BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyakit Tuberkulosis
2.1.1
Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian kuman TB menyerang paru
tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.
2.1.2
Etiologi
Kuman ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan berkapsul. Berukuran 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm.
Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus.
Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan
terhadap asam dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika. Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI,
2005).
2.1.3
Epidemiologi
TB dianggap sebagai masalah kesehatan terpenting di dunia. WHO
menyatakan bahwa dari 1,9 milyar individu, sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. Sebagian besar
kasus TB dan kematiannya terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang. Alasan utama muncul atau meningkatnya beban TB global
ini antara lain:
5
6
1) Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang
sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di
negara maju.
2) Adanya perubahan demografi dengan meningkatnya penduduk dunia
dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.
3) Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di
kelompok yang rentan terutama di negeri-negeri miskin.
4) Tidak memadainya pendidikan mengenai TB diantara para dokter.
5) Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan
pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang
tidak adekuat.
6) Adanya epidemik HIV terutama di Afrika dan Asia (Amin dan Bahar,
2014).
Indonesia memiliki pasien tuberkulosis nomer tiga terbanyak di dunia
setelah India dan Cina (Ramatillah et al, 2014). Pada tahun 2010 WHO
mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi empat setelah India, Cina,
dan Afrika selatan dengan jumlah penderita tuberkulosis sebesar 0,37 juta
– 0,54 juta orang (Adriztina et al, 2014).
2.1.4
Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Proses terjadinya
infeksi M. tuberkulosis secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan
manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk
7
berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin
dan Bahar, 2014). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut
terhirup ke saluran pernapasan. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
oleh parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut.
2.1.5
Patogenesis
2.1.5.1 Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer terjadi jika penderita baru pertama kali terdiagnosa
tuberkulosis. Penderita dapat tertular melalui droplet nuclei yang ada di
sekitarnya. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat, ia akan
menempel pada salurah pernapasan atau jaringan paru. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sebagai sarang
primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal),
dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfangitis regional). Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu (Depkes RI, 2005).
8
2.1.5.2 Tuberkulosis Sekunder
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder.
Tuberkulosis sekunder terjadi akibat imunitas yang menurun (Amin dan
Bahar, 2014). Ciri khas TB sekunder adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
2.1.6 Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan penderita TB umumnya batuk berdahak selama
3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Batuk yang
terjadi karena iritasi pada bronkus (Amin dan Bahar, 2014). Selain batuk
penderita juga sering mengeluh demam, sesak napas, nyeri dada, malaise.
2.1.7
Diagnosis
Menurut American Thoraric Society dan WHO 1964 diagnosis pasti
tuberkulosis
adalah
dengan
menemukan
kuman
Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen
sewaktu pagi sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2005).
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000
kuman dalam 1 mL sputum (Amin dan Bahar, 2014).
Selain pemeriksaan sputum juga dapat dilakukan tes tuberkulin. Tes
tuberkulin yang biasa dipakai adalah tes Mantoux yakni dengan
menyuntikan 0,1 cc tuberkulin Purified Protein Derivative (P.P.D)
intrakutan
9
2.1.8
Pengobatan
Penggunaan Obat Anti TB (OAT) yang di pakai dalam pengobatan TB
adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman
Mycobacterium. Untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsipprinsip yang dipakai adalah (Depkes RI, 2005) :
a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
1. Tahap Intensif :
a. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
10
2. Tahap Lanjutan :
a. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat yang umum dipakai dalam pengobatan tuberkulosis adalah
Isoniazid (H), Etambutol (E), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan
Streptomisin (S). Dalam pengobatan TB mempunyai kode standar yang
menunjukan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian
(harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh :
2HRZE/4H3R3, artinya tahap awal intensif adalah 2HRZE dimana lama
pengobatan 2 bulan, masing-masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari.
Tahap lanjutan adalah 4H3R3 yang artinya lama pengobatan 4 bulan,
masing-masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Depkes RI, 2005).
Panduan obat yang dipakai di Indonesia dan
dianjurkan juga oleh
WHO adalah : 2RHZ / 4RH dengan variasi 2RHS/4RH, 2RHZ / 4R3H3,
2RHS / 4R2H2. Departemen Kesehatan RI dalam rangka pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek
dengan paduan obat HRE / 5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol
setiap hari selama satu bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid +
rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan) (Amin dan Bahar, 2014).
Panduan OAT dalam program nasional penanggulangan tuberkulosis di
Indonesia dibagi menjadi 4 kategori (Suhendra, 2012)
11
1.
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2
bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Obat ini diberikan untuk :
2.

Penderita baru TB paru BTA positif

Penderita baru TB paru BTA negatif rontgen positif

Penderita TB ekstra paru kasus baru
Kategori-2 (HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif yang
sebelumnya pernah diobati, yaitu:

Penderita kambuh (relaps)

Penderita gagal (failure)

Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after
default)
3.
OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan
obat sisipan HRZE.
12
4.
Kategori Anak (2HRZ/4HR)
Pada tahap intensif selama 2 bulan awal diberikan paduan > 3
OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 OAT yaitu H
dan R.
2.1.9
Efek Samping Pengobatan
Dalam setiap pengobatan tuberkulosis, masing-masing obat mempunyai
efek samping tersendiri bagi penggunanya. Efek samping ini mempersulit
sasaran pengobatan. Bila efek samping ditemukan, mungkin obat anti
tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis
terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping sangat menggangu, obat
anti tuberkulosis yang bersangkutan harus dihentikan pemberiannya, dan
pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain (Amin dan
Bahar, 2014). Adapun efek samping dari masing-masing obat :
1.
Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Kelainan lain
ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek
samping berat dapat berupa hepatotoksik.
2.
Rifampisin (R)
Efek samping ringan yang dapat terjadi adalah sindrom flu berupa
demam, menggigil dan nyeri tulang, sindrom perut berupa sakit perut,
mual dan muntah, dan sindrom kulit berupa gatal-gatal kemerahan.
Efek samping berat yang terjadi adalah hepatotoksik, syok, anemia
13
hemolitik yang akut, serta gagal ginjal. Rifampisin juga dapat
menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.
3.
Pirazinamid (Z)
Efek samping yang ditimbulkan dalam pemakaian pirazinamid adalah
nyeri sendi terkadang juga menyebabkan serangan arthritis gout.
Hepatotoksik dapat terjadi dalam pemakaian pirazinamid.
4.
Etambutol (E)
Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaan etambutol adalah
neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis.
5.
Streptomisin (S)
Efek samping utamanya adalah gangguan nervus VIII kranial yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Efek samping yang
ringan dapat berupa kesemutan disekitar mulut dan telinga yang
mendenging.
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan seperti :
1. Tes fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin
2. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan glukosa darah
3. Pemeriksaan kadar asam urat dalam penggunaan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus
5. Uji keseimbangan dan audiometri.
2.2
Glukosa Darah
Glukosa darah merupakan salah satu yang terpenting di dalam tubuh
manusia. Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh 3 macam hormon yang
14
dihasilkan
kelenjar
pankreas
diantaranya
insulin,
glukagon,
dan
somatostatin. Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah diantaranya
asupan makanan, penyakit, obat-obatan, aktifitas fisik,dan tingkat stres.
Konsentrasi glukosa darah bisa diestimasikan melalui darah lengkap
(darah kapiler atau vena), plasma atau serum. Konsentrasi glukosa darah
berbeda disetiap spesimennya (Kawthalkar, 2010). Jika kadar glukosa
darah meningkat akan mengakibatkan hiperglikemia, sedangkan jika kadar
glukosa darah menurun akan mengakibatan hipoglikemia. Menurut WHO,
nilai kadar glukosa darah normal dapat dibagi menjadi 3 diantanya:
A. Glukosa darah sewaktu
1.
Dewasa : serum dan plasma : 140 mg/dl
darah lengkap
: 120 mg/dl
2.
Anak
: 120 mg/dl
3.
Lansia : serum dan plasma : 160 mg/dl
darah lengkap
: 140 mg/dl
B. Glukosa darah puasa
1.
Dewasa : serum dan plasma : 70 - 110 mg/dl
darah lengkap
2.
Anak : 60 – 100 mg/dl
3.
Lansia : 70 – 120 mg/dl
: 60 – 100 mg/dl
C. Glukosa darah post prandial
1.
Dewasa : serum dan plasma : 140 mg/dl
darah lengkap
2.
Anak : 120 mg/dl
: 120 mg/dl
15
3.
Lansia : serum dan plasma : 160 mg/dl
darah lengkap
2.2.1
: 140 mg/dl
Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Homeostasis glukosa dalam darah dipertahankan setiap saat. Dapat
dicapai melalui beberapa mekanisme yang mengatur kecepatan konversi
glukosa menjadi glikogen atau menjadi lemak untuk disimpan, dan dilepas
kembali dari bentuk simpanan yang kemudian dikonversi menjadi glukosa
yang masuk ke dalam sistem peredaran darah (Asril, 2002).
Fungsi hati sangat penting dalam pengaturan glukosa darah. Kelebihan
glukosa dalam darah akan disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen
melalui proses glikogenesis, dan bila kadar glukosa darah menurun maka
glikogen akan diubah kembali menjadi glukosa dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Guyton dan Hall (2011) menyebutkan mekanisme yang dipakai
dalam pengaturan glukosa darah :
1.
Hati berfungsi sebagai sistem penyangga glukosa darah yang
penting. Artinya, saat glukosa darah meningkat hingga
konsentrasi yang tinggi, yaitu sesudah makan, dan kecepatan
sekresi insulin juga meningkat, sebanyak dua pertiga dari
seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat
akan disimpan dalam bentuk glikogen. Selama beberapa jam
berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan
sekresi insulin berkurang, hati akan melepaskan glukosa
kembali ke dalam darah. dengan cara ini hati mengurangi
16
fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira sepertiga
dari fluktuasi yang dapat terjadi.
2.
Peran insulin dan glukagon adalah sebagai sistem pengatur
umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah
agar normal. Bila konsentrasi darah meningkat tinggi, maka
timbul sekresi insulin, insulin selanjutnya akan mengurangi
konsentrasi glukosa darah agar kembali ke nilai normal.
2.3
Hati
Hati merupakan organ penting di dalam tubuh dimana fungsi hati
sebagai detoksifikasi dan metabolisme tubuh. Kerusakan hati dapat
terjadi karena infeksi atau intoksikasi zat kimia. Rusaknya fungsi hati
ditandai dengan warna kulit dan membran mukosa menjadi kuning,
naiknya konsentrasi bilirubin, SGOT, dan SGPT. Hepatitis dan sirosis
hati merupakan beberapa contoh penyakit hati.
Penyakit hati karena intoksikasi zat kimia (obat) terjadi karena
pemakaian obat dalam jangka panjang. Terdapat 3 jenis penyebab
hepatotoksik yaitu :
1. Hepatotoksik Tergantung Dosis
Hepatotoksik ini terjadi karena pemberian obat dengan dosis
yang terlalu tinggi.
2. Toksisitas Idiosinkratik
Toksisitas idiosinkratik ditemukan pada seseorang yang
mewarisi gen spesifik yang dapat mengontrol perubahan
senyawa kimia obat tertentu dan dapat mengakibatkan
17
akumulasi obat yang menimbulkan bahaya bagi hati (Lee,
2012).
3. Alergi Obat
Alergi
obat
dapat
menyebabkan
hepatotoksik
dengan
mekanisme hati mengalami peradangan ketika terjadi reaksi
antigen-antibodi antara sel imun tubuh terhadap obat (Lee,
2012).
2.4
Hubungan Obat Antituberkulosis dan Glukosa Darah
Rifampisin merupakan penginduksi enzim hepar yang dapat
mempercepat metabolisme beberapa obat hipoglikemik oral dan
menurunkan level plasma (Niazi, and Kalra, 2012). Rifampisin dapat
menurunkan kadar obat hipoglikemik oral dalam darah pada golongan
sulfonylurea (glikazid, gliburide, glipizide, glimepiride) dan biguanid
(prameswari, 2013). Pada pasien diabetes mellitus, rifampisin
menginduksi pada fase awal dari hiperglikemia yang dihubungkan
dengan peningkatan penyerapan intestinal (Guptan and Shah, 2000).
Maka pengobatan dengan antituberkulosis harus disesuaikan dosisnya
sesuai dengan konsentrasi plasma glukosa darah. Jika penyerapan dari
glukosa makanan berlebih maka glukosa dalam peredaran darah akan
meningkat. Efek rifampisin secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kontrol glikemik menyebabkan perlunya monitoring kadar
glukosa darah. Obat antituberkulosis lain sangat jarang mengganggu
kadar glukosa darah. Isoniazid dalam penanganan kasus TB sangat
jarang meningkatkan
kadar
glukosa darah.
Isoniazid
bekerja
18
menghambat
metabolisme
obat
hipoglikemik
oral
dan
dapat
menyebabkan peningkatan level plasma pada obat tersebut. Interaksi
antara isoniazid dan sulfonil urea dapat memperburuk kontrol glikemik
pada pasien diabetes. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemberian
insulin dan juga menyebabkan hiperglikemia pada pasien tanpa
diabetes (Niazi and Kalra, 2012). Etambutol juga dapat menyebabkan
hipoglikemia namun hal ini jarang terjadi (Prameswari, 2013)
Download