View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PENENTUAN TARIF RASIONAL BERDASARKAN UNIT COST, ATP,
WTP, DAN FTP PADA RUMAH SAKIT UMUM
ANUTAPURA KOTA PALU
EVALUATION OF FREE HEALTH PROGRAM IN MAKASSAR
Muh. Yusri Abadi, Darmawansyah, Balqis, Nurhayani, Dian Saputra M,
Ryryn Suryaman, Suci Rahmadani
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM Unhas
ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai besarnya Relative Value Unit (RVU)
Pelayanan kesehatan pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik
dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian observasional. Sampelnya adalah semua transaksi yang berkaitan dengan biaya tetap,
biaya semi variabel dan biaya variabel pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium,
Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2011. Data
dikumpulkan menggunakan teknik observasional guna melihat data masing-masing unit cost pada
bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium, Fisioterapi, Rawat Inap, Poliklinik, instensitas dan
efektivitas penggunaan alat, tarif dan pembagian tugas di RSU Anutapura Palu. Analisis biaya satuan
dilakukan dengan spreadsheet program microsoft excell. Hasil yang diperoleh adalah asumsi tarif
berdasarkan unit cost 3 dengan output normatif (BOR 80%) perkelas perawatan pada Rumah Sakit
Umum Anutapura Palu untuk satu tahun (2012) adalah sebagai berikut : yakni Kelas VVIP Rp.
420.000,- Kelas VIP Rp. 320.000,- Kelas I Rp. 165.000,- Kelas II Rp. 120.000,- dan Kelas III Rp.
55.000,-. Direkomendasikan untuk dapat menekan komponen total biaya (total cost) maka pihak
manajemen rumah sakit perlu melakukan efisiensi terhadap pengeluaran biaya terutama pada biaya
operasional tetap (semi fixed cost) dan biaya operasional tidak tetap (variabel cost) di RSU
Anutapura Palu.
Keywords : Tarif Rasional, Unit Cost, ATP, WTP, FTP dan Rumah Sakit
PENDAHULUAN
Rumah Sakit sebagai organisasi publik
diharapkan mampu memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu kepada masyarakat.
Namun di satu sisi Rumah Sakit Umum (RSU)
Anutapura Palu sebagai unit organisasi milik
pemerintah daerah dihadapkan pada masalah
pembiayaan dalam arti alokasi anggaran yang
tidak memadai sedangkan pendapatan dari
penerimaan masih rendah dan tidak boleh
digunakan secara langsung. Kondisi ini akan
memberikan dampak serius bagi pelayanan
kesehatan di rumah sakit karena sebagai
organisasi yang beroperasi setiap hari,
likuiditas keuangan merupakan hal utama dan
dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan
operasionalnya.
Rumah sakit sebagai salah satu
fasilitas pelayanan kesehatan berusaha
mengatasi
biaya
pelayanan
kesehatan
seimbang antara biaya investasi dengan
ketersediaan biaya satuan yang berlaku.
Disamping para pembuat keputusan di sektor
pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa
usaha pelayanan kesehatan adalah suatu
usaha yang harus dikelola secara profesional
dengan
memperhatikan
prinsip-prinsip
ekonomi yang baik.
Sebenarnya
anggaran
untuk
pembiayaan kesehatan di Indonesia antara
harapan dan kenyataan karena selama 50
tahun terakhir tidak melebihi angka 4,0%
(sekitar 3,0% - 4,0%), Sedangkan WHO
menganjurkan minimal 5,0% dari dana
anggaran pendapatan dan belanja negara
(Moeloek, 2000). Rendahnya anggaran
kesehatan ini karena kemampuan ekonomi
kita relatif rendah dan tingkat prioritas
pemerintah terhadap biaya kesehatan kurang.
Dari beberapa hasil analisis biaya
satuan (unit cost) Rumah Sakit menyatakan
bahwa umumnya tarif Rumah Sakit pemerintah
di Indonesia sangat rendah, bahkan tarif
tersebut lebih rendah dari pada biaya satuan
operasional dan biaya pemeliharaan. Pada
studi biaya operasional dan pemeliharaan dari
12 Rumah sakit pemerintah yang ada di
Indonesia yang dilakukan oleh unit analisis
kebijakan
Departemen
Kesehatan
RI,
menunjukkan bahwa biaya satuan operasional
dan pemeliharaan untuk rawat inap kelas III
rata-rata berkisar Rp.4.000 – Rp.8.000.
Sedangkan tarif diberlakukan antara Rp. 2.000
- Rp.3.000. Ini berarti pemerintah harus
memberikan subsidi yang besar kepada rumah
sakit (Maidin,dan Razak, 1995).
Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, maka berdasarkan surat Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
No.582/
Menkes/SK/IV/1997, tanggal 11 Juni 1997
tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah
berdasarkan analisis biaya (unit cost)
khususnya pada pasal 8 ayat 2, disebutkan
bahwa unit cost rata-rata rawat inap dihitung
melalui analisis biaya dengan metode
distribusi ganda (double distribution) yaitu satu
cara untuk menghitung satuan (unit cost)
dengan mendistribusikan semua biaya yang
terpakai di unit penunjang ke unit produksi
(distribusi berganda) (Depkes, 1997).
Selama ini tarif tentang pelayanan
kesehatan di RSU Anutapura Palu Kota Palu
masih
berdasarkan
Perda
Nomor
:
750/XII/1999 tentang Pengelolaan Retribusi
Pelayanan Kesehatan , dimana tarif yang
diperlakukan
pada
Perda
ini
belum
berdasarkan biaya satuan (unit cost based)
dalam pelayanan kesehatan dan tanpa
perhitungan yang cermat terhadap berbagai
dimensi yang mempengaruhi tarif, bahkan
belum ada penyesuaian tarif selama bertahuntahun meskipun telah terjadi inflasi pelayanan
kesehatan (obat, bahan habis pakai, dll)
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih dalam tentang biaya satuan
per jenis tindakan.
BAHAN DAN METODE
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
penelitian
observasional
dengan
jenis
penelititan ini dimaksudkan untuk melakukan
identifikasi terhadap semua karasteristik yang
dipergunakan untuk menghitung total biaya
(fixed cost) dan total biaya operasional tetap
(semi variabel cost), dan total biaya
operasional tidak tetap (variabel cost) serta
tarif setiap tindakan yang ada pada bagian
Bedah, IGD/ICU, Radiologi, Laboratorium,
Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu. Untuk mencapai
tujuan tersebut digunakan teknik observasi
terhadap hasil transaksi yang ada dibagian
keuangan. Sampel dalam penelitian ini adalah
semua transaksi yang berkaitan dengan biaya
tetap, biaya semi variabel dan biaya variabel
pada bagian Bedah, IGD/ICU, Radiologi,
Laboratorium, Fisioterapi, Poliklinik dan Rawat
Inap di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
Tahun 2011.
Metode Pengumpulan Data dan Variabel
Penelitian
Data primer diperoleh dengan teknik
observasional sedangkan data sekunder
diperoleh langsung melalui laporan tahunan
rumah sakit pada bagian keuangan, bagian
rumah tangga, bagian administrasi tentang
informasi biaya tahun 2011 di Rumah Sakit
Umum Anutapura Palu..
Metode Analisis Data
Analisis biaya satuan dilakukan dengan
spreadsheet program microsoft excell.
HASIL
Biaya Total
Biaya total (total cost) adalah jumlah
masing – masing biaya yang terdiri atas biaya
tetap, biaya operasional tetap dan biaya
operasional tidak tetap yang sebelumya
dilakukan Double Distribution. Perhitungan
biaya ini untuk melihat besarnya biaya yang
2
nyata dikeluarkan oleh masing – masing pusat
biaya di rumah sakit. Biaya total terdiri atas
Total Cost 1 (TC-1) = FC + SVC + VC, Total
Cost 2 (TC-2) = SVC + VC dan Total Cost 3
(TC-3) = VC. Hasil analisis besarnya biaya
total (TC) di rumah sakit yang dikaji dapat
disajikan pada tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan biaya total (total
cost) pada RSU Anutapura Palu, dari 6 pusat
biaya
produksi
ternyata
totalbiaya
terbesaruntuk TC-1, TC-2 dan TC-3 pada
pusat biaya produksi bagian Rawat Inap
Kelas
3
masing-masing
sebesar
Rp.3.368.523.081, Rp.3.273.607.368, dan
Rp.882.424.392,-. Total biaya terkecil untuk
TC-1, TC-2dan TC-3 berada pada pusat biaya
Laundry
masing-masing
sebesar
Rp.231.063.803,
Rp.223.641.873
dan
Rp.38.206.591.
pakaian menjadi tanggungan negara melalui
APBN/APBD.
Dari hasil perhitungan RSU Anutapura
Palu didapatkan unit cost pada profit center
rumah sakit seperti Bedah, Obgyn, Radiologi,
UGD,
laboratorium,
Fisoterapi,
kelas
perawatan VIP, kelas perawatan I, kelas
perawatan II dan kelas perawatan III, dan
Poliklinik.
Biaya Satuan Perjenis Tindakan (Relative
Value Unit) dan Unit Cost
Biaya satuan perjenis tindakan atau
biasa disebut Relative Value Unit (RVU) yaitu
besarnya biaya yang terdapat pada pusat
biaya produksi yang memiliki ouput heterogen
(berbeda jenis tindakannya), sehingga antara
tindakan yang satu dengan yang lainnya pada
bagian yang sama akan mendapatkan
pelayanan yang berbeda, yang dapat ditinjau
dari segi biaya peralatan, bahan dan gaji
pegawai masing-masing tindakan, misalnya
RVU pada poliklinik bedah.
Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis
tindakan yang memiliki nilai RVU tertinggi
dibagian poliklinik Bedah yaitu untuk tindakan
Buka Gips sebesar 1130 (10,4%) dan yang
terendah adalah Vena Secti sebesar 66
(0,6%).
Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis
tindakan yang memiliki unit cost tertinggi untuk
unit cost 3 (UC 3) dibagian poliklinik Bedah
yaitu untuk tindakan Circumsisi Rp. 180.469,dan yang terendah pada tindakan ganti verban
Rp. 18.890,- pada unit cost III.
Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis
tindakan yang memiliki harga tertinggi dibagian
poliklinik Bedah berdasarkan Unit Cost 3 (UC
3) yaitu untuk tindakan Circumsisi dan
Exterpati Rp. 250.000,- dan yang terendah
adalah tindakan Ganti verban Rp. 26.000,-
Biaya Satuan (Unit Cost)
Biaya satuan (UC) berupa UC-1, UC-2
dan UC-3. Unit Cost-1 diperoleh dengan cara
membagi total Cost 1 (TC-1) dengan output
masing-masing pusat biaya. Demikian halnya
dengan unit cost-2 dan unit cost-3. hasil
analisis pada rumah sakit yang dikaji tersaji
pada tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan unit cost (UC)
aktual pada 18 pusat biaya produksi Bedah,
UGD/
ICU,
Radiologi,
Laboratorium,
Fisioterapi, Rawat Inap VVIP, Rawat inap Vip,
Kelas I, Kelas II, Kelas III, Poliklinik THT,
Poliklinik Saraf, Poliklinik Kulit Kelamin,
Poliklinik Penyakit Dalam, Poliklinik Gigi,
poliklinik Mata, Obgyn dan Poliklinik Bedah di
RSU Anutapura Palu UC-1 dan UC-2 terbesar
pada poliklinik obgyn masing-masing sebesar
Rp.3.639.610,-, Rp. 3.194.245 dan UC-3
terbesar pada pusat biaya produksi bagian
Rawat Inap VVIP sebesar Rp.846.943,-. dan
UC-1, UC-2 dan UC-3 terkecil pada pusat
biaya Laboratorium masing-masing Rp.37.064,
Rp. 34.277 dan Rp. 8.105,Penerapan hasil perhitungan unit cost
yang digunakan dalam analisis biaya satuan di
rumah sakit umum daerah adalah biaya satuan
(UC-3), karena asumsi dasarnya rumah sakit
umum
daerah
merupakan
lembaga
pemerintah, sehingga biaya investasi dan
pemeliharaan serta gaji, perjalanan dinas, dan
Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan
Kemauan Membayar (Willingness to Pay)
Untuk mengukur ATP responden, ada 2
pendekatan yang digunakan. Pertama, ATP
berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang
bersifat nonesensial dan kedua, ATP
berdasarkan 5% dari pengeluaran rumah
3
tangga untuk nonmakanan. Hasil perhitungan
ATP menurut kedua konsep tersebut
ditunjukkan dalam tabel 5 dan tabel 6. WTP
responden dibedakan atas WTP aktual dan
WTP
normatif.
WTP
aktual
dihitung
berdasarkan jumlah pengeluaran rumah
tangga untuk keperluan kesehatan. WTP
normatif diketahui dengan menanyakan jumlah
yang
bersedia
dibayarkan
oleh
responden/keluarga sesuai persepsi mereka
mengenai
pelayanan
kesehatan
yang
diterimanya. Hasil perhitungan WTP aktual dan
WTP normatif ditunjukkan dalam tabel 7 dan
tabel 8.
Pada tabel 5 dapat dilihat, bahwa ATP
berdasarkan
pengeluran
nonesensial
pertahun, pada kelas VVIP berada pada
kisaran antara Rp.697.185, ─ Rp. 3.913.750,
pada kelas VIP berada pada kisaran Rp.
646.382, ─ Rp 2.913.750, di kelas I berada
pada kisaran Rp.457.959, ─ Rp 1.655.000, di
kelas II berada pada kisaran Rp. 296.226, ─
Rp 1.075.000 dan di kelas III berada pada
kisaran Rp.245.239, ─ Rp 696.250.
Pada tabel 6 dapat dilihat, bahwa ATP
responden pada kelas V.VIP berada pada
kisaran Rp. 193.284,─ Rp.625.535, Kelas VIP
berada pada kisaran Rp.162.139, ─ Rp.
535.652, pada kelas I berada pada kisaran
Rp.130.992, ─ Rp 302.900, pada kelas II pada
kisaran Rp.121.120, ─ Rp 244.65 dan pada
kelas III berada pada kisaran Rp. 23.326 ─ Rp
92.425.
Pada tabel 7 diketahui, bahwa WTP
aktual responden di kelas VVIP berada pada
kisaran antara Rp.193.284─ Rp. 625.353, VIP
berada pada kisaran Rp. 162.139, ─ Rp
565.000, di kelas I berada pada kisaran
Rp.97.992, ─ Rp 196.000, di kelas II berada
pada kisaran Rp.91.120, ─ Rp.195.000, dan di
kelas III berada pada kisaran Rp.50.326,─ Rp
109.250,-.
Pada tabel 8 terlihat, bahwa WTP
normatif responden di kelas VVIP berada pada
kisaran antara Rp. 94.663 ─ Rp.158.337,Kelas
VIP berada pada kisaran Rp.38.816, ─ Rp
103.125, di kelas I berada pada kisaran
Rp.29.797, ─ Rp 68.333, di kelas II berada
pada kisaran Rp.14.382, ─ Rp 40.000 dan di
kelas III berada pada kisaran Rp. 15.732,─ Rp
56.875.
keterpaksaan membayar keluarga/responden
sesuai persepsi mereka mengenai biaya
pelayanan kesehatan yang diterimanya,
hasilnya tercantum pada tabel 9.
Pada tabel 9 tersebut dapat dilihat
bahwa responden umumnya menyatakan
bahwa tarif yang diberlakukan rumah sakit
sudah sesuai ( murah) sebanyak 49 orang (
81,4%) sedangkan yang menyatakan mahal
sebanyak 11
orang (18,6%). Responden
umumnya menyatakan terpaksa membayar
lebih banyak
pada pasien kelas III yaitu 7
orang ( 66,7%), 1 orang pada kelas VIP
(12,5%).
Tarif Rasional Menurut Kelas Perawatan
Asumsi tarif didasarkan pada unit cost
ideal (BOR 80%) dengan melihat kemampuan
membayar (ATP) dan kemauan membayar
(WTP). Bedasarkan ATP dan WTP tersebut
maka unit cost yang diambil sebagai dasar
asumsi adalah yang mendekati besarnya ATP
dapn WTP.
Hasil perhitungan asumsi tarif rasional
pada tabel 10 memperlihatkan bahwa tarif
kelas VVIP merupakan tarif tertinggi, yaitu Rp.
420.000,- per hari rawat, diikuti oleh kelas VIP
sebesar Rp.320.000,- per hari rawat, kelas I
sebesar Rp 165.000 /hari rawat, kelas II
sebesar Rp. 120.000,- per hari rawat dan kelas
III sebesar Rp 55.000/hari rawat.
PEMBAHASAN
Biaya Total
Besaran nilai biaya total dan jumlah
output layanan di ruang rawat inap akan
sangat berpengaruh pada perhitungan biaya
satuan. Biaya total setelah distribusi ganda
dibagi dengan jumlah output berupa jumlah
hari rawat di ruang rawat inap akan
menghasilkan biaya satuan masing-masing
kelas perawatan. Semakin besar biaya total
yang
ditentukan
oleh
komponenkomponennya, ditunjang oleh output yang kecil
akan menyebabkan biaya satuan yang besar.
Sebaliknya sebuah unit yang biaya totalnya
kecil akan tetapi outputnya besar maka akan
menghasilkan biaya satuan yang kecil.
Dengan cara berpikir demikian seyogyanya
para manajer di rumah sakit senantiasa
mengupayakan efisiensi biaya sehingga biaya
total menjadi kecil dalam pengertian efisien,
pada saat yang sama berupaya meningkatkan
jumlah cakupan layanan khususnya di unit
rawat inap, tentu dengan tidak mengabaikan
Keterpaksaan Membayar (Forced to Pay)
Untuk mengukur FTP responden,
diketahui dengan menanyakan kesediaan dan
4
mutu pelayanan yang edequate dengan
pertimbangan kemanusiaan yang berkeadilan.
Hasil penelitian diketahui bahwa biaya
total terbesar berdasarkan distribusi ganda
tahap II untuk TC1,TC2, dan TC3 terdapat
pada kelas III. Tingginya biaya total di pusat
biaya ini disebabkan oleh tingginya biaya
infestasi (Fixed Cost), termasuk biaya
pemeliharaan gedung, kendaraan, alat medis
dan non medis.
Hal ini juga disebabkan karena
tingginya biaya operasional tetap dan tidak
tidak tetap. Biaya total terendah TC1, TC2 dan
TC3 terdapat pada unit laundry, Hal ini
disebabkan oleh karena rendahnya biaya
infestasi
(Fixed
Cost)
pemeliharaan
kendaraan.
untuk gaji pegawai. Besarnya komponen gaji
pegawai sangat erat hubungannya dengan
jumlah pegawai yang bekerja, gaji pegawai
yang sifatnya Semi Variabel Cost merupakan
biaya yang tetap harus dikeluarkan oleh pihak
rumah sakit dengan jumlah yang sama
walaupun output layanan/hari rawat tidak
sama atau tidak dipengaruhi oleh kinerja
rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh sifat dari
biaya gaji pegawai itu sendiri yang bersifat
Semi Variabel Cost yakni biaya yang besarnya
tidak signifikan dipengaruhi oleh output. Pihak
rumah sakit dapat menekan besarnya biaya
gaji pegawai dengan penempatan pegawai
yang lebih baik dengan memperhatikan
besarnya output dari suatu unit terutama
pegawai yang dipekerjakan dipusat biaya
penunjang. Pada pusat biaya produksi jumlah
pegawai harus mempertimbangkan besarnya
beban kerja dari masing-masing unit produksi,
penempatan dan besar pegawai yang sesuai
kebutuhan, maka belanja rumah sakit untuk
gaji pegawai dapat lebih efisien.
Termasuk dalam Semi Variabel Cost
adalah
belanja
rumah
sakit
untuk
pemeliharaan, dimana besarnya biaya ini
sangat tergantung dari umur ekonomis barang
investasi dimana idealnya semakin tua umur
(long life) suatu barang investasi (Fixed cost)
maka biaya pemeliharaan harus semakin
besar.
Biaya
pemeliharaan
terbesar
dibelanjakan Kelas III, hal ini disebabkan oleh
banyaknya peralatan non medis di Kelas III
dikarenakan
jumlah
operasionalyang
bervariasi yang lebih banyak dibanding
dengan kelas perawatan yang lain. Biaya
pemeliharaan di suatu rumah sakit adalah
suatu biaya yang mutlak dibutuhkan agar
dapat memaksimalkan produksi suatu barang
investasi terutama untuk barang elektronik,
sehingga suatu barang investasi dengan
pemeliharaan yang baik dapat digunakan atau
dapat terus berproduksi sesuai dengan umur
hidupnya (long life = L), misalnya gedung agar
dapat digunakan sampai 25 tahun maka
diperlukan biaya pemeliharaan yang memadai,
alat medis EKG Monitor Rp.22.000.000 agar
dapat berproduksi maksimal sesuai umur
ekonomis biaya pemeliharaannya harus
diperhatikan. Sehingga dapat disimpulkan
dengan pengeluaran biaya pemeliharaan yang
efektif dan sesuai dengan fungsinya maka
akan membawa suatu penghematan bagi
rumah sakit.
Biaya Satuan (Unit Cost)
Unit cost adalah biaya yang dibutuhkan
oleh intalasi untuk menghasilkan satu output
jasa pelayanan kesehatan, dalam hal ini
satuan biaya yang dibutuhkan oleh rumah
sakit dalam satu hari perawatan dirumah sakit.
Besar kecilnya Unit cost sangat dipengaruhi
oleh total cost dan quantity (UC = TC / Q).
Besarnya total cost atau total biaya
yakni besarnya jumlah seluruh biaya yang
dibutuhkan
oleh
rumah
sakit
dalam
memberikan pelayanan khususnya di rawat
inap dalam satu tahun. Total cost ini sangat
dipengaruhi oleh besarnya nilai dari komponen
total cost yang terdiri dari biaya tetap (Fixed
cost), biaya operasional tetap (Semi Variabel
Cost), dan biaya operasional tidak tetap
(variabel cost).
Biaya tetap (Fixed cost) yang terbesar
pada penelitian ini adalah biaya untuk biaya
investasi alat medis Rp 1.628.453.620 dan
yang terbesar pada unit produksi perawatan
untuk semua komponen biaya investasi adalah
pada bagian bedah Rp.378.610.416,- (19%).
Besarnya biaya disebabkan banyaknya alat
medis yang digunakan, sehingga banyak
tidaknya
output
tidak
mempengaruhi
pengeluaran biaya ini, dimana sifat dari biaya
ini adalah biaya tetap yang tidak dipengaruhi
oleh output. Untuk dapat mengurangi jenis
biaya ini maka pihak rumah sakit perlu
meninjau efisiensi banyaknya pembangunan
gedung.
Biaya operasional tidak tetap (Semi
Variabel Cost) yang terbesar dalam penelitian
khususnya di instalasi rawat inap yaitu biaya
5
Biaya lainnya yang termasuk dalam
SVC adalah pakaian dinas dan perjalanan
dinas. Dalam membagai alokasi untuk belanja
perjalanan dinas penting bagi pihak rumah
sakit membagi besarnya jumlah anggaran
berdasarkan jumlah pegawai, sehingga biaya
ini tidak hanya dinikmati oleh unit/instalasi
tertentu.
Biaya
operasional
tidak
tetap
merupakan biaya yang besarnya dipengaruhi
oleh quantity pelayanan. Pada instalasi rawat
inap dipengaruhi oleh besarnya hari rawat,
semakin besar jumlah hari rawat (BOR) maka
biaya ini akan semakin besar. Rawat inap
kelas III memiliki biaya variabel cost yang
terbesar yakni Rp.882.424.392 (16%). Yang
termasuk dalam biaya ini adalah BHP non
medis, listrik, telepon dan air, pada kelas III
besarnya biaya obat dan BHP medis
Rp.142.796.972,- sangat dipengaruhi oleh
jumlah tempat tidur dan output dari kelas
perawatan ini, begitu pula dengan penggunaan
air. Untuk dapat mengefektifkan biaya ini maka
pihak rumah sakit menempuh jalan tidak lagi
menempatkan biaya BHP medis/alkes pada
pusat biaya rawat inap seperti pada rumah
sakit lainnya. BHP medis/alkes yang
dibutuhkan di rawat inap, misalnya cairan,
verban, dan lain-lain, langsung diresepkan
oleh dokter atau tidak lagi menjadi komponen
biaya variabel cost.
Total biaya (total cost) adalah jumlah
keseluruhan biaya yang dibutuhkan oleh
rumah sakit yang dalam penelitian ini dihitung
dalam satu tahun anggaran Januari –
Desember 2011. Jenis total cost dalam
penelitian ini ada tiga yakni TC I = FC + SVC +
VC, TC II = SVC + VC, dan TC III = VC.
Besarnya nilai total cost pada kelas perawatan
III sangat dipengaruhi oleh tingginya ketiga
komponen total cost tersebut di kelas III, tetapi
besarnya biaya ini dikelas III dibandingkan
dengan kelas perawatan lainnya, disebabkan
oleh output dari kelas III lebih besar dari yang
lainnya. Besarnya nilai TC dapat di efisienkan
dengan efesiensi terhadap ketiga komponen
biaya ini, dalam hal ini pihak rumah sakit perlu
memperhatikan persentase pengeluaran pada
masing-masing kelas perawatan, dengan
melihat kesesuain antara biaya yang
dikeluarkan dengan besarnya output yang
dilayani. Di kelas III hal ini sudah memenuhi
sebab dengan output di kelas III yang tinggi
maka diperlukan pegawai, pemeliharaan (Semi
Variabel Cost) yang tinggi, BHP non medis, air
(variabel cost) dan biaya lainnya yang tinggi,
sehingga total cost akan tinggi pula.
Biaya satuan (unit cost) dalam
penelitian ini dibedakan dalam dua jenis yakni
Unit cost berdasarkan output aktual atau
berdasarkan jumlah produksi sesungguhnya
(sesuai jumlah tempat tidur terpakai) dan Unit
cost ideal yang dihitung dengan 80% dari
ouput sesuai kapasitas terpasang (80% x
output normatif). Penggunaan kedua jenis
biaya satuan ini bertujuan untuk melihat kinerja
dari rumah sakit. Jika output aktual yang
dihasilkan oleh kelas perawatan sudah sesuai
dengan standar kinerja rawat inap (BOR 80%
– 90%) maka Unit cost ini dapat digunakan
untuk menentukan tarif , namun jika output dari
suatu kelas perawatan jauh dibawah standar
kinerja maka pihak rumah sakit sebelum
menentukan tarif harus memperhatikan
besarnya Unit cost ideal tersebut.
Perbedaan nilai unit cost tersebut
disebabkan perbedaan dalam total cost. Pihak
rumah sakit dalam menurunkan unit cost maka
harus memperhatikan komponen-komponen
total cost yakni biaya tetap, biaya operasional
tetap dan biaya operasional tidak tetap.
Dengan melakukan analisis terhadap biayabiaya tersebut maka dapat dilakukan
pengurangan nilai unit cost.
Biaya Satuan Perjenis Tindakan (Relative
Value Unit) dan Unit Cost
Unit cost yang diperoleh pada doubel
distribusi tidak dapat dipergunakan untuk
output yang heterogen seperti pada bagian
radiologi dan laboratorium. Adapun langkah
awal untuk mengetahui besarnya nilai biaya
satuan perjenis tindakan yakni dengan
mencari nilai RVU, dimana nilai ini merupakan
perkalian antara bobot jenis tindakan dengan
outputnya masing-masing pada tiap jenis
tindakan.
Besarnya nilai RVU sangat dipengaruhi
oleh jumlah output dengan bobotnya. Dimana
semakin tinggi nilai bobot atau semakin
banyak outputnya, maka semakin tinggi nilai
Relative Value Unit (RVU).
Setelah nilai RVU pada semua jenis
tindakan diperoleh maka biaya satuan (bagian
cost) untuk setiap jenis tindakan dapat
diperoleh dengan bantuan RVU. Besar dari
6
unit cost perjenis tindakan sangat tergantung
oleh dua hal yakni nilai RVU dan Total Cost.
penentuan
unit
costnya
sangat
dipengaruhi oleh besarnya total cost dan
output, khusus di RS Anutapura Palu tingkat
kunjungan pada poliklinik tergolong tinggi,
salah satu penyebabnya dimungkinkan tarif
yang berlaku tergolong rendah karena masih
menggunkan tarif Perda tahun 1999, yang
selayaknya sudah mendapatka perhatian dari
stakeholders mengingat tuntutan masyarakat
yang membutuhkan pelayanan kesehatan
terjangkau dan bermutu
Dengan melihat besar biaya satuan
perjenis tindakan khusus untuk TC III = VC
baik untuk radiologi dan laboratorium dapat
dijadikan acuan bagi rumah sakit untuk dapat
menentukan kebijakan agar dapat berswadana
dengan
minimal
dapat
menutupi
biayaoperasional tidak tetap (Variabel Cost).
Dalam
mengatasi hal tersebut maka
diharapkan
pasien
membayar
sendiri
kebutuhan obat dan peralatan sehingga dapat
menekan pengeluaran.
Untuk dapat menurunkan besarnya unit
cost pada bagian rawat inap dengan
meningkatkan jumlah pasien dan hal ini dapat
ditempuh
dengan
membuka
instalasi
perawatan untuk pasien umum dengan cara
promosi
yang
lebih
insentif
dengan
memberikan pengertian kepada masyarakat
bahwa RSU Anutapura Palu adalah rumah
sakit umum untuk masyarakat. Sedangkan
pada bagian radiologi guna menekan unit cost
dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah
output sehingga besarnya biaya tetap (Fixed
Cost) dan biaya operasional tetap(Semi
Variabel Cost) dapat ditanggung bersama oleh
pasien. Pada bagian radiologi peningkatan
jumlah pasien dapat ditempuh dengan
melaksanakan
pola
kemitraan
dengan
penyedia pelayanan kesehatan yang belum
memiliki fasilitas tersebut, misalnya dengan
atau pelayanan kesehatan swasta yang ada.
Disamping itu perlunya efisiensi penggunaan
BHP medis, non medis, air dan telepon pada
bagian tersebut, guna memperkecil beban
biaya yang harus ditangung pasien.
Tarif rumah sakit merupakan suatu
harga pelayanan kesehatan yang diberikan di
bagian rawat inap, radiologi, Fisioterapi,
persalinan, dan poliklinik yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah setempat, untuk suatu
waktu periode tertentu. Dalam perdagangan
umum tarif atau harga berlaku menurut hukum
pasar yang berfluktuasi dari satu waktu
kewaktu lain. Dalam layanan kesehatan
swasta tarif layanan juga dapat berfluktuasi
tetapi tidak secepat perubahan pada harga
komuditi tertentu.
Fluktuasi “harga” jasa pelayanan
kesehatan umumnya tidak berlansung secepat
fluktuasi harga barang konsumtif seperti
pakaian atau mobil. Tarif rumah sakit
ditetapkan oleh pemerintah umumnya tidak
berfluktuasi dan cenderung berlaku untuk dua
sampai lima tahun yang akibatnya tarif
tersebut tidak dapat menutupi biaya-biaya
untuk memproduksi jasa pelayanan rumah
sakit.
Pada
saat
pemerintah
dareah
mempunyai kemampuan keuangan yang
cukup, hal ini tidak akan menjadi masalah
namun dalam kondisi otonomi daerah maka
jalan yang harus ditempuh untuk dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
yaitu penetapan tarif rasional yang salah
satunya harus berdasarkan unit cost perjenis
tindakan (Relative Value Unit).
Kemampuan Membayar (Ability to Pay) dan
Kemauan Membayar (Willingness to Pay)
Kemampuan membayar pasien akan
berpengaruh pada aksesibilitasnya terhadap
jasa layanan kesehatan. Semakin
rendah
kemampuan seseorang semakin rendah
aksesnya
terhadap layanan kesehatan.
Kemampuan membayar antara lain juga
ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang,
semakin
besar
tingkat
pendapatannya
semakin besar aksesnya terhadap layanan
kesehatan.
Kemampuan
membayar
dihitung
menggunakan
dua
konsep.
Pertama,
kemampuan membayar berdasarkan total
pengeluaran nonesensial rumah tangga dan
kedua kemampuan membayar berdasarkan
5% dari total pengeluaran nonmakanan. Bila
dibandingkan
kedua
konsep
tersebut,
kemampuan
membayar
yang
diukur
berdasarkan 5% pengeluaran nonmakanan
ternyata jauh lebih rendah dari kemampuan
membayar berdasarkan total pengeluaran
nonesensial.
Analisis deskriptif menunjukkan bahwa
dengan
konsep
pertama,
kemampuan
membayar rata-rata di kelas VIP adalah Rp
2.913.750, di kelas I sebesar Rp 1.655.000, di
7
kelas II sebesar Rp 1.075.000 dan di kelas III
sebesar Rp 696.250. Sedangkan kemampuan
membayar pasien berdasarkan 5% dari
pengeluaran makanan yakni pada kelas VVIP
berada
pada
kisaran
Rp.
193.284,─
Rp.625.535, Kelas VIP berada pada kisaran
Rp.162.139, ─ Rp. 535.652, pada kelas I
berada pada kisaran Rp.130.992,─ Rp
302.900, pada kelas II pada kisaran
Rp.121.120,─ Rp 244.65 dan pada kelas III
berada pada kisaran Rp. 23.326 ─ Rp 92.425.
Dalam penelitian ini kemampuan
membayar yang digunakan untuk menghitung
asumsi tarif rasional adalah berdasarkan 5%
dari pengeluaran nonmakanan. Pertimbangan,
bahwa keperluan yang sifatnya nonmkanan
selain merupakan kebutuhan sekunder dan
tersier, juga dalam komponen nonmakanan
terdapat pengeluaran yang sifatnya destruktif
bagi kesehatan, seperti rokok dan minuman
beralkohol. Secara umum dapat disebutkan,
bahwa pengeluaran rumah tangga yang
bersifat destruktif ini justru lebih besar dari
pada pengeluaran untuk kesehatan.
Sangat disadari bahwa mengukur
kemauan membayar (WTP) pasien pada unit
rawat inap memiliki tingkat subyektivitas yang
cukup tinggi, oleh karena pada saat
melakukan wawancara sangat dipengaruhi
oleh kondisi baik waktu maupun suasana.
Kemauan membayar terdiri dari
kemauan membayar aktual dan kemauan
membayar normative. Kemauan membayar
aktual diukur dari pengeluaran rumah tangga
untuk kesehatan, kemauan membayar normatif
adalah jumlah biaya yang bersedia dibayarkan
sesuai persepsi tersponden mengenai kondisi
pelayanan pada instalasi rawat inap Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu.
Analisis deskriptif menunjukkan, bahwa
kemauan membayar aktual jauh lebih rendah
dibandingkan dengan kemampuan membayar
rumah tangga. Pada kelas V VIP dan VIP,
dengan kemauan membayar aktual sebesar
rata-rata sebesar Rp 565.000, di kelas I ratarata Rp 196.000, di kelas II sebesar Rp
195.000 dan di kelas III sebesar Rp 109.250.
Rendahnya kemauan membayar aktual
ini karena sebagian besar anggota keluarga
responden tidak mengalami perawatan di
instalasi rawat inap dalam 1 tahun terakhir,
karena itu besaran kemauan membayar aktual
tidak dijadikan dasar perhitungan tarif rawat
inap. Namun demikian, analisis korelasi
menunjukkan bahwa makin besar pendapatan
rumah tangga pasien, makin besar pula
pengeluaran untuk biaya kesehatan (WTP
aktual).
Pada fenomena lain dari penelitian ini
menjelaskan bahwa jika dipandang dari
perbedaan
pasien
menurut
kelompok
penghasilannya tampak bahwa terdapat
inkonsistensi kaitan antara besarnya kemauan
membayar
(WTP)
dengan
besarnya
pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan.
Pada keluarga yang pengeluarannya besar
tidak selalu WTPnya besar. Sifat komoditas
layanan
kesehatan
yang
inelastic,
menjelaskan hubungan WTP yang inkonsisten
dengan pengeluaran rumah tangga. Sifat
komoditas layanan kesehatan yang dapat
diketegorikan
sebagai
barang
pimer,
memungkinkan
seseorang
untuk
terus
menerus berupaya memenuhi kebutuhannya
akan layanan kesehatan, berapapun biaya
yang harus dikeluarkannya.
Kemauan membayar normatif terkait
dengan penilaian responden di kelas VIP,
kelas I dan kelas II. Sebagian besar
menyatakan “tidak puas” terhadap pelayanan
yang diberikan (WTP normative) responden di
kelas VIP rata-rata sebesar Rp 103.125, di
kelas I sebesar Rp 68.333, di kelas II sebesar
Rp 40.000 dan di kelas III sebesar Rp
56.875.Alasan yang sering dikemukakan oleh
responden yang merasa tidak puas dengan
pelayanan petugas tidak segera datang saat
dibutuhkan dan fasilitas yang kurang
memadai.
Penilaian responden tentang kepuasan
pelayanan mempengaruhi persepsi mereka
mengenai tarif yang berlaku. Persentase
terbesar responden yang menganggap bahwa
tarif rawat inap termasuk ‘mahal’ berasa di
kelas II (16,7%) dan sangat mahal (11,1%), di
kelas III yang mengatakan mahal (36,4%) dan
sangat mahal (36,4%). Persentase terbesar
yang menganggap bahwa tarif yang berlaku
relatif
‘sesuai’ dengan kondisi aktual
pelayanan, terdapat pada kelas VIP (25%) dan
yang menganggap murah sebesar 75%, di
kelas I yang menganggap bahwa tarif yang
berlaku terbilang ‘murah’ sebesar 40% dan
yang menganggap ‘sesuai’ sebesar 50%.
Apabila pelayanan dapat ditingkatkan
terdapat
sejumlah
responden
bersedia
membayar di atas tarif yang berlaku, namun
ada pula responden yang tetap ingin
8
membayar di bawah tarif tersebut. Sesuai
analisis deskriptif, per hari rawat responden
bersedia membayar biaya perawatan sebesar
rata-rata Rp. 432.089 di kelas VVIP, Rp
373.323,- di kelas VIP, Rp 171.908,- di kelas I.
Sebaliknya, secara umum responden di kelas
II dan kelas III yang bersedia membayar di
atas tarif yang berlaku, tetapi karena
jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan
responden yang hanya mau membayar sesuai
tarif maupun dibawah tarif, menyebabkan nilai
rata-rata kemauan membayar normatif lebih
tinggi dari tarif yang berlaku saat ini yaitu di
kelas III dari tarif sekarang sebesar Rp.
35.000 dan kelas II sebesar Rp. 90.000, serta
kelas I Rp. 120.000.
untuk menghitung tarif rasional adalah biaya
satuan hasil distribusi ganda berdasarkan
rumus III (TC =VC). Asumsinya, biaya
investasi (FC) dan biaya gaji pegawai (SVC)
disubsidi dari pemerintah. Untuk mendapatkan
tarif rasional, kemampuan membayar rumah
tangga dalam 1 tahun dikonversi menjadi
kemampuan membayar dalam 1 bulan.
Asumsinya, kebutuhan pelayanan kesehatan
tidak bisa dipastikan waktunya (uncertainly).
Bila dalam 1 bulan terdapat anggota keluarga
yang memerlukan perawatan 6-8 hari, dapat
diperkirakan ATP per hari rawat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tarif asumsi rasional memperlihatkan tarif kelas
VVIP merupakan tarif tertinggi, yaitu Rp
420.000,- per hari rawat, diikuti oleh kelas VIP
Rp. 320.000,-/ hari rawat.,kelas I sebesar Rp
65.000,-/hari rawat, kelas II Rp. 120.000,- dan
kelas III sebesar Rp 55.000,- / hari rawat.
Keterpaksaan Membayar (Forced to Pay)
Peserta
Keterpaksaan
membayar
rumah tangga pasien terdiri dari kesediaan
membayar dan keterpaksaan membayar atas
biaya selama perawatan rawat inap.
Hasil penelitian diketahui bahwa
seluruh rumah tangga pasien di kelas VIP
merasa tidak terpaksa atas biaya selama
perawatan. Responden mampu membayar
biaya
perawatan,
hal
ini
disebabkan
penghasilan
rumah tangga pasien semua
berpenghasilan
antara
Rp.52.950.000Rp.60.000.000 per tahun dan sebagian besar
responden mempunyai persepsi bahwa tarif
yang berlaku murah dan sesuai dengan
pelayanan yang di dapatkan. Sedangkan
pada kelas III sebagian besar (81,8%) rumah
tangga
merasa
terpaksa
melakukan
pembayaran, hal ini di pengaruhi oleh
penghasilan rumah tangga pada kelas
perawatan ini sangat rendah dibandingkan
dengan penghasilan rumah tangga kelas
perawatan lainnya dan persepsi responden
terhadap tarif yang berlaku adalah mahal
(16,3%) dan murah (20,9).
KESIMPULAN DAN SARAN
Asumsi tarif perkelas perawatan pada
Rumah Sakit Umum Anutapura Palu untuk
satu tahun (2012) adalah sebagai berikut :
yakni Kelas VVIP Rp. 420.000,- Kelas VIP Rp.
320.000,- Kelas I Rp. 165.000,- Kelas II Rp.
120.000,- dan Kelas III Rp. 55.000,-.
Kemampuan membayar (ATP) masyarakat
untuk untuk 1 hari perawatan kelas kisaran
Rp.25.000 – Rp.194.000-,
Kemauan
membayar (WTP) masyarakat untuk 1 hari
perawatan kelas VVIP rata-rata Rp. 193.284.,VIP rata-rata 162.319., perawatan kelas I ratarata Rp. 97.992,-, perawatan kelas II rata-rata
sebesar Rp.91.120,-, perawatan kelas III ratarata sebesar Rp.50.326,-. Keterpaksaan
membayar (FTP) pasien pengguna layanan
kesehatan di Rumah Sakit Umum Anutapura
Palu perawatan VIP, perawatan kelas I,
perawatan kelas II dan perawatan kelas III
dikategorikan terpaksa membayar biaya
perawatan kesehatan karena dibantu dari
keluarga dan perusahaan.
Disarankan bahwa unit cost, ATP, WTP
dan FTP dapat dijadikan masukan bagi pihak
pengambil kebijakan (pemerintah daerah
bersama DPRD Kota Palu) dalam membuat
usulan
penyesuaian
penetapan
tarif
berdasarkan PERDA Kota Palu, baik untuk
Tarif Rasional Menurut Kelas Perawatan
Peserta Asumsi tarif rasional ditetapkan
atas dasar biaya satuan, kemampuan dan
kemauan
membayar
pasien.
Tanpa
mengabaikan biaya tetap (FC) dan biaya semi
variabel (SVC), biaya satuan yang digunakan
9
penetapan tarif rawat jalan Puskesmas dan
tarif rawat inap Rumah Sakit Umum Anutapura
Palu. Disamping itu dapat dijadikan dasar
pemberian subsidi pemerintah.
Industries, Government Entities, and
Non Profit Organization. John Wiley &
Sons, Inc.
Musgrove, P. 1986. “Measurement of equity in
health”,
World
Health
Statistic
Quarterly, New York.
Minoque, Martin, et.al., 2000. Beyond The
New Public Management, Chelthem,
UK Northamton, MW, USA.
Nadjib, Mardiati, 1999. Pemerataan Akses
Pelayanan Rawat Jalan Di Berbagai
Wilayah Indonesia, Disertasi Doktor,
Program Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta.
Naki, Arman. 2005. Analisis Biaya Satuan
Pada Pasien Penyakit Dalam di Unit
Rawat Inap Di RSUD M.M.Dunda
Limboto Kabupaten Gorontalo, skripsi,
tidak diterbitkan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Gorontalo.
Phelps, Charles E. 1997. Health Economics,
second
edition,
Addison-Wesley
Longman, Inc. Massachusetts-USA.
Pudjirahardjo, Widodo J., 2003. “Strategi
Manajemen
Pembiayaan
dalam
Pengembangan
Pembangunan
Kesehatan
dan
Perumahsakitan”,
dalam Membangun Model Pembiayaan
Kesehatan Nasional dan Strategic
Accounting System in Health Services,
seminar nasional, 26 Februari, PPSUnair, Surabaya.
Razak, Amran. 2004. Utilisasi, Permintaan
Input dan Analisis Kebijakan Tarif
Rawat Inap Rumah Sakit Umum di
Sulawesi Selatan, Disertasi, tidak
diterbiktan,
Pascasarjana
UnhasMakassar.
Raymond, Tubagus, 2001. Hasil Analisis The
Real Unit Cost Pelayanan Rumah
Sakit, dalam Aspek Biaya Dampaknya
Terhadap Kemandirian RumahSakit Di
era
Otonomi
Daerah,
Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Gadjah Mada – Yogyakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989.
Metode Penelitian Survey, edisi revisi,
LP3ES, Jakarta.
Sudirman,
Indrianty.
2002.
Penerapan
Orientasi Pasar Dalam Pemasaran
Jasa Rumah Sakit Umum di Kota
Makassar : Suatu Telaah Perspektif
Prospectors, Defenders dan Analyzers,
DAFTAR PUSTAKA
Aday L.A., Begley C.E., Lairson, D.R. and
Slater C.H. , 1993. Evaluating the
medical care system : effectiveness,
efficiency, and equality. Ann Arbor :
Health Administration Press.
Ali, Farid, 1994. Metodologi Penelitian
Sosial Dalam Bidang Ilmu Administrasi, Ujung Pandang, CV. Bifaria.
Andersen, R, 1968. A Behavioral Model of
Families Use of Health Services.
Center
of
Health
Administration
Studies, Research Series 25, Graduate
School of Business, The University of
Chicago, Chicago.
Badan Pusat Statistik. 1999. Pengukuran
Kemiskinan di Indonesia 1976-1999 :
Metode BPS, Seri Publikasi Mini 1999,
Buku 1, Jakarta.
Cornes, Richard and Tood Sandler, 1993.
Theory of Externalities, Public Goods,
and Club Goods, Cambridge University
Press.
Dever, Alan G.E., 1984. Epidemiology In
Health Services Management, An
Aspen
Publications,
Rockville
–
Maryland.
Feldstein, P. J. 1993.
Health
Care
Economics, Delmar Publishers Inc.,
New
York.
Fuch, V.R. 1974. Who Shall live ? Health,
Economics, and Social Choice, New
York, Basic Book, Inc.
Gani, Ascobat. 1981. Demand for Health
Service in Rural Area of Karanganyar Regency,
Central
Java,
Indonesia,
thesis for Doctor of
Public Health, School of Public
Health,
John Hopkins University,
Baltimore, Maryland.
Gwatkin, D. 2000a. “Proverty and Inequalities
in Health within Developing Countries :
Filling the Information Gap”, in D. Leon
and G.Walt, (eds), Proverty, Inequality,
and
Health
:
An International
Perspective, Oxford : Oxford University
Press, pp. 217 - 246.
James A. Brimson & John Antos, 1994.
Activity-Based Management for Sevice
10
Disertasi
Doktor,
Program
Pascasarjana Unhas, Makassar.
Thabrany,
Hasbullah
et.al.,
2000.
Comprehensive Review on JPKM to
Develop a More Sustainable Insurance
Scheme, Foundation for Advance of
Public Health in Indonesia, Faculty of
Public Health University of Indonesia
colaborate with Dep. of Health Rep. of
Indonesia – Bappenas.
Trisnantoro, Laksono dan Hanna Permana.
2000.
“Masa
Depan
Daerah
Kabupaten/Kota
Dan
Sistem
Manajemennya, dalam Perencanaan
Strategis Daerah Kabupaten/Kota,
PPL-Ditjen Pelayanan Medik - Depkes
RI, Jakarta.
Trinantoro, Laksono, 2005. Aspek Strategis
Manajemen Rumah Sakit : Antara
Misi Sosial dan Tekanan Pasar, penerbit
Andi – Yogyakarta.
Tunggal, Amin Widjaja. 2000. Activity-Based
Costing Untuk Manufakturing dan
Pemasaran, Harvarindo – Jakarta.
World Health Organizaition, 2000.
The
World Health Report 2000, Health
Systems : Improving Performance,
Geneva.
World Health Organization, 1998. Equity and
Health : Key Issues and WHO’s
role, Geneva.
11
Download