pengikatan perjanjian dan agunan kredit

advertisement
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT
Rochadi Santoso
[email protected]
STIE Ekuitas Bandung
Abstrak
Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam dunia
perbankan, perjanjian dan agunan kredit selalu melibatkan dua belah pihak yaitu pihak bank sebagai peminjam
dan pihak debitur sebagai pihak peminjam. Dalam pelaksanaan proses simpan pinjam seringkali debitur
mengeluhkan tentang ketidakpahaman mereka akan ikatan perjanjian dan agunan kredit yang dibuat oleh pihak
bank, padahal pemahaman tersebut sangat diperlukan oleh debitur agar terjalin rasa percaya antara bank dan
debitur. Pihak bank perlu menjelaskan dengan detail, rinci, singkat dan mudah dimengerti tentang perjanjian
yang akan dibuat, hal tersebut bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman debitur. Pihak bank pun perlu
menjelaskan tentang kegunaan agunan kredit dan menjelaskan kepada debitur tentang penilaian nilai agunan
apabila debitur menanyakannya. Perlu diyakinkan kepada debitur bahwa perjanjian yang dibuat telah sesuai
dengan undang-undang pemerintah.
Kata kunci : Agunan, debitur
mengenai besarnya hutang yang diterima dari
kreditur dan belum dibayar. Surat pengakuan
hutang dibuat secara tertulis dengan akta
notaris
supaya
autentik,
dipercaya
kebenarannya,
dan
mempunyai
nilai
pembuktian yang sempurna.
• Dengan adanya suatu Perjanjian Kredit maka
terjadi suatu Perikatan antara kreditur dan
debitur. Perikatan adalah hubungan hukum
antara dua pihak didalam lapangan harta
kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak yang lainnya berhak
menerima prestasi itu.
• Dari rumusan itu dapat disimpulkan unsur-unsur
perikatan, yaitu :
1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan
yang menimbulkan akibat hukum antara dua
pihak / lebih.
2. Dua Pihak, yaitu dalam perikatan setidaktidaknya ada dua pihak, yang satu pihak
berhak untuk menuntut kepada pihak yang
lain, berarti pihak yang satu memiliki hak
dan pihak yang lain mempunyai kewajiban.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa dalam
perikatan lebih dari dua pihak, artinya
terdapat lebih dari seorang kreditur dan lebih
dari seorang debitur.
3. Harta Kekayaan, artinya hubungan hukum
dua pihak tsb harus terletak dalam lapangan
kekayaan, seperti perjanjian, kepemilikan,
gadai dsb.
4. Adanya Prestasi.
Prestasi adalah sesuatu yang harus dipenuhi
atau dilaksanakan oleh masing- masing
pihak dalam perikatan tsb. Menurut pasal
I. Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bersama, sesuai
dengan Undang-undang RI No.7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
RI No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
disebutkan bahwa bank adalah sebagai berikut :
1. Sebagai penghimpun dana dalam bentuk
Simpanan,
2. Sebagai penyalur dana dalam bentuk Kredit,
3. Sebagai penyedia jasa dalam Transaksi
Keuangan.
Berdasarkan
Instruksi
Presedium
Kabinet
No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966
secara tegas menyebutkan bahwa
“Dilarang
melakukan pemberian kredit tanpa adanya
perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan
Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-bank
lainnya”. Hal ini dipertegas kembali oleh Surat
Edaran Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD
yang ditujukan kepada bank Devisa tanggal 29
Desember 1970, butir 4 menyebutkan : untuk
pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian
kredit.
II. Perjanjian Kredit
• Dengan adanya pemberian kredit, maka terjadi
adanya perjanjian utang piutang antara kreditur
dan debitur. Pada prinsipnya perjanjian tersebut
tidak selalu harus tertulis, dengan lisanpun
perjanjiannya tetap sah dan mengikat bagi para
pembuatnya dan hal ini berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.
• Dengan demikian surat pengakuan hutang
merupakan pernyataan sepihak dari debitur
H-30
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
1234 KUHPerdata, prestasi itu dapat berupa
:
a. Memberikan atau menyerahkan sesuatu,
Misalnya : Jual-beli; Sewa-menyewa dll.
b. Berbuat sesuatu, Misalnya : Perjanjian membuat
lukisan
c. Tidak berbuat sesuatu.Misalnya : Perjanjian
tidak mendirikan, tembok, Perjanjian tidak
mendirikan perusahaan sejenis dll.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
1. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit,
2. Perjanjian kredit harus dibuat secara
tertulis.
• Perjanjian kredit merupakan ikatan atau
bukti tertulis perjanjian antara Bank
dengan Debitur disusun dan dibuat
sedemikian rupa agar setiap orang mudah
untuk mengetahui bahwa perjanjian yang
dibuat itu merupakan perjanjian kredit.
• Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis
/ bentuk akta yang dibuat sebagai alat
bukti.
Dalam praktek Bank terdapat 2 (dua) bentuk
perjanjian kredit, yaitu :
1. Perjanjian Kredit yang dibuat di bawah
tangan dinamakan akta di bawah tangan.
Artinya perjanjian yang disiapkan dan
dibuat sendiri oleh Bank (dalam bentuk standard /
standaard form) kemudian ditawarkan kepada
Debitur untuk disepakati dan ditanda-tangani
antara Bank dan Debitur. Bentuk perjanjian kredit
yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut
termasuk jenis Akta Dibawah Tangan.
III. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata disebutkan
bahwa syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah
sbb.:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
3. Mengenai hal atau obyek tertentu,
4. Suatu sebab (causal) yang halal.
• Syarat ke 1 dan syarat ke 2 disebut syarat
subyektif, karena menyangkut orang atau
pihak-pihak yang membuat perjanjian,
sebagai subyek yang membuat perjanjian.
• Syarat ke 3 dan syarat ke 4 disebut sebagai
syarat obyektif, karena menyangkut
mengenai obyek yang diperjanjikan oleh
orang-orang atau subyek yang membuat
perjanjian.
Menurut beberapa pendapat bahwa Perjanjian
Kredit
dikuasai
oleh
ketentuan-ketentuan
KUHPerdata, karena perjanjian kredit mirip dengan
perjanjian pinjam uang / pinjam meminjam.
KUHPerdata pasal 1754 menyebutkan bahwa
Pinjam Meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama
pula.
Mengacu pada Pasal 1 ayat 11 UU RI No.7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU
RI
No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
disebutkan bahwa kredit adalah … penyediaan
uang atau
tagihan berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain.
• Instruksi
Presedium
Kabinet
No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966
secara tegas menyebutkan bahwa “Dilarang
melakukan pemberian kredit tanpa adanya
perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan
Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-bank
lainnya.
• Surat Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD
yang ditujukan kepada bank Devisa tanggal 29
Desember 1970, butir 4 menyebutkan : untuk
pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian
kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut,
pemberian kredit oleh Bank kepada Debitur
menjadi pasti, bahwa :
2. Perjanjian Kredit yang dibuat oleh dan
dihadapan Notaris yang dinamakan Akta
Otentik atau Akta Notariil.
Dalam perjanjian ini yang menyiapkan dan
membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris.
Dalam perjanjian kredit di bawah Tangan terbagi
dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu yang disebut
Legalisasi dan Waarmerking
a. Legalisasi
•
Supaya akta dibawah tangan tidak mudah
dibantah
atau
disangkal
kebenaran
tandatangan yang ada dalam akta tersebut dan
untuk memperkuat pembuktian formil,
materiil, dan pembuktian di depan hakim /
pengadilan, maka akta yang dibuat dibawah
tangan sebaiknya dilakukan Legalisasi.
•
Legalisasi artinya menyatakan kebenaran
yaitu pernyataan benar dengan jalan memberi
pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas
akta dibawah tangan meliputi tandatangan,
tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi
akta.
•
Dengan adanya legalisasi, maka para pihak
yang membuat perjanjian dibawah tangan
tidak dapat mengingkari lagi keabsahan
tandatangan, tempat dan tanggal dibuatnya
akta, karena isi akta dibawah tangan
dibacakan dan diterangkan sebelum para pihak
membubuhkan tandatangannya.
•
Legalisasi akta dibawah tangan oleh Notaris,
maka
kekuatan
hukum
akta-akta
dibawahtangan yang dilegalisasi secara
yuridis tidak mengubah status alat bukti dari
akta dibawah tangan menjadi akta otentik.
Akta dibawah tangan tetap bukan alat bukti
yang sempurna. Tetapi sebagai alat bukti akta
H-31
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
dibawah tangan yang dilegalisasi berkekuatan
hukum seperti akta otentik.
• Dengan demikian akta dibawah tangan yang
dilegalisasi mempunyai kekuatan hukum
pembuktian seperti akta otentik, baik
pembuktian materiil, formil dan pembuktian
di depan hakim / pengadilan.
• Pejabat yang diberikan wewenang untuk
melakukan legalisasi yaitu : Notaris, Ketua
Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan
Walikota (sesuai ordonansi staatblad 1916
No.43 dan 46)
b. Waarmerking
• Selain legalisasi terhadap akta dibawahtangan,
ada juga yang disebut Waarmerking.
• Waarmerking dapat diartikan pengesahan,
yaitu pengesahan atas akta dibawahtangan
oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh
undang-undang atau peraturan lain.
• Secara yuridis dalam waarmerking Notaris
hanya sekedar mencatat perjanjian yang telah
dibuat oleh para pihak di dalam daftar yang
disediakan untuk itu sesuai urutan yang ada.
• Kekuatan hukum waarmerking secara yuridis
tidak mengubah status alat bukti dari akta
dibawahtangan menjadi akta otentik. Karena
Notaris hanya melakukan pendaftaran dan
pencatatan terhadap akta yang diajukan
kepadanya dan pada prinsipnya Notaris tidak
melakukan pengesahan apapun terhadap akta
itu, sehingga tidak mengubah kekuatan akta
dibawah tangan yang di waarmerking sebagai
alat bukti seperti akta otentik.
• Pejabat yang berwenang untuk melakukan
waarmerking akta / surat adalah : Notaris,
Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala
Daerah dan Walikota.
• Dengan mengetahui kekuatan pembuktian
akta otentik dan akta dibawah tangan yang
dilegalisasi atau di waarmerking, maka untuk
memperoleh bukti yang sempurna dalam
membuat perjanjian kredit, sebaiknya dibuat
dengan akta otentik atau setidak-tidaknya akta
dibawah tangan yang dilegalisasi.
Misalnya perjanjian kredit yang nilainya besarbesar atau menengah dibuat dengan akta otentik.
Sedangkan untuk kredit-kredit yang relatif
nilainya kecil-kecil perjanjian kreditnya dibuat akta
dibawah tangan dengan dilakukan legalisasi.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
meminta agunan / jaminan tambahan berupa benda.
Benda yang dimaksud dapat berupa benda tetap dan
atau benda bergerak.
Collateral (Jaminan atau Agunan) yaitu harta
benda milik debitur atau pihak ke 3 yang diikat
sebagai tanggungan / jaminan andaikata terjadi
ketidak mampuan debitur untuk menyelesaikan
hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan
(sesuai dengan Perjanjian Kredit). Atau Collateral
/agunan adalah barang-barang yang diserahkan
calon debitur sebagai jaminan terhadap kredit yang
diterimanya.
Dalam pengertian hukum perbankan , istilah
“jaminan” berbeda dengan istilah “agunan”.
Sebagai pembanding dalam Undang-undang Nomor
14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perbankan,
tidak dikenal istilah agunan, yang ada adalah istilah
jaminan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, memberikan pengertian yang tidak
sama dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1967. Arti jaminan menurut Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau
“tanggungan”, sedangkan jaminan menurut
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, mempunyai pegertian yaitu :
“keyakinan atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undangundang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, menyatakan bahwa :
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberikan kredit, bank harus melakukan
penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha dari Nasabah Debitur.
Sedangkan istilah agunan dalam pasal 1 angka 23
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang nomor 10
Tahun 1998, disebutkan sebagai berikut :
“Agunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah”.
Dengan pengertian tersebut di atas berarti, istilah
“agunan” sebagai terjemahan collateral merupakan
bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Berarti
IV. Pengikatan Agunan
Bank dalam memberikan kredit kepada
masyarakat penuh dengan risiko, yaitu risiko tidak
kembalinya kredit, sebagai akibat terjadinya wanprestasi debitur. Hal ini mengakibatkan tidak
terbayarnya kredit secara keseluruhan atau sebagian
yang menjurus kepada kredit Macet atau Kredit
Bermasalah / Non Performing Loan. Untuk
mengatasi risiko kemacetan tersebut bank biasanya
H-32
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
pengertiam “jaminan” lebih luas dari pada
pengertian “agunan” , dimana agunan berkaitan
dengan “barang” sementara “jaminan” tidak hanya
berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula
dengan character, capacity, capital, dan condition
of economy dari nasabah debitur yang
bersangkutan.
Sedangkan dalam pasal 1131 KUH Perdata,
menyebutkan / memberikan pengertian bahwa :
•
“jaminan” adalah “segala kekayaan
debitur baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak , baik yang sudah ada,
maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan bagi segala
perikatannya”.
Dengan kondisi tersebut, maka sebetulnya
tidak ada kredit yang tidak terjamin, karena
semua harta kekayaan debitur, baik yang sudah
ada dan sudah dimiliki maupun yang akan ada /
akan dimiliki, secara keseluruhan menjadi
jaminan bagi perikatannya dengan krediturkreditur lain.
Dalam perspektif hukum perbankan, agunan
dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu “agunan
pokok” dan “agunan tambahan”. Hal ini dapat
dilihat dalam Penjelasan atas pasal 8 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998. Agunan Pokok adalah barang, surat
berharga, atau garansi yang berkaitan langsung
dengan obyek yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan, seperti barang yang dibeli dengan
kredit yang dijaminkan, proyek yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan
debitur. Sedangkan Agunan Tambahan adalah
barang, surat berharga, atau garansi yang tidak
berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai
dengan
kredit
yang
bersangkutan,
yang
ditambahkan sebagai agunan.
• Dengan keterangan-keterangan tersebut di
atas, maka timbul pengertian Jaminan /
Agunan sebagai berikut :
• Jaminan Pokok, yaitu jaminan yang
merupakan sumber daripada pengembalian
hutang debitur dan atau merupakan
sesuatu / barang-barang yang dibiayai
dengan kredit / hutang, ini dapat berbentuk
usaha dari debitur itu sendiri.
• Jaminan Tambahan, yaitu barang / benda
yang diserahkan debitur kepada kreditur
sebagai sumber pengembalian hutang
debitur apabila debitur cidera janji atau
wanprestasi, ini dapat berbentuk barang /
benda di luar usaha debitur.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
menyebutkan bahwa Hukum kebendaan
berkaitan erat dengan hukum keperdataan,
hal ini disebabkan hukum benda merupakan
salah satu bidang hukum dari hukum perdata
(Frieda Husni Hasbullah, 2002, 7).
• Dengan demikian hukum kebendaan
merupakan salah satu subsistem dari hukum
harta kekayaan, yaitu segala ketentuan
hukum yang mengatur hubungan hukum
antara seseorang dengan objek dari hak
milik atau dengan kata lain hukum
kebendaan adalah ketentuan hukum yang
mengatur mengenai kebendaan.
• Jaminan / Agunan , terbagi :
1. Jaminan Perorangan
2. Jaminan Kebendaan :
a. Tidak Berwujud
b. Berwujud :
b.1. Barang Bergerak
b.2. Barang Tidak Bergerak
VI. Fungsi Jaminan / Agunan
Jaminan /agunan ini biasanya mempunyai
fungsi, antara lain, yaitu :
a. Sebagai pembayar hutang / kredit apabila
debitur tidak mampu melunasi hutangnya /
kreditnya dengan jalan menjual / melelang
agunan / jaminan.
b. Sebagai akibat dari fungsi pertama, merupakan
salah satu faktor penentu jumlah kredit yang
diberikan (kecuali dalam hal-hal khusus, seperti
kredit program dll)
c. Sebagai
pendorong
motivasi
debitur.
Dengan adanya pengikatan jaminan kredit oleh
bank, debitur merasa takut akan kehilangan
hartanya. Hal ini akan mendorong debitur untuk
berupaya segera melunasi kreditnya kepada
bank sesuai yang telah diperjanjikan.
VII.
Prinsip-prinsip/ Azas Jaminan / Agunan
Jaminan harus memenuhi syarat2 sebagai
jaminan / agunan. Azas tersebut dikenal dengan
Mast Principles, yaitu :
a. Marketability, adanya pasaran yang cukup
luas atas jaminan tersebut sehingga banyak
calon pembeli.
b. Ascertainability of Value, dimaksudkan agar
jaminan yang diberikan mempunyai suatu
standard harga tertentu.
c. Stability of Value, jaminan yang diberikan
hendaknya tidak menurun harganya bahkan
kalau mungkin terus meningkat / naik dimasa
yang akan datang. Jadi arti stabil tidak
merosot / turun harganya.
d. Transferability, jaminan yang diberikan
harus mudah dipindahtangankan baik secara
phisik maupun secara yuridis.
V. Macam dan Jenis Jaminan / Agunan
• Macam dan jenis jaminan / agunan ini pada
dasarnya tidak terlepas dari hukum
kebendaan. Rahmadi Usman dalam bukunya
Hukum Jaminan Keperdataan (halaman 27),
H-33
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak
yang
mengikatkan
dirinya
disebut
penanggung atau penjamin.
VIII. Macam-macam / Jenis-jenis Pengikatan
Agunan
Dalam ketentuan KUHPerdata yang mengatur
tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga
jaminan (Gadai dan Hipotek) dan mengatur tentang
penanggungan utang, dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
seorang lain atas
namanya,
dan
yang
memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang
untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya, dengan
mengecualikan
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang
telah
dikeluarkan
untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya
tersebut
harus
didahulukan
(pasal 1150 KUHPerdata).
4.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan, mengatur lembaga jaminan
yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan
Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat
objek jaminan utang yang berupa tanah atau bendabenda yang berkaitan dengan tanah yang
bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-undang No.4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, maka
Hipotek yang diatur oleh KUHPerdata dan crediet
verband yang
sebelumnya digunakan untuk
mengikat tanah sebagai jaminan utang, selanjutnya
tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk
mengikat tanah sebagai jaminan utang atau dengan
kata lain sejak dikeluarkannya UU No.4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan pada tanggal
9 April 1996, pengikatan
objek jaminan
utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui
lembaga jaminan hak tanggungan.
2. Hipotek
Lembaga Jaminan yang diatur oleh ketentuan
KUHPerdata, pasal 1162 sampai dengan pasal
1232 adalah hipotek. Dengan keluarnya Undangundang
No.4 tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan, objek jaminan utang yang berupa
tanah sudah tidak dapat diikat dengan hipotek.
Hipotek pada saat ini hanya dapat digunakan
untuk mengikat objek jaminan utang yang
ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang
undangan yang lain. Misalnya objek jaminan
utang yang berupa kapal laut yang berukuran 20
M3 atau lebih dan berbendera Indonesia
diikat dengan hipotek.
3.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
5.
Undang-undang No.42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia
Undang-undang No.42 Tahun 1999 adalah
tentang lembaga jaminan yang disebut jaminan
fidusia.
Jaminan fidusia adalah lembaga jaminan yang
dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan
yang berupa barang bergerak dan barang tidak
bergerak, khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan. Objek jaminan
fidusia tetap dalam penguasaan pemiliknya.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
barang atas dasar
kepercayaan dengan
ketentuan bahwa barang yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemiliknya.
Dalam undang-undang ini barang sebagai
objek jaminan fidusia disebut
benda.
Ciri-ciri jaminan fidusia di antaranya adalah
memberikan hak kebendaan, memberikan hak
didahulukan kepada kreditur, memungkinkan
kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap
menguasai objek jaminan utang, memberikan
kepastian hukum dan mudah di-eksekusi.
Penanggungan Utang
Penanggungan Utang diatur dalam KUHPerdata
dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850.
Penanggungan utang merupakan jaminan utang
yang bersifat
perorangan, namun dalam
pelaksanaannya dapat diartikan pula dapat
diberikan oleh suatu badan. Dalam praktek seharihari penanggungan utang
ini lazim disebut
dengan borgtocht. Penanggungan utang adalah :
Suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang
pihak ketiga untuk kepentingan pihak pemberi
pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna
memenuhi perikatan
peminjam bila pihak
peminjam wanprestasi terhadap pihak pemberi
pinjaman (pasal 1820 KUHPerdata).
Dengan demikian penanggung utang
adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang
sangat terkait kepada perorangan (individu atau
badan hukum) yang mengikatkan dirinya sebagai
6. Cessie
Penyerahan (levering) benda yang bergerak
pada umumnya dilakukan dengan penyerahan yang
nyata (feiteliijke levering), kecuali benda tidak
berwujud dilakukan dengan Cessie, sebagaimana
diatur dalam Pasal 612 dan Pasal 613 KUHPerdata.
Penyerahan
nyata
tersebut
sekaligus
penyerahan yuridis (juridische levering).
H-34
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
Penilaian jaminan /agunan ini meliputi jenis
jaminan, lokasi, bukti kepemilikan, dan status
hukumnya. Pada hakikatnya bentuk jaminan tidak
hanya berbentuk kebendaan, tetapi juga yang tidak
berwujud. Penilaian jaminan / agunan dapat dilihat
dari 2 (dua) segi yaitu :
a. Segi Ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang
barang yang akan digunakan.
b. Segi Yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut
memenuhi
syarat-syarat
yuridis
untuk
digunakan / dipakai sebagai jaminan
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
Undang-undang No.4 tahun 1996 tentang Hak dan
Tanggungan
Undang-undang No.42
Jaminan Fidusia
IX Kesimpulan
1. Perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank
seluruhnya telah mengacu kepada KUH
Perdata dan Undang undang .
2. Debitur berhak mendapat penjelasan tentang
isi perjanjian kredit, sebelum debitur
menandatangani surat perjanjian.
3. Penilaian suatu agunan dapat dilihat dari segi
ekonomi dan yuridis.
DAFTAR PUSTAKA
KUH Perdata
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang
Pokok-pokok Perbankan
H-35
Tahun
1999
Tentang
Download