1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerajaan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan Arab Saudi yang diperintah oleh keluarga al-Saud tengah dalam proses
perubahan, terutama perubahan (reformasi) dalam sistem politiknya. Proses perubahan ini bisa
ditelusuri hingga awal dekade 1990-an ketika negara ini dipimpin oleh Raja Fahd yang kemudian
dilanjutkan oleh penerusnya yaitu Raja Abdullah. Keduanya telah mengeluarkan kebijakankebijakan sebagai bagian dari upaya reformasi politik. 1
Awal dekade tahun 2000-an, tuntutan kepada pemerintah untuk reformasi semakin
menguat. Keterlibatan Arab Saudi secara tidak langsung dalam peristiwa 9/11 menjadi
alasannya. Fakta bahwa lima belas dari sembilan belas pembajak pesawat yang terlibat dalam
peristiwa teror ini adalah warganegara Arab Saudi menjadi alasan yang tak terbantahkan atas
semua kritik dan tekanan yang ditujukan kepada negara ini kemudian. Kritik keras yang muncul
saat itu adalah ditujukan terutama kepada pemerintah Arab Saudi, ajaran Islam yang diyakini
oleh semua warganegara, sistem sosial yang berlaku hingga masalah kurikulum pendidikan. 2
Upaya perubahan (reformasi) kemudian harus dilakukan pemerintah sebagai respon atas tekanan
ini sekaligus respon terhadap tuntutan domestik yang telah ada sebelumnya yang datang dari
pelbagai kelompok dalam masyarakat..
Tuntutan perubahan kepada rejim kerajaan yang absolut, keberadaannya bisa ditelusuri
hingga tahun 1960-an dan 1970-an. Meskipun sangat jarang terjadi, tetapi pada saat itu ada
semacam tantangan langsung kepada pemerintah untuk melakukan perubahan. 3 Semisal, pada
rentang waktu 1970-an atau tepatnya tahun 1975, Raja Faysal wafat karena ditembak oleh
keluarganya sendiri. Peristiwa kematian Raja Faysal ini bisa dianggap sebagai sinyal adanya
ketidakpuasan kepada pemerintah.
1
B.A. Albassam,‘Political Reform in Saudi Arabia: Necessity or Luxury?’Middle East Studies Online Journal, Vol.
3,No. 6, 2011, hal. 176.
2
‘Can Saudi Arabia Reform Itself?’,ICG Middle East Report, N° 28, 14 July 2004, hal. 8.
3
‘Can Saudi Arabia Reform Itself?’, hal. 4.
1
Peristiwa lain yang mencerminkan adanya ketidakpuasan kepada pemerintah, dan ini
kemudian memaksa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap tuntutan dari rakyatnya
adalah peristiwan pendudukan Masjid al-Haram yang dipimpin oleh Juhayman al-Utaibi yang
terjadi pada November 1979 dan satu bulan kemudian perayaan hari Ayura –yang sebenarnya
dilarang pemerintah- yang dilakukan oleh kelompk minoritas Syiah. Pada peristiwa pendudukan
Masjid al-Haram yang menggemparkan dunia kala itu, Juhayman al-Utaibi selaku otak dan
pemimpin kelompok, menilai bahwa di negara Arab Saudi telah mengalami kemerosotan moral
serta telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan beragama. Sementara
dalam kasus perayaan hari Asyura yang berujung rusuh tersebut, kelompok minoritas Syiah
menilai pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap mereka hanya karena mereka
merupakan minoritas di negara itu.
Bagaimanapun, dua peristiwa beruntun ini bisa dianggap sebagai tantangan paling serius
bagi Kerajaan saat itu. Maka sejak itu, pemerintah kemudian mulai secara serius melakukan
perubahan-perubahan dalam kebijakan-kebijakan politiknya sebagai respon atas tuntutan dari
rakyatnya. 4
Berikutnya, tuntutan reformasi kepada pemerintah kembali muncul pada tahun 1990-an.
Tepatnya pada tahun 1991, ketika terjadi Perang Teluk yang melibatkan Arab Saudi.
Keterlibatan Arab Saudi dalam perang ini ternyata menyisakan masalah bagi pemerintahnya,
yaitu dengan semakin menguatnya tuntutan reformasi. Besarnya dana yang harus dikeluarkan
dalam perang ini, kemudian keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di dalam teritori
Arab Saudi, menjadi alasan kuat bagi sebagian kelompok masyarakat untuk menekan rejim
Saudi agar melakukan reformasi politik. 5
Tuntutan reformasi saat itu datang dari kelompok-kelompok yang berbeda, bahkan
berseberangan satu dengan yang lainnya. Kelompok liberal menyuarakan tuntutannya agar
pemerintah, dalam hal ini keluarga kerajaan, mewujudkan lembaga politik yang baru dan
menuntut keterbukaan dalam sistem politik serta menginginkan adanya partisipasi politik. Di saat
bersamaan, kelompok masyarakat yang mewakili kepentingan Islam –yang notabene merupakan
4
5
‘Can Saudi Arabia Reform Itself?’, hal. 4.
‘Can Saudi Arabia Reform Itself?’, hal. 4.
2
kelompok yang paling gigih menuntut perubahan- memandang bahwa pemerintah sedang
melakukan upaya Westernisasi dan hanya tunduk kepada kepentingan Amerika Serikat. Oleh
karenanya, mereka menuntut supaya pemerintah melakukan perubahan dengan menguatkan
peran Ulama dan memperbesar perhatian terhadap Islam dalam setiap kebijakan pemerintah yang
dibuat. Pada akhirnya, pemerintah saat itu kemudian memberikan respon terhadap tuntutan yang
ada berupa penetapan Basic Law tahun 1992 –pada tahun 1982 pemerintah juga telah
menetapkan Basic Law -yang dimaksudkan menjadi semacam konstitusi, serta dibentuk pula
Majlis al-Shura setahun setelahnya. 6
Tahun-tahun berikutnya upaya reformasi yang dilakukan pemerintah terus bergulir
hingga saat ini ketika pemerintahan berada di tangan Raja Abdullah yang menggantikan raja
sebelumnya, Raja Fahd, yang meninggal dunia karena sakit. Pemerintahan Raja Abdullah sendiri
bisa dikatakan dimulai sejak tahun 1995, ketika ia menjalankan peran yang ditinggalkan Raja
Fahd yang tidak lagi kompeten memerintah. Sejak saat itu secara de facto, Raja Abdullah yang
memerintah dan melanjutkan upaya reformasi yang ditelah dimulai Raja Fahd. Raja Abdullah
sendiri sering dianggap sebagai tokoh reformis. 7 Pada masa pemerintahannya, kebijakankebijakan baru ia lahirkan dalam rangka upaya reformasi sistem politik yang lebih terbuka dan
memberikan partisipasi kepada rakyatnya lebih besar.
Sebagai contoh, di tahun 2003 Raja Abdullah –saat itu masih Putera Mahkota- menerima
petisi dari kelompok-kelompok yang selama ini menyuarakan tuntutan reformasi sistem sosial
politik di negerinya. Tapi sebelum itu, Raja Abdullah terlebih dulu mengajukan suatu proposal
yang berisi keharusan bagi dunia Arab untuk melakukan reformasi. Salah satu di antara isinya
adalah memberikan partisipasi (popular participation) yang lebih di negara-negara Arab.
Hadirnya Raja Abdullah dengan proposalnya ini, setidaknya menjadi suatu fakta bahwa ia
mengakui urgensi reformasi politik. Lebih jauh lagi, ia telah memperlihatkan concern terhadap
tekanan untuk melakukan modernisasi dalam sistem di kerajaannya yang masih absolut. 8
Di tahun 2003 ini pula, Raja Abdullah adalah menyelenggarakan forum dialog yang
dikenal dengan istilah NationalDialogue. Forum ini merupakan inisiatif pemerintah dalam
6
‘Can Saudi Arabia Reform Itself?’, hal. 4.
Ana Echagüe,‘Saudi Arabia: Supply-Side Reform?’,FRIDE Policy Brief, No. 15, July 2009, hal. 1
8
Ana Echagüe, hal. 1
7
3
rangka menyamakan persepsi di antara pemerintah dan elemen-elemen masyarakat yang selama
ini concern terhadap upaya reformasi di Arab Saudi. Isu-isu strategis dibahas dalam forum yang
berlangsung tiga kali ini. Isu-isu domestik terkait bidang politik, ekonomi, HAM dan pendidikan
menjadi pokok bahasan. Isu regional seperti invasi Amerika Serikat ke Irak dan masalah
Palestina juga dibahas. Forum ini kemudian menghasilkan rekomendasi yang ditujukan kepada
pemerintah.
Contoh upaya reformasi lainnya yang dilakukan pemerintahan Raja Abdullah adalah
keberhasilan menyelenggarakan pemilihan dewan kota pada tahun 2005. Beberapa upaya yang
dilakukannya dalam rangka reformasi, yaitu: 9
1. Membentuk sebuah badan yang terdiri dari anggota keluarga kerajaan (HouseofSaud).
2. Memprakarsai dialog antaragama dengan melakukan kunjungan ke Vatikan pada bulan
November2007; menghadiri konferensi Madrid pada bulan Juli 2008 dan konferensi New
York pada November2008.
3. Reformasi birokrasi.
4. Memberhentikan kepala Supreme Judicial Council yang juga ketua lembaga amar ma’ruf
nahyi munkar.
5. Menunjuk wanita untuk menempati jabatan deputi menteri pendidikan bagian pendidikan
perempuan.
6. Melakukan perubahan dalam lembaga Senior Clerics Council (Haiah Kibar Ulama),
institusi agama resmi pemerintah.
7. Melakukan perubahan (reformasi) di bidang penegakan HAM, terutama hak wanita;
bidang pendidikan dan budaya; perjuangan melawan ekstremisme dan terorisme, dan
lain-lain.
Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa pada kenyataannya sistem sosial
politik Arab Saudi, sejak negara ini resmi berdiri tahun 1932 hingga sekarang, senantiasa
menghadapi tantangan untuk terus berubah. Respon-respon yang ditunjukkan pemerintah –yang
kemudian diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan politik- bisa dilihat sebagai sebuah proses
9
Y. Admon dan Y. Carmon, ‘Reform in Saudi Arabia Under King Abdullah (part I)’, The Middle East Media
Research Institute (MEMRI) Inquiry and Analysis Series Report, no. 519, 2009.
4
menuju perubahan (reformasi) yang tengah terjadi di negara ini. Tuntutan domestik, tekanan
eksternal, kondisi sosial-ekonomi dan khususnya peran Raja Abdullah, menjadi faktor-faktor
yang turut mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial politik Arab Saudi.
Dalam sistem politik yang tertutup seperti negara Arab Saudi yang monarki ini, proses
perubahan, terutama politik cenderung sulit dilakukan. Terpusatnya kekuasaan di tangan
keluarga kerajaan menjadi sebabnya. Bahkan kemudian, seperti Samuel P. Huntington sebutkan,
bahwa dalam sistem politik monarki tradisional seperti Arab Saudi, sesungguhnya ada dilema
yang dihadapi oleh pemerintahnya. Di satu sisi, terpusatnya kekuasaan di lingkungan kerajaan dimana tidak ada lagi aktor politik lain yang mampu mengontrol dan mengimbangi- maka
inisiatif perubahan atau reformasi politik, sosial, budaya maupun ekonomi datangnya dari
pemerintah. Sedangkan di sisi lain, karena terpusatnya kekuasaan ini pula, menjadi sulit bahkan
mustahil terjadi penyebaran pengaruh atau kekuasaan serta menjadi sulit bagi kelompokkelompok baru yang lahir dari proses modernisasi untuk berasimilisi di dalamnya. 10
Pada akhirnya, keluarga kerajaan saat ini adalah aktor politik utama dalam proses
reformasi yang tengah bergulir di sana. Tekanan internasional, tuntutan domestik dan situasi
sosial ekonomi terkini Arab Saudi, semuanya bermuara pada bagaimana sikap keluarga kerajaan
dalam memberikan responnya, dalam wujud kebijakan-kebijakan politik.
B. Rumusan Masalah
Pemaparan di atas, dimaksudkan sebagai latar belakang untuk kemudian memunculkan
pertanyaan penelitian dari skripsi ini. Pertanyaan tersebut adalah,
Mengapa Raja Abdullah melakukan upaya perubahan (reformasi) politik?
Hal ini menarik untuk diangkat, karena sebagai sebuah negara monarki yang cenderung
tertutup, akomodasi terhadap proses reformasi merupakan sesuatu yang istimewa. Dengan kata
lain, terdapat masalah yang saat ini tengah dihadapi oleh Arab Saudi sehingga memaksa
pemerintahnya melakukan upaya reformasi, khususnya di bidang politik.
10
S. P. Huntington, Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968, hal. 177.
5
Pertanyaan lain yang muncul adalah,
Bagaimana respon Ulama terhadap upaya reformasi pemerintahan Raja Abdullah?
Pertanyaan ini penting pula untuk dijawab, manakala mengangkat masalah mengenai
Arab Saudi, yang merupakan negara Islam. Dengan kata lain, signifikansi pertanyaan ini muncul
ketika nilai-nilai Islam yang direpresentasikan oleh keberadaan Ulama berikut peran besarnya
dalam kehidupan sosial politik di negara Arab Saudi, tengah menghadapi tantangan serius yang
datang dalam wujud upaya perubahan dan pembaruan yang berlangsung saat ini.
C. Kerangka Pemikiran
1. Sistem Politik
a. Pengertian Sistem Politik
Pengertian sistem politik telah banyak dirumuskan oleh banyak ilmuwan politik. Menurut
Gabriel A. Almond, dalam artikelnya The Study of Comparative Politics, seperti dikutip oleh
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews dalam Perbandingan Sistem Politik (2006),
menguraikan bahwa kata sistem merupakan suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya
suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan yang mempengaruhinya maupun
yang dipengaruhinya. Karenanya, sistem politik dapat diartikan sebagai organisasi yang
dengannya masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama
mereka. 11Dalam bukunya The Politics of the Developing Areas, dikutip dalam Sistem
Perbandingan Politik (Mohtar Mas’oed, 2006), ia juga mengajukan definisi sistem politik
sebagai “sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat merdeka yang menjalankan
fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik di dalam masyarakatnya sendiri maupun dalam
menghadapi masyarakat lain) melalui penerapan atau ancaman penerapan daya paksa yang
lebih kurang sah.” 12
David Easton, seorang ilmuwan politik lainnya, memberikan pengertian sistem politik
dengan memberikan batasan-batasan sehingga sistem tersebut bisa disebut sebagai sistem politik.
batasan-batasan itu adalah: (1) the political system allocates values (by means of politics); (2) its
11
12
M. Masoed (eds.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 23.
M. Masoed (eds.), hal. 108.
6
allocations are authoritative and; (3) its authoritative allocations are binding on the society as a
whole. Jadi menurutnya, sistem politik merupakan alokasi nilai-nilai (dalam bentuk keputusankeputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan), yang pengalokasian nilai-nilai ini bersifat otoritatif
(bersifat paksaan dan dengan kewenangan atau kekuasaaan yang sah), serta pengalokasian yang
otoritatif ini bersifat mengikat terhadap seluruh masyarakat. 13 David Easton menyatakan pula
bahwa sistem politik bisa dikenali sebagai “seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari
seluruh tingkah laku sosial, yang mana nilai-nilai dialokasikan secara otoritatif kepada
masyarakat”. 14
Ilmuwan lainnya, yaitu Rober A. Dahl, mengajukan pengertian sistem politik sebagai
berikut: a political system as any persistent pattern of human relationship that involves, to a
significant extent, control, influence, or authority. 15 Menurutnya, sistem politik merupakan pola
yang ajeg dari hubungan antar manusia yang melibatkan –sampai pada tingkat tertentu- kontrol,
pengaruh, kekuasaan maupun wewenang.
b. Sistem Politik dan Lingkungannya
Menurut David Easton, kehidupan politik dapat dipisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial
lainnya, paling tidak demi tujuan analisa, dan melihatnya seolah-olah sebagai suatu kumpulan
tersendiri yang dikelilingi oleh, tetapi dapat dibedakan dari, lingkungan di mana ia bekerja. 16
David Easton kemudian membahas mengenai lingkungan sistem politik, yang menurutnya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan intrasocietal dan lingkungan ekstrasocietal. Yang
termasuk lingkungan intrasocietal adalah sistem ekologi, sistem biologi, sistem sosial dan
budaya. Sedangkan lingkungan ekstrasocietal bisa juga disebut lingkungan internasional,
termasuk di dalamnya adalah sistem ekonomi internasional, sistem budaya internasional, sistem
sosial internasional, dan lainnya.
Sedangkan menurut Karl W. Deutsch dalam Politics and Government: How People
Decide Their Fate, seperti dikutip oleh Haryanto dalam Sistem Politik; Sebuah Pengantar(1982),
13
M. Masoed (eds.), hal. xxi.
D. Easton, A Framework for Political Analysis, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1965, hal. 57.
15
R. Dahl, Modern Political Analysis, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1984, hal. 10.
16
Mochtar Masoed dan Colin Mc Andrews (eds.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2006, hal. 4
14
7
lingkungan sistem politik dapat dibedakan menjadi dua macam: jenis yang pertama adalah
lingkungan yang ada atau di luar sistem politik itu sendiri (eksternal), jenis yang kedua,
lingkungan yang ada atau terdapat dalam sistem politik (internal). 17 Sedikit berbeda, Gabriel A.
Almond juga menyatakan bahwa lingkungan sistem politik terdiri dari lingkungan domestik dan
lingkungan internasional. Sistem politik dikelilingi dan dipengaruhi maupun mempengaruhi
kedua lingkungan ini. 18
Kembali mengacu kepada pendapatnya David Easton, bahwa sistem politik dan
lingkungannya dihubungkan oleh hubungan input-output. Sistem politik itu sendiri dipandang
sebagai proses konversi atau perubahan input menjadi output. Kemampuan untuk mengubah
input menjadi output inilah yang menjamin suatu pemerintahan atau sistem politik akan
bertahan. 19 Bisa juga dikatakan, bahwa pengaruh-pengaruh yang datangnya dari lingkungan,
baik domestik maupun internasional, dapat menjadi parameter untuk mengukur dan menilai
bagaimana kemampuan suatu sistem politik. Bagaimana sistem politik ini dapat merespon dan
memproses pengaruh-pengaruh tersebut, bisa memperlihatkan bagaimana kemampuan sistem
politiknya. Mengetahui kemampuan sistem politik merespon pengaruh yang datang, dapat
memberikan penilaian apakah sistem politik itu stabil atau sebaliknya, dan dapat pula
mengetahui apakah sistem politik itu mengalami perubahan-perubahan atau tidak. Meningkat
dan menurunnya kemampuan sistem politik menjadi indikasi perubahan-perubahan yang terjadi
dalam suatu sistem politik. karena perubahan-perubahan itu nantinya akan memberikan pengaruh
terhadap pola input dan output dalam sistem politik. 20
Sementara itu, Gabriel A. Almond memandang bahwa sistem politik pada hakekatnya
sebagai suatu mekanisme untuk mengubah tuntutan dari masyarakat (input) menjadi kebijakan
(output) yang melalui saluran umpan-balik akan menjadi calon input baru. 21 Dalam proses dari
input menjadi input kembali, sistem politik membutuhkan struktur-struktur politik beserta
fungsinya masing-masing.Lebih lanjut, Almond membuat klasifikasi sistem politik modern dan
sistem politik tradisional. Dalam sistem politik tradisional tidak ada pembagian kerja yang jelas.
17
Haryanto, Sistem Politik: Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 14.
M. Mas’oed (eds.), hal. 24.
19
M. Mas’oed (eds.), hal. 107
20
Haryanto, hal. 22.
21
Penjelasan dari Gabriel A. Almond dalam paragraf-paragraf selanjutnya dikutip dari M. Mas’oed(eds.), hal. 109112.
18
8
Satu struktur bisa menjalankan peran dan fungsi yang banyak, atau sebaliknya satu fungsi
dijalankan oleh beberapa struktur politik. Sedangkan dalam sistem politik modern, pembagian
kerja itu nampak lebih jelas. Kriteria itu kemudian disebut dengan diferensiasi struktural.
Kaitannya dengan segi kultural, Almond menyebutkan kriteria sekularisasi kultural.
Menurutnya, dalam prosesnya menjadi modern, suatu masyarakat politik mengalami proses
sekularisasi politik, yaitu proses perubahan sikap anggota masyarakat sehingga dalam
memahami dunia kehidupan di sekitarnya mereka lebih mendasarkan pada pemikiran kritis
mengenai sebab-akibat. Masyarakat yang berbudaya sekuler cenderung untuk percaya pada
kemampuannya untuk mempengaruhi dan membentuk lingkungannya, dan untuk melakukan
perubahan. Dua kriteria yang diajukan Almond ini, menjadi dua konsep pokok dalam
menjelaskan proses perubahan atau perkembangan politik. Kunci dalam proses perubahan ini
adalah “kemampuan sistem politik untuk menanggapi lingkungannya”. Kriteria ketiga dari
Almond dalam menjelaskan perkembangan politik adalah kemampuan sistem politik. Semakin
mampu suatu sistem politik menanggapi input yang datang dari lingkungannya, semakin
berkembang dan maju sistem politik itu. Menurutnya, ada enam jenis kemampuan, yaitu: (1)
kemampuan ekstraktif, (2) kemampuan ragulatif, (3) kemampuan distributif, (4) kemampuan
simbolik, (5) kemampuan responsif, () kemampuan domestik dan internasional. Pada akhirnya,
Almond melihat perkembangan politik (atau sering disebut pembangunan politik) sebagai proses
dimana suatu sistem politik memperoleh atau mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi
melalui proses diferensiasi struktural dan sekularisasi kultural.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan sistem politik adalah: (1)
Tanggapan atau respin dari para elite terhadap input yang datang dari masyarakatnya sendiri
daru dari masyarakat internasional. Respon ini dapat berupa penekanan, pengabaian,
penggantian, atau bentuk penyesuaian. (2) Ketersediaan sumber-sumber material yang
diperlukan untuk menjalankan sistem politik. semakin banyak sumber material yang tersedia,
semakin memungkinkan berkembangnya kemampuan sistem politik. (3) Aparat-aparat
organisasi dari sistem politik atau yang dikenal dengan birokrasi. Semakin baik dan efektif
birokrasi ini menjalankan fungsi-fungsinya, maka kemungkinan sistem politik untuk berkembang
semakin besar. (4) Tingkat dukungan terhadap sistem politik. Karena, sistem politik tentu saja
membutuhkan dukungan untuk dapat melaksanakan aktivitas-aktivitasnya. Tinggi rendahnya
9
tingkat dukungan masyarakat ini berbanding lurus dengan perkembangan kemampuan sistem
politik.22
c. Input dan Output Sistem Politik
Sebelumnya telah disebutkan bahwa input diperlukan oleh sistem politik supaya dapat
menjalankan fungsinya, sedangkan output lahir sebagai akibat dari bekerjanya sistem politik.
Maka penjelasan mengenai input dan output sistem politik sangat diperlukan, agar mampu
menjelaskan bekerjanya sistem politik tersebut. Penjelasan mengenai input dan output ini
mengacu kepada kajiannya David Eston. 23
Menurut David Easton, ada dua jenis pokok input-input suatu sistem politik yaitu
tuntutan dan dukungan. Input-input inilah yang memberikan bahan mentah atau informasi yang
harus diproses oleh sistem itu dan juga memberikan enerji yang dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup sistem itu.
i. Input-Tuntutan
Sistem politik terbentuk dalam masyarakat, atau dengan kata lain, mengapa orang
melibatkan diri dalam kegiatan politik, adalah karena adanya tuntutan-tuntutan dari individu atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut yang tidak semuanya dapat dipenuhi secara
memuaskan. Fakta yang mendominasi kehidupan politik semua masyarakat adalah bahwa
terdapat kelangkaan akan sebagian besar hal-hal atau benda-benda yang bernilai tinggi.
Tuntutan-tuntutan akan hal-hal yang relatif langka tersebut tidak akan pernah masuk ke dalam
sistem politik sebelum dipenuhi melalui perundingan-perundingan pribadi dari, atau
penyelesaian-penyelesaian oleh, orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bila tuntutan-tuntutan
atas kehendak-kehendak itu disalurkan dengan suatu usaha yang diorganisasikan secara khusus
dalam masyarakat maka tuntutan-tuntutan itu telah menjadi input-input bagi sistem politik.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana tuntutan-tuntutan itu muncul dan mendapat ciri
khusus dalam masyarakat? Jawabannya adalah, bahwa tuntutan-tuntutan itu muncul dari
22
Gabriel A. Almond and G.B. Powell Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach, Little, Brown &
Company, 1966, hal. 205-207.
23
M. Mas’oed(eds.), hal. 8-20.
10
lingkungan di sekitar sistem itu, atau di dalam sistem itu sendiri. Jadi, ada tuntutan internal
maupun tuntutan eksternal. Tuntutan-tuntutan khusus yang ingin masuk ke dalam proses politik
harus memperhatikan masalah-masalah yang menimbulkan konflik yang itu dianggap penting.
Tidak semua tuntutan-tuntutan berasal dari dalam lingkungan itu. Jenis-jenis tuntutan yang
penting berasal dari situasi-situasi yang terjadi dalam sistem politik. Dalam sistem politik yang
berjalan, secara khas tuntutan-tuntutan bisa timbul dengan tujuan mengubah hubungan-hubungan
politis di antara anggota-anggota itu sendiri, sebagai akibat dari ketidakpuasan atas hubunganhubungan itu.
Pertanyaan selanjutnya mengenai tuntutan ini adalah bagaimana tuntutan-tuntutan ini
diubah menjadi issue-issue politik? Tidak semua tuntutan yang muncul lantas kemudian menjadi
issue politik yang layak dibahas dalam sistem politik. Issue adalah suatu tuntutan yang oleh
anggota masyarakata ditanggapi dan dianggap sebagai hal yang penting untuk dibahas melalui
saluran-saluran yang diakui dalam sistem itu. Dari sini muncul pertanyaan lain, bagaimana
menilai atau menetapkan bahwa tuntutan itu dapat menjadi issue atau dianggap penting untuk
dibahas? Mengenai hal ini, David Easton mengatakan bahwa jawaban atas masalah ini mungkin
akan menjadi suatu indeks konversi yang mencerminkan probabilitas bagi suatu kumpulan
tuntutan yang bisa diubah ke dalam issue politik yang hidup. Artinya, perlu perhatian khusus
terhadap bagaimana tuntutan-tuntutan ini muncul. Karena tuntutan akan mempengaruhi perilaku
suatu sistem. Ia menjadi bahan dasar bekerjanya suatu sistem. Tuntutan itu pula yang menjadi
sumber timbulnya perubahan dalam sistem politik, yang disebabkan perubahan input-tuntutan
yang baru dari lingkungan.
ii. Input-Dukungan
Input-tuntutan hanyalah bahan dasar yang dipakai untuk membuat produk akhir. Sistem
juga membutuhkan enerji demi kelangsungan hidupnya. Enerji ini dapat berupa tindakantindakan atau pandangan-pandangan yang memajukan dan merintangi suatu sistem politik,
tuntutan yang timbul di dalamnya, dan keputusan-keputusan yang dihasilkannya. Input ini
disebut sebagai dukungan (support). Tanpa dukungan, tuntutan tak akan bisa dipenuhi atau
konflik mengenai tujuan tidak akan terselesaikan. Bila tuntutan ingin ditanggapi, anggotaanggota sistem yang memperjuangkannya menjadi keputusan yang otoritatif dan mampu
11
mempengaruhi proses yang berjalan, harus mampu memperoleh dukungan dari pihak-pihak lain
dalam sistem.
Dukungan yang ada, sebagaimana dinyatakan David Easton, dapat berupa tindakan nyata
dan terbuka (overt action), bisa juga bukan berupa tindakan nyata, tapi merupakan bentuk-bentuk
tingkah laku batiniah yang disebut pandangan atau suasana pikiran (covert). Suasana pikiran
mendukung (supportive) ini merupakan suatu kumpulan sikap-sikap atau kecenderungankecenderungan yang kuat, atau suatu kesediaan untuk bertindak demi orang lain. Suasana
pemikiran yang mendukung merupakan input vital bagi bekerjanya dan pemeliharaan suatu
sistem politik.
Menurut David Easton, dukungan terhadap sistem politik mengarah pada tiga sasaran:
a. Komunitas politik. Sistem politik dapat terus melangsungkan kerjanya selama
anggota-anggotanya bersedia mendukung eksistensi suatu kelompok yang
berusaha menyelesaikan perbedaan-perbedaan atau mendorong pembuatan
keputusan-keputusan melalui tindakan-tindakan bersama secara damai. Biasanya
ini disebut dengan pertumbuhan kesatuan nasional yang merupakan prasyarat
kelangsungan hidup suatu sistem politik.
b. Rejim. Rejim ini terdiri dari semua pengaturan yang mengatur cara menangani
tuntutan yang dimasukkan ke dalam sistem dan cara melaksanakan keputusan atau
kebijakan. Rejim ini juga biasa disebut sebagai aturan permainan (rule of the
game) dan dipakai oleh sebagian besar anggota sistem sebagai ukuran untuk
menilai sah-tidaknya tindakan anggota-anggota sistem. Dalam masyarakat Barat,
rejim atau aturan permainan ini dikenal sebagai azas-azas konstitusional.
c. Pemerintah. Menjadi kebutuhan bagi pemerintah akan dukungan dari anggotaanggota sistemnya untuk membuat keputusan berdasar tuntutan-tuntutan yang
diajukan kepadanya. Penarikan dukungan yang dilakukan pemerintah bisa dengan
berbagai cara: bujukan, persetujuan atau manipulasi. Pemerintah juga bisa
memaksakan penyelesaian atas tuntutan-tuntutan sekalipun tidak mendapat
dukungan, yaitu dengan cara penggunaan kekuatan kekerasan.
12
d. Struktur dan Budaya Politik
Dalam memahami kerangka kerja suatu sistem politik, pembahasan mengenai struktur
dan budaya politik diperlukan. Sebagaimana pengertian sistem politik sebagai suatu organisasi
dimana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama, maka dalam rangka
melaksanakan tujuan-tujuan bersama ini diperlukan suatu badan atau struktur yang bekerja
dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi tertentu.
Selain struktur dan fungsi-fungsinya, suatu sistem politik dapat dipahami dengan bantuan
memahami budaya politik yang berlaku dimana sistem politik itu hidup. Menurut David Easton,
budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum
maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk
meraih tujuan-tujuan bersama. 24
Selanjutnya, budaya politik ini menentukan perilaku politik warga negara dan
menentukan bagaimana sistem politik itu bekerja. Berdasarkan orientasi warga negara terhadap
kehidupan politik, Almond membedakan tiga budaya politik. Pertama, budaya politik partisipan.
Budaya ini hidup dalam masyarakat yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik dan
memperoleh cukup banyak informasi tentang kehidupan politik. Kedua, budaya politik subjek.
Budaya politik ini ditemukan dalam masyarakat yang secara pasif patuh kepada pejabat-pejabat
pemerintahan dan undang-undang tapi tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik. Ketiga,
budaya politik parokial. Budaya ini terdapat dalam masyarakat yang orang-orangnya sama sekali
tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. 25
Berdasarkan proporsi ketiga budaya politik tersebut dalam sistem politik, Almond
kemudian merumuskan tiga model budaya politik atau model tentang orientasi terhadap
pemerintahan dan politik. Pertama, sistem demokratik industrial. Dalam sistem ini jumlah
partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, jumlah subjek kurang dari 40% dan
golongan parokial sekitar 10%. Dengan kata lain dalam sistem ini, masyarakat aktif dalam
kegiatan-kegiatan politik. Kedua, otoriter yang hanya sebagian industrial dan sebagian modern.
Dalam sistem ini, meskipun terdapat organisasi politik, namun beberapa partisipan politik
24
M. Mas’oed (eds.), hal. 9.
Mas’oed (eds.), hal. 42.
25M.
13
menentang sistem itu dan berusaha mengubahnya entah melalui tindakan-tindakan persuasif
maupun melaui protes yang lebih agresif. Beberapa kelompok masyarakat aktif dalam
mendiskusikan politik, terutama berasal dari kelompok elit (pengusaha, tokoh agama, tuan tanah)
tapi sebagian besar rakyat hanya menjadi subjek pasif. Ketiga, sistem demokratis pra-industrial.
Dalam sistem ini, sebagian besar masyarakat hidup di pedesaan dan buta huruf, hanya sedikit
sekali partisipan politik, terutama mereka yang berasal dari kalangan pengusaha, mahasiswa atau
tuan tanah. 26
2. Reformasi (Politik)
Dalam bidang politik, merujuk pada kajiannya Samuel P. Huntington, reformasi
dibedakan dari revolusi. Keduanya bisa dibedakan dengan mengacu kepada waktu, cakupan, dan
tujuan dari perubahan sistem sosial politik yang diinginkan. Revolusi merupakan perubahan yang
cepat, menyeluruh dan menggunakan kekuatan atau kekerasan, dalam rangka mengubah nilainilai,
struktur
sosial,
institusi-institusi
politik,
kebijakan-kebijakan
pemerintah
dan
kepemimpinan sosial politik. Semakin menyeluruh perubahan-perubahan tersebut, semakin total
revolusi itu. Sebuah revolusi besar berarti perubahan signifikan yang terjadi dalam seluruh
komponen sistem sosial politik.27
Sedangkan reformasi adalah perubahan yang dilakukan dengan cakupan yang terbatas
dan dalam waktu yang tidak cepat maupun lambat (moderate), dalam rangka mengubah
kepemimpinan, kebijakan dan institusi-institusi politik. Berbicara mengenai konsep reformasi
berarti berbicara tentang tujuan perubahan yang diinginkan juga mengenai cakupan dan tingkat
perubahannya. 28
Reformasi, menurut Hirschman, adalah sebuah perubahan yang berlangsung “hingga saat
kekuasaan (power) kelompok-kelompok yang telah menikmati privilege dikurangi atau dibatasi
dan status sosial ekonomi kelompok-kelompok yang tidak memiliki privilege meningkat”. Hal ini
berarti, bahwa reformasi adalah suatu perubahan dengan tujuan mewujudkan kesetaraan sosial,
26M.
27
Mas’oed (eds.), hal. 42-43
S. P. Huntington, hal. 344
28
S. P. Huntington, hal. 344.
14
ekonomi, atau politik yang lebih besar, serta partisipasi sosial politik yang semakin luas. 29 Ia
mengandung arti perubahan yang mengarah pada persamaan politik, sosial dan ekonomi yang
lebih merata termasuk perluasan peran serta politik di dalam masyarakat dan negara. 30 Unsur
substansi reformasi politik yang perlu dijadikan obyek pembaruan meliputi landasan formal
sistem politik, suprastruktur politik, infrastruktur politik, proses politik dan kebijakan politik
sebagai produk dari proses politik. 31
Huntington menyebutkan bahwa terdapat tiga macam perubahan atau pergeseran dari
sistem politik otoritarian menuju sistem politik yang demokratis. Pertama, transformation
(reforma), terjadi ketika elite yang menduduki kekuasaan membawa perubahan ke dalam sistem
demokrasi. Kedua, replacement (ruptura), terjadi ketika kelompok oposisi yang mengambil
kekuasaan membawa perubahan ke sistem demokrasi, dengan mengeluarkan rejim otoritarian
dari seluruh kekuasaan. Ketiga, transplacement (ruptforma), terjadi saat ada kerjasama antara
pemerintah yang berkuasa dengan kelompok oposisi untuk membawa sistem politik ke arah
demokratisasi. 32 Dilihat dari mekanisme proses reformasi politik, terdapat dua kemungkinan,
yaitu pemimpin dan konsensus. Pemimpin sebagai mekanisme reformasi politik, berfungsi
apabila terjadi perubahan pemimpin negara. Selanjutnya pemimpin baru itulah yang membentuk
pemerintah baru dan melaksanakan reformasi politik secara bertahap. Konsensus nasional
sebagai mekanisme proses reformasi politik, bertolak dari tampilnya dua kekuatan utama
masyarakat-bangsa, yaitu penguasa yang sudah direvisi atau disuksesi berhadapan dengan tim
kepemimpinan rakyat. 33
Terakhir Huntington memberikan rumusan terkait dengan perubahan politik atau
reformasi, yang meliputi: (1) memusatkan perhatian pada apa menjadi komponen-komponen
pokok suatu sistem politik; (2) penentuan laju, ruang lingkup, dan arah perubahan komponenkomponen tadi; (3) melakukan analisa tentang hubungan-hubungan antara perubahan-perubahan
29
S. P. Huntington, hal. 344.
S. P. Huntington, hal. 344.
31
Arbi Sanit, Reformasi Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal 105-107.
32
S.P.Huntington, The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth Century, University of Okhlahoma Press,
Norman, 1991, hal. 114.
33
S.P. Huntington, The Third Wave,hal. 114.
30
15
dalam suatu komponen dan perubahan-perubahan dalam beberapa komponen lain. Menurutnya
sistem politik memiliki beberapa komponen, yaitu: 34
a. Kultur, yaitu nilai-nilai, sikap-sikap, orientasi, mitos dan kepercayaan yang relevan
terhadap struktur politik dan yang berpengaruh dalam masyarakat;
b. Struktur, yaitu organisasi-organisasi formal melalui mana masyarakat menjalankan
keputusan-keputusan yang berwenang, seperti misalnya partai politik, badan
perwakilan rakyat, eksekutif, birokrasi;
c. Kelompok, yaitu bentuk-bentuk sosial dan ekonomi baik yang formal maupun yang
informal, yang berpartisipasi dalam politik dan yang mengajukan tuntututan-tuntutan
terhadap struktur-struktur politik;
d. Kepemimpinan, yaitu individu dalam lembaga-lembaga politik dan kelompokkelompok politik yang menjalankan pengaruh lebih daripada yang lainnya dalam
memberikan alokasi nilai-nilai;
e. Kebijakan, yaitu pola-pola kegiatan pemerintahan yang secara sadar terciptakan untuk
mempengaruhi distribusi keuntungan dan beban dalam masyarakat.
Kajian tentang perubahan politik dapat dilakukan dengan menganalisa kelima komponenkomponen di atas serta hubungan antara perubahan dalam satu komponen dan perubahan dalam
komponen yang lain.
D. Hipotesa
Reformasi politik yang dilakukan Raja Abdullah dikarenakan adanya tuntutan domestik,
kondisi sosial ekonomi dalam negeri dan tekanan internasional yang menghendaki perubahan
dalam sistem politik Arab Saudi. Upaya reformasi politik pemerintah ini merupakan respon
(output) dari tuntutan dan tekanan (input) yang masuk mempengaruhi sistem politik Arab Saudi.
Namun dalam sistem politik monarki yang tertutup seperti Arab Saudi, pemerintah (keluarga
kerajaan) adalah aktor utama, karenanya pemerintah yang mengendalikan jalannya reformasi.
34
S.P. Huntington, Perubahan ke Arah Perubahan: Modernisasi, Pembangunan dan Politik \ dalam Juwono
Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1991, hal. 111-112.
16
E. Ruang Lingkup Penelitian
Skripsi ini mengangkat dua hal, pertama mengenai reformasi yang tengah digulirkan oleh
Raja Abdullah, sejak penetapannya sebagai Putera Mahkota hingga saat ini sebagai Raja Arab
Saudi. Kedua, mengenai repson Ulama atas reformasi yang tengah berlangsung di sana.
F. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian studi pustaka. Bahan penelitian yang
digunakan berupa data sekunder, seperti buku, jurnal, dokumen-dokumen yang telah
dipublikasikan serta referensi lain yang dipandang relevan, baik yang bersumber dari media
cetak maupun elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
kerangka pemikiran, hipotesa, ruang lingkup penulisan dan metode penulisan serta sistematika
penulisan.
Bab kedua berisi pemaparan mengenai sistem politik Arab Saudi yang telah berlangsung
semenjak Raja Abdul Aziz, untuk kemudian coba dibandingkan dengan sistem politik yang saat
ini tengah berjalan di masa pemerintahan Raja Abdullah. Perbandingan ini ditujukan sebagai
upaya untuk melihat apakah terdapat perubahan yang terjadi dalam sistem politik Arab Saudi.
Bab ketiga berisi deskripsi dan penjelasan mengenai reformasi pemerintahan Raja
Abdullah. Namun sebelum menguraikan proses reformasi politik yang berlangsung di Arab
Saudi di bawah pemerintahan Raja Abdullah. Bab ini juga akan memberikan pemaparan tentang
ulama dalam sistem politik Arab Saudi dan sikap ulama terhadap reformasi pemerintahan Raja
Abdullah.
Bab keempat berisi kesimpulan penutupyang merupakan jawaban atas pertanyaan yang
muncul dalam skripsi ini yaitu mengenai reformasi politik Arab Saudi di bawah pemerintahan
Raja Abdullah.
17
Download