BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena masyarakat yang memutuskan untuk mengadu nasib
bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia kian banyak
diminati. Berbagai alasan pun muncul menjadi latar belakang banyaknya
masyarakat yang memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau
Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang disebut juga Buruh Migran Indonesia
(BMI) antara lain karena desakan ekonomi keluarga dan sempitnya
lapangan kerja di tanah air khususnya di sekitar tempat tinggalnya.
Sebagaimana dilansir oleh Badan Pusat Staistika (BPS) per Februari 2013
tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5, 29 persen.1
Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang
tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi orang yang
belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah
bekerja) atau sedang mempersiapkan suatu usaha, orang yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk
mendapatkan pekerjaan dan orang yang sudah memiliki pekerjaan
tetapi belum mulai bekerja. Semakin tinggi angka pengangguran
terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang
ditimbulkannya contoh kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah
angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial
dalam masyarakat. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang
yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga sehingga hanya
orang yang termasuk angkatan kerja saja yang merupakan
pengangguran terbuka. 2
1
BPS, Pada Februari 2013, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar 5,92 Persen,
diunggah tanggal 6 Mei 2013, http://www.bps.go.id/?news=1010, kategori: Berita Resmi
Statistika, diakses pada tanggal 10 November 2013 pukul 19.15 WIB.
2
Statistic
Indonesia,
Pengangguran
Terbuka
(Pengangguran
Terbuka.pdf)
http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=80
3, kategori: Ketenagakerjaan, diakses pada tanggal 10 November 2013 pukul 19.30 WIB.
2
Besarnya angka pengangguran terbuka mempunyai implikasi sosial yang
luas karena mereka yang tidak bekerja tidak mempunyai pendapatan.3
Gaji yang lebih besar dibanding gaji bekerja di dalam negeri,
keinginan keluar dari masalah personal seperti kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), mencari pengalaman hingga sekedar mengikuti teman
atau keluarga yang pernah menjadi TKI menjadi latar belakang
keberangkatan ke luar negeri sebagai TKI. Berdasarkan data BNP2TKI,
pemberangkatan TKI menurut daerah asal dan jenis kelamin sampai
dengan bulan Mei Tahun 2012 secara keseluruhan mencapai 33.849 orang
yang terdiri dari 12.080 laki-laki dan 21.769 perempuan.4 Jawa Tengah
termasuk daerah dengan jumlah pemberangkatan TKI paling banyak
mencapai total 8.177 orang. Untuk daerah Jawa Tengah 2.823 pada status
pekerjaan formal dan 5.354 pada pekerjaan informal. Data tersebut
menunjukkan bahwa banyak TKI yang bekerja pada sektor informal
seperti pembantu rumah tangga (PRT), buruh toko, pengasuh lansia atau
anak-anak dan lain sebagainya.5
Jika melihat pada negara yang paling banyak menjadi tujuan dari
para TKI maka akan didapat data sebagai berikut:
3
Ana Sabhana Azmy, 2012, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan
Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Menurut Laporan Biro Pusat Statistika, setiap pertumbuhan GNP
(Gross National Product) negatif (turun) 1% akan mengakibatkan terjadinya pengangguran
sebesar 400.000 orang.
4
Pusdatinaker, Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Tahun 2012.pdf.,
http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/listDokumen.php?cat=2, kategori: Arsip PDFPenempatan Tenaga Kerja, diakses pada tanggal 5 April 2013 pukul 00.36 WIB.
5
Ibid.
3
Tabel. I.1
Negara-Negara yang Banyak Menjadi Tujuan Penempatan TKI (2012)6
No.
Negara
Jumlah (orang)
1.
Malaysia
8.152
2.
Taiwan
6.101
3.
Singapore
4.027
4.
Hongkong
3.377
5.
Arab
2.299
6.
Qatar
1.693
7.
Korea
1.426
Sumber: Ditjen Binapenta dan BNP2TKI, Diolah Pusdatinaker tahun 2012
Data di atas belum ditambah TKI yang berada di 72 negara lainnya
dan sebagian besar dengan status pekerjaan di sektor informal.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, Indonesia dengan pengiriman TKI
ke luar negeri hingga tahun 2012, negara telah menerima remitansi sebesar
Rp. 561.527.226,88 dimana Malaysia menjadi negara dengan remitansi
(kegiatan pengiriman uang) TKI paling tinggi sebesar Rp. 186.641.610,13
terhitung hingga bulan Mei tahun 2012.7 Data dari BNP2TKI
menunjukkan perolehan devisa dari remitansi TKI yang bekerja di
berbagai negara di kawasan Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa,
dan Australia pada 2012 sampai dengan Juli 2012 mencapai US$ 3,9
miliar. Jumlah remitansi TKI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan
BNP2TKI per Juli 2012 merinci untuk kawasan Saudi Arabia remitansi
yang dikirim TKI sebesar US$ 1,1 miliar dan Malaysia US$ 1,3 miliar.
Selebihnya disumbang oleh TKI di Amerika, Australia dan negara-negara
6
7
Pusdatinaker, Op.Cit.
Ibid.
4
lain di Kawasan Asia Pasifik. Semakin banyak TKI yang diberangkatkan
ke luar negeri maka semakin besar memberikan keuntungan kepada
pemasukan devisa negara sehingga muncul istilah “Pahlawan Devisa” bagi
para TKI yang diperkirakan menjadi penyumbang devisa negara kedua
setelah sektor migas, jika terus meningkat maka akan menggeser sektor
migas sehingga penempatan TKI dimungkinkan menduduki peringkat
pertama.8
Fakta di lapangan menunjukkan tak sedikit dari para calon TKI
maupun TKI yang terjebak dalam lingkaran setan proses menjadi TKI
yang merugikan. Tahun 1999 hasil Laporan Konsorsium Pembela Buruh
Migran Indonesia (KOPBUMI) menunjukkan bahwa terdapat banyak
permasalahan yang dialami dalam penempatan TKI ke luar negeri baik
yang berdokumen maupun tidak berdokumen, mulai saat rekruitmen, di
penampungan PJTKI (sekarang disebut dengan PPTKIS), di penampungan
agen ketika di negara tujuan, saat bekerja di negara tujuan, hingga
kepulangan para TKI kembali ke daerah masing-masing dan permasalahan
TKI secara lebih kasuistis.9
Hal ini juga sebagaimana tercantum dalam pernyataan KOPBUMI
dalam menanggapi hasil The World Conference Against Racism, Racial
8
Wiji Nurhayat, Ini Dia Mengapa TKI disebut 'Pahlawan Devisa Negara', diunggah
tanggal 26 September 2012, http://finance.detik.com/read/2012/09/26/164718/2038367/4/ini-diamengapa-tkidisebutpahlawan-devisa-negara, kategori: ekonomi bisnis, diakses pada tanggal 10
November 2013 pukul 23.15 WIB.
9
Tim Rachmad Syafa’at et.al., 2002, Menggagas Kebijakan Pro TKI : Rekomendasi
Kebijakan Perlindungan TKI Luar Negeri di Kabupaten Blitar, Kerjasama Pusat Pengembangan
Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya- Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kabupaten Blitar dengan Lappera Pustaka Utama, Blitar, hlm. 4- 5.
5
Discrimination, Xenophobia, and Related Intolerance (WCAR) tahun
2001 dimana pada konferensi tersebut WCAR membahas isu-isu terkait
dengan kemanusiaan seperti trafficking termasuk juga isu pekerja migran
yang di dalamnya membahas isu permasalahan yang terjadi pada para
pekerja migran Indonesia, pada saat itu meskipun Indonesia telah
menandatangani dan meratifikasi Konvensi CEDAW dan ILO namun
WCAR
memberikan
rekomendasi
pada
Indonesia
untuk
segera
menandatangani dan meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan Hak
Pekerja Migran dan Keluarganya 1990, begitu juga dengan Konvensi PBB
Melawan Kejahatan Organisasi Trasnasional, Protokol Untuk Mencegah,
Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan
dan Anak-anak, sebagai komitmen negara untuk melindungi hak-hak
pekerja migran dan menghentikan terjadinya perdagangan terhadap
manusia. Rekomendasi ini muncul karena di lapangan banyak ditemukan
TKI yang menerima perlakukan diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran
hak pekerja lainnya dimana pelanggaran ini tidak hanya terjadi di beberapa
tahapan namun disemua tahap terkait pekerja migran Indonesia yaitu pada
saat rekruitmen, di penampungan, pengurusan dokumen, saat bekerja di
negara tujuan, maupun saat kepulangan ke tanah air dan daerah asal.10
10
KOPBUMI, Statement Of Consortium For Indonesia Migrant Workers Advocacy
(Kopbumi), Responding WCAR Declaration In Protecting Indonesia Migrant Workers, (in The
World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia, and related intolerance
(WCAR) held in Durban, South Africa at 31 August to 8 September 2001), tanggal 14 September
2001, hlm 1. Meskipun dalam konferensi ini hadir Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., sebagai
delegasi dari Indonesia yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM namun
sayangnya justru beliau tidak banyak menyampaikan isu-isu permasalahan terkait pekerja migran
Indonesia. Padahal pada saat itu banyak permasalahan terkait dengan pekerja migran yang
ditujukan ke komisi WCAR.
6
Pada
tahun
2004
Indonesia
menandatangani
International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members
of
Perlindungan
Their
Families
Hak-Hak
Seluruh
(Konvensi
Pekerja
Internasional
Migran
dan
mengenai
Anggota
Keluarganya) tanpa reservasi.11 Meski demikian, konvensi ini baru
diratifikasi pada tahun 2012 dengan diundangkannya Undang- Undang
Nomor 6 tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention On
The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of
Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak
Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya), rentan waktu yang
cukup lama hingga suatu perlindungan TKI dan keluarganya di Indonesia
diwujudkan dan direalisasikan dalam sebuah peraturan perundangundangan.
Pada bulan Oktober 2004 diundangkan Undang- Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN), dalam undang-undang tersebut
diatur berbagai hal terkait dengan penempatan, dokumen-dokumen dan
perlindungan TKI. Jika ditelaah secara seksama maka akan terlihat masih
minimnya perlindungan terhadap para TKI hal ini dapat dilihat dari 109
pasal yang ada dalam undang-undang tersebut hanya 9 pasal yang
mengatur terkait perlindungan TKI, selebihnya mengatur terkait prosedur
11
Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 6 tahun 2012 Tentang Pengesahan
International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members
Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran Dan Anggota Keluarganya).
7
penempatan.12 Setelah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
PPTKILN kemudian lahir beberapa kebijakan perlindungan untuk TKI
antara
lain
Peraturan
(Permenakertrans)
Menteri
Nomor
18
Tenaga
Tahun
Kerja
2007
dn
tentang
Transmigrasi
Pelaksanaan
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diundangkan
pada bulan Januari 2013, akan tetapi hingga saat ini masih banyak
permasalahan yang menimpa TKI meski pun telah terdapat cukup banyak
regulasi terkait TKI.
Para calon TKI pun berasal dari berbagai pelosok daerah di
Indonesia, sehingga dapat ditemui kantong-kantong TKI di beberapa
daerah. Salah satunya adalah Desa Tracap Kecamatan Kaliwiro Kabupaten
Wonosobo Jawa Tengah dimana sebagian besar dari warganya menjadi
TKI. Perkampungan yang berada di lereng lembah ini rata-rata masih
berada dalam kondisi ekonomi yang belum mumpuni dan warga
perkampungan ini banyak yang memutuskan untuk berangkat menjadi
TKI.
Tingkat pendidikan yang cukup rendah dan tidak merata serta hal
lainnya seperti pola mikir lingkungan tempat tinggal ditambah maraknya
percaloan TKI merupakan beberapa penyebab banyak diantara para calon
TKI dari daerah ini tidak hanya kemudian menjadi TKI dengan banyak
12
Ana Sabhana Azmy, Op.Cit. hlm. 55.
8
risiko yang harus dihadapi tetapi juga menjadi korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO)/trafficking. Tidak hanya berangkat dan
menjadi TKI yang illegal/non-dokumen namun tidak sedikit para TKI
tersebut kemudian juga mendapat perlakukan yang tidak layak pada tahap
pendaftaran, penampungan, pemberangkatan, penampungan di agensi,
selama bekerja di negara tujuan hingga kepulangan kembali ke daerah
asalnya. Pihak-pihak yang melakukan perbuatan tidak layak tersebut pun
mulai dari para calo, PPTKIS itu sendiri, agen dan majikan di negara
penerima hingga petugas-petugas bandara yang notabene adalah aparatur
negara yang seharusnya melindungi para TKI.
Rangkaian hal-hal tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan tersebut tidak jarang menjadikan TKI korban TPPO/trafficking
pulang ke daerah asal justru dengan berbagai masalah yang jauh lebih
pelik. Sebagian besar korban TPPO/trafficking berasal dari kalangan
tenaga kerja wanita (TKW) baik yang masih di bawah umur maupun
dewasa. TKW yang menjadi korban TPPO/trafficking tersebut kemudian
menjadi pribadi yang menutup diri dari kehidupan sosial bermasyarakat
dengan lingkungan khususnya dengan warga di
sekitar tempat
tinggalnya.13 Hal ini sering terjadi pada mantan TKW yang tidak hanya
menjadi korban TPPO/trafficking namun juga mendapat tindakan
penganiayaan maupun kekerasan seksual seperti pemerkosaan oleh
majikannya ketika bekerja di luar negeri. Banyaknya kejadian mantan
13
Informasi yang disampaikan Maizidah Salas sebagai Ketua SBMI DPC Wonosobo, saat
penulis melakukan pra penelitian di Desa Tracap pada tanggal 7 Oktober 2014, pukul 13.00 WIB.
9
TKW yang pulang dalam keadaan yang tidak layak baik secara psikis
maupun tataran sosial kemudian menjadi dasar perlu dilakukannya upaya
untuk mengembalikan para mantan TKI/TKW tersebut kembali membuka
diri pada kehidupan sosial bermasyarakatnya.
Pada akhirnya kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(UU PTPPO) yang diharapkan mampu menjadi salah satu instrumen
pemberantasan trafficking di Indonesia. Pada Pasal 51 Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2007
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang diatur bahwa “Korban berhak memperoleh rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari
pemerintahan apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik
maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang “, dalam pasal ini
kemudian dapat ditemukan adanya pengaturan reintegrasi dalam tataran
sosial
yang
menjadi
dasar
perlu
adanya
tindak
lanjut
dalam
mengimplementasikan apa yang diatur oleh undang-undang sebagai
reintegrasi sosial tersebut.
SBMI DPC Wonosobo yang juga berkantor di Desa Tracap
kemudian terus membawa isu ini untuk dapat diketahui kalangan luas dan
berusaha melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan
tersebut sehingga tercipta program yang disebut “Program Reintegrasi
untuk para TKI korban TPPO”. Pada program tersebut terdapat berbagai
macam kegiatan implementatif dan produktif yang dilaksanakan mulai dari
10
PAUD untuk anak-anak para TKI, koperasi, simpan pinjam, pelatihanpelatihan usaha dan lain sebagainya. Keaktifan dan produktifitas para
mantan TKI korban TPPO/trafficking ini bersama dengan SBMI DPC
Wonosobo yang kemudian menjadikan Desa Tracap diresmikan sebagai
“Kampung Buruh Migran Indonesia (BMI)” pada tanggal 30 November
tahun 2012 oleh BNP2TKI. Kampung BMI Desa Tracap Kecamatan
Kaliwiro ini merupakan kampung BMI percontohan dan pilot project dari
pemerintah dalam melaksanakan reintegrasi bagi para mantan TKI korban
TPPO yang diharapkan juga akan segera dapat dilaksanakan di kantongkantong TKI di daerah lain di Indonesia.
Uraian di atas kemudian menjadi latar belakang penulis untuk
melakukan penelitan hukum dengan judul “Pelaksanaan Program
Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap,
Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah di atas maka
permasalahan yang dapat dirumuskan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pelaksanaan program Reintegrasi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan
Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo ?
2.
Apakah kendala-kendala yang ditemui dalam melaksanakan
program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai
11
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking
di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo
tersebut baik oleh para TKI, SBMI Wonosobo maupun
pemerintah serta pihak-pihak yang bersangkutan?
3.
Bagaimanakah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak
yang
bersangkutan
(stakeholder)
untuk
menanggulangi
kendala-kendala tersebut?
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Tujuan Objektif
Tujuan objektif yang hendak dicapai dari penelitian
dengan judul “Pelaksanaan Program Reintegrasi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO)/Trafficking di Desa Tracap,
Kecamatan
Kaliwiro,
Kabupaten
Wonosobo“
adalah
sebagai berikut:
a.
Untuk
mengetahui
pelaksanaan
program
Reintegrasi terhadap mantan TKI yang merupakan
korban
Tindak
Pidana
Perdagangan
Orang
(TPPO)/trafficking yang berada di wilayah Desa
Tracap,
Wonosobo;
Kecamatan
Kaliwiro,
Kabupaten
12
b.
Untuk memperoleh data dan informasi terkait
dengan kendala-kendala yang dihadapi baik oleh
para TKI tersebut, Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI) DPC Wonosobo sebagai penggerak dan
pelaksana, Pemerintah maupun Pihak-pihak yang
bersangkutan dari dimulainya program ini hingga
pelaksanaannya selama ini.
c.
Untuk memperoleh data dan informasi mengenai
upaya apa saja yang telah dilakukan para pihak
yang bersangkutan dalam menanggulangi kendalakendala
yang
dihadapi.
Selain
itu
untuk
mengetahui kontribusi masing-masing pihak dalam
mendukung terselenggaranya program reintegrasi
sehingga program ini dapat berlangsung dan
terlaksana secara berkelanjutan dengan ideal dan
baik.
2.
Tujuan Subjektif
Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat
sehingga dapat dipertanggungjawabkan dalam penyusunan
penulisan hukum ini guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan pada bidang ilmu hukum di
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
13
D. Manfaat penelitian
Ada pun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini, antara
lain :
1.
Bagi Peneliti
Penelitian ini akan memberikan pengetahuan yang baru
dan mendalam terkait dengan pelaksanaan program reintegrasi
terhadap TKI sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang/trafficking yang terjadi di Desa Tracap dengan terjun
langsung ke lokasi yang bersangkutan. Peneliti dapat
mengetahui respon dan kontribusi dari pihak-pihak yang
bersangkutan seperti TKI korban TPPO itu sendiri, SBMI DPC
Wonosobo dan para stakeholder terhadap program ini. Selain
itu menambah pengetahuan penulis terkait Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) dalam penempatan TKI yang
terjadi di Wonosobo dan di Desa Tracap pada khususnya.
2.
Bagi Perguruan Tinggi
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai
mahasiswa merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Tri
Dharma
Perguruan
Tinggi,
yakni
pengabdian
kepada
masyarakat.
3.
Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan mendorong perkembangan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang
ilmu Hukum Perdata.
14
4.
Bagi bidang praktik
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan berguna
bagi
para
TKI,
Praktisi
Hukum,
Lembaga
Swadaya
Masyarakat dan Pemerintah serta masyarakat luas dalam
menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
dan mengembangkan progam-program terkait TKI khususnya
program reintegrasi bagi mantan TKI.
E. Keaslian penelitian
Menilik pada banyak penelitian baik dalam rangka penulisan
hukum maupun penulisan lain yang mengambil topik hampir sama yaitu
terkait TKI dan Tindak Pidana Perdagangan Orang/Trafficking maka tidak
menutup kemungkinan terdapat beberapa tulisan yang juga mengambil
topik tersebut baik terpisah maupun menjadi satu kesatuan. Namun
sepanjang pengetahuan penulis, belum ditemukan adanya pengajuan
maupun hasil penelitian dengan judul dan fokus penelitian pada program
reintegrasi TKI sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
sebagaimana penelitian penulis. Adapun beberapa penelitian dan tulisan
yang memiliki topik yang sama antara lain:
1.
Penulisan Hukum dengan judul “Peranan Pemerintah dan
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terdahap
Para TKI Untuk Mencegah Terjadinya Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Kota Medan” yang ditulis oleh Harry
15
Dwi Prasetyo, pada tahun 2012. Tulisan tersebut lebih
menitikberatkan
perlindungan
pada
hukum
pembahasan
yang
dilakukan
bagaimana
oleh
bentuk
Pemerintah
khususnya oleh BP3TKI, Kepolisian dan PPTKIS kepada para
TKI dalam praktek di Kota Medan untuk mencegah Tindak
Pidana Perdagangan Orang, termasuk kendala-kendala yang
dihadapi dalam melaksanakan perlindungan tersebut.
Tulisan ini memang membahas terkait Tindak Pidana
Perdagangan Orang/trafficking terhadap TKI, namun hanya
konsen pada peranan pemerintah dan PPTKIS yang berada di
daerah Medan. Hal ini tentu berbeda dengan tulisan penulis
yang lebih fokus membahas program reintegrasi TKI yang
menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/trafficking
di Dusun Jojogan, Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ;
2.
Penulisan hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi
Buruh Migran Dalam United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime dan Realitas Perdagangan
Perempuan Dalam Proses Penempatan Tenaga Kerja Wanita
(TKW) Indonesia” yang ditulis oleh A. Rita Dharani tahun
2005. Tulisan tersebut lebih menitikberatkan pada bagaimana
perlindungan terhadap buruh migran yang dilihat dari sudut
pandang perlindungan dalam United Nations Convention
16
Against Transnational Organized Crime yang dihubungkan
dengan realitas perdagangan perempuan yang terjadi pada
perempuan-perempuan Indonesia khususnya para Tenaga
Kerja Wanita (TKW) Indonesia pada saat proses penempatan
kerja.
Tulisan tersebut tentu berbeda dengan penulisan hukum
penulis karena perbedaan fokus pembahasan dimana pada
tulisan di atas menggunakan United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime sebagai fokus sumber
hukum sedangkan penulis menggunakan beberapa peraturan
perundang-undangan
terkait dengan TKI, di samping itu
pembahasan penulis lebih pada program reintegrasi para TKW
yang menjadi korban TPPO.
Berdasarkan penelusuran penulis terkait tulisan yang sama dan
sepanjang
pengetahuan
penulis,
penulisan
hukum
dengan
judul
“Pelaksanaan Program Reintegrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)/
Trafficking di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten
Wonosobo” belum pernah ada baik judul dan pokok pembahasan tersebut
sehingga tidak ada penulisan yang sama dengan penulisan hukum yang
penulis teliti.
Download