ii. kerangka teori dan konseptual

advertisement
9
II.
KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL
2.1. Perubahan Lingkungan dan Perubahan Penghidupan
2.1.1. Sosiologi Perubahan Sosial
Lingkungan yang dimaknai sebagai lingkungan bio-fisik dan lingkungan
sosial telah menjadi topik kajian yang menarik berbagai bidang keilmuan sejak
lama, termasuk sosiologi. Sejak kelahirannya pada abad ke 19, sosiologi pada
awalnya lebih memberikan perhatian yang besar pada perubahan lingkungan
sosial atau yang lebih dikenal dengan sistem sosial, dalam perjalannya perubahan
lingkungan bio-fisik menjadi perhatian yang besar pula. Sosiologi perubahan
sosial tersebut berkembang dari upaya memahami transformasi fundamental
masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Perkembangan studi perubahan sosial sampai dengan saat ini, telah
menghasilkan beragam konsep, model, dan teori yang berakar dari tiga tradisi
intelektual, yaitu evolusionisme, cyclical theories, dan materialisme historis. Studi
tersebut mencakup hampir semua aspek kehidupan, antara lain: seni, ilmu, agama,
moral, pendidikan, politik, ekonomi, dan keluarga (Sztompka, 1994). Penelitian
tentang “Menongkah: Perubahan Lingkungan, Budaya, dan Penghidupan Suku
Duano di Muara Indragiri” ini menggunakan pendekatan yang berakar pada salah
satu tradisi intelektual sosiologi perubahan sosial tersebut, yaitu tradisi
evolusionisme.
Evolusionisme klasik dikembangkan oleh Comte, Spencer, Morgan,
Durkheim, Tonnies, dan Ward. Cyclical theories dikembangkan oleh Ibn
Khaldun, Pareto, dan Sorokin. Materialisme historis dikembangkan oleh Marx dan
Engels (Sztompka, 1994; Sanderson, 1993). Ketiga tradisi intelektual ini memiliki
perbedaan dalam memilih fokus studi dan asumsi dalam mengembangkan konsepkonsep dan proposisi. Perbandingan fokus dan asumsi dari ketiga tradisi
intelektual dalam sosiologi perubahan sosial disajikan pada Tabel 2.1.
Sztompka (1994) selanjutnya memaparkan bahwa kelemahan asumsi dasar
evolusionisme klasik disempurnakan oleh tokoh-tokoh antara lain White, Steward,
Sahlins, Service, Lenski dan Lenski, serta Parson. Mereka ini dikenal dengan
tokoh neoevolusionisme dengan bidang ilmu yang berbeda. Neoevolusionisme
awalnya berkembang dalam antropologi kultural (White, Steward, Sahlins,
Service) pada tahun 1950-an, selanjutnya diikuti dalam sosiologi (Lenski dan
Lenski, Parson). Turunan lain dari evolusionisme yang berkembang pada tahun
1960-an adalah teori-teori modernisasi (Lerner, Hagen, Parsons, Levy, Apter,
Eisenstadt) dan teori-teori konvergensi (Rostow, Kerr, Huntington).
Fokus dan asumsi yang berbeda dari ketiga tradisi sosiologi perubahan
sosial menghasilkan beragam teori dan konsep (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2).
Berdasarkan teori dan konsep yang dikembangkan terlihat bahwa ada kemiripan
antara tradisi evolusionisme dan materialisme historis dalam hal kualitas dan
keteraturan proses sejarah yang ditentukan oleh logikanya sendiri atau didorong
oleh kekuatan dari dalam bergerak menuju tujuan tertentu. Kemiripan ini
diistilahkan oleh Karl L Popper (Sztompka, 1994) sebagai “aliran
developmentalism”.
10
Tabel 2.1. Fokus dan Asumsi dalam Tradisi Intelektual Sosiologi Perubahan Sosial
Tradisi
Intelektual
Evolusionisme
Cyclical Theories
Materialisme
Historis
Fokus
 Tiga tahap perkembangan pemikiran manusia (Comte)
 Evolusi naturalis masyarakat militer ke masyarakat
industri (Spencer)
 Evolusi materialis berdasarkan determinisme teknologi
(Morgan)
 Evolusi masyarakat berdasarkan perkembangan
pembagian kerja (Durkheim)
 Evolusi masyarakat berdasarkan ikatan sosial (Tonnies)
 Empat mekanisme evolusi (Ward)
 Sirkulasi elit dalam sistem sosial dan unsur-unsur
politik, ekonomi, dan ideologi yang membentuknya
(Pareto)
 Aliran melingkar dari proses historis kultural suatu
peradaban (Sorokin)
 Mekanisme perubahan formasi sosial-ekonomi. Sejarah
dunia yang mengarah pada kemunculan komunisme,
struktur sosial yang mengarah pada masyarakat tanpa
kelas, dan tindakan individu yang mengarah pada
tercapainya kebebasan penuh atau lenyapnya
keterasingan/alienasi (Marx dan Engels)
Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Turner et al. (1998)
Asumsi
 Keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, makna yang dapat
diprediksi perkembangannya pada masa depan
 Objek yang mengalami perubahan adalah bersifat organik (menyeluruh pada
sistem sosial), merupakan proses yang alamiah dan spontan
 Perubahan masyarakat mengarah dan bergerak dari bentuk primitif/sederhana/
tersebar/homogen/kacau ke bentuk berkembang/kompleks/terkumpul/
heterogen/teratur
 Perubahan berpola unilinier yang terbagi dalam fase-fase, bertahap, terusmenerus, meningkat, dan kumulatif .
 Menggunakan analogi yang berasal dari common sense
 Pengalaman dalam kehidupan berjalan secara berulang dan naik-turun
 Keadaan sistem yang berubah akan menjadi sama dengan keadaan sistem itu di
waktu sebelumnya (atau pada dasarnya sama)
 Variasi dari proses melingkar tergantung pada: cakupan kesamaan antara
keadaan sistem yang berulang, jangka waktu yang memisahkan kejadian yang
terulang, dan jumlah perulangan dalam seluruh lingkaran.
 Merupakan teori multidimensional tentang sejarah yang diuraikan pada tiga
tahapan berbeda (sejarah dunia, struktur sosial, tindakan individual) yang saling
berkaitan logis (satu bangun teori bertingkat), serta berkaitan melalui hubungan
interpretasi (dari makro ke mikro) dan hubungan agregat (dari mikro ke makro)
 Sejarah manusia berawal dari aras individu karena adanya kreativitas untuk
mengatasi keterbatasan, menghadapi rintangan, memerangi musuh, dan
melintasi batas.
 Masyarakat berkembang kearah yang lebih maju karena adanya kontradiksi
kelas, antagonisme kelas, dan perjuangan kelas
 Sejarah dunia digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang bersifat kontradiksi
endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktur. Bergerak dari
masyarakat pra kelas (komunitas primitif), masyarakat berkelas (perbudakan,
feodalisme, kapitalisme), dan masyarakat tanpa kelas (komunisme)
11
Tabel 2.2. Teori dan Konsep Utama dalam Tradisi Intelektual Sosiologi
Perubahan Sosial
Tradisi
Intelektual
Teori
Konsep
 Comte: Evolusi idealis (teologis,
metafisik, positif)
 Spencer: Evolusi naturalis
(masyarakat sederhana,
masyarakat kompleks, masyarakat
lebih kompleks, peradaban);
 Law of three stages
Tipologi dikotomi masyarakat
(Comte)
(masyarakat militer, masyarakat
 The Devision of
sipil)
Labor (Durkheim)
 Morgan: Evolusi materialis
Evolusionisme  Gemeinschaft and
(kebuasan, barbarisme, peradaban)
Gesellschaft
 Durkheim: Evolusi sosiologis
(Tonnies)
(masyarakat tradisional,
 Dynamic Sociology
masyarakat industri); Solidaritas
(Ward)
(organik, mekanik)
 Tonnies: Evolusi tanpa kemajuan
(gemeinschaft, gesselschafti)
 Ward: Evolution of evolution
(kosmogenesis, biogenesis,
anthropogenesis, sosiogenesis)
 Pareto: Unsur sistem sosial (residu,
kepentingan, derivasi);
Kecenderungan (kecenderungan
Cyclical
kombinasi, kecenderungan
 Social and Cultural
Theories
konservatif); Sirkulasi elit
Dynamic (Sorokin)
(berkuasa, lemah, digantikan)
 Sorokin: Tipe kultur ideal
(ideational culture, sensate culture)
 Marx dan Engels: Lima Formasi
 Formasi sosial
sosial ekonomi (primitif,
ekonomi,
perbudakan, feodalisme,
Materialisme
perjuangan kelas,
kapitalisme, komunisme); Tiga epos
Historis
dan spesies
sejarah manusia (masyarakat pra
manusia (Marx dan
kelas, masyarakat berkelas,
Engels)
masyarakat tanpa kelas); alienasi
Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Turner et al. (1998)
Perubahan lingkungan dan perubahan penghidupan dengan mengambil
kasus Suku Duano di Provinsi Riau ini sangat berkait erat dengan perubahan
sebagaimana yang diasumsikan di dalam tradisi evolusionisme, yaitu adanya
keteraturan proses sejarah yang ditentukan oleh logikanya sendiri atau didorong
oleh kekuatan dari dalam bergerak menuju tujuan tertentu. Lebih spesifik lagi jika
dikaitkan dengan Suku Duano sebagai masyarakat adat dan aktivitas menongkah
12
sebagai basis sistem penghidupan, tradisi evolusi naturalis yang dikembangkan
Herbert Spencer dan evolusi materialis yang dikembangkan Lewis Morgan dapat
menjadi pemandu dalam mendeskripsikan secara mendalam perubahan yang
terjadi. Perubahan dimensi teknologi dan pengaturan-pengaturan ekonomi dalam
aktivitas nafkah masyarakat adat Suku Duano sejak mereka hidup sebagai
pengembara laut sampai dengan menetap di darat, dapat diasumsikan sebagai
perubahan yang bertahap mengikuti logika evolusi.
Logika evolusi naturalis dan evolusi materialis sesungguhnya masih
memiliki kelemahan untuk mengkaji perubahan masyarakat dalam skala yang
lebih kecil, seperti perubahan pada komunitas Suku Duano. Fokus evolusi
naturalis dan evolusi materialis yang lebih besar pada fase dan tahap
perkembangan masyarakat, kurang memadai jika digunakan untuk mengungkap
mekanisme dan penyebab perubahan.
Kelemahan lain dari teori evolusi Spencer dan evolusi Morgan adalah
tumpul untuk menggali penyebab perubahan yang dimotori oleh agen-agen
(individual atau kolektif). Perubahan yang terjadi pada masyarakat dengan
kolektifitas yang masih tinggi sangat ditentukan oleh perilaku elit atau pemimpin
kharismatik. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat ditutup dengan menggunakan
pendekatan evolusi multilinier dan sosiologi sejarah.
2.1.2. Pendekatan Evolusi Multilinier dan Sosiologi Sejarah
Evolusi multilinier dikembangkan oleh Julian H. Steward dalam mengkaji
perubahan masyarakat berburu dan meramu ke masyarakat dengan faktor teknoekonomi yang lebih kompleks (Sztompka, 1994; Steward, 1955). Teori perubahan
sosial Steward ditulis dalam buku Theory of Culture Change pada tahun 1955.
Teori ini telah mengalami pergeseran yang cukup jauh dari tradisi awalnya
evolusionisme klasik. Fokus dan asumsi dasar evolusi multilinier berbeda dengan
evolusionisme klasik, serta memiliki kemiripan dengan beberapa penganut neo
evolusionisme lain.
Pergeseran fokus dan asumsi dasar neo evolusionisme dari evolusionisme
klasik (Sanderson, 1993; Sztompka, 1994; Steward 1955) adalah :
 Fokus bergeser dari evolusi masyarakat global sebagai suatu kesatuan ke
proses yang muncul dalam kesatuan sosial yang lebih terbatas (peradaban,
kultur) dan kesatuan masyarakat yang terpisah (suku, negara-bangsa).
 Fokus bergeser pada mekanisme penyebab evolusi, daripada rentetan tahap
perkembangan yang harus dilalui.
 Mengasumsikan bahwa evolusi harus dianalis secara deskriptif, kategoris,
menghindarkan penilaian, dan isyarat tentang kemajuan. Evolusi sosiokultural
memiliki pemaknaan yang terbatas, tanpa bermaksud memberikan
penghakiman secara moral.
 Mengasumsikan bahwa proposisi harus diungkap dalam bentuk probabilistik
daripada dalam bentuk yang pasti.
 Mengasumsikan bahwa diperlukan penggabungan yang bertingkat dengan
pandangan-pandangan evolusionisme lain (misal dengan evolusionisme
biologis).
13
Teori dan konsep yang dikembangkan dalam neo evolusionisme terbagi
dalam 2 kelompok besar yaitu antropologi budaya dan sosiologi (Tabel 2.3). Neo
evolusionisme dalam antropologi budaya berkembang lebih dahulu dibanding
dalam sosiologi. Teori dan konsep neo evolusionisme dalam antropologi budaya
lebih diarahkan untuk melihat adaptasi budaya suatu masyarakat terhadap
perubahan lingkungan bio-fisik, sedangkan dalam sosiologi lebih diarahkan untuk
melihat adaptasi yang terjadi karena peningkatan diferensiasi struktural dan
fungsional. Teori evolusi determinisme teknologi White dan evolusi multilinier
Steward menggunakan tradisi evolusi biologi Darwin dan evolusi materialis
Morgan, sedangkan teori evolusi differensiasi Parson menggunakan tradisi evolusi
sosial Comte dan evolusi sosiologis Durkheim (Sanderson, 1993; Sztompka,
1994; Steward 1955).
Tabel 2.3. Teori dan Konsep yang Digunakan dalam Neo Evolusionisme
Teori
Konsep
I. Antropologi Budaya
 Determinisme
Teknologi (Lesli White)
 Evolusi Multilinier
(Julian H. Steward)
 Evolusi Umum dan
Evolusi Khusus
(Marshal Sahlin dan E.
Service)
 White: Evolusi penggunaan energi (energi
fisik/tenaga manusia, energi tenaga hewan, energi
tanah, energi minyak bumi, energi nuklir); kultur
ditentukan terutama oleh sistem teknologi
(technology determinism), adaptasi
 Steward: Tahapan multilinier; Faktor teknoekonomi (technoeconomics); Inti masyarakat
(lembaga teknologi, lembaga ekonomi); faktor
organisasi sosial-politik; faktor ideologis; Inti
budaya, Non inti budaya, adaptasi
 Sahlin dan Service: Evolusi umum; Evolusi
Khusus; Adaptasi
II. Sosiologi
 Lenski dan Lenski: Sistem simbol; Sistem
genetik; Urutan penentu evolusi (teknologi,
ekonomi, pemerintahan, sistem distribusi); Fase
evolusi (berburu-meramu, hortikultura, agraria,
 Evolusi-ekologi
(Gerhard Lenski dan
industri).
Jean Lenski)
 Parson: Proses integratif; Proses kontrol;
 Teori Diferensiasi
Perubahan struktural; Kapasitas adaptasi; Evolusi
(Talcot Parson)
multilinier; Mekanisme dasar evolusi
(differensiasi, peningkatan daya adaptasi, inklusi,
generalisasi nilai); Tahapan evolusi (primitif,
primitif lanjut, menengah, modern).
Sumber: Sztompka (1994); Sanderson (1993); Steward (1955)
Hal pokok yang membedakan teori evolusi multilinier (Steward, 1955)
dengan teori-teori neo evolusionisme lain adalah :
 Kultur (budaya) dilihat sebagai satu kesatuan yang memiliki ciri-ciri berlainan
yang ditemukan di berbagai lingkungan ekologis.
14
 Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret, tetapi setiap kultur dan aspek
kultur berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri
(multilinier).
 Evolusi dipandang multilinier dalam 2 hal, yaitu evolusi pada berbagai tipe
masyarakat (antar-masyarakat), dan evolusi berbagai bidang kehidupan
(masyarakat tertentu).
 Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam. Faktor tekno-ekonomi
sebagai penyebab utama (tapi bukan determinisme teknologi), sedangkan
faktor organisasi sosial politik dan faktor ideologi lebih kecil peluangnya
sebagai penyebab perubahan.
Pendekatan evolusi multiliner yang lebih menekankan pada aspek kultur
akan semakin baik, jika diperkuat dengan pendekatan sosiologi sejarah (historical
sociology). Kedua pendekatan ini tidak memiliki pertentangan yang mendasar,
karena (1) sama-sama melihat masyarakat sebagai suatu realitas yang memiliki
perkembangan atau sejarah yang khusus pada berbagai aras atau aspek kehidupan,
(2) sama-sama memandang penting inter relasi antara perilaku/tindakan dengan
struktur.
Sztompka (1994) menyatakan bahwa asumsi ontologis dalam sosiologi
sejarah adalah:
 Realitas sosial bukanlah keadaan yang tetap tetapi merupakan proses yang
dinamis. Waktu adalah faktor internal yang tetap ada dalam kehidupan sosial.
Apa yang terjadi, bagaimana cara terjadinya, mengapa terjadi, apa akibat yang
ditimbulkan, semuanya tergantung kepada waktu dan tempat terjadinya.
 Perubahan sosial merupakan pertemuan berbagai proses dengan berbagai
vektor, yang sebagian tumpang-tindih, sebagian menguatkan, sebagian
memisahkan, saling mendukung, dan saling merusak.
 Masyarakat itu sendiri tidak dilihat sebagai satu kesatuan, objek atau sistem,
tetapi dilihat sebagai jaringan hubungan yang berubah-ubah, meliputi
ketegangan maupun keselarasan, konflik, maupun kerjasama.
 Rentetan kejadian dalam setiap proses sosial dilihat secara kumulatif.
 Proses sosial dilihat sebagai ciptaan agen-agen (individual atau kolektif)
melalui tindakan mereka. Selain fase proses sosial terdapat juga beberapa
orang, kolektif, kelompok, gerakan sosial, asosiasi, dan sebagainya yang
tindakannya menimbulkan proses itu.
 Manusia tidak dapat membangun masyarakat sepenuhnya seperti yang
diinginkan, tetapi manusia membangun masyarakat berdasarkan kondisi
struktural yang mereka warisi dari masa lalu. Artinya terdapat dialektika antara
tindakan dan struktur, yaitu tindakan sebagian ditentukan oleh struktur
sebelumnya dan struktur yang kemudian dihasilkan oleh tindakan sebelumnya.
Sosiologi sejarah memiliki akar yang kuat pada tradisi sejarah Weber, selain
pengaruh materialisme historis Marx. Sztompka (1994), Sanderson (1993), dan
Turner (1998) memandang bahwa Weber tidak sependapat dengan Marx dalam
hal materialisme sebagai sumber utama perubahan sosial. Perubahan sosial dalam
pandangan Weber terjadi dengan cara yang jauh lebih luas dari sekadar kondisikondisi material dasar, gagasan dan cita-cita yang bersumber dari nilai-nilai
15
kultural dan doktrin keagamaan temasuk dalam hal-hal yang menjadi perhatian
sosiologi sejarah Weber. Weber juga memandang penting peran pemimpin
kharismatik (charismatic leader) dalam proses perubahan.
2.1.3. Sosiologi Nafkah
Bidang sosiologi yang memberikan perhatian khusus pada pengaturan
ekonomi dalam masyarakat adalah sosiologi ekonomi. Aspek ekonomi menjadi
bagian yang penting dalam melihat perubahan sosiokultural dan perubahan
ekologikal. Teori perubahan dan perkembangan masyarakat dunia dari Karl Marx,
Emile Durkheim, dan Max Weber melihat aspek ekonomi adalah pusat dari
perubahan masyarakat dunia. Sejak era klasik, mereka telah melakukan
pendekatan sosiologi terhadap fenomena kehidupan ekonomi. Marx dengan lima
formasi sosial ekonomi perkembangan masyarakat, Durkheim dengan evolusi
masyarakat tradisional ke masyarakat industri, dan Weber dengan perkembangan
kapitalisme.
Ketiga ahli tersebut sepakat bahwa penjelasan tentang kehidupan ekonomi
tidak cukup memadai jika hanya dilihat dari aspek-aspek ekonomi semata,
kehidupan ekonomi harus dilihat lebih jauh melalui aspek-aspek sosiologis
(sosial, politik, dan budaya). Sebagaimana terlihat dari definisi sosiologi ekonomi
dari Durkheim dan Weber yang dikutip oleh Smelser dan Swedberg (2005), yaitu:
“Economic sociology—to use a term that Weber and Durkheim
introduced—can be defined simply as the sociological perspective applied
to economic phenomena. A similar but more elaborate version is the
application of the frames of reference, variables, and explanatory models
of sociology to that complex of activities which is concerned with the
production, distribution, exchange, and consumption of scarce goods and
services.”
Meskipun definisi sosiologi ekonomi tersebut diterima oleh semua pihak,
menurut Smelser dan Swedberg (2005) tokoh-tokoh sosiologi klasik yang
membahas fenomena kehidupan ekonomi (Marx, Durkheim, Weber) memiliki
fokus yang berbeda dalam melihat tindakan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan
sosiologi ekonomi kaya akan perspektif atau pendekatan, berbeda dengan
ekonomi formal yang mengarusutamakan satu perspektif atau pendekatan.
Perbedaan cara pandang ketiga tokoh sosiologi ekonomi klasik tersebut,
berpengaruh besar pula terhadap perkembangan salah satu cabang sosiologi
ekonomi yaitu sosiologi nafkah (livelihood sociology). Sosiologi nafkah
berkembang dalam upaya untuk membahas kekhasan fenomena kehidupan
ekonomi negara dunia ketiga, khususnya masyarakat rural dan sub urban.
Perubahan penghidupan pedesaan sangat terkait erat dengan perubahan
lingkungan, baik lingkungan bio-fisik maupun lingkungan sosial. Dharmawan
(2007) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan fokus dan asumsi dasar dari
sosiologi nafkah yang berkembang di Timur (khususnya Asia Tenggara) dan di
Barat (Afrika dan Latin-Amerika), dalam melihat perubahan penghidupan.
Sebelum meninjau lebih jauh tentang fokus, asumsi, dan konsep-konsep
dalam sosiologi nafkah, definisi sosiologi nafkah yang diutarakan oleh
Dharmawan (2007) dapat memberikan pengertian mendasar dalam upaya
mendalami perubahan penghidupan pedesaan, yaitu:
16
“Secara sederhana sosiologi nafkah dipandang sebagai studi tentang
keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial, dengan sistem
penghidupannya. Lebih jauh sebagai sebuah disiplin, sosiologi nafkah
merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan seseorang untuk
memahami cara-cara atau mekanisme yang dibangun oleh individu, rumah
tangga, atau komunitas dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya
sesuai dengan latar sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan konstelasi politik
khas suatu kawasan.”
Definisi sosiologi nafkah tersebut menunjukkan bahwa determinan utama
penghidupan pedesaan dapat diasumsikan secara berbeda. Sosiologi nafkah yang
berkembang di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) berangkat dari permasalahanpermasalahan penghidupan dalam proses pembangunan pedesaan, sedangkan
sosiologi nafkah yang dikembangkan di Barat berangkat dari permasalahanpermasalahan kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam. Faktor sosialekonomi menjadi perhatian yang lebih mendalam pada pembahasan sosiologi
nafkah di Timur, sedangkan di Barat lebih mengutamakan faktor sosial-ekologi.
Tabel 2.4. Perbandingan Fokus dan Asumsi antara Mazhab Bogor dan
Mazhab Sussex
Mazhab
Sosiologi
Fokus
Asumsi
Nafkah
Bogor
(IPB)
Barat
(Sussex)
 Dinamika berbagai
dimensi pembangunan
dan modernisasi
pertanian dan pedesaan
(mencakup pertanian,
perikanan, perkebunan,
industri kecil, sektor
informal)
 Relasi perubahan sosial
dan perubahan struktur
agraria dengan
diversifikasi pekerjaan
 Pola nafkah ganda dan
migrasi desa-kota
 Dinamika berbagai
dimensi kemiskinan dan
kerusakan sumberdaya
alam komunitas lokal
 Perubahan ekosistem
dan mekanisme adaptasi
sistem penghidupan
 Determinan utama dari penghidupan
pedesaan adalah faktor sosial-ekonomi
 Fakta kemiskinan dan marjinalisasi
ekonomi pedesaan sebagai akibat dari
proses modernisasi-kapital.
 Modernisasi pedesaan memicu
perubahan sosial-agraria yang seterusnya
menghasilkan keragaman strategi nafkah
pedesaan.
 Determinan utama dari penghidupan
pedesaan adalah faktor sosial-ekologi
 Fakta kemiskinan terjadi sebagai akibat
bekerjanya kekuatan politik-kapital
global yang menghancurkan sumberdaya
alam (ecological fragilty).
 Akibat langsung dari perubahan tata
ekosistem suatu kawasan menghasilkan
keragaman strategi nafkah pedesaan.
Sumber: Dimodifikasi dari Dharmawan (2007)
Perbandingan yang dilakukan Dharmawan (2007) antara sosiologi nafkah
yang berkembang di Indonesia (disebutnya sebagai Mazhab Bogor) dengan
sosiologi nafkah yang berkembang di Inggris (disebutnya sebagai Mazhab
Sussex), sangat membantu dalam mengarahkan pilihan asumsi dasar yang tepat
17
dalam penelitian ini (Tabel 2.4). Konsep-konsep yang dihasilkan dari kedua
mazhab (Bogor dan Sussex) memperkaya khazanah sosiologi nafkah. Meskipun
memiliki perbedaan dalam fokus dan asumsi, namun aksiologi dari kedua mazhab
tersebut jelas sangat berpihak pada keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal
(strata bawah) dan keberlanjutan ekosistem.
Mazhab Bogor menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan adanya
ketidakpastian nafkah serta kelangkaan lapangan usaha dan kesempatan kerja bagi
lapisan bawah dalam proses pembangunan dan modernisasi pertanian/pedesaan.
Pembangunan dan modernisasi menyebabkan ketimpangan akses masyarakat
pedesaan terhadap sumber-sumber nafkah. Pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan asli, tata-nilai asli, dan
pranata-prana lokal di Pedesaan Indonesia.
Mazhab Sussex menghasilkan teori dan konsep yang menunjukkan terdapat
berbagai strategi penghidupan masyarakat lokal yang dapat dijadikan dasar untuk
mendesain strategi nafkah yang berkelanjutan, dalam upaya untuk meminimalkan
tekanan (stress) dan goncangan (shock) dari perubahan sistem sosial dan sistem
ekologi. Bekerjanya kekuatan politik-kapital global telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang mengancam keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal.
Kondisi tersebut mengharuskan masyarakat lokal untuk terus melakukan
penyesuaian dalam memainkan kombinasi sumberdaya nafkah (livelihood assets)
yang tersedia, sehingga diperolah pilihan yang paling rasional.
Perkembangan studi penghidupan (livelihood study) 10 (sepuluh) tahun
terakhir menunjukkan adanya perkembangan yang cukup baik, khususnya dalam
hal penerapan konsep penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) di
pedesaan. Pengaruh mazhab Sussex dalam studi-studi penghidupan pedesaan
cukup kuat, terutama penggunaan tradisi utilitarian/rasional (lihat Lampiran 1).
Studi-studi penghidupan pedesaan (pada Lampiran 1) dikelompokkan
berdasarkan tradisi sosiologi yang disusun oleh Collins (1994) dan perspektif
sosiologi yang disusun oleh Turner (1998). Collins (1994) mengelompokkan teori
sosiologi menjadi 4 tradisi besar, yaitu konflik (Marxian dan Weberian),
utilitarian/rasional, Durkheimian, dan mikrointeraksionis. Selanjutnya Turner et
al. (1998) mengelompokkan menjadi 7 perspektif, yaitu fungsional,
bioekologi/evolusi, konflik, pertukaran, interaksionis, struktural, dan kritis.
Berdasarkan penelusuran kajian-kajian penghidupan pedesaan (Lampiran 1),
terlihat bahwa studi penghidupan pedesaan dalam tradisi konflik-Weberian belum
banyak dilakukan. Sebagian besar studi-studi tersebut bekerja dalam tradisi
Durkheimian dan tradisi utilitarian/rasional. Teori-teori yang dikembangkan
dalam tradisi Durkheimian terutama yang berkaitan dengan sosial kapital dan
solidaritas sosial. Eilenberg & Wadley (2009) dan de Jong (2008) menemukan
bahwa masyarakat di pedesaan membangun jejaring pada aras lokal, translokal,
bahkan transnasional untuk mengamankan penghidupan mereka. Selanjutnya
Dharmawan (2001) dan Getz (2008) menambahkan bahwa jejaring yang dibangun
tersebut adalah untuk mengamankan penghidupan mereka dengan berlandaskan
solidaritas diantara mereka (lebih rinci dapat ditelusuri pada Lampiran 2).
Tradisi utilitarian mengembangkan teori-teori pilihan rasional dan public
choice. Masyarakat pedesaan melakukan pilihan terhadap berbagai kombinasi
kapital (human, natural, finansial, sosial, fisikal) yang terbaik bagi keberlanjutan
18
penghidupan. Bentuk-bentuk strategi yang muncul dalam upaya pencapaian
optimum utility dari aktivitas nafkah pada aras individu dan rumah tangga, antara
lain adalah diversifikasi sumber penghasilan (farm/non farm occupation;
formal/informal economy), serta konsolidasi dan akumulasi modal (bidang
produksi dan jasa). Pilihan strategi nafkah tersebut bersifat dinamis dan sangat
dipengaruhi oleh vulnerability context, yaitu perubahan lingkungan bio-fisik dan
lingkungan sosial (Ozturk, 2009; Baquini, 2008; Bebbington 1999).
Tradisi konflik (Marxian dan Weberian) mengembangkan teori-teori
feminisme dan perubahan penghidupan pedesaan. Upaya masyarakat pedesaan
untuk mempertahankan kehidupan dalam konteks perubahan ekosistem dan sistem
sosial, mengaharuskan mereka untuk terus berjuang dan bertahan dalam
ketimpangan akses sumberdaya. Lund et al. (2008) menemukan ibu-ibu rumah
tangga harus bekerja dalam kondisi lingkungan bio-fisik yang berbahaya untuk
mempertahankan keberlanjutan penghidupan keluarga. Ketimpangan struktural
menyebabkan akses mereka terhadap sumberdaya nafkah sangat terbatas. Calkins
(2009) menambahkan kondisi tersebut memaksa masyarakat pedesaan untuk
menggeser sistem penghidupan yang ada, bahkan keluar dari livelihood place
mereka (migrasi keluar).
Konsep-konsep sosiologi nafkah yang berkaitan dengan perubahan
lingkungan dalam tradisi Weberian, digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
 Livelihood vulnerability: Konsep ini menunjukkan kerentanan-kerentanan
penghidupan, dapat disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan
(sumber-sumber penghidupan) dan terbatasnya akses terhadap sumbersumber agraria.
 Securing livelihood: Konsep ini menunjukkan aktivitas penghidupan yang
mampu mengamankan keberlanjutan kehidupan pada aras rumah tangga
maupun komunitas.
 Transformation of livelihood system: Konsep ini menunjukkan perubahan
yang mendasar dari sistem penghidupan yang disebabkan oleh menurunnya
kualitas lingkungan (sumber-sumber penghidupan) dan terbatasnya akses
terhadap sumber-sumber agraria.
 Adapted strategy: Konsep ini menunjukkan strategi nafkah yang dilakukan
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural maupun kultural pada
perubahan lingkungan (bio-fisik dan sosial) untuk tetap bertahan hidup.
 Accumulation strategy: Konsep ini menunjukkan strategi nafkah yang
dilakukan melalui akumulasi modal untuk meningkatkan derajat sosial
ekonomi kehidupan.
 Labour migration strategy: Konsep ini menunjukkan suatu strategi nafkah
yang dilakukan dengan membawa keluar sumberdaya tenaga kerja rumah
tangga (migrasi) dari livelihoods place mereka ke lokasi lain dimana sumbersumber penghidupan masih tersedia.
19
2.2. Adaptasi Perubahan Lingkungan dan Sistem Penghidupan
2.2.1. Adaptasi dalam Teori Ekologi Budaya
Konsep adaptasi yang berkaitan dengan perubahan lingkungan pada dimensi
manusia selalu mengarah pada suatu proses, tindakan, atau outcome dari suatu
sistem (rumah tangga, komunitas, kelompok, sektor, wilayah, negara) untuk lebih
dapat mengatasi, mengelola, atau menyesuaikan terhadap perubahan kondisi,
tekanan, hazard, resiko, atau bahkan peluang (Smit dan Wandel, 2006). Lebih
spesifik Forsyth (2003) menggunakan istilah environmental adaptation dalam
menjelaskan adaptasi komunitas lokal (masyarakat dalam cakupan yang lebih
kecil) dalam merespon perubahan lingkungan. Strategi adaptasi yang dijalankan
oleh komunitas lokal, boleh jadi tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil
pemerintah dalam merespon isu perubahan lingkungan dalam skala global.
Jauh sebelum Forsyth (2003) maupun Smit dan Wandel (2006), Julian H.
Steward telah menulis tentang adaptasi dalam teori ekologi budaya (cultural
ecology). Pendekatan multilinier dan sosiologi sejarah untuk menelusuri
perubahan lingkungan yang spesifik lokal serta kaitannya dengan perubahan
pengaturan penghidupan, sejalan dengan konsep adaptasi dalam teori ekologi
budaya (cultural ecology) dari Julian Steward. Pikiran Steward ini diikuti oleh
ilmuwan-ilmuwan di Universitas Chicago, dan menghasilkan pula beberapa
aliran, menurut Putra (1994) setidaknya ada 4, yaitu: (1) pendekatan etnoekologi,
(2) pendekatan ekologi silang budaya (cross cultural ecological approach), (3)
pendekatan ekosistemik kultural, dan (4) pendekatan ekosistemik materialistik.
Pendekatan yang populer dan berkembang hingga saat ini adalah pendekatan
ekosistemik materialistik, pendekatan ini berkembang menjadi antropologi
ekologi baru atau lebih dikenal dengan ekologi manusia (human ecology).
Julian H. Steward (Steward, 1955; Rambo, 1983) memandang bahwa
budaya suatu masyarakat tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi terhadap
kondisi lingkungan bio-fisik dan perubahan-perubahannya. Pusat dari
perkembangan budaya tersebut adalah pengaturan-pengaturan teknologi dan
ekonomi (tekno-ekonomi) yang disebutnya sebagai inti budaya (culture core). Inti
budaya akan menjadi pemandu prilaku anggota-anggota masyarakat dalam
menjalankan aktivitas subsisten dan dalam mengembangkan budaya di luar inti
budaya. Budaya selain inti budaya (culture non core) adalah budaya immaterial
yang mendukung tumbuh kembangnya inti budaya, antara lain: religi, nilai-nilai,
seni, bahasa, dan ritual.
Sanderson (1993) menggolongkan kebudayaan material sebagai
infrastruktur material (teknologi, ekonomi, ekologi, demografi), sedangkan
Steward (1955) menggolongkan sebagai culture core (tekno-ekonomi,
demografi). Kebudayaan non material terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, dan kebiasaan, Sanderson (1993) menyebutnya sebagai
superstruktur ideologis, sedangkan Steward (1955) menggunakan istilah non
culture core.
Hal-hal mendasar yang harus ada dalam ekologi budaya menurut pandangan
Julian H. Steward (Steward, 1955, Rambo, 1983, ) adalah:
20

Analisis hubungan timbal-balik antara teknologi dan lingkungan. Teknologi
dapat berupa eksploitatif teknologi dan produktif teknologi yang merupakan
bagian dari material culture.
 Analisis bentuk-bentuk prilaku yang berkaitan dengan eksploitasi pada suatu
area dengan menggunakan teknologi tertentu.
 Penentuan sejauhmana bentuk-bentuk prilaku tersebut berhubungan dengan
aspek-aspek budaya yang lainnya (pendekatan holistik).
Proses adaptasi dilihat pada aras yang berbeda-beda dan dilihat dalam suatu
perkembangan sejarah. Proses adaptasi yang bersifat spesifik lokal, dapat
dibedakan berdasarkan aras keluarga, aras komunitas, dan aras negara. Adaptasi
seperti ini merupakan ciri dari evolusi multiliner yang dikembangkan Steward di
dalam ekologi budaya (Steward, 1955, Zimmerer, 2004). Konsep utama dalam
ekologi budaya yang dikembangkan oleh Julian H. Steward adalah sosialisasi,
adaptasi, perilaku, inti budaya (culture core), non inti budaya (culture non core),
dan evolusi multilinier.
Teori ekologi budaya mengasumsikan bahwa budaya tidak lagi dapat
dipandang hanya sebagai suatu sistem yang terbentuk dari praktek-praktek terpola
atas sikap dan nilai-nilai yang diyakini bersama. Budaya juga terbentuk dari
prilaku manusia dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Perubahan
budaya dapat dilacak melalui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan terhadap
perubahan lingkungan oleh masyarakat pada berbagai aras. Penyesuaian yang
dilakukan diawali dengan perubahan teknologi dan pengaturan yang bersifat
produktif, diikuti oleh pengaturan dalam pengorganisasian masyarakat dan aspekaspek demografi (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Ilustrasi Teori Adaptasi Ekologi Budaya (Steward, 1955;
Richerson et al. 1996)
Sosialisasi dalam adaptasi ekologi budaya dipandang sebagai proses dimana
manusia berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang di tempat
kelahirannya, terutama yang berkaitan dengan non inti budaya (religi, nilai-nilai
bersama, ritual, bahasa, seni, dan adat-istiadat). Sanderson (1993) berpendapat
21
bahwa proses sosialisasi sangat penting dilihat dalam transmisi budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya, namun Steward (1955) memandang bahwa dalam
ekologi budaya sosialisasi harus disandingkan dengan adaptasi. Manusia
bertindak dan berpikir dengan cara tertentu karena telah disosialisasikan dalam
budaya yang mereka terima, serta dengan cara mereka beradaptasi pada
lingkungannya.
Konsep adaptasi (adaptation) harus dibedakan dengan kondisi dimana
masyarakat telah beradaptasi (adaptedness). Pembedaan tersebut penting, karena
dalam penerapannya kedua konsep ini dapat sejalan dan dapat pula tidak.
Adaptedness adalah kondisi dimana suatu masyarakat telah beradaptasi,
sedangkan adaptation adalah suatu cara dimana masyarakat mengelola atau
merespon lingkungannya (Sanderson, 1993; Steward, 1955; Smith & Wandel,
2006). Aktivitas Menongkah dapat dipandang sebagai suatu sistem penghidupan
yang paling baik bagi komunitas Suku Duano, dimana mereka telah beradaptasi
(adaptedness) dengan lingkungan laut dalam perjalan sejarah mereka.
Penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (sosial dan bio-fisik)
terus berlangsung pada aras rumah tangga/individu, sehingga menghasilkan
adaptasi yang lebih baru (daripada yang lebih baik) pada aktivitas menongkah.
Menongkah dalam pandangan teori ekologi budaya merupakan aktivitas
subsisten dengan pengaturan-pengaturan tekno-ekonominya, budaya immaterial
akan tumbuh dan berkembang dari aktivitas ini, begitupun prilaku/tindakan aktor
akan diatur dan diorientasikan pada kedua hal tersebut. Menongkah akan
berkembang menjadi budaya seputar pengaturan produksi, distribusi, pertukaran,
dan konsumsi sumberdaya yang dimanfaatkan atau dipertukarkan. Konsep inti
budaya dalam teori ekologi budaya, dalam penelitian ini disamakan atau
disandingkan dengan konsep budaya bernafkah (livelihood culture). Menongkah
juga akan mendorong tumbuhnya budaya immaterial, misalnya ritual menongkah
atau tari menongkah dan lainnya.
Perubahan sosial dan perubahan sistem penghidupan masyarakat
(komunitas) lokal yang dijelaskan dalam teori ekologi budaya (Steward, 1955;
Richerson et al., 1996; Rambo, 2004), memiliki kelemahan jika digunakan untuk
menjelaskan proses adaptasi masyarakat asli yang telah berinteraksi luas dengan
dunia luar. Budaya-budaya yang tumbuh dan berkembang dari proses adaptasi
sebagaimana yang dijelaskan oleh Steward (1955), tidak lagi steril dari proses
tradisionalisasi (Li, 2002) atau yang diistilahkan Kahn (2002) sebagai kulturisasi
(pembudayaan).
Li (2002) menjelaskan bahwa proses tradisionalisasi menunjuk pada suatu
upaya penataan adat secara sistematis yang dilakukan oleh negara. Proses seperti
ini telah berlangsung sejak era kolonial dan berlanjut dalam modernitas Indonesia.
Berbagai tradisi dan kebiasaan (adat) ditata secara sistematis oleh para pakar dan
pejabat, dan selanjutnya dipakai sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan.
Kelompok-kelompok yang mengalami penataan adat secara sistematis melihat
bahwa kebiasaan mereka diambil dari kenyataan sehari-hari, kemudian disusun
dan diangkat sebagai hukum untuk ditegakkan oleh para tetua adat. Li (2002)
selanjutnya memberikan kesimpulan bahwa tradisi dan keanekaragaman budaya
pada masyarakat tradisi di Indonesia terbentuk melalui proses adaptasi ekosistem,
transmisi budaya, dan penataan adat (tradisionalisasi) secara bersamaan.
22
Kesimpulan yang diberikan oleh Li (2002) didukung oleh fakta empiris
yang ditemukan oleh Kahn (2002) pada petani Minangkabau, Schrauwers (1998;
2002) pada peladang masyarakat To Pamona, dan Ruiter (2002) pada petani
kebun Batak Karo. Kahn (2002) menemukan bahwa jenis-jenis hirarki sosial yang
timbul di pedalaman Sumatera (masyarakat Minangkabau) sangat berkaitan bukan
sekedar dengan tradisi yang telah ada, tetapi juga dengan proses pembentukan
negara modern dan investasi asing.
Schrauwers (1998; 2002) menjelaskan bahwa tradisi bertukar tenaga kerja
yang dilakukan oleh peladang berpindah masyarakat To Pamona merupakan
budaya yang tumbuh dari campur tangan pemerintah dan gereja (pada upacara
bertukar hadiah; bahasa daerahnya posintuwu) dengan kekerabatan yang tumbuh
dari budaya rumah panjang. Selanjutnya Ruiter (2002) menggambarkan bahwa
terbentuknya budaya pertanian menetap (padi dan karet) masyarakat Karo di
pinggiran perkebunan kolonial di dataran tinggi Langkat, karena adanya
kepentingan politik pemerintah kolonial untuk mempertahankan masyarakat Karo
di sekitar perkebunan dan sikap hidup orang Karo yang menolak menjadi
karyawan upahan di perkebunan.
Perubahan lingkungan tidak saja berkaitan dengan adaptasi dan budaya
bernafkah. Perubahan lingkungan juga menyebabkan penyesuaian-penyesuaian
dalam pengaturan penghidupan pada semua aras.
2.2.2. Penyesuaian Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras
Pengaturan penghidupan pada berbagai aras, mulai dari komunitas, rumah
tangga, dan individu, menjadi perhatian yang sangat penting dalam studi
perubahan lingkungan dan penghidupan. Kemampuan suatu komunitas, rumah
tangga, atau individu dalam mengatur dan mengorganisasikan cara, teknik, dan
strategi dalam merespon perubahan lingkungan, dalam upaya mempertahankan
eksistensi kehidupannya, penting untuk diungkap dalam penelitian ini.
Pengaturan aktivitas nafkah pada berbagai aras menunjukkan realitas sosial
yang berbeda-beda. Johnson (1988) menyatakan terdapat 4 tingkatan realitas
sosial yang berbeda secara analitis dan menjadi fokus perhatian yaitu aras
individual, aras antarpribadi (interpersonal), aras struktur sosial, dan aras budaya.
Realitas sosial pada aras individual menempatkan individu sebagai fokus
perhatian dalam analisis, termasuk sub-arasnya yaitu perilaku, tindakan sosial,
persepsi, motivasi, dan rasionalitas. Aktivitas nafkah pada aras individual
tentunya berkaitan dengan hal-hal tersebut, antara lain tindakan ekonomi,
motivasi berusaha, dan rasionalitas ekonomi. Ritzer (Ritzer & Goodman, 2004)
memandang bahwa pada aras ini realitas sosial sebagai suatu definisi sosial,
sosiologi Weberian banyak bermain pada aras ini.
Aras antar pribadi menempatkan interaksi antar pribadi sebagai fokus
perhatian, meliputi komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, kerja sama
antar pribadi, koflik antar pribadi, dan pola adaptasi bersama. Fokus sosiologi
nafkah pada aras ini adalah aktivitas nafkah rumah tangga atau strategi nafkah
(livelihood strategy) rumah tangga.
Realitas sosial pada aras struktur sosial memusatkan perhatian pada polapola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan
terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam suatu waktu dan
23
ruang, meliputi posisi sosial, peranan sosial, organisasi sosial, institusi sosial, dan
masyarakat keseluruhannya. Aktivitas nafkah pada aras ini merupakan strategi
nafkah komunitas.
Realitas sosial pada aras budaya meliputi arti, nilai, simbol, norma, dan
pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu
masyarakat. Kebudayaan dalam arti yang luas dapat dipandang sebagai produkproduk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia
berupa materi dan kebudayaan non materi.
Johnson (1998) menyatakan bahwa pembedaan aras realitas ini dapat
menjadi pemandu dalam melakukan analisa sosiologis, namun dalam prakteknya
realitas-realitas tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi. Teori sosiologi yang
berkembang pada era klasik (Marx, Durkheim, Weber, Simmel) dan sosiologi
modern (teori-teori fungsionalisme, teori-teori konflik, teori-teori interaksionisme
simbolik, teori-teori pertukaran) sangat mengedepankan pemilihan pada satu aras
realitas sosial. Selanjutnya sosiologi yang berkembang pada era kontemporer
(sosiologi kritik dan sosiologi posmodernisme) mulai mengkaitkan beberapa aras
sebagai fokus analisisnya.
Realitas sosial dari pengaturan aktivitas nafkah dalam penelitian ini
mencakup aras individu, aras antar pribadi, dan aras struktur sosial. Kebudayaan
material dan non material yang merupakan produk dari tindakan dan interaksi
sosial dari aktivitas nafkah menjadi perhatian pula dalam penelitian ini. Analisis
seperti ini dikenal sebagai analisis multilevel, banyak dikembangkan oleh
penganut akonomi substantif dalam sosiologi ekonomi maupun antropologi.
Ekonomi substantif mengasumsikan bahwa tindakan ekonomi tidak lepas
dari faktor-faktor di luar ekonomi (sosial, budaya, politik). Sesungguhnya pada
era klasik Weber juga telah melakukan analisis yang mengkaitkan antara tindakan
dan struktur, meskipun penekanan yang diberikan lebih besar pada aras individu.
Max Weber (Weber, 2006) dalam teori Protestant Ethic and Spirit of Capitalism
mengkaitkan prilaku/tindakan ekonomi pimpinan perusahaan dan pekerja teknis
dengan nilai-nilai religius (etika protestan). Begitu pun tulisan Weber yang lain di
dalam General Economic History (Giddens, 2009), analisisnya mengkaitkan
perilaku/ tindakan ekonomi petani kecil dengan etika China dan Jepang.
Analisis multilevel dalam sosiologi ekonomi berkembang lebih jauh setelah
pertengahan tahun 1980-an. Era ini ditandai oleh essei teoritis karya Mark
Granovetter tentang Economic Action and Social Structure: The Problem of
Embeddedness (1985), dan beliau memperkenalkan istilah new economic
sociology (NES) pada era tersebut (Smelser & Swedberg, 2005). Granovetter juga
melakukan analisis pada beberapa aras yaitu aras individu (tindakan dan
rasionalitas dan aras struktur), lebih jauh ide Granovetter dikembangkan dalam
analisis multilevel Victor Nee (Nee, 2005). Analisis multilevel juga dilakukan di
dalam antropologi ekonomi, sebagaimana analisis Clifford Geertz (Geertz, 1963;
1984) dalam teori involusi pertanian. Geertz mengkaitkan tindakan ekonomi
petani dengan perubahan ekologi dan sosiokultural di Jawa.
Analisis multilevel yang dikembangkan oleh Victor Nee merupakan bagian
dari upayanya bersama dengan Brinton untuk mengembangkan apa yang
disebutnya sebagai New Institutionalism in Economic Sociology (NIES). Analisis
multilevel yang dikembangkan Nee dalam NIES merupakan suatu kerangka
24
institusional (institutional framework) yang menunjukkan bekerjanya mekanisme
institusional pada aras makro, ikatan interpersonal pada aras meso, dan tindakan
ekonomi individu pada aras mikro (Nee, 2005).
Konsep context bound rationality yang diutarakan Nee, sangat penting
dalam mengkaitkan budaya, strategi nafkah dan tindakan bernafkah. Nee (2005)
menyatakan bahwa konsep context bound rationality menunjukkan adanya
keterikatan rasionalitas pada konteks dan melekat (embedded) dalam ikatan
interpersonal. Adat-istiadat, jaringan, norma, keyakinan kultural, dan pengaturan
kelembagaan mempertajam keterikatan rasionalitas pada konteksnya. Teori
embeddedness Granovetter diterapkan lebih luas dalam kerangka analisis
multilevel Nee, yaitu sampai pada aras makro struktural. Aras makro struktural ini
merupakan lingkungan institusional (institutional environment), berupa aturanaturan formal yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah.
Kerangka analisis multilevel dalam penelitian ini dibangun dengan
memegang asumsi dasar analisis multilevel Nee (2005), yaitu aktivitas nafkah
memiliki hubungan yang timbal balik antara berbagai aras, dengan kerangka
institusional yang bersifat dua arah (bolak-balik). Kerangka institusional bergerak
dari aras makro ke mikro dan dari mikro ke makro. Pembedaan aktivitas nafkah
atas beberapa aras untuk menunjukkan bahwa terdapat proses sosial yang spesifik
pada setiap aras, sehingga ketajaman analisis dapat tercapai.
Penyesuaian pengaturan penghidupan pada semua aras karena terjadinya
perubahan lingkungan, dimana semua aras saling berhubungan timbal balik dalam
suatu kerangka institusional disebut sebagai perubahan penghidupan yang bersifat
sistemik atau telah terjadi perubahan sistem penghidupan. Hal-hal yang perlu
diungkap dalam studi perubahan sistem penghidupan mencakup perubahan
kombinasi sumberdaya nafkah, strategi pengaturan teknologi, strategi pengaturanpengaturan produksi, distribusi, dan konsumsi komunitas, strategi pengaturan
aspek demografi, strategi pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan derajat sosial
ekonomi, dan pengakumulasian modal rumah tangga, serta penyesuaian kualitas
human kapital anggota rumah tangga (Tabel 2.5).
Tabel 2.5. Item-item dalam Studi Pengaturan Penghidupan pada Berbagai
Aras
Item-item Studi
1.
Kombinasi sumberdaya nafkah
2.
3.
Strategi pengaturan teknologi
Strategi pengaturan produksi, distribusi,
dan konsumsi
Strategi pengaturan aspek demografi
Strategi pemenuhan kebutuhan dasar
Strategi peningkatan derajat sosial
ekonomi
Strategi pengakumulasian modal
Penyesuaian kualitas human kapital
4.
5.
6.
7.
8.
Aras
Aras komunitas dan aras
rumah tangga
Aras komunitas
Aras komunitas
Aras komunitas
Aras rumah tangga
Aras rumah tangga
Aras rumah tangga
Individu (anggota rumah
tangga)
25
Adaptasi adalah manifestasi dari kapasitas adaptif (adaptive capacity) dan
representasi dari penurunan kerentanan (reducing vulnerability). Kapasitas adaptif
terhadap perubahan lingkungan dan kemampuan melindungi penghidupan atas
kerentanan lingkungan (environmental vulnerability) ditentukan oleh kemampuan
rumah tangga dalam mengatur dan mengorganisasikan sumber penghidupan
(livelihood assets) yang dimiliki, serta kualitas human kapital rumah tangga dan
kapasitas rasionalisasi tindakan aktor anggota rumah tangga.
2.3. Kapasitas Adaptif dan Ketahanan Nafkah Rumah Tangga
2.3.1. Strategi Nafkah Bertahan Hidup, Konsolidasi, dan Akumulasi Modal
Konsep adaptasi dalam studi perubahan lingkungan dan penghidupan
pedesaan sangat berkaitan dengan konsep kapasitas adaptif, kerentanan, dan
ketahanan nafkah (livelihood securities). Kerentanan dari suatu sistem (pada
berbagai aras dan skala) merupakan refleksi dari sensitivitas sistem tersebut
terhadap kondisi yang buruk serta refleksi dari kemampuan/kapasitas/kelentingan
sistem dalam mengatasi, menyesuaikan, memulihkan diri dari pengaruh-pengaruh
tersebut. Smith dan Wandel (2006) menjelaskan hubungan konsep-konsep
tersebut dalam nested hierarchy model (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Nested Hierarchy Model of Vulnerability (Smith & Wandel,
2006)
Nested hierarchy model memposisikan konsep kapasitas adaptif mirip
dengan konsep-konsep adaptabilitas, coping ability, kapasitas manajemen,
stabilitas, robustness, fleksibelitas, dan resiliensi. Kapasitas adaptif menunjukkan
dimensi jangka panjang dan coping ability menunjukkan dimensi jangka pendek,
sementara itu adaptabilitas menunjukkan coping ability yang berpotensi menjadi
kemampuan jangka panjang. Kapasitas adaptif bersifat spesifik dan kontekstual
tergantung aras dan waktu, bervariasi menurut karakteristik suatu negara,
komunitas, kelompok sosial, rumah tangga, maupun individu.
26
Kapasitas adaptif jika dikaitkan dengan strategi nafkah rumah tangga dalam
merespon perubahan lingkungan adalah kemampuan rumah tangga dalam
mengatasi kerentanan lingkungan melalui pengorganisasian sumber-sumber
nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses. Menurut Smith dan Wandel (2006),
bahwa sistem yang lebih tereskspos dan sensitif pada perubahan lingkungan akan
lebih rentan, cateris paribus, dan sistem yang memiliki kapasitas adaptif lebih
baik akan cenderung tidak terlalu rentan, cateris paribus.
Kapasitas adaptif dalam konteks sistem penghidupan dapat disamakan
dengan konsep livelihood securities (ketahanan nafkah), yaitu kemampuan
komunitas atau rumah tangga dalam melindungi atau mengamankan sumbersumber nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses atas kerentanan yang hadir,
dalam upaya pencapaian kehidupan yang lebih baik untuk generasi sekarang dan
masa depan.
Kapasitas adaptif rumah tangga dapat dikelompokkan berdasarkan
kemampuan rumah tangga mengelola sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan
atau yang dapat diakses. Sebagian rumah tangga hanya mampu melakukan
penyesuaian strategi nafkah pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten dan
bertahan hidup, sebagian rumah tangga yang lainnya mampu melakukan
penyesuain strategi nafkah pada tujuan konsolidasi dan akumulasi modal.
Berdasarkan hal tersebut, strategi nafkah rumah tangga dalam merespon
perubahan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi strategi survival, strategi
konsolidasi, dan strategi akumulasi.
Menurut White (1991), bahwa rumah tangga yang menjalankan strategi
survival cenderung memiliki keterbatasan aset produksi dan skill. Mereka
memaksimalkan penggunaan tenaga kerja rumah tangga untuk pemenuhan
kebutuhan dasar dan bertahan hidup. Pemaksimalan tenaga kerja yang dimiliki
dapat berupa pola nafkah ganda dan penyebaran tenaga kerja rumah tangga pada
berbagai bidang pekerjaan yang tidak terlalu mengandalkan skill. Mereka menjual
tenaga untuk aktivitas apa saja yang dapat menambah penghasilan.
Jika dikaitkan dengan kapasitas adaptif dan kerentanan penghidupan,
kelompok rumah tangga ini berada pada lapisan yang paling bawah dan yang
paling terekspos dan sensitif pada perubahan lingkungan. Kerentanan
penghidupan rumah tangga pada kategori survival berkaitan pula dengan
ketergantungan yang tinggi pada ketersediaan sumber-sumber nafkah di alam dan
terbatasnya skill pada bidang pekerjaan lain. Jika terjadi goncangan atau tekanan
pada sumber-sumber nafkah yang mereka andalkan, mereka akan sulit merespon
dengan cepat untuk mengalihkan aktivitas nafkahnya pada sumber-sumber lain.
Rumah tangga yang menjalankan strategi konsolidasi memiliki kapasitas
adaptif yang lebih luas. Mereka telah dapat mengarahkan aktivitas nafkah pada
tujuan-tujuan peningkatan taraf hidup selain untuk pemenuhan kebutuhan dasar
rumah tangga. Rumah tangga pada lapisan ini juga telah mampu
menginvestasikan aset dan memiliki saving, meskipun masih terbatas pada bidang
pekerjaan atau aktivitas nafkah sejenis. Jika terjadi goncangan atau tekanan pada
aktivitas nafkah yang mereka jalankan, mereka akan lebih dapat bertahan. Aset
dan saving yang dimiliki dapat digunakan untuk bertahan dalam jangka pendek,
sambil melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.
27
Rumah tangga yang relatif tidak terlalu goyang jika terjadi tekanan atau
goncangan pada salah satu sumber nafkah adalah rumah tangga yang telah dapat
menjalankan strategi akumulasi modal. Rumah tangga ini telah mampu memenuhi
kebutuhan dasar, menginvestasikan aset, saving, dan memperluas usaha pada
bidang-bidang lain yang menguntungkan. Aktivitas nafkah dengan strategi yang
dijalankan sangat stabil dalam jangka panjang, serta tidak terlalu sensitif dan
terpengaruh oleh perubahan lingkungan.
Ketahanan nafkah rumah tangga dapat dilihat dari aspek keberlanjutan dan
kerentanan nafkah. Kerangka penghidupan yang berkelanjutan (sustainable
livelihood framework, SLF) dapat digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek
keberlanjutan nafkah rumah tangga (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Sustainable Lifelihood Framework (DFID, 1999; Twig, 2007)
SLF pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa strategi nafkah rumah tangga
dan perubahannya sangat dipengaruhi konteks kerentanan (perubahan lingkungan
bio-fisik dan sosial), struktur sosial (negara, pasar), serta ketersediaan dan akses
pada sumber-sumber nafkah (human kapital, natural kapital, finansial kapital,
sosial kapital, fisikal kapital).
2.3.2. Rasionalisasi Tindakan Ekonomi Bernafkah Anggota Rumah Tangga
Kapasitas adaptif dan strategi nafkah rumah tangga sangat terkait dan
melekat dengan tindakan ekonomi dan pola pikir anggota rumah tangga. Orientasi
tindakan ekonomi dan pola pikir anggota rumah tangga tersebut menentukan
kualitas human kapital rumah tangga, terutama dalam merespon perubahan
lingkungan dan perubahan penghidupan pada aras komunitas dan rumah tangga.
Bagaimana tindakan individu melekat pada struktur sosial, dan bagaimana pola
pikir berkaitan dengan kapasitas adaptif dapat ditelusuri dengan menggunakan
teori embeddedness dari Granovetter dan teori tindakan dan rasionalitas ekonomi
dari Weber.
Granovetter (1992) menjelaskan bahwa posisi teori embeddedness sangat
dipengaruhi kuat oleh mazhab subtantivist dalam antropologi, khususnya Karl
Polanyi yang menggunakan istilah ini pertama kali. Tindakan ekonomi dalam
28
pandangan teori embeddedness merupakan tindakan yang disituasikan secara
sosial dan melekat (embedded) pada jaringan sosial personal yang sedang
berlangsung diantara para aktor. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada tindakan
aktor secara individu saja, tetapi mencakup pula prilaku ekonomi yang lebih luas,
seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi. Semua itu terpendam
dalam suatu jaringan hubungan sosial (Granovetter, 1992).
Konsep-konsep penting dalam teori embeddedness adalah ekonomi
substantif, ekonomi formalis, oversocialized, undersocialized, embedded,
disembedded, underembedded, overembedded, relational embeddedness,
structural embeddedness. Konsep ekonomi substantif, ekonomi formalis,
oversocialized, dan undersocialized menunjukkan posisi dari tradisi yang
mempengaruhi teori embeddedness dari Granovetter. Konsep embedded,
disembedded, underembedded, overembedded menunjukkan perbedaan
pandangan Granovetter dengan Polanyi. Konsep relational embeddedness dan
structural embeddedness merupakan bentuk keterlekatan yang dikembangkan
oleh Granovetter (Granovetter, 1992; Swedberg, 2003).
Penerapan konsep-konsep tersebut dalam menjelaskan aktivitas menongkah
menjadi sangat penting, karena menunjukkan bagaimana posisi penelitian ini
dalam tradisi sosiologi ekonomi. Ekonomi substantif memandang ekonomi
sebagai sesuatu yang tampak secara institusional dan berpusat di sekitar gagasan
tentang pencapaian nafkah kehidupan, sedangkan ekonomi formalis memandang
ekonomi sebagai tindakan yang rasional. Kedua konsep tersebut sejalan dengan
perdebatan antara kubu oversocialized dengan kubu undersocialized. Kubu
oversocialized memandang bahwa tidakan ekonomi tunduk dan patuh terhadap
segala sesuatu yang diinternalisasi dalam kehidupan sosial (nilai, norma, adatistiadat, dan tata kelakuan). Kubu undersocialized melihat kepentingan individu di
atas segala-galanya, dengan tidak memandang bahwa terdapat ruang bagi
pengaruh budaya, agama, dan struktur sosial terhadap tindakan ekonomi
(Granovetter, 1992; Polanyi, 1992; Smelser & Swedberg, 2005).
Teori embeddedness memandang bahwa perdebatan antara oversocialized
dan undersocialized bukanlah merupakan penggambaran yang tepat terhadap
realitas tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi dalam pandangan oversocialized
maupun undersocialized sesugguhnya sama-sama melekat pada setiap jaringan
hubungan sosial dan institusi sosial (Granovetter, 1992). Orang Duano yang
merupakan masyarakat pra kapitalis mendasarkan tindakan ekonomi mereka atas
pertimbangan budaya dan tidak lepas dari tujuan keuntungan pribadi. Pengusaha
perikanan yang mendasarkan tindakan mereka untuk pencapaian profit yang
optimal, tidak pula dapat membebaskan tindakan ekonominya dari aspek-aspek
sosiokultural setempat.
Konsep embedded dan disembedded dikemukan oleh Polanyi dalam
membedakan keterlekatan (embeddedness) tindakan ekonomi dengan stuktur
sosial pada masyarakat praindustri dan masyarakat modern. Ekonomi dalam
masyarakat praindustri melekat (embedded) pada institusi-institusi sosial, politik
dan keagamaan, diatur oleh mekanisme resiprositas dan redistribusi. Ekonomi
dalam masyarakat modern tidak melekat (disembedded) pada institusi-institusi
sosiokultural, melainkan terstruktur dan diatur oleh mekanisme pasar (self
regulating market) untuk pencapaian maksimum ekonomi (Polanyi, 1992).
29
Teori embeddedness memandang bahwa pembedaan embedded dan
disembedded pada masyarakat praindustri dan modern tidak tepat, karena pada
kedua tipe masyarakat ini tindakan ekonomi melekat pada struktur sosial. Menjadi
lebih tepat jika embeddedness dibedakan dalam kontinum melekat lemah
(underembedded) dan melekat kuat (overembedded). Kuat atau lemahnya
keterlekatan suatu tindakan ekonomi pada struktur sosial tergantung pada kualitas
hubungan interpersonal yang terjadi, bukan ditentukan oleh tipe tahap
perkembangan masyarakat. Underembedded dan overembedded dapat terjadi
pada masyarakat praindustri maupun modern (Granovetter, 1992; Smelser &
Swedberg, 2005).
Granovetter memandang bahwa keterlekatan dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu keterlekatan relasional (relational embeddedness) dan keterlekatan
struktural (structural embeddedness). Keterlekatan relasional merupakan tindakan
ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) pada jaringan
sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Keterlekatan
struktural merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan
melekat (embedded) pada jaringan hubungan yang lebih luas, dapat berupa
struktur atau institusi sosial (Granovetter, 1992; Smelser & Swedberg, 2005).
Bentuk-bentuk perilaku dapat ditelusuri melalui cara seseorang bertindak
dan perpikir dalam merespon fenomena-fenomena yang terjadi di dalam sistem
ekologi dan sistem sosialnya. Semakin seseorang mampu mengembangkan pola
pikirnya dalam mengembangkan strategi nafkah, semakin mampu dan cepat ia
merespon perubahan yang terjadi. Pemikiran Weber tentang tipe-tipe tindakan
sosial merupakan basis teori untuk menjelaskan hal tersebut.
Sebelum meninjau tentang bentuk-bentuk tindakan dan rasionalitas
ekonomi, penting untuk melihat kaitan atara perilaku (behavior) dan tindakan
(action). Perilaku sebagai sebuah realitas dapat dipandang sebagai realitas objektif
dan realitas subjektif (Johnson, 1988). Kelompok yang memandang bahwa
perilaku harus dilihat pada pola-pola perilaku nyata (overt behavior)
mengembangkan teori-teori behaviorisme dan teori pertukaran, Ritzer (2004)
menyebutnya dengan paradigma perilaku sosial. Kelompok yang memandang
perilaku manusia hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan arti-arti
subyektif mengembangkan teori tindakan sosial dan teori interaksi simbolik,
Ritzer (2004) menyebutnya paradigma definisi sosial.
Weber membagi 4 bentuk tipe ideal tindakan sosial, yaitu tindakan afektif
(affectual), tindakan tradisional (traditional), tindakan berdasarkan rasionalitas
nilai (value-rational), dan tindakan berdasarkan rasionalitas instrumental (meansend rational). Keempat tindakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tindakan
rasional (value-rational action dan means-end rational action) dan tindakan non
rasional (affectual dan traditional). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa untuk
memahami tindakan sosial, Weber mendasarkan analisisnya pada konsep
rasionalitas (Kalberg, 1980; Johnson, 1988).
Tindakan tradisional didasarkan atas kebiasaan dan tanpa refleksi yang
sadar atau perecanaan. Jika kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat
didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi yang hadir diabsahkan
atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang telah lama mapan. Kebiasaan atau
institusi tersebut diterima begitu saja sebagai kerangka acuan bertindak tanpa ada
30
sanggahan. Semantara itu tindakan afektif juga dilakukan tanpa refleksi yang
sadar, namun didasarkan atas dominasi perasaan atau emosi (Kalberg, 1980;
Johnson, 1988).
Tindakan berdasarkan rasionalitas nilai (value-rational action) atau
wertrationalität didasarkan lebih dominan atas kepentingan idealistik (idealinterest) daripada kebiasaan dan emosi. Kepentingan idealistik mengacu pada
pemenuhan atau pencapaian tujuan ideologis dan rasionalitasnya berorientasi
nilai. Komitmen terhadap nilai-nilai sangat kuat sehingga pertimbanganpertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility), efesiensi, dan sebagainya
menjadi tidak relevan, sebagai contoh adalah tindakan religius (Kalberg, 1980;
Johnson, 1988; Smelser & Swedberg, 2005).
Tindakan berdasarkan rasionalitas instrumental (means-end rational action)
atau zweckrationalität didasarkan lebih dominan atas kepentingan materialistik
(material-interest) dan rasionalitasnya berorientasi pilihan-pilihan yang paling
menguntungkan. Pemenuhan atau pencapaian sarana-benda merupakan tujuan
yang mendasari kepentingan materialistik. Tindakan ini meliputi pertimbangan
dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan (end) dan alat (means)
yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu memiliki bermacam-macam
tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan
satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang bersaing tersebut. Penilaian terhadap alatalat yang mungkin digunakan dapat berupa pengumpulan informasi,
kemungkinan-kemungkina serta hambatan yang terdapat dalam lingkungan,
meramalkan konsekuensi yang mungkin (Kalberg, 1980; Johnson, 1988; Smelser
& Swedberg, 2005).
Affectual
(Emotions)
Substantive
Rationality
Dominant
Practical
Rationality
Dominant
Rational action
Value
Means-end
(ideal interest)
(material interest)
Formal
Rationality
Dominant
Substantive
Rationality
Dominant
Traditional
(Habits)
Gambar 2.4. Pemetaan Tindakan dan Rasionalitas Ekonomi
Kalberg (1980) berpendapat bahwa bentuk tindakan sosial Weber tersebut
adalah tipe ideal yang sulit ditemukan dalam prakteknya. Tindakan sosial dapat
dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang
berkaitan dengan itu. Bentuk tindakan sosial Suku Duano dalam aktivitas
menongkah dapat dipetakan dengan menggunakan tipe ideal tindakan sosial
Weber ini (0).
31
Tindakan ekonomi adalah tindakan sosial yang bersifat rasional.
Penulusuran tindakan ekonomi dalam aktivitas menongkah hanya dapat dicapai,
jika rasionalitas yang bermain di alam pikiran individu dimengerti. Menurut
Kalberg (1980) dan Johnson (1988) bahwa Weber pada awalnya membedakan
rasionalitas menjadi rasionalitas nilai dan rasionalitas tujuan. Proses berpikir yang
lebih diarahkan pada tindakan rasional untuk mencapai tujuan-tujuan etika, moral,
estestika, dan tujuan lain di luar tujuan yang sebenarnya merupakan rasionalitas
nilai (value rationality), sedangkan proses berpikir yang lebih diarahkan pada
tindakan rasional untuk mencapai harapan, dimana harapan menjadi prasarat dan
alat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan hukum dari individu merupakan
rasionalitas tujuan (means-end rationality).
Rasionalitas selanjutnya dikembangkan menjadi 4 bentuk, guna
memberikan penjelasan pada tindakan rasional, yaitu: (1) rasionalitas substantif
(substantive rationality), (2) rasionalitas formal (formal rationality, (3)
rasionalitas praktikal (practical rationality), dan (4) rasionalitas teoritikal
(theoretical rationalty). Rasionalitas substantif merupakan proses berpikir yang
diarahkan pada tindakan rasional dalam hal nilai-nilai. Tindakan rasional
instrumental didasarkan pada rasionalitas formal dan rasionalitas praktikal.
Rasionalitas praktikal berkaitan dengan tujuan-tujuan ekonomi individu yang
sangat pragmatis dan egoistik, sedangkan rasionalitas formal pada tujuan-tujuan
yang telah disepakati/ diperhitungkan bersama (aturan/hukum). Rasionalitas
teorititikal tidak diarahkan pada tindakan sosial, tetapi lebih merupakan upaya
kognitif untuk menguasai/menangkap realitas sosial faktual melalui proses
abstraksi konsep-konsep (Kalberg, 1980; Johnson, 1988; Smelser & Swedberg,
2005).
Tabel 2.6. Kaitan Antara Tindakan, Tipe Rasionalitas, dan Proses Mental
Tipe Tindakan Sosial
Non Rasional
a. Tradisional
b. Afektual
Rasional
a. Value rational
b. Means-end
rational
Proses Mental
Tipe Rasionalitas
a. Non rasional
b. Non rasional
a.
b.
-
a. Subordinasi realitas oleh
nilai-nilai
b. Kalkulasi instrumental
(tujuan dan alat)
a. Substantif
b. Formal dan Praktikal
Sumber: Dimodifikasi dari Kalberg (1980)
Tindakan sosial yang menjadi fokus perhatian di dalam teori embeddedness
adalah tindakan rasional, sehingga teori ini memberikan perhatian yang besar pada
penelusuran rasionalitas substantif dan rasionalitas formal. Selanjutnya teori
adaptasi ekologi budaya tidak membedakan antara tindakan sosial yang rasional
dan non rasional, sehingga penulusuran rasionalitas mencakup rasionalitas
substantif, rasionalitas formal, dan rasionalitas praktikal. Keterkaitan antara
tindakan, tipe rasionalitas, dan proses mental dalam diri individual aktor
disederhanakan seperti Tabel 2.6.
Tindakan ekonomi aktor dalam menjalankan aktivitas nafkah dapat
dipetakan berdasarkan tujuan pencapain pemenuhan kebutuhan. Strategi nafkah
32
survivalistik yang dilakukan oleh dari rumah tangga strata bawah, terdiri dari
tindakan-tindakan aktor yang didasari oleh rasionalitas yang berbeda. Rasionalitas
yang mendasarinya akan menentukan apakah tipe tindakan bernafkah survivalistik
yang dilakukan. Begitupula strategi nafkah konsolidatif dan strategi akumulatif
yang dilakukan rumah tangga strata menengah dan atas, dapat dipetakan bentukbentuk tindakan ekonomi bernafkah dari aktor-aktor yang menjalankannya.
2.4. Definisi Konseptual
Konsep-konsep penting yang digunakan sebagai acuan dalam membahas
temuan-temuan penelitian adalah sebagai berikut:
 Lingkungan: Konsep ini menunjukkan konteks dimana manusia, hewan,
tumbuhan, dan benda berada, bertindak, dan berinteraksi. Lingkungan dapat
dibagi menjadi lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosial.
 Perubahan: Konsep ini menunjukkan adanya perbedaan antara kondisi
sekarang dengan kondisi sebelumnya, yang terdiri dari aspek ekologikal dan
aspek sosio-kultural.
 Sistem penghidupan: Keselurahan cara, taktik, mekanisme, pengaturan, dan
pengorganisasian yang dilakukan oleh komunitas, rumah tangga, dan individu
untuk melindungi atau mempertahankan keberlanjutan penghidupan atas
kerentanan-kerentanan penghidupan yang hadir.
 Budaya Bernafkah: Budaya yang tumbuh, berkembang, dan melembaga dari
aktivitas nafkah (subsisten) atau dalam teori ekologi budaya Steward disebut
sebagai culture core.
 Strategi nafkah: Konsep yang menunjukkan cara, taktik, mekanisme serta
manipulasi yang dibangun individu bersama rumah tangganya dalam
mempertahankan kehidupan (survival strategy), konsolidasi (consolidation
strategy), dan meningkatkan derajat sosio-ekonomi kehidupan (accumulation
strategy).
 Menongkah: Konsep ini menunjukkan suatu aktivitas mengumpulkan kerang
darah (Anadara granosa) menggunakan tangan, sambil meluncur di atas
lumpur dengan bantuan sebilah papan (tongkah).
 Ekonomi menongkah: Konsep ini menunjukkan hubungan-hubungan sosial
yang mengorganisasikan produksi, distribusi, dan pertukaran sumberdaya dan
jasa yang berkaitan dengan aktivitas menongkah.
 Adaptasi semi-natural: Konsep ini menunjukkan penyesuaian-penyesuaian
yang dilakukan oleh suatu komunitas pada pengaturan-pengaturan teknoekonomi dalam merespon perubahan ekologikal dan sosiokultural, dimana
perubahan dan penyesuaian yang berlangsung dipengaruhi pula oleh faktor
eksternal komunitas (negara dan pasar)
 Livelihood vulnerability: Konsep ini menunjukkan kerentanan-kerentanan
penghidupan, dapat disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan (sumbersumber penghidupan) dan terbatasnya akses terhadap sumber-sumber agraria.
33
 Livelihood sustainability: Konsep ini menunjukkan kemampuan komunitas,
rumah tangga, atau individu dalam mempertahankan dan meningkatkan
kapasitas pengaturan sumber-sumber penghidupan dalam upaya pencapaian
kehidupan yang lebih baik untuk generasi sekarang dan masa depan.
 Securing livelihood: Konsep ini menunjukkan kemampuan suatu sistem dalam
mengamankan keberlanjutan penghidupan (pada berbagai aras kehidupan)
dalam merespon perubahan lingkungan yang terjadi.
2.5. Kerangka Teori
Alur berpikir penelitian ini berlandaskan pada beberapa teori utama yaitu
teori ekologi budaya dari Julian Steward, teori embeddedness dari Mark
Granovetter, dan teori tindakan dan rasionalitas ekonomi Weber, yang dirangkai
dalam suatu kerangka analisis multilevel (Gambar 2.5). Penelitian ini secara
teoritis memandang bahwa penghidupan Suku Duano merupakan suatu
mekanisme adaptif yang berlangsung pada effective environment hasil dari tarik
ulur antara dua hal, yaitu kemampuan adaptasi dari dalam komunitas dan adanya
pengaruh dari luar komunitas. Pengaruh dari luar komunitas yang dimaksud
adalah ikut berperannya negara dan pasar dalam proses perubahan lingkungan
Suku Duano, yaitu perubahan yang bersifat ekologikal dan sosiokultural.
Aktivitas menongkah merupakan pintu masuk untuk memahami perubahan sistem
penghidupan masyarakat lokal Suku Duano pada aras rumah tangga dan
komunitas, serta perubahan budaya bernafkah dalam merespon perubahan
lingkungan yang terjadi.
Kerangka teori penelitian ini dimulai dengan melihat bahwa terjadi
perubahan lingkungan yang bersifat ekologikal dan sosiokultural pada Suku
Duano yang bersifat alamiah maupun yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia
(negara, pasar, masyarakat lokal). Lingkungan Suku Duano dalam hal ini adalah
sistem ekologi (ekosistem) dan sistem sosial, yang dihubungkan oleh proses
adaptasi. Proses adaptasi tersebut menghasilkan budaya seputar aktivitas
subsistensi yang disebut Steward (1955) sebagai inti budaya.
Perubahan yang bersifat ekologikal dan sosiokultural, jika didekati dengan
teori ekologi budaya dapat dipandang sebagai perubahan ekologi budaya.
Perubahan ekologi budaya Suku Duano dapat dijelaskan dengan menggunakan
perubahan ekologi budaya yang dikembangkan oleh Steward (1955). Teori
Steward (1955) yang memandang bahwa perubahan ekologi budaya merupakan
suatu proses adaptasi evolusioner alamiah dari masyarakat berburu-meramu yang
sangat jauh dari pengaruh kekuatan luar komunitas, memiliki kelemahan dalam
memahami adaptasi ekologi budaya yang terjadi pada Suku Duano. Kelamahan
yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi pada Suku Duano tidak lepas dari
pengaruh kekuatan luar komunitas. Sehingga dalam penelitian ini pengaruh
negara dan pasar menjadi hal yang penting untuk diamati dan dianalisis lebih
jauh.
Perubahan ekologi budaya Suku Duano yang merupakan hasil tarik ulur
antara pengaruh rezim (negara dan pasar) dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dengan kemampuan adaptasi komunitas, menghasilkan bentuk
34
adaptasi baru pada lingkungan yang efektif untuk aktivitas subsistensi. Suku
Duano melakukan penyesuaian-penyesuaian pada effective environment yang
dapat mereka akses, dalam hal teknologi, organisasi sosial, dan aspek-aspek
demografi. Adaptasi pada effective environment yang dipengaruhi oleh perubahan
rezim pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dalam penelitian ini disebut
sebagai adaptasi semi-natural. Perubahan rezim pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang menyebabkan perubahan ekologi budaya tersebut menjadi
konteks bagi keberlanjutan dan kerentanan penghidupan Suku Duano.
Adaptasi semi-natural Suku Duano pada lingkungan bio-fisik inilah yang
merupakan tonggak penting perkembangan kultur kongkret Suku Duano setelah
menjadi masyarakat yang berinteraksi langsung dengan negara dan pasar. Steward
(1955) menyatakan bahwa untuk memahami seluruh kesatuan kultur masyarakat
yang belum jauh berkembang, dapat dimulai dengan memahami salah satu aspek
kehidupan yang berkaitan dengan aktivitas nafkah. Adaptasi teknologi dipandang
hal pertama yang harus dilihat dalam aktivitas nafkah, karena kebudayaan
material yang satu ini akan mempengaruhi aspek budaya lain.
Beragam aspek budaya yang berkaitan dengan ekologi budaya dapat
dikelompokkan menjadi aspek yang primer dan sekunder. Steward (1955)
menggolongkan aspek budaya yang berhubungan paling kuat dengan proses
adaptasi sebagai inti budaya (culture core), sedangkan aspek budaya yang lainnya
di golongkan sebagai culture non core. Penghubung kedua tipe budaya ini adalah
perilaku, hal ini menunjukkan aras individu menjadi perhatian penting pula selain
aras budaya dan komunitas. Beberapa bentuk culture non core yang dipandang
penting pada penelitian ini adalah religi, nilai-nilai bersama, ritual, adat-istiadat,
seni, dan bahasa.
Aktivitas nafkah yang dipandang dapat menjadi pintu masuk utuk
memahami kesatuan kultur kongkret Suku Duano adalah aktivitas menongkah.
Studi tentang aktivitas ini menyangkut sistem ekonomi, sosial, budaya, dan
politik. Pemilihan aktivitas menongkah sebagai fokus utama dalam studi
perubahan lingkungan dan penghidupan Suku Duano, tidak bertentangan dengan
asumsi dasar pendekatan ekologi budaya tersebut, namun studi tentang sistem
penghidupan Suku Duano tidak boleh berhenti pada aktivitas menongkah semata,
karena boleh jadi menongkah hanyalah merupakan organisasi sosial produksi
yang bersifat temporer.
Proses adaptasi ekologi budaya dan transmisi budaya antar generasi lebih
mengarah pada studi antropologi budaya, sementara itu sosiologi lebih fokus pada
proses interaksi sosial yang terjadi dari kedua hal tersebut. Proses sosial yang
berlangsung pada aras individu (tindakan) dan aras komunitas (struktur), serta
interrelasi di antara keduanya adalah hal-hal yang harus terungkap dalam studi
aktivitas menongkah.
Aktivitas nafkah menongkah pada aras individu melekat dalam hubungan
antar personal (relational embeddedness), selanjutnya pada aras komunitas
melekat pada institusi dan budaya lokal Suku Duano (structural embeddedness).
Tindakan ekonomi individu dalam menjalankan strategi nafkah juga melekat pada
aturan-aturan non formal yang ada pada sistem penghidupan komunitas.
Tindakan sosial menjadi hal penting dalam teori adaptasi ekologi budaya
dan teori embeddedness. Teori ekologi budaya memandang terdapat interrelasi
35
antara tindakan dan budaya, selanjutnya teori embeddedness memandang terdapat
interrelasi antara tindakan dan struktur. Kedua teori ini dapat melengkapi, karena
tindakan yang didasarkan atas dominannya pertimbangan kebiasaan, dan emosi
(tindakan sosial non rasional) menjadi penting dalam mengupas aspek-aspek
culture non core, sedangkan tindakan yang didasarkan atas dominannya
pertimbangan kepentingan (tindakan sosial rasional) menjadi penting dalam
mengupas aspek-aspek culture core, relational embeddeness, dan structural
embeddedness.
Tindakan ekonomi dalam teori embeddedness harus ditelusuri melalui
rasionalitas, karena tindakan ekonomi adalah tindakan sosial yang bersifat
rasional. Rasionalitas yang bermain pada ranah pikiran individu, dalam bertindak
pada berbagai aktivitas ekonomi adalah yang berkaitan dengan nilai, tujuan, dan
alat. Selain itu rasionalitas individu juga terikat dengan konteks dan melekat
(embedded) pada ikatan interpersonal mereka (context bounded rationality).
Rasionalitas yang mendasari tindakan ekonomi individu tersebut terikat dengan
konteks pencapaian penghidupan berkelanjutan dan melekat dalam rasionalisme
dominan yang mendasari tindakan individu-individu lainnya. Kerangka teori
tersebut disederhanakan sebagaimana Gambar 2.5.
Hubungan teknis dan sosial dalam struktur sosial pada Gambar 2.5, yaitu
lingkungan bio-fisik muara Indragiri, swasta, negara, dan Suku Duano dapat pula
dikaitkan dengan konsep-konsep sosiologi nafkah. Ekosistem perairan merupakan
natural capital, Suku Duano merupakan human capital, pemerintah dan swasta
dapat menjadi sumber dari financial capital, hubungan sosial diantara para pihak
dapat menjadi social capital, yang keseluruhannya adalah merupakan livelihood
resources.
36
Pasar
Negara
Environment
Natural
Sistem Ekologi
Sistem Sosial
Vulnerability &
Sustainability Context
Adaptation

S o cio cultu ra l C ha n g e
E co lo g ica l C h a ng e
Original Culture Core
 Teknologi
 Organisasi Sosial
 Demografi
Effective Environment
Religi
Lingkungan
Bio-fisik Muara
Indragiri
Semi-natural
Adaptation
Organisasi Sosial
S istem N afk ah
Teknologi
Komunitas
Suku Duano
Demografi
Aktivitas
Menongkah
Pintu Masuk
Studi Ekologi Budaya &
Penghidupan
Gambar 2.5. Kerangka Teori
Strategi Nafkah
Rumah Tangga
Prilaku/Tindakan
Individu
Nilai Bersama
Ritual
Bahasa & Seni
Adat Istiadat
Bersama
Emergence
Culture
Core
Apakah
Terjadi
Perubahan
Struktur
Nafkah?
37
2.6. Kebaruan
Kebaruan penelitian ini mencakup aspek pendekatan teoritis yang
merupakan sintesis dari tiga teori utama yaitu teori ekologi budaya dari Steward,
teori embeddedness dari Granovetter, dan teori tindakan dan rasionalitas ekonomi
dari Weber. Sintesis ketiga teori dirangkai dalam suatu analogi teoritis untuk
menjelaskan proses perubahan orientasi tindakan ekonomi aktor dan pembentukan
rasionalitas dalam aktivitas menongkah yang dipengaruhi oleh negara dan pasar.
Rasionalitas yang bermain di alam pikiran individu, digambarkan sebagai suatu
kontinum yang dinamis yang dapat bergerak ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke
kanan, serta membesar dan mengecil.
Analogi teoritis tersebut mengarahkan pada suatu tipologi tindakan ekonomi
aktor yang terbentuk melalui proses tarik ulur antara dua rasionalitas yang
sesungguhnya menurut tipologi Max Weber sangat berseberangan, yaitu
rasionalitas substantif (substantive rationality) dan rasionalitas formal (formal
rationality). Orientasi tindakan aktor yang mendua menyebabkan tindakan
ekonomi yang dipilih tidak sepenuhnya berorientasi subsisten dan tidak pula
sepenuhnya berorientasi komersial, tarik ulur diantara keduanya dalam penelitian
ini disebut sebagai tindakan rasional yang ambigu.
Download