115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA

advertisement
115
V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA
5.1.
Pertumbuhan Ekonomi
Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB
dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses
kenaikan output total dalam jangka panjang (Wijono, 2005). Pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama periode tahun 1993 hingga 2005 dapat dijelaskan pada
Gambar 8.
Pada periode tahun 1993–1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia
cukup tinggi, dengan rata-rata pertumbuhan 7.5 persen per tahun. Pada periode
tersebut ekonomi Indonesia belum mengalami krisis. Namun semenjak tahun
1997 hingga 2000 dalam masa krisis, petumbuhan ekonomi mengalami penurunan
dengan rata-rata negatif 0.9 persen, bahkan pada tahun 1998 pertumbuhan
ekonomi negatif 12.9 persen. Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup
berat pada tahun itu tetapi pada periode 2001-2009 masa pemulihan ekonomi,
pertumbuhan ekonomi mulai membaik dengan pertumbuhan rata-rata 4.6 persen.
Pertum buhan (% )
10.0
5.0
0.0
-5.0
-10.0
-15.0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grow th 7.5
8.2
8.0
4.6 -13.2 0.8
4.9
3.5
3.7
4.1
5.1
5.6
5.5
6.3
6.0
4.5
Tahun
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional, Tahun 1990-2010 (data diolah).
Gambar 8. Pertumbuhan Ekonomi Riil Indonesia, Tahun 1993 – 2009
116
5.2.
Perkembangan Makroekonomi Struktural
Untuk melihat struktur perekonomian di Indonesia, dapat diketahui dari
kontribusi sektor-sektor produksi terhadap PDB atau dilihat dari sisi suplai. Sektor
produksi terdiri dari 9 sektor yakni, sektor
pertanian; pertambangan dan
penggalian; industri pengolahan; listrik, gas, dan air bersih; konstruksi;
perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan; keuangan, dan jasa-jasa. Namun
demikian adakalanya sektor-sektor tersebut dibagi menjadi 3 sektor yakni, sektor
primer (pertanian), sekunder (industry pengolahan), dan tersier (sektor lainnya)
Untuk mengetahui kontribusi masing-masing sektor terhadap PDB dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Persentase PDB atas Dasar Hargan Konstan 1993
Menurut Lapangan Usaha, Tahun 1993 – 2009
(%)
Lapangan Usaha
1993
1998
2002
2004
2006
2007
2008
2009
Pertanian
Industri
Pengolahan
17.88
17.28
15.39
14.98
14.80
14.67
14.61
14.57
22.3
25.22
27.86
28.36
28.29
28.35
28.37
28.40
Sektor Lainnya
59.82
57.5
56.75
56.66
56.99
56.99
57.02
57.03
100
100
100
100
100
100
100
100
PDB
Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, Tahun 1990-2010
Industri pengolahan atau manufaktur merupakan sektor yang memberikan
peranan terbersar terhadap PDB, dan menunjukkan kecenderungan meningkat
selama periode 1993-2009, dengan kontribusi tahun 2009 sebesar 28.40 persen,
kemudian diikuti oleh pertanian, dengan kontribusi 14.57 persen. Sedangkan
kontribusi sektor lainnya, terbesar adalah dari sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sementara lainnya rata-rata di bawah 10 persen seperti sektor jasa,
pertambangan, keuangan, pengangkutan, konstruksi, listrik, gas, dan air bersih.
117
Besarnya kontribusi industri manufaktur pada PDB, disebabkan oleh
besarnya kontribusi dari beberapa produk seperti : textile, chemicals and rubber,
leather products and footwear, food, beverage, and tobacco, and fertilizers.
Peranan dari hasil-hasil industri tersebut mencapai sekitar 80 persen dari total nilai
tambah sektor industri manufaktur, dan sebagian besar industri tersebut padat
modal dan teknologi tinggi (Wijono, 2005).
Seperti telah disinggung sebelumnya, pertumbuhan ekonomi setelah masa
krisis cenderung meningkat, terutama setelah tahun 2000. Namun dilihat dari
pertumbuhan secara sektoral, menurut Wijono (2005), laju pertumbuhan rata-rata
tertinggi selama periode 2000-2005 adalah dari sektor transportasi dan
komunikasi sebesar 10.19 persen, sementara sektor industri pengolahan hanya
tumbuh rata-rata 5.03 persen, sedangkan sektor pertanian lebih kecil lagi yakni
3.93 persen, padahal sektor pertanian bersifat padat karya yang dapat menampung
sekitar 40 persen tenaga kerja, bahkan di masa krisis kecenderungan jumlah
pekerja di sektor pertanian cenderung meningkat. Dengan demikian jika
diperhatikan perubahan struktur perekonomian di Indonesia dari pertanian ke
industri atau meningkatnya peranan industri dan jasa di Indonesia tidak diikuti
oleh lapangan kerja yang tersedia, bahkan Azis (1991) telah memprediksi kondisi
tersebut semenjak tahun 1991, bahwa transformasi ekonomi tidak secara otomatis
terhadap penyerapan tenaga kerja, karena pengembangan industri di Indonesia
lebih bersifat kapital intensif.
Di samping dilihat dari sektor produksi, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya
PDB juga dapat dilihat dari segi penggunaannya yang meliputi
konsumsi rumah tangga (C), investasi swasta (I), konsumsi pemerintah (G),
118
ekspor (X) dan impor barang-barang dan jasa (M). Cara ini dikenal juga dengan
sebutan pendekatan sisi permintaan. Untuk mengetahui perkembangan kontribusi
konsumsi, ekspor, dan impor terhdap PDB berdasarkan, dapat dilihat pada
Gambar .
Kontribusi pada PDB
80
60
40
20
0
1993
1996
1998
1999
2002
2005
2007
2009
C
58.52
62.07
69.09
71.72
61.17
60.45
61.66
57.35
X
26.75
27.82
36.59
24.22
37.82
41.01
42.2
42.81
M
23.72
29.41
35.19
20.71
28.04
32.64
34.99
32.54
Tahun
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional, Tahun 1990-2010 (data diolah)
Gambar 9. Perkembangan Distribusi Konsumsi, Ekspor, impor terhadap
PDB atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1993 - 2009
Kalau diperhatikan dari Gambar 9, tampaknya dari tahun 1993-2009,
pengeluaran konsumsi rumah tangga masih memberikan peranan yang terbesar
terhadap PDB Indonesia. Dengan peranan rata-rata di atas 60 persen setiap tahun,
kondisi tersebut menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini
relatif
lebih
banyak
didorong
oleh
tumbuhnya
konsumsi
masyarakat,
dibandingkan dengan dorongan dari pertumbuhan investasi (pembentukan modal
domestik). Kondisi ini akan membawa konsekuensi terhadap kurangnya
penyerapan tenaga kerja (pengangguran meningkat), karena konsumsi masyarakat
sebagian juga disuplai dari produk-produk akhir dari impor, yang akhirnya dalam
jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan perekonomian makro secara
119
keseluruhan. Akan berbeda hasilnya, apabila pertumbuhan ekonomi lebih banyak
didorong oleh pembentukan modal (investasi).
Kontribusi konsumsi rumah tangga menunjukkan trend meningkat hingga
tahun
1999,
setelah
itu
menurun,
sementara
perkembangan
ekspor
kecenderungannya meningkat, termasuk pada saat konsusmsi menurun pada tahun
1999 ke tahun 2002. Jika dicermati peranan ekspor cenderung meningkat dari
tahun 2002 hingga tahun 2009, walaupun demikian impor juga meningkat, namun
peningkatannya masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan ekspor. Di
sisi lain kontribusi konsumsi rumahh tangga masih relatif tinggi, namun
sesungguhnya kemampuan untuk menyediakan lapangan kerja terbatas jika
dibandingkan dengan investasi. Kendatipun demikian dari data BPS telah
menunjukkan bahwa sejak pemulihan ekonomi hingga tahun 2005 pengeluaran
konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga masih merupakan sumber utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tahun 1993 pengeluaran konsumsi rumah
tangga berperan sebesar 58.52 persen dan tahun 1999 peranan konsumsi tersebut
meningkat menjadi 71.72 persen, hingga tahun 2005 peranan konsumsi rumah
tangga masih tetap dominan yaitu sebesar 61.66 persen, dan pada tahun 20062009 peranan konsumsi masih tinggi, yakni di atas 56 persen.
Sebenarnya peranan konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan
ekonomi dalam jangka pendek tidak menjadi persoalan. Namun jika hal tersebut
terjadi dalam jangka panjang, maka dapat menimbulkan dampak terhadap
meningkatnya impor dan jumlah pengangguran apabila produksi domestik tidak
dinaikkan. Peningkatan produksi berarti perlu adanya kenaikan investasi. Apabila
hingga jangka panjang kapasitas produksi nasional tidak meningkat, tapi justru
120
dipenuhi dengan produk impor, maka persoalan–persoalan baru akan muncul
seperti gejolak nilai tukar rupiah, sehingga akan memiliki dampak berantai pada
berbagai sektor, dan akhirnya berpengaruh pada PDB. Oleh sebab itu peningkatan
produksi melalui peningkatan investasi yang akan datang harus terus diupayakan,
baik investasi bersumber dari masyarakat domestik, asing, maupun pemerintah.
5.3. Perkembangan Kesempatan Kerja
Masalah angkatan kerja di Indonesia meliputi masalah kualitas dan
kuantitas. Pertumbuhan angkatan kerja yang cepat akan membawa beban
tersendiri bagi perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja. Apabila tidak
dapat menampung kecepatan pertumbuhan angkatan kerja yang baru, maka bagi
angkatan kerja yang tidak tertampung akan menambah jumlah pengangguran.
Oleh karena itu penciptaan lapangan kerja baru merupakan salah satu tujuan
pembangunan dalam perekonomian. Namun demikian pembangunan ekonomi
belum dapat menampung kenaikan angkatan kerja yang terjadi, baik dari
pendatang baru maupun dari lulusan sekolah yang masuk dalam angkatan kerja.
Masalah angkatan kerja di Indonesia, bukan saja masalah kuantitas, tapi
juga masalah kualitas pekerja atau sumberdaya manusia. Masalah kualitas ini
dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang diselesaikan dan tingkat produktivitas
kerja masih relatif rendah. Akibatnya tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia
juga masih relatif rendah.
Sejak terjadinya krisis di Indonesia pada tahun 1998 jumlah pengangguran
meningkat cepat. Hal ini terjadi karena dampak krisis tersebut menyebabkan
terjadinya kelesuan ekonomi hampir diseluruh sektor. Setelah terjadinya kelesuan
tersebut, perusahaan-perusahaan banyak yang melakukan pemutusan hubungan
121
kerja (PHK), akibatnya terjadi depresi ekonomi yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi hingga sekitar minus 13 persen, sehingga jumlah
pengangguran meningkat dengan cepat. Walaupun demikian pembangunan
ekonomi terus digalakkan, karena salah satu tujuannya adalah menciptakan
lapangan kerja yang cukup untuk menyerap pertambahan angkatan kerja yang
masuk ke pasar kerja, yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan
lapangan kerja baru. Untuk mengukur kemampuan penyerapan angkatan kerja
tersebut biasanya digunakan konsep elastisitas kesempatan kerja, yaitu mengukur
kemampuan kualitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan angkatan kerja.
Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), akibat pertumbuhan
ekonomi yang negatip menyebabkan industri yang ada tidak mampu menyediakan
lapangan kerja baru untuk menampung tambahan angkatan kerja. Kondisi tersebut
terjadi karena pada saat yang sama terjadi kenaikan suku bunga pinjaman yang
cukup tinggi. Sehingga perusahaan-perusahaan tidak melakukan perluasan
maupun melakukan investasi baru. Kemudian akibat krisis ekonomi yang terjadi,
memicu terjadinya ketidak stabilan politik dan keamanan, serta tingkat inflasi
yang tinggi menyebabkan kepercayaan investor terus menurun, bahkan terjadi
aliran modal keluar negeri yang juga mengakibatkan terjadinya depresiasi nilai
tukar rupiah. Walaupun secara teoritis menurunnnya nilai tukar rupiah dapat
meningkatkan ekspor, tapi peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlalu besar,
karena tingkat inflasi dalam negeri yang tinggi juga menyebabkan tingkat efisiensi
menurun. Sebagai gambaran tentang perkembangan penyerapan angkatan kerja
yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, baik sebelum krisis,
masa krisis, maupun setelah krisis dapat dilihat melalui Gambar 10.
122
Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa terdapat pola hubungan positif antara
pertumbuhan ekonomi
dengan penyerapan
kesempatan kerja,
walaupun
pertumbuhan kesempatan kerja relatif lebih lambat dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu untuk dapat menampung angkatan kerja
yang belum bekerja, harus diupayakan dapat menciptakan lapangan kerja baru.
10
5
Persen
0
-5
-10
-15
Eco Gr
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
7.5
Emp Gr 3.58
8.2
7.8
2.55 1.87
4.9
3.4
3.7
1.71 -0.99 1.99 4.68
4.7
-13.2
0.8
3.10
4.00 5.19
4.3
5.6
5.50 6.35
6.01 4.55
4.92 5.00
5.2
5.54 4.69
2.62 2.26
Tahun
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, tahun 1992-2010
BPS, Keadaan Angkatan Kerja Indonesia, tahun 1992-2010.
Gambar 10.
Pola Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan
Kesempatan Kerja, Tahun 1993 – 2009.
Salah satu cara untuk menciptakan lapangan kerja baru adalah dengan
mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Jika tidak
demikian pengangguran tetap saja akan meningkat. Gambar 10, menunjukkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif dan lambat, terutama semenjak
krisis hingga tahun 2003. Sejak tahun 2005 pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas
5 persen, namun pada tahun 2009 kembali menurun. Di lain pihak pertumbuhan
employment lebih lambat, walaupun dari tahun 2003 hingga 2006 pertumbuhan
employment cukup tinggi, namun setelah itu kembali menurun hingga tahun 2009.
123
Sebenarnya agar tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, maka iklim investasi harus
diperbaiki. Sejalan dengan peningkatan investasi tersebut agar dapat terus tumbuh,
daya saing juga harus ditingkatkan sehingga produksi domestik dan ekspor juga
akan terus meningkat. Peningkatan investasi dan produksi dengan daya saing
tinggi akan meningkatkan aktivitas perekonomian di dalam negeri sehingga
penciptaan lapangan kerja baru dapat menurunkan jumlah pengangguran. Namun
di samping itu, proses pembangunan akan berjalan baik, apabila diikuti berbagai
kebijakan yang mendukung di setiap tahapan, misalnya kebijakan penetapan suku
bunga pinjaman yang rendah, infrastruktur yang memadai, pelayanan yang cepat
dan tidak korup. Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
investasi akan memberikan dampak lebih tinggi dalam penyediaan lapangan kerja
dibandingkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sumber utamanya
dari pengeluaran konsumsi seperti yang terjadi selama ini.
5.4. Daya Saing Produk
Tingkat daya saing ekspor Indonesia, di samping karena persoalan
efisiensi produksi yang masih rendah, juga terdapat persoalan--persoalan lain yang
terkait dengan perkembangan investasi, seperti biaya birokrasi yang tidak
berhubungan secara langsung dengan biaya dalam proses produksi. Keterkaitan
dengan biaya birokrasi tersebut, di samping jumlah biaya yang harus dikeluarkan
cukup besar, juga lamanya waktu yang diperlukan untuk mengurus suatu usaha
bisnis, mulai dari pendirian hingga beroperasinya suatu perusahaan (ekonomi
biaya tinggi).
Peringkat daya saing Indonesia dapat dilihat pada laporan world economic
forum (WEF) melalui the global competitiveness report berbagai publikasi
124
tahunan. Misalnya pada tahun 1996 dan tahun 1999 daya saing global Indonesia
masing--masing berada pada peringkat 30, dan 37. Kemudian pada tahun 2000
berada peringkat 44, kemudian menurun lagi ke peringkat 47 pada tahun 2005.
dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi peringkat 44, namun tahun
2009 kembali menurun ke peringkat 46. Jika diperhatikan dari tahun ke tahun
daya saing Indonesia mengalami naik turun, sementara di beberapa negara--negara
di lingkungan ASEAN, hanya Vietnam yang berada di bawah peringkat
Indonesia, yakni peringkat 48 pada tahun 2009. Oleh karena itu harus ada upaya
maksimal dari segenap masyarakat yang terlibat, agar daya saing Indonesia dapat
meningkat. Jika tidak ada upaya yang lebih maksimal untuk meningkatkan daya
saing produk domestik, baik di pasaran dalam negeri maupun luar negri, maka
akan sulit bagi Indonesia untuk menjadikan komoditas ekspor sebagai sumber
utama dalam pertumbuhan ekonomi.
5.5.
Perkembangan Perdagangan Luar Negeri
Salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu bangsa adalah
perdagangan luar negeri. Pada jaman modern sekarang ini setiap negara telah
melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain, demikian halnya dengan
bangsa Indonesia. Perdagangan luar negeri bagi bangsa Indonesia terasa semakin
penting, bukan semata-mata dilihat dari perolehan devisa dari ekspor, akan tetapi
juga terkait dengan kebutuhan impor barang-barang modal dan bahan baku dalam
rangka memacu produksi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun
untuk meningkatkan ekspor.
125
5.5.1. Perkembangan Ekspor Indonesia
Setelah masa kejayaan penerimaan dari minyak dan gas (migas) berlalu,
fokus ekspor Indonesia beralih ke ekspor non migas. Sehingga kinerja ekspor
Indonesia tidak lagi ditentukan oleh ekspor migas, tapi lebih ditentukan oleh
ekspor non migas. Dalam upaya meningkatkan ekspor non migas ini tampak
perkembangannya masih relatif lambat. Kedaan ini disebabkan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal terutama disebabkan oleh masalah
inefisiensi, sementara fator eksternal dapat bersumber dari negara-negara
kompetitor, dan juga kondisi ekonomi negara-negara tujuan ekspor, di samping
itu, juga disebabkan oleh keadaan perekonomian dunia, khususnya yang berasal
dari negara-negara maju sebagai tujuan ekspor.
Ekspor non migas Indonesia terdiri dari berbagai macam barang dengan
tujuan banyak negara, namun komposisinya sangat tidak berimbang. Komoditas
ekspor Indonesia sebagian besar didominasi oleh beberapa jenis barang tertentu,
demikian pula tujuan ekspor Indonesia terkonsentrasi pada beberapa negara
tertentu saja. Sehingga penerimaan total ekspor Indonesia sangat tergantung pada
ekspor barang-barang tertentu dan negara tujuan ekspor tertentu. Kondisi seperti
ini sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi karena sifat
ketergantungan tersebut. Misalnya jika terjadi penurunan harga dan permintaan
baik terhadap komoditi utama maupun terhadap negara tujuan utama. Masalah ini
akan memiliki resiko pada defisit neraca perdagangan dan berlanjut pada tekanan
terhadap neraca pembayaran internasional. Apabila produksi di dalam negeri tidak
tersalurkan
ke
pasaran
internasional,
berarti
dampak
negatip
terhadap
perekonomian dalam negeri akan terjadi. Dampak negatip berupa kemerosotan
126
ekspor dimasa lalu memang masih dapat diatasi dengan kebijakan devaluasi,
namun pada regim valuta asing, seperti yang di anut oleh bank Indonesia sekarang
ini, yakni kurs mengambang (floating exchange rate) maka kebijakan devaluasi
tidak lagi akan efektip untuk diberlakukan. Oleh karena itu untuk mengatasi
masalah ketergantungan tersebut, bangsa Indonesia telah melakukan upaya
perluasan negara tujuan ekspor, serta meningkatkan diversifikasi
komoditas
ekspor. Karena jika tidak demikian, maka mudah sekali terkena dampak negatip
akibat perubahan baik di negara tujuan ekspor maupun perubahan terhadap
permintaan komoditi ekspor, sehingga penerimaan ekspor akan menurun.
Kinerja ekspor suatu negara tidak hanya dilihat dari besaran nilai atau
volumenya saja, tapi juga harus dilihat dari diversifikasinya, baik jenis
komoditasnya, dalam arti ragam produknya, atau intensitas penggunaan teknologi
terhadap suatu produk, maupun negara-negara tujuan ekspor (Francis, 2003;
Tambunan, 2001; Cuaresma dan Worz, 2000). Walaupun demikian kenaikan atau
pertumbuhan
ekspor
juga
merupakan
bagian
dari
keberhasilan
dalam
mengembangkan pasar produk-produk dalam negeri. (Tambunan, 2001; Dumairy,
1996). Sebagai gambaran keberhasilan dalam perkembangan ekspor Indonesia
dapat dilihat melalui Tabel 8. Nilai ekspor non migas Indonesia dari tahun ke
tahun cenderung meningkat. Tahun 1993 nilai ekspor non migas Indonesia adalah
sebesar 27077.1 juta dolar Amerika, pada tahun 2000 telah meningkat menjadi
47757.4 juta dolar Amerika, berarti telah hampir 2 kali lipat, dan tahun 2005 nilai
ekspor non migas telah menjadi 66428.5 juta dolar Amerika, kemudian nilai
ekspor non migas terus meningkat hingga tahun 2008 menjadi 107894.1 juta dolar
Amerika, kemudian tahun 2009 mengalami penurunan. Penurunan ekspor pada
127
tahun 2009 bersumber dari ekspor pertanian dan hasil industri, sedangkan ekspor
pertambangan meningkat. Tabel 8, juga menunjukkan bahwa ekspor terbesar
adalah berasal dari industri manufaktur, yakni rata-rata 84 persen, kemudian
diikuti oleh ekspor komoditas pertanian dengan rata-rata 7 persen dan cenderung
menurun, serta ekspor komoditas pertambangan
rata-rata sebesar 7 persen,
walaupun kecendrungannya meningkat, tapi sangat lambat.
Tabel 8. Struktur Ekspor Non Migas Indonesia Menurut Sektor Ekonomi,
Tahun 1993-2009
Ekspor Non
Migas (Juta US$)
1993
27077.1
1994
30359.7
1996
38092.9
1997
41821.1
1998
40975.3
1999
38873.2
2000
47757.4
2005
66428.5
2006
79589.1
2007
92012.3
2008
107894.1
2009
97491.7
Tahun 1993-1996
Tahun 1997-1999
Tahun 2000-2009
Tahun
Kontribusi Sektoral Ekspor (Persen)
Pertanian
9.77
9.28
7.65
7.49
8.92
7.46
5.67
4.34
4.23
3.98
4.25
4.46
8.74
7.96
4.80
Industri
84.73
84.66
84.33
83.65
84.42
85.75
87.95
83.69
81.70
83.10
81.93
75.33
84.41
84.61
83.91
Pertambang
5.41
5.93
7.93
7.43
6.6
6.76
6.37
11.96
14.06
12.92
13.82
20.20
6.74
6.93
11.27
Lainnya
0.09
0.13
0.09
1.43
0.06
0.03
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.11
0.51
0.01
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1992-2010 (data diolah)
Jika dilihat dari negara-negara tujuan ekspor non migas Indonesia tidak
tersebar secara baik, karena terkonsentrasi pada beberapa negara tertentu yang
menjadi tujuan ekspor tersebut (Tabel 9). Tabel tersebut memperlihatkan bahwa,
lebih dari 40 persen dari total ekspor non migas Indonesia hanya diserap oleh tiga
negara, yakni Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura, sementara negara-negara
tujuan ekspor lainnya rata-rata hanya menyerap sekitar 2 hingga 3 persen saja.
128
Sejak tahun 2007, negara China telah menjadi negara tujuan ekspor Indonesia
yang cukup signifikan. Peranan China dalam menyerap komoditi ekpsor Indonesia
semenjak tahun 2007 hingga tahun 2009 telah mencapai rata-rata di atas 8 persen.
Sehingga dominasi tujuan ekspor Indonesia sudah bertambah karena sudah
termasuk negara China. Demikian juga jika dilihat per wilayah tujuan ekspor,
maka ekspor non migas lebih terkonsentrasi pada wilayah Asean, dari tahun 2000
hingga 2009 rata-rata 18.7 persen. Sementara tujuan ekspor Indonesia ke wilayah
Australia dan Afrika daya serapnya masih sangat rendah, yakni di bawah 4 persen.
Tabel 9. Komposisi dan Perkembangan Ekspor Menurut Negara dan
Wilayah Tujuan, Tahun 2000 – 2009
(%)
Negara/Wilayah1
Tahun
2000
2002
2003
2005
2007
2008
Jepang
23.2
21.25
22.28
21.07
20.71
20.25
15.94
Amerika Serikat
13.64
13.22
12.08
11.52
9.18
9.51
9.31
Singapura
10.56
9.36
8.84
9.15
9.20
9.39
8.81
Hongkong/China
2.5
2.17
1.94
1.74
8.48
8.49
9.87
Belanda
2.96
2.83
2.3
2.61
1.41
2.87
1.50
Inggris
2.43
2.19
1.86
1.51
1.27
1.13
1.25
Jerman
2.32
2.22
2.32
2.08
1.03
1.80
1.00
ASEAN
17.52
17.38
17.57
18.47
19.54
19.83
21.13
AMERIKA
16.02
15.61
14.12
13.62
11.74
12.75
11.80
UNI EROPA
13.95
13.82
13.03
11.95
11.51
11.28
11.65
AUSTRALIA
2.73
3.77
3.34
3.02
2.98
2.00
2.80
AFRIKA
1.77
2.16
2.05
1.95
0.45
0.21
2.36
Keterangan :
2009
1
Beberapa negara tujuan ekspor tidak dimasukkan karena ekspornya masih
relatif kecil. Ekspor Ke Negara China semenjak Tahun 2004.
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1999-2011 (data diolah)
Negara-negara yang berada di wilayah Afrika dan Australia sebenarnya
merupakan potensi tujuan ekspor Indonesia yang akan datang, hanya saja langkah
kearah tersebut masih perlu dioptimalkan. Di samping itu komoditas ekspor non
129
migas Indonesia diversifikasinya juga masih kurang. Pada hal keragaman
komoditas
ekspor
non
migas
Indonesia,
akan
semakin
meningkatkan
kontribusinya terhadap nilai total ekspor Indonesia. Jika diversifikasi ekspor
semakin bervariasi, berarti peranan ekspor non migas akan semakin penting dalam
perekonomian nasional. Terlebih lagi penerimaan yang berasal dari migas tidak
lagi menjadi andalan utama, karena kontribusinya sudah sulit untuk dinaikkan.
5.5.2. Perkembangan Impor Indonesia
Sejalan
dengan
meningkatnya
aktivitas
perekonomian
nasional,
pengeluaran untuk impor juga terus meningkat. Pada tahun 2000 impor Indonesia
bernilai 33514.8 juta dolar Amerika. Walaupun impor sempat menurun karena
nilai rupiah terdepresiasi namun pada tahun 2004 hingga tahun 2005 impor
melonjak cukup tinggi, bahkan pada tahun 2005, nilai impor telah menjadi
57700.9 juta dolar Amerika. Kenaikan impor tersebut tidak terlepas dari berbagai
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tarif bea masuk, serta kemudahan
dalam memperoleh ijin impor bagi banyak perusahaan. Kebijakan impor ini
terkait dengan upaya pengembangan industri dalam negeri, peningkatan investasi,
dan pengembangan ekspor.
Dilihat dari negara asal impor, komposisi asal impor Indonesia mirip
dengan komposisi ekspor menurut negara tujuan, karena impor utama berasal dari
negara Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat, serta China. Jika dilihat dari
Tabel 10, nampaknya lebih dari 40 persen impor Indonesia berasal dari keempat
negara tersebut. Sedangkan jika ditinjau dari wilayah regional, impor Indonesia
terbesar adalah berasal dari Asean, kemudian Amerika Serikat, sedangkan wilayah
130
Uni Eropa dan Australia, impor Indonesia relatif lebih rendah, bahkan impor dari
Afrika masih sangat kecil.
Permasalahan yang muncul memang tidak seberat seperti ketergantungan
terhadap ekspor, karena untuk impor dapat dilakukan dengan negara-negara lain
seperti negara-negara di Eropa maupun Asia, sementara mencari mitra dagang
untuk ekspor komoditas Indonesia relatif lebih sulit dibandingkan dengan impor.
Komposisi dan struktur impor dapat juga dianalisis dari penggolongan barang
impor berdasarkan tujuan penggunaannya. Dalam konteks ini badan pusat statistik
(BPS) mengelompokkan barang-barang impor kedalam tiga kelompok barang,
yaitu barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku.
Tabel 10. Perkembangan Komposisi Impor Menurut Negara Asal dan
Wilayah, Tahun 2000 - 2009 (Persen terhadap Total Impor)
(%)
Tahun
2000
2002
2003
2005
2007 2008
2009
Jepang
16.1
14.09
12.99
11.97
8.76 11.71
10.17
Singapura
11.3
13.1
12.77
16.41
13.21 16.87
16.06
Amerika Serikat
10.12
8.44
8.28
6.72
6.43
6.1
7.32
Hongkong/China
6.03
7.76
9.09
10.13
11.49
11.8
14.46
Hongkong/China
Jerman
3.71
3.59
3.63
3.09
2.66
2.38
2.45
Malaysia
3.37
3.32
3.5
3.72
8.61
6.91
5.87
Thailand
3.31
3.81
5.23
5.97
5.76
4.9
4.76
ASEAN
19.35
21.63
23.75
29.53
31.95 31.71
28.63
AMERIKA
13.8
11.44
11.01
9.94
11.4
8.75
9.64
UNI EROPA
5.84
5.71
5.66
4.95
8.31
8.17
8.96
AUSTRALIA
5.84
5.71
5.66
4.95
4.03
3.09
3.55
AFRIKA
2.46
5.32
4.89
2.78
3.11
1.74
2.11
Keterangan : 1Beberapa Negara asal impor tidak dimasukkan karena impornya masih
relatif kecil.
Negara/Wilayah1
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi, Tahun 1998-2011 (data diolah)
Bahan baku dalam struktur impor Indonesia sangat dominan, rata-rata
impor bahan baku lebih dari 70 persen setiap tahun. Kondisi ini mengindikasikan
131
bahwa industri dalam negeri sangat ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Besarnya ketergantungan ini sangat potensial menimbulkan berbagai persoalan
industri di dalam negeri, terutama gangguan proses produksi industri akan
tersendat. Gangguan impor tersebut dapat bersumber dari gejolak kondisi bahan
baku yang bersumber dari negara asal impor. Demikan pula gejolak dapat muncul
dari terdepresiasinya nlai tukar rupiah, sehingga menyebabkan biaya produksi
menjadi tinggi dan dapat memicu inflasi domestik, akibatnya daya saing harga
produk akan menurun baik di pasaran dalam negeri maupun di luar negeri atau
gejolak kondisi bahan baku yang bersumber dari negara asal impor.
Impor barang-barang konsumsi yang paling banyak berdasarkan data BPS
adalah jenis makanan dan minuman, kemudian impor kendaraan pribadi yang
lebih kecil, karena tarif yang dkenakan sangat tinggi. Sedangkan impor bahan
baku penolong seperti makanan dan minuman, bahan baku industri, bahan bakar
dan pelumas, serta suku cadang. Adapun impor barang modal antara lain terdiri
atas alat angkutan untuk industri, kendaraan penumpang, dan barang modal selain
alat angkut yang jumlahnya paling banyak (Badan Pusat Statistik, 2008).
132
Download