Pengaruh Rasio Karbohidrat dan Lemak Pakan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebutuhan Nutrisi Ikan Patin
Kebutuhan nutrisi berbeda dan sering berubah-ubah untuk setiap spesies
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, jenis ikan, ukuran, lingkungan dan
musim (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Nutrien utama yang dibutuhkan yaitu
protein, lemak dan karbohidrat sebagai bahan penting penyusun tubuh dan sumber
energi, sedangkan vitamin dan mineral yang larut dalam air memiliki fungsi
sebagai komponen essensial koenzim (Goddard, 1996). Jumlah energi non-protein
(karbohidrat dan lemak) dalam pakan adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi kuantitatif kebutuhan protein pakan untuk setiap spesies ikan
(Meyers, 1994). Sebagian besar petani menggunakan pakan dengan bahan yang
lengkap, terdiri dari protein (18-50%), lemak (10-25%), karbohidrat (15-20%),
abu (<8,5%), fosfor (<1,5%), air (<10%), dan sejumlah bahan-bahan pendukung
vitamin dan mineral (Craig dan Helfrich, 2002).
Protein penting untuk fungsi jaringan yang normal, untuk pertahanan dan
perbaikan protein tubuh ikan dan untuk pertumbuhan (Watanabe dan Cho, 1988).
Protein tidak hanya sebagai penyusun utama dalam tubuh ikan, tetapi juga
berperan penting sebagai enzim dan hormon-hormon yang menunjang
metabolismenya. Pemanfaatan protein sangat beragam di antara spesies ikan,
bergantung pada sumber energi non-protein pakan karena kemampuan ikan dalam
memanfaatkan lemak atau karbohidrat pakan juga berbeda untuk tiap spesies (Lee
dan Lee, 2004). Tacon dan Cowey (2001) mengatakan bahwa, kebutuhan protein
optimum dibutuhkan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum pula.
Beberapa penelitian telah mencoba menentukan kebutuhan protein ikan komersil,
dan memperkirakan bahwa kebutuhan protein pakan sekitar 30% hingga 55%.
Dan diduga bahwa penurunan berat tubuh saat kadar protein di atas optimum
adalah karena penurunan dalam ketersediaan energi pakan untuk pertumbuhan
ikan yang disebabkan energi non-protein yang tidak mencukupi yang penting
untuk proses deaminasi dan mengeluarkan kelebihan asam amino yang telah
terserap (Lee et al., 2002). Selain itu, Craig dan Helfrich (2002) mengatakan
bahwa kadar protein untuk budidaya catfish umumnya 28-32%.
Karbohidrat adalah sumber energi yang paling murah dan mudah
didapatkan untuk komposisi pakan ikan (Furuichi, 1988). Karbohidrat juga
bertindak sebagai protein sparing effect. Sumber karbohidrat yang berkualitas
baik menjadi sangat penting sebab akan berfungsi sebagai energi non-protein,
sehingga akan sedikit protein yang digunakan sebagai sumber energi dan
sebaliknya akan digunakan untuk pertumbuhannya. Selain itu, menurut Craig dan
Helfrich (2002), bahwa meskipun sebagai bahan non-protein, karbohidrat dalam
pakan dapat mengurangi biaya produksi pakan. Selain itu dapat berfungsi sebagai
binder dan meningkatkan konversi pakan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Ikan
umumnya lebih efisien dalam mencerna dan memanfaatkan protein dan lemak,
tetapi dalam memanfaatkan karbohidrat sangat bervariasi bergantung pada
kompleksitas karbohidratnya (Yamamoto et al., 2001). Menurut Mokoginta et al.
(1999), bahwa hal tersebut disebabkan karena aktivitas enzim amilase yang
berbeda untuk tiap spesies ikan, dan biasanya ikan karnivora lebih terbatas dalam
memanfaatkan karbohidrat daripada ikan omnivor dan herbivor.
Menurut Craig dan Helfrich (2002), lemak adalah salah satu makronutrien
dengan kandungan energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai protein
sparing effect dalam pakan budidaya. Selain itu menurut Furuichi (1988), bahwa
lemak
juga
dapat
dimanfaatkan
untuk
membangun
struktur
sel
dan
mempertahankan integritas membran melalui penggunaan fosfolipid. Lemak dapat
menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan protein dan
karbohidrat (Subamia et al., 2003). Namun, kadar lemak yang tinggi akan
menyebabkan penyimpanan lemak pada tubuh, penurunan konsumsi pakan dan
pertumbuhan serta degenerasi hati sehingga mengakibatkan penurunan kualitas
dagingnya (Suhenda et al., 2003). Beberapa penelitian menduga bahwa deposisi
lemak tubuh (>15%) disebabkan oleh proses hyperplastic dan hypertrophic pada
jaringan adipose ikan (Robinson et al., 2001). Sebaliknya, jika energi dari lemak
mencukupi, maka energi dari protein dapat digunakan untuk pertumbuhannya
(Subamia et al., 2003). Pernyataan ini didukung penelitian Erfanullah dan Jafri
(1998) bahwa terhadap walking catfish yang diberi pakan rasio karbohidrat/lemak
pakan 27/8 yaitu 27% karbohidrat dan 8% lemak, memberikan pertambahan berat,
konversi pakan, retensi nutrisi dan komposisi tubuh yang optimal, dibandingkan
dengan pemberian rasio 0,02 (KH 0,44% dan lemak 19,95%) yang memberikan
pertumbuhan terendah.
2.2.
Metabolisme Karbohidrat dan Lemak
Menurut Affandi dan Tang (2002), metabolisme karbohidrat terdiri dari
proses katabolisme dan anabolisme. Proses katabolisme terdiri dari proses 1).
Glikolisis, 2) Glikogenolisis, 3) Siklus asam sitrat dan proses anabolisme terdiri
dari 1) Glukoneogenesis dan 2) Glikogenesis. Berikut adalah mekanisme
metabolisme karbohidrat dan lemak pada Gambar 1.
Gambar 1. Metabolisme Karbohidrat dan Lemak (Lawress et al., 2008)
Produk utama karbohidrat adalah glukosa. Glukosa setelah masuk ke
dalam sel kemudian terfosforilasi membentuk glukosa-6-fosfat (Dabrowski,
2002). Enzim yang mempercepat reaksi ini adalah hexokinase. Di dalam darah
terdapat penambahan reaksi glukokinase yang meningkat oleh adanya insulin dan
menurun dalam keadaan kelaparan atau diabetes. Glukosa-6-fosfat terpolimerisasi
ke dalam glikogen atau dikatabolisir (Halver dan Hardy, 2002). Proses
pembentukan glikogen dinamakan glikogenesis, dan penguraian glikogen
dinamakan glikogenolisis. Glikogen merupakan bentuk simpanan dari glukosa
yang sebagian besar terdapat dalam jaringan tubuh. Tetapi simpanan utama adalah
di dalam hati dan otot-otot rangka (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Penguraian
glukosa menjadi asam piruvat atau asam laktat (atau keduanya) dinamakan
glikolisis. Katabolisme glukosa ini melalui dua jalan, yaitu lewat uraian ke triosa
atau lewat oksidasi dan dekarboksilasi ke pentosa (Hepher, 1990). Jalur lain
adalah dari glukosa ke asam glukoronat dan asam askorbat (Lehninger, 1993).
Lintasan ke asam piruvat melalui triosa adalah lintasan Embeden-Meyerhof, dan
lintasan oksidasi langsung. Proses tersebut di atas terjadi di dalam sitoplasma sel.
Pada proses metabolisme karbohidrat, setelah terbentuk asam piruvat
proses katabolisme selanjutnya melalui sederet reaksi lain dalam siklus Kreb atau
siklus tricarboxaylic acid (TCA) yang seringkali dinamakan siklus asam sitrat,
yang berlangsung di dalam mitokondria sel (Hepher, 1988). Dalam proses ini
asam piruvat diubah ke dalam asetilkoenzim A yang lebih lanjut teroksidasi
menjadi asam arang dan air, menghasilkan nikotinamid adenine dinuklekotida
yang tereduksi (NADH – H+) dan flavinadenin dinuklekotida (FADH2), yang
melalui fosforilasi oksidatif di dalam sistem sitokrom merubah adenosine difosfat
(ADP) menjadi adenosine trifosfat (ATP) yang kaya akan energi. Proses
fosforilasi oksidatif adalah aerobik dan memerlukan oksigen (Hepher, 1990).
Metabolisme asam lemak juga berlangsung di dalam hati, asam-asam
lemak disintesa melalui proses lipogenesis membentuk trigliserida baru. Bahanbahan tersebut kemudian keluar dari hati dengan bantuan lipoprotein terutama
lipoprotein dengan densitas amat rendah (VLDL), yang membawanya ke jaringan
adipose untuk disimpan, kecuali jika diperlukan (Afrianto dan Liviawaty, 2005).
Lipogenesis dari transpor lain akan dipacu oleh faktor-faktor lipoprotein, seperti
kholin, metionin yang mencegah kelebihan akumulasi lemak dalam hati (Piliang
dan Djojosoebagio, 2006). Karbohidrat, seperti halnya lemak, merupakan bahan
untuk terjadinya proses lipogenesis, yaitu asam-asam lemak dan gliserol yang
disintesa dari karbohidrat yang mengikuti jalur seperti halnya trigliserida akan
secara langsung disintesa dari pencernaan lipid. Berikut proses terbentuknya
lemak dari karbohidrat pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses Lipogenesis Dari Karbohidrat
(Piliang dan Djojosoebagio, 2006)
Proses ini menyebabkan terjadinya kelebihan kalori yang berasal dari karbohidrat,
selain dari simpanan lemak yang telah ada (Usman, 2002). Dalam hati, asam-asam
lemak rantai panjang bahkan dibuat menjadi lebih panjang dan dibuat menjadi
jenuh, yaitu dengan cara mengubah menjadi asam-asam lemak berbeda-beda.
Proses lipolisis juga terjadi dalam hati pada waktu sama, seperti halnya
trigliserida yang dihidrolisa untuk membentuk asam-asam lemak dan gliserol.
Reaksi-reaksi trigliserida, merupakan reaksi bolak-balik dan yang terjadi akibat
adanya suatu kebutuhan oleh organisme pada waktu-waktu tertentu. Jika
seandainya terjadi suplai lemak berlebihan dalam hati, maka proses lipogenesis
akan mengubah lemak tersebut menjadi bentuk yang dapat ditranspor dan dapat
disimpan. Jika suatu organisme memerlukan energi berasal dari lemak, maka
proses lipolisis akan terjadi untuk menghasilkan lemak berlebihan yang terdapat
dalam sirkulasi. Dalam hal ini trigliserida dapat dihidrolisa dan disintesa kembali,
untuk dipakai sebagai energi, atau untuk digunakan untuk membentuk lemaklemak lain seperti fosfolipid dan kolesterol (Halver dan Hardy, 2002).
2.3.
Ekskresi Ammonia
Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka
lemak dan karbohidrat ini akan dioksidasi sempurna menjadi karbondioksida dan
air. Tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya
yang dipakai sebagai sumber energi sedangkan nitrogen (amino) tidak digunakan
di tubuh sebagai sumber energi dan harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus
amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan
deaminasi (Piliang dan Djojosoebagio, 2006).
Organ tubuh yang berperan dalam ekskresi nitrogen adalah insang, ginjal,
dan kulit (Affandi dan Tang, 2002). Reaksi transaminasi dan deaminasi dikatalisis
oleh enzim amino transferase di dalam sitosol hepatosit dan enzim glutamate
dehidrogenase dalam mitokondria (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Ammonia
yang telah terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatik untuk
selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam hal ini insang melalui
sistem sirkulasi darah (Hepher, 1990). Menurut Tytler dan Cak (1985), nitrogen
yang diekskresikan ikan khususnya ikan teleostei sebagian besar berupa ammonia
(75-90%), selebihnya berupa urea (5-15%), asam urat, keratin, kreatinin, trimetil
oksida (TMAO), inulin, asam para-amonihippurik, dan asam amino.
Dalam air, ammonia yang tidak terionasi berada dalam keseimbangan
dengan ion ammonium tergantung pada pH dan suhu. Ammonia yang tidak
terionasi sangat toksik terhadap ikan, tetapi ion ammonium relatif tidak toksik
(Sidik, 2001). Asam amino apabila yang tercerna melebihi dari yang dibutuhkan
serta tidak digunakan dalam sintesis protein akan dideaminasi, sedangkan rantai
karbon akan dioksidasi atau dikonversi menjadi lemak, karbohidrat dan senyawa
lainnya. Kemudian nitrogen hasil deaminasi asam amino tersebut dikeluarkan dari
tubuh karena asam amino tersebut tidak disimpan dalam tubuh seperti lemak dan
karbohidrat (Dosdat et al., 1996). Menurut Ming (1985), tingkat toleransi hewan
akuatik terhadap ammonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi
fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya. Secara umum konsentrasi
ammonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/L. Konsentrasi ammonia sebesar
0,4 – 2 mg/L dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Menurut Sidik (2001), begitu kadar ammonia meningkat dalam air,
ekskresi ammonia oleh ikan menurun dan kadar ammonia dalam darah dan
jaringan meningkat. Hasilnya adalah kenaikan pH darah dan berpengaruh buruk
terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas membran. Konsentrasi ammonia tidak
terionasi yang tinggi dalam air mempengaruhi permeabilitas ikan oleh air dan
mengurangi konsentrasi ion di dalam tubuh. Ammonia juga meningkatkan
konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan
darah untuk mengangkut oksigen. Perubahan histologi terjadi di dalam ginjal,
empedu, jaringan thyroid dan darah ikan yang terkena konsentrasi sublethal
ammonia.
Jobling (2002) mengatakan bahwa ekskresi ammonia ikan yang diberi
pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang puasa, peningkatan tersebut
bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Kashio et al., 1993). Ekskresi ammonia
akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan dan beberapa jam kemudian
terjadi puncak ekskresi. Brett (1979) menyatakan bahwa ekskresi ammonia
tertinggi pada salmon terlihat 4 – 4,5 jam setelah ikan mengkonsumsi pakan.
Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa ekskresi
ammonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 – 5 jam setelah
mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 – 8 jam setelah
makan. Tinggi rendahnya ammonia yang dikeluarkan ikan bergantung pada kadar
protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio protein-energi), kualitas
protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur).
2.4. Koefisien Respirasi
Koefisien respirasi (KR) adalah perbandingan antara O2 yang dikonsumsi
dan CO2 yang diproduksi ikan, yaitu menggambarkan jenis nutrien yang dipakai
dan dimanfaatkan ikan pada proses metabolisme untuk menghasilkan energi.
Menurut Eckert (1980) menyatakan bahwa nilai koefisien respirasi untuk
metabolisme karbohidrat adalah 1, protein 0,8, dan lemak 0,7.
Ikan yang dipuasakan akan merombak lemak tubuh sehingga koefisien
respirasi mendekati 0,7 sedangkan ikan yang sedang membakar makro nutrien
(karbohidrat, lemak dan protein) dari ransum pemeliharaan, koefisien respirasinya
mendekati 0,85. Sementara itu ikan yang sedang mengalami pertumbuhan dimana
berkaitan dengan penyimpanan lemak dan protein dalam jaring atau alat-alat
reproduksi koefisien respirasinya mendekati 1 (Huisman et al., 1976).
Download