Metode Sederhana dan Praktis Pengujian

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi dan Identifikasi Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat dengan diameter 0,5-1.5
p111,
biasanya tersusun dalam rangkaian tidak teratur seperti anggur, tidak bergerak dan
tidak membentuk spora.
Biakan muda bersifat Gram positif kuat, sedangkan pada
biakan yang lebih tua, banyak sel menjadi Gram negatif (Kloos dan Jorgensen, 1985).
Bakteri ini mudah tumbuh pada berbagai perbenihan, baik dalam keadaan
aerobik atau mikroaerofilik.
Tumbuh paling cepat pada temperatur 37OC, tetapi
pembentukan pigmen paling baik pada suhu kanlar (20"-25°C).
Menurut Smith
(1980), S. aureus dapat tumbuh baik pada suhu 25"-35"C, tetapi dapat tumbuh juga
pada suhu dibawah 8°C dan di atas 48°C. Koloni pada perbenihan padat berbentuk
bundar, halus, menonjol dan berkilau dengan pigmen berwarna abu-abu sampai kuning
emas tua.
Pada perbenihan agar darah dihasilkan berbagai tingkat hemolisis (Jawetz
et al., 1996).
StaphyIococcus aureus mempunyai metabolisme aktif, meragikan baxyak
karbohidrat dengan lambat, menghasilkan asam laktat, tetapi tidak menghasilkan gas.
Bakteri
ini
menghasilkan
mengkoagulase
katalase,
yang membedakannya
dari Streptococcus,
plasma (koagulase positif) serta menghasilkan berbagai enzim
ekstraseluler dan toksin. Relatif resisten terhadap pengeringan, panas (tahan terhadap
suhu 50°C selama 30 menit), terhadap NaCl 996, tetapi mudah dihambat oleh zat kimia
tertentu seperti heksaklorofen 3%.
StaphyZococcus aureus termasuk ke dalam famili Micrococcaceae, yang
bersifat non host speczyc dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun
hewan. Dalarn dunia kedokteran, secara klinis S. aureus merupakan salah satu spesies
yang penting dan merupakan patogen utama bagi manusia.
Hampir setiap orang sepanjang hidupnya pernah mengalami beberapa tipe
infeksi
S. aureus yang bervariasi dalam beratnya,
mulai dari keracunan makanan,
infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancarn jiwa.
Menurut Cunningham et a!. (1996) dan Tarkowski dan Wagner (1998), S.
aureus merupakan penyebab infeksi tulang dan persendian yang penting seperti, septic
arthritis dan osteomyelitis yang sulit untuk diobati. Hal ini dikaitkan dengan sejumlah
faktor virulensi, baik komponen ekstraseluler maupun dinding sel bakteri.
WHO (Isbandrio dan Wahyono, 1995) membagi mikroorganisme penyebab
infeksi nosokomial dalarn 3 kelompok dan S. aureus merupakan saIah satu bakteri
dalam kelompok patogen konvensional yang menyebabkan penyakit pada orarlg sehat,
karena tidak adanya kekebalan spesifik terhadap bakteri tersebut.
Sardjito et al. (1982) melaporkan bahwa S. aureus merupakan salah satu
mikroorganisme yang dijumpai pada pemeriksaan bakteriologis dari berbagai ruangan
(20 ruangan di tujuh Rumah Sakit di Jakarta) berikut peralatan dan beberapa
petugasnya,
yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan infeksi pasca bedah
(infeksi nosokomial). Sedangkan Djojosugito (1995) mengisolasi S. aureus dari pasien
bedah orthopedi, yang menunjukkan bahwa bakteri ini merupakan penyebab infeksi
nosokomial. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Pelczar el al. (1993).
Multiresisten Staphylococcus merupakan masalah yang muncul di tahun 1990an. Pada kurun waktu itu insiden infeksi Staphylococcus, begitu pula insiden infeksi
yang disebabkan oleh Staphylococcus yang resisten terhadap antibiotika telah
meningkat. Bakteri ini dapat bersumber dari penderita, personel Rumah Sakit dan
lingkungan sekitarnya (Weinstein, 1995; Karnpf et a L , 1998).
Selanjutnya meni~rut Weinstein (1995) dan Vandenbroucke-GrauIs (1398),
S. aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSAIMethicilZin Resistant S. aureus)
pertama kali muncul di benua Eropa lebih dari 20 tahun yang lalu, tapi setelah itu
dapat diisolasi di seluruh dunia. Sekali MRSA ditemukan di suatu Rumah Sakit,
bakteri ini akan tetap ada selama bertahun-tahun. Sangat sedikit obat antimikroba yang
aktif melawan MRSA. Diantara antibiotika yang lebih baru, telah terjadi peningkatan
resistensi MRSA terhadap kuinolon dan saat ini vankomisin adalah satu-satunya
antibiotika yang aktif membunuh semua strain MRSA.
Strain MRSA banyak menginfeksi pasien dalam terapi immunosuppressed
(pasien transplantasi), pasien luka bakar (trauma) atau penderita imunodefisiensi.
Penyebaran bakteri ini 65% terjadi melalui seragam perawat yang terkontaminasi.
Selain itu bakteri ini mampu hidup pada permukaan gelas, aluminium foil, polyvinyl
chloride, countertops dan stetoskop (Neely dan Maley, 2000).
Keracunan makanan dapat disebabkan oleh enterotoksin 5'. aureus yang
ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8 jam), rasa mual, muntah-muntah dan
diare yang hebat.
Penyembuhannya cepat dan tanpa demam. Sedangkan sindroma
syok toksik (akibat Toxic-shock syndrome toxin-I/TSST-1 enterotoksin) sering terjadi
pada 5 hari permulaan haid wanita muda yang
menggunakan tampon. Hal ini dapat
terjadi pula pada anak-anak atau pria yang mengaIarni infeksi luka oleh bakteri ini
(Cunningham et ab., 1996; Jawetz et al., 1996 ).
Faktor Virulensi
Staphylococcus aurezts mengandung polisakarida dan protein yang bersifat
antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Dinding sel
bakteri terletak di sebelah luar membran sel, membentuk suatu kulit kaku berpori dan
membungkus sel. Dinding ini memberikan perlindungan fisik bagi membran sel yang
lunak dan bagi sitoplasma di dalarn sel, terdiri dari kerangka struktural berikatan
kovalen yang rnengelilingi sel secara sempurna.
Struktur ini tersusun atas rantai
polisakarida panjang, paralel, dan saling berhubungan silang terhadap sesamanya pada
selnng tertcntu, oleh suatu rantai polipeptida pendek.
Rantai polisakarida tersebut
terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamir?dan asam N-asefil muramaf secara bergantiganti.
Pada S. aureus residu asam N-asetil muralnat pada rantai polisakarida yang
berdekatan saling dihubungkan satu-sama lain oleh pentapeptida yang terdiri clari lima
residu glisin.
Keseluruhan struktur bersilang yang mengelilingi sel disebut murein
(dinding) atau suatu peptidoglikan (Lehninger, 1995).
Peptidoglikan, suatu polirner polisakarida yang mengandung subunit-subunit
yang terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel.
Peptidoglikan
dihancurkan oleh asam kuat atau lisozirn. Hal ini penting dalam patogenesis infeksi,
karena zat ini menyebabkan monosit mernbuat interleukin-1 (IL-1) yaitu suatu pirogen
endogen dan antibodi opsonik, zat ini juga dapat menjadi zat kimia penarik
(kemoatraktan) untuk leukosit PMN (polymorphonuclear leucocyfe), mempunyai
aktifitas
mirip
endotoksin,
menghasilkan
fenomena
Schwartzman
lokal,
dan
mengaktifkan komplemen (Cunningham e t al., 1996; Jawetz et al., 1996 ).
TDx:
Sirnpal (beberapa slraln)
,
Anllgen prolein dinding sel (b)
0 pepthdo~14kan
(a)
1
salaput (sell slloplasma
Gambar 1.
Struktur Staphylococcus antigenik. (a) Tempat perlekatan baktcriofaga.
Terdapat antigen spesies (penentu antigen berupa N-asetilglukosamin
yang dikaitkan dengan poliribitol fosfat). (b) Antigen ganda; sebagian
didistribusikan secara luas (Jawetz et al., 1996).
Asam teikoat, merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat, berikatan dengan
peptidoglikan
dan
menjadi
bersifat
antigenik.
Keduanya,
asam
teikoat
dm
peptidoglikan, dapat mengaktifkan jalur alternatif komplemen, menyebabkan agregasi
platelet pada
pemunculan protein A, dan menstimulasi pelepasan IL-1 dari sel
monosit manusia. Kesemuanya itu merupakan penyebab signifikan dari pembentukan
septic shock (Cunningham et al., 1996).
Selanjutnya Cunningham et al. (1996) menyatakan, lebih dari 90% S. aureus
mempunyai kapsul polisakarida yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit
PMN, kecuali jika ada antibodi spesifik. Selain itu kebanyakan strain 5. aureus
mempunyai koagulase (Prasad et a / . , 1988 ; Lee, 1996) dan faktor penggumpal
(clumping factor) pada permukaan dinding, yang terikat secara nonenzimatik dengan
fibrinogen sehingga bakteri beragregasi (Kloos dan Jorgensen, 1985; Llmmler, 1988).
Koagulase merupakan protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma
yang telah diheri oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalarn
banyak serum. Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk rnenghasilkan esterase
dan menyebabkan aktiitas pembekuan dengan cara yang mirip dengan pengaktifan
protrombin nlenjadi trombin; dapat mengendapkan fibrin pada permukaan bakteri
sehingga bakteri tidak dapat difagositosis dan dapat invasif (Cunningham et a [ . , 1996;
Jawetz et al., 1996 ).
Ada 2 macam koagulase yang dihasilkan S. aureus, yaitu
koagulase yang terikat pada sel atau clumpingfactor dan koagulase ekstraseluler atau
p e e koagulase (Johnson dan Wadstrom, 1993). Hampir semua S. uureus koagulase
positif membentuk clumping factor yang bereaksi secara l a n g s ~ ~ ndengan
g
fibrinogen
tanpa faktor plasma dan berperan dalam penggumpalan plasma (Bisming dan
Amstberg, 1993).
Reaksi penggumpalan fibrinogen-staphylococcus antare lain dapat dilakukan
secara sederhana di atas gelas obyek (uji aglutinasi), uji hemaglutinasi terhadap
e~itrosit domba, uji mikrotiter dan pada SSA (Liimmler, 1988).
Faktor virulensi yang potensial dari S. aureus dapat dilihat pada Tahel I .
Tabel 1. Faktor virulensi potensial S. aureus (Lee, 1996)
Komponen terikat pada sel
Eksoensim
Eksotoksin
EpidemoIitik toksin
Protein A
KapsuI polisakarida
Peptidoglikan
Adhesin : jibronecrin-binding protein A and B,
fibrinogen-bindingprotein and
collagen-binding protein
Koagulase
Lipase
Hyaluronidase
Nuclease
Staphylokinase
Protease
Enterotoksin (A-E)
Leukocidin
Toxic-shocksyndron~etoxin I
a toksin
p toksin
y toksin
6 toksin
Enzim katalase akan rnengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan O2 dan
enzim ini dapat meinbedakan Staphylococcus dari Srreprococcus. 90%)dari S. rrureus
memproduksi a-hemolisin, yaitu eksotoksin yang menyebabkan lisis pada eritrosit
berbagai spesies termasuk kuda dan kelinci, kecuali eritrosit manusia relatif resisten.
Selain itu bersifat hidrofilik dengan berat molekul (BM) 34 kDa, dapat terikat pada
membran sel dari berbagai tipe sel, termasuk eritrosit, platelets, monosit dan sel-sel
endotel (Cunningham et al., 1996). Diduga toksin ini identik dengan faktor letal dan
faktor dermonekrotik eksotoksin (Jawetz et al., 1996), juga disebut pore forming
hemolytic toxins yang menyebabkan kerusakkan membran sel mamalia dan berperan
dalam patogenesis septic arthritis (Nilsson et a[., 1999).
Menurut Nilsson et al. (1999) lima toksin perusak membran yaitu 4 toksin
hemolisin (a-hemolisin, P-hemolisin, gamma dan delta) dan leukosidin berperan pada
osteomyelitis, endokarditis invasif, septic arthritis dan septisemia pada manusia.
Toksin P-hemolisin adalah suatu sphingomielinase (Wibawan, 1993), M ~ ~ + dependent sphyngomyelinase (Nilsson et al., 1999) yang merusak sphingomielin dan
bersifat racun terhadap berbagai jenis sel, termasuk sel darah manusia (Jawetz er al.,
1996) dan sphingomielin pada lapisan luar fosfolipid membran eritrosit (NiIsson et al.,
1999). Degradasi yang terjadi tidak menyebabkan sel lisis tetapi meninggalkan tempat
yang peka terhadap bahan yang bersifat litik (Nilsson et al., 1999).
Selain itu juga dihasilkan toksin gamma dan delta (Lee, 1996). Gamma toksin
dihasilkan oleh 99% strain S. aureus.
Toksin ini mengekspresikan 3 protein dan 2
komponen S (HigA dan HigC) dan 1 komponen F(HigB).
Lokus Hig dapat
mengekspresikan 2 pasangan protein yang fungsional (HigA+HigB dan HigC+HigB)
yang mempuilyai efek proinflammatory bila disuntikkan pada cairan vitreus mata.
Toksin ini berperan dalam patogenesis Toxic Schock Syndrome (TSS) bersama dengan
TSST-I (Nilsson et al., 1999).
Leukosidin merupakan toksin yang dapat mematikan sel darah putih dari
hewan-hewan yang terinfeksi S. aureus. Sedangkan toksin eksfoliatif (epidermolytic
toxins) meliputi sekurang-kurangnya 2 protein yang mengakibatkan deskuamasi
menyeluruh pada sindroma lepuh kulit Staphylococcus (Jawetz et al., 1996; Lee,
1996).
Toxic-shock syndrome toxin-1 (TSST-1) disebut juga superantigen, merupakan
protein dengan BM 22 kDa, merangsang proliferasi sel T secara tidak spesifik melalui
interaksi langsung dengan major histocompatibility complex tipe I1 (Tarkowski dan
Wagner, 1998).
Enterotoksin S. aureus sekurang-kurangnya terdapat 7 protein yang dapat larut
(A, B, C I , C 2 , Cj, D, E) dengan BM antara 26-30 kDa dan dihasilkan oleh hampir 50%
strain S. aureus, tahan terhadap pendidihan selama 30 menit dan tahan terhadap kerja
enzim-enzim usus. Toksin ini merupakan penyebab penting pada keracunan makanan
yang mengandung karbohidrat dan protein (Cunningham et al., 1996; Jawetz et a!.,
1996).
Protein A Staplzylococcus nureus
Protein A
diketahui merupakan komponen permukaan
yang umurnnya
ditemukan pada S. aureus (Sherris et a / . , 1984; Kusunoki et al., 1992). Protein A
merupakan polipeptida dengan BM 13-45 kDA, yang terikat secara kovalen pada
lapisan dinding sel S. aureus (Forsgren, 1970; Boyle dan Reis, 1987; Kusunoki et a [ . ,
1992; Takeuchi er al., 1995).
Menurut Uhlen et al. (1984) komposisi asam amino penyusun protein A mumi
berbeda-beda tergantung dari strain bakteri dan digestasi enzim proteolitik s e l m a
proses isolasi protein tersebut. Komposisi asarn amino Protein A dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini
Tabel 2. Komposisi asam amino protein A murni dari strain S. aureus Cowan 1 dan
strain metisilin resisten S. aureus (diringkas dari UhIen et a/., 1984)
Asam amino
Lysine
Histidine
Arginine
Aspartic acid
Threonine
Serine
Glutamic acid
Proline
Glycine
Alanine
Valine
Methionine
lsoleucina
Leucine
Tyrocine
Phenylalanine
Total
a
b
c
Cowan l a
52
4
5
82
5
17
65
27
30
34
5
2
9
27
5
12
Cowan l b
53
4
4
83
6
16
70
26
30
36
8
3
12
28
4
12
A676'
48
3
4
82
4
16
64
27
22
31
7
3
11
27
4
13
381
395
366
Diisolasi dari S.aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin.
Diisolasi dari S, aureus Cowan 1 yang didigestasi dengan enzim lisostapin.
Protein A ekstraseluler yang dihasilkan oleh strain MRSA.
Terminal (ujung) COOH protein A terikat pada dinding sel S. aureus
mengandung asam amino berulang dari ocfapeptide; yaitu asam glutamat (Glu), asarn
aspartat (Asp), glisin (Gly), arsenin (Asn), lisin (Lys), prolin (Pro), glisin (Gly) dan
lisin (Lys). Sedangkan ujung basa (NH2) terikat pada IgG. Pada bagian ini terdapat
4-5 daerah (region E, D, A, B dan C) homolog yang terdiri dari 58 asam amino, dalarn
ha1 ini 11 asam amino yang terletak pada bagian a helical mempunyai kemarnpuan
berikatan dengan fraksi Fc Ig (Uhlen et aZ.,1984).
Pada beberapa strain MRSA (Takeuchi et a/., 1995) dan pada pertumbuhan
eksponensial, protein A dapat berupa sekresi ekstraseluler tanpa melewati batas
dinding sel (Forsgren, 1970; Cox et al., 1986; Boyle dan Reis, 1987; Takeuchi et al.,
1995). Protein A juga dijumpai pada supernatan dari kultur kaldu, walaupun
konsentrasinya bervariasi tergantung pada strain dan teknik deteksi yang digunakan
(Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi et al., 1995; Cunningham el al., 1996).
Protein A populer dihasilkan oleh S. aureus galur Cowan I (Takeuchi et al.,
1995)
dan harnpir 98,9% genus Staphylococcus yang bersifat koagulase positif
menghasilkannya (Forsgren, 1970), antara lain isolat S. aureus asal sapi dan kambing
yang terkena mastitis (Jarp, 1990), isolat S. interrnedius asal anjing dan kucing (Cox
et al., 1986), isolat S. hyicus subsp. hyicus asal babi muda, ayam dan sapi (Takeuchi
er al., 1988; Takeuchi
et
al., 1995).
Prasad et al. (1988) melaporkan adanya korelasi yang sangat kuat antara
produksi protein A dari S. aureus asal manusia dan hewan dengan karakteristik
biokimiawi seperti koagulase, nuklease termostabil, DNase, produksi fosfatase,
aktifitas hemolitik, tellurit dan reduksi nitrat. Forsgren (1970) menambahkan adanya
korelasi protein A dari S. aureus dengan aktifitas deoksiribonuklease dan koagulase.
Secara biologis protein A berperan sebagai faktor virulensi bakteri, yaitu
marnpu berikatan kuat pada bagian Fc dari harnpir semua subklas imunoglobulin G
(IgG), kecuali
IgG3 (manusia); 1gG1 (mencit); IgG,, IgGz,, IgGzb (tikus); dan tidak
berikatan pada Fc
Ig ayam dan kambing (Boyle et al., 1985; Harlow dan Lane, 1988;
Takeuchi et aL, 1990). Protein A juga dapat berikatan dengan bagian Fc IgA dan IgM
pada beberapa spesies (Arbuthnott et al., 1983). Bagian Fab pada IgG ysng terikat
pada protein A menghadap keluar dan bebas berikatan dengan antigen spesifik
(Praseno, 1995; Jawetz, et al., 1996).
Protein A juga dapat berikatan dengan reseptor Fc pada leukosit PMN sehingga
opsonin tidak dapat melekat dan proses fagositosis
dihambat (Cunningham et a{.,
1996). Dengan terharnbatnya proses fagositosis, memberikan kesempatan pada
mikroba untuk berbiak dan menginvasi inang (Mims, 1982).
Reaksi protein A dengan fraksi Fc dari imunoglobulin dikenal dengan reaksi
pseudoimun, sebab secara imunodifusi, reaksi antara protein A dan rantai H Fc
imunoglobuli~l memperlihatkan endapan (Forsgren dart Sjoquist, 1966; Forsgren dan
Sjbquist, 1967). Hal yang sama juga dijumpai pada antibodi (Ab) yang berasal dari
kelinci dan marmot.
Narnpaknya Fc merupakan bagian yang praktis konstan dari
hewan ke hewan (Forsgren, 1968). Kemampuan pengikatan protein A terhadap Ig dari
beberapa spesies dapat dilihat pada Tabel 3 .
Tabel 3. Kemampuan pengikatan protein A terhadap imunoglobulin dari beberapa
spesies (disarikan dari Bjorck dan Kronvall, 1984)
Imunoglobulin
Cjenis dan asal spesies)
Manusia
IgG1
IgG2
IgG3
IgG4
Mencit
IgGl
IgG2a
IgGZb
IgG3
Tikus
IgG I
IgG2a
lgG2b
IgGZc
Kelinci
IgG
Sapi
IgG 1
IgG2
Domba
IgGl
IgG2
Kambing
lgGl
IgG2
Kuda
IgG (Fab)
IgG (Fc)
IgG (lisostapin)
Ayam *
Protein A
asal S . aureus
++
++
++
+
++
++
++
+
++
++
++
++
+
++
+
t
Keterangan :
++ mengikat kuat
+ mengikat kurang kuat
- tidak rnengikat
* diambil dari Kronvall et al. (1970)
dan Richman et al. (1 982) dalanz
Harlow dan Lane (1988).
Selain itu protein A dapat mengaktifkan komplemen serum, menyebabkan
kemotaksis dan
reaksi hipersensitifitas (Gustafo et al., 1968; Dosset et al., 1969;
Sjoquist dan Stalenhein, 1969; Kronvall et al., 1970; Takeuchi et a l . , 1988 dan
Takeuchi et ai.,1995), bersifat aglutinogenik terhadap serum yang berasal dari orang
sehat maupun terinfeksi (Leinhart ei al., 1963 d m KronvalI ei al., 1970). Hal ini
menunjukkan
suatu
peristiwa
telah
terjadi
dengan
komponen
serum
memperhatikan ada atau tidaknya antibodi spesifik terhadap protein ini.
tanpa
Ekspresi
protein A pada S. aureus diatur oleh gen regulator asesoris (agr) (Cunningham et al.,
1996).
Protein A menyebabkan fenomena immediate hypersensitivity bila disuntikkan
pada rnarmut, ini rnembuktikan terjadi pembentukkan kompleks Ag-Ab tanpa
melibatkan bagian Fab Ig, dalarn ha1 ini kompleks imun yang terjadi akibat ikatan
protein A bakteri dengan fraksi Fc Ig. Penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang
memiliki protein A dalam jumlah sedikit sebabkan fenomena anafilaksis, sedangkan
penyuntikkan suspensi bakteri S. aureus yang memiliki protein A dalam ju~nlah
banyak menyebabkan hemorrhagic Arthus-like reaction (Gustafo et al., 1968; Dosset
ei al., 1969). Menurut Martin dan White dalam Dosset el al. 1969 protein A dapat
menyebabkan dilepaskannya histamin oleh Ieukosit PMN.
Protein A sebagai antifagosit dengan cara memblokir sisi opsonik didukung
oleh faktor virulensi yang lain seperti leukosidin, hemolisin, koagulase
dm
penisilinase (Dosset et al., 1969). Sedangkan protein A dan clumping factor berperan
pada pelekatan bakteri S. aureus pada sel vero (Teranishi et aL, 1988).
Protein A merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknik diagnostik
laboratorium. Menurut Wibawan dan Pasaribu (1993), uji koaglutinasi dengan
menggunakan protein A merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan,
akurat (hasil menandirlgi imunodifusi), cepat (waktu uji hanya berlangsung 30 detik),
serta murah.
Banyak kegunaan imunologis protein A, antara lain (1) untuk pemurnian
imunoglobulin berdasarkan teknik afinitas kromatografi dan imunopresipitasi, (2)
sebagai konyugat untuk Western Blotting (berdasarkan daya ikatnya yang luas pada
beberapa
molekul imunoglobulin dari berbagai spesies), (3) berperan sebagai
koaglutinator reaksi serologis seperti penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld.
Penggunaan Protein A dalam Diagnostik
Atas dasar aktifitas ikatan yang spesifik, protein A berperan penting dalam
proses serologi, terutama pada identifikasi serologis dari bakteri penyebab penyakit
dan pada diagnosa penyakit infeksi (Lammler, 1988). Wibawan dan Pasaribu (1993)
melaporkan bahwa protein A berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis seperti
penentuan grup streptokokus menurut Lancefeld. Sebagai contoh pada protein A yang
berikatan dengan molekul IgG yang diarahkan terhadap Ag bakteri tertentu akan
mengaglutinasi bakteri yang mempunyai Ag itu (koaglutinasi) (Jawetz
el
ol., 1996)
Ikatan antara protein A dan reseptor F c suatu Ab dapat dilihat pada Gambar 2
Interaksi protein A dengan Fc Ig tidak mengubah kemampuan Ab untuk
berikatan dengan Ag, selain itu molekul protein A mudah direnaturasi dengan 4 M
urea, 4 M tiosianat, 6 M guanadin-HCI atau pH 2,5 dan walaupun afinitas terhadap A b
tinggi, ikatan Ag-Ab dapat dipatahkan secara efektif pada pH rendah.
Berdasarkan
karakteristik tersebut protein A dapat dimanfaatkan untuk mempelajari Ab dan
interaksi Ag-Ab (Harold dan Lane, 1988).
Protein A dapat digunakan pada berbagai aplikasi uji imunokimia.
Jika
diikatkan dengan radioaktif, enzim, fluoresens dapat menjadi reagen yang baik untuk
melokalisir Ab yang mempunyai afinitas tinggi terhadap protein A. Interaksi protein
A dan Ab sangat spesifik dan tergantung pH, sehingga dapat dibuat kolom protein A
untuk purifikasi Ab.
Bakteri yang mempunyai protein A tinggi pada permukaan
selnya, dapat dimanfaatkan untuk mengoleksi kompleks Ag-Ab (Harold dan Lane,
1988).
Gambar 2. Ikatan antara Protein A dan reseptor Fc suatu antibodi (Wibawan dan
Pasaribu, 1993).
Sementara itu, pemurnian imunoglobulin pada bebek berdasarkan teknik
afinitas kromatografi telah dilaporkan oleh Higgins et al. (1995). DaIam ha1 ini IgY
mengikat protein A secara efisien dan protein G secara lemah, sedangkan IgM
mengikat protein A dan G secara lemah.
Selanjutnya pemurnian imunoglobulin ini
telah dilakukan pula pada hewan-hewan lainnya antara lain pernumian IgGj dan IgGz
dari kambing (Rantarnaki dan Miiller, 1995); pemurnian IgG,, IgGb, IgG, dan IgG<Tl
dari kuda (Sheoran dan Holmes, 1996); pemurnian IgGl dan IgGz dari serum dan
kolostrum kerbau (Kakker dan Goel, 1993).
Praseno (1 995) mendapatkan cara alternatif pemeriksaan S. aureus dengan cara
koaglutinasi kaolin dan memanfaatkan keberadaan protein A pada bakteri. Metode ini
memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi, yaitu 98OA-100% dibandingkan uji
koagulase dan uji Manitol Salt Agar ( M S A ) dan lebih ekonomis dibandingkan
koaglutinasi lateks. Kaolin digunakan sebagai bahan aglutinasi, digabungkan dengan
IgG manusia yang diisolasi dengan menggunakan protein A S. aureus. Ikatan prorein
A dengan IgG dilepas dengan menggunakan asam.
Beberapa peneliti memanfaatkan protein A untuk identifikasi berbagai
penyebab penyakit infeksi.
Montassier el al. (1994) menggunakan protein A S.
aureus pada uji rapid coagglutination untuk mendeteksi dan menentukan serotipe
virus penyebab penyakit Mulut d m Kuku.
Metode ini mempunyai high agreement
dengan cara Complement Fixation Test (CFT). Chen et al. (1993) mendeteksi antigen
virus demam berdarah Dengue menggunakan Protein A Gold-Silver Staining Merhode
yang
mempunyai
sensitifitas d m
imunofluoresens antibodi.
spesifisitas yang sama dengan metode
uji
Sedangkan Liu dan Liang (1988) mendeteksi myxovirus
dari Aspergillus niger dengan protein A S. aureus sandwich ELISA dan virus
staphylococcal coagglutination.
Cara ini juga dipakai oleh Hughes dan Thomas
(1988) dalam mendeteksi Tobacco mosaic virus. Sernentara itu Furui (1986)
memodifikasi metode imunoelektronmikroskop dengan menggunakan serum yang
mengandung protein A dalam serum Agar pada deteksi dan identifikasi virus polio dan
rotavirus pada sapi. Terbukti modifikasi metode ini memiliki sensitifitas yang lebih
tinggi.
Studi menggunakan imunoglobulin anti protein A menunjukkan kemarnpuan
protein ini mengikat baik Fc maupun Fab dari antibodinya, sehingga imunisasi pasif
terhadap protein A dipertanyakan efektifitasnya.
Meskipun demikian banyak yang
optimis terhadap vaksinasi menggunakan S. aureus (Cunningham et al., 1996),
terutama penggunaan komponen luar permukaan sel (kapsul, peptidoglikan) dan
metabolit ekstraseluler seperti enzim-enzim
(Lee, 1996).
Hal ini terbukti dari
penggunaan outer surface protein A untuk penyakit Lyme yang disebabkan oleh
Borrelia b u r g d o r - i aman dan imunogenik (Schoen el al., 1995).
Protein A sebagai konyugat telah banyak dikomersilkan dan digunakan seperti:
konyugat protein A dan protein G berlabel emas, horseradish-peroksidase, alkalis
fosfatase ( ~ i o r a d ? , biotin, ferritin, peroksidase, danJuoresceinisothiocyanate (FITC)
(sigmam).
Xnteraksi S. nureus dengan cairan tubuh
Pada umumnya bakteri-bakteri patogen dengan komponen permukaan sebagai
determinan virulensi banyak mendapat perhatian penling. Permukaan bakteri adalah
sisi yang berinteraksi dengan jaringan
induk semang dan efektor-efektor imun
(Cunningham r t al., 1996).
Kapsul S. artreus berpotensi pada proses pelekatan dengan permukaan sel
induk semang, modulasi interaksi dengan efektor-efektor imun termasuk Ab dan sel
fagosit dan merangsang pelepasan sitokin dari lifosit T, sel epitel, sel endotel dan sel
monosit. Efek pelepasan sitokin ini dihambat oleh serum (Cunningham el a / . , 1996).
Menurut Foster dan McDevitt (1994) dalm Cunningham (1996) komponen
perrnukaan bakteri yang berperan dalam proses infeksi dan berinteraksi dengan cairan
tubuh induk semang adalah protein A, ,fibro?zectirr (Fn) binding protein (FnBP),
fibrinogen
binding protein, collagen binding proleiti, vitronectin, koagulase dan
clzmzping.factor .
Fibronectin ditemukan pada bahan buangan pada saat preparasi fibrinogen
(Momson e f aL. 1948 dalam Schmitt, 19901, sebagai plasma protein (Morrison dan
Umfleet, 1970 daiam Schmitt, 1990), karena struktur fibril dan kemampuan adhesinya
diberi nama fibronectin (Kesski dan Oja, 1976 &lam Schmitt, 1990).
Fzbronecfin binding protein
ditemukan pada permukaan
hampir
semua
S. aureus. Fibronectin adalah protein yang cepat melapisi benda asing yang terdapat
pada induk semang, terdapat pada matriks yang berhubungan dengan kerusakan sel
endotei dan ditemukan juga pada gumpalan darah, selain itu berperan dalam infeksi
tulang dan sendi (Cunningham et al., 1996).
Fibronectin merupakan glikoprotein yang dapat dijumpai dalam bentuk larutan
pada cairan tubuh atau pada matriks ekstraseluler.
Fungsi utama Fn adalah sebagai
wadah yang berperan sebagai substratum untuk adhesi pada sel-sel induk semang.
Adhesi ini diperantarai oleh reseptor yang dapat melekat pada tempat spesifik pada Fn.
Tempat perlekatan utama Fn pada bakteri Gram positif adalah pada terminal NH2
domain dari Fn (Fattom dan Naso, 1996; Casolini et al., 1998) yang tersusun ole11 45
asam anlino (Fattom et a]., 1996) dan mempunyai BM 210 kDa (Schmitt, 1990).
Menurut Schrnitt (1990) Fn berfungsi sebagai adhesin, glikoprotein dari Fn
mempunyai afinitas terhadap permukaan sel dan berperan sebagai substansi matriks
seperti fibrin, heparin atau kollagen, dapat juga bertindak sebagai mediator ikatan
aureus
pada
granulosit netrofil.
Reseptor Fn pada permukaan
S.
sel bakteri
memungkinkan mikroorganisme berikatan dengan Fn sel, ikatan ini dapat terganggu
dengan pemberian tripsin. FnBP berperan dalarn patogenesa endokarditis dan mastitis
pada sapi (Moreillon er al., 1995; Hienz et al., 1996).
Molekul glikoprotein Fn ditemukan pada daerah periseluler dari fibroblas dan
sel adheren lainnya, seperti pada sel endotel, chondrocyte, mioblas, sel hati, sel Glia
dan sel epitel (Schrnitt, 1990). Sel hati disanlping fibroblas merupakan penghasil Fn
utama.
Fn selain terikat pada sel ditemukan juga pada plasma, cairan serebrospinal,
saliva dan eksudat radang (Procton, 1987 dalam Schmitt, 1990).
Konsentrasinya
dalam plasma kira-kira 300 pg/ml (Mosher, 1980 dan Hormann, 1982 dalam Schmitt,
1990).
Menurut Raja et al. (1 990) FnBP dapat memicu perlekatan bakteri pada bekuan
plasma dan pada plastik yang dibungkus protein induk semang secara in vitro dan in
viva.
Penyisipan protein FnBP melalui plasmid pada isolat yang tidak memiliki
protein tersebut meningkatkan adhesi pada sel epitel (Sharon er al., 1999).
Vitronectin merupakan glikoprotein yang bersifat sebagai adhesin, mempunyai
afinitas terhadap gelas, menghambat sistim komplemen, berikatan dengan heparin dan
mengaktifkan trombin melalui antitrombin 111. Lebih jauh lagi selain sebagai adhesin,
vitronectin juga berperan dalam penyebaran, migrasi, proliferasi dan diferensiasi sel
(Schmitt, 1990).
Sarna dengan vitronectin, koagulase j uga dapat mengaktifkan
protrombin menjadi trombin.
Trombin yang terbentuk dapat rnengubah fibrinogen
menjadi fibrin yang akan melapisi bakteri sehingga terhindar dari proses fagositosis
karena sel-sel granulosit sulit menembus gumpalan fibrin (Schmitt, 1990).
Collagen binding protein berperan penting pada patogenesis osteomyelitis dan
septic arthritis. Protein permukaan sel ini dapat menjadi media pelekatan S. aureus
pada tulang rawan.
Strain yang diisolasi dari penderita osteomyelitis atau septic
arthritis mempunyai reseptor kolagen dan strain ini dapat memicu produksi IgG
dengan level yang tinggi dan interleukin-6 (IL-6) (Cunningham et al., 1996).
Sedangkan interaksi fibrinogen dengan reseptor memblokir fiksasi komplemen pada
permukaan bakteri (Schrnitt, 1990).
Uji keberadaan protein A S. aureus.
Berdasarkan kemampuan protein A mengikat fiaksi Fc berbagai IgG mamalia,
untuk mendeteksi keberadaan protein A selama ini digunakan beberapa metode antara
lain : rnetode double gel immunodiffusion, metode imunofluoresensi, metode indirect
hemagglutination, ELISA, slide hemagglutination test, microplate hemagglutination
test (Cox et a l . , 1986; Takeuchi et al., 1988 ; Takeuchi et al., 1995), single radial
immunodz~fusion,solid-phase radioimmunoassay (Cheung et al., 1987).
.
Metode-metode di atas tidak dapat mendeteksi protein A pada permukaan S.
aureus secara langsung, sehingga bakteri harus di digestasi dengan enzim lysostapin
untuk mendapatkan ekstrak protein A.
Metode immunofluoresensi selain rumit, memerlukan reagen dan peralatan
khusus seperti mikroskop elektron yang mahal. Pada uji ini diperlukan konyugat yang
berlabel
fluoresceinisothiocyanate/FITC
dan
buffer
gliserol.
Metode
immunofluoresensi sangat sensitif sehingga mudah terjadi reaksi silang dan dapat
menimbulkan hasil positif palsu dan negatif palsu.
Metode indirect hernagglufination, slide hemagglutination test dan rnicroplate
hemagglutination test rumit karena perlu preparasi eritrosit domba yang disensitisasi
oleh protein A dan antiserum kelinci terhadap eritrosit domba yang dititrasi.
Sedangkan rnicrop,plaie hemagglutinafion test menggunakan bovine serum albumin
yang mahal. Uji immunodifusi selain rumit dan mahal memerlukan waktu yang lama
(2 hari). Sedangkan Takeuchi et al. (1 990) menguji keberadaan dan kuantitas protein
A isolat S. hyicus subsp. hyicus dengan metode immunoelektron mikroskop, pada uji
ini digunakan konyugat goat antimouse ZgG yang berlabel partikel emas koloidal.
Teknik Soff Agar dan Serum Soff Agar (SA dan SSA)
Permukaan bakteri adalah sisi yang berinteraksi dengan jaringan induk semang
dan efektor-efektor imun sehingga berperan kunci pada proses penyakit (Cunningham
et al., 1996). Salah satu metode yang banyak digunakan untuk mempelajari karakter
permukaan bakteri adalah teknik Soft Agar.
Teknik So@ Agar (SA) digunakan untuk mernbedakan tipe antigen polisakarida
Streptococcus grup B dan untuk membedakan komponen antigen protein c a dan cp
Streptococcus grup B (Wibawan dan Liimmler, 1990). Selain itu sifat hidrofobisitas
bakteri, dalarn ha1 ini bakteri dengan derajat hidrofobitas tinggi memiliki koloni
berbentuk kompak pada SA, sedangkan bakteri dengan sifat hidrofil memiliki koloni
difus pada SA (Wibawan dan Larnmler, 1992).
Teknik Serum Sofr Agar (SSA) dapat digunakan untuk menentukan serotipe
Streptococcus grup B (SGB). Penentuan serotipe SGB didasarkan pula atas perubahan
koloni dari difus menjadi kompak.
Kehadiran antibodi homolog pada SSA
menyebabkan perubahan bentuk koIoni difus menjadi kompak pada bakteri yang
mempunyai antigen homolog, tetapi perubahan ini tidak dijumpai pada SGB yang
memiliki antigen heterolog (Wibawan dan Limmler, 1990).
SSA adalah metode
sederhana yang dapat dipakai untuk menunjukkan pengaruh Ab spesifik dalam
mengharnbat pembentukkan kapsul SGB (Wibawan, 1998).
Yoshida dan Minegishi (1970) dalam Baselga et al. (1994) menggunakan
teknik SSA untuk melihat keberadaan kapsul bakteri S. aureus.
Staphylococcus
aureus berkapsul membentuk koloni difus dengan bentuk seperti komet pada medium
SSA (medium semi solid yang mengandung serum bebas antibodi terhadap antigen
kapsul), sedangkan pada strain yang tidak berkapsul membentuk koloni kompak pada
SSA. Morfologi kompak dikarenakan adanya faktor aggregating serum yang terikat
bersama faktor yang ada pada sel bakteri melalui protein spesifik sel.
Menurut
Wilkins (1983) dalam Baselga et al. (1994), kapsul menghalangi faktor agregat dengan
dinding sel bakteri. Anderson (1984) dan Rather et al. (1986) dalam Mathews et aI.
(1991) berpendapat bahwa koloni difus S. auveus pada SSA tidak mengindikasikan
adanya kapsul melainkan karena bakteri tersebut menghasilkan slime.
Sutra et al. (1990) menggunakan teknik SSA untuk mempelajari karakter
pemukaan S. aureus yang diisolasi dari susu sapi yang terkena mastitis. Isolat bakteri
bila ditanam pada media yang ditarnbah susu selanjutnya ditanam pada media SSA
akan membentuk koloni d i h s . Isolat yang ditanam pada media susu menjadi lebih
hidrofilik daripada isolat yang dikultur pada media konvensional.
Selain itu isolat
yang hidrofilik ini tahan terhadap fagosit sel Ieukosit PMN.
Pada penelitian ini untuk mengetahui keberadaan protein A S. aureus
digunakan teknik sederhana, yaitu teknik SSA. Teknik ini didasarkan atas kemampuan
protein A berikatan dengan reseptor Fc imonoglobulin G berbagai spesies mamalia.
Protein A tidak dapat berikatan dengan bagian Fc imunoglobulin Y pada ayam
(Harlow dan Lane, 1988). Staphylococcus aureus yang mengandung protein A pada
SSA dengan serum normal kelinci koloninya kompak, sedangkan pada SA dan SSA
dengan s e w normal ayam koloninya difus.
Koloni yang kompak tersebut terjadi
karena hambatan perturnbuhan S. aureus oleh serum normal kelinci akibat ikatan
protein A dengan bagian Fc imunoglobulin G. Koloni S. aureus pada SA dan SSA
dengan serum normal kelinci atau serum normal ayam berbentuk difus, maka pada ha1
tersebut terdapat dua kemungkinan, yaitu S. aureus tidak nlemiliki protein A atau
mengandung protein A tetapi tertutup oleh kapsul bakteri.
,
Download