II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Klasifikasi Klaisifikasi ikan M. nigriceps (Senggaringan) menurut Kottelat et.al. (1993) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Siluriformes Famili : Bagridae Genus : Mystus Spesies : Mystus nigriceps Di berbagai daerah jenis M. nigriceps dikenal dengan nama ikan keting, kating atau ingir-ingir dan nama senggaringan dikenal di daerah Jawa Tengah (Sannin, 1986). 2. Morfologi M. nigriceps secara morfologi, termasuk ikan bersungut, memiliki kepala dan badan yang halus serta ukuran dapat mencapai 1 meter. Memilik mata yang tidak tertutup oleh kulit dan umumnya sungut lebih panjang dari kepala (Sannin 1986, Kottelat et al., 1993, dalam Hendri, 2010). M. nigriceps memiliki tubuh berbentuk kombinasi dengan kepala berbentuk dorsoventral, badan dorsolateral dan posisi mulut subterminal (Khanif, 2012). Tidak memiliki sisik, tetapi memiliki 4 pasang sungut, diantarnya sepasang sungut memanjang hingga ujung caudal fin dan satu pasang sungut lebih pendek pada rahang atas, dua pasang sungut yang terletak di rahang bawah (Zalmi, dkk., 2012). Tubuh berwarna abu-abu kehijau-hijauan dimana pada bagian ventral berwarna dirty white (putih kusam) (Hee, 2002). Memiliki berat badan sekitar 30,9-142,5 gr dengan panjang total 335 mm (Kottelat, et al., 1993) atau bio.unsoed.ac.id sekitar 16,3-20,7 cm untuk ukuran standar. Ciri khusus dari ikan ini adalah memiliki sirip lemak (adipose fin) yang lebih panjang dari sirip dubur dengan tinggi maksimal 4,1-6,0 cm dan ini yang membedakannya dengan Mystus yang lain. Adipose fin ini bersambung dengan dorsal fin (Hee, 2002) 3. Karakter, Habitat dan Distribusi M. nigriceps bersifat karnivora dan cenderung menyukai zooplankton, crustacea dan insekta air. Ikan ini memiliki ukuran paling kecil diantara Mystus yang lain, namun ikan ini memiliki bentuk sirip yang sempurna dari genus Mystus yang lain. Reproduksi secara ovivar, dan dewasa terjadi pada sungai-sungai besar (Breder and Rosen, 1966). M. nigriceps banyak ditemukan di alam dalam jumlah besar di sungai dan gambut. Ikan ini hidup di air tawar dengan kisaran pH 6-7 pada temperatur berkisar 20OC-26 OC, jauh dari air laut dan muara sungai. Habitat yang disukai oleh ikan ini adalah sungai dengan aliran lambat, perairan dalam dan dangkal, melimpah pada musim penghujan dengan kondisi sungai yang keruh dan substrat berlumpur (Kottelat, et al., 1993). Distribusi dari M. nigriceps ini banyak ditemukan di wilayah Indocina, India, Vietnam, Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Malaysia (Hee, 2002). 4. Analisis RAPD Dalam mempelajari keanekaragaman genetik ikan ini digunakan salah satu penanda genetik yaitu marka RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA) (Mamangkey et al,. 2007). RAPD merupakan analisis yang menggunakan oligonukleotida pendek sebagai primer untuk mengamplifikasi fragmen yang memiliki ciri tersendiri pada genomik DNA melalui PCR (Panner, et al., 1993). Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA secara in vitro. Amplifikasi DNA pada PCR dapat dicapai dengan menggunakan primer oligonukleotida yang disebut amplimers (Yusuf, 2010). PCR memiliki lima karakteristik yaitu specificity, sensitivity, efficiency hasil, reproducibility dan fidelity (Ekman, 1999). Optimasi PCR meliputi suhu denaturasi dan suhu annealing (Destiana, 2012). Random Amplified Polymorphic DNA Polymerase Chain Reaction (RAPDPCR) yang disebut juga arbitrarily primed PCR (AP-PCR) (Pan, et al., 1997), bio.unsoed.ac.id merupakan analisis DNA yang menggunakan teknik polimerisasi dengan cara menggunakan primer-primer dengan sequens acak untuk keperluan amplifikasi lokus acak pada genom (Yusuf, 2010). Primer merupakan suatu oligonukleotida spesifik yang komplemen dengan daerah yang telah ditentukan pada DNA target sebagai tempat sintesis DNA. Komposisi, ukuran dan homologi primer terhadap DNA target merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan amplifikasi DNA. Pemilihan primer yang akan digunakan untuk amplifikasi sekuen DNA dapat dilakukan melalui dua 5 cara yaitu studi pustaka dan mendesain primer. Dari kedua cara tersebut, studi pustaka lebih sering dilakukan, karena cara ini yang paling cukup mudah, cepat dan murah. Namun demikian, cara ini juga memiliki kelemahan di mana primer yang digunakan kemungkinan besar bersifat kompatibel dengan materi yang kita gunakan (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi polimorfisme DNA pada genom yang digunakan sebagai genetik marker dan menentukan hubungan kekerabatan, sehingga analisis ini cocok digunakan untuk studi keanekaragaman genetik, hubungan kekerabatan, peta geneting, dan sidik jari DNA (Anggereini, 2008). Teknik dari RAPD ini mampu mendeteksi polimorfisme ruas nukleotida pada DNA dengan menggunakan primer tunggal yang memiliki rangkaian nukleotida acak. Dimana pada reaksi PCR dengan teknik RAPD ini primer menempel pada DNA genom di beberapa tempat berbeda yang komplementer dengannya dan berada dalam daerah yang dapat diamplifikasi maka fragmen DNA ini dapat dihasilkan melalui siklus termal. Namun pada umumnya masing-masing dari primer menyebabkan amplifikasi pada beberapa lokus (Welsh dan McClelland, 1990, Williams et al., 1990). Penggunaan analisis RAPD ini berdasarkan atas prinsip bahwa karakter RAPD pada suatu individu dari suatu spesies dengan individu dari spesies lain tetapi dalam satu genus yang sama akan berbeda sehingga bersifat spesies spesifik (Hadrys et al., 1992). Pengujian keragaman genetik dengan teknik RAPD memiliki kelebihan dan kelemahannya diantaranya: murah dan efisien, cost effective (relative murah) dalam pelaksanaan analisis kerjanya. Menurut Mulyasari (2007), RAPD memenuhi kriteria sebagai sistem penanda atau marka yang ideal karena polymorfismenya yang tinggi, tingkat pengulangan bervariasi dengan resolusi genetik mudah (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Teknik RAPD ini telah sukses dilakukan untuk identifikasi polimorfis genotif ikan (Poerba, 2007). bio.unsoed.ac.id 6