Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam

advertisement
PERKEMBANGAN PRANATA SOSIAL BERBASIS
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA
Abdul Hafiz
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu
Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
E-mail: [email protected]
Abstract: The Development of Social Institution Based on Islamic Family Law in Indonesia. Islamic teaching
preached by Muhammad saw contained verious norms- moral norm, legal norm, and social norm- have been
institutionalized in the Islamic community as well as partly transformed into social institutions. The more
revelations received by Muhammad the more norms conveyed to humans, and the more types of social
institutions arise. When Muhammad was in Mecca while performing education institutions, he focused his
attention on engrafting social norms. Dealing with marriage circumstances, a lot of changes of legal norms
were regulated by the Marriage Code of Number 1 1974. The changes do not mean an old thing changes to new
or a current thing differs from the past. The change often means to replace something to another one which
has been exactly existed but not popular. Allowing woman becomes a judge, for instance, is one of the law
changes that the former law did not allow her as a judge because of following certain sect. According to other
sects, such allowing is not something new, but it has been existed since classical Islamic era. The change also
means adopting certain concept and it is modified then. Adopted child is forbidden in Islam, but the Islamic Legal
Compilation allowed it with modification.
Keywords: social istitution, norm, family of law
Abstrak: Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Ajaran Islam yang dibawa
oleh Muhammad saw yang berisi berbagai macam norma—norma susila, norma hukum, dan norma sosial—
telah melembaga dalam masyarakat Islam hingga sebagiannya menjelma menjadi pranata sosial. Semakin
banyak wahyu yang diterima oleh Muhammad dan semakin banyak norma-norma yang disampaikannya kepada
manusia, maka semakin banyak pula jenis-jenis pranata sosial yang muncul. Ketika berada di Mekah, di samping
melahirkan pranata pendidikan, Muhammad saw memusatkan perhatiannya pada penanaman norma-norma
sosial. Menyangkut perkawinan, sejumlah perubahan norma hukum telah terjadi melalui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan itu tidak selalu berarti pergantian yang lama ke yang baru
atau berbeda antara yang sekarang dengan yang sudah lalu. Seringkali perubahan berarti mengganti yang satu
dengan yang lain yang sesungguhnya sudah lama ada tetapi kurang populer. Membolehkan perempuan menjadi
hakim adalah perubahan hukum dengan pengertian hukum yang berkembang sebelumnya tidak membolehkan
karena mengacu kepada mazhab tertentu. Pembolehan itu bukanlah sesuatu yang baru tetapi sudah ada
sejak masa klasik Islam, menurut mazhab yang lain. Perubahan juga berarti pengambilan konsep tertentu lalu
dimodifikasi. Anak angkat dilarang oleh Islam, tetapi Kompilasi Hukum Islam mengadopsinya dengan modifikasi.
Kata kunci: pranata sosial, norma, hukum keluarga
Pendahuluan
Hukum Islam, terutama cabang hukum
keluarga, telah lama berlaku di Indonesia sama
lamanya dengan kehadiran Islam di Indonesia.
Pada mulanya, hukum keluarga yang berlaku itu
bersifat tradisional yang bersumber dari beberapa
kitab fikih. Norma-norma hukum keluarga itu
diajarkan melalui pendidikan formal dan informal.
Norma-norma yang diajarkan itu lalu menjadi
anutan masyarakat. Dapat dikatakan, perilaku
mereka sesungguhnya cerminan dari ajaran-ajaran
yang terdapat dalam kitab-kitab fikih atau ajaranajaran yang mereka terima dari guru-guru mereka.
Norma-norma itu terus tampak dalam perilaku
mereka dan bertahan dalam jangka waktu yang
lama dan kemudian menjadi pranata keluarga.
Gambaran norma hukum keluarga dan
praktiknya yang semacam itulah kiranya yang
33 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
mengilhami Van den Berg melahirkan teorinya
receptio in complexu. Inti dari teori itu adalah
bahwa bilamana seseorang menyatakan keislamannya maka secara otomatis berlaku
baginya hukum Islam secara penuh meskipun
dalam hukum Islam yang berlaku padanya itu
terdapat penyimpangan-penyimpangan.1 Snouch
Hourgronje memusatkan perhatiannya pada
penyimpangan-penyimpangan yang dikemukan
oleh Van den Berg itu sehingga ia melahirkan
teori receptie. Melalui teorinya itu, Snouck
menegaskan tidak ada hukum Islam dalam
masyarakat Indonesia. Yang ada adalah hukum
adat. Kalaupun ada hukum Islam yang berlaku
di masyarakat, ia tetap dianggap hukum adat
karena hukum Islam itu sudah diresepsi atau
diterima oleh hukum adat.2
Undang-Und ang memper sulit ter jad inya
poligami—di antara syaratnya mendapat izin
dari isteri pertama yang sudah hampir pasti
menolak memberi izin—tetapi pada kenyataan
masih banyak orang yang melakukan poligami.
Terlepas dari perdebatan yang sudah
menjadi klasik itu, di bidang hukum keluarga,
masyarakat tetap setia kepada norma-norma
hukum yang tertera dalam kitab-kitab fikih.
Menyangkut hukum perkawinan, misalnya,
mereka tetap menganut bahwa akad perkawinan
sah bilamana dilakukan oleh mempelai pria dan
wali mempelai perempuan dan wali itu harus
laki-laki. Mereka juga tetap menganut bahwa
nafkah keluarga merupakan kewajiban suami.
Kalaupun isteri memberikan uangnya untuk
membeli beras, itu dianggap kebaikan saja
bukan kewajiban.
Masalah ini akan dikaji dengan metode
kepustakaan sepenuhnya. Sumber data yang
utama untuk kajian ini adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait.
Untuk kajian pranata sosial, digunakan beberapa
sumber seperti Pengantar Ilmu Antropologi karya
Koentjaraningrat dan Sosiologi Suatu Pengantar
karya Soerjono Soekanto.
Kehidupan keluarga yang didasarkan pada
norma-norma yang diambil dari kitab-kitab
fikih sulit berubah karena ia telah menjadi
pranata. Salah satu karakter pranata adalah
memiliki tingkat kekekalan. Itulah sebabnya
beberapa norma baru yang diintrodusir oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sulit terlaksana—setidak-tidaknya
sampai sekarang masih banyak orang yang
mengabaikannya seperti norma pencatatan
perkawinan. Akan lebih sulit lagi jika norma
yang baru itu dipandang bertentangan dengan
norma yang sudah menjelma ke dalam pranata.
Contohnya, norma yang mengatur poligami.
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara,
1985), h. 5.
1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan telah berusia hampir 40
tahun. Waktu yang cukup lama itu, tampaknya,
belum cukup untuk menjadikan norma-norma
baru yang dikandungnya sebagai bagian dari
pranata perkawinan. Dengan tingkat pendidikan
masyarakat yang semakin baik, norma-norma
perkawinan yang baru itu, yang cenderung
rasional, mestinya cepat masuk ke dalam pranata
keluarga. Menjadi menarik untuk dikaji faktor
apakah yang menghambat norma-norma baru
itu masuk ke dalam pranata perkawinan.
Kajian khusus tentang pranata sosial yang
dikaitkan dengan kajian Islam, sepanjang
pengetahuan penulis, tidaklah banyak. Di antara
yang tidak banyak itu terdapat Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia karya Prof. H. Mohammad Daud
Ali, S.H. dan Hj. Habibah Daud, S.H. Masalah yang
hendak dikaji oleh kedua penulis adalah kesalahan
para peneliti dalam memahami Islam di Indonesia
akibat kesalahan metodologis dalam memahami
lembaga-lembaga Islam. Dalam kajiannya,
kedua penulis tidak menyebutkan metode yang
digunakan kecuali merujuk kepada metode yang
dikembangkan oleh pakar-pakar keislaman seperti
Deliar Noer, Fazlur Rahman, Ismail Faruqi, dan
Hasan Kamali. Sebagai penutup kajiannya, kedua
penulis mengemukakan enam kesimpulan. Di
antaranya, pembahasan dan pemikiran di negeri
kita sering didasari oleh nilai dan pendekatan
yang tidak berpijak pada bumi tanah air, fitrah
manusia dan fitrah agama, melainkan pada
Abdul Hafiz: Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam
Barat. Kesimpulan lain, kajian tentang masyarakat
Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang
Islam itu sendiri.3 Oleh karena kajian kedua penulis
ini meliputi seluruh lembaga Islam yang hidup di
Indonesia, karya mereka bermanfaat bagi penulis
terutama bab perkawinan. Kelebihan dari UU No.
1 Tahun 1974, menurut keduanya, dibandingkan
Undang-Undang Perkawinan sebelumnya terletak
pada asas, tujuan, dan sifatnya. UU ini berasaskan
agama, tujuannya membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal, dan sifatnya mengangkat
harkat dan derajat wanita.4
Pranata sosial Islam juga ditulis oleh Harun
Nasution dengan judul “Lembaga-lembaga
Kemasyarakatan” dalam Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Sama dengan karya Daud
Ali dan Habibah, karya Harun bersifat umum. Ia
sekedar memperkenalkan bahwa dalam sejarah
Islam yang panjang, dari masyarakat Islam telah
muncul sedemikian banyak pranata sosial dalam
berbagai bidang: sosial, pendidikan, politik,
ekonomi, hukum, kedokteran, militer, transportasi,
dan komunikasi.5 Karya berguna sebagai inspirasi
untuk mengkaji produk masyarakat Islam yang
boleh jadi diangkat menjadi pranata sosial Islam.
Untuk mengkaji faktor-faktor yang menghambat proses institusionalisasi norma-norma
baru yang termuat dalam UU Perkawinan,
berikutnya dibahas pranata sosial dalam Islam
yang dilanjutkan dengan pembahasan tentang
hukum keluarga Islam. Bahasan berikutnya adalah
tentang terhambatnya institusionalisasi normanorma baru hukum perkawinan yang diikuti
dengan penutup bahasan.
Pranata Sosial dalam Islam
Pranata adalah sistem tingkah laku sosial
yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma
yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh
perlengkapannya guna memenuhi berbagai
kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat.6
3
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995).
4
Daud Ali dan Habibah, Lembaga-lembaga..., h. 79-80.
5
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI Press, 2001), Jilid I, h. 103-117.
6
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi 3, Cet. ke- 2, h.
Padanannya adalah institusi dan lembaga.7 Ketiga
istilah; pranata, institusi, dan lembaga, jika
dihubungkan dengan masyarakat menimbulkan
berbagai sebutan yaitu lembaga sosial, lembaga
kemasyarakatan, institusi sosial, dan pranata
sosial. Sebutan-sebutan itu digunakan dalam
berbagai karya ilmiah dengan rumusan pengertian
yang berbeda-beda tetapi mengandung maksud
yang hampir sama.
Koentjaraningrat menggunakan istilah
lembaga sosial dengan pengertian: “suatu sistem
tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat
pada aktivitas-aktivitas (manusia untuk memenuhi
berbagai kebutuhan khusus mereka dalam
masyarakat.”8 Dalam bagian lain, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa lembaga sosial merupakan
satuan norma khusus yang menata serangkaian
tindakan yang berpola untuk keperluan khusus
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. 9
Pranata sosial atau dikenal juga sebagai lembaga
kemasyarakatan salah satu jenis lembaga yang
mengatur rangkaian tata cara dan prosedur dalam
melakukan hubungan antar manusia saat mereka
menjalani kehidupan bermasyarakat dengan
tujuan mendapatkan keteraturan hidup.10
Soerjono Soekanto menjelaskan pengertian
lembaga sosial dari proses terbentuknya.
Menurutnya, terbentuknya lembaga sosial bermula
dari kebutuhan masyarakat akan keteraturan
kehidupan bersama. Lembaga sosial tumbuh
karena manusia dalam hidupnya memerlukan
keteraturan. Keteraturan hidup bersama itu
mereka dapatkan melalui perumusan norma-norma
dalam masyarakat sebagai paduan bertingkah
laku. Norma-norma tersebut, pada mulanya,
terbentuk secara tidak disengaja. Namun, lamakelamaan norma tersebut dibuat secara sadar.
Misalnya jual beli. Dahulu, di dalam jual beli,
seorang perantara tidak harus diberi bagian
dari keuntungan. Akan tetapi, lama-kelamaan
terjadi kebiasaan bahwa perantara tersebut
harus mendapat bagiannya, baik bagiannya itu
Tim Penyusun, Kamus Besar..., h. 436.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:
Aksara Baru, 1980), h. 179.
9
Koentjaraningrat, Pengantar..., h. 70-74
10
Arif Rohman, dkk., Sosiologi, (Klaten: Intan Pariwara,
7
8
MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
ia dapatkan dari pembeli maupun penjual atau
dari keduanya. Norma-norma ini kemudian disebut
sebagai lembaga sosial.11
Pengertian pranata dan pranata sosial yang
telah dikemukakan menunjukkan bahwa ada tiga
unsur yang terkandung di dalamnya yaitu tingkah
laku, norma, dan kebutuhan manusia. Ketiga unsur
itu secara bersama-sama membentuk pranata
sosial. Boleh jadi sudah ada norma tetapi tidak
menjadi pranata sosial karena, misalnya, tidak
diikuti oleh tingkah laku masyarakat. Tidak semua
norma yang ada dalam masyarakat merupakan
pranata sosial karena untuk menjadi sebuah
pranata sosial sekumpulan norma mengalami
proses yang panjang.12 Untuk mengenali pranata
sosial dapat dilihat pada ciri-cirinya. Ciri-ciri yang
dimaksud dikemukakan oleh J.P Gillin sebagai
berikut: 13
1.
2.
3.
4.
5.
Lembaga sosial adalah organisasi pola-pola
pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui
aktivitas-aktivitas masyarakat dan hasilhasilnya. Ia terdiri atas kebiasaan-kebiasaan,
tata kelakukan, dan unsur-unsur kebudayaan
lain yang tergabung dalam suatu unit yang
fungsional.
Lembaga sosial juga dicirikan oleh suatu
tingkat kekekalan tertentu. Oleh karena
lembaga sosial merupakan himpunan normanorma yang berkisar pada kebutuhan pokok,
maka sudah sewajarnya apabila terus dipelihara dan dibakukan.
Lembaga sosial memiliki satu atau beberapa
tujuan tertentu. Lembaga pendidikan sudah
pasti memiliki beberapa tujuan, demikian juga
lembaga perkawinan, perbankan, agama, dan
lain- lain.
Terdapat alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga
sosial. Misalnya, rumah untuk lembaga
keluarga serta masjid, gereja, pura, dan
wihara untuk lembaga agama.
Lembaga sosial biasanya juga ditandai
oleh lambang-lambang atau simbol-simbol
11
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Rajawali Press, 1987), h. 34.
12
Soerjono, Sosiologi..., h. 34.
tertentu. Lambang-lambang tersebut secara
simbolis menggambar tujuan dan fungsi
lembaga yang bersangkutan. Misalnya, cincin
kawin untuk lembaga perkawinan, bendera
dan lagu kebangsaan untuk negara, serta
seragam sekolah dan badge (lencana) untuk
sekolah.
6. Lembaga sosial memiliki tradisi tertulis dan
tidak tertulis yang merumuskan tujuan,
tata tertib, dan lain-lain. Sebagai contoh,
izin kawin dan hukum perkawinan untuk
lembaga perkawinan.
Ciri-ciri pranata sosial juga dikemukakan oleh
John Conen yang ia rumuskan dalam sembilan
ciri khas (karakteristik) sebagai berikut: 14
1.
Setiap pranata sosial bertujuan memenuhi
kebutuhan khusus masyarakat.
2.
Setiap pranata sosial mempunyai nilai pokok
yang bersumber dari anggotanya.
3.
Dalam pranata sosial ada pola-pola perilaku
permanen menjadi bagian tradisi kebudayaan
yang ada dan ini disadari anggotanya.
4.
Ada saling ketergantungan antarpranata
sosial di masyarakat, perubahan pranata
sosial satu berakibat pada perubahan pranata
sosial yang lain.
5.
Meskipun antarpranata sosial saling bergantung, masing-masing pranata sosial
disusun dan diorganisasi secara sempurna
di sekitar rangkaian pola, norma, nilai, dan
perilaku yang diharapkan.
6.
Ide-ide pranata sosial pada umumnya diterima
oleh mayoritas anggota masyarakat, terlepas
dari turut tidaknya mereka berpartisipasi.
7.
Suatu pranata sosial mempunyai bentuk tata
krama perilaku.
8.
Setiap pranata sosial mempunyai simbolsimbol kebudayaan tertentu.
9.
Suatu pranata sosial mempunyai ideologi
sebagai dasar atau orientasi kelompoknya.
Semua ciri-ciri itu melekat pada pranata
sosial setelah melalui institusionalisasi normanorma tertentu. Bisa dikatakan bahwa normanorma yang melahirkan pranata sosial merupakan
Abdul Hafiz: Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam
norma-norma yang telah teruji melalui proses
institusionalisasi yang panjang. Proses itu melibatkan apa yang dibutuhkan masyarakat dan
perilaku mereka. Pranata sosial umumnya didirikan
berdasarkan nilai dan norma dalam masyarakat.
Untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat
menciptakan aturan-aturan yang disebut norma
sosial yang membatasi perilaku manusia dalam
kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan
membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya
lembaga sosial terbentuk. Sekumpulan nilai dan
norma yang telah mengalami proses penerapan
ke dalam institusi atau institutionalization menghasilkan pranata sosial.15
Proses penerapan norma ke dalam institusi
akan berujung pada terbentuknya pranata sosial
bila terpenuhi beberapa syarat. H.M. Johnson
menyatakan bahwa suatu norma terlembaga
(institutionalized) apabila memenuhi tiga syarat
sebagai berikut:
1.
Sebagian besar anggota masyarakat atau
sistem sosial menerima norma tersebut.
2.
Norma tersebut menjiwai seluruh warga
dalam sistem sosial tersebut.
3.
Norma tersebut mempunyai sanksi yang
mengikat setiap anggota masyarakat.
Sementara itu, Koentjaraningrat menyatakan bahwa aktivitas manusia atau aktivitas
kemasyarakatan dapat menjadi pranata sosial
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Persyaratan tersebut antara lain:16
1.
Suatu tata kelakuan yang baku, yang bisa
berupa norma-norma dan adat istiadat yang
hidup dalam ingatan maupun tertulis.
2.
Kelompok-kelompok manusia yang menjalankan aktivitas bersama dan saling berhubungan
menurut sistem norma-norma tersebut.
3.
Suatu pusat aktivitas yang bertujuan
memenuhi kompleks- kompleks kebutuhan
tertentu, yang disadari dan dipahami oleh
kelompok-kelompok yang bersangkutan.
4.
Mempunyai perlengkapan dan peralatan.
5.
Sistem aktivitas itu dibiasakan atau disadar-
James Fox, Indonesian Heritage: Agama dan Upacara,
(Jakarta: Buku Antarbangsa, 2002), h. 45.
15
kan kepada kelompok- kelompok yang bersangkutan dalam suatu masyarakat untuk
kurun waktu yang lama.
Norma-norma yang mengalami proses
pelembagaan, berada pada empat tingkatan. Pada
tingkat pertama, norma merupakan cara (usage)
yang menunjuk pada suatu perbuatan atau disebut
juga cara bertingkah laku. Pada tingkat kedua,
cara bertingkah laku itu berketerusan dilakukan
sehingga menjadi suatu kebiasaan (folkways),
yaitu perbuatan yang selalu diulang dalam setiap
usaha mencapai tujuan tertentu. Pada tingkat
ketiga, apabila kebiasaan itu kemudian diterima
sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan
bertindak, maka di dalamnya sudah terdapat
unsur pengawasan dan jika terjadi penyimpangan,
pelakunya akan dikenakan sanksi. Pada tingkat
keempat, tata kelakuan yang semakin kuat
mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat
yang mengikat para anggotanya. Tata kelakuan
semacam ini disebut adat istiadat (custom).
Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat
istiadat, maka ia akan mendapat sanksi yang
keras. Misalnya, pranata sosial cuci kampung
di Bengkulu. Norma yang menentukan bahwa
hubungan laki-laki perempuan di luar nikah
adalah aib, apabila dilanggar mengakibatkan
denda berupa uang dalam jumlah tertentu. Sanksi
itu dijatuhkan sebagai upaya menjaga kesucian
kampung.
Pranata sosial, apapun bentuknya, ada pada
setiap masyarakat oleh karena pranata sosial itu
memiliki beberapa fungsi:
1.
Memberikan pedoman pada anggotaanggota masyarakat, bagaimana mereka
harus bersikap atau bertingkah laku dalam
menghadapi masalah-masalah yang muncul
atau berkembang di lingkungan masyarakat,
termasuk yang menyangkut hubungan
pemenuhan kebutuhan.
2.
Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
3.
Memberikan pengarahan kepada masyarakat
untuk mengadakan sistem pengendalian
sosial, yaitu sistem pengawasan masyarakat
terhadap anggota-anggotanya. 17
MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
Ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad
saw yang berisi berbagai macam norma-norma
susila, norma hukum, dan norma sosial—telah
melembaga dalam masyarakat Islam hingga
sebagiannya menjelma menjadi pranata sosial.
Tugas Muhammad saw untuk menyampaikan
wahyu kepada manusia, mengharuskannya
membiasakan diri berada dalam lingkaran
(halaqah) orang-orang yang sedia menyambut
ajaran-ajarannya. Mereka mendengar dengan
sungguh-sungguh segala penjelasan tentang
ajaran-ajaran Islam dari Muhammad saw. Ajaranajarannya itu berpengaruh terhadap perilaku
mereka. Perilaku buruk semacam merendahkan
orang dan kasar, misalnya, berubah menjadi
perilaku menghormati dan santun. Aktivitas
Muhammad saw bersama sahabat-sahabatnya
yang berpusat di Baitul Arqam ini menjadi cikal
tumbuhnya satu jenis dari pranata sosial yaitu
pranata pendidikan. Kelak, pranata pendidikan
dalam masyarakat Islam semakin berkembang
dengan berdirinya kutab, madrasah, jami’ah, dan
lain-lain.
Semakin banyak wahyu yang diterima oleh
Muhammad dan semakin banyak norma-norma
yang disampaikannya kepada manusia, maka
semakin banyak pula jenis-jenis pranata sosial
yang muncul. Ketika berada di Mekah, di samping
melahirkan pranata pendidikan, Muhammad saw
memusatkan perhatiannya pada penanaman
norma-norma sosial. Ia ajarkan bahwa derajat
manusia adalah sama (Q.S. 112:4).18 Ia ajarkan pula
bahwa keberpihakan pada orang miskin dan anak
yatim adalah bentuk dari perilaku membenarkan
agama dan, sebaliknya, mengabaikan mereka
adalah bentuk dari perilaku mendustakan agama
(Q.S. 107: 1-3). 19 Ia hargai orang yang ramah
dengan menyatakan bahwa keramahan itu adalah
18
Lam yakun lahu kufuwan ahad menyiratkan kesetaraan
manusia. Secara harfiah ayat itu berrti bahwa tidak ada sesuatu
apapun yang setara dengan Allah. Pengertiannya, hanya Allah
yang istimewa. Selain Allah adalah sama. Menganggap diri
istimewa pada dasarnya meruntuhkan keyakinan tauhid dalam
diri.
19
Nyata-nyata Allah menyebut bahwa pendusta agama
itu adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan membiarkan orng miskin kelaparan. Jadi, orang yang rajin salat
dan sering naik haji sekalipun adalah pendusta agama kalau
ia menelantarkan anak yatim dan membiarkan orang miskin
sedekah. Sebaliknya, ia sendiri ditegur oleh Allah
atas ketidakramahannya yakni ketika ia bermuka
masam dan memalingkan wajah dari seorang
buta, Abdullah bin Ummi Maktum (Q.S 80: 1-10).
Kelak, ketika ia sudah hijrah ke Madinah dan
memiliki negara, muncul pranata politik, pranata
hukum, pranata ekonomi, dan pranata-pranata
lainnya. Di Madinah sudah muncul lembaga
kepala negara meskipun tidak ada sebutan untuk
itu. Demikian pula, muncul pranata hukum di
antaranya pembuat hukum, pelaksana hukum,
dan pengawas jalannya hukum yang semuanya
berada di tangan Muhammad saw. Sesekali ia
tugaskan sahabatnya untuk mengadili perkara
baik di Madinah maupun di daerah-daerah.
Sewaktu berada di Mekah, umat Muslim tidak
memiliki pranata hukum sendiri karena mereka
belum memiliki pranata lainnya. Mereka tunduk
kepada pranata hukum Arab sepanjang tidak
bertentangan dengan iman mereka. Mereka,
misalnya, menggunakan pranata hukum Arab
seperti hakam, kahin, qiyafah, ‘arafah, dan
firasah dalam perkara-perkara hukum mereka.20
Kelak, ketika mereka telah memiliki negara di
Madinah, jenis-jenis pranata sosial semakin banyak
mereka miliki yang umumnya modifikasi terhadap
pranata Arab pra-Islam. Di masa Arab pra-Islam,
misalnya, peradilan (al-qadha`) dijalankan oleh
kepala kabilah yang disebut syaikh21 tetapi setelah
berdiri negara Madinah peradilan dijalankan
oleh Rasulullah saw. Selanjutnya, ketika wilayah
kekuasaan Islam meluas ke berbagai kawasan,
diperlukan pengangkatan hakim di setiap daerah
yang, pada gilirannya diperlukan pembentukan
pranata hukum yang baru yang disebut qâdhi alqudhat yang berfungsi mengepalai hakim-hakim
di daerah.
Di Madinah pula lahir pranata ekonomi baik
20
‘Athiyah Musthafa Musyrifah, al-Qadhâ` fil-Islâm, (T.tp.:
Syarikah al-Syarq al-Awsath, 1966), h. 17.
21
‘Athiyah Musthafa Musyrifah, al-Qadhâ` fil-Islâm, h.
16. Faisar Ananda Arfa keliru ketika ia menyatakan bahwa
“Adalah merupakan tradisi bagi Arab dan juga Yahudi kuno
bahwa orang yang bertindak sebagai hakim (hakam: Arab praIslam) bukanlah kepala suku ataupun orang yang punya kuasa,
melainkan orang bijak...” Lihat Faisar Ananda Arfa, Sejarah
Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis tentang Hukum Islam
di Barat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 37. Kekeliruan
Arfa terletak pada penyamaan hakim dan hakam. Justru, yang
Abdul Hafiz: Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam
dengan meneruskan norma-norma yang sudah ada
maupun dengan melahirkan norma-norma baru.
Muhammad saw meneruskan praktik jual beli yang
sudah ada tetapi ia melarang praktik riba. Pranata
ekonomi ia perkaya dengan semangat filantropi.
Maka ia bolehkan orang menjalankan berbagai
macam bisnis tetapi ia ingatkan mereka untuk
membayar zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Pranata keluarga sesungguhnya telah dibentuk modelnya oleh Muhammad saw sejak
ia menikahi Khadijah. Ia labrak norma-norma
yang sudah mapan dengan menerima lamaran
Khadijah. Ada tiga hal penting di sini. Pertama,
yang melamar adalah Khadijah bukan Muhammad,
kedua, Khadijah berusia jauh lebih tua daripada
Muhammad, dan, ketiga, Muhammad adalah
pekerja di usaha dagang Khadijah. Ketiga hal
ini berujung pada keharusan adanya kesetaraan.
Muhammad saw, sebagai suami, tidak mungkin
berbuat semena-mena terhadap isterinya
karena isterinya lebih dewasa yang cenderung
lebih bijaksana dan tentu saja Muhammad saw
menghormatinya, induk semangnya. Sebaliknya,
tidak pula mungkin Khadijah meremehkan
suaminya karena ia sendiri yang melamarnya.
Di bidang sosial, akibat perluasan wilayah
kekuasaan Islam, latar belakang umat muslim
menjadi beragam. Umat muslim tidak lagi
homogen tetapi heterogen; Arab, Persia, Turki,
Asia tengah, dan lain-lain. Sentimen-sentimen
kesukuan dan ke-ras-an seringkali menguat. Di
kala Arab menekankan dominasi lalu atas nonArab maka yang terakhir ini, yang lama berafiliasi
dengan Arab, memperkuat pula pranata mawali
yang menjadi salah satu faktor pendorong
tumbangnya kekuasaan dinasti Umayyah.22
Banyak lagi pranata-pranata sosial yang
muncul, tetapi menarik dicatat adalah bahwa
munculnya pranata sosial tidak selalu lahir dari
makna harfiah norma hukum. Pranata kharaj
dapat disebutkan sebagai salah satu contohnya.
Andaikan Khalifah kedua, Umar bin Khathab,
berpegang teguh pada makna harfiah norma
hukum ghanimah (Qs 8: 41) niscaya pranata
kharaj tidak muncul. Dengan pranata kharaj,
22
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
ada dua tujuan besar yang hendak dicapai oleh
Umar. Pertama, keberlangsungan negara dengan
dukungan dana kharaj. Kedua, mempersempit
jurang pemisah antara kaya dan miskin. Pelaksanaan norma hukum ghanimah telah memiskinkan sekelompok orang dan memperkaya
kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang
ditaklukkan menjadi miskin karena tanah mereka
dirampas dan pasukan penakluk yang telah
kaya raya, karena sering mendapat rampasan
perang, bertambah kaya.fikasi tersebut adalah
perluasan kewenangan peradilan yang semula
terbatatas pada anggota kabilah menjadi seluruh
warga Negara Madinah baik muslim maupun
nonmuslim.
Hukum Keluarga Islam
Hukum Keluarga Islam atau al-Ahwaâl alSyakhshiyyah atau Nizhâm al-Usrah atau Islamic
Family Law atau Islamic Personal Law merupakan
bagian dari hukum perdata Islam. Pembentukan
dan penamaan rumpun ini relatif baru dalam
studi hukum Islam. Di masa lalu rumpun ini tidak
ada dan otomatis namanya pun tidak ada. Studi
hukum Islam yang menyangkut hukum keluarga
lazimnya dilakukan terpisah dengan nama masingmasing yaitu fikih munakahat, fikih mawarits,
al-qadha’, dan hukum keluarga di negara-negara
Muslim.
Di Indonesia hukum keluarga mencakup
banyak undang-undang dan melibatkan banyak
instansi. Ada Undang-Undang Perkawinan,
Undang-Undang Peradilan Agama, UndangUndang Kependudukan dan Kesejahteraan
Keluarga, Undang-Undang Kesejahteraan Sosial,
Undang-Undang Peradilan Anak, Undang-Undang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dll. Tidak semua
Undang-Undang itu masuk dalam klasifikasi
Hukum Keluarga Islam dengan pertimbangan
sumber dan perancang. Yang dapat diklasifikasi
sebagai Hukum Keluarga Islam adalah UndangUndang yang diinisiasi oleh Departemen Agama
(sekarang Kementerian Agama) dan rancangan
disiapkan oleh para ulama dan para pakar hukum
Islam. Termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-
MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
Hukum Perkawinan di Indonesia
Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
sejak tahun 1974 adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Undang-Undang ini resmi
diberlakukan sejak 1 Oktober 1975 setelah
pemerintah menerbitkan peraturan pelaksananya
yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka
seluruh peraturan peraturan perundang-undangan
yang menyangkut perkawinan dinyatakan tidak
perlaku sepanjang Undang-Undang ini telah
mengaturnya.
Seperti dijelaskan dalam penjelasan umum
Undang-Undang ini, ada sejumlah asas atau
prinsip perkawinan. Pertama, tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Kedua, perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dan setiap
perkawinan harus dicatat. Ketiga, perkawinan
berasas monogami. Keempat, calon suamiisteri harus sudah matang jiwanya. Kelima,
mempersukar terjadinya perceraian. Keenam,
hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak
dan kedudukan suami. 23
Asas-asas perkawinan yang termuat dalam
penjelasan umum itu merupakan nilai yang
menjiwai 14 bab dan 67 pasal yang terdapat
Undang-Undang. Keseluruhan norma yang
terdapat dalam Undang-Undang dibuat untuk
memenuhi kehendak asas yang pertama yaitu
menyangkut tujuan perkawinan. Undang-Undang
ini, pasal 2 ayat 1, menyerahkan penentuan
keabsahan perkawinan kepada agama sebagai
penjabaran dari asas yang kedua. Asas monogami
dijabarkan dalam pasal-pasal yang mengatur
prosedur poligami. Pembuat Undang-Undang,
tampaknya, mentolerir poligami semata-mata
mempertimbangkan agama seperti tersirat
dalam “Penjelasan Umum”. Asas penting dari
Undang-Undang ini adalah asas kelima karena
asas ini paling memungkinkan tercapainya tujuan
perkawinan. Banyak pasal dalam Undang-Undang
23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
ini sesungguhnya pengejawantahan dari asas ini
seperti pasal-pasal yang mengatur syarat menikah
dan putusnya perkawinan.
Setiap undang-undang berlaku secara
nasional, termasuk Undang-Undang Perkawinan.
Artinya, undang-undang ini berlaku bagi setiap
orang apapun latar belakangnya. Untuk umat
Islam, ada peraturan lain yang dapat dijadikan
rujukan dalam persoalan perkawinan yaitu
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang
memerintahkan penyebarlusan Kompilasi Hukum
Islam ke seluruh lapisan masyarakat. Inpres ini
memuat aturan yang lebih rinci dibandingkan
dengan Undang-Undang Perkawinan. Buku I dari
Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan
dalam 19 bab dan 170 pasal. Buku I ini mengatur hal
ihwal perkawinan mulai dasar-dasar perkawinan,
peminangan, sampai ketentuan tentang masa
berkabung.
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi
banyak perubahan pada hukum keluarga Islam di
Indonesia.24 Dari sekian banyak undang-undang
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan keluarga, hanya undang-undang
yang lahir atas inisiatif Departemen Agama
(sekarang Kementerian Agama) yang digolongkan
sebagai hukum keluarga Islam karena dalam
menyusun rancangan undang-undang sudah pasti
Departemen Agama mengacu kepada hukum
Islam dan melibatkan para ulama dan ahli hukum
Islam. Termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Perkembangan Pranata Keluarga
Menyangkut perkawinan, sejumlah perubahan
norma hukum telah terjadi melalui UndangUndang-Undang yang mengatur perihal keluarga
banyak dilahirkan di Indonesia sejak 40 tahun yang lalu.
Dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, lalu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera sampai
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan
24
Abdul Hafiz: Perkembangan Pranata Sosial Berbasis Hukum Keluarga Islam
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perubahan itu tidak selalu berarti pergantian
yang lama ke yang baru atau berbeda antara
yang sekarang dengan yang sudah lalu. Seringkali
perubahan berarti mengganti yang satu dengan
yang lain yang sesungguhnya sudah lama ada
tetapi kurang populer. Membolehkan perempuan
menjadi hakim adalah perubahan hukum dengan
pengertian hukum yang berkembang sebelumnya
tidak membolehkan karena mengacu kepada
mazhab tertentu. Pembolehan itu bukanlah
sesuatu yang baru tetapi sudah ada sejak masa
klasik Islam, menurut mazhab yang lain. Perubahan
juga berarti pengambilan konsep tertentu lalu
dimodifikasi. Anak angkat dilarang oleh Islam,
tetapi Kompilasi Hukum Islam mengadopsinya
dengan modifikasi.
Dengan pengertian perubahan semacam itu,
hukum perkawinan mengalami banyak perubahan
sejak Undang-Undang Perkawinan disahkan.
1. Intervensi negara ke dalam urusan perkawinan
Perkawinan adalah urusan pribadi yang
sesungguhnya tidak memerlukan keterlibatan
pihak lain, apalagi pihak lain itu bukan sanak
kerabat. Namun, negara harus intervensi ke dalam
perkawinan dalam bentuk pencatatan. Banyak
pihak sesungguhnya yang berkepentingan dengan
pencatatan perkawinan dan kepentingan itu harus
dilindungi oleh negara. Perlindungan itu dapat
dipastikan bilamana perkawinan itu tercatat.
Masing-masing pihak dari pasangan suami-isteri
sebenarnya berkepentingan dengan pencatatan
terutama bila terjadi sengketa antara mereka
berdua.
Hampir semua orang menyadari pentingnya
pencatatan perkawinan namun banyak pula
pasangan yang melakukannya. Hal ini boleh
jadi karena faktor ekonomi. Meskipun, pihak
KUA menyatakan pencatatan dapat digratiskan,
berhubungan dengan KUA tetap memerlukan
biaya, setidak-tidaknya biaya transportasi. Memang
biaya pencatatan perkawinan Rp. 30.000,- kecil
bagi sebagian orang, tetapi mendapatkan 10.000,saja per hari sulit bagi sebagian orang. Alasan
lain, pencatatan tidak dilakukan untuk menutup
rahasia. Di masyarakat banyak pasangan hidup
sirri atau selingkuh kumpul kebo. Hidup bersama
itu mereka rahasiakan dengan berbagai alasan.
2. Pembatasan poligami
Tidak ada syarat untuk melakukan poligami
menurut kitab-kitab fikih selain kemapuan berbuat
adil. Karena itulah, di masa lalu, poligami menjadi
gejala umum. UU Perkawinan lalu mempersulit
terjadinya poligami dengan membuat berbagai
syarat; syarat mengajukan izin berpoligami ke
pengadilan dan syarat dikabulkannya permohonan
izin berpoligami. Syarat untuk berpoligami sulit
untuk dipenuhi tetapi banyak orang melakukan poligami. Alasan utamanya adalah agama
membolehkan.
3. Usia minimal menikah
Usia minimal menikah sebenarnya sudah
ditentukan dalam hukum Islam yaitu baligh.
Usia minimal ini hanya berlaku bagi mempelai
laki-laki karena dialah yang akan melakukan
akad dan syarat untuk dapat melakukan akad
adalah baligh. Hanya saja, usia minimal menurut
versi fikih terlalu rendah. Baligh itu diperoleh
ketika umum 12 sampai 14 tahun. Ketika UndangUndang Perkawinan menentukan 16 tahun dan
19 tahun sebagai usia minimal untuk menikah
masing-masing untuk perempuan dan laki-laki,
dianggap telah terjadi perubahan.
Batasan umur 16 dan 19 tahun dewasa ini
sesungguhnya tidak lagi rasional karena anak
dengan usia itu terlalu muda untuk diberi
tanggung jawab keluarga. Kalaupun sekarang
ini banyak terjadi perkawinan pasangan berusia
dini tidaklah tepat karena alasan agama. Namun,
alasan lain seperti kemiskinan. Keluarga-keluarga
miskin seringkali mengawinkan anak perempuan
di bawah umur karena ingin mengurangi beban
ekonomi.
4. Kehendak menikah dari mempelai dan wali
Fikih cenderung menempatkan kehendak
menikah itu pada wali. Walilah yang menentukan
terjadinya perkawinan. Sehingga dikenal istilah
wali ‘adhal yang menunjukkan bahwa wali berhak
memaksakan kehendaknya. Undang-Undang
Perkawinan tampaknya mengambil jalan tengah
MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
dengan menyatakan bahwa pernikahan terjadi
dengan persetujuan calon mempelai dan izin
orang tua. Ketentuan ini nyaris diterima semua
orang sehingga sekarang ini jarang terdengar
perkawinan paksa.
5. Talak bukan hak mutlak suami
Talak dalam konsep fikih jatuh bila dilakukan
dengan sungguh-sungguh ataupun main-main.
Talak jatuh dengan senda gurau ataupun marahmarah. Talak jatuh baik dengan pernyataan
eksplisit maupun implisit. Ketentuan fikih itu tidak
lagi berlaku sejak Undang-Undang Perkawinan
menetapkan bahwa talak hanya dapat jatuh di
hadapan sidang pengadilan. Suami tidak bisa lagi
menggunakan haknya itu sesuka hatinya.
Sekalipun Undang-Undang telah menetapkan
ketentuan seperti ini, sulit mengevaluasinya
karena percerai di luar pengadilan tidak lain adalah
perceraian yang tidak diketahui oleh orang lain.
Di luar bentuk perceraian yang dua macam ini, di
tengah masyarakat terjadi gejala ketidakjelasan
keluarga. Maksudnya adalah banyak keluarga yang
ditinggalkan suami/bapak atau isteri/ibu tanpa
ada kejelasan, cerai atau tidak cerai. Keluarga
yang ditinggalkan itupun tidak memperdulikannya.
Penutup
Meskipun telah berusaha 40 tahun, beberapa
norma yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan belum bisa menjadi bagian dari
pranata keluarga. Pada norma pencatatan,
faktornya ekonomi dan kerahasiaan pernikahan.
Pada norma usia minimal menikah, faktornya
adalah ekonomi dan “kecelakaan” belum terjadi.
Undang-Undang Perkawinan memang tidak
sempurna tetapi ketidaksempurnaan tidak
mengharuskan amandemen. Seringkali persoalan
keluarga muncul dari kesalahpemahaman terhadap
agama. Orang berpoligami bukanlah karena
Undang-Undang salah mengaturnya tetapi lebih
pada pemahaman agama. Maka kaum agamawan
yang harus turun memberikan pemahaman yang
benar.
Pustaka Acuan
Ali, Mohammad Daud dan Habibah Daud,
Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Arfa, Faisar Ananda, Sejarah Pembentukan Hukum
Islam: Studi Kritis tentang Hukum Islam di
Barat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Fox, James, Indonesian Heritage: Agama dan
Upacara, Jakarta: Buku Antarbangsa, 2002.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Jakarta: Aksara Baru, 1980.
Musyrifah, `Athiyah Musthafâ, al-Qadhâ` fi-al-Islâm,
T.tp: Syarikah al-Syarq al-Awsath, 1966.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2001, Jilid I.
Rahman, Arif, dkk., Sosiologi, Klaten: Intan
Pariwara, 2002.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Thalib, Sajuti, Receptio a Contrario, Jakarta: Bina
Aksara, 1985.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002,
edisi III, Cet. ke- 2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Penjelasan Umum Angka 4.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
Download