bioremediasi benzene, toluene, dan xylene (btx) dari lahan

advertisement
TESIS - TK 142541
BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN
XYLENE (BTX) DARI LAHAN TERKONTAMINASI
MINYAK BUMI OLEH BAKTERI AEROBIK PADA
FASE SLURRY DALAM BIOREAKTOR
MARIA ASSUMPTA NOGO OLE
2314 201 202
DOSEN PEMBIMBING
Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng
PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN TEKNOLOGI PROSES
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
THESIS - TK 142541
BIOREMEDIATION OF BENZENE, TOLUENE AND
XYLENE (BTX) FROM PETROLEUM
CONTAMINATED SOIL BY AEROBIC BACTERIA
AT SLURRY PHASE IN BIOREACTOR
MARIA ASSUMPTA NOGO OLE
2314 201 202
DOSEN PEMBIMBING
Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng
MAGISTER PROGRAM
PROCESS OF TECHNOLOGY
CHEMICAL ENGINEERING DEPARTMENT
FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN XYLENE (BTX)
DARI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI OLEH
BAKTERI AEROBIK PADA FASE SLURRY DALAM
BIOREAKTOR
ABSTRAK
Kontaminasi tanah oleh kegiatan eksplorasi, produksi dan buangan limbah
minyak bumi ke lingkungan menyebabkan kerusakan serius bagi ekosistem
lingkungan, manusia dan hewan. Proses biodegradasi (bioremediasi) mengalami
kesulitan terutama pada kompleksitas hidrokarbon yang terserap ke dalam tanah.
Berbagai metode telah diterapkan untuk pemulihan tanah yang tercemar minyak
bumi. Salah satu metode yang dikembangkan dalam bioremediasi tanah tercemar
minyak bumi adalah bioremediasi ex-situ dengan fase slurry bioreactor. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menentukan efisiensi biodegradasi serta kinetika
biodegradasi benzene, toluene, dan xylene (BTX) dalam proses pengolahan tanah
yang tercemar minyak bumi oleh bakteri aerobik di mana bakteri yang digunakan
adalah Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis.
Residu BTX diukur dengan menggunakan metode kromatografi gas. Proses
bioremediasi diamati selama 56 hari dengan menggunakan 10 jenis bioreaktor.
Bioreaktor pertama tanpa penambahan bakteri, dan tiga bioreaktor dengan
penambahan 12,5% (v/v); 15% (v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri Bacillus cereus, tiga
bioreaktor dengan penambahan 12,5% (v/v); 15% (v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri
Pseudomonas putida serta tiga bioreaktor dengan penambahan 12,5% (v/v); 15%
(v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri Rhodococcus erythropolis. Bioreaktor diagitasi dan
diaerasi selama proses bioremediasi berlangsung. Pada hari ke-56, total degradasi
terbaik pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Pseudomonas putida yang
menghasilkan 97.5% total degradasi dimana kadar akhir BTX diperoleh 6.4338
μg/g.
Kata kunci: biodegradasi, BTX, slurry bioreactor, bakteri aerob
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
iv
BIOREMEDIATION OF BENZENE, TOLUENE AND XYLENE
(BTX) FROM PETROLEUM CONTAMINATED BY AEROBIC
BACTERIA AT SLURRY PHASE IN BIOREACTOR
ABSTRACT
Land contamination by petroleum exploration, production and discharge of
waste into the environment causing serious damage to the ecosystem of the
environment, human and animal. Biodegradation (bioremediation) processes have
difficulty focused on the complexity of the hydrocarbons that was adsorbed by
the soil. Various methods have been applied to recovery the petroleum
contaminated soil. A method that was developed in bioremediation of petroleumcontaminated soil in addition to in-situ bioremediation is the ex-situ
bioremediation with slurry phase bioreactor. The objective of this research is to
determine efficiency of bioremediation and bioremediation kinetics in
biodegradation process by aerobic bacteria. The bacteria are Bacillus cereus
Pseudomonas putida and Rhodococcus erythropolis.
Residues of petroleum hydrocarbon (BTX) were measured by gas
chromatography method. Process was identified in 56 days in 10 bioreactors. One
without addition of bacteria, three bioreactors with addition of 12.5% (v/v), 15%
(v/v) dan 17.5% (v/v) Bacillus cereus bacteria, three bioreactors with addition of
12.5% (v/v), 15% (v/v) and 17.5% (v/v) Pseudomonas putida bacteria and three
bioreactors with addition of 12.5% (v/v), 15% (v/v) and 17.5% (v/v) Rhodococcus
erythropolis bacteria. The bioreactors were agitated and aerated during
bioremediation process. After 56 days, the best result for total degradation of BTX
was in bioreactor with 17.5% Pseudomonas putida with 97.5% total degradation
and final result of BTX degradation was 6.4338μg/g.
Keywords: biodegradation, BTX, slurry bioreactor, aerobic bacteria
v
Halaman ini sengaja dikosongkan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
dan rahmat karunia-Nya sehingga laporan tesis ini dapat terselesaikan. Laporan
tesis yang berjudul “Bioremediasi Benzene, Toluene, Dan Xylene (BTX) dari
Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi oleh Bakteri Aerobik pada Fase Slurry
dalam Bioreaktor” merupakan syarat untuk menyelesaikan program magister
Teknik Kimia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Dalam kesempatan ini
saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1.
Bapak Juwari, S.T., M.T., M.Eng, selaku Kepala Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
2.
Bapak Dr. Tantular Nurtono, ST. M.Eng selaku Koordinator Pascasarjana
Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya
3.
Ibu Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti selaku Kepala Laboratorium Pengolahan
Limbah Industri dan dosen pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan dan saran serta support dan motivasi selama pengerjaan tesis ini.
4.
Bapak Prof. Dr. Ir. Arief Widjaja, M.Eng, Bapak Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja,
M.Eng, dan Bapak Dr. Ir. Susianto, DEA selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan selama pengerjaan laporan ini.
5.
Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknik Kimia yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis.
6.
Orang tua (Bapak Bernardus Wato Ole dan Mama Cornelia Wasti Tamo Ina)
serta saudara (Rinus & Talis) dan saudari (Nasti, Imel, Rima, Helena dan
Yuni) atas doa, perhatian, serta kasih sayang yang selalu tercurah selama ini.
7.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai lembaga pemberi
beasiswa yang telah memberikan dukungan secara materil dan non materil.
8.
Keluarga Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, temanteman di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri (Bos Abu, Bos Ramli,
Mbak Ira, Hamidah, Hilal, Fanny, Anissa, Dalyla, Tunny, Tika, Dwi, Dessy,
Vivi, Bulloh, Adi, Yumna, Didit, Reynad, Rilya, Nora, April, Luqman, Rifki,
vii
Hudha, Ibnu, John dan Sandrian), Kepompong (Maria, Helda, Cucuk), Mba
Ernia, Mba Fitri, Mbak Puspita, dan Siblings from another parents (Delftya
dan Imam).
9.
Teman-teman alumni SDK St. Arnoldus Penfui 1997, SMPN 2 Bajawa 2003,
SMAK Syuradikara 2006 dan Teknik Kimia ITN Malang 2009 atas doa dan
dukungan selama proses kuliah dan penyelesaian tesis ini.
10. Maximilianus H. Nanga, teman spesial, yang selalu mendengarkan dan
memerikan masukan dalam setiap masalah, serta teman-teman diskusi yang
dengan ide cemerlangnya memperkenalkan saya pada dunia baru (Bonjo, Joe,
Fr. Ageng).
11. Sahabat-sahabat yang lain tidak bisa disebutkan satu-persatu di sini, terima
kasih atas support dan doa saat suka dan duka.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penelitian
dan mutu penulisan selanjutnya. Terimakasih.
Surabaya, 27 Januari 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan ........................................................................................ i
Abstrak ............................................................................................................ iii
Abstract ........................................................................................................... v
Kata Pengantar ................................................................................................ vii
Daftar Isi........................................................................................................... ix
Daftar Tabel ..................................................................................................... xiii
Daftar Gambar .................................................................................................. xv
Daftar Notasi .................................................................................................... xvii
Bab 1. Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3.Tujuan ................................................................................................ 6
1.4.Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
Bab 2. Kajian Pustaka ...................................................................................... 9
2.1.Hidrokarbon ........................................................................................ 9
2.2.Biodegradasi dan Bioremediasi .......................................................... 11
2.3.Mikroba Pendegradasi......................................................................... 15
2.4.Pengaruh Struktur Kimia Hidrokarbon Terhadap Biodegradasi ......... 18
2.5.Benzene, Toluene, dan Xilene (BTX) .................................................. 19
2.6.Slurry Bioreactor ................................................................................ 21
2.7.Baku Mutu Pengolahan Minyak Bumi ................................................ 24
2.8.Parameter Kinetika Mikroba ............................................................... 25
ix
2.8.1. Kinetika Kultur Batch ................................................................. 26
2.8.2. Substrate-Limited Growth ........................................................... 27
2.9.Penelitian Terdahulu .............................................................................. 29
Bab 3. Metode Penelitian ................................................................................... 33
3.1. Rancangan Penelitian ........................................................................... 33
3.2. Variabel Penelitian .............................................................................. 33
3.2.1. Kondisi Operasi .......................................................................... 33
3.2.2. Variabel Percobaan..................................................................... 33
3.3. Bahan, Alat dan Skema Alat Penelitian ............................................... 34
3.3.1. Bahan Penelitian ......................................................................... 34
3.3.2. Alat Penelitian ............................................................................ 34
3.3.3. Skema Alat Penelitian ................................................................ 34
3.4. Diagram Alir Penelitian........................................................................ 35
3.5. Tahapan Penelitian ............................................................................... 35
3.5.1. Preparasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi .......................... 35
3.5.2. Biodegradasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi ................... 36
3.5.3. Pengambilan Sampel .................................................................. 36
3.5.4. Prosedur Analisa......................................................................... 37
Bab 4. Hasil dan Pembahasan ............................................................................ 41
4.1. Kondisi Awal Tanah Tercemar Minyak Bumi ..................................... 41
4.2. Pengaruh bakteri indigenous dan eksogenous terhadap penurunan
konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) ................................ 42
4.3. Pengaruh waktu reaksi terhadap penurunan konsentrasi Benzene,
Toluene dan Xylene (BTX) ................................................................... 45
x
4.4. Pengaruh konsentrasi bakteri terhadap penurunan konsentrasi
Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) ....................................................47
4.5. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Bacillus
cereus pada Masing-Masing Bioreaktor ...............................................51
4.6. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri
Pseudomonas putida pada Masing-Masing Bioreaktor .......................54
4.7. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri
Rhodococcus erythropolis pada Masing-Masing Bioreaktor ...............56
4.8. Perhitungan Konstanta Laju Kematian(Kd) ..........................................57
Bab 5. Kesimpulan dan Saran .............................................................................61
5.1. Kesimpulan ...........................................................................................61
5.2. Saran .....................................................................................................62
Daftar Pustaka .....................................................................................................63
Appendiks A .......................................................................................................67
Appendiks B ........................................................................................................73
xi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kondisi optimal pertumbuhan mikroba dan biodegradasi
hidrokarbon...................................................................................... 13
Tabel 2.2. Perkembangan metode yang diaplikasikan pada proses
bioremediasi .................................................................................... 15
Tabel 2.3. Beberapa mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon .................... 18
Tabel 2.4. Hubungan struktur kimia hidrokarbon dan kemempuan
terbiodegradasi................................................................................. 18
Tabel 2.5. Sifat kimia dan Fisika BTX ............................................................. 19
Tabel 2.6. Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi........ 24
Tabel 4.1. Karakteristik Tanah di Lokasi Pengeboran Minyak ........................ 41
Tabel 4.2. Degradasi BTX pada Bioreaktor Setiap 14 Hari ............................. 43
Tabel 4.3. Hasil Perhitungan Konstanta Laju Kematian (kd) ........................... 59
xiii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Struktur molekular hidrokarbon ................................................ 9
Gambar 2.2. Reaksi degradasi hidrokarbon alifatik ........................................ 17
Gambar 2.3. Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik ..................................... 17
Gambar 2.4. Bakteri Bacillus cereus ............................................................... 20
Gambar 2.5. Bakteri Pseudomonas putida ...................................................... 20
Gambar 2.6. Bakteri Rhodococcus erythropolis .............................................. 21
Gambar 2.7. Plot Grafik Persamaan Henri untuk Kinetika Michaelis-Menten
pada Reaktor Batch .................................................................... 24
Gambar 2.8. Tipikal kurva pertumbuhan untuk populasi bakteri .................... 25
Gambar 2.9. Dependence of The Spesific Growth Rate in The Concentration
of The Growth Limiting Nutrient ................................................ 28
Gambar 3.1. Rangkaian alat slurry bioreactor ................................................ 34
Gambar 3.2. Alur rancangan penelitian secara umum ..................................... 35
Gambar 3.3. Haemmocytometer ...................................................................... 37
Gambar 4.1. Tanah Tercemar Minyak Bumi di Lokasi Pengeboran PPEJ ..... 41
Gambar 4.2. Grafik Degradasi BTX oleh indigenous bacteria ....................... 42
Gambar 4.3. Grafik degradasi (a) benzene, (b) toluene dan (c) toluene untuk
penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas
putida dan Rhodococcuc erythropolis ........................................ 44
Gambar 4.4. Hubungan antara % Degradasi dan Waktu ................................ 46
Gambar 4.5. Hubungan antara Kadar BTX dan Populasi Bakteri dengan
Waktu Degradasi pada Penambahan Bakteri (a) Bacillus
cereus, (b) Pseudomonas putida dan (c) Rhodococcus
erythropolis ................................................................................ 47
Gambar 4.6. Grafik hasil degradasi BTX pada penambahan 17.5% bakteri
Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus
erythropolis ................................................................................ 49
xv
Gambar 4.7. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor
dengan Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5%
Bacillus cereus .......................................................................... 52
Gambar 4.8. Hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi Bakteri
Bacillus cereus .......................................................................... 53
Gambar 4.9. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor
dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5%
Pseudomonas putida ................................................................. 54
Gambar 4.10. Hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi Bakteri
Pseudomonas putida ................................................................. 55
Gambar 4.11. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor
dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5%
Rhodococcus erythropolis ......................................................... 56
Gambar 4.12. Hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi Bakteri
Rhodococcus erythropolis ......................................................... 57
Gambar 4.13. Grafik perhitungan slope untuk Menentukan Nilai kd (a)
Bakteri B. cereus, (b) Bakteri P.putida dan (c) bakteri R.
erythropolis ............................................................................... 58
xvi
DAFTAR NOTASI
a
= surface area per unit volume
mL-1
D
= dilution rate
hari-1
F
= laju alir
liter/jam
kd
= konstanta laju kematian
hari-1
Km
= konstanta Michaelis-Menten
mg/hari
KS
= konstanta Monod
mg/hari
ko
= konstanta laju pertumbuhan maksimum
hari-1
Qo
= laju alir influent
liter/jam
rfb
= laju pembentukan biomass
mg/L.hari
rfi
= laju pembentukan produk
mg/L.hari
rfs
= laju pembentukan substrat
mg/L.hari
S
= konsentrasi substrat
mg/L
Si
= konsentrasi masuk
mg/L
So
= konsentrasi keluar
mg/L
So
= konsentrasi substrat mula-mula
mg/L
t
= waktu
hari
VR
= volume kultur
liter
X
= konsentrasi biomassa
mg/L
Xo
= konsentrasi umpan solid
mg/L
Y
= growth yield
mg biomass/mg substrat
μ
= laju pertumbuhan spesifik mikroba
hari-1
μmax
= laju pertumbuhan max. spesifik mikroba
hari-1
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkembangan pesat ekonomi dunia mengakibatkan kebutuhan manusia akan
energi semakin meningkat. Setiap negara mempercepat eksploitasi dan
penggunaan sumber daya minyak dan gas, menyebabkan semakin banyak sumur
minyak dan gas muncul di dunia. Selama proses eksplorasi, eksploitasi, produksi,
transportasi, penyimpanan dan proses pemurnian, oil-well blowing, kebocoran dan
seterusnya akan membawa dampak kontaminasi pada tanah. Residu yang
diperoleh dalam proses pengolahan minyak bumi telah meningkatkan perhatian
beberapa tahun terakhir. Residu tersebut mengandung hidrokarbon minyak bumi
dalam konsentrasi tinggi dan komponen rekalsitran lainnya. Permintaan global
akan minyak bumi dan produk-produknya telah berkontribusi terhadap efek yang
merugikan pada lingkungan ekosistem. Dan masalah umum baru serta pada
jangka panjang menyebabkan kerusakan pada ekosistem air, tanah kesehatan
manusia dan sumber daya alam serta lingkungan lainnya. Pencemaran ini,
meskipun
dengan
konsentrasi
hidrokarbon
yang
rendah
akan
sangat
mempengaruhi bau dan rasa air tanah.
Dikatakan bahwa setiap kali ladang minyak beroperasi, jumlah minyak yang
tersisa di ladang minyak beberapa dekade menjadi beberapa ratus kilogram. Area
terkontaminasi pada sumur pengeboran minyak bumi mencapai 0,5-2,1 m2 (Chunrong dkk, 2013). Minyak bumi yang sebagian besar terdiri dari hidrokarbon,
molekul organik, dapat mematikan dalam konteks ekologi jika dilepas atau
dibuang ke lingkungan. Hal ini secara fisika, kimiawi dan biologis sangat
berbahaya untuk tanah karena keberadaan senyawa beracun, seperti polisiklik
hidrokarbon aromatik, benzen dan substitusi cincin sikloalkana dalam konsentrasi
yang relatif tinggi.
1
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi terbesar (urutan
ke-8) dengan produksi 1,27 juta barrel per hari pada tahun 2003. Kini produksi
minyak mentah di Indonesia semakin menurun di kisaran 900 ribu barrel per hari.
Dari angka tersebut, diperkirakan akan menimbulkan 150.000 ton limbah per
tahun, dimana 37.000 ton di antaranya diperkirakan merupakan limbah B3.
(Santosa, 2004 dalam Nugoho, 2006). Jumlah tanah yang terkontaminasi minyak
bumi yang dihasilkan dalam proses produksi minyak telah meningkat ribuan ton
setiap tahun di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi
pencemaran lingkungan dengan perbaikan pada stem pengeboran, pengolahan,
penyaluran minyak bumi dan pengolahan limbah.
Proses remediasi mengarah pada proses removal hidrokarbon minyak bumi
dari lingkungan yang melibatkan tiga metode, yaitu fisika, kimia dan biologi.
Metode fisika dan kimia secara luas digunakan untuk clean up. Namun metode
fisika-kimia memiliki keterbatasan, yaitu mahal untuk diterapkan pada skala
besar, tidak ramah lingkungan, teknologinya kompleks dan menyebabkan
kerusakan tekstur dan karakteristik tanah. Metode fisika-kimia hanya dapat
dilakukan jika tumpahan minyak belum menyebar kemana-mana. Penanganan
secara biologi merupakan salah satu alternatif dalam upaya mendegradasi
kandungan minyak bumi di lingkungan. Karena keterbatasan teknologi kimiafisika di atas, maka penanganan secara biologi dengan metode bioremediasi
(biodegradasi) adalah alternatif dan atau suplemen untuk metode ini. Ini karena
biayanya efektif, ramah lingkungan, sederhana dalam teknologi dan konservasi
dari tekstur dan karakteristik tanah. Bioremediasi secara ekonomis dan lingkungan
sangat atraktif memberikan solusi untuk memulihkan lokasi tersebut.
Polutan hidrokarbon di tanah yang terkontaminasi dapat berpotensi
terdegradasi oleh aktivitas mikroba. Potensi mikroba sebagai agen degradasi
beberapa senyawa dapat menunjukkan bahwa pengolahan secara biologis sebagai
alternatif utama yang menjanjikan untuk mengurangi dampak lingkungan yang
disebabkan oleh polutan. Breakdown mikroba polutan hidrokarbon umumnya
merupakan proses yang sangat lambat tetapi dapat dioptimalkan untuk
memungkinkan tingkat transformasi mikroba lanjut menjadi lebih cepat.
2
Pentingnya mikroorganisme dalam dekomposisi residu organik alami dalam
ekosistem tanah, sedimen dan air sudah sejak lama diakui. Transformasi mikroba
dan kontaminan organik bisa terjadi karena organisme dapat menggunakan
kontaminan tersebut untuk kebutuhan energi sendiri, pertumbuhan dan reproduksi.
Kemampuan mikroorganisme tertentu untuk mendegradasi minyak bumi
tampaknya menjadi proses adaptif dan diatur oleh kondisi lingkungan.
Keberadaan minyak bumi mungkin juga mempengaruhi komunitas mikroba
melalui seleksi dari spesies.
Degradasi hidrokarbon oleh komunitas mikroba tergantung pada komposisi
dari komunitas dan responnya terhadap kehadiran hidrokarbon. Bakteri dan jamur
adalah agen-agen kunci degradasi, dimana bakteri diasumsikan dominan berperan
pada ekosistem air laut, sedangkan jamur pada ekosistem darat dan air tawar.
Komunitas bakteri mengalami adaptasi, dimana bakteri yang sebelumnya terkena
hidrokarbon akan menunjukkan laju biodegradasi yang lebih tinggi daripada
komunitas tanpa kontaminasi hidrokarbon. Mikroorganisme ini akan mati seiring
dengan habisnya minyak mentah. Biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dalam
lingkungan adalah proses kompleks, yang aspek kualitatif dan kuantitatif
bergantung pada sifat dari sejumlah besar minyak bumi atau hidrokarbon yang
ada, kondisi ambient, lingkungan dan komposisi dari autochthonous microbial
community.
Dalam proses biodegradasi minyak bumi, penggunaan mikroorganisme harus
disesuaikan dengan isolat bakterinya, dengan modifikasi faktor mikro lingkungan
untuk pertumbuhan mikroba, yang berdampak pada proses bioremediasi yang
berlangsung dengan cepat. Untuk penyebaran dan kelangsungan hidup di
lingkungan, mikroba bergantung pada nutrisi, pH, temperatur untuk produksi
mikrobial indigenus dan ekskresi eksoenzim untuk memecah hidrokarbon dan
produk mereka. Aktifitas mikroorganisme dalam merombak hidrokarbon ini
sangat ditunjang oleh transfer massa oksigen di dalam bakteri yang menyebabkan
kerja bakteri optimal, di samping keberadaan nutrien bagi bakteri tersebut.
Berdasrkan
tempat
berlangsungnya,
bioremediasi
dapat
diaplikasikan
langsung (in situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba remediator yang
3
digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya secara alamiah (natural
attenuation) dan proses biodegradasi bahan pencemar berlangsung sangat lambat.
Teknik bioremediasi dapat pula dilaksanakan di luar lingkungan tercemar (ex
situ), yaitu dengan membawa tanah yang terkontaminasi tersebut ke lokasi
pengolahan yang telah ditetapkan. Pengolahan secara ex situ dan in situ sebagian
besar diterapkan ketika konsentrasi pencemarnya tinggi dan rekalsitran. Jika
permeabilitas tanah rendah, dan/atau bahan organik tinggi, kondisi iklim akan
menghambat perlakuan in situ sehingga teknologi ex situ lebih disukai.
Pengembangan metode ex situ dengan slurry bioreactor berhasil diterapkan
oleh Ayotamuno dkk (2007) pada degradasi lumpur minyak. Remediasi bioslurry
dilakukan melalui penambahan extraneous microbes serta regular mixing and
watering menghasilkan reduksi TPH dalam lumpur mencapai 40,7% - 53,2% pada
2 minggu pertama perlakuan dan 63,7% - 84,5% setelah 6 minggu.
Dalam penelitian yang dilakukan Thavasi R dkk (2011) dengan menggunakan
tiga jenis bakteri yaitu Bacillus meganterium, Corynebacterium kutscheri dan
Pseudomonas aeruginosa dalam upaya mendegradasi crude oil dengan
penambahan biosurfaktan dan fertilizer. Fertilizer yang digunakan adalah urea
dan K2HPO4 dengan perbandingan berat 1:1. Biosurfaktan yang digunakan berasal
dari bakteri yang dipakai, sedangkan mineral yang dipakai sebagai media adalah
K2HPO4, MgSO4 7H2O, FeSO4 7H2O, CaCl22H2O, Na2MoO4 2H2O, dan NaCl.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah maksimum degradasi terjadi
dengan menggunakan bakteri P. aeruginosa dengan persen degradasi 89% pada
penambahan 0,1% biosurfaktan.
El-Naas dkk, pada 2014 melakukan review terhadap perkembangan dan
prospek biodegradasi BTEX secara aerobik, dengan menggunakan beberapa jenis
bakteri. Penguraian BTEX dengan free Pseudomonas sp., Yarroia sp.,
Acinetobacter sp., Corynebacterium sp., dan Spingomonas sp. pada proses batch
dengan konsentrasi 15 dan 75 mg/L BTEX. Efisiensi penguraian paling baik
adalah 97% benzene, 93% toluene, 90% ethylbenzene dan 98% xylene pada
kondisi pH 7 dan temperatur 28 – 30oC serta membutuhkan waktu tinggal selama
50 jam. Penguraian dengan bakteri Bacillus sphaericus, dengan konsentrasi
4
pencemar 0,0970; 0,0978; 0,0971 dan 0,0968 mL/L BTEX pada proses kontinyu
menggunakan bench scale corn cob-based biofilter column memberikan lebih dari
98% penguraian pada suhu 30 ± 2oC.
Bambang Yudono pada tahun 2009 melakukan riset mengenai kinetika dari
bakteri Bacillus myciodes yang diisolasi dan kemudian digunakan pada prosses
biodegradasi ex situ. Degradasi dilakukan dengan 10% (v:w) bakteri dimasukkan
ke dalam bioreaktor kemudian diinkubasi selama 14 hari. Hasil yang diperoleh
adalah konsentrasi total petroleum hydrocarbon (TPH) akan menurun dengan
konstanta reaksi 0,0361/hari dan model kinetika bioremediasi y = -0,0362x +
2,2448. Pada 1996, Kelly dkk. menemukan bahwa dengan mengacu pada
persamaan Monod, untuk sistem batch, di bawah kondisi oxic, konstanta laju
biodegradasi (k1) untuk benzen adalah 1,32 mmol/L.jam, 1,42 mmol/L.jam untuk
toluene dan 0,833 mmol/L.jam untuk xylene. Abbasi & Shquirat (2008)
menggunakan bakteri indigenous Stenotophomonas multophilia dalam reaktor
teraerasi untuk merombak tanah tercemar minyak bumi, menemukan bahwa
konstanta kinetika orde pertama bervariasi, antara 0,041/hari dan 0,0071/hari
(pada reaktor yang berbeda).
Tuhuloula dan Juliastuti pada 2011 melakukan bioremediasi terhadap lahan
terkontaminasi minyak bumi dengan bakteri Bacillus cereus dengan konsentrasi
5%, 10% dan 15% (v/v) pada slurry bioreactor. Pada awal perlakuan, konsentrasi
BTEX secara berturut-turut adalah 35,28%; 42,25%; 9,57% dan 12,9%. Pada
akhir proses degradasi, dilakukan analisa kadar BTEX dan diperoleh persen
biodegradasi BTEX berturut-turut untuk konsentrasi bakteri 5% adalah 98,09%;
49,56%; 84,15% dan xylene 96,14%. Kemudian untuk konsentrasi bakteri 10%,
secara berturut-turut persen degradasi BTEX adalah 98,29%; -%; 92,79% dan
96,22%. Sedangkan untuk kaonsentrasi bakteri 15%, persen degradasi BTEX
adalah 98,51%; -%; -% dan 96,34%. Dari penelitian tersebut maka direncanakan
penelitian berikutnya hanya memperhatikan penurunan konsentrasi benzene,
toluene dan xylene (BTX) saja, mengingat konsentrasi etilbenzen dalam tanah
sebelum proses degradasi sudah sangat kecil dan setelah hari ke 49 sudah tidak
dapat terbaca konsentrasinya lagi.
5
Dalam upaya mecegah pencemaran minyak bumi pada tanah dalam
konsentrasi rendah maupun tinggi, maka diperlukan suatu metode yang efektif,
efisien, dan ekonomis dalam mengolah polutan dan tidak merusak lingkungan.
Dengan pengembangan proses secara biologis, degradasi kontaminan minyak
bumi di tanah oleh mikroorganisme aerobik Bacillus cereus, Pesudomonas putida
dan Rhodococcus erythropolis pada lingkungan yang tercemar perlu dipahami
efektivitas bakteri murni dalam mendegradasi limbah minyak bumi agar lebih
efisien.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana efisiensi biodegradasi sebagai fungsi konsentrasi minyak (hingga
jenuh) dengan parameter pengukuran: konsentrasi BTX dan populasi bakteri
pada pengolahan tanah yang terkontaminasi secara ex situ?
2.
Bagaimana kinetika biodegradasi (specific growth rate, konstantaMichaelisMenten dan Yield) pada pengolahan tanah yang tercemar minyak bumi oleh
bakteri aerobik?
1.3.
1.
Tujuan
Menentukan efisiensi biodegradasi sebagai fungsi konsentrasi minyak (hingga
jenuh) dengan parameter pengukuran: konsentrasi BTX, populasi bakteri
(Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis pada
pengolahan tanah yang terkontaminasi secara ex situ.
2.
Menentukan kinetika biodegradasi (specific growth rate, konstantaMichaelisMenten dan Yield) dalam proses pengolahan tanah yang tercemar minyak
bumi oleh bakteri aerobik.
1.4.
Manfat Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
1. Mengurangi jumlah limbah hidrokarbon akibat kebocoran dalam proses
pengeboran, pipanisasi, tangki penyimpnan bawah tanah, rembesan alam
dan tumpahan minyak yang terdampar dengan menggunakan metode
biologi.
6
2. Mendapatkan informasi tentang pemanfaatan bakteri Bacillus cereus,
Pseudomonas putida, dan Rhodococcus erythropolis dalam proses
biodegradasi baik untuk masing-masing bakteri atau jika dikombinasikan.
3. Mengetahui kinetika reaksi penguraian BTX oleh bakteri.
7
Halaman ini sengaja dikosongkan
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hidrokarbon
Hidrokarbon merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan
hydrogen (Desai & Vyas, 2006). Hidrokarbon terjadi secara alami, senyawa
organik yang mudah terbakar dalam minyak mentah ditemukan dalam formasi
geologis di bawah permukaan bumi. Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak
mentah dikategorikan dalam komposisi molekuler sebagai alkana, naphthenes,
aromatik dan alkena yang memiliki struktur molekul yang berbeda dan dapat
dilihat pada gambar 2.1 (Scholz dkk, 1999).
H
H
H
H
H
C
C
C
C
H
H
H
H
C
H
CH2
CH3
Alkena, CnH(2n-2)
Alkana, CnH(2n+2)
H2
C
H
H2C
H2C
C
H2C
H
H
CH2
H
CH2
C
C
C
C
C
C
H
H
H
Napthenes, CnH2n
Aromatik, 6 cincin karbon, CnHn
Gambar 2.1 Struktur molekular hidrokarbon
Senyawa hidrokarbon dapat digolongkan berdasarkan jenis ikatan antara atom
C dan atom H, yakni:
1) Hidrokarbon alifatik
Hidrokarbon alifatik, yaitu senyawa hidrokarbon dengan ikatan antara rantai C
dan H terbuka (tidak berbentuk cincin), sehingga dapat disebut hidrokarbon
rantai. Hidrokarbon rantai terdiri dari alkana, alkena dan alkuna. Hidrokarbon
alkana (paraffin) memiliki rumus kimia CnH2n+2. Hidrokarbon alkena (CnH2n)
biasa disebut olefin, memiliki satu atom karbon yang memiliki ikatan rangkap
pada rantainya, sedangkan alkuna (CnH2(n-1)) disebut asetilen memiliki ikatan
9
rangkap tiga pada rantai karbonnya. Senyawa alkana merupakan hidrokarbon
jenuh, sedangkan alkena dan alkuna merupakan hidrokarbon tak jenuh.
2) Hidrokarbon alisiklik
Hidrokarbon alisiklik merupakan senyawa dengan rumus CnH2n dengan ikatan
rantai C dan H yang tertutup (berbentuk cincin) sehingga bersifat lebih stabil.
3) Hidrokarbon aromatik
Hidrokarbon aromatik merupakan hidrokarbon dengan keberadaan yang lebih
sedikit dalam minyak bumi dibandingkan dengan paraffin. Contoh senyawa
aromatik yang paling sederhana adalah benzena yang terdiri dari 6 atom karbon
dengan ikatan rangkap di antara satu atom C dengan yang lainnya. (Nugroho
A, 2006).
Persentase komposisi utama minyak mentah adalah 80-89% karbon, 12-14%
hydrogen, 2-3% oksigen, 0-3% sulfur, dan 0,3-1% nitrogen. Selain itu minyak
mentah juga mengandung impurities Cl, Ni, Mo, Fe, Na dan unsur lain yang
bervariasi tergantung pada asal minyak mentah tersebut (Nugroho A, 2006).
Dengan adanya proses kimia dan fisika, minyak bumi mentah dapat diubah
menjadi berbagai produk. Jenis ikatan antara atom C dan H mempengaruhi produk
turunan minyak bumi. Produk-produk tersebut antara lain: (Nugroho A, 2006)
1) Gas, terdiri dari hidrokarbon C1 hingga C5 dari alkana rantai normal dan
bercabang.
2) Bensin, terdiri dari hidrokarbon C6 hingga C10 dari alkana rantai normal dan
bercabang serta sikloalkana dan alkil benzena.
3) Kerosin, terdiri dari hidrokarbon C11 hingga C12 dari alkana rantai normal dan
bercabang, sikloalkana, serta campuran aromat-sikloalkana.
4) Minyak diesel ringan, terdiri dari hidrokarbon C12 hingga C18 dari alkana
rantai normal,
sikloalkana, olefin, serta campuran aromatik dengan olefin
(stirena).
5) Minyak diesel berat dan minyak lumas ringan, terdiri dari hidrokarbon C18
hingga C25.
6) Pelumas, terdiri dari hidrokarbon C26 hingga C38 dari alkana rantai normal dan
bercabang.
10
7) Aspal, terdiri dari senyawa polisiklik berat.
2.2. Biodegradasi dan Bioremediasi
Biodegradasi merupakan proses penguraian oleh aktifitas mikroba, yang
mengakibatkan transformasi struktur suatu senyawa sehingga terjadi perubahan
integritas molekuler. Biodegradasi minyak bumi merupakan proses salami yang
melibatkan mikroba yang dapat mentransformasikan dan mendekomposisikan
hidrokarbon minyak bumi menjadi komponen-komponen lain yang lebih
sederhana (Nugroho A, 2006).
Bioremediasi adalah penggunaan organisme, khususnya mikroorganisme
untuk mendegradasi kontaminan yang ada di lingkungan menjadi bentuk yang
kurang berbahaya (less toxic). Dalam aplikasinya, proses bioremediasi
menggunakan bakteri dan jamur atau tanaman untuk mendegradasi atau
mendetoksifikasi substansi yang berbahaya, baik bagi kesehatan manusia dan/atau
lingkungan. Mikroorganisme dapat berasal langsung dari daerah yang
terkontaminasi, atau dapat pula diisolasi dari tempat lain kemudian diaplikasikan
ke daerah yang terkontaminasi (Vidali, 2001).
Laju degradasi mikroba terhadap minyak bumi bergantung pada beberapa
faktor, yaitu faktor fisik dan lingkungan, faktor konsentrasi dan perbandingan
berbagai struktur hidrokarbon yang ada serta faktor kemampuan mikroba
pendegradasi. (Nugroho A, 2006).
Gordon (1994) menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi
bioremediasi, yaitu mikroba, nutrient, dan faktor lingkungan. Ketiga faktor
tersebut diuraikan sebagai berikut: (Nugroho A, 2006).
a. Nutrisi
Nutrient yang dibutuhkan oleh mikroba bervariasi menurut jenis
mikrobanya, namun seluruh mikroba memerlukan nitrogen, fosfor dan
karbon. Selain itu, ada beberapa mineral yang dibutuhkan dalam jumlah
kecil, seperti potassium, mangan, kalsium, besi, tembaga, kobalt dan seng.
Pada struktur molekul minyak bumi, terdapat sejumlah karbon yang dapat
didekomposisi mikroba. Kandungna karbon akan berkurang karena
11
digunakan sebagai sumber energi mikroba, dimana rantai karbon
menghasilkan energi yang tinggi.
b. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju degradasi antara lain:
1. Oksigen
Biodegradasi didominasi oleh proses oksidasi. Enzim-enzim bakteri
akan mengkataliskan pemasukan oksigen ke dalam hidrokarbon
sehingga molekul dapat dikonsumsi untuk metabolisme sel. Oleh
sebab itu oksigen adalah kebutuhan terpenting dalam proses
biodegradasi minyak bumi. Secara perhitungan teori, dalam degradasi
aerobik, 3,5 gram minyak bumi dapat dioksidasi oleh 1 gram oksigen
yang ada dalam bioreaktor (Atlas dan Bartha, 1985). Kebutuhan
oksigen untuk mikroba aerobik diperoleh dari oksigen terlarut dimana
DO (dissolved oxygen) untuk mikroba aerobik adalah > 2 mgO2/L.
Sedangkan untuk proses anaerobik, kebutuhan oksigen diperoleh dari
oksigen yang terikat sebagai NO3 (Dou, 2008).
2. pH
untuk mendukung kebutuhan mikroba, pH tanah harus berada antara 68 dengan pH optimal 7. Nilai pH tanah asam dapat dinaikkan dengan
cara penambahan kapur dan pH tanah basa dapat diturunkan dengan
penambahan sulfur.
3. Temperatur
Pada temperatur rendah, pergerakan molekul cenderung lambat, dan
molekul-molekul yang menyatu cenderung tidak ikut bereaksi.
Peningkatan temperatur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
reaksi dan meningkatkan laju difusi. Aktivitas mikroba biasanya
mempunyai temperatur optimum antara 15-35oC.
4. Kelembapan
Air diperlukan untuk proses biodegradasi karena kebanyakan reaksi
enzim berlangsung pada fasa larutan.
12
5. Tekstur tanah
Tekstur
tanah
mempengaruhi
permeabilitas,
kelembapan
dan
kepadatan dari tanah. Untuk meyakinkan bahwa penambahan oksigen,
distribusi nutrient dan kelembapan tanah apat berlangsung dalam
rentang yang tepat, maka tekstur tanah harus diperhatikan. Misalnya,
tanah lempung sangat sulit diaerasi dan mengakibatkan rendahnya
oksigen. Selain itu, sulit untuk mendistribusikan nutrient secara
seragam dan menahan air untuk masuk ke dalam tanah (presipitasi)
Kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan mikroba dan
biodegradasi hidrokarbon diberikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kondisi optimal pertumbuhan mikroba dan biodegradasi
hidrokarbon
Parameter
Pertumbuhan Mikroba
Biodegradasi Hidrokarbon
kemampuan menahan air
25 – 28
40 – 80
pH
5,5 – 8,8
6,5 – 8
10%
10 – 40%
N dan P untuk pertumbuhan mikroba
100:10:1
15 – 45
20 – 30
kontaminan
tidak terlalu beracun
5 – 10% berat kering tanah
logam berat
2000 ppm
700 ppm
oksigen
nutrient (C:N:P)
o
temperatur ( C)
Vidali, “Bioremediation: An Overview “
c. Mikroba
Penambahan jumlah bakteri pada tumpahan minyak mempercepat proses
degradasi dari minyak bumi dan tempat yang paling baik untuk
menemukan mikroba pendegradasi minyak bumi adalah tumpahan minyak
itu sendiri.
Faktor-faktor pembatas ekologis bagi berlangsungnya proses bioremediasi
minyak bumi daapt dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (Nugroho A, 2006).
a. Faktor kimia
- Kurang tersedia suatu nutrient, dapat diatasi dengan penambahan
biosurfaktan.
13
- Tidak dijumpai senyawa penunjang pertumbuhan, dapat diatasi dengan
suplai ko-substrat.
- Tidak ada inductor enzim yang diperlukan, diatasi dengan pemberian
induktor untuk peningkatan metabolisme.
b. Faktor lingkungan
- Kondisi fisik yang ekstrim (pH, kelembapan, redoks potensial), dapat
diatasi dengan pengubahan kondisi lingkungan sehingga merangsang
aktivitas mikroba.
c. Faktor mikrobiologi
- Tidak ada populasi mikroba dapat diatasi dengan bioaugmentasi, yaitu
menginokulasi daerah tercemar dengan mikroorganisme perombak
polutan.
- Jumlah mikroba yang rendah, dapat diatasi dengan enrichment, yaitu
merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroba setempat yang dapat
merombak polutan, misalnya dengan penyuntikan nutrient ke daerah
tercemar.
Berdasarkan tempat berlangsungnya, teknik bioremediasi dapat diaplikasikan
langsung (in situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba remediator yang
digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya alamiah dan proses
biodegradasi bahan pencemar berlangsung sangat lambat.
Teknik bioremediasi juga dapat dilakukan di luar lingkungan yang tercemar
(ex situ), yaitu dengan membawa tanah yang terkontaminasi tersebut ke lokasi
pengolahan yang telah ditetapkan. Bioremediasi ex situ dibedakan menjadi
bioremediasi fase padat (solid phase bioremediation), bioremediasi fase cair
(liquid phase remediation), dan bioremediasi semi padat (slurry phase
remediation). Bioremediasi fase padat merupakan pengolahan untuk melenyapkan
bahan pencemar yang berupa limbah cair atau padat yang mencemari suatu areal
tanah. Bioremediasi fase cair dilakukan untuk menghilangkan bahan pencemar
yang mengkontaminasi daerah perairan. Bioremediasi fase semi padat dilakukan
dengan menggunakan bioreaktor, baik yang tertutup maupun yang terbuka. Bahan
pencemar yang diremediasi dengan teknik ini bisa dalam bentuk padat maupun
14
semi padat. Bioremediasi dengan cara ini dapat memungkinkan suplai oksigen,
nutrient, kelembapan, pH dan temperatur (Nugroho A, 2006). Perkembangan
metode yang dapat diaplikasikan pada proses bioremediasi dapat dilihat pada tabel
2.2.
Tabel 2.2 Perkembangan metode yang diaplikasikan pada proses bioremediasi
Teknik
in situ
ex situ
Jenis
biosaparging
manfaat
paling efisien dan noninvasive
bioventing
bioaugmentation
relatif pasif
Naturally
attenuated
process,
mengolah tanah dan air
murah, sederhana, self-heating
murah, laju reaksi cepat, selfheating
dapat dilakukan di tempat
kinetika
degradasi
cepat,
mengoptimalkan
parameter
lingkungan, meingkatkan transfer
massa dan eektif penggunaan
inokulan dan surfaktan
land farming
composting
Bioreaktor
Presispitasi/
flokulasi
mikrofiltrasi
elektrodialisis
biopiles
Slurry reactors
aqueous reactors
tidak diarahkan
secara
kompleksasi
reaksi fisika kimia
antara kontamiann
terlarut dan biaya
komponen selular
membrane
mikrofiltrasi
digunakan pada
tekanan konstan
menggunakan
pasangan
membrane kation
dan aion exchange
biaya efektif (hemat)
remove
terlarut
dengan
cepat
padatan
menahan suhu tinggi dan dapat
digunakan kembali
Aplikasi
kemempuan dari
mikroorganisme indigenous
untuk biodegradasi logam dan
senyawa anorganik
parameter lingkungan
biodegrability polutan
Distribusi polutan
Aplikasi permukaan, proses
aerobik,
aplikasi
bahan
organik untuk tanah alami
dengan irigasi
lebih cepat pengolahan dari
tanah
tercemar
dengan
biostimulation
dan
bioaugmentation, konsentrasi
beracun kontaminan, eksavasi
tanah relatif mahal dan
operasi relatif mahal
removal logam berat
Referensi
Sei et al
(2001),
Niu et al.
(2009)
AntizarLadislao et
al. (2008)
Behkis et al.
(2007)
Natrajan
(2008)
pengolahan
air
limbah,
pemulihan dan penggunaan
kembali lebih dari 90% air
limbah yang asli
efisienremoval
padatan
terlarut
N. Das “Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon Contaminants”
2.3. Mikroba Pendegradasi
Suthersan (1999), mengatakan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon ada
di maan-mana di alam akan tetapi dapat ditemukan pada jumlah relatif tinggi di
dalam lokasi terkontaminasi minyak bumi. Mikroorganisme dapat diisolasi dari
hamper semua kondisi lingkungan. Syarat utama adalah adanya sumber energi dan
sumber karbon. Karena adanya adaptasi dari mikroba dan sistem biologis lainnya,
maka mikroba dapat digunakan untuk mendegradasi atau memulihkan lingkungan
yang berbahaya. Mikroorganisme ini dapat dibagi ke dalam grup sebagai berikut:
15
a. Aerobik
Bakteri aerobik yang mampu mendegradasi adalah pseudomonas,
alcaligenes, sphigomonas, rhodococcus dan mycobacterium. Mikroba ini
mampu mendegradasi hidrokarbon dan pestisida, yang merupakan
senyawa alkana dan poliaromatik. Kebanyakan bakteri ini menggunakan
kontaminan sebagai saru-satunya sumber karbon dan energi.
b. Anaerobik
Bakteri anaerobik jarang digunakan seperti bakteri aerobik. Bakteri
anaerobik dapat digunakan untuk bioremediasi polychlorinated biphenyls
(PCBs) dalam sedimen sungai, deklorinasi dari pelarut trichloroethane
(TCE) dan kloroform.
c. Psychrophiles
Organisme ini memiliki temperatur yang optimal 15 ± 5oC dan temperatur
minimum 0oC atau di bawah. Dapat tumbuh pada 0oC dan akan mati pada
suhu kamar.
d. Mesophiles
Organisme ini memiliki temperatur optimal antara 25 – 40oC. Sebagian
besar
mikroorganisme
penghuni
subsurface
adalah
mesophiles.
Mikroorganisme ini efektif dalam proses bioremediasi pada rentang
temperatur 10 – 40oC
e. Thermophiles
Organisme ini memiliki temperatur optimal >45oC.
Degradasi senyawa alifatik (paraffin) melalui oksidasi pada gugus metal
terminal membentuk alkohol primer dengan bantuan enzim oksigenase. Alkohol
akan dioksidasi lebih lanjut menjadi aldehida, kemudian asam organik, dan
akhirnya menghasilkan asam lemak dan asetil koenzim-A. Senyawa antara (asetil
ko-A) akan masuk ke siklus Krebs, dan rantai karbon akan berkurang dari Cn
menjadi Cn-2 dan terus berlanjut hingga semua molekul hidrokarbon teroksidasi.
(Atlas & Bartha, 1998)
Senyawa aromatik banyak digunakan sebagai donor elektron secara aerobik
oleh mikroorganisme seperti bakteri dari genus Pseudomonas. Metabolisme
16
senyawa ini oleh bakteri diawali pembentukan katekoll atau protokatekuat.
Senyawa tersebut selanjutnya didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke
dalam siklus Krebs, yaitu asam suksinat, asetil ko-A dan asam piruvat.
Gambar 2.2 Reaksi degradasi hirokarbon alifatik
Gambar 2.3 Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik
17
Rincian bakteri yang mampu merombak rantai hidrokarbon dapat dilihat pada
tabel 2.3:
Tabel 2.3 Beberapa mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon
Komponen minyak mentah
Saturates
Monocyclic aromatic hydrocarbon
Polycyclic aromatic hydrocarbon
Resin
Desai
&
Vyas,
Applied
Mikroorganisme
Arthrobacter sp., Acinetobacter sp., Candida sp.,
Rhodococcus sp., Streptomyces sp., Bacillus sp.,
Aspergillus japonicas
Pseudomonas sp., Bacillus sp., B. stereothermophilus,
Vibrio sp., Nocardia sp., Corynebacterium sp.,
Achromobacter sp.
Arthrobacter sp., Bacillus sp., Burkholderia cepacia.,
Pseudomonas sp., Mycobacterum sp., Xanthomonas sp.,
Phanerochaete
chrysosporium,
Anabaena
sp.,
Alcaligenes.
Pseudomonas
sp.,
members
of
Vibrionaceae,
Enterobacteriaceae, Moraxella
Microbiology.
Petroleum
and
Hydrocarbon
Microbiology”
2.4. Pengaruh Struktur Kimia Hidrokarbon Terhadap Biodegradasi
Van Hamme dkk (2003) mengemukakan kemampuan degradasi oleh mikroba
terhadap jenis-jenis produk hidrokarbon, dengan urutan sampai yang tersulit
didegradasi, yaitu: n-alkana > alkana bercabang > alkena bercabang > n-alkil
aromatik yang mempunyai berat molekul rendah > monoaromatik > siklik alkana
> polinuklear aromatik > senyawa asfaltik. Tabel 2.4 menunjukkan hubungan
struktur kimia dan kemampuan terbiodegradasnya.
Tabel 2.4 Hubungan struktur kimia hidrokarbon dan kemempuan terbiodegradasi
kemampuan
terbiodegradasi
Mudah terdegradasi
sulit terdegradasi
konstituen
n-butana, I-pentana, n-oktana, nonana
metal butana, dimetilpentana, metiloktana
benzene, toluene, etil benzen, xylene
propil benzen
decana
dodecana
tridecana
tetradecana
naphtalen
flourantenes
pyrenes
acnapthenes
(sumber: EPA, 2009)
18
produk pada
konstituen
bensin, diesel
bensin
bensin
diesel, kerosin
diesel
kerosin
heating fuels
minyak pelumas
diesel
kerosin
heating oil
minyak pelumas
2.5. Benzena, Toluena dan Xilene (BTX)
Monoaromatik hidrokarbon, terdiri atas benzen, toluene, etil benzen dan tiga
isomer xilene, sehingga dapat disingkat menjadi BTEX. BTEX memasuki
lingkungan terutama melalui proses yang terkait dengan bensin dan minyak bumi
kebocoran tangki penyimpanan minyak bawah tanah dan tumpahan minyak di
sumur tetapi juga dari dari limbah industri, pemrosesan kayu, dan pabrik pestisida,
detergent, pabrik kimia, cat dan varnish. BTEX bersifat
mudah larut dan
merupakan zat beracun yang mudah menguap (Andreoni, 2007).
BTEX dapat menjadi polutan bagi air, tanah dan udara. Keberadan BTEX
akan memberikan dampak serius bagi air dan tanah karena sifatnya yang beracun
dan mudah larut dalam air.
Tabel 2.5. Sifat kimia dan Fisika BTX
BTEX sangat rentan terhadap serangan mikroba sehingga dapat didegradasi,
pada kondisi aerobik. Toluene merupakan senyawa yang paling mudah
didegradasi, dibandingkan dengan lima senyawa lainnya. Proses degradasi
membutuhkan dissolved oxygen (DO) untuk mengaktifkan ring dan merombak
cincin aromatik serta menjadi aseptor elektron bagi reaksi degradasi lengkap oleh
bakteri, jamur, maupun alga. Suatu senyawa aromatik hanya dapat dianggap
terdegradasi sempurna apabila cincin aromatiknya telah pecah. (El-Naas, 2014).
19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Deeb dkk (1999) menggunakan
konsorsium bakteri dan R. rhodochorus, memberikan hasil bahwa laju degradasi
benzene dan toluene akan meningkat jika di dalamnya terdapat o-xylene. Selain
itu, keberadaan toluene, bezene dan etil benzene akan menghambat degradasi
xilene. Etilbenzene menjadi penghambat dalam degradasi BTEX dan BTX
memberikan efek hambatan bagi degradasi etilbenzen. (El-Naas, 2014).
Bakteri yang berperan dalam proses degradasi BTEX antara lain:
a. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerobik dengan
sel berbentuk batang dan bersifat facultative aerobic serta dapat membentuk
spora. Bakteri ini dapat dibedakan dari spesies bacillus lainnya berdasarkan
posisi serta tes biokimia. Bakteri ini tumbuh optimal pada range suhu 28 –
35oC dan pH antara 4,9 – 9,3. (Wong, 2009)
Gambar 2.4. Bakteri Bacillus cereus
b. Pseudomonas putida
Pseudomonas putida merupakan bakteri aerobik gram negatif yang berbentuk
batang berukuran 2 – 4 μm dan memiliki flagel. Bakteri ini hidup pada pH
normal (±7) dan temperatur 25 – 30oC. (Elomari, 1997).
Gambar 2.5. Pseudomonas putida
20
c. Rhodococcus erythropolis
Merupakan bakteri aerobik dan tidak berspora serta termasuk dalam grup
actinomycetes. Secara taksonomi, baktei ini dekat hubungannya dengan
Nocardia dan Mycobacterium. Bakteri ini dapat hidup pada kondisi suhu 26
– 37oC dan pada pH normal. (Bicca dkk, 1999)
Gambar 2.6. Rhodococcus erythropolis
2.6. Slurry Bioreactor
Slurry reactor (suspended fine solid) merupakan reaktor yang berisi larutan
dengan padatan yang tersuspensi dengan viskositas ± 12 cp pada suhu ruangan
dengan konsentrasi solid 10% - 50% (v/w) (Nugroho, 2016). Untuk menjaga
homogenitas padatan tersuspensi maka perlu dilakukan agitasi sehingga dapat
meningkatkan transfer massa dan meningkatkan kontak antar partikel.
Homogenisasi yang baik dan aerasi yang cukup dapat dicapai ketika kandungan
slurry 10 – 30% berat solid (w/v) dimana solid sebelumnya dihancurkan menjadi
partikel halus 500 – 800 μm (Robles-Gonzalez dkk, 2008).
Dalam bioremediasi, slurry bioreactor merupakan teknik yang didesain untuk
mengoptimasi kondisi abiotik untuk biodegradasi. Bioreaktor ini terdiri atas
campuran tanah dan air dengan rasio yang bervariasi dan dapat meningkatkan
kecepatan pengolahan tanah dengan adanya kontak antara mikroorganisme,
hidrokarbon, nutrient dan padatan (Machín-Ramírez dkk, 2008).
Slurry bioreactor dapat didefinisikan sebagai bejana dan peralatan yang
digunakan untuk membentuk kondisi pengadukan tiga fase (solid, liquid dan gas)
untuk meningkatkan kecepatan bioremediasi dengan menggunakan biomassa
(biasanya bakteri indigenous) sehingga mampu mendegradasi kontaminan. Secara
umum, kecepatan dan tingkat biodegradasi di dalam sistem bioreaktor lebih tinggi
21
dibandingkan pada sistem in situ atau pada sistem fase solid karena lingkungan
lebih mudah diatur, dikontrol dan diprediksi perubahannya. (Vidali, 2001).
Proses bioremediasi dengan fase slurry mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan bioremediasi dengan kondisi tanah padat. Keuntungan
tersebut antara lain:
a. Proses yang terjadi lebih seragam
b. Meningkatkan kelarutan dari bahan-bahan organik yang terlarut
c. Menghancurkan partikel-partikel padat
d. Meningkatkan kontak antara mikroba dan kontaminan
e. Mampu meningkatkan kelarutan kontaminan dengan penambahan
surfaktan
f. Meningkatkan distribusi nutrient dan substrat
g. Mempunyai laju biodegradasi yang lebih tinggi
Adapun kelemahan slurry bioreactor ini antara lain:
a. Memerlukan penambahan energi
b. Memerlukan pengolahan yang lebih besar
c. Memerlukan proses pemisahan antara zat padat dan cair setelah
pengolahan
d. Memerlukan biaya yang lebih besar.
Kadar padatan dalam lumpur dapat mencapai 65 – 95% berat. Kadar padatan
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan difusi oksigen ke dalam cairan,
akibatnya pertumbuhan mikroba akan terhambat. Apabila proses bioremediasi
telah selesai, materi lumpur akan dikeluarkan dari bioreaktor. Sebagian lumpur
yang mengandung mikroba tetap ditinggalkan dalam bioreaktor dan berfungsi
sebagai sumber inokulum pada siklus remediasi selanjutnya (Nugroho, 2006).
Dalam suatu reaktor batch, jika konsentrasi awal substrat dianggap moderat
(So ≈ Km) maka persamaan umum dapat dituliskan sebagai:
Laju reaksi substrat 
 k0 XS
dS

dt Y  K m  S 
22
(2.1)
Persamaan (2.1) kemudian diintegrasikan:
S

S
dS  K m  S 
S
0
 k0 X
dt
Y
0
t

(2.2)
Gates dan Marlar (1968) mengembangkan metode trial-error untuk
menghitung konstanta kinetika. Integrasi persamaan (2.2) kemudian disusun
kembali menjadi:
1 S
 ln(1  ad ) 
ln 0  c 
  b
t S
t

(2.3)
Dimana:
Y
X0
k
b  o X 0  YS 0
YK m
a

c  1
(2.4)

(2.5)
X 0  YS 0
YK m
(2.6)
d  S0  S
(2.7)
Dengan plot 1/t ln S/So melawan ln (1+ad)/t, maka aka terbentuk garis lurus
dimana c adalah slope dan b sebagai intercept. Nilai a ridak dapat ditetapkan
hanya dengan satu pengukuran sehingga metode trial-error dapat digunakan.
Nilai a dapat ditetntukan apabila garis lurus yang terbaik telah terbentuk.
Konstanta kinetika kemudian dapat dihitung menggunakan nilai dari a, b dan
c dari garis lurus terbaik, dimana:
b
c 1
1  S0
Km  a
c 1
0
Y  aX
k0 
(2.8)
(2.9)
(2.10)
Apabila diasumsikan X ≈ X0 maka persamaan (2.2) dapat diintegrasi untuk
menghasilkan persamaan Henri:
1 S 0 S  S 0 k0 X 0
ln 

t S
K mt
YKm
(2.11)
23
Dengan plot 1/t ln So/S melawan (S0 – S)/t akan menghasilkan grafik
persamaa Henri untuk kinetika Michaelis-Menten pada reaktor batch
Gambar 2.7. Plot Grafik Persamaan Henri untuk Kinetika Michaelis-Menten pada
reaktor Batch
(Sundstroms dan Klei, 1979)
2.7. Baku Mutu Pengolahan Minyak bumi
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 mengatur
tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Persyaratan nilai akhir hasil
pengolahan sludge minyak bumi ditampilkan dalam tabel 2.6.
Tabel 2.6 Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi
Parameter
Satuan
Analisa limbah sludge *)
1. pH
2. TPH
3. Benzena
4. Toluene
5. Ethylbenzene
6. Xylene
7. Total PAH
Nilai akhir hasil
olahan
6–9
(μg/g)
10.000
(μg/g)
1
(μg/g)
10
(μg/g)
10
(μg/g)
10
(μg/g)
10
*) Hasil analisis kimia untuk nilai konsentrasi (μg/g) limbah sludge minyak bumi
yang ditentukan dalam berat kering
(Sumber: KEPMENLH 128, 2003)
24
2.8. Parameter Kinetika Mikroba
Pertumbuhan suatu mikroorganisme dapat digambarkan sebagai suatu
peningkatan rapi dalam semua unsur kimianya (Bailey, 1986), seperti pada
gambar 2.3. Massa mikroba akan meningkat dengan waktu dan dapat diuraikan
dengan sederhana:
Substrates + Cells → Extracellular Products + more cells
Kurva pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan oleh gambar 2.8, dimana
tahapan pertumbuhan bakteri adalah sebagai berikut:
 Lag phase
Tidak ada pertumbuhan populai karena sel menglami perubahan komposisi
kimiawi dan ukuran serta bertambahnya substansi intraseluler sehingga siap
untuk membelah diri.
 Exponential / logarithmic phase
Sel membelah diri dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat
dan keadaan pertumbuhan seimbang.
Gambar 2.8. Tipikal Kurva Pertumbuhan untuk Populasi Bakteri
25
 Deceleration phase
Fase pertumbuhan lambat terjadi setelah fase eksponensial. Pada fase ini,
pertumbuhan
berlangsung
lambat
karena
beberapa
faktor
seperti
berkurangnya nutrisi penting atau akumulasi produk pertumbuhan yang
bersifat racun bagi bakteri. Fase ini terjadi selama periode yang sangat
singkat.
 Stationary phase
Terjadinya penumpukan racun karena metabolime sel dan kandungan nutrien
mulai habis. Akibatnya terjadi kompetisi nutrisi sehingga beberapa sesl mati
dan yang lainnya tetap tumbuh. Jumlah sel menjadi konstan.
 Death phase
Sel menjadi mati akibat penumpukan racun dan habisnya nutrisi
menyebabkan jumlah sel yang mati lebih banyak sehingga mengalami
penurunan jumlah sel secara eksponensial.
2.8.1. Kinetika Kultur Batch
Keseimbangan substrat dalam suatu kultur batch untuk komponen i dalam
volume kultur VR dan perubahan konsentrasi molar Ci adalah sama dengan laju
pembentukan produk:
d
VR  Ci   VR  rfi
dt
(2.12)
Jika volume kultur konstan, maka persamaan (2.12) direduksi menjadi:
dCi
 rfi
dt
(2.13)
Laju pembentukan produk, rfi, tergantung atas kondisi populasi sel,
lingkungan, temperatur, pH, komposisi media dan morfologi dengan distribusi
umur sel mikroorganisme. Fase eksponensial pertumbuhan mikroba kultur
batch adalah:
dX
 . X
dt
(2.14)
μ adalah laju pertumbuhan spesifik. Jika persamaan (2.14) diturunkan
terhadap waktu, maka:
26
X t   X 0et
(2.15)
Bila μ konstan dengan waktu sepanjang periode pertumbuhan secara
eksponensial, persamaan (2.15) dapat diintegrasi dari waktu to ke t,
menghasilkan:
ln
X
   t  t0 
X0
(2.16)
Seperti dilihat pada persamaan (2.16) di atas, pertumbuhan yang bersifat
eksponen ditandai oleh suatu garis lurus pada suatu plot semilogaritma ln X
versus waktu
2.8.2. Substrate-Limited Growth
Efek konsentrasi substrat pada laju pertumbuhan spesifik (μ) dalam suatu
kultur batch terkait dengan waktu dan μmax; hubungan ini dikenal sebagai
persamaan laju Monod. Kerapatan sel (ρcell) meningkat secara linier dalam fase
exponent. Ketika substrat (S) dihabiskan, laju pertumbuhan spesifik akan
berkurang. Persamaan Monod diuraikan (Ghasem D. Najafpour, 2007) :
  max
S
KS  S
(2.17)
Dimana, μmax adalah specific growth rate maximum (h-1). KS adalah
konstanta saturation atau konstanta Monod (mg/L) dan S adalah konsentrasi
substrat (mg/L). Bentuk linearisasi dari persamaan Monod:
1


KS 1
1

max S max
(2.18)
Ketika μ = μmax/2, maka KS = S. Persamaan Monod adalah semiempiris dan
sesuai dengan suatu cakupan data yang luas. Persamaan (2.17) menjadi model
yang diterapkan dari substrate-limited microbial growth.
Rata-rata konsentrasi biomass digambarkan sebagai produk hasil biomass
dan perubahan konsentrasi substrat dalam arus masuk dan keluar. Neraca
biomassa:
X  YX / S (S )  YX / S  Si  S0 
27
(2.19)
dimana, X merupakan rata-rata konsentrasi biomass (mg/L), Si dan S0 adalah
konsentrasi masuk dan keluar (mol/L) dan YX/S merupakan yield pertumbuhan
(mg biomass/mg substrat). laju pada persamaan Monod untuk mensuport
substrat, diberikan oleh persamaan laju (2.17)
 KS  S  max .S
atau
 KS   max    S
(2.20)
Persamaan (2.20) disusun kembali untuk substrat dengan laju spesifik:
S
K S .
max  
(2.21)
Pada kondisi steady-state, seperti yang telah dinyatakan pada (2.17), laju
konsumsi substrat sama dengan generasi biomass, dengan asumsi laju kematian
nol:
  D  S0 
K S .D
max  D
(2.22)
D merupakan kecepatan pengenceran (D = F/VR), yang merupakan kebalikan
dari waktu tinggal.
Pada gambar 2.9, untuk persamaan Monod, peningkatan kontinyu dalam
konsentrasi substrat setelah μ mencapai μmax tidak mempengaruhi laju
pertumbuhan spesifik. Meskipun telah diamati bahwa laju pertumbuhan
spesifik berkurang ketika konsentrasi substrate meningkat di luar suatu
tingkatan tertentu, yang mana adalah situasi inhibisi substrate. Di bawah
keadaan seperti itu, model inhibisi Haldane telah diusulkan untuk menyatakan
laju pertumbuhan spesifik:
28
Gambar 2.9. Dependence of The Spesific Growth Rate in The Concentration
of The Growth Limiting Nutrient (Shuler dan Kargi, 2002)
Dalam beberapa hal, kematian terjadi dalam fase pertumbuhan sel. Laju
spesifik netto untuk kematian mempunyai bentuk sebagai berikut:

max S
KS  S
 K 'd
(2.23)
K’d adalah konstanta laju kematian (h-1)
Untuk lebh menguraikan kinetika pertumbuhan, hubungan stoikiometri
antara pemanfaatan substrat dan produksi biomassa digambarkan sebagai
(Schuler and Kargi, 2002):
dX
ds
 YX / S
dt
dt
(2.24)
dimana YX/S adalah koefisien yield (berat kering biomassa/berat substrat):
YX / S  
dX
dS
(2.25)
Di dalam sistem kontinyu, koefisien yield adalah tetap untuk mikroorganisme.
2.9. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui berbagai faktor yang
mempengaruhi biodegradasi. Untuk pengembangan metode ex situ, penelitian
telah dilakukan oleh Ayotamuno dkk (2007) yang mengaplikasikan pendekatan
remediasi bioslurry untuk perlakuan lumpur minyak dengan penambahan
extraneous microbes serta regular mixing and watering sehinga menghasilkan
reduksi TPH dalam lumpur adalah 40,7 – 53,2% dan 63,7 – 84,5% secara
berturut-turut setelah dua minggu dan enam minggu perlakuan. Ward dkk, (2003)
menginvestigasi biodegradasi lumpur minyak dalam fase slurry dengan
konsentrasi lumpur dalam rentang 1,55 – 12,8% dan menemukan bahwa degradasi
TPH dalam rentang 80 – 99% dalam 10 – 12 hari dengan menggunakan three
different bio-surfactant producing microbial consortiums.
Moliterni dkk, (2012) menguji kinetika biodegradasi minyak diesel dengan
menggunakan konsorsium bakteri yang diisolat dari tanah tercemar pada suhu 25,
30 dan 35oC serta konsentrasi diesel 0,1; 1 dan 3% menghasilkan 80% substrat
29
terdegradasi selama 40 jam dengan μmax antara 0,17 – 0,3/jam. Omotayo (2012)
mempelajari konstanta laju pertumbuhan dan laju biodegradasi dengan isolat
bakteri Micrococus varians, Bacillus badius, Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium amycolatum sehingga diperoleh konstanta laju pertumbuhan
secara berturut-turut antara 0,027 dan 25,5; 0,025 dan 27,5; 0,019 dan 36,3; 0,023
dan 30. Setelah 30 hari inkubasi, laju biodegradasi 93,10%, 89,22%, 88,22% dan
90,82%. Kelly dkk (1996) menemukan bahwa pada kondisi aerob konstanta laju
biodegradasi (K1) adalah 1,32 mmol/L.jam untuk benzen, 1,42 mmol/L.jam untuk
toluene dan 0,833 mmol/L.jam untuk xilen, yang mengacu kepada persamaan
Monod. Agarry dkk, (2013) dengan menggunakan bakteri Aeromonas,
Micrococcus dan Serratir sp. pada biodegradasi lubricating motor oil
mendapatkan konstanta laju biodegradasi (kinetika orde satu) untuk masingmasing bakteri adalah 0,015/hari, 0,033/hari dan 0,030/hari dengan half-life time
adalah 46,2 hari, 21 hari dan 23 hari.
Tuhuloula dan Juliastuti pada 2011 melakukan bioremediasi terhadap lahan
terkontaminasi minyak bumi dengan bakteri Bacillus cereus dengan konsentrasi
5%, 10% dan 15% (v/v) pada slurry bioreactor. Pada awal perlakuan, konsentrasi
BTEX secara berturut-turut adalah 35,28%; 42,25%; 9,57% dan 12,9%. Pada
akhir proses degradasi, dilakukan analisa kadar BTEX dan diperoleh persen
biodegradasi BTEX berturut-turut untuk konsentrasi bakteri 5% adalah 98,09%;
49,56%; 84,15% dan xylene 96,14%. Kemudian untuk konsentrasi bakteri 10%,
secara berturut-turut persen degradasi BTEX adalah 98,29%; -%; 92,79% dan
96,22%. Sedangkan untuk konsentrasi bakteri 15%, persen degradasi BTEX
adalah 98,51%; -%; -% dan 96,34%. Dalam penelitian ini juga diperoleh model
kinetika biodegradasi untuk berbagai konsentrasi bakteri dalam bioreaktor. Untuk
bioreaktor 5% (v/v) diperoleh Y= 1,745 mg biomass/mg substrat, kd= 0,028 hari-1;
ko = -0,028 hari-1; dan Km = 1745201 mg/L. untuk bioreaktor 10% (v/v), didapat
nilai Y = 1,634 mg biomass/mg substrat, kd= 0,041 hari-1; ko = 0,318 hari-1; dan
Km = 44501,6 mg/L. sedangkan untuk bioreaktor 15% (v/v), nilai Y = 2 mg
biomass/mg substrat, kd = 0,032 hari-1; ko = 0,941 hari-1; dan Km = 81200 mg/L.
30
Pada tahun 2002, Reardon dkk., melakukan penelitian untuk mengetahui
kinetika degradasi hidrokarbon aromatik dengan penambahan kultur tunggal dan
campuran bakteri. Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa pada penambahan
pseudomonas memberikan rate pertumbuhan Pseudomonas putida berbeda-beda
pada masing-masing substrat. Pada toluene, menghasilkan laju pertumbuhan (μm)
sebesar 0.86 ± 0.01 per jam, dalam benzene sebesar 0.73 ± 0.03 dan pada phenol
sebesar 0.11 ± 0.01per jam.
Suschka dkk (2001) melakukan penelitian dengan membandingkan poses
degradasi pada kondisi aerobik dan anarobik dengan memanfaatkan bakteri
Aeromonas
sobria,
Bacillus
stearothermophillus,
Enterobacter
sakazi,
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus lentus, dan campuran mikroorganisme.
Dari penelitian tersebut memberikan hasil di mana degradasi cepat terjadi pada
kondisi aerobik di 7 hari pertama proses berlangsung. Selajutnya akan diikuti
dengan proses degradasi lambat selama 28 hari. Dari penelitian ini juga
didapatkan hasil bahwa benzene merupakan senyawa yang paling sukar
didegradasi dan yang bisa menegradasi benzene dengan baik adalah Bacillus
stearothermophilus. Sedangkan senyawa aromatik yang paling mudah didegradasi
adalah p-xylene.
31
Halaman ini sengaja dikosongkan
32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan melakukan percobaan di
laboratorium Pengolahan Limbah Industri, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada Februari
2016 – Desember 2016, untuk menghasilkan data bioremediasi dengan
menggunakan bakteri Bacillus cereus, Pseudomodas putida dan Rhodococcus
erythropolis secara batch dalam fase slurry bioreactor. Alur penelitian seperti
pada gambar 3.2
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Kondisi Operasi
- Suhu
= 20 – 30oC
- pH
= 6,5 – 8
- tekanan
= 1 atm
- oksigen terlarut
= 2 – 8 mgO2/L
- rasio tanah : air
= 20 : 80 (% w/w)
- Agitasi
= 100 rpm
3.2.2. Variabel percobaan
- Jenis bakteri
= Bacillus cereus
Pseudomodas putida
Rhodococcus erythropolis
- Waktu
= 1 – 8 minggu
- Konsentrasi bakteri
= 12.5%; 15%; dan 17.5% (v/v)
Dengan populasi bakteri 105 – 108 sel/ml
33
3.3. Bahan, alat dan skema alat penelitian
3.3.1. Bahan penelitian
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
- Aquadest
- Biakan bakteri Bacillus Cereus
- Biakan bakteri Pseudomonas putida
- Biakan bakteri Rhodococcus erythropolis
- Na2SO4
- n-Hexane
- Tanah yang terkontaminasi minyak bumi
3.3.2. Alat penelitian
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
- cawan porselin
- pH meter,
- counting chamber
- pipet volume
- DO meter,
- rangkaian alat ekstraksi
- Erlenmeyer,
- saringan 10 mesh,
- gelas beker,
- serangkaian peralatan slurry
- gelas ukur
bioreactor (gambar 3.1),
- kertas saring
- termometer
- oven
3.3.3. Skema alat penelitian
3
Keterangan gambar:
2
1. Bioreaktor
v
2. Tangki nutrient
3. Motor pengaduk
4
4. Statip dan klem
5. Sumber listrik
5
1
6. Aerator
7. Valve
8
6
8. Spurger
v
7
Gambar 3.1. Rangkaian alat slurry bioreactor
34
3.4. Diagram Alir Penelitian
Tanah yang
tercemar
Analisa pH, BTX,
MLSS, MLVSS
Sterilisasi selama
15 – 20 menit.
Mixing: Tanah
dan air dengan
rasio 20:80
Air
Bakteri sesuai variabel
(12,5%; 15%; 17,5% (v/v))
Proses bioremediasi
selama 7 minggu
(DO >2 ppm)
Nutrien (N danP); Udara
Analisa pH,
MLSS, MLVSS
Ekstraksi
sampel tanah
Analisa BTX
Kajian: Kinetika
reaksi
Gambar 3.2. Alur rancangan penelitian secara umum
3.5. Tahapan penelitian
3.5.1. Preparasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi
Tanah yang tercemar minyak bumi diambil dari lokasi pengeboran
dengan cara sampling di beberapa titik. Tanah tersebut kemudian
dipersiapkan dengan memisahkan daun, puing, dan material besar
lainnya, serta dipindahkan dari lokasi pencemaran. Tanah tercemar
minyak bumi ini kemudian dicampur dengan air dengan rasio 20:80.
35
3.5.2. Biodegradasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini mengandung hidrokarbon
aromatik. Penambahan mikroba Bacillus cereus, Pseudomonas putida
dan Rhodococcus
erythropolis dimaksudkan agar bakteri yang
ditambahkan dapat mendegradasi benzene, toluene, dan xylene (BTX)
dalam kondisi aerob dengan penambahan oksigen ke dalam
bioreactor.
Umpan awal diperoleh dengan cara mencampur tanah yang tercemar
dengan air dengan perbandingan 20:80, kemudian dimasukkan ke
dalam
bioreactor
Pseudomonas
dan
putida
ditambahkan
dan
bakteri
Rhodococcus
Bacillus
cereus,
erythropolis
dengan
konsentrasi 12.5% ; 15% dan 17.5% (v/v) serta nutrien (N dan P) lalu
diaerasi. pH dipertahankan pada range 6.5 – 8.0 dengan penambahan
agen penetral. Temperatur juga dipertahankan pada 20 - 30oC. Proses
biodegradasi akan dilakukan sampai hasil degradasi memenuhi syarat
baku mutu sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan
Hidup Nomor: 128 tahun 2003. Monitoring kondisi operasi dilakukan
setiap hari.
3.5.3. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan per 14 hari kemudian diekstraksi
dengan pelarut n-Hexane selama 10 – 16 jam kemudian hasilnya
dianalisa dengan metode GC.
3.5.4. Prosedur Analisa
a.
Analisa pH
Pengukuran pH dengan menggunakan pH meter
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer
alkohol yang dimasukkan ke dalam bioreaktor.
b. Analisa Suhu dan Analisa Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran suhu dan kadar oksigen dalam bioreaktor dilakukan
dengan menggunakan DO-meter, dengan cara memasukkan elektroda
36
ke dalam bioreaktor. Suhu dan kadar oksigen yang terlarut akan
terbaca pada display DO-meter.
c.
Analisa Populasi Bakteri
Analisa populasi bakteri menggunakan haemocytometer dengan
prosedur sebagai berikut:
- Mengencerkan 0,1 mL sampel dengan aquadest 9,9 mL
(pengenceran 100 kali)
- Meneteskan ke permukaan counting chamber hingga dapat
menutupi seluruh permukaannya.
- Meletakkan haemocytometer di bawah lensa mikroskop untuk
dihitung jumlah selnya.
- Melakukan pengamatan di mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Gambar 3.3. Haemmocytometer
d. Analisa BOD5 (Biological Oxygen Demand)
1. Menyiapkan 4 buah botol winkler yang sudah dicuci bersih.
2. Mengambil 10 mL sampel sesuai variable dan memasukkannya ke
dalam botol winkler yang telah disiapkan.
3. Menambahkan aquades ke dalam botol hingga volume 250 mL dan
1 botol yang kosong diisi dengan aquades saja sebanyak 250 mL.
4. Mengukur DO (Dissolve Oxygen) pada masing-masing botol
menggunakan DO-meter sebagai pengukuran DO0.
5. Menginkubasi keempat botol selama 5 hari.
6. Setelah inkubasi, mengukur kembali DO pada masing-masing botol
dan dicatat sebagai DO5.
Perhitungan BOD menggunakan persamaan 3.1
37
mL
×  DO -DO
 L  =  DO -DO    250
10 mL
BOD5 mg
BOD5
DOs
0
DOs5
DOf5
e.
5
s
=
=
=
=
f
f
0
s



(3.1)
bioogical oxygen demand hari ke-5
dissolved oxygen sampel pada hari ke-0
dissolved oxygen sampel pada hari ke-5
dissolved oxygen aquadest pada hari ke-5
Analisa MLSS (Standard Methods for the Examination of Water
and Wastewater 21st Edition, 2005: Fixed and Volatile Solids Ignited
at 550°C)
Analisa dilakukan pada sampel setiap 3 hari untuk masing-masing
bioreaktor. Prosedur analisa adalah sebagai berikut:
- Memanaskan cawan krus yang sudah dibersihkan ke dalam oven
pada suhu 105oC untuk mendapatkan berat konstan kemudian
mendinginkannya selama 15 menit dalam desikator.
- Menimbang cawan tersebut (B1)
- Memasukkan sejumlah sampel ke dalam cawan
- Memasukkan cawan + sampel ke dalam oven sampai suhu 105oC
selama 3 jam, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam
desikator.
- Menimbang cawan dan abu (B2)
- Menghitung kadar abu dengan persamaan 3.2
MLSS (mg / L) 
 B2  B1 
vol.sampel
1000
B1
= berat cawan kosong
B2
= berat cawan + abu
38
(3.2)
f.
Analisa MLVSS (Standard Methods for the Examination of Water
and Wastewater 21st Edition, 2005: Fixed and Volatile Solids Ignited
at 550°C)
- Setelah analisa MLSS, memasukkan kembali cawan + abu ke
dalam furnace pada suhu 550oC selama 10 – 20 menit
- Memindahkannya ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 1 jam
sebelum mendinginkannya ke dalam desikator selama 15 menit.
Kemudian ditimbang
- Menghitung MLVSS dengan persamaan 3.3.
MLVSS (mg / L) 
g.
 B2  B3 
vol.sampel
1000
(3.3)
B2
= berat cawan + abu sebelum masuk furnace
B3
= berat cawan + abu setelah masuk furnace
Analisa kadar BTX (dengan metode uji standar EPA 8270)
Analisa dengan Gas Chromatography (GC) dilakukan untuk
mengetahui kadar BTX yang terkandung dalam ekstrak tanah yang
tercemar
sebagai
hasil
biodegradasi.
Analisa
dilakukan
di
Laboratorium Pusat Studi Lingkungan universitas Surabaya dengan
jenis HP-6890 GC method dan model number: HP 19095P-QO4
Metode yang digunakan yaitu uji standar EPA 8270
Persamaan 3.2 digunakan untuk menghitung persen biodegradasi.
  BTX 0  BTX n  
% bio deg radasi  
 100%
BTX
0


BTX0
= BTX minggu ke-0 (g)
BTXn
= BTX minggu ke-n (g)
39
(3.4)
Halaman ini sengaja dikosongkan
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian dan analisa dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Limbah
Industri Jurusan Teknik Kimia ITS. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
4.1. Kondisi awal tanah tercemar minyak bumi
Gambar 4.1. Tanah Tercemar Minyak Bumi di Lokasi Pengeboran PPEJ
Sampel awal diambil dari lokasi pengeboran Pertamina-Petrocina East java
Bojonegoro dengan karakteristik tertulis pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik Tanah di Lokasi Pengeboran Minyak PPEJ
Bojonegoro
Parameter
warna
pH
Suhu
kadar BTX:
Benzene
Toluene
Xylene
Kadar PAH
Napphthalene
Fluorene
Anthrancene
Fluoranthene
Pyrene
Chrysene
Karakteristik
Coklat mengkilap
9,101
28oC
26,44 ppm
121 ppm
129 ppm
115,646 ppm
30,272 ppm
101,183 ppm
9,691 ppm
18,258 ppm
24,476 ppm
41
Dari karakteristik di atas, tanah pengeboran tidak dapat langsung dibuang ke
lingkungan karena tidak memenuhi baku mutu yang disyaratkan dalam
KepMenLH No. 128 tahun 2003, seperti yang tertera pada tabel 2.6.
4.2. Pengaruh Bakteri indigenous dan eksogenous terhadap penurunan
konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX)
Hasil degradasi tanpa penambahan mikroorganisme dapat dilihat pada
gambar 4.2:
140
Konsentrasi (μg/g)
120
100
80
Benzene
60
Toluene
40
xylene
20
0
0
14
28
42
56
Waktu (hari)
Gambar 4.2. Grafik Degradasi BTX oleh indigenous bacteria
Dari gamba 4.2 dapat dilihat bahwa penurunan konsentrasi benzene oleh
bakteri indigenous berlangsung lambat sedangkan degradasi tolune dan xyle
berlangsung lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bakteri indigenous
mengandung bakteri yang lebih aktif mendegradasi toluene dan xylene
dibandingkan benzene. Untuk mengupayakan kadar BTX dapat terdegradasi
seluruhnya, maka dilakukan penggantian jenis bakteri, dengan dimasukkan bakteri
eksogenous ke dalam bioreaktor yang berisi tanah terkontaminasi minyak bumi.
Pemberian sejumlah mikroorganisme ke dalam bioreaktor kan berakibat pada
perubahan laju degradasi BTX. Mikroorganisme yang dimasukkan ke dalam
bioreaktor diharapkan mampu menggantikan fungsi bakteri indigenous dalam
mendegradasi hidrokarbon bahkan mampu mendegradasi lebih baik lagi. Hasil
42
degradasi oleh bakteri eksogenous (Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan
Rhodococcus erythropolis) dapat dilihat pada tabel 4.2:
Tabel 4.2. Degradasi BTX pada masing-masing Bioreaktor Setiap 14 Hari
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
12.5% Bacillus cereus
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
24.61 40.19 35.58 100.38
16.59 20.13 25.12
61.84
7.94 14.74 10.10
32.77
1.96
8.06
5.97
15.99
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Bacillus cereus
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
10.16 30.39 30.29
70.84
5.16 25.19 20.45
50.80
2.005 10.47 10.36
22.84
0.70
8.02
4.92
13.63
12.5% Pseudomonas putida
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
24.24 29.07 13.38
66.69
12.39 10.65 10.84
33.88
10.57
4.09 10.56
25.22
10.36
3.99 10.42
24.77
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Pseudomonas putida
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
19.71 40.38 32.71
92.80
10.97 15.64 21.71
48.32
9.03
9.78
8.02
26.83
8.15
8.42
7.90
24.47
12.5% Rhodococcus
erythropolis
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
25.35 40.59 35.27 101.21
20.06 20.73 25.49
66.28
9.44 10.39 10.09
29.92
3.09
9.04
5.09
17.21
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Rhodococcus
erythropolis
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
15.37 31.26 35.71
82.34
10.96 25.67 25.52
62.15
6.03 10.70 10.93
27.66
1.05
9.04
5.10
15.19
17.5% Bacillus cereus
B
T
X
26.44
12.09
5.15
1.05
0.4898
121
20.05
5.06
3.05
2.05
129
20.31
10.73
8.01
5.02
17.5% Pseudomonas putida
total
B
T
X
BTX
26.44
121
129 276.44
12.17
2.41 13.59
28.17
1.18
2.19
8.35
11.72
1.03
0.72
5.18
6.93
0.93
0.70
4.81
6.43
17.5% Rhodococcus
erythropolis
B
T
X
26.44
12.32
10.39
5.07
0.92
121
20.04
10.23
8.10
6.15
129
20.97
10.58
8.01
4.09
Dari data pada tabel 4.2, dapat pula dilihat bahwa deradasi BTX oleh bakteri
eksogenous berlangsung lebih cepat dibandingkan tanpa penambahan bakteri.
Apabila dibuat grafik penurunan masing-masing komponen penambahan bakteri
dengan konsentrasi 17.5% maka dapat dilihat pada grafik 4.3:
43
total
BTX
276.44
52.45
20.94
12.11
7.56
total
BTX
276.44
53.33
31.20
21.18
11.15
(b)
140
30
Konsentrasi Toluene (μg/g)
Konsentrasi Benzene (μg/g)
(a)
25
20
15
10
5
0
0
14
28
42
120
100
80
60
40
20
0
0
56
14
28
42
56
Waktu (hari)
Waktu (hari)
17.5% Bacillus cereus
17.5% Bacillus cereus
17.5% Pseudomonas putida
17.5% Pseudomonas putida
17.5% Rhodococcus erythropolis
17.5% Rhodococcus erythropolis
(c)
Konsentrasi xylene μg/g)
140
120
100
80
60
40
20
0
0
14
28
42
56
Waktu (hari)
17.5% Bacillus cereus
17.5% Pseudomonas putida
17.5% Rhodococcus erythropolis
Gambar 4.3. Grafik degradasi (a) benzene, (b) toluene dan (c) xylene untuk
penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan
Rhodococcuc erythropolis
Dari grafik 4.3 dapat dilihat bahwa bakteri yang berbeda dapat memberikan
hasil yang berbeda pada proses degradasi. Berdasarkan grafik 4.3 (a), degradasi
benzene memberikan hasil yang terbaik pada penambahan bakteri Bacillus cereus
yaitu mencapai 98.148%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tuhuloula dkk (2011) yang menyatakan bahwa Bacillus cereus mampu
44
memberikan penurunan benzene paling baik yaitu mencapai 98.51%. kemampuan
mendegradasi benzene ini disebabkan oleh adanya biosurfaktan yang dihasilkan
oleh bakteri Bacillus cereus yang lebih spesifik dan mampu memecah
hidrokarbon dengan gugus yang sederhana seperti benzene.
Penurunan konsentrasi toluene paling baik pada penambahan bakteri
Pseudomonas putida dimana persen degradasi toluene mencapai 99.4%. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Reardon dkk (2002). Bakteri
Pseudomonas putida akan mengekskresi rhamnolipid sebagai biosurfaktan yang
akan mampu memecah toluene dengan jalan dioxygenase.
Degradasi xylene paling baik terjadi pada penambahan bakteri Rhodococcus
erythropolis dengan persen degradas xylenei mencapai 96.83%. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dkk (2005) dimana bakteri
Rhodococcus sangat berperan pada degradasi xylene dan akan menyebabkan
terjadinya pemutusan cincin aromatik pada senyawa tersebut dengan proses
oksigenase.
4.3. Pengaruh waktu remediasi terhadap penurunan konsentrasi Benzene,
Toluene dan Xylene (BTX)
Laju degradasi mikroba terhadap minyak bumi bergantung pada beberapa
faktor, yaitu faktor fisik dan lingkungan, faktor konsentrasi dan perbandingan
berbagai struktur hidrokarbon yang ada serta faktor kemampuan mikroba
pendegradasi. (Nugroho A, 2006). Hasil degradasi BTX dalam penelitian ini dapat
dibuat grafik seperti pada gambar 4.4:
45
Pesen Degradasi (%)
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Variabel Penelitian
Hari 0
Hari 14
Hari 28
Hari 42
Hari 56
Gambar 4.4. Hubungan antara % Degradasi dan Waktu
Penelitian yang dilakukan oleh Suschka (2001) menunjukkan penurunan BTX
paling cepat terjadi pada awal proses, dimana pada tujuh hari pertama kadar BTX
akan menurun dengan cepat kemudian diikuti dengan penurunan dengan
kecepatan konstan pada 28 hari selanjutnya.
Menurut Leahy dan Colwell (1990), pertumbuhan di minggu pertama disebut
sebagai fase adaptasi, di mana akan terjadi tiga mekanisme, yaitu terjadinya
induksi atau keluarnya enzim-enzim spesifik, terjadi perubahan genetik yang
berdampak pada kemampuan metabolisme bakteri, sehingga berakibat pada
meningkatnya kemampuan organisme untuk mereduksi komponen tertentu.
Berdasarkan EPA tahun 2009, senyawa BTX berada pada urutan ke-3 berdasarkan
kemampuan terbiodegradasi. Hal ini membuat bakteri pada fase adaptasi lebih
memilih untuk mereduksi BTX terlebih dahulu. Apabila kadar BTX telah
menurun dan bakteri memasuki fase log, maka senyawa hidrokarbon yang lain
direduksi. Hal ini yang menyebabkan penurunan BTX yang sangat cepat pada
minggu pertama dan reduksi BTX terus berlanjut hingga memenuhi baku mutu.
Gambar 4.4 menunjukkan persentase degradasi yang terjadi pada masingmasing bioreaktor setiap minggunya. Pada 14 hari pertama, penurunan kadar BTX
46
telah mencapai 50% pada masing-masing bioreaktor. Pada hari-hari selanjutnya,
dengan didukung oleh asupan oksigen dari luar dan pengadukan, maka kadar BTX
akan semakin menurun setiap minggunya. Persentase degradasi akan semakin
meningkat dan pada akhir minggu ke-8, degradasi telah mencapai rata-rata 93%.
Persentase degradasi terbesar terjadi pada bioreaktor dengan penambahan 17.5%
Pseudomonas putida yaitu 97.6726%.
4.4. Pengaruh
Konsentrasi
dan
Jenis
Bakteri
terhadap
Penurunan
Konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX)
Penambahan jumlah bakteri pada tumpahan minyak mempercepat proses
degradasi dari minyak bumi dan tempat yang paling baik untuk menemukan
mikroba pendegradasi minyak bumi adalah tumpahan minyak itu sendiri.
(Nugroho A, 2006)
300
1.40E+09
(a)
Konsentrasi BTX (μg/g)
1.00E+09
200
8.00E+08
150
6.00E+08
100
4.00E+08
50
2.00E+08
0
0.00E+00
0
7
14
21
28
35
42
49
56
Waktu (hari)
Indigenous bacteria
12.5% Bacillus cereus
15.0% Bacillus cereus
17.5% Bacillus cereus
Populasi Indigenous bakteri
Populasi Bacillus cereus 12.5%
Populasi Bacillus cereus 15%
Populasi Bacillus cereus 17.5%
47
Populasi bakteri (sel/mL)
1.20E+09
250
1.40E+09
250
1.20E+09
1.00E+09
200
8.00E+08
150
6.00E+08
100
4.00E+08
50
2.00E+08
0
0.00E+00
0
7
14
21
28
35
42
49
Populasi bakteri (sel/mL)
Konsentrasi BTX (μg/g)
(b)
300
56
Waktu (hari)
Konsentrasi BTX (μg/g)
300
12.5% Pseudomonas putida
17.5% Pseudomonas putida
Populasi Pseudomonas putida 12.5%
Populasi Pseudomonas putida 17.5%
1.50E+09
(C)
200
1.00E+09
100
5.00E+08
0
0.00E+00
0
7
14
21
28
35
Waktu (hari)
Indigenous bacteria
15.0% Rhodococcus erythropolis
Populasi Indigenous bakteri
Populasi Rhodococcus erythropolis 15%
42
49
Populasi bakteri (sel/mL)
Indigenous bacteria
15.0% Pseudomonas putida
Populasi Indigenous bakteri
Populasi Pseudomonas putida 15%
56
12.5% Rhodococcus erythropolis
17.5% Rhodococcus erythropolis
Populasi Rhodococcus erythropolis 12.5%
Populasi Rhodococcus erythropolis 17.5%
Gambar 4.5. Hubungan antara Kadar BTX dan Populasi Bakteri dengan
Waktu Degradasi pada Penambahan Bakteri (a) Bacillus cereus,
(b) Pseudomonas putida dan (c) Rhodococcus erythropolis
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi BTX dalam
tanah tercemar pada semua bioreaktor. Baik pada bioreaktor tanpa penambahan
48
bakteri maupun pada bioreaktor dengan penambahan bakteri. Penurunan paling
cepat terjadi pada dua minggu pertama. Apabila dibandingkan dengan fase hidup
bakteri, maka dapat dikatakan bahwa penurunan kadar BTX paling besar terjadi
pada saat bakteri berada pada fase adaptasi dan fase log.
Berdasarkan gambar 4.5, bioreaktor yang memberikan hasil paling baik
adalah biorekator dengan penambahan 17.5% bakteri, baik untuk Bacillus cereus,
Pseudomonas putida, maupun dengan penambahan Rhodococcus erythropolis.
Apabila dikaitkan dengan populasi ketiga bakteri, dapat terlihat di gambar 4.5
bahwa pada bioreaktor dengan konsentrasi 17.5% bakteri memiliki populasi
bakteri paling tinggi dibandingkan dengan bioreaktor lain. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah bakteri yang dimasukkan ke dalam bioreaktor mempengaruhi
kinerja bakteri dalam mendegradasi BTX. Hasil ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Tuhuloula dkk. pada 2011, dimana persen
degradasi BTX akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi bakteri
yang ditambahkan.
Pada bioreaktor tanpa penambahan bakteri juga terjadi penurunan kadar BTX,
meskipun hasil yang diperoleh tidak sebaik pada proses degradasi dengan bakteri
eksogenous. Dalam bioreaktor tersebut terjadi penurunan kadar BTX dari 276.44
μg/g menjadi 33.337μg/g. Hal ini menunjukan bahwa di dalam lumpur terdapat
bakteri asli (indigenous) yang apabila diberikan tambahan oksigen akan
mendegradasi hidrokarbon.
Selain jumlah mikroorganisme dalam bioreaktor, jenis mikroorganisme juga
mempengaruhi proses dan hasil biodegradasi. Perbandingan hasil biodegradasi
untuk ketiga jenis bakteri dapat dilihat pada gambar 4.6:
49
1.40E+09
250
1.20E+09
1.00E+09
200
8.00E+08
150
6.00E+08
100
4.00E+08
17.5% Bacillus cereus
Populasi bakteri (sel/mL)
Konsentrasi BTX (μg/g)
300
17.5% Pseudomonas
putida
17.5% Rhodococcus
erythropolis
Populasi Bacillus
cereus 17.5%
50
2.00E+08
Populasi
Pseudomoanas putida
17.5%
0
0.00E+00
Populasi Rhodococcus
erythropolis 17.5%
0
7
14
21 28 35
Waktu (hari)
42
49
56
Gambar 4.6 Grafik hasil degradasi BTX pada penambahan 17.5% bakteri
Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis
Gambar 4.6 menunjukkan perbandingan antara ketiga jenis bakteri dalam
proses degradasi BTX. Dapat dilihat bahwa populasi bakteri terbaik diperoleh
pada penambahan bakteri
Pseudomonas putida
kemudian
Rhodococcus
erythropolis dan yang terakhir adalah Bacillus cereus.
Pseudomonas putida merupakan bakteri yang memiliki ketahanan terhadap
serangan hidrokarbon. Menurut El-Naas (2014), dalam proses degradasi,
Pseudomonas putida akan mengahasilkan rhamnolipids sebagai komponen
biosurfaktan yang akan memecah hidrokarbon dengan cara meningkatkan area
permukaan hidrokarbon yang akan didegradasi. Selain mampu medegradasi
benzene, toluene dan xylene, Pseudomonas putida juga merupakan bakteri yang
mampu bertahan pada konsentrasi hidrokarbon yang tinggi. Kemampuan
Pseudomonas putida untuk tumbuh dapat disebabkan oleh kemampuannya yang
sangat baik dalam mengikat oksigen meskipun dalam keadaan dissolved oxygen
yang rendah (Ochoa, dkk 2010) sehingga dapat betumbuh dengan cepat dan
proses degradasi memberikan hasil terbaik. Hal ini terlihat pada perhitungan
kinetika penurunan substrat dengan bakteri Pseudomonas putida menghasilkan
50
specific growth rate yang sangat besar yaitu 4.3816 hr-1. Hal ini menyebabkan
Pseudomonas putida mampu mereduksi 97.67% kadar BTX total.
Rhodococcus erythropolis merupakan bakteri yang mampu memecah
hidrokarbon dan biasanya digunakan sebagai mix culture bersama dengan
Pseudomonas putida. Kemampuan Rhodococcus erythropolis untuk mengikat
oksigen mengakibatkan populasinya dapat meningkat dengan baik (Ochoa, dkk
2010). Pacheco, dkk (2010) menyatakan bahwa bakteri Rhodococcus erythropolis
menghasilkan biosurfaktan
yang mampu memecah hidrokarbon
dengan
konsentrasi yang rendah. Hasil degradasi dengan bakteri Rhodococcus
erythropolis menjadi tidak sebaik Pseudomonas putida dan Bacillus cereus karena
selain mendegradasi BTX (mono aromatics hydrocarbons), bakteri ini juga turut
aktif dalam degradasi poly aromatics hydrocarbons. Hal tersebut dapat dilihat
pada hasil degradasi di mana Rhodococcus erythropolis mendegradasi 95.97%
total BTX.
Bacillus cereus, sebagai bakteri yang juga berperan pada proses degradasi
memiliki kemampuan mendegradasi BTX karena mampu menghasilkan glycolipid
sebagai biosurfaktan (Das, 2011) sehingga penambahan bakteri Bacillus cereus
pada bioreaktor juga mengakibatkan penurunan konsentrasi BTX dimana bakteri
tersebut mampu mendegradasi 97.27% total BTX. Hasil yang diperoleh tidak jauh
beda dengan bioreaktor dengan bakteri Pseudomonas putida sehingga bakteri
Bacillus cereus dapat pula digunakan sebaai agen pendegradasi hidrokarbon
dalam hal ini BTX.
4.5. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bacillus cereus pada
Masing-Masing Bioreaktor
Analisa kadar substrat dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur
BOD5 pada masing-masing bioreaktor. Penurunan BOD5 dapat dilihat pada
appendix B. Hasil pengukuran kemudian diolah untuk mengestimasi nilai dari ko
dan Km dengan metode Gates dan Marlar menggunakan persamaan (2.3).
Grafik perhitungan dapat dilihat pada gambar 4.7
51
(b)
(a)
y = 1.1383x - 0.0324
R² = 0.9271
0.1
(1/t)ln(S/S0)
(1/t)ln(S/S0)
0.12
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0
0.05
0.1
ln [1+a(S0-S)/t]
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0.15
y = 1.1388x - 0.0328
R² = 0.9401
0
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 15.00%
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 12.50%
(c)
(1/t)ln(S/S0)
0.12
y = 1.1264x - 0.0299
R² = 0.9230
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0
0.05
0.1
ln [1+a(S0-S)/t]
0.15
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 17.50%
Gambar 4.7. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Bacillus cereus
Berdasarkan slope dan intercept dari grafik di atas, maka dapat dihitung nilai
konstanta Michaelis-Menten (Km) dari masing-masing bioreaktor. Selain itu, nilai
konstanta laju pertumbuhan maksimum (ko) dan growth yield (Y) juga dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan (2.8), (2.9) dan (2.10).
Berdasarkan grafik 4.7 (a) di atas dan hasil perhitungan pada appendix B, maka
untuk bioreaktor dengan penambahan 12.5% Bacillus cereus diperoleh ko sebesar
0.2343 hr-1; Km 856.4021 mg/L dan yield sebesar 12.792 mg biomass/mg substrat.
Untuk bioreaktor dengan penambahan 15% Bacillus cereus, perhitungan kinetika
menggunakan grafik 4.7 (b) dan memperoleh hasil ko sebesar 0.2363 hr-1; Km
1058.5014 mg/L dan yield sebesar 13.12 mg biomass/mg substrat. Sedangkan
pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Bacillus creus, dengan grafik 4.7 (c)
52
diperoleh data kinetika ko sebesar 0.2366 hr-1; Km 1102.453 mg/L dan yield
sebesar 13.8 gg biomass/mg substrat. Data, grafik dan hasil perhitungan dapat
dilihat pada appendix B.
Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang
dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta
0.2370
1150
0.2365
1100
0.2360
1050
0.2355
1000
0.2350
950
0.2345
900
0.2340
850
0.2335
12.50%
15.00%
Km (mg/L)
ko (hr-1)
Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.8:
800
17.50%
Konsentrasi bakteri Bacillus cereus
ko
Km
Gambar 4.8. Hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi
Bakteri Bacillus cereus
Dari gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta Michaelis-Menten
(Km) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k0) akan meningkat seiring
dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Kenaikan ini disebabkan
oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor yang berkembang biak
kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh kondisi lingkungan dan
substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan semkin baik hingga
akhirnya mencapai fase kematian.
53
4.6. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Pseudomonas
putida pada Masing-Masing Bioreaktor
(a)
0.05
0.04
0.03
0.02
y = 1.0080x - 0.0131
R² = 0.9368
0.01
(b)
0.06
-(1/t)ln(S/S0)
-(1/t)ln(S/S0)
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
y = 1.0103x - 0.0203
R² = 0.8566
0.01
0
0
0
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
0
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 12.50%
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 15%
(c)
0.03
-(1/t)ln(S/S0)
0.025
0.02
0.015
0.01
y = 1.0076x - 0.0333
R² = 0.9070
0.005
0
0.04
0.05
0.06
ln [1+a(S0-S)/t]
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50%
Gambar 4.9. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Pseudomonas putida
Gambar 4.9 merupakan grafik yang dibentuk menggunakan persamaan Gates
and Marlar (2.3) untuk menghitung konstanta kinetika penurunan substrat untuk
bioreaktor yang menggunakan bakteri Pseudomonas putida. Berdasarkan grafik
4.9 (a) untuk penambahan 12.5% bakteri, didapatkan ko sebesar 1.6375 hr-1; Km
14074.1706 mg/L dan yield sebesar 12 mg biomass/mg substrat. Perhitungan
kinetika untuk bioreaktor dengan penambahan 15% bakteri dapat menggunakan
regresi pada grafik 4.9 (b) sehingga menghasilkan ko sebesar 1.9722 hr-1; Km
15107.14726 mg/L dan yield sebesar 13 mg biomass/mg substrat. Grafik 4.9 (c)
digunakan untuk menghitung konstanta kinetika pada bioreaktor dengan
54
penambahan 17.5% Pseudomonas putida. Berdasarkan hasil perhitungan dan data
pada appendix B, diperoleh nilai ko sebesar 4.3816 hr-1; Km 16447.3684 mg/L dan
yield sebesar 14.4 mg biomass/mg substrat.
Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang
dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta
Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.10 sebagai
berikut:
4.6500
17000
4.1500
ko (hr-1)
3.1500
15000
2.6500
2.1500
14000
1.6500
1.1500
Km (mg/L)
16000
3.6500
13000
0.6500
0.1500
12000
12.50%
15.00%
Konsentrasi bakteri Pseudomonas putida
ko
Km
17.50%
Gambar 4.10. hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi
Bakteri Pseudomonas putida
Dari gambar 4.10 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta Michaelis-Menten
(Km) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k0) akan meningkat seiring
dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Kenaikan ini disebabkan
oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor yang berkembang biak
kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh kondisi lingkungan dan
substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan semkin baik hingga
akhirnya mencapai fase kematian.
55
4.7. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Rhodococcus
erythropolis pada Masing-Masing Bioreaktor
y = 1.065x - 0.014
R² = 0.950
-(1/t)ln(S/S0)
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
-(1/t)ln(S/S0)
(a)
0.06
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0
(b)
y = 1.093x - 0.011
R² = 0.981
0
0
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 12.5%
-(1/t)ln(S/S0)
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 15.0%
(c)
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
y = 1.0314x - 0.0054
R² = 0.9974
0
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 17.5%
Gambar 4.11. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Rhodococcus erythropolis
Gambar 4.11 merupakan grafik yang dibentuk menggunakan persamaan Gates
and Marlar (2.3) untuk menghitung konstanta kinetika penurunan substrat untuk
bioreaktor yang menggunakan bakteri Rhodococcus erythropolis. Berdasarkan
grafik 4.11 (a) untuk penambahan 12.5% bakteri, didapatkan ko sebesar 0.2 hr-1;
Km 815.53846 mg/L dan yield sebesar 12 mg biomass/mg substrat. Perhitungan
kinetika untuk bioreaktor dengan penambahan 15% bakteri dapat menggunakan
regresi pada grafik 4.11 (b) sehingga menghasilkan ko sebesar 0.25643hr-1; Km
1059 mg/L dan yield sebesar 12.87 mg biomass/mg substrat. Grafik 4.11 (c)
56
digunakan untuk menghitung konstanta kinetika pada bioreaktor dengan
penambahan 17.5% Pseudomonas putida. Berdasarkan hasil perhitungan dan data
pada appendix B, diperoleh nilai ko sebesar 0.4602 hr-1; Km 3551.3274 mg/L dan
yield sebesar 13.2 mg biomass/mg substrat.
Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang
dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta
Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.12 sebagai
0.5000
4000
0.4500
3500
0.4000
3000
0.3500
2500
0.3000
2000
0.2500
1500
0.2000
1000
0.1500
500
Km (mg/L)
ko (hr-1)
berikut:
12.50%
15.00%
17.50%
Konsentrasi bakteri Rhodococcus erythropolis
ko
Km
Gambar 4.12. hubungan antara ko dan Km dengan konsentrasi
Bakteri Rhodococcus erythropolis
Dari gambar 4.12 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta MichaelisMenten (Km) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k0) akan
meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan.
Kenaikan ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor
yang berkembang biak kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh
kondisi lingkungan dan substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan
semkin baik hingga akhirnya mencapai fase kematian.
4.8. Perhitungan konstanta laju kematian (kd)
Perhitungan konstanta laju kematian dapat dilihat pada appendix B.VII
dimamna perhitungannya menggunakan grafik hubungan antara biomass (ln[x/x0])
dengan perubahan waktu (t) seperti pada grafik 4.13:
57
(a)
4
y = 0.0501x + 2.0953
R² = 0.9133
ln (x/x0)
3
2
y = 0.0447x + 1.7011
R² = 0.8457
y = 0.0443x + 1.7224
R² = 0.8441
1
0
14
Waktu (hari)
Konsentrasi Bacillus cereus: 12.50%
ln (x/x0)
0
7
28
15%
17.50%
(b)
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
y = 0.0241x + 0.7739
R² = 0.7433
y = 0.0450x - 0.0516
R² = 0.9887
y = 0.0427x - 0.2234
R² = 0.9969
0
7
14
Waktu (hari)
Konsentrasi Pseudomonas putida:
3.00
21
0.125
0.15
28
0.175
(c)
y = 0.0593x + 1.1254
R² = 0.8085
2.50
ln (x/x0)
21
y = 0.0694x + 0.5832
R² = 0.8631
2.00
y = 0.0713x + 0.4050
R² = 0.8465
1.50
1.00
0
10
20
Waktu (hari)
Konsentrasi Rhodococcus erythropolis:
30
12.5%
15.0%
17.5%
Gambar 4.13. Grafik perhitungan slope untuk menentukan nilai kd untuk
(a) bakteri Bacillus cereus; (b) bakteri Pseudomonas putida dan (c) bakteri
Rhodococcus erythropolis
58
Slope dan hasil perhitungan dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 4.3. Hasil perhitungan konstanta laju kematian (kd)
Konsentrasi
bakteri (%)
Pseudomonas
putida
Bacillus cereus
Rhodococcus
erythropolis
Slope
kd (hr-1)
Slope
kd (hr-1)
Slope
kd (hr-1)
12.5
0.0501
-0.03059
0.0427
-0.03515
0.0713
-0.0666
15.0
0.0443
-0.02685
0.045
-0.03377
0.0694
-0.0822
17.5
0.0447
-0.02697
0.0241
0.000491
0.0593
-0.0733
Berdasarkan tabel 4.3, nilai kd sangat kecil mendekati nol (0) sehingga dapat
dikatakan bahwa pengaruh koefisien kematian (kd) pada bakteri sangat kecil. Oleh
sebab itu dapat disimpulkan bahwa bakteri berada pada fase pertumbuhan (fase
log).
59
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan sementara sebagai berikut:
1. Tanah hasil pengeboran minyak bumi mengandung senyawa hidrokarbon
di atas ambang batas yang diperbolehkan sehingga diperlukan pengolahan
lanjut sebelum dilepaskan ke lingkungan.
2. Di dalam tanah tercemar minyak bumi terkandung bakteri indigenous
yang berperan dalam mendegradasi hidrokarbon yang terkandung dalam
tanah.
3. Penambahan bakteri dalam proses biodegradasi mampu meningkatkan
persentasi degradasi, di mana bakteri indigenous mampu menurunkan
hingga 33.34 μg/g sedangkan dengn penambahan bakteri mampu
menutunkan kadar total BTX hingga 6.43 μg/g.
4. Hasil terbaik pada penelitian ini adalah pada penambahan 17.5%
Pseudomonas putida yang mampu menurunkan hingga 97.67% BTX
seingga menghasilkan kadar akhir benzene 0.925 μg/g; toluene 0.703 μg/g
dan xylene 4.806 μg/g dimana kadar tersebut telah memenuuhi baku mutu
yang ditetapkan pemerintah yaitu 1 μg/g untuk benzene; 10 μg/g untuk
toluene dan 10 μg/g untuk xylene.
5. Konstanta kinetika reaksi bergantung pada jenis bakteri dan jumlah
bakteri yang ditambahkan. Spesific growth rate (ko) paling besar
dihasilkan pada penambahan 17.5% bakteri Pseudomonas putida dengan
ko 4.3816 hr-1; Km 16447.3684 mg/L dan yield sebesar 14.4 mg
biomass/mg substrat.
6. Pengaruh koefisien kematian (kd) pada bakteri Bacillus cereus,
Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis sangat kecil sehingga
dapat dikatakan bahwa bakteri berada pada fase log saat proses degradasi.
61
5.2. Saran
1. Lama waktu degradasi perlu ditambahkan untuk bakteri Rhodococcus
erythropolis sehingga hasil degradasi dapat memenuhi baku mutu.
2. Konsentrasi bakteri yang ditambahkan dapat ditingkatkan lagi sehingga
diharapkan dapat mengurangi waktu degradasi.
3. Diharapkan dapat dilakukan pencampuran (mix bacteria) sehingga dapat
mengurangi waktu degradasi dan meningkatkan persen degradasi.
4. Perlu dilakuan proses tambahan dengan memanfaatkan mikroorganisme
lain seperti jamur (phytoremediation) sehingga diharapkan dapat
menurunkan konsentrasi BTX agar mencapai baku mutu.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abbassi, B.E., Shquirqat, W.D., (2007), “Kinetics of Indigenous Isolated Bacteria
used for Ex-Situ Bioremediation of Petroleum Contaminated Soil’, Water
Air Soil Pollut., Vol.192, hal. 221-226.
Agarry, S. E., Aremu, M.O., Aworanti, O.A., (2013), “Kinetic Modeling and
Half-Life Study on Bioremediation of Soil Co-Contaminated with
Lubricating Motor Oil and Lead Using Different Bioremediation
Strategies”, Soil and Sediment Contamination, Vol. 22, hal.800-816.
Al-Baqer, D.S. & Madour, M., (2005), ”Bacillus cereus”, King Saud University,
Collage of Pharmacy, Section of Microbiology.
Andreoni, V. & Gianfreda, L., (2007), “Bioremediation and monitoring of aromaticpolluted habitats”, Appl. Microbial Biotechnol, Vol. 76, hal. 287-308.
Atlas, R.M., & Bartha, R., (1998) “Microbial Ecology: Fundamentals &
Applications, 4th edition”, Benjamin/Cummings Pubs. Company Inc.
Calif.
Ayotamuno, M.J., Okparanma, R.N., Nweneka, E.K., Ogaji, S.O.T., Probert, S.D.,
(2007), “Bio-remediation of a Sludge Containing Hydrocarbons”, Appl.
Energy, Vol. 84, hal. 936-943.
Bailey, J.E. & Ollis, D.F., (1986), “Biochemical Engineering Fundamental”, 2nd
ed., McGraw-Hill, Toronto, p.382-388.
Bicca, FC., Fleck LC., Záchia MA., (1999), “Production of Biosurfactant by
Hydrocabon Degrading Rhodococcus Ruber And Rhodococcus
Erythropolis”, Revista de Microbiologia, Vol 30, page 231 – 236.
Bicca, FC., Fleck, LC., Ayub, MAZ., (1999), “Production of Biosurfactant by
Hydrocarbon Degrading Rhodococcus ruber and Rhodococcus
erythropolis” Revista de Microbiologia vol 30, p 231-236
http://dx.doi.org/10.1590/s0001-37141999000300008.
Chun-rong, L., Wen-ke, W., Yu-qing, C., Li-juan Wang, (2013), “Bioremediation
of Petroleum Contamines-Soil”, Presented at The 34th Congress of
International Association of Hydrogeologists.
63
Das, N., Chandra, P., (2011), “Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon
Contaminants: An Overview”, Biotechnol. Res. Int., Vol. 2011, hal 1-14.
Deeb, RA., Alvarez-Choen, L., (1999), “Temperature Effects and substrate
Interactions During the Aerobic Biotransformation of BTEX Mixtures by
Toluene-Enriched Consortia and Rhodococcus rhodochorus” Biotechnol
Bioeng 62(5), p 526-536.
Desai, A., Vyas, P., (2006), “Applied Microbiology. Petroleum and Hydrocarbon
Microbiology”, Departement of Microbiology, M.S University of Baroda.
Dou, J., Liu, X., Hu, Z., (2008), “Anaerobic BTX Degradation in Soil
Bioaugmented With Mixed Consortia Under Nitrate Reducing
Conditions”, Jurnal of Enviromental Sciences, Vol. 20, hal. 585-592.
El-Naas, M.H., Acio, J.A., Telib, A.E.E., (2014), “Aerobic Biodegradation:
Progresses and Prospects”, Journal of Enviromental Engineering 2, hal.
1104-1122.
Elomari, M., Coroler, L., Verhille, S. Izard, D., Leclerc, H., (1997),
“Pseudomonas monteili sp. nov., Isolated from Clinical Specimens”,
International Journal of Systematic Bacteriology, Vol. Juli 1997, hal.
846-852.
Gates, WE., Marlar, JT., (1968), “Analysis of Batch Culture Data Using the
Monod Expressions”, Water Pollution Control Federation, Vol 40, No
11, Research Supplement to: 40, 11, part II (Nov., 1968) pp. R469-476.
Grachia-Ochoa, F., Gomez, E., Santos, V E., Merchuk, J C., (2010), “Oxygen
Uptake Rate in Microbial Processes: An Overview”, Biochemical
Engineering Journal, 49: 289-307
Kelly, W.R., Hornberger, G.M., Herman, J.S., Mills, A.L., (1996), “Kinetics of
BTX Biodegradation and Mineralization in Batch and Column Systems”,
Journal of Contaminant Hydrology, Vol. 23, Hal. 113-132.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003, “Tentang Tata
Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis”.
Kim, D., Chae, J., Zylstra, GJ., Sohn, H., Kwon, G., Kim, E., (2005), “
Identification of Two-Component Regulatory Genes Involved in o-
64
Xylene Degradation by Rhodococcus sp. Strain DK17”, The Journal of
Microbiology, p 49-53.
Leahy, J.G., Colwell, R.L., (1990), “Microbial Degradation of Hydrocarbons in
the Environment”, Microbiological Reviews, Halaman. 305-315.
Machin-Ramirez, C., Okoh, A.I., Morales, D., Deloisa, K.M., Quintero, R., TrejoHernández, M.R., (2008), “Slurry-Phase Biodegradation of Weathered
Oily Sludge Waste”, Chemsophere, Vol.70, hal. 737-744
Moliterni, E., Jimenez-Tusset, R. G., Rayo, M.V., Rodriguez, L., Fernandez, F.J.,
Villasenor, J., (2012), “Kinetics of Biodegradation of Diesel Fuel by
Enriched Microbial Consortia from Polluted Soils”, Int. J. Environ. Sci.
Technol., Vol. 9, hal. 749-758
Nugroho, A., (2006), “Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi”, Graha Ilmu
Universitas Trisakti, Indonesia.
Nugroho, A., (2006), “Bioremediasi Sludge Minyak Bumi dalam Skala
Mikrokosmos: Simulasi Sederhana Sebagai Kajian Awal Bioremediasi
Land Treatment”, Makara Teknologi, Vol. 10, No. 2, hal. 82-89
Ochoa, FG., Gomez, E., Santos, VE., Merchuk, JC., (2010), “Oxygen Uptake Rate
in Microbial Processes: An Overview”, Biochemical Engineering
Journal 49, p 289-310.
Omotayo, A.E., Ojo, O.Y., Amund, O.O., (2012), “Crude Oil Degradation
Microorganisms in Soil Compost”, Research J. of Microbiology, hal. 110.
Pacheco, G J., Ciapina, E M P., Gomes, E dB., Junior, N P., (2010),
“Biosurfactant Production by Rhodococcus erythropolis and Its
Application to Oil Removal”, Brazilian Journal of Microbiology, 41:
685-693.
Pacheco, GJ., Ciapina, EMP., Gomes, EdB., Junior, NP., (2010), “Biosurfactant
Production by Rhodococcus erythropolis and Its Application to Oil
Removal”, Brazilian Journal of Microbiology, Vol 41, p 685-693.
Reardon, KF., Mosteller, DC., Rogers, JB., DuTeau, NM., Kim, K., (2002) “
Biodegradation Kinetics of Aromatic Hydrocarbon Mixtures by Pure and
Mixed Bacteria Cultures”, Environmental Health Perspectives, Vol. 110,
p 1005-1011.
65
Roblez-Gonzalez, I.V., Fava, F., Poggi-Varaldo, H.M., (2008), “A Review on
Slurry Bioreactors for Bioremediation of Soils and Sediments”,
Microbial Cell Factories Vol. 7.
Shuler, M.L. & Kargi, F., (2002), “Bioprocess Engineering: Basic Concept”, ed
2nd, Prentice Hall P T R, Englewood Cliffs, New Jersey.
Sundstom, D.W., Klei, H.E., (1979), “Wastewater Treatment”, Prantice-Hall Inc.
Suschka, J., Machnicka, A., (2001), “Activity of Selected Microorganisms and
Mixture in BTX Biodeegradation” Polish Journal of Environmental
Studies, Vol 10, no 5, p 341-346.
Suthersan, S.S., (1999), “Remediation Engineering Design Consepts”, Lewis
Publisher, CRC Press. N.W. Corporate Blvd., Florida.
Thavasi, R., Jayalakshmi, S., Banat, I., (2011), “Effect of Biosurfactant and
Fertilizer on Biodegradation of Crude Oil by Marine Isolates of Bacillus
megeterium, Corinebacterium kutscheri and Pseudomonas aeruginosa”,
Bioresource Technology, Vol. 102, hal. 772-778.
Tuhuloula, A., (2011), “Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi
dengan Menggunakan Bakteri Bacillus cereus pada Slurry Bioreactor”,
Thesis, Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS
Tuhuloula, A., Juliastuti, S.R., (2010), “Pemanfaatan Bakteri Bacillus cereus
pada Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi dengan
Metode Slurry Bioreactor”, EKSTRAK, Vol. 5, No. 2, hal 76-83.
Van Hamme, JD., Singh AM., Ward, OP., (2003) “Recent advances in Petroleum
Microbiology” Microbial Mol. Biol. Rev. 6. P 503-549.
Vidali, M., (2001), “Bioremediation. An Overview”, Pure Appl.Chem., Vol. 73,
No. 7, hal 1163-1172.
Ward,O., Singh, A., Van Hamme, J., (2003), “Accelerated Biodegradation of
Petroleum Hydrocarbon Waste”, J. Ind. Microbial Biotechnol, Vol. 30,
hal. 260-270.
Yudono, B. Said, M., Hakstege, P., Suryadi, F.X., (2009), “Kinetics of Indigenous
Isolate Bacteria Bacillus mycoides used for Ex-situ Bioremediation of
Petroleum Contaminated Soil in PT. Pertamina Sungai Lilin South
Sumatera”, J. Sustain. Dev., Vol.2.
66
APPENDIX A
PROSEDUR PERHITUNGAN
A.1. Pembuatan Umpan
Kebutuhan sampel umpan:
Volume umpan
= 5 liter = 5000 mL
Komposisi umpan
= 20% tanah, 80% air
Densitas tanah
= 2,67 gr/mL
Densitas air
= 1 gr/mL
Densitas campuran:
1
 mix

 mix 
0, 2
 soil

0,8
 air
1
0, 2

0,8
 soil  air
M  V   mix

1
 1, 0667 gr
mL
0, 2 0,8

2, 67 1
 7000mL 1, 0667 gr
mL
 7466,9 gr
M tan ah  20%  M
 20%  7466,9 gr
 1493,38 gr
M air
 80%  M
 80%  7466,9 gr
 5973,52 gr
A.2. Perhitungan Penambahan Nutrient
Rasio Nutrient C : N : P = 100 : 10 : 1
BOD contoh : 1550 mg/L
N=
10
×1550=155 mg
L
100
Total penambahan urea =
Mr CO  NH 2 2
Ar N 2
67
×N
=
P=
60
×155=332,1429 mg
L
28
10
×1550=15,5 mg
L
100
Mr KH 2 PO 4
×P
Ar P
136
=
×15,5=68 mg
L
31
Total penambahan KH 2 PO 4 =
A.3. Analisa Populasi Bakteri
Contoh perhitungan jumlah sel bakteri dengan menggunakan metode
counting chamber:
Jumlah sel dalam 3 kotak sedang diamati sebanyak 42, 41 dan 46 sel per
kotak. Rata-rata jumlah sel adalah 43 sel/kotak.
Pada haemacytometer diketahui total luas area adalah 9 mm2 dimana terbagi
menjadi 9 kotak sedang. Sehinggga luas 1 kotak sedang adalah 1 mm2.
Kotak yang dihitung adalah kotak kecil yang berjumlah 16 di dalam kotak
sedang. Sehingga luasnya adalah 1/16 mm2. Sementara kedalaman kotak
adalah 0,1 mm.
jumlah sel/kotak
jumlah sel(sel/mL)
=
volume kotak
= luas kotak×kedalaman kotak

volume kotak mm3

×konversi×faktor pengenceran
1
mm 2 ×0,1mm
25
3
= 0,04 mm
kotak
43 sel
kotak ×1000 mm3
=
×1
3
mL
0,04 mm
kotak
=1.075.000
=
jumlah sel
Dimana: B1 = berat kertas saring dan cawan
B2 = berat cawan + residu setelah dioven 105oC selama 3 jam
Hasil perhitungan MLSS dapat dilihat pada lampiran B.
68
A.4. Perhitungan Konsentrasi
Contoh perhitungan untuk konsentrasi BTX dalam sampel awal:
Senyawa
Area (100%)
Area (pA*s)
Benzene
36.752
97,15768
Toluene
40.989
495,73215
Xylene
115.360
1491,84619
a. Benzene
Benzene, FI D1 A
Area = 36752. 2461* Amt +0
Area
R el. R es %(1): 0.000
35000
1
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
C orrelation: 1.00000
0
0.5
Amount[ %(v /v )]
Persamaan Kurva = Area = 36752,2461 x Amt+0
Maka konsentrasi benzene:
konsentrasi benzene
= amount
=
Area terbaca
Area100%
=
97,15768
= 0.00264358% = 26,4358 ppm
36752,2461
b. Toluene
Toluene, FID1 A
Area = 40988. 5313* Amt +0
Area
Rel. Res%(1): 0.000
40000
1
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Correlation: 1.00000
0
0.5
69
Amount[ %(v /v )]
Persamaan Kurva = Area = 40988,5313 x Amt +0
Maka konsentrasi toluene:
konsentrasi toluene
= amount
=
Area terbaca
Area100%
=
495,73215
= 0,012094411% =120,9441ppm
40989,5313
c. Xylene
Xy lene, F ID1 A
Area = 115364. 266* Amt +0
Area
120000
Rel. Res%(1): 0.000
1
100000
80000
60000
40000
20000
0
Correlation: 1.00000
0
0.5
Amount[ %(v /v )]
Persamaan Kurva = Area = 115364,266 x Amt + 0
Maka konsentrasi xylene:
konsentrasi xylene
= amount
=
Area terbaca
Area100%
1491, 84619
115364, 266
=0,01293161%
=129,3161ppm
=
A.5. Perhitungan % degradasi BTX
  BTX 0 -BTX n  
% biodegradasi= 
 ×100%
BTX 0


  276,44-99,05  
=
 ×100% = 64,1694%
276,44


Dimana: BTX0 = kadar BTX minggu ke-0 (ppm)
BTXn = kadar BTX minggu ke-n (ppm)
70
A.6. Perhitungan BOD5
mL
×  DO -DO
 L  =  DO -DO    250
10 mL
BOD5 mg
5
s
f
f
0
s



Dari pengukuran pada hai ke-0 di bioreaktor dengan 12.5% Pseudomonas
putida diketahui bahwa:
DOs 0  5.09 mg
L
DOs 5 =2.13 mg
L
DOf  7.93 mg
L
Maka:
 250 mL

BOD5 mg =  2.13-7.93  
×  7.93-5.09 
L
 10 mL

 
BOD  mg  =65.200 mg
L
L
5
A.7. Perhitungan Kinetika Pertumbuhan Bakteri
Untuk Pseudomonas putida 17.5%
1 S
 ln(1  ad ) 
ln 0  c 
  b
t S
t

(2.3)
Dari data BOD appendiks B dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai
1 S
 ln(1  ad ) 
ln 0 ( sumbu y ) dan 
 ( sumbu x) menghasilkan data seperti
t S
t

pada tabel berikut:
hasil perhitungan plot pada 17.5% Pseudomonas putida
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
#DIV/0!
0.037827
0.055280
0.051322
0.048648
0.048925
0.046605
0.043051
0.040351
#DIV/0!
0.022766
0.024041
0.018986
0.015708
0.013583
0.011746
0.010252
0.009105
Hasil perhitungan kemudian diplotkan pada grafik :
71
-(1/t)ln(S/S0)
0.03
0.03
0.02
y = 1.0076x - 0.0333
R² = 0.9070
0.02
0.01
0.01
0.00
0.00
0.02
0.04
0.06
ln [1+a(S0-S)/t]
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50%
Gambar B.1. Grafik perhitungan kinetika pada penambahan 17.5%
Pseudomonas putida
Slope yang diperoleh adalah 1.0076 dan intercept 0.0333 selanjutnya
digunakan untuk menghitung nilai konstanta kinetika (ko dan Km). Trial
error Nilai a yang agar grafik tersebut menghasilkan garis lurus memberikan
nilai a sebesar 0.008 kemudian digunakan untuk menghitung yield.
k0
Km
Y
b
c 1
0.0333

1.0076  1
 4.3816 jam -1
1  S0
 a
c 1
1
 92.830
 0.008
1.0076  1
 16447.3684 mg/L

(2.8)
(2.9)
 aX 0
(2.10)
 0.008 18000
 14.4 mg biomass / mg substrat
72
APPENDIX B
HASIL PENELITIAN DAN PERHITUNGAN
B.I. Data Hasil Pengukuran Kadar BTX Hasil Bioremediasi
Tabel B.1. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri
Bacillus cereus
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
Konsentrasi BTX (μg/g)
Indigenous bacteria
12.5% Bacillus cereus
B
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
26.44
121
129
276.44
26.44
121
129
276.44
20.67
35.5 45.98
102.15
24.61 40.19 35.58
100.38
19.4
25.004 33.48
77.884
16.59 20.13 25.12
61.84
9.63
14.5
18.2
42.33
7.94 14.738 10.095
32.7729
8.239
9.098
16
33.337
1.962 8.058 5.972
15.992
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Bacillus cereus
17.5% Bacillus cereus
B
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
26.44
121
129
276.44
26.44
121
129
276.44
10.16 30.39 30.29
70.84
12.09 20.05
20.31
52.45
5.16
25.19 20.45
50.8
5.15
5.06
10.73
20.94
2.005 10.47 10.36
22.835
1.046 3.053
8.011
12.11
0.7019 8.015 4.918 13.6349
0.4898 2.053
5.019
7.5618
Tabel B.2. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri
Pseudomonas putida
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
B
26.44
20.67
19.4
9.63
8.239
Konsentrasi BTX (μg/g)
Indigenous bacteria
12.5% Pseudomonas putida
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
121
129
276.44
26.44
121
129
276.44
35.5
45.98
102.15
24.24 29.07
13.38
66.69
25.004 33.48
77.884
12.39 10.65
10.84
33.88
14.5
18.2
42.33
10.57 4.091
10.56
25.221
9.098
16
33.337
10.36 3.989
10.42
24.769
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Pseudomonas putida
17.5% Pseudomonas putida
B
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
26.44
121
129
276.44
26.44
121
129
276.44
19.71 40.38 32.71
92.8
12.17 2.405
13.59
28.165
10.97 15.64 21.71
48.32
1.175 2.193
8.351
11.719
9.03
9.78
8.017
26.827
1.032 0.7235
5.176
6.9315
8.15
8.42
7.898
24.468
0.925 0.703
4.806
6.4338
73
Tabel B.3. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri
Rhodococcus erythropolis
Indigenous bacteria
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
B
T
X
26.44
20.88
20.67
19.85
19.4
121
41.3
35.5
35.09
25.004
129
68.95
45.98
36.65
33.48
Konsentrasi BTX (μg/g)
12.5% Rhodococcus erythropolis
total
total
B
T
X
BTX
BTX
276.44
26.44
121
129
276.44
102.15
25.35
40.59
35.27
101.21
77.884
20.06
20.73
25.49
66.28
42.33
9.44
10.39
10.09
29.92
33.337
3.09
9.038
5.086
17.214
Konsentrasi BTX (μg/g)
15.0% Rhodococcus erythropolis
17.5% Rhodococcus erythropolis
total
total
B
T
X
B
T
X
BTX
BTX
26.44
121
129
276.44
26.44
121
129
276.44
15.37
31.26
35.71
82.34
12.32
20.04
20.97
53.33
10.96
25.67
25.52
62.15
10.39
10.23
10.58
31.2
6.031
10.7
10.93
27.661
5.071
8.095
8.014
21.18
1.051
9.038
5.103
15.192
0.9178
6.146
4.091
11.1548
B.II. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX
Tabel B.4. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri
Bacillus cereus
Persen Degradasi BTX
Indigenous bacteria
Hari
0
14
28
42
56
B
T
X
0.0%
21.8%
26.6%
63.6%
68.8%
0.0%
70.7%
79.3%
88.0%
92.5%
0.0%
64.4%
74.0%
85.9%
87.6%
12.5% Bacillus cereus
total
BTX
0.0%
63.0%
71.8%
84.7%
87.9%
B
T
X
0%
6.921%
37.254%
69.970%
92.579%
0%
66.785%
83.364%
87.820%
93.340%
0%
72.419%
80.527%
92.175%
95.371%
total
BTX
0%
63.688%
77.630%
88.145%
94.215%
Persen Degradasi BTX
15.0% Bacilus cereus
Hari
0
14
28
42
56
B
T
X
0.0%
61.573%
80.484%
92.417%
97.345%
0.0%
74.884%
79.182%
91.347%
93.376%
0.0%
76.519%
84.147%
91.969%
96.188%
17.5% Bacilus cereus
total
BTX
0.0%
74.374%
81.623%
91.740%
95.068%
74
B
T
X
0%
54.274%
80.522%
96.044%
98.148%
0%
83.430%
95.818%
97.477%
98.303%
0%
84.256%
91.682%
93.790%
96.109%
total
BTX
0%
81.027%
92.425%
95.619%
97.265%
Tabel B.5. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri
Pseudomonas putida
Persen Degradasi BTX
Indigenous bacteria
12.5% Pseudomonas putida
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
70.7% 64.4%
63.0%
8.3% 76.0% 89.6%
75.9%
79.3% 74.0%
71.8%
53.1% 91.2% 91.6%
87.7%
88.0% 85.9%
84.7%
60.0% 96.6% 91.8%
90.9%
92.5% 87.6%
87.9%
60.8% 96.7% 91.9%
91.04%
Hari
B
0.0%
21.8%
26.6%
63.6%
68.8%
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
Persen Degradasi BTX
15.0% Pseudomonas putida
17.5% Pseudomonas putida
B
T
X
total BTX
B
T
X
total BTX
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
25.5% 66.6% 74.6%
66.4%
54.0% 98.0% 89.5%
89.8%
58.5% 87.1% 83.2%
82.5%
95.6% 98.2% 93.5%
95.8%
65.8% 91.9% 93.8%
90.3%
96.1% 99.4% 96.0%
97.5%
69.2% 93.0% 93.9%
91.15%
96.5% 99.4% 96.3%
97.67%
Tabel B.6. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri
Rhodococcus erythropolis
Indigenous bacteria
Hari
0
14
28
42
56
Hari
0
14
28
42
56
B
T
X
0.0%
21.0%
21.8%
24.9%
26.6%
0.0%
65.9%
70.7%
71.0%
79.3%
0.0%
46.6%
64.4%
71.6%
74.0%
Persen Degradasi BTX
12.5% Rhodococcus erythropolis
total
total
B
T
X
BTX
BTX
0.0%
0%
0%
0%
0%
63.0%
4.12% 66.46% 72.66% 63.389%
71.8%
24.13% 82.87% 80.24% 76.02%
84.7%
64.30% 91.41% 92.18% 89.18%
87.9%
88.31% 92.53% 96.06% 93.77%
Persen Degradasi BTX
15.0% Rhodococcus erythropolis
17.5% Rhodococcus erythropolis
total
total
B
T
X
B
T
X
BTX
BTX
0.0%
0.0%
0.0%
0.0%
0%
0%
0%
0%
41.87% 74.17% 72.32% 70.21%
53.40% 83.44% 83.74% 80.71%
58.55% 78.79% 80.22% 77.52%
60.70% 91.55% 91.80% 88.71%
77.19% 91.16% 91.53% 89.99%
80.82% 93.31% 93.79% 92.34%
96.03% 92.53% 96.04% 94.50%
96.53% 94.92% 96.83% 95.97%
75
B.III.Data Hasil Perhitungan Populasi Bakteri
Tabel B.7. Data Hasil Perhitungan Populasi Bakteri (sel/mL)
Time
0
7
14
21
28
35
42
49
56
Indigenous
bacteria
5.00E+06
5.22E+06
4.34E+07
8.78E+07
1.67E+08
3.14E+08
3.56E+08
3.00E+08
12.5%
3.67E+07
3.72E+08
7.29E+08
8.58E+08
1.13E+09
1.19E+09
8.06E+08
6.08E+08
4.21E+08
Pseudomonas putida
12.50%
15%
17.50%
4.13E+08
3.66E+08
3.26E+08
4.51E+08
4.69E+08
7.42E+08
5.96E+08
6.86E+08
1.18E+09
7.87E+08
8.50E+08
1.18E+09
1.11E+09
1.25E+09
1.30E+09
1.23E+09
1.27E+09
1.34E+09
1.18E+09
1.09E+09
1.13E+09
7.82E+08
7.02E+08
6.57E+08
4.75E+08
4.45E+08
3.72E+08
Bacillus cereus
15.0%
5.72E+07
3.71E+08
7.47E+08
8.38E+08
1.00E+09
1.11E+09
7.72E+08
6.08E+08
4.29E+08
17.5%
6.22E+07
3.96E+08
7.93E+08
9.21E+08
1.07E+09
1.21E+09
7.89E+08
6.67E+08
3.63E+08
Rhodococcucs erythropolis
12.50%
15%
17.50%
8.75E+07
1.67E+08
4.89E+08
6.72E+08
7.92E+08
8.75E+08
4.17E+08
1.25E+08
5.83E+07
8.75E+07
2.01E+08
5.56E+08
7.58E+08
9.17E+08
1.04E+09
3.33E+08
8.33E+07
6.67E+07
8.75E+07
3.19E+08
8.64E+08
1.01E+09
1.21E+09
1.21E+09
7.78E+08
2.92E+08
1.25E+08
B.IV. Data Pengukuran BOD5
Tabel B.8. BOD pada penambahan Bacillus cereus (12.5%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
5.85
6.67
5.38
6.48
7.43
6.01
5.49
4.73
5.76
8.52
4.07
6.09
6.27
5.43
6.47
5.39
5.46
6.83
8.98
8.14
6.68
7.52
8.14
6.42
5.83
5.01
5.89
77.79
32.68
31.91
24.75
15.04
10.3
8.06
7.45
4.19
76
Tabel B.9. BOD pada penambahan Bacillus cereus (15%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
5.58
6.2
5.18
6.27
7.3
5.88
5.3
4.7
5.6
8.4
3.92
6.2
6.48
7.77
6.45
5.22
5.2
6.62
8.98
8.14
6.68
7.52
8.14
6.42
5.83
5.01
5.89
84.42
44.28
37.02
30.21
20.63
13.53
12.64
7.94
7.98
Tabel B.10. BOD pada penambahan Bacillus cereus (17.5%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
5.39
6.38
5.12
6.19
7.39
5.76
5.37
4.86
5.69
8.58
4.04
4.23
5.74
9.92
6.43
5.32
7.67
6.89
8.98
8.14
6.68
7.52
8.14
6.42
5.83
5.01
5.89
89.35
39.9
36.55
31.47
20.53
16.51
10.99
6.41
6
Tabel B.11. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (12.5%)
Hari ke-
0
7
14
21
28
35
42
49
56
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
5.09
5.56
6.56
5.40
5.06
2.13
2.32
3.6
3.09
2.79
5.61
6.68
5.57
5.50
3.42
4.5
3.48
3.53
7.93
7.46
7.89
6.5
6.14
6.62
7.57
6.44
6.28
65.200
42.443
29.043
24.215
23.650
22.050
19.180
18.870
16.710
77
Tabel B.12. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (15%)
Hari ke-
0
7
14
21
28
35
42
49
56
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
4.20
5.00
6.24
5.20
5.14
1.03
2.32
3.77
2.62
2.64
5.69
6.67
5.64
5.49
3.35
4.41
3.59
3.76
7.93
7.46
7.89
6.5
6.14
6.62
7.57
6.44
6.28
86.475
56.360
37.047
28.620
21.500
19.897
19.340
17.230
17.190
Tabel B.13. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (17.5%)
Hari ke-
0
7
14
21
28
35
42
49
56
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
4.06
4.49
6.02
5.10
5.15
4.01
4.32
3.87
2.97
5.04
5.96
6.98
5.89
5.75
6.87
5.93
3.87
2.76
7.93
7.46
7.89
6.5
6.14
6.62
7.57
6.44
6.28
92.830
71.235
42.813
31.595
23.775
16.750
13.110
11.260
9.690
Tabel B.14. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (12.5%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
3.9
3.08
2.28
2.52
2.91
2.56
2.64
2.77
3.77
3.43
2.51
2.81
2.43
3.79
2.34
3.87
3.2
4.06
5.98
4.44
3.52
3.59
3.63
3.22
3.21
3.32
4.3
49.45
32.07
30.29
25.59
18.16
15.62
14.91
13.63
13.01
78
Tabel B.15. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (15%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
4.13
3.34
2.56
2.66
2.79
2.46
2.59
2.66
3.69
3.44
2.48
2.81
2.33
4.35
2.4
3.64
3.35
4.71
5.98
4.44
3.52
3.59
3.63
3.22
3.21
3.32
4.3
43.71
25.54
23.29
21.99
21.72
18.18
15.93
16.53
15.66
Tabel B.16. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (17.5%)
Hari ke-
DOs0
(mgO2/L)
DOs5
(mgO2/L)
DOf5
(mgO2/L)
BOD5
(mgO2/L)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
4.18
3.42
2.56
2.68
2.81
2.49
2.57
2.71
3.67
4.08
2.58
2.87
2.54
3.79
3.15
3.57
3.32
3.68
5.98
4.44
3.52
3.59
3.63
3.22
3.21
3.32
4.3
43.1
23.64
23.35
21.7
20.66
18.18
16.36
15.25
15.13
B.V. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri
Bacillus cereus
Tabel B.17. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan
Bakteri Bacillus cereus
12.5%
Waktu
(hari)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
15%
17.5%
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0S)]/t
(x)
#DIV/0!
0.1238928
0.0636495
0.0545327
0.0586893
0.0577677
0.0539786
0.0478734
0.0521663
#DIV/0!
0.10665
0.05396
0.03976
0.03334
0.02795
0.02378
0.0205
0.01845
#DIV/0!
0.0921816
0.0588819
0.0489348
0.0503235
0.0523113
0.0452128
0.0482427
0.0421226
#DIV/0!
0.07087
0.04031
0.02974
0.02512
0.02166
0.01821
0.01631
0.01427
79
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0S)]/t
(x)
#DIV/0!
0.1151693
0.0638486
0.0496917
0.0525241
0.0482456
0.0498947
0.0537694
0.0482286
#DIV/0!
0.09823
0.05148
0.03662
0.03091
0.02568
0.02245
0.01996
0.01752
Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik:
(a)
0.099
0.079
(1/t)ln(S/S0)
(1/t)ln(S/S0)
0.119
y = 1.1383x - 0.0324
R² = 0.9271
0.059
0.039
0.019
-0.001
0
0.1
ln [1+a(S0-S)/t]
0.079
0.069
0.059
0.049
0.039
0.029
0.019
0.009
-0.001
(b)
y = 1.1388x - 0.0328
R² = 0.9401
0
0.2
0.05
0.1
ln [1+a(S0-S)/t]
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 15.00%
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 12.50%
(c)
0.119
(1/t)ln(S/S0)
0.099
0.079
y = 1.1264x - 0.0299
R² = 0.9230
0.059
0.039
0.019
-0.001
0
0.1
ln [1+a(S0-S)/t]
0.2
Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 17.50%
Gambar B.1. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Bacillus cereus
Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung nilai
konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.18.
Tabel B.18. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Bacillus cereus
Parameter Kinetika
Slope (c)
Intercept (b)
a
K0 (jam-1)
Km (mg/L)
Y (mg biomass/mg substrat)
12.5%
1.1383
0.0324
0.0246
0.23427
856.402
12.792
80
15%
1.1388
0.0328
0.016
0.23631
1058.5
13.12
17.5%
1.1264
0.0299
0.02
0.23655
1102.45
13.8
B.VI. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri
Pseudomonas putida
Tabel B.19. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan
Bakteri Pseudomonas putida
12.5%
Waktu
(hari)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
15%
17.5%
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
1/t ln S/S0
(y)
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
#DIV/0!
0.061327
0.057762
0.047166
0.036218
0.030976
0.029133
0.025304
0.024312
#DIV/0!
0.056022
0.040497
0.029674
0.022483
0.018496
0.016156
0.013916
0.012583
#DIV/0!
0.061157
0.060548
0.052655
0.049707
0.041980
0.035659
0.032923
0.028849
#DIV/0!
0.051611
0.038498
0.028933
0.023647
0.019257
0.016145
0.014152
0.012388
#DIV/0!
0.037827
0.055280
0.051322
0.048648
0.048925
0.046605
0.043051
0.040351
#DIV/0!
0.022766
0.024041
0.018986
0.015708
0.013583
0.011746
0.010252
0.009105
Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik:
(a)
-(1/t)ln(S/S0)
y = 1.0080x - 0.0131
R² = 0.9368
0.00
(b)
0.06
-(1/t)ln(S/S0)
0.060
0.050
0.040
0.030
0.020
0.010
0.000
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
-(1/t)ln(S/S0)
0.04
0.03
0.02
y = 1.0103x - 0.0203
R² = 0.8566
0.01
0.00
0.10
0.00
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 12.50%
0.03
0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0.00
0.05
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.10
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 15%
(c)
y = 1.0076x - 0.0333
R² = 0.9070
0.00
0.02
0.04
0.06
ln [1+a(S0-S)/t]
Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50%
Gambar B.2. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Pseudomonas putida
81
Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung nilai
konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.20.
Tabel B.20. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Pseudomonas putida
Parameter Kinetika
Slope (c)
Intercept (b)
a
K0 (jam-1)
Km (mg/L)
Y (mg biomass/mg substrat)
12.5%
1.008
0.0131
0.0211
1.6375
14074.1706
12
15%
17.5%
1.010305
1.0076
0.020324
0.0333
0.01445
0.008
1.97224648 4.38157895
15107.1472 16447.3684
13
14.4
B.VII. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri
Rhodococcus erythropolis
Tabel B.21. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan
Bakteri Rhodococcus erythropolis
12.5%
Waktu
(hari)
1/t ln
S/S0
(y)
0
7
14
21
28
35
42
49
56
#DIV/0!
0.061863
0.03501
0.03137
0.035776
0.032926
0.028546
0.0263
0.023844
15%
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
1/t ln S/S0
(y)
#DIV/0!
0.051545
0.027955
0.022277
0.020638
0.017511
0.01482
0.013051
0.011565
17.5%
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
1/t ln S/S0
(y)
#DIV/0!
0.076527
0.041841
0.029219
0.022118
0.019742
0.017476
0.014749
0.013197
#DIV/0!
0.085798
0.04378
0.032677
0.026262
0.024663
0.023064
0.021203
0.018694
#DIV/0!
0.076762
0.053781
0.038589
0.029383
0.02859
0.02697
0.022363
0.020533
ln[1+1(S0-S)]/t
(x)
#DIV/0!
0.082245
0.041587
0.029449
0.022878
0.019758
0.017318
0.015277
0.013408
Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik:
-(1/t)ln(S/S0)
0.05
y = 1.065x - 0.014
R² = 0.950
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0
0.05
0.1
-(1/t)ln(S/S0)
(a)
0.06
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
(b)
y = 1.093x - 0.011
R² = 0.981
0
ln [1+a(S0-S)/t]
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis
15.0%
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis
12.5%
82
-(1/t)ln(S/S0)
(c)
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
y = 1.0314x - 0.0054
R² = 0.9974
0
0.05
ln [1+a(S0-S)/t]
0.1
Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis
17.5%
Gambar B.3. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan
Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Rhodococcus erythropolis
Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung
nilai konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.22.
Tabel B.22. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Rhodococcus erythropolis
Parameter Kinetika
Slope (c)
Intercept (b)
a
K0 (jam-1)
Km (mg/L)
Y (mg biomass/mg substrat)
12.5%
1.065
0.013
0.025
0.2
815.53846
15%
1.039
0.01
0.039
0.2564103
1059.0007
17.5%
1.0113
0.0052
0.04
0.460177
3551.3274
12
12.87
13.2
B.VIII. Perhitungan konstanta laju kematian (kd)
Konstanta laju kematian dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
di bawah ini:
 dX

 dt
ko XS

 Kd X .....................................( B.1)

  Km  S 
Berdasarkan
hasil
perhitungan,
nilai
Km
sangat
penyederhanaan tidak dapat dilakukan. Persamaan di atas menjadi:
83
besar,
maka
 dX

 dt

  ko S


K

 X ................................( B.2)
d

   K m  S 

 dX

 X

  ko S
 K d  dt ................................( B.3)

   K m  S 

ln

X  ko S

 kd   t  t0  ...........................(B.4)
X 0   K m  S 

Dari persamaan B.4 dapat dibuat grafik sebagai gambar B.3:
(a)
4
y = 0.0501x + 2.0953
R² = 0.9133
3.5
ln (x/x0)
3
2.5
y = 0.0447x + 1.7011
R² = 0.8457
2
y = 0.0443x + 1.7224
R² = 0.8441
1.5
1
0.5
0
0
7
14
Waktu (hari)
Konsentrasi Bacillus cereus:
12.50%
21
28
15%
17.50%
(b)
1.6
1.4
y = 0.0241x + 0.7739
R² = 0.7433
ln (x/x0)
1.2
1
0.8
y = 0.0450x - 0.0516
R² = 0.9887
0.6
0.4
y = 0.0427x - 0.2234
R² = 0.9969
0.2
0
0
7
14
Waktu (hari)
Konsentrasi Pseudomonas putida:
84
21
0.125
0.15
28
0.175
(c)
3.50
y = 0.0753x + 1.0275
R² = 0.9382
ln (x/x0)
3.00
y = 0.0858x + 0.6250
R² = 0.9542
2.50
y = 0.0700x + 0.7176
R² = 0.9597
2.00
1.50
1.00
0
10
20
Waktu (hari)
Konsentrasi Rhodococcus erythropolis:
30
0.125
0.15
0.175
Gambar B.3. Grafik perhitungan slope untuk menentukan nilai kd untuk bakteri
(a) Bacillus cereus dan bakteri (b) Pseudomonas putida dan bakteri
(c) Rhodococcus erythropolis
 ko S

 X 
di mana 
 kd  adalah slope grafik  ln
 versus  t  t0 
 X0 
  K m  S 

Sehingga:
ko S
 k  slope...........................................(B.5)
 Km  S  d
kd 
ko S
 slope...........................................(B.6)
 Km  S 
Slope dan hasil perhitungan dapat dijabarkan sebagai tabel B.14:
Tabel B.23. Hasil perhitungan kd
Slope
kd (hr-1)
Pseudomonas
putida
Slope
kd (hr-1)
12.5
0.0501
-0.03059
0.0427
-0.03515
0.0713
-0.0666
15
0.0443
-0.02685
0.045
-0.03377
0.0694
-0.0822
17.5
0.0447
-0.02697
0.0241
0.000491
0.0593
-0.0733
Konsentrasi
bakteri (%)
Bacillus cereus
Rhodococcus
erythropolis
Slope
kd (hr-1)
Berdasarkan tabel B.23, nilai kd sangat kecil mendekati nol (0) sehingga dapat
dikatakan bahwa pengaruh koefisien kematian (kd) pada bakteri sangat kecil. Oleh
sebab itu dapat disimpulkan bahwa bakteri berada pada fase pertumbuhan (fase
log).
85
Halaman ini sengaja dikosongkan
86
BIODATA PENULIS
Maria Assumpta Nogo Ole, lahir di Kupang, Nusa
Tenggara Timur pada tanggal 15 Agustus 1991. Penulis
menempuh jenjang pendidikan fomal di NTT, mulai dari
Sekolah Dasar Katolik St. Arnoldus Penfui (1997-2002)
kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Katolik
Ngedukelu, Bajawa (2002-2003). Selanjutnya penulis
menempuh sekolah lanjut di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 2 Bajawa (2003-2006) kemudian melanutkan ke
Sekolah Menengah Atas Katolik Syuradikara, Ende
(2006-2009). Pada tahun 2013, penulis menyelesaikan
pendidikan tinggi dengan gelar Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Kimia,
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang.
Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai industri kimia dan
pengolahan limbah, maka pada 2015 penulis melanjutkan pendidikan magister di
Departemen Teknik Kimia, pada bidang keahlian Teknologi Proses, Fakultas
Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Karena
ketertarikan penulis pada isu lingkungan, maka penulis memilih menjalankan
penelitian di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri, dengan judul penelitian
“Bioremediasi Benzene, Toluene dan Xylene dari Lahan Terkontaminasi Minyak
Bumi oleh Bakteri Aerobik pada Fase Slurry dalm Bioreaktor”.
Puji Tuhan, pada bulan Januari 2017 penulis telah mempertanggungjawabkan
penelitian yang sudah dilakukan. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat
berguna dan dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah lingkungan yang
sedang marak saat ini. Penulis juga berharap agar ke depannya melalui pendidikan
yang telah ditempuh, penulis dapat menjadi berkat bagi diri sendiri maupun bagi
banyak pihak lainnya.
DATA PRIBADI PENULIS
Nama
: Maria Assumpta Nogo Ole
Tempat/tgl lahir : Kupang, 15 Agustus 1991
Alamat
: Jl. Antonov, RT 24 / RW 09, Desa Oeltua, Kecamatan
Taebenu, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur.
Telp.
: +6285253335846
Email
: [email protected] / [email protected]
Download