PEMBAHASAN UMUM Gen yang dapat digunakan

advertisement
35
PEMBAHASAN UMUM
Gen yang dapat digunakan sebagai penanda genetik dalam studi molekuler
untuk mempelajari karakteristik genetik antar spesies maupun antar individu
diantaranya adalah gen IGF-1. Dikaji dengan metode PCR-RFLP menggunakan
enzim Pst-1. Amplifikasi gen IGF-1 pada ayam lokal dan ayam pembandingnya
telah berhasil dilakukan. Produk PCR yang dihasilkan setelah dilakukan
sekuensing kemudian di alignment menggunakan Mega 4 dengan hasil sebesar
624 bp dan hasil ini berbeda sedikit dengan yang dirancang oleh Li et al. (2008),
yaitu 621 bp. Fragmen DNA spesifik tersebut mengandung SNP (single
nucleotide polymorphism). Mutasi titik yang terjadi di dalam fragmen DNA
spesifik dari gen IGF-I tersebut disebabkan adanya substitusi (transversi) sebuah
nukleotida guanine (G) dengan thymin (T) dideteksi menggunakan Pst-I. Hal ini
tidak sesuai dengan hasil penelitian Li et al. (2008), yaitu hasil substitusinya
adalah cytosine (C) dengan thymin (T). Hasil identifikasi genotip menunjukkan
hanya terdapat 2 genotip yaitu AA dan AB pada sampel ayam lokal, sedangkan
pada ayam broiler ditemukan 3 genotip yaitu AA AB dan BB. Namun demikian
ada hal menarik yaitu frekuensi genotip AB pada ayam broiler lebih besar dari
pada genotip AB pada ayam lokal. Sebaliknya frekuensi genotip AA ayam lokal
lebih besar dari pada frekuensi genotip AA ayam broiler.
Genotip AA pada semua rumpun dan semua umur memiliki bobot badan
yang lebih rendah dibanding ayam dengan genotip AB. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Mu‟in et al. (2010) bahwa bobot badan ayam dengan genotip AA
lebih rendah dibanding bobot ayam dengan genotip AB pada ayam lokal papua.
Bobot badan ayam broiler tertinggi yaitu pada genotip BB, selanjutnya genotip
AB dan AA. Seperti hasil penelitian Wang et al. (2004) pada ayam Lohman,
bahwa genotip BB menunjukkan bobot badan yang tertinggi dibanding genotip
AA dan AB.
Selain menganalisis bobot badan dalam kaitannya dengan genotip,
dilakukan pula analisis frekuensi alel, frekuensi genotip dan nilai heterozigositas.
Nilai heterozigositas dari ke lima jenis ayam menunjukkan nilai kurang dari 0.5,
sehingga dikatakan memiliki keragaman gen yang rendah. Javanmard et al.
(2005) menyatakan bahwa apabila nilai heterozigositas dalam suatu populasi
kurang dari 0.5 pada suatu populasi, maka populasi tersebut dikatakan
mempunyai keragaman gen yang rendah.
Hasil analisis peubah pembeda pada empat rumpun ayam lokal didapat
hanya dua peubah yaitu panjang punggung dan lingkar dada menunjukkan hasil
signifikan. Hasil pengukuran panjang punggung dan lingkar dada berdasarkan
genotip IGF-1 menunjukkan bahwa pada genotip AA memiliki panjang punggung
dan lingkar dada yang rendah dibandingkan dengan panjang punggung dan
lingkar dada pada genotip AB dari setiap rumpun dan umur ayam. Perbandingan
antar rumpun ayam pada genotip AA maupun genotip AB setelah diuji dengan
uji t berdasarkan lingkar dada menunjukkan bahwa pada genotip AA maupun AB
antar rumpun ayam kedu, sentul dan kampung tidak terdapat perbedaan (ns).
Selanjutnya pada umur 3 – 5 bulan pada genotip AB antara ayam pelung dengan
ketiga ayam lokal lain menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pada
genotip AA tidak menunjukkan perbedaan. Sedangkan pada umur 3 sampai 5
36
bulan baik genotip AA maupun AB pada ayam pelung berbeda dengan ke 3 ayam
lokal lainnya
Hasil perhitungan rata-rata bobot hidup ayam penelitian pada umur satu,
dua, tiga, empat dan lima bulan yang dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin sebelum dikoreksi ke arah jantan menunjukkan bahwa bobot hidup ayam
lokal jantan lebih tinggi dibandingkan ayam lokal betina pada semua umur
pengamatan (P<0.05). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Daikwo et al. (2011)
pada ayam lokal nigeria; dan Mu‟in et al. (2010) pada ayam lokal papua, yaitu
bobot badan ayam jantan lebih tinggi dibanding ayam betina.
Usaha identifikasi dan karakterisasi ayam lokal masih sangat diperlukan.
Kegiatan ini dianggap penting karena disamping berguna untuk keperluan plasma
nutfah Indonesia, juga berguna dalam membantu program pemuliaan. Identifikasi
secara deskriptif fenotipe diperlukan untuk mengetahui ciri khas dari performans
ayam lokal tertentu yang dapat dibedakan secara jelas (secara visual) dengan jenis
ayam lokal lainnya. Informasi genetik diperlukan untuk mengetahui mutu genetik
suatu ternak yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
seleksi maupun persilangan. Salah satu penelitian dasar untuk menggali informasi
genetik adalah pengamatan fenotipik dengan pengukuran morfologi, seperti yang
dilakukan pada ayam (Udeh et al. 2011; Ojedapo et al. 2012). Peubah fenotipik
yang diamati adalah bobot badan (BB), panjang shank (PS, panjang paruh (PP),
lebar dada (LD), panjang punggung (PP) dan lingkar dada (LD). Bobot badan dan
parameter tubuh ayam jantan maupun betina tertinggi pada ayam broiler
dibandingkan dengan ke empat rumpun ayam lokal. Zhang et al. (2010)
menyatakan bahwa pertumbuhan dan reproduksi ayam broiler berbeda dengan
ayam lokal cina. Bobot badan ayam pelung lebih besar dibandingkan dengan
ayam kedu, ayam sentul dan ayam kampung. Iskandar dan Susanti (2007)
menyatakan bahwa bobot badan ayam pelung lebih besar dibandingkan dengan
ayam lokal lainnya. Pengukuran parameter tubuh dari ke empat rumpun ayam
lokal didapat bahwa panjang shank, lebar dada, panjang punggung dan lingkar
dada ayam pelung jantan lebih besar dibandingkan dengan ke tiga rumpun ayam
lokal jantan lainnya, sedangkan pada betina tidak berbeda nyata untuk pengukuran
morfologi yang sama. Fayeye et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan
penampilan fenotipik pada ayam selain disebabkan faktor genetik juga karena
adanya pengaruh lingkungan.
Dengan bantuan analisis multivariate dapat ditentukan bagian/ukuran
tubuh tertentu yang dapat menjadi ciri (pembeda) dari kelompok/rumpun suatu
ternak. Dari hasil pengukuran ayam umur delapan minggu menunjukkan adanya
tiga pengelompokan ayam, yaitu kelompok ayam broiler, kelompok ayam pelung
dan kelompok ayam kedu, ayam kampung dan ayam sentul. Selanjutnya pada
ayam umur 28 minggu (hanya pada ayam lokal) menunjukkan 3 kelompok ayam,
yaitu kelompok ayam pelung, kelompok ayam kampung dan kelompok ayam
kedu dan ayam sentul. Ayam pelung merupakan kelompok tersendiri, karena dari
hasil pengukuran mempunyai ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ayam lokal lainnya. Ayam pelung mempunyai karakteristik yang khas dengan
ukuran tubuh relatif lebih besar dibandingkan dengan ayam lokal lain yang ada
di Indonesia (Iskandar dan Susanti 2007).
Persamaan fenotipik ukuran tubuh bangsa ternak merupakan cerminan dari
besarnya campuran kelompok antar bangsa ternak tersebut yang terjadi baik oleh
37
adanya mutasi akibat seleksi oleh peternak maupun mutasi yang terjadi secara
alamiah (Brahmantyo et al. 2003). Persentase nilai kesamaan dan campuran di
dalam dan di antara kelompok ayam lokal umur 28 minggu adalah ayam kampung
memiliki nilai kesamaan 64.70%, karena dipengaruhi oleh nilai campuran dari
ayam kedu (17.7%), dan ayam sentul (17.60%). Nilai kesamaan ayam sentul
71.40%, karena dipengaruhi oleh nilai campuran ayam kampung (28.60%). Ayam
Kedu memiliki nilai kesamaan 81.20%, dipengaruhi oleh nilai campuran ayam
kampung 18.80%, sedangkan nilai kesamaan pada ayam pelung tertinggi yaitu
100% karena tidak dipengaruhi oleh nilai campuran rumpun ayam lain.
Analisis diskriminan parameter fenotipik dapat pula digunakan untuk
menentukan parameter morfometrik yang menunjukkan penanda bangsa dan
disebutkan sebagai peubah pembeda bangsa. Peubah pembeda rumpun ayam lokal
yang berpengaruh kuat adalah panjang punggung 0.924 (kanonikal 1) dan lingkar
dada 0.870 (kanonikal 2), dengan nilai total struktur kanonikal yang relatif
tinggi.
Gen lain yang berperan dalam pertumbuhan adalah gen Pit-1. Peran gen
Pit-1 yang merupakan salah satu gen pertumbuhan, maka digunakan sebagai gen
untuk mengetahui polimorfisme pada beberapa ayam lokal di Indonesia,
diantaranya pada ayam pelung, kedu, sentul, kampung dan ayam broiler sebagai
pembanding. Menurut Nie et al. (2008) bagian dari gen Pit-1 yang berprospek
sebagai marker genetik adalah pada intron 2 dan pada ekson 6 menurut Jiang et al.
(2004). Pada kedua fragmen tersebut telah menunjukkan hubungan pertumbuhan
ayam dengan pengukuran panjang dan diameter paruh serta kenaikan bobot badan
yang signifikan. Runutan nukleotida ekson 6 dan intron 2 gen Pit-1 pada ayam
lokal dan ayam broiler bersifat monomorfik, tidak ada variasi pada semua
individu baik di dalam maupun antar populasi. Demikian pula hasil penelitian
Sartika (2000) dengan menggunakan daerah kontrol (D-loop) dari DNA
mitokondria pada berbagai ayam kampung di Jawa Barat dengan metoda PCRRFLP menggunakan lima macam enzim restriksi (Alul, Hpall, Mbol, Rsal, NIaIII,
dan HaeIII) dan hasilnya monomorfik. Hal ini menunjukkan bahwa nukleotida
tersebut bersifat conserve pada level spesies. Menurut Sezutsu et al. (2008) bahwa
gen yang bersifat conserve menunjukkan signifikansi fungsional dari protein yang
dikodenya, artinya keberadaan produk gen tersebut sangat fital bagi organisme
yang memiliki gen tersebut.
Hasil analisis jarak genetik gen Pit-1 ekson 6 antara ayam kedu, kampung,
pelung dan broiler adalah 0.00, sedangkan antara ayam sentul dengan keempat
jenis ayam (ayam kedu, kampung, pelung dan broiler) adalah 0.06. Oleh karena
itu hasil pohon fenogram menunjukkan bahwa ayam sentul merupakan kelompok
tersendiri. Menurut Zein dan Sulandari (2009) bahwa di antara ayam asli
Indonesia yaitu kedu, pelung, gaok, dan sentul berada dalam satu clade dengan
ayam hutan merah, sehingga dapat dikatakan berdekatan secara geneologis
(berbagai leluhur yang sama) dengan ayam hutan merah. Selanjutnya antara ayam
broiler dengan ayam pelung dan kedu, memiliki jarak genetik yang dekat karena
dalam satu cluster. Sedangkan hasil penelitian Zhang et al. (2010) menunjukkan
bahwa antara ayam lokal cina dengan ayam broiler memiliki jarak genetik yang
jauh, demikian pula hasil penelitian Azmi et al. (2000) antara ayam lokal malaysia
dengan ayam broiler.
Download