ABSTRAKSI Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara

advertisement
ABSTRAKSI
Penilitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan
emosional dengan perilaku agresi pada remaja.Subjek dalam penelitian ini
adalah remaja yang berjenis kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21
tahun, dan bertempat tinggal di perumahan Wisma Cakra-Cinere, Depok.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner dengan
melakukan uji validitas dan reliabilitas serta uji hipotesis dengan menggunakan
korelasi yaitu Product Moment Pearson. Analisis data menghasilkan nilai
korelasi Pearson sebesar -0.553 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05)
sehingga hipotesis diterima, berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara
kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada renaja. Jika dilihat dari
mean, diperoleh hasil bahwa mean empirik kecerdasan emosional memiliki skor
sebesar 104.07, yang berada diantara mean hipotetik+1SD (97.5+19.5) yaitu
sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada
pada kategori rata-rata. Dan pada mean empirik perilaku agresi memiliki skor
sebesar 63.11, yang berada diantara mean hipotetik-1SD (72.5-14.5) yaitu
sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada
kategori rata-rata.
Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Perilaku Agresi, Remaja
PENDAHULUAN
Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi
yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis
yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat beberapa fase, yaitu: fase remaja awal
(usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun
sampai dengan 18 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21
tahun). Pada fase remaja, individu mengalami perubahan dalam sistem kerja
hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak, baik pada bentuk fisik
(terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi (Mutadin, 2002).
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam
pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman
sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat
mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitasaktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak
menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan
gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke
arah yang tidak positif, misalnya tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini
menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila
berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2002).
Secara umum hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku
agresi adalah pada individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
cenderung perilaku agresinya rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan
emosional yang rendah cenderung perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa
terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi
pada remaja.
TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosional
Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang
dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan
mengatur suasana hati.
Cooper & Sawaf (dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan seharihari.
Howes & Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya,
kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi
pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia
berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi
emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan
pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang
lain.
Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan
memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan
diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan
tindakan seseorang’.
Patton (2002), kecerdasan emosi adalah dasar-dasar pembentukan emosi
yang mengcangkup keterampilan-keterampilan seseorang, untuk mengadakan
impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengatur emosi
diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai informasi atau
yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya.
Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional
yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu:
a. Mengenali emosi diri atau kesadaran diri (Self-Awareness)
Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan
diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Hal ini menyebabkan individu menyadari
emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta
memahami kualitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung.
Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh
kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi
individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak
mempengaruhi individu secara sadar. Kesadaran akan durasi emosi yang
berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang
selaras dalam mengungkapkan emosinya.
Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke
waktu
agar
timbul
wawasan
psikologi
dan
pemahaman
tentang
diri.
Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri
berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang
sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah
(Mutadin, 2002).
Menurut Mayer (dalam Goleman, 1995) kesadaran diri adalah waspada
baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Menurut
Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan
mengatasi emosi mereka:
1) Sadar diri
Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Kejernihan pikiran mereka
tentang emosi telah melandasi kemandirian mereka dan keyakinan akan pendirian
mereka. Mereka cenderung melihat kehidupan secara positif dan memiliki jiwa
yang sehat. Apabila suasana hati sedang buruk, mereka mampu melepaskan diri
dari suasana hati itu dengan lebih cepat. Hal ini terjadi karena mereka tidak risau
dan larut di dalamnya, sehingga ketajaman pola pikir mereka menjadi pendorong
untuk mengatur emosi.
2) Tenggelam dalam permasalahan
Mereka adalah individu-individu yang seringkali merasa dikuasai oleh
emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka
telah mengambil alih kekuasaan diri. Mereka mudah marah dan amat tidak peka
terhadap yang dialami sehingga larut ke dalam perasaan tersebut sehingga tidak
mampu untuk mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berusaha untuk
melepaskan diri dari suasana hati yang buruk. Seringkali mereka merasa kalah dan
secara emosional mereka lepas kendali.
3) Pasrah
Meskipun seringkali individu ini peka terhadap apa yang mereka rasakan,
mereka juga cenderung menerima suasana hati mereka dan tidak berusaha untuk
mengubahnya.
Orang yang dapat mengenali perasaan yang muncul pada dirinya
merupakan orang yang memiliki kontrol kendali pada kehidupannya sehingga
mereka mampu mengambil keputusan-keputusan pribadi dengan lebih mantap.
Kesadaran diri membuat individu menjadi waspada dan tidak terhanyut ke dalam
aliran
emosi
tersebut.
Kurangnya
kewaspadaan
diri
seseorang
dapat
mengakibatkan orang tersebut mudah larut dalam aliran emosi sebagai panduan
dalam melakukan tindakan.
b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (Self-Control)
Mengelola emosi atau pengendalian diri berarti menangani perasaan agar
perasaan dapat terungkap dengan tepat, sehingga terjadi keselarasan antara emosi
dan lingkungan. Dengan kata lain, individu dapat mengungkapkan emosinya
dengan kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat
(Aristoteles,
dalam
Goleman
1995).
Tujuan
pengendalian
diri
adalah
keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai
dan makna tersendiri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila: mampu
menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan
atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.
Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus
menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal
negatif yang merugikan dirinya sendiri.
c. Memotivasi diri (Self-Motivation)
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal
sebagai berikut:
1) Cara mengendalikan dorongan hati
Mengendalikan dorongan hati merupakan akar segala kendali diri
emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya, membawa pada salah satu
dorongan untuk bertindak. Setelah individu dapat menguasai dorongan hati
tersebut mereka mampu membaca situasi sosial dimana penundaan akan memberi
manfaat lebih, mereka juga mampu mengacak perhatian agar tidak selalu berpusat
pada godaan yang dihadapi, dan mampu menghibur diri selama mempertahankan
kegigihan yang diperlukan untuk meraih sasaran.
2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang
Orang yang pintar mengatur emosi dapat memanfaatkan kecemasan
antisipasi, misalnya bila akan berpidato atau mau ujian, untuk memotivasi diri
guna mempersiapkan diri baik-baik, sehingga dapat melakukannya dengan
sempurna.
3) Harapan
Harapan adalah lebih dari pandangan yang optimis bahwa segala
sesuatunya akan menjadi beres. mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan
terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi
sulitnya tantangan atau kemunduran.
4) Optimisme
Seligman (dalam Goleman 1995) mendefinisikan optimisme dalam
kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka.
Oreang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang
dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil pada masa-masa mendatang;
sementara orang yang pesimis menerima kegagalan dalam kesalahannya sendiri.
Kedua pola yang berlainan ini mempunyai implikasi yang kuat terhadap
bagaimana orang menyikapi hidup.
5) Keadaan flow (mengikuti aliran)
Keadaan flow yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya
tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu
objek. Mampu mencapai keadaan flow merupakan puncak kecerdasan emosional.
Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat
mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang sedang dihadapi.
Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka individu akan
cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang
terjadi dalam dirinya.
d. Mengenali emosi orang lain (Emphaty)
Mengenali emosi berarti kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial
secara tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati atau mengenal
emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang
terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil
membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati
perasaan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain atau keterampilan sosial (Social
Skill)
Seni
dalam
membina
hubungan
dengan
orang
lain
merupakan
keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang
lain. Untuk menangani emosi orang lain dibutuhkan dua keterampilan emosi yaitu
pengendalian diri dan empati. Dengan landasan ini keterampilan berhubungan
dengan orang lain akan menjadi matang atau tidak akan mengalami kesulitan
dalam pergaulan sosial. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk
sesuatu hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina
kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain
merasa nyaman. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan
semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh,
mengganggu atau tidak berperasaan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosional adalah:
a. Keluarga
Kehidupan keluarga merupakan hal yang paling berpengaruh dalam
membangun kecerdasan emosi Goleman (1995) mengatakan bahwa keluarga
merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Orang tua yang kecerdasan
emosinya tinggi merupakan keuntungan bagi anak, karena
orang tua dapat
memilih tindakan-tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk
meningkatkan kecerdasan emosi anak.
Gottman (1997), mengadakan penelitian terhadap 119 keluarga, dengan
mengamati bagaimana orangtua dan anak-anak saling bereaksi dalam situasisituasi yang penuh emosi, membagi tipe orangtua menjadi dua kategori besar:
orangtua yang memberi bimbingan kepada anak-anak mereka tentang dunia emosi
(yang disebut “pelatih emosi”) dan orang tua yang tidak melakukannya. Tiga tipe
yang diidentifikasikan orangtua yang tidak melakukan bimbingan tentang
kecerdasan emosi: orang tua yang mengabaikan, orang tua yang tidak menyetujui,
orangtua laissez-Faire.
b. Pengalaman
Semakin anak bertambah dewasa, semakin sedikit waktu yang dihabiskan
dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman di luar rumah akan memperkaya
kecerdasan emosi anak. Hal-hal yang ditemui di luar rumah ada yang dapat
meningkatkan kecerdasan emosi atau justru mengurangi kecerdasan emosi. Teori
Bandura mengenai belajar sosial mengatakan seseorang akan mempelajari
perannya dari kontak sosial (dalam Sarwono, 1991). Demikian juga dengan
kecerdasan emosi yang dapat dipelajari dari adanya kontak sosial dengan orang
lain (Goleman, 1995).
Perilaku Agresi
Pengertian
Aronson (dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi agresi sebagai
tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau
mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu
Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993a) mengatakan agresi sebagai perilaku
menghadapi perlawanan dengan kekerasan, melawan, membalas perbuatan yang
tidak adil, menyerang, melukai, atau membunuh orang lain, melawan dengan
kekerasan atau menghukum orang lain.
Freud (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa agresi adalah
perusakan diri yang diarahkan ke objek-objek subsitusi. Myer (dalam Sarwono,
1997) menyebutkan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan
maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Kemudian Yusuf (2000),
agresi adalah perilaku menyerang baik secara fisik (non verbal) maupun kata-kata
(verbal).
Berkowitz (2003) menyatakan bahwa agresi sebagai segala bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun
mental. Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya
tidak semua mendapat perlakuan seperti itu.
Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perilaku agresi merupakan
segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti individu lain, dengan
ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik (non verbal) maupun verbal.
Tipe-Tipe Agresi
Tipe-tipe agresi menurut Berkowitz (2003), terdiri dari:
a. Agresi instrumental
Suatu tindakan yang dilakukan lebih untuk tujuan ekstrinsik daripada
kesenangan, yang diperolehnya sebagai “perilaku instrumental”. Biasanya agresi
instrumental ini merupakan usaha paksaan atau suatu upaya mempertahankan
kekuasaan, dominasi, atau status sosial seseorang.
b. Agresi emosional
Menurut istilah Feshbach (dalam Berkowitz, 2003), agresi jenis ini sering
disebut sebagai “agresi jahat”. Ini juga bisa dianggap sebagai agresi “emosional”,
“afektif”, atau “marah”, karena terjadi ketika seseorang tersinggung atau berusaha
menyakiti orang lain.
Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi
Mutadin (2002a) menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku agresi,
sebagai berikut:
a. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf
parasimpatik yang lebih tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat
yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah
atau mungkin juga tidak (Davidoff, dalam Mutadin 2002a). Pada saat amarah ada
perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka
terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyatannya
agresi adalah suatu respon terhadap amarah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,
atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnyamemancing agresi
(Mutadin, 2002a).
Zillman (dalam Goleman, 1995) menemukan bahwa bila tubuh telah
berada dalam kondisi tak sabaran, dan ada sesuatu yang memicu kerja emosi,
maka emosi berikutnya entah marah atau cemas, intensitasnya akan amat tinggi
sehingga mengilhami dan mempermudah terjadinya agresi.
b. Faktor biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi
(Davidoff, dalam Mutadin 2002a):
1) Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang,
mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor
keturunan nampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis
lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
2) Sistem otak. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat
memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada
hewan marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem
limbik (daerah yang dapat menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga
muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott
(dalam Mutadin, 2002a) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada
kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah
mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan
kekejaman atau penghancuran (agresi). Prescott (dalam Mutadin, 2002a) yakin
bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak
karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
3) Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormone seks yang sebagian ditentukan
faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu
eksperimen, ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan
beberapa hewan lain maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan
lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut.
c. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan
orangtuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin
minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orangtua dan
anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya agresi pada anak (Mutadin,
2002a).
d. Lingkungan
Hal-hal di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku agresi
adalah sebagai berikut:
1) Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka
perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (McCandless, dalam
Mutadin 2002a). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di
ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light)
anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang
datang silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka maka anda siapsiap diserbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda
mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika
anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan
pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang
temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi
pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
2) Anonimitas
Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya
menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat
luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan
melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
Terlalu banyak rangsangan indera dan kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal
atau mengetahui secara baik. Lebih lanjut lagi, setiap individu cenderung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia
cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat
dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain (Mutadin,
2002a).
3) Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta
seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan
relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demontrasi yang
berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca
yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi
(Mutadin, 2002a). Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan
yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan
agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam
musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di
Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher, dkk dalam
Mutadin 2002a).
e. Peran belajar model kekerasan
Acara-acara yang menampilkan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat
ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,
sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara televisi yang menyajikan acara
khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti: Smack Down,
UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang
mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Davidoff (dalam Mutadin, 2002a)
mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit
pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model
kekerasan tersebut.
Dalam suatu penelitian Stein (dalam Mutadin, 2002a) dikemukakan bahwa
anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku
agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesame anak lain setelah
menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan seharihari, dan ada kemungkinan efek ini syfatnya menetap.
f. Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi
merupakan salah satu berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhanyang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan
berperilaku agresi (Mutadin, 2002a).
g. Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai
pengaruh buruk bagi remaja (Sukadji, dalam Mutadin 2002a). Pendidikan disiplin
seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan
orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas
serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk
agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada
kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak
hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan
tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan
yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat
memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main, tetapi
di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya karena kesibukan
mereka).
Aini (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada hubungan
negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja
akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin
rendah agresivitasnya.
Remaja
Pengertian
Remaja merupakan istilah untuk menyebutkan masa peralihan dari masa
anak dengan dewasa, ada yang memberi istilah puberty (Inggris), puberteit
(Belanda), pubertas (Latin), yang berarti kedewasaan yang dilandasi sifat kelakilakian. Ada pula yang menggunakan istilah Adulescentio (Latin) yaitu masa muda
(Rumini dan Sundari, 2004).
Monks (2002) menyebutkan remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat
yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak tetapi ia tidak pula termasuk
golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara anak dan orang
dewasa.
Drajat (dalam Willis, 1994) mengatakan remaja adalah usia transisi.
Seorang individu, telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh
ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh
tanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat. Banyaknya
masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana
dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia
harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang
banyak syarat dan tuntutannya.
Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang
penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang
pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat
beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun),
remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir
(usia 18 sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan dalam
sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada
bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Witherington (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menggunakan istilah
masa adolensence yang dibagi menjadi dua fase yang disebut:
a. Preadolensence, antara usia 12-15 tahun, dan
b. Late Adolensence, antara usia 15-18 tahun.
Demikian juga Gilmer (dalam Rumini dan Sundari, 2004) menyebut masa
itu adalah adolensence yang kurun waktunya terdiri dari tiga bagian:
a. Preadolensence dalam kurun waktu 10-13 tahun,
b. Adolensence awal dalam kurun waktu 13-17 tahun,
c. Adolensence akhir dalam kurun waktu 18-21 tahun.
Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa remaja merupakan
masa peralihan dari masa anak menuju dewasa yang penuh dengan perubahan
emosi ang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan perkembangan psikis
yang bervariasi, dengan rentang usia 12 sampai 21 tahun.
Tugas Tahap Perkembangan Remaja
Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu
adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan
pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan
Tuhan, anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan
makhluk Tuhan lainnya.
b. Belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin masing-masing.
c. Menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan seefektif-efektifnya
dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut.
d. Mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang
dewasa lainnya.
e. Mencapai kebebasan ekonomi.
f. Mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan
bakat dan kesanggupannya.
g. Memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan
diri untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial.
h. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan
bermasyrakat.
i. Memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk
kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan Emosi Remaja
Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi
remaja adalah sebagai berikut:
a. Lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan meledak-ledak.
b. kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai akhirnya
kembali dalam keadaan semula.
c. Emosi yang muncul sudah bervariasi, bahkan kadang bercampur-baur antara
dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan. Misalnya: benci dan sayang dalam
satu waktu.
d. Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi
(sayang, cemburu, dan sebagainya).
e. Mudah tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap
cara orang lain memandang kita.
Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan
sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”
emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih
tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat
diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum
bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti
anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan
emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu
emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.
Keadaan Emosi Remaja
Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi
remmaja, yaitu:
a. Kondisi fisik
Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang
buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan, maka remaja akan
mengalami emosional yang meninggi. Biasanya orang berada dalam keadaan
sakit, mungkin akan menjadi cepat tersinggung atau marah apabila ada yang
mengusiknya. Orang yang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi
frustrasi dan cepat marah karena perasaan ketidakberdayaan. Sedangkan
perubahan yang berasal dari perlambangan yang terjadi pada masa remaja,
misalnya perubahan bentuk tubuh karena kelenjar dan hormon, membutuhkan
kesiapan emosi remaja untuk memahami menerima perubahan itu.
b. Kondisi psikologis
Pengaruh psikologis yang penting antara lain tingkat inteligensi dan
tingkat aspirasi, dan kecemasan. Tingkat inteligensi seorang remaja yang tingkat
intelektualnya kurang atau rendah, rata-rata mempunyai pengendalian emosi yang
kurang dibandingkan dengan remaja yang pandai pada tingkat usia yang sama,
kegagalan mencapai tingkat aspirasi yang timbul berulang dapat membuat
keadaan cemas dan tidak berdaya.
c. Kondisi lingkungan
Kondisi yang dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja, misalnya:
ketegangan yang terus menerus, jadwal yang terlalu ketat, terlalu banyak
pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan.
Perilaku Agresi Remaja
Pada penelitian Kamo (2001) terdapat perbedaan kecenderungan agresi
yang signifikan antara remaja yang bertipe kepribadian A dan remaja bertipe
kepribadian B, dimana remaja bertipe kepribadian A cenderung lebih agresif
dibandingkan remaja dengan tipe kepribadian B. Kemudian pada penelitian yang
dilakukan oleh Utami (2001) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kesesakan dengan agresivitas remaja di lingkungan padat.
Penelitian Silvana (2002) mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan
kecenderungan agresi ditinjau dari peran jenis, dimana kecenderungan agresi yang
tertinggi terdapat pada kelompok remaja yang berperan jenis maskulin, kemudian
tidak tergolongkan, androgini dan yang terendah adalah peran jenis feminim.
Studi tentang hubungan pola asuh dengan agresivitas remaja dilakukan
oleh Tarmudji (dalam Ghozali, 2002), penelitian dilakukan di delapan SMU di
kota Semarang dengan jumlah sampel 85 orang siswa laki-laki dan perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh demokratis mempunyai hubungan
yang negatif dan tinggi, sedangkan pola asuh otoriter mempunyai hubungan yang
positif tapi rendah, dan pola asuh permisif mempunyai hubungan yang positif dan
sedang dengan perilaku agresif anak. Hampir tidak ada orangtua yang
mempraktikan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungankecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan
oleh orangtua dan bersifat situasional.
Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Dariyo & Tiatri (2003) terhadap 15
SLTA di wilayah Jakarta Barat didapat bahwa pengalaman memperoleh hukuman
fisik sejak masa kanak berkorelasi dengan perilaku agresif saat remaja. Semakin
sering, semakin berat, dan semakin banyak perilaku agresifnya muncul.
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Agresi Pada
Remaja
Masa remaja adalah masa transisi seorang yang telah meningggalkan usia
kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan menuju usia dewasa, akan
tetapi belum mampu bertanggungjawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap
masyarakat. Banyaknya masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat
sosial masyarakat dimana dia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang
usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam
masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya (Drajat, dalam Wilis 1994).
Wilis (1994) menyebutkan sejumlah tugas-tugas perkembangan remaja itu
seperti: memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai sebagai pedoman dan
pandangan hidup untuk masa depan terutama dalam hubungannya dengan Tuhan,
anggota masyarakat, dan alam sekitarnya termasuk benda-benda dan makhluk
tuhan lainnya; belajar memiliki peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin
masing-masing; menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakan
seefektif-efektinya dan merasa puas terhadap keadaan jasmaniahnya tersebut;
mencapai kebebasan daripada ketergantungan terhadap orangtua dan orang
dewasa lainnya; mencapai kebebasan ekonomi; mempersiapkan diri untuk
menentukan suatu pekerjan yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya;
memperoleh informasi tentang kehidupan perkawinan dan mempersiapkan diri
untuk itu baik persiapan fisik, mental, emosional dan sosial; mengembangkan
kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang kehidupan bermasyarakat;
memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk kehidupan
bermasyarakat.
Mutadin (2002) menyatakan masa remaja dikenal dengan masa yang
penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang
pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja terdapat
beberapa fase, yaitu: fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun),
remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir
(usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun). Pada fase remaja mengalami perubahan
dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik
pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Mashum & Wahyurini (2004) menyebutkan ciri-ciri perkembangan emosi
remaja, seperti: lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan dengan
meledak-ledak; kondisi emosional yang muncul tadi berlangsung lama, sampai
akhirnya kembali dalam keadaan semula; emosi yang muncul sudah bervariasi,
bahkan kadang bercampur-baur antara dua emosi yang (sebenarnya) bertentangan.
Misalnya: benci dan sayang dalam satu waktu; mulai muncul ketertarikan dengan
lawan jenis yang melibatkan emosi (sayang, cemburu, dan sebagainya); mudah
tersinggung dan merasa malu, karena umumnya sangat peka terhadap cara orang
lain memandang kita.
Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan
sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”
emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih
tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat
diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum
bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti
anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan
emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu
emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.
Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi
remaja, seperti: kondisi fisik, psikologis, dan lingkungan temapat tinggalnya.
Kemudian Mutadin menyatakan pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak
terlepas dari bermacam pengaruh, seperti: lingkungan tempat tinggal, keluarga,
sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya
dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial
tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya
masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai
untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya ke arah yang tidak positif, misalnya
tawuran dan perilaku agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak
emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.
Baron (dalam Berkowitz, 2003) agresi adalah segala bentuk perilaku yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang sebenarnya
tidak semua mendapat perlakuan seperti itu. Berkowitz (2003) menyatakan bahwa
agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti
seseorang baik secara fisik maupun mental.
Apabila masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi
oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal
negatif, misalnya perilaku agresi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan
emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana
remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu
mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga
interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (Mutadin,
2002).
Penelitian Aini (2004) menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana
semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin rendah
agresivitasnya.
Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang
dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan
mengatur suasana hati.
Salovey & Mayer (dalam Davis, 2006) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan
memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain, untuk membedakan
diantara mereka dan menggunakan informasi ini untuk menuntun ‘pikiran dan
tindakan seseorang’.
Studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) menyelidiki tentang peran
kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah. 160 siswa (83
anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan
kuesioner daftar sifat kecerdasan emosional dan sesudah itu diminta untuk
menominasikan teman sekelasnya masing-masing yang cocok ke dalam tujuh
deskripsi perilaku yang berbeda (‘kooperatif’, ‘penggangu’, ‘pemalu’, ‘agresif’,
‘dependen’, ‘pemimpin’, dan ‘pengimtimidasi’). Para guru juga diminta untuk
menominasikan seluruh siswa yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Siswa-siswa
dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi lebih masuk dalam nominasi
untuk ‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan lebih rendah nominasinya untuk
‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’. Analisis faktor dari nominasi para guru
menunjukkan dua faktor orthogonal meliputi maing-masing deskripsi prososial
dan antisosial. Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi
ada dalam faktor prososial dan yang rendah ke dalam faktor antisosial.
Goleman (1995) dalam penelitiannya yang berasal dari sampel nasional
anak-anak Amerika berumur 7 hingga 16 tahun, membandingkan tingkat
keterampilan emosi anak-anak usia tersebut pada pertengahan tahun 1970-an
dengan keadaan pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan
orangtuanya, rata-rata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti:
menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki
masalah dalam hal perhatian atau berpikir, nakal atau agresif.
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada individu
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung perilaku agresinya
rendah, sedangkan yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah cenderung
perilaku agresinya tinggi, yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif antara
kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja.
Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah ada hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada
remaja.
METODE PENELITIAN
Adapun yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kecerdasan emosional (Y) dan variabel bebasnya adalah perilaku agresi (X).
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan
mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, yang kemudian digunakan sebagai
informasi atau yang menuntun atas segala pikiran dan tindakannya. Kecerdasan
emosional akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosional yang
disusun oleh Goleman (1995) berdasarkan komponen-komponen kecerdasan
emosional, yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri,
mengenali emosi orang lain, dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional
berbentuk skala Likert.
Perilaku Agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti individu lain, dengan ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik
(non verbal) maupun verbal. Perilaku agresi diukur dengan menggunakan skala
perilaku agresi yang disusun oleh Berkowitz (3003) berdasarkan pada kedua tipe
agresi, yaitu: agresi instrumental dan agresi emosional. Skala perilaku agresi
berbentuk skala Likert.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode try out terpakai,
yaitu pengambilan data hanya dilakukan satu kali; digunakan untuk uji validitas
dan uji reliabilitas sekaligus untuk uji hipotesis. Digunakannya metode try out
terpakai dalam penelitian ini dengan pertimbangan agar tidak mengganggu
kesibukan para remaja.
Pelaksanaan pengambilan data dilakukan pada remaja yang berjenis
kelamin pria dan wanita, berusia 12 sampai 21 tahun. Kuesioner disebar sebanyak
45 eksemplar. Dari 45 eksemplar hanya 44 eksemplar yang memenuhi syarat
untuk dianalisis, 1 eksemplar rusak.
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional
Pengujian validitas skala kecerdasan emosional dilakukan dengan
menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan melihat item total
correlation dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996),
koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga
hanya item-item yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap
valid.
Pada skala kecerdasan emosional, dari 69 item yang diujicoba, 30 item
dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 39 item. Korelasi
skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3291 sampai dengan
0.7450.
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji
reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha
Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui
bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.9209 (>0.7) sehingga item dinyatakan
reliabel.
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Agresi
Pengujian validitas skala perilaku agresi dilakukan dengan menggunakan
teknik korelasi Product Momen Pearson dengan melihat item total correlation
dengan bantuan program SPSS versi 11. Menurut Azwar (1996), koefisien
validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.3. Sehingga hanya itemitem yang mempunyai total korelasi lebih dari 0.3 yang dianggap valid.
Pada skala perilaku agresi, dari 40 item yang diujicobakan, 11 item
dinyatakan gugur. Sehingga item yang valid hanya berjumlah 29 item. Korelasi
skor total pada item-item yang valid bergerak antara 0.3035 sampai dengan
0.7107.
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi skor pada alat tes. Uji
reliabilitas skala perilaku agresi pada penelitian ini menggunakan koefisien Alpha
Cronbach dengan menggunakan program SPSS versi 11. Hasilnya diketahui
bahwa koefisien reliabilitasnya sebesar 0.8975 (>0.7) sehingga item dinyatakan
reliabel.
Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Untuk uji normalitas digunakan alat bantu program SPSS versi 11 yaitu uji
Kolmogorov-Smirmov untuk menguji normalitas sebaran skor.
Berdasarkan pengujian normalitas pada variabel kecerdasan emosional
mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05) dan pada variabel perilaku
agresi mempunyai taraf signifikansi sebesar 0.200 (p>0.05). Secara umum dapat
dikatakan bahwa distribusi skor kecerdasan emosional dan perilaku agresi yang
telah diambil dianggap normal. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 8 berikut.
Tabel 8
Hasil Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirmova
Statistic
df
Sig.
p
Keterangan
Kecerdasan Emosional
.118
44
.200*
>0.05
Normal
Perilaku Agresi
.072
44
.200*
>0.05
Normal
b. Uji Linearitas
Dari hasil pengujian linearitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.000
(p<0.05), yang secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan kecerdasan
emosional dan perilaku agresi adalah membentuk garis linear.
Uji Hipotesis
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan uji
korelasi yaitu product moment Pearson, diperoleh signifikansi sebesar 0.000
(p<0.05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara skor kecerdasan emosional dan
perilaku agresi, signifikan. Nilai korelasi Pearson sebesar -0.553 menunjukkan
korelasi negatif. Jadi, hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi
terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja,
diterima, dan berarah negatif. Yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional
maka semakin rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah
kecerdasan emosional maka semakin tinggi perilaku agresi.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Berdasarkan hasil analisis,
diketahui bahwa hipotesis diterima berarti terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja, yang
berarti hubungan antara kecerdasan emosional berbanding terbalik dengan
perilaku agresi. Jadi, semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang maka
semakin rendah perilaku agresinya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan
emosional seseorang maka semakin tinggi perilaku agresinya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Aini (2004) yang menyebutkan
bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan
agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada
remaja akhir maka semakin rendah agresivitasnya.
Pada studi yang dilakukan oleh Petrides, dkk (2006) yang menyelidiki
tentang peran kecerdasan emosional dalam hubungan teman sebaya di sekolah,
dengan hasil skor sifat kecerdasan emosional yang tinggi masuk dalam nominasi
‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’ dan yang kecerdasan emosionalnya lebih rendah
masuk dalam nominasi untuk ‘pengganggu’, ‘agresi’, dan ‘dependen’.
Goleman (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan tingkat
keterampilan emosi anak-anak pada pertengahan tahun 1970-an dengan keadaan
pada akhir tahun 1980-an. Berdasarkan penilaian para guru dan orangtuanya, ratarata anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik, seperti: menarik diri dari
pergaulan atau masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal
perhatian atau berpikir, kemudian nakal atau agresif.
Dari pendapat Ujianto (2006) Kecerdasan emosional menyangkut
kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain. Kecerdasan itu juga
berhubungan dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita
sendiri yang berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan.
Dari hasil penelitian juga diketahui perbandingan Mean Empirik dan Mean
Hipotetik variabel kecerdasan emosional dengan variabel perilaku agresi yang
dapat dilihat pada tabel 9 berikut.
Tabel 9
Mean Empirik dan Mean Hipotetik
Variabel
Mean Empirik
Mean Hipotetik
SD Hipotetik
Kecerdasan Emosional
104.07
97.5
19.5
Perilaku Agresi
63.11
72.5
14.5
Berdasarkan perhitungan pada skala kecerdasan emosional, rentang
minimum-maksimum adalah 39 x 1 sampai dengan 39 x 4, yaitu 39 – 156 dengan
jarak sebaran 156 – 39 = 117 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 117 : 6
= 19.5. Dengan mean empirik berada diantara mean hipotetik + 1SD (97.5 + 19.5)
yaitu sebesar 117. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berada
pada kategori sedang. Dan pada skala perilaku agresi, dengan rentang minimummaksimum adalah 29 x 1 sampai dengan 29 x 4, yaitu 29 – 116 dengan jarak
sebaran 116 – 29 = 87 dan satuan deviasi standarnya bernilai SD = 87 : 6 = 14.5.
Dan mean empirik berada diantara mean hipotetik - 1SD (72.5 - 14.5) yaitu
sebesar 58. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresi berada pada kategori
sedang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada grafik skala kecerdasan emosional
sebagai berikut ini:
Sedang
Rendah
39
58.5
Tinggi
78
97.5
104.07
117
136.5
Gambar 2. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik
Kecerdasan Emosional
156
Grafik perilaku agresi, sebagai berikut:
Sedang
Rendah
29
43.5
58
Tinggi
63.11
72,5
87
101.5
116
Gambar 3. Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Hipotetik
Perilaku Agresi
Selain hasil mean empirik dan mean hipotetik di atas, pada tabel 10 di
bawah ini dapat dilihat dalam hubungan antara kecerdasan emosional dan perilaku
agresi dengan hasil deskripsi dari subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 10
Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
%
Mean Skala
Mean Skala
Kecerdasan Emosional
Perilaku Agresi
Pria
22
50
106.14
63.95
Wanita
22
50
102
62.27
Berdasarkan pada mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di
atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional pada subjek yang berjenis kelamin
pria lebih tinggi daripada wanita. Kemudian pada mean skala perilaku agresi
dapat dilihat bahwa perilaku agresi pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih
tinggi daripada wanita.
Hal ini sesuai dengan pendapat Furnham (2000) yang menyatakan bahwa
walaupun wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria pada komponen
keterampilan sosial, namun dalam segi penilaian diri yang dikombinasikan dalam
sebuah skala yang reliabel dan pengukuran yang dilakukan oleh partisipan
terhadap komponen-komponen kecerdasan emosional memiliki hasil yang
konstan, hal tersebut menunjukkan bahwa dapat dipercaya bahwa pria lebih tinggi
kecerdasan emosionalnya daripada wanita. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari (2002) bahwa wanita lebih tinggi
kecerdasan emosionalnya daripada pria, wanita lebih tinggi kemampuannya dalam
mengetahui satu jenis emosi, menghargai emosi pada orang lain dan memelihara
hubungan, dan tidak ada perbedaan mengontrol emosi dan memotivasi diri satu
sama lain.
Hurlock (1980) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan
sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan”
emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih
tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat
diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum
bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti
anak-anak atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan
emosi memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu
emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.
Hasil yang menunjukkan bahwa perilaku agresi pada pria lebih tinggi
daripada wanita mungkin dikarenakan bahwa wanita mempunyai lebih banyak
kecemasan agresi dibandingkan pria. Kecemasan agresi merupakan hambatan
agresi yang dipelajari secara umum (Fescbach dalam Sears, dkk, 1994). Berkowitz
(2003) menyebutkan agresi lebih khas pria dibanding wanita, dan kebanyakan
studi tentang agresi terfokus kepada pria. Hal ini menunjukkan bahwa pria dan
anak laki-laki yang cenderung menyimpang dari banyak aturan masyarakat dan
norma sosial memiliki dorongan agresif yang kuat yang merupakan salah satu
komponen dari sifat dasarnya yaitu antisosial. Agresi pada wanita, seperti halnya
pada pria, mereka kadang suka menyakiti orang lain. Sebagian wanita bahkan
sangat cenderung menyerang secara fisik orang yang membuatnya jengkel
(Berkowitz, 2003).
Dan perbedaan kedua mean tersebut mungkin dikarenakan adanya
perbedaan sifat berdasarkan kedua jenis kelamin tersebut seperti pendapat dari
Dagun (dalam Baso, 2006) bahwa pria memiliki sifat seperti: melindungi,
rasional, berani, agresif, tegas, kasar, terbuka, ingin menguasai, kuat, maskulin,
ingin menjadi pemimpin, sportif, mudah tertarik pada lawan jenis, pendiam, aktif,
solider, pantang putus asa, keras kepala dan pemarah. Sedangkan wanita memiliki
sifat seperti: peka, lembut, cerewet, emosional, manja, keibuan, senang
berdandan, penyabar, pemalu, mudah tersinggung, teliti, suka membicarakan
orang lain, rajin, tekun, cengeng, jujur, materealistik, setia, tertutup, dan penuh
pengertian.
Kemudian pada tabel 11 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara
kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek
penelitian berdasarkan usia.
Tabel 11
Deskripsi Subjek berdasarkan Usia
Usia
Mean Skala
Mean Skala
(dibagi menjadi beberapa fase yang
Kecerdasan
Perilaku
dikemukakan oleh Mutadin (2002))
Emosional
Agresi
12 - 15 th (Remaja awal)
112.38
66.84
15 - 18 th (Remaja pertengahan)
105.47
64.90
18 - 21 th (Remaja akhir)
100.13
61.08
Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional dan mean skala perilaku
agresi pada data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan
perilaku agresi dari yang tertinggi sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 18 tahun, dan 18 - 21 tahun.
Hal tersebut diatas dapat terjadi mungkin dikarenakan adanya perbedaan
ciri pada setiap fase dalam kehidupan remaja seperti yang dikemukakan oleh
Sternberg (1998) pada fase remaja awal, individu dapat berpikir secara abstrak,
memiliki pemikiran-pemikiran yang egosentris, dan empati yang dimilikinya
belum konsisten. Biasanya pemikiran dan tindakan yang mereka lakukan tidak
sejalan dan keduanya berbeda. Pada fase remaja tengah, adanya perubahan emosi
yang terjadi. Pada fase remaja akhir, individu mereka sudah dapat mengolah
emosi yang mereka alami secara mandiri. mereka mampu memahami emosi diri
sendiri dan orang lain. Disamping itu, mereka mulai membutuhkan kemampuan
untuk beradaptasi terhadap lingkungan sosial yang tinggi.
Hurlock (1996) mengemukakan bahwa kondisi fisik, kondisi psikologis
dan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi remaja. Berarti
ketiga kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi kecerdasan dan perilaku agresi
yang ada pada remaja.
Kemudian pada tabel 12 di bawah ini dapat dilihat hubungan antara
kecerdasan emosional dan perilaku agresi dengan hasil deskripsi dari subjek
penelitian berdasarkan urutan kelahiran.
Tabel 12
Deskripsi Subjek berdasarkan Urutan Kelahiran
Urutan Kelahiran Jumlah
%
Mean Skala
Mean Skala
Kecerdasan Emosional Perilaku Agresi
Sulung
18
41
97.44
65.56
Tengah
13
29.5
105.92
62.62
Bungsu
11
25
110.45
62.82
Tunggal
2
4.5
116.50
46
Berdasarkan mean skala kecerdasan emosional pada data tersebut di atas,
dapat dilihat bahwa urutan kecerdasan emosional dari yang terendah sampai
tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Kemudian pada mean skala
perilaku agresi dapat dilihat bahwa urutan perilaku agresi dari yang tertinggi
sampai pada yang terendah adalah sulung, bungsu, tengah, dan tunggal.
Hasil dari tersebut diatas berbeda dengan pendapat Soesilowindradini
(2004) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran dalam keluarga khususnya anak
sulung cendrung lebih memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik
dibandingkan dengan anak tengah dan anak bungsu. Yang dalam hal ini ditandai
dengan ciri-ciri yaitu kesadaran diri yang cukup baik, berperilaku yang cukup
matang, mampu berprestasi, bertanggung jawab dan melindungi adik-adiknya.
Kemudian jika dilihat dari perilaku agresi berdasarkan urutan kelahiran,
hasil tersebut diatas berbeda dengan penelitian Begum, dkk (1981) yang
mendapatkan hasil bahwa anak tengah memiliki kebutuhan agresi yang tertinggi
dan anak sulung berada pada tingkat yang terendah.
Hasil tersebut diatas terjadi mungkin karena adanya perbedaan stabilitas
emosi yang dimiliki pada setiap urutan kelahiran, seperti yang dikemukakan oleh
Eisenman (dalam Guastello & Guastello, 2002) berpendapat bahwa anak sulung
cenderung memiliki ketakutan yang berlebih, dan beberapa anak sulung lebih
menunjukkan lebih banyak kecemasan dan kreativitas. Kemudian Kaur & Dheer
(dalam Guastello & Guastello, 2002) menemukan bahwa anak tengah cenderung
memiliki kestabilan emosi dibandingkan anak sulung dan anak bungsu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data yang telah
dilakukan penulis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi terdapat hubungan antara
kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pada remaja adalah diterima, dan
berarah negatif yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin
rendah perilaku agresi, demikian sebaliknya semakin rendah kecerdasan
emosional maka semakin tinggi perilaku agresi.
Dalam penelitian ini juga diperoleh hasil perhitungan pada skala
kecerdasan emosional dan skala perilaku agresi yang menggambarkan kecerdasan
emosional berada pada kategori sedang. Sedangkan pada perilaku agresi berada
dalam kategori sedang.
Berdasarkan hasil deskripsi subjek penelitian ditemukan bahwa kecerdasan
emosional pada subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi daripada wanita.
Kemudian pada perilaku agresi subjek yang berjenis kelamin pria lebih tinggi
daripada wanita. Berdasarkan usia yang dibagi berdasarkan beberapa fase remaja
dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional dan perilaku agresi dari yang tertinggi
sampai terendah adalah usia 12 - 15 tahun, 15 - 18 tahun, dan 18 - 21 tahun. Serta
berdasarkan urutan kelahiran, urutan kecerdasan emosional dari yang terendah
sampai tertinggi adalah sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Sedangkan urutan
perilaku agresi dari yang tertinggi sampai pada yang terendah adalah sulung,
bungsu, tengah, dan tunggal.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi subjek penelitian, guna mengurangi perilaku agresi yang dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain diharapkan untuk lebih
meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
2. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menyertakan variabel lain yang
terkait dengan kecerdasan emosional dan perilaku agresi, misalnya
kecemasan, harga diri, dan lainnya. Agar penelitian semakin beragam dan
pengetahuan tentang kecerdasan emosional dan perilaku agresi semakin luas.
Daftar Pustaka
Aini, F. Q. 2004. Kecerdasan Emosi dan Agresivitas pada Remaja Akhir. Skripsi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Anonim.
2002.
SMUN
5
Kembali
Diserang
Remaja
Bermotor.
(http://www.pikiran-rakyat.com).
Anonim. 2003. Pelajar Tewas Akibat Tawuran. (http://www.kompas.com).
Azwar, S. 1993. Buletin Psikologi tahun 1 No. 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Azwar, S. 1996. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi
Belajar. Edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2005. Tes Prestasi : Fungsi dan pengembangan Pengukuran Prestasi
Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baso, M. 2006. Perbedaan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Antara Pria
Dan Wanita. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi universitas Gunadarma.
Berkowitz, L. 2003. Emotional Behavior: Mengenali Perilaku dan Tindak
Kekerasan di Lingkungan Sekitar Kita dan Cara Penanggulangannya
(Buku Kesatu). Jakarta: Penerbit PPM.
Dariyo, A., & Tiatri, S. 2003. Hubungan Antara Pengalaman Memperoleh
Hukuman Fisik Sejak Masa Anak dengan Perilaku Agresif Saat Remaja.
(http://www.psikologi-untar.com).
Davis, M. 2006. Tes EQ Anda. Penerbit PT Mitra Media.
Furnham, A. 2000. Gender Differences in Measured and Self-Estimated Trait
Emotional
Intelligence.
Sex
Roles:
A
Journal
of
Research.
(http://www.findarticles.com)
Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. Alih bahasa: Hermaya, T. Jakarta: PT
Gramedi Pustaka Utama.
Gottman, J & De Claire, J. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Jakarta: Penerbit PT Gramedi Pustaka Utama.
Guastello, D. D & Guastello, S. J. 2002. Birth Category Effect on the Gordon
Personal Profile Variables. JASNH, 2002, Vol. 1, No. 1, 1–7. Reysen
Group. (www.jasnh.com.)
Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-teori
Psikodinamik (Klinis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hall, C. S., & Lindzey, G. 1993a. Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik
(Organismik-Fenomenologis). Editor: Dr.A.Supratiknya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kamo, R. 2001. Perbedaan Kecenderungan Agresi pada Remaja dengan Tipe
Kepribadian A dan B di SMU Bintara. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma.
Kantor Menteri Negara Kependudukan BKKBN. 1998. Laporan Penelitian:
Remaja dan permasalahannya. (http://hqweb01.bkkbn.go.id).
Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco.
Kumalasari, R. 2002. Perbedaan Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Jenis
Kelamin Pada Siswa SMU Negeri 1 Giri Banyuwangi. Tesis. Malang:
Universitas Muhammadiyah.
Mashum, Y., & Wahyurini, C. 2004. Memahami Perkembangan Kita.
(http://www.kompas.com).
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto, S. R. 2002. Psikologi Perkembangan:
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Murdowo,
J.
2002.
Kerusakan
Mental
Remaja
Memprihatinkan.
(http://www.suaramerdeka.com).
Mutadin, Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. (http://www.epsikologi.com).
Mutadin,
Z.
2002a.
Faktor
Penyebab
Perilaku
Agresi.
(http://www.e-
psikologi.com).
Paton, P. 2002. EQ Pengembangan Sukses Lebih Makna. Penerbit PT Mitra
Media.
Petrides, K. V., Sangareau, Y., Furnham, A., & Frederickson, N. 2006. Social
Development : Trait Emotional Intelligence and Children’s Peer Relations
at School. (http://www.blackwell-synergy.com).
Ritandiyono. 2004. Peranan Kemandirian dan Kecerdasan Emosional terhadap
Prestasi Belajar Siswa Program Percepatan Belajar dan Program Reguler
SMUN 81 dan SMU Lab School Jakarta. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Riyanti. B. P. D., & Prabowo. H. Seri Diktat Kuliah: Psikologi Umum 2. Jakarta:
Penerbit Universitas Gunadarma.
Rumini, S., & Sundari, S. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sadarjoen, S. S. 2000. Keberingasan Individual Remaja, Dampak Keberingasan
Kolektif?. (http://www.kompas.com).
Sarwono, S.W. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Sarwono, S. W.2004. Kecerdasan Emosi. (http://sarlito.blogspot.com)
Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. 1994. Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih
Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Penelrbit Erlangga.
Silvana, R. 2002. Perbedaan Kecenderungan Agresi Pada Remaja Ditinjau dari
Peran Jenis. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Soesilowindradini. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Surabaya: Usaha
Nasional.
Tambunan, R. 2006. Perkelahian Pelajar. (http://www.duniaesai.com).
Tridayanti, M. 2006. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kenakalan Remaja.
Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Ujianto,
B.
2006.
Kecerdasan
Manusia
Diidentikan
dengan
IQ.
(http://suaramerdeka.com).
Utami, S. P. 2001. Hubungan Kesesakan dengan Agresivitas Remaja di
Lingkungan Padat. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.
Ghozali,
A.
2002.
Jurnal
Pendidikan
dan
Kebudayaan
No.037.
(http://www.depdiknas.go.id.htm).
Wilis, S. 1994. Problem Remaja dan Pemecahannya. Bandung: Penerbit Angkasa.
Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
Rosdakarya.
Download