ijeb/mulut (funnel), pintu (hatch), dan tempat umpan (bait
case). Slack and Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan,
mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat.
1) Rangka
Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari
material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika
dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan
terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja.
Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu.
Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional
menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka
besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika
Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat
dengan menggunakan
mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak
memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya.
Bubu di Indonesia masih
banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu
tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan
karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan
Martasuganda (1991) menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah
menggunakan besi sebagai kerangka.
23
2) Badan
Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat,
jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung
dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam
pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih
digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material
tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan.
3) Mulut
Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian
dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan
keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu
lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah
mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari
satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari
satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut
(Miller, 1990).
Archdale et al (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting
dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong
dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu
dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk
kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal
ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting
terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu.
4) Tempat umpan
Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa
terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan
umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus,
umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan
beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa
dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin
ditangkap
24
5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan
Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk
mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan
pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan.
6) Celah pelolosan
Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi
ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi
keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk
escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari
target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang
umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada
beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat
tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran
kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang
mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk
meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster
batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau
diperbolehkan untuk meloloskan diri.
7) Pemberat
Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus
laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat
setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari
kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi,
baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya.
2.2.3.1 Bahan
Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang
ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan (Slack and Smith, 2001).
Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu
(bamboos netting), anyaman rotan (rattan netting), anyaman kawat (wire netting),
kere bambu (bamboos screen). Adapun Sudirman dan Mallawa (2004)
menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,
25
atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan
keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu
biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu.
Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring,
waring
maupun
anyaman
bambu.
Selanjutnya
Martasuganda
(2003),
menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan
kawat kasa.
Brandt (1984) mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat
dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali
digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya
terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu
dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat
dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan
bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat
besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada
perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang
berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan
kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport
fishing yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa
menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional
untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat
menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah
mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum
membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan
harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu
dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi
dalam jumlah yang besar.
2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu
Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya
disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah
26
(Gambar9). Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun
hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau
pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya (Martasuganda, 2003).
Sumber : Sainsbury (1996)
Keterangan :
a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat
b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara
c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara
d = Bubu belut di perairan Miami
Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan.
Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti
halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur
dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut
Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan
bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India
27
dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut
Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat
bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong
dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bebu terbelah-belah
(Brandt 1984).
Menurut Subani dan Barus (1989), bubu mempunyai bentuk yang beraneka
ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang,
trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun
menurut Martasuganda (2003), bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif.
Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium,
silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang
biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong,
pintur/rakkang, dan bubu lipat.
a) Wadong
Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di
tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau
memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu
supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat
tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk
umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan :
1.
2.
3.
4.
5.
Rangka
Pintu
Pintu masuk
Tiang penyangga
Penusuk umpan
Sumber: Martasuganda (2003)
Gambar 10 Konstruksi bubu wadong.
b) Pintur/rakkang
Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini
28
dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai
rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring
yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari
jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus
untuk membuatnya. Konstruksi bubu pintur/rakkang dapat dilihat pada Gambar
11.
Keterangan :
1.
2.
3.
4.
5.
Tali penyangga
Rangka
Jaring
Pemberat
Umpan
Sumber: Martasuganda (2003)
Gambar 11 Konstruksi bubu pintur.
Selanjutnya Lastari (2007) menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat
kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar
dan Ramdani (2009), juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk
menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak.
Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan :
a.
b.
c.
d.
e.
Rangka
Mulut bubu
Badan bubu
Engsel
Tempat umpan
Sumber: Lastari (2007)
Gambar 12 Konstruksi bubu lipat.
29
2.2.3.3 Umpan
Menurut Miller (1990), salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai
salah satu bentuk pemikat (atractant) yang memberikan rangsangan (stimulus)
yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan
ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ
olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga
menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut (Syandri, 1988).
King (1991) yang dikutip oleh Fitri (2008) menjelaskan bahwa umpan pada
bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip
kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam
bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut
Slack and Smith (2001), umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan
yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang
ingin
ditangkap.
Penggunaan
umpan
dalam
proses
penangkapan
ikan
menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan.
Monintja dan Martasuganda (1991), menyatakan bahwa terperangkapnya
udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat
sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau
tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut
didistribusikan (Grasso, 2002). Menurut Miller (1990), umpan dapat dipilih guna
mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk
mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah
pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan.
Slack dan Smith (2001), menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai
berikut:
1) Efektif untuk menarik ikan target;
2) Ketersediiannya melimpah;
3) Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan,
4) Harganya murah agar operasi penangkapan menguntungkan;
30
Martasuganda (2003) mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki
karakteristik yaitu :
1) Efektif dalam menarik ikan;
2) mudah diperoleh;
3) Murah;
4) Mudah disimpan dan,
5) Tahan lama;
(1) Jenis-jenis umpan
Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis
umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan
hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya (Martasuganda, 2003). Berdasarkan
sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan
buatan (artificial bait) (Miller 1990). Umpan alami merupakan irisan-irisan
daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat
menyerupai struktur kimia umpan asli (Mackie, 1973).
Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup (live
bait) dan umpan mati (dead bait) (Leksono, 1983). Jenis umpan yang digunakan
tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan (Ferno dan
Olsen, 1994) Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan
herring (Daniel and Bayer, 1989), potongan mackerel (Lokkeborg, 1989), serta
potongan kepiting atau lobster (Miller, 1995).
Menurut Miller (1995), Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan
kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara
drastis. Ramdani (2007), melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang
paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang
berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan
rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan
rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki
sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau / substansi kimia yang
31
dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin (2009) dalam
penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu
babi (diadema sp.) yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu
koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu
yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun.
(2) Posisi umpan
Menurut Martasuganda (2003) umumnya umpan diletakkan di tengahtengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan
cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al.
(2003) mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan
menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah
aktif.
Archdale, et al. (2003) melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting
batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi
umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk
kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki
bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan
umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini
akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada
bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu.
Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al.
(2003) menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan
dengan arah arus (75%). Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma
yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang
mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan
bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa
kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan
bubu secara tidak disengaja (Gambar 13).
32
Sumber : Archdale, et al. (2003)
Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi
umpan berdasarkan pada arus air.
Archdale, et al. (2003) memasang umpan pada kedua jenis bubu yang
diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan
dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian
tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan
pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah
pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan
menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping
karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut
bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena
mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong.
Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan
dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu
dengan mengikuti jejak aroma umpan (75%), dan kepiting lain yang datang dari
arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting
sedang mencari tempat untuk bersembunyi (Archdale, 2003). Nelayan
berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil
tangkapan. Archdale (2003) mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya
seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah
dengan arah arus hanyalah sekitar 7%, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat
33
pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat
menjadi 65%. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus
air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang
berlawanan dengan arah arus.
(3) Bobot umpan
Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang
keberhasilan penangkapan ikan. Miller (1983), menyatakan bahwa perangkap
dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50% kepiting lebih banyak
dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1
kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari.
Sainte-Marie (1994), melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta
pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu
kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa
penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan
C. irrotatus secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie (1994) menyimpulkan bahwa
peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu.
Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim
penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller (1983),
menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg
mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan
perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg.
Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil
tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga
bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata
konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat
seiring dengan peningkatan bobot umpan (Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu
oleh Marie, 1995). Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal
dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan (Zimmer-Faust
and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005). Area daya tarik yang lebih luas
akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan
memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan (Sainte-Marie and
34
Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995). Selain itu, konsentrasi umpan
(attractant) yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap
umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang
bergerak menuju bubu (McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson
et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994).
Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas,
umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap
ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan
berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.
2.2.4 Metode penangkapan bubu
Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya
menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Menurut Sainsbury (1996), bubu
dioperasikan secara single atau dengan metode rawai, tergantung dari kedalaman,
ruang yang dibutuhkan, serta pola pemasangan bubu. Bubu yang dipasang dengan
jarak yang jauh atau yang disetting di sekitar daerah berbatu/karang biasanya
disetting secara sendiri-sendiri, terutama di daerah dangkal tanpa arus yang deras.
Di wilayah perairan yang lebih dalam, dimana terdapat banyak ruang di sepanjang
kontur kedalaman, atau di daerah tertentu yang lebih tinggi, bubu lebih sering
disetting dengan cara rawai.
Menurut
Martasuganda
(2008),
waktu
pemasangan
(setting)
dan
pengangkatan (hauling) bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari,
sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari. Proses pemasangan
(setting) dan pengangkatan (hauling) bubu tergantung pada nelayan yang
mengoperasikannya. Lama perendaman (soaking time) bubu di perairan ada yang
hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 7 hari 7 malam.
Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) yang dikutip oleh
Pramono (2006) meliputi :
1)
Rigging atau pengikatan tali-temali
Proses ini berupa pemasangan tali-temali pada bubu terutama pemasangan
pelampung tanda.
2)
Baiting atau pemasangan umpan
35
Proses ini adalah proses dipasangnya umpan yang digunakan untuk memikat
ikan masuk kedalam bubu.
3)
Pemasangan (setting)
Keberhasilan
penangkapan
ikan
sangat
bergantung
pada
lokasi
penanempatan bubu. Adapun posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang
menjadi sasaran penangkapan.
4)
Lama perendaman (soaking time)
Lamanya perendaman bubu bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran
penangkapan dan daya tahan umpan. Saat ikan sangat aktif mencari makan, maka
lama perendaman hanya membutuhkan waktu beberapa menit.
5)
Pengangkatan (hauling)
Proses pengangkatan (hauling) bubu dilakukan baik secara manual oleh
nelayan maupun dengan menggunakan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu
diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palka atau keranjang yang telah
disiapkan sebelumnya.
Menurut Mariana (2006), terdapat 5 tahap pada pengoperasian bubu lipat,
yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu
(setting), perendaman bubu (soaking), serta pengangkatan bubu (hauling).
1)
Tahap persiapan
Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan meliputi
persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti
pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama
melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai sehari sebelum operasi
penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akan
melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal.
2)
Tahap pencarian daerah penangkapan ikan
Tahap pencarian daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan berdasarkan
pada kebisaaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi
peangkapan, umumnya lokasi pemasangan bubu berada pada perairan sekitar
pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu
besar, dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur.
3)
Tahap pemasangan bubu (setting)
36
Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu
lipat dimulai dengan menurunkan pemberat pertama, dilanjutkan penurunan
bubu yang sudah dipasangi umpan dan sudah dirangkai dengan menggunakan
sistem rawai, hingga penurunan pemberat kedua. Proses ini diakhiri dengan
penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak
dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah.
4)
Tahap perendaman bubu (soaking)
Tahap perendaman merupakan tahap dimana bubu dibiarkan di dalam
perairan selama 11-12 jam. Pada tahap ini target tangkapan yang masuk ke
dalam bubu akan terperangkap di dalam bubu dan tidak dapat meloloskan
diri. Pada saat bubu disetting, nelayan dapat meninggalkan fishing ground
ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan
dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan
alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan.
5)
Tahap pengangkatan bubu (hauling)
Tahap terakhir yang dilakukan dalam pengoperasian bubu adalah tahap
pengangkatan bubu. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan
pelampung tanda, pemberat kedua, bubu dan diakhiri pemberat pertama.
Adapun pembagian kerja dari nelayan yang melakukan operasi pengangkatan
(hauling) yaitu: satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan,
satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk
kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan
memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal.
2.2.5 Daerah penangkapan bubu
Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat
penangkap ikan dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975). Menurut Sainsbury
(1986) bubu dapat diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti
lobster dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar
perairan. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar
perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan
yang menjadi tujuan penangkapan.
37
Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya
menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan
pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi,
kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Keberadaan ikan
dasar, kepiting atau udang dalam suatu daerah penangkapan ikan sangat penting
untuk diketahui sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar,
kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan
(fish finder), berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan,
atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait (Martasuganda, 2008).
Daerah penangkapan rajungan adalah wilayah pantai dengan dasar pasir, pasir
lumpur, dan juga di laut terbuka (Oemarjati dan Wardhana, 1990). Adapun
menurut Ramdani (2007), daerah penangkapan rajungan adalah dasar perairan
dengan kisaran kedalaman 6-16 m.
2.2.6 Nelayan
Nelayan adalah orang yang bermatapencaharian melakukan usaha
penangkapan ikan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dikelompokkan menjadi
dua, yaitu nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan
yang menggunakan seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Nelayan sambilan
adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya sebagai nelayan disamping
pekerjaan lain (UU no.31, 2004).
Menurut Direktorat Jendral Perikanan (2000), nelayan dikelompokkan
kedalam 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilanan utama, serta nelayan
sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya
digunakan untuk operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah
nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk operasi
penangkapan. Sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang
sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan.
Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke
dalam nelayan penuh. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah
1-3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang
38
sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya
sebagai penawur bubu.
39
Download