BAB I PENDAHULUAN

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kredit macet sektor perumahan di Amerika Serikat menjadi awal
terjadinya krisis ekonomi global. Krisis tersebut menjadi penyebab ambruknya
pasar modal Amerika Serikat dan anjloknya indeks harga saham di Bursa Efek
New York (NYSE). Kondisi ini diperparah lagi dengan melambungnya harga
minyak dunia yang membuat keadaan perekonomian Amerika Serikat semakin
terpuruk. Konsekuensi dari terjadinya krisis di Amerika tersebut berdampak pada
perlambatan ekonomi yang mengakibatkan melemahnya tingkat permintaan di
seluruh dunia. Negara-negara maju mengalami resesi yang cukup parah. Tidak
hanya negara maju, negara berkembang seperti Indonesia pun ikut merasakan
dampak dari krisis tersebut.
Selain bursa saham di Amerika, Indeks harga saham di bursa global juga
mengalami keterpurukan, termasuk bursa saham di Indonesia. Terjadi kepanikan
yang melanda para investor dan berkembangnya sentimen negatif, mengakibatkan
banyak harga saham yang nilainya menurun. Pemerintah Indonesia pun kelihatan
panik dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal
dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di
Amerika dirasakan oleh negara Indonesia (Mochamad, 2013).
Di era globalisasi saat ini, peranan pasar modal bagi perekonomian suatu
negara sangatlah penting. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi
2
perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi
kegiatan berinvestasi. Pasar modal merupakan salah satu alat penggerak
perekonomian di suatu negara, karena pasar modal merupakan sarana pembentuk
modal dan akumulasi dana jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penggerakan dana guna menunjang pembiayaan
pembangunan nasional (Aditya, 2011).
Pasar modal yang ada di Indonesia merupakan pasar yang sedang
berkembang (emerging market) yang dalam perkembangannya sangat rentan
terhadap kondisi makroekonomi secara umum (Aditya, 2011). Bila dibandingkan
dengan situasi pada dekade sebelumnya, kondisi pasar modal saat ini memang
telah jauh berbeda. Terjadi perkembangan yang cukup pesat dan diluar dugaan.
Walaupun demikian, bukan berarti kegiatan dalam pasar modal dapat berjalan
dengan mulus tanpa rintangan. Pergerakan pasar yang sedang mengalami
perbaikan atau mengalami penurunan dapat dilihat pada nilai-nilai saham yang
tercatat pada Indeks Harga Saham Gabungan (Trisnadi, 2013).
Bursa efek memiliki beberapa indeks sektoral. Saat ini ada 10 sektor yang
ada di BEI yaitu sektor Pertanian, Pertambangan, Industri Dasar, Aneka Industri,
Barang Konsumsi, Properti, Infrastruktur, Keuangan, Perdangangan dan Jasa, dan
Manufaktur. Salah satu sektor yang mempunyai kontribusi besar terhadap
perekonomian Indonesia adalah sektor manufaktur.
Sektor manufaktur Indonesia sempat menjadi primadona di kawasan Asia
bersama Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia. Pertumbuhan riil sektor
manufaktur Indonesia mencapai dua digit pada periode 1990-an. Pencapaian ini
3
didukung oleh karakteristik industri indonesia yang memiliki sumberdaya
manusia yang murah, dan sumberdaya alam yang melimpah (Eisha, 2014).
Peranan sektor manufaktur di Indonesia terus mengalami penurunan.
Penurunan kinerja sektor manufaktur disebabkan oleh banyak faktor dan secara
umum dapat dibedakan menjadi dua, yakni permasalahan struktural dan
organisasi. Pola ekspor manufaktur Indonesia menunjukkan adanya konvergensi
ke arah penggunaan teknologi tinggi sampai dengan krisis 1997. Tetapi, pasca
krisis (1998-2003) cenderung stagnan, bahkan mengarah ke penggunaan low
technology. Ekspor manufaktur Indonesia sebagian besar adalah produk-produk
berteknologi medium dan rendah, sedangkan yang berteknologi tinggi masih
sangat kecil (www.fiskal.depkeu.go.id).
Sektor industri di Indonesia telah diluluhlantahkan oleh krisis ekonomi
Asia yang melanda pada akhir tahun 1990-an. Krisis ini menyebabkan
pertumbuhan sektor manufaktur yang tidak pernah kembali ke level sebelum
krisis, dan harus tertatih-tatih untuk meraih pertumbuhan positif. Berdasarkan
laporan World Economic Forum (WEF), permasalahan daya saing industri
manufaktur Indonesia yang menurun dapat dilihat dari bebagai faktor seperti
kondisi makro ekonomi yang kurang kondusif, kualitas kelembagaan publik yang
buruk, dan arah kebijakan pengembagan teknologi yang minim (Eisha, 2014).
Industri manufaktur merupakan sektor utama pendorong pertumbuhan
ekonomi (Tri, 2010). Selain memiliki pangsa ekspor yang besar, industri
manufaktur juga menduduki urutan atas dalam hal penyerapan tenaga kerja. Selain
alasan tersebut, diambilnya sektor ini sebagai objek penelitian karena sektor ini
4
merupakan salah satu sektor dengan volatililitas saham yang cukup tinggi. Hal ini
terlihat pada indeks saham sektor manufaktur selama periode tahun 2010-2013
pada gambar 1.1.
1600.000
Jan
1400.000
Feb
1200.000
Mar
1000.000
Apr
Mei
800.000
Jun
600.000
Jul
400.000
Ags
200.000
Sep
Okt
0.000
2010
2011
2012
2013
Nov
Gambar 1.1
Grafik Indeks Saham Sektor Manufaktur
Banyak faktor yang mewarnai pasang surut kegiatan di pasar modal, baik
yang berasal dari dalam negeri (internal) maupun luar negeri (eksternal). Faktorfaktor eksternal tersebut dapat berasal dari indeks bursa efek di negara lain, harga
minyak mentah dunia, harga emas dunia, dan berbagai peristiwa politik yang
mempengaruhi keamanan dan stabilitas perekonomian dunia (Trisnadi, 2013).
Sedangkan faktor-faktor internal berasal dari tingkat inflasi, tingkat suku bunga,
nilai tukar mata uang, produk domestik bruto, jumlah uang yang beredar, dan
faktor makroekonomi lainnya.
Inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus-menerus. Menurut Emmanuel dan Samuel (2009) dalam Ronald (2012),
5
inflasi menimbulkan ketidaknyamanan yang serius bagi konsumen, investor,
produsen, dan pemerintah. Meningkatnya inflasi merupakan sinyal negatif bagi
kegiatan pasar modal.
Tabel 1.1
Perkembangan Tingkat Inflasi Tahunan Indonesia dan Indeks Harga Saham
Sektor Manufaktur Tahun 2010-2013
Indeks Harga Saham
Tahun
Tingkat Inflasi (%)
Sektor Manufaktur
2010
6.96
823.14
2011
3.79
992.47
2012
4.30
1,147.91
2013
8.38
1,150.62
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Statistik Bursa Efek Indonesia
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Indonesia dari tahun
2010-2013 mengalami fluktuasi. Tahun 2010 tingkat inflasi mengalami kenaikan
dari tahun sebelumnya, akan tetapi pada tahun 2011 tingkat inflasi kembali turun
menjadi sebesar 3.79%. Pada tahun 2002, terjadi kenaikan inflasi kembali,
walaupun tidak terlalu besar, yaitu menjadi 4.30%, dan di tahun 2013 tingkat
inflasi mengalamai kenaikan kembali hampir dua kali lipatnya menjadi 8.38%.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa pengaruh tingkat inflasi
bervariasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 2010-2011, tingkat inflasi dan
indeks harga saham sektor manufaktur menunjukkan pengaruh negatif, dimana
ketika tingkat inflasi turun indeks harga saham naik. Fenomena ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad (2009), Ika (2010) dan Udoka et al
(2013). Sedangkan pada periode tahun 2011-2013, dimana tingkat inflasi dan
indeks harga saham sektor manufaktur menunjukkan pengaruh positif. Ketika
tingkat inflasi naik indeks harga saham juga mengikuti pergerakannya. Fenomena
6
ini bertentangan dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa
inflasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik atau memiliki
pengaruh negatif yang signifikan terhadap indeks harga saham.
Nilai tukar mata uang (kurs) merupakan perbandingan antara nilai mata
uang suatu Negara dengan mata uang Negara lain yang dapat dipertukarkan atau
diperjualbelikan. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal. Menurunnya nilai
kurs dapat menyebabkan naiknya biaya impor bahan baku dan suku bunga yang
dapat mengakibatkan berkurangnya laba sehingga berdampak pada turunnya
harga saham.
Tabel 1.2
Kurs Tengah Rupiah terhadap Dollar Tahun 2010-2013
Tahun
2010
2011
2012
2013
Sumber : Informasi Kurs Bank Indonesia
Kurs Tengah
9,583.93
9,279.49
9,880.39
10,951.37
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kurs rupiah terhadap dollar mengalami
fluktuasi selama periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. Tahun 2010 nilai
rupiah menguat terhadap dollar dibanding tahun sebelumnya ke level Rp 9,583.93.
Pada tahun 2011 nilai rupiah kembali menguat menjadi Rp 9,279.49 per dollar.
Akan tetapi, tahun 2012, nilai tukar rupiah melemah kembali
ke level Rp
9,880.39. Dan di tahun 2013, kembali melemah lagi ke level Rp 10,951.37.
Jika disandingkan data pada tabel 1.2 dengan indeks harga saham
manufaktur, maka dapat diketahui bahwa pengaruh dari nilai kurs tehadap indeks
7
harga saham manufaktur bervariasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 20102011, Nilai rupiah menguat (ditandai dengan mengecilnya nominal angka) dan
indeks harga saham sektor manufaktur naik, hal ini menunjukkan pengaruh
negatif, dimana ketika nilai tukar Rupiah terhadap dollar naik, indeks harga saham
naik. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali
(2009). Sedangkan pada periode tahun 2011-2013, dimana nilai tukar dollar
menguat dan indeks harga saham sektor manufaktur naik, hal ini menunjukkan
pengaruh positif. Fenomena ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Achmad (2009) yang menyatakan bahwa menguatnya nilai tukar mata uang dollar
terhadap rupiah dapat berakibat pada peningkatan nilai indeks saham properti.
Tabel 1.3
Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) Tahun 2010-2013
Tahun
ICP (US$/BBL)
2010
79.40
2011
111.55
2012
112.73
2013
105.84
Sumber : statistik harga minyak mentah Indonesia Kementerian ESDM
Minyak mentah atau Crude Oil merupakan komoditas dan kebutuhan
utama dunia saat ini. Minyak juga merupakan komoditi yang memainkan peranan
yang cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Investor pasar modal
menganggap
bahwa
naiknya
harga-harga
energi
merupakan
pertanda
meningkatnya permintaan global, yang berarti membaiknya pemulihan ekonomi
global pasca krisis. Jika harga minyak mentah meningkat, ekspektasi terhadap
membaiknya kinerja perusahaan-perusahaan juga akan meningkat dan otomatis
harga sahamnya akan ikut naik (Putri, 2012).
8
Pada tabel 1.3 dapat dilihat bahwa harga minyak mentah Indonesia (ICP)
mengalami fluktuasi selama tahun 2010 sampai 2013. Tahun 2010 sampai dengan
2012 ICP mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan harga minyak mentah
ini sejalan dengan naiknya indeks harga saham sektor manufaktur selama periode
tahun yang sama. Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Putri (2012) yang menyatakan bahwa harga minyak dunia mempunyai
pengaruh signifikan positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Sedangkan
pada tahun 2013 terjadi penurunan harga minyak mentah Indonesia, akan tetapi
hal ini bertolak belakang dengan indeks harga saham sektor manufaktur yang
tetap mengalami kenaikan. Fenomena ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Istriyansah (2013) yang menyatakan bahwa harga minyak
mentah Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan.
Berdasarkan latar belakang dan research gap dari penelitian terdahulu
tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya ke dalam penelitian yang
berjudul “Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar (Kurs), dan Harga Minyak Mentah
(ICP) Terhadap Indeks Harga Saham Sektor Manufaktur”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah inflasi berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham sektor
manufaktur?
9
2. Apakah nilai tukar (kurs) berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham
sektor manufaktur?
3. Apakah harga minyak mentah (ICP) berpengaruh signifikan terhadap indeks
harga saham sektor manufaktur?
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menganalisis pengaruh dari inflasi terhadap indeks harga saham sektor
manufaktur.
b. Menganalisis pengaruh dari nilai tukar (kurs) terhadap indeks harga saham
sektor manufaktur.
c. Menganalisis pengaruh dari harga minyak mentah (ICP) terhadap indeks
harga saham sektor manufaktur.
2. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini memiliki kontribusi sebagai berikut:
a. Kontribusi Praktik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi
yang menarik dan masukan bagi masyarakat luas terutama bagi investor
dalam mempertimbangakan keputusan investasi.
10
b. Kontribusi Kebijakan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
pembuat kebijakan dalam merumuskan peraturan-peraturan yang dapat
memberikan pengaruh positif bagi kegiatan investasi di pasar modal.
Download